• Tidak ada hasil yang ditemukan

TATA BAHASA DALAM PENGAJARAN BAHASA (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "TATA BAHASA DALAM PENGAJARAN BAHASA (1)"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

TATA BAHASA DALAM PENGAJARAN BAHASA

Dwi Puspitorini

Universitas Indonesia

Email: dwi.puspitorini@ui.ac.id; dprwik@gmail.com

Pendahuluan

Pengajar bahasa Indonesia sebagai bahasa asing (BIsA), baik yang menggunakan pendekatan struktural maupun yang menggunakan pendekatan komunikatif, sering menghadapi kebingungan orang asing mengenai penggunaan afiks, terutama afiks verbal. Sebagai pengajar BIsA, kita harus memahami bahwa persoalan afiks verbal tidak hanya berkaitan dengan pembentukan kata, tetapi juga berhubungan dengan masalah sintaksis, semantis, bahkan wacana. Hasil penelitian tentang perilaku afiks verbal, khususnya dalam bahasa Indonesia dan bahasa lain yang serumpun dengan bahasa Indonesia, perlu diketahui pengajar BIsA. Berikut di bawah ini terlebih dahulu dijelaskan hasil penelitian tiga disertasi tentang afiks verbal (M.U. Muslim, Irzanti Sutanto, dan Dwi Puspitorini) yang bermanfaat untuk mengajar BIsA.

Pembentukan Kata

Pembentukan kata adalah aspek linguistik yang paling dikenal oleh pengajar. Pada umumnya, pengajar akan menjelaskan pemakaian afiks berdasarkan makna yang

dinyatakannya, misalnya ber- adalah afiks pembentuk verba yang memiliki arti ‘memiliki’,

‘memakai’, ‘tindakan’ dan fungsi afiks sebagai pembentuk kelas kata tertentu, misalnya ber- berfungsi untuk membentuk verba. Kesan umum yang didapat dari upaya tersebut adalah setiap afiks merupakan afiks tunggal dengan banyak makna, padahal makna satu afiks yang berlaku untuk kata tertentu belum tentu berlaku untuk kata lain (Dwi 2015:3).

Fungsi afiks verbal pada umumnya dijelaskan sebagai pembentuk verba intransitif atau

verba transitif. Afiks ber- membentuk verba intransitif, sedangkan afiks meng- membentuk

verba intransitif (membaik) dan juga membentuk verba transitif (memukul). Penjelasan

tersebut menggiring kita pada pemahaman bahwa satu afiks dapat memiliki lebih dari satu

fungsi. Jadi, afiks meng- yang membentuk verba intransitif adalah afiks yang sama yang juga

membentuk verba transitif (Dwi 2015:5). Hal tersebut sudah disinggung Gonda (1988) dalam tulisannya tentang bahasa-bahasa di Nusantara. Dijelaskan oleh Gonda bahwa bahwa imbuhan sering memiliki tugas ganda, yaitu (i) membentuk kata dan pangkal, dan (ii) mengungkapkan kaitannya dengan kata-kata lain di dalam kalimat. Penjelasan Gonda tersebut sebenarnya berkaitan dengan apa yang sekarang dikenal sebagai derivasi dan infleksi. Derivasi berkenaan dengan pembentukan kata, sedangkan infleksi berkaitan dengan fungsi imbuhan dalam konteks yang lebih besar, yaitu kalimat.

Berdasarkan hal tersebut, afiks verbal bahasa Indonesia dapat dibagi menjadi tiga

kelompok, yaitu (i) pembentuk verba intransitif (meng-, ber-, dan ter-), (ii) pembentuk verba

transitif (-kan, -i, per-), (iii) pemarkah diatesis aktif-pasif (meng- dan di-). Istilah intransitif

dan transitif biasanya di dihubungkan dengan verba yang tidak memerlukan objek (intransitif) dan verba yang memerlukan objek (transitif). Berikut di bawah ini masalah ketransitifan dalam bahasa Indonesia dijelaskan berdasarkan hasil penelitian disertasi M.U. Muslim (2003).

Ketransitifan

Ketransitifan dapat didefinisikan secara sintaktis dan semantis. Secara semantis, ketransitifan berkenaan dengan jumlah partisipan yang terlibat dalam situasi. Konstruksi yang melibatkan dua partisipan disebut transitif, sedangkan konstruksi yang hanya melibatkan satu partisipan disebut intransitif. Secara sintaktis, ketransitifan mengacu pada jumlah argumen inti yang dimiliki oleh sebuah konstruksi. Konstruksi yang memiliki dua argumen disebut transitif,

(2)

intransitif. Konstruksi Rahman sedang mencukur rambut saya memiliki dua argumen inti,

yaitu Rahman dan rambut saya, karena itu disebut transitif.

Ada masalah dalam penentuan argumen inti dalam berbagai bahasa. Bahasa Inggris, misalnya, menentukan argumen inti sebagai argumen yang wajib hadir dan tidak didahului

dengan preposisi. Jadi, konstruksi John killed the dog adalah transitif karena memiliki dua

argumen yang wajib hadir dan tidak didahului preposisi (John dan the dog). Konstruksi The

dog was killed by John adalah intransitif karena hanya memiliki satu argumen inti, yaitu the

dog. John adalah argumen bukan inti karena didahului preposisi by. Dalam bahasa Indonesia,

penentuan sebuah konstruksi adalah transitif atau intransitif menghadapi masalah. Konstruksi Saya tinggal di Jakarta memiliki dua argumen yang wajib hadir, yaitu saya dan Jakarta.

Namun, salah satu argumen yang wajib hadir tersebut, yaitu Jakarta, didahului preposisi.

Dengan demikian apakah konstruksi berpredikat verba tinggal merupakan transitif atau

intransitif. Demikian pula konstruksi Kakek saya bertanam jagung adalah transitif atau

intransitif karena memiliki dua argumen yang wajib hadir, yaitu kakek saya dan jagung.

Masalah ketransitifan memang menjadi lebih rumit saat kita menghadapi dua konstruksi seperti contoh tersebut. Oleh sebab itu, Hopper dan Thompson (1980) mengajukan konsep ketransitifan semantis yang bergradasi. Hopper dan Thompson menetapkan fitur ketransitifan semantis untuk menguji tingkat ketransitifan semantis. Berdasarkan hal tersebut

dapat diperlihatkan bahwa afiks meng- lebih transitif dibandingkan ber-. Tingkat ketransitifan

verba menyanyi lebih tinggi dibandingkan verba ber- karena dapat memiliki dua partisipan,

sedangkan verba bernyanyi tidak dapat memiliki lebih dari satu partisipan. Hal tersebut sesuai

dengan salah satu fitur ketransitifan semantis yang diajukan oleh Hopper dan Thompson, yaitu tingkat ketransitifan semantis klausa yang memiliki dua partisipan adalah tinggi, sedangkan yang hanya satu rendah (Muslim 2003: 53)

Masalah ketransitifan berkaitan dengan fungsi afiks verbal yang bersifat inflektif, yaitu

sebagai pemarkah diatesis (voice). Afiks meng- memarkahi diatesis aktif, sedangkan afiks di-

memarkahi diatesis pasif. Konstruksi pasif merupakan hasil turunan dari bentuk dasar transitif (Dixon 1994:146). Oleh karena itu, konstruksi pasif memiliki hanya satu argumen inti. Argumen yang menjadi subjek pada klausa dasar transitif menjadi argumen bukan inti pada

konstruksi pasif. Definisi tersebut tidak berlaku bagi konstruksi Buku itu sudah saya baca

sampai habis memiliki dua argumen inti (buku itu dan saya). Penjelasan tersebut berlawanan dengan apa yang dijelaskan di dalam buku tata bahasa bahasa Indonesia. Konstruksi semacam

contoh tersebut dianggap sebagai kalimat pasif yang dihubungkan dengan kalimat aktif Saya

sudah membaca buku itu sampai habis.

Sebenarnya, masalah afiks meng- dan di- yang merupakan afiks inflektif erat kaitannya

dengan fungsi struktur kalimat di dalam wacana. Adanya berbagai pola kalimat dengan

predikat berupa verba meng- dan di- dipicu oleh kebutuhan penyusunan wacana. Berikut di

bawah ini masalah pengaturan fokus di dalam wacana yang diperlihatkan melalui penggunaan kalimat aktif pasif dijelaskan berdasarkan disertasi Irzanti Sutanto tentang fungsi klausa berargumen agen dan pasien dalam wacana naratif (2014).

Struktur Kalimat

Di dalam disertasinya, Irzanti menunjukkan bahwa makna prefiks tidak hanya terbatas pada makna gramatikal yang menentukan jenis verba transitif, intransitif. Prefiks juga berperan dalam struktur naratif, yaitu untuk menyampaikan perasaan pengarang, menjadi pemarkah temporal, pemarkah majas, dan pemerinci peristiwa atau tindakan.

Kalimat berpredikat verbal V1, misalnya, digunakan oleh penulis yang ingin

menekankan pentingnya tindakan. Contoh:2

Di depan kaca, aku temukan wajahku sendiri, dan lamat-lamat aku lafalkan nasihat Kiai Rais. Sekali lagi aku rapikan sisiranku. Aku tenggak sebutir multi vitamin.

1 Verba nirprefiks yang berfungsi sebagai predikat dalam konstruksi transitif.

2 Contoh diambil dari Modul Pengajaran Wacana bagi peserta BIPA OBEC Thailand, April 2016 yang disusun oleh

(3)

Kalimat berpredikat verbal di- berbeda dengan kalimat berpredikat verbal di-nya. Kalimat

berpredikat di- dapat digunakan untuk pemeri latar peristiwa keadaan, sedangkan kalimat

berpredikat di-nya tidak dapat digunakan untuk keperluan tersebut. Ruang gerak kalimat

berpredikat verbal di-nya dibatasi oleh –nya sebagai agen yang menuntut ciri insani dan

tunggal.

Apa yang dijelaskan di atas hanya merupakan contoh yang memperlihatkan bahwa

penggunaan kalimat berpredikat verbal meng- dan di- atau V dipicu oleh masalah wacana.

Pengajaran Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Asing

Bagaimana kontribusi hasil penelitian ketiga disertasi tersebut dalam pengajaran BIsA? Sebagaimana dijelaskan pada awal tulisan ini, pendekatan apa pun yang digunakan untuk mengajar, masalah tata bahasa tidak dapat dilepaskan dalam mengajar bahasa. Hal-hal yang harus diingat dalam menangani tata bahasa dalam pengajaran bahasa meliputi butir-butir berikut ini.

1. Pengajaran tata bahasa diberikan dengan tujuan pembelajar dapat menggunakan bahasa BUKAN mengetahui pengetahuan tentang bahasa.

2. Pengajaran tata bahasa dilakukan melalui kegiatan berbahasa agar pembelajar tidak menyadari bahwa mereka sedang belajar tata bahasa.

3. Berkaitan dengan butir 1 dan 2, tata bahasa dalam pengajaran bahasa tidak diberikan dengan menggunakan sejumlah istilah linguistik karena istilah yang sama sangat mungkin memiliki definisi yang berbeda dalam bahasa yang berbeda.

4. Berbeda dengan pendekatan analisis linguistik yang biasanya dimulai dari unsur terkecil bahasa sampai unsur terbesar, tata bahasa di dalam pengajaran bahasa dimulai dari unsur terbesar, yaitu wacana. Oleh karena berbasis wacana, butir tata bahasa apa pun yang diajarkan harus diwadahi dalam unsur terkecil wacana, yaitu klausa.

Berkaitan dengan penanganan afiks verbal dalam pengajaran bahasa, ketiga hasil penelitian disertasi memberikan pemahaman mendalam tentang beberapa butir penting berikut ini.

1. Satu afiks dapat memiliki lebih dari satu fungsi dan makna. Oleh sebab itu, pengajar BIsA sebaiknya mengelompokkan verba berafiks berdasarkan kesamaan fungsi dan makna afiks. Pengelompokan tersebut memudahkan pengajar BIsA dalam merancang bahan ajar.

Misalnya, afiks meng- yang merupakan afiks derivatif dibedakan dari meng- yang

merupakan afiks inflektif, afiks pembentuk verba intransitif dibedakan dari afiks

pembentuk verba transitif, sufiks –kan yang merupakan pembentuk verba transitif

dibedakan antara yang menyatakan makna kausatif dan benefaktif. Selanjutnya pengajar merancang bahan ajar sesuai penggunaan kalimat yang menggunakan verba-verba tersebut. Contoh:

a. Sufiks pembentuk verba transitif –kan yang menyatakan makna kausatif dapat menjadi

bagian dari pengajaran bagaimana menyatakan penilaian terhadap sesuatu atau

seseorang. Sufiks –kan disertai prefiks meng- yang memarkahi diatesis aktif.

Situasi:

B: Pesertanya sedikit. Pokoknya mengecewakan deh. Aku benar-benar kecewa.

A: Bagaimana ketua yang baru?

B: Oh …. orangnya baik, ramah, menyenangkan.

(4)

b. Prefiks pembentuk verba intransitif ber–dapat menjadi bagian dari pengajaran bagaimana mendeskripsikan fisik dan sifat seseorang.

Situasi:

A dan B adalah pengajar BIPA dari universitas yang berbeda. Keduanya bertemu di sebuah seminar yang diadakan oleh UNS. Keduanya bercakap-cakap di ruang seminar sebelum seminar dimulai.

A: Ketua APPBIPA sudah ganti lho. B: Oya? Siapa ketua yang baru? A: Bu Liliana dari UNJ.

B: Bu Liliana? Yang mana ya orangnya?

A: Ini saya ada fotonya. (sambil menunjuk orang yang dimaksud) Ini yang berjilbab

dan berkacamata.

B: Oooo … yang itu. Kelihatannya orangnya tegas ya?

A: Iya. Kita memang perlu ketua yang mampu bersikap tegas. Katanya beliau juga selalu bertindak cepat, jadi kalau ada masalah bisa cepat diatasi.

2. Hasil penelitian Irzanti memberikan pemahaman kepada pengajar BIsA bahwa penggunaan

afiks meng-, di-, dan V yang bersifat transitif erat kaitannya dengan wacana. Oleh sebab

itu, agar pembelajar BIsA mampu memahami dan menggunakan kalimat berpredikat verbal

meng-, di-, dan V pembelajarannya dilakukan melalui jenis teks yang banyak

menggunakan kalimat tersebut.

a. Kalimat berpola S-P dengan predikat berupa verba di- digunakan untuk pelaku yang

sudah diketahui secara umum, diketahui melalui konteks, atau pelaku tidak perlu

diinformasikan. 3

Di Belgia, wafel dimakan sebagai camilan di sore hari atau hidangan penutup. Tetapi di negara-negara lain seperti Amerika Utara, wafel dijadikan sarapan. Wafel Liege, rasanya manis karena butiran gula yang meleleh di atasnya sewaktu dipanggang.

Konon, wafel liege pertama kali dibuat pada abad ke-18.

b. Kalimat berpola S-P dengan predikat berupa verba V sering digunakan dalam

percakapan atau dalam tulisan yang penulisnya hendak menekankan pentingnya tindakan. Teks resep banyak menggunakan kalimat tersebut.

Misoa Kuah Cara Masak

1. Tumis bawang putih sampai harum.

2. Masukkan daging cincang, kecap asin, dan merica, masak sampai daging matang.

3. Masukkan oyong, masak sebentar lalu matikan api.

4. Didihkan air lalu rebus misoa sampai matang, tata di piring, beri telur, daging,

oyong, lalu siram dengan kuah.

5. Sajikan dengan taburan bawang goreng dan wijen.

Kesimpulan

Kajian linguistik memiliki kontribusi yang sangat besar dalam pengajaran bahasa Indonesia sebagai bahasa asing. Gambaran sistem bahasa Indonesia diperlukan untuk merancang materi ajar BIsA sesuai dengan yang digunakan oleh penutur bahasa Indonesia. Pengajar BIsA wajib untuk mengembangkan kemampuannya dengan membaca hasil penelitian linguistik karena menjadi seorang pengajar tidak cukup hanya dengan modal dapat berbahasa Indonesia.

DAFTAR REFERENSI

3 Contoh diambil dari Modul Pengajaran Wacana bagi peserta BIPA OBEC Thailand, April 2016 yang disusun oleh

(5)

Disertasi

Dwi Puspitorini. 2015. Afiks Verbal Bahasa Jawa Kuno. Disertasi FIB Universitas Indonesia.

Irzanti Sutanto. 2014. Fungsi Klausa Berargumen Agen dan Pasien dalam Wacana Naratif.

Disertasi FIB Universitas Indonesia.

Muslim, M.U. 2003. Morphology, Transitivity, and Voice in Indonesian. The Dissertation of

La Trobe University.

Buku:

Dixon, R.M.W. 1994. Ergativity. Cambridge: Cambridge University Press.

Gonda J. 1988. Linguistik Bahasa Nusantara: Kumpulan Karya (T.W. Kamil PenerjemahI.

Jakarta: Djambatan.

Modul:

Dwi, Puspitorini. 2016. Modul Pengajaran Morfologi Sintaksis bagi peserta BIPA OBEC

Thailand.

Irzanti, Sutanto. 2016. Modul Pengajaran Wacana bagi peserta BIPA OBEC Thailand.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa pengaruh dari Retail Mix ( customer service, store design & display, communication mix, location, merchandise

Para profesional yang ingin lebih memahami keadaan penyalahguna narkoba yang terinfeksi HIV/AIDS, khususnya melalui pendekatan secara personal, dapat memberikan

Kecamatan Pelayangan pada Tahun 2014 hanya terdiri dari 6 Keluarahn dan 46 Rukun Tetangga, Kelurahan Arab Melayu dan kelurahan Tahtul Yaman memiliki kelurahan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memprediksi umur simpan produk zobo drink dalam kemasan botol kaca, HDPE, dan PET melaluli evaluasi perubahan fisikokimia

Dari perhitungan beban primer dan sekunder yang bekerja terhadap jembatan didapatkan jenis legger yang digunakan untuk rasuk memanjang jembatan darurat yaitu DIN

 – Ba-ian terendah 1anin san-at 4n--i karena plasenta Ba-ian terendah 1anin san-at 4n--i karena plasenta terletak pada kutu0 0a6ah rahim sehin--a 0a-ian terletak pada kutu0 0a6ah

Indikator kemampuan menuliskan aspek yang ditanyakan memiliki nilai p < 0.001 < 0.05 yang diartikan bahwa indikator kemampuan menulis aspek yang ditanyakan signifikan

hidr drog ogena enasi si ber berta taha hap p da dala lam m pe pemb mben entu tukan kan HM HMD. Pr Pros oses es kom komer ersi sial al de deng ngan an bah bahan an