• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematik Koneksi Matematik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematik Koneksi Matematik "

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

42

A.

Deskripsi Data

Penelitian ini dilakukan pada kelas VIII di SMP Negeri 2 Tangerang Selatan dengan mengambil dua kelas sebagai sampel melalui teknik cluster random sampling, yaitu kelas VIII-1 sebagai kelas eksperimen dan kelas VIII-2

sebagai kelas kontrol dengan jumlah siswa untuk setiap kelasnya sama yaitu 41 siswa. Kelas VIII-1 sebagai kelas eksperimen yang diajarkan dengan menggunakan model Experiential Learning (EL) dan kelas VIII-2 sebagai kelas kontrol yang diajarkan dengan menggunakan model konvensional. Materi matematika yang diajarkan adalah Kubus dan Balok.

Berikut disajikan analisis data hasil tes awal dan tes akhir pada kelas eksperimen maupun kelas kontrol.

1. Hasil Tes Awal (Pretest)Kemampuan Koneksi Matematik Siswa

Data hasil tes awal kemampuan koneksi matematik yang diperoleh pada kelas eksperimen maupun kelas kontrol, disajikan pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1

Deskripsi Hasil Tes Awal Kemampuan Koneksi Matematik Siswa

Statistik Kelas

Eskperimen Kontrol

Jumlah Siswa 41 41

Skor Ideal 100 100

Maksimum (Xmaks) 52 43

Minimum (Xmin) 0 0

Rata-rata 14,32 13,65

Median 11,62 11,50

Modus -0,50 -0,50

Varians (S2) 144,02 108,88

Simpangan Baku (S) 12,00 10,43

(2)

kedua kelas tersebut menunjukkan angka yang sama. Begitu pula dengan nilai median kedua kelas tersebut hanya berselisih 0,12, dan untuk nilai modusnya sama. Jika dilihat dari simpangan baku, kelas kontrol memiliki simpangan baku yang lebih kecil daripada kelas eksperimen. Hal ini menunjukkan bahwa nilai kemampuan koneksi matematik siswa di kelas kontrol lebih seragam daripada nilai siswa di kelas eksperimen.

Rata-rata hasil pretest kemampuan koneksi matematik siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol memiliki selisih 0,67. Perbedaan rata-rata tersebut perlu diuji lebih lanjut untuk mengetahui rata-rata hasil pretest kemampuan koneksi matematik siswa pada kedua kelas berbeda secara signifikan dengan menggunakan analisis Independent Samples T Test (uji t).

Secara visual perbandingan penyebaran data hasil tes awal (pretest) antara kelas eksperimen dan kelas kontrol dapat dilihat pada Gambar 4.1.

Gambar 4.1

Grafik Hasil Tes Awal (Pretest) Kemampuan Koneksi Matematik Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol

a) Hasil Pretest Kemampuan Koneksi Matematik Siswa Kelas Eksperimen

(3)

Tabel 4.2

Distribusi Frekuensi Hasil Pretest Siswa Kelas Eksperimen

No. Interval

b) Hasil Pretest Kemampuan Koneksi Matematik Siswa Kelas Kontrol

Data hasil tes awal (pretest) kemampuan koneksi matematik siswa kelas kontrol disajikan dalam Tabel 4.3.

Tabel 4.3

Distribusi Frekuensi Hasil Pretest Siswa Kelas Kontrol

(4)

nilai median yang berada pada interval yang sama. Namun, berbeda dengan modusnya yang berada pada interval 0 – 7. Terdapat 22 siswa atau sebesar 53,66% yang mendapat nilai lebih besar atau sama dengan nilai rata-rata kelasnya. Siswa yang mendapat nilai di bawah nilai rata-rata kelas ada 19 siswa atau sebesar 46,34%.

c) Uji Prasyarat Analisis Data Hasil Pretest

Uji normalitas yang digunakan dalam analisis data pretest adalah uji Chi-Square. Pengujian normalitas dilakukan untuk mengetahui distribusi data yang

diteliti berdasarkan kriteria dan taraf signifikansi tertentu yang sudah ditetapkan. Kriteria pengujian yang digunakan, yaitu jika , artinya data sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal.

1) Uji Normalitas Data Hasil Pretest

Hasil perhitungan uji normalitas data hasil pretest untuk kelas eksperimen dan kelas kontrol disajikan pada Tabel 4.4.

Tabel 4.4

Rekapitulasi Hasil Uji Normalitas Data Hasil Pretest

Kelas N Taraf

Signifikan Kesimpulan

Eksperimen 41 0,05 7,815 Populasi data tidak berdistribusi normal Kontrol 41 0,05 7,815

Dari Tabel 4.4 diketahui bahwa harga dari kedua kelas tersebut lebih besar dari harga , maka ditolak. Dapat disimpulkan bahwa data hasil pretest pada kelas eksperimen maupun kelas kontrol berdistribusi tidak normal.

d) Uji Hipotesis Statistik Data Hasil Pretest

Berdasarkan hasil uji normalitas diperoleh kesimpulan bahwa data hasil pretest dari kedua kelas tersebut berasal dari populasi yang berdistribusi tidak

(5)

diawali dengan menggabungkan data hasil pretest dari kedua kelas sampel, kemudian memberikan rangking dari nilai terkecil hingga nilai terbesar untuk setiap data, selanjutnya dilakukan perhitungan statistik dengan uji Mann Whitney.

Hasil perhitungan data hasil pretest dengan uji Mann Whitney disajikan pada Tabel 4.5.

Tabel 4.5

Hasil Perhitungan Uji Mann Whitney

N Taraf

Signifikan Uhitung Zhitung Ztabel Kesimpulan

82 0,05 956,5 0,239 -1,645 Terima

Dari Tabel 4.5 terlihat bahwa lebih besar dari

, maka Zhitung berada di daerah penerimaan H0. Dapat

disimpulkan bahwa rata-rata kemampuan koneksi matematik siswa kelas eksperimen tidak lebih tinggi atau sama dengan rata-rata kemampuan koneksi matematik siswa kelas kontrol, ini berarti tidak terdapat perbedaan terhadap kemampuan dari kedua kelompok tersebut. Sketsa kurva uji perbedaan data hasil pretest dapat dilihat pada Gambar 4.2.

Gambar 4.2

Kurva Uji Perbedaan Data Hasil Pretest

2. Hasil Tes Akhir (Posttest) KemampuanKoneksi Matematik Siswa

(6)

Tabel 4.6

Deskripsi Hasil Tes Akhir Kemampuan Koneksi Matematik Siswa

Statistik Kelas

Eksperimen Kontrol

Jumlah Siswa 41 41

Skor Ideal 100 100

Maksimum (Xmaks) 95 76

Minimum (Xmin) 48 29

Rata-rata 65,74 52,40

Median 63,90 52,00

Modus 60,83 43,17

Varians (S2) 129,64 153,99

Simpangan Baku (S) 11,39 12,41

Tabel 4.6 menunjukkan sebaran data hasil posttest kemampuan koneksi matematik siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol. Nilai maksimum dan nilai minimum kedua kelas sampel tersebut memiliki selisih yang sama besar yaitu 19. Kelas eksperimen memiliki nilai median dan nilai modus yang lebih tinggi dibanding nilai kelas kontrol. Jika dilihat dari varians dan simpangan bakunya, kelas eksperimen memiliki varians dan simpangan baku yang lebih kecil daripada kelas kontrol dengan selisih 1,023. Hal ini menunjukkan bahwa nilai hasil posttest kemampuan koneksi matematik siswa kelas eksperimen lebih seragam daripada nilai hasil posttest kemampuan koneksi matematik siswa kelas kontrol. Rata-rata hasil posttest kemampuan koneksi matematik siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol memiliki selisih 13,34. Perbedaan rata-rata tersebut perlu diuji lebih lanjut untuk mengetahui rata-rata hasil posttest kemampuan koneksi matematik siswa pada kedua kelas sampel berbeda secara signifikan dengan menggunakan analisis Independent Samples T Test (uji t).

(7)

Gambar 4.3

Grafik Hasil Tes Akhir (Posttest) Kemampuan Koneksi Matematik Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol

a) Hasil Posttest Kemampuan Koneksi Matematik Siswa Kelas Eksperimen

Data hasil tes akhir (posttest) kemampuan koneksi matematik siswa kelas eksperimen disajikan dalam Tabel 4.7.

Tabel 4.7

Distribusi Frekuensi Hasil Posttest Siswa Kelas Eksperimen

No. Interval

(8)

b) Hasil Posttest Kemampuan Koneksi Matematik Siswa Kelas Kontrol

Data hasil tes akhir (posttest) kemampuan koneksi matematik siswa kelas kontrol disajikan dalam Tabel 4.8.

Tabel 4.8

Distribusi Frekuensi Hasil Posttest Siswa Kelas Kontrol

No. Interval

Dari Tabel 4.8 dapat diketahui bahwa nilai rata-rata posttest (52,4) kelas kontrol berada pada interval 45 – 52, begitu pula dengan nilai mediannya yang berada pada interval yang sama. Berbeda dengan modusnya yang berada pada interval 37 – 44. Terdapat 20 siswa atau sebesar 48,78% yang mendapat nilai lebih besar atau sama dengan nilai rata-rata kelas. Siswa yang mendapat nilai di bawah nilai rata-rata kelas ada 21 siswa atau sebesar 51,22%.

c) Uji Prasyarat Analisis Data Hasil Posttest

Uji normalitas yang digunakan dalam analisis data posttest adalah uji Chi-Square, untuk mengetahui distribusi data yang diteliti berdasarkan kriteria

dan taraf signifikansi tertentu yang sudah ditetapkan.

1) Uji Normalitas Data Hasil Posttest

Hasil perhitungan uji normalitas data hasil posttest untuk kelas eksperimen dan kelas kontrol disajikan pada Tabel 4.9.

Tabel 4.9

Rekapitulasi Hasil Uji Normalitas Data Posttest

Kelas N Taraf

Signifikan Kesimpulan

Eksperimen 41 0,05 7,815 Populasi data berdistribusi normal

(9)

Dari Tabel 4.9 diketahui bahwa harga dari kedua kelas tersebut lebih kecil dari harga , maka diterima. Dapat disimpulkan bahwa data hasil posttest kedua kelas sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal.

2) Uji Homogenitas Data Posttest

Setelah data hasil posttest dari kedua kelas sampel dinyatakan berasal dari populasi yang berdistribusi normal, maka untuk mengetahui apakah kedua varians sampel homogen dilakukan uji homogenitas menggunakan uji Fisher. Hasil perhitungan uji homogenitas dapat dilihat pada Tabel 4.10.

Tabel 4.10

Rekapitulasi Hasil Uji Homogenitas Data Hasil Posttest

Kelas N Varians

Setelah dilakukan uji prasyarat analisis diperoleh bahwa sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal dan homogen. Selanjutnya dilakukan pengujian hipotesis dengan uji-t untuk mengetahui rata-rata hasil tes akhir kemampuan koneksi matematik siswa kelas eksperimen yang diajarkan dengan menggunakan model EL lebih tinggi secara signifikan daripada siswa kelas kontrol yang diajarkan dengan menggunakan model konvensional.

Hasil perhitungan uji hipotesis hasil posttest disajikan pada Tabel 4.11.

Tabel 4.11

Hasil Perhitungan Uji –t Data Hasil Posttest

(10)

Berdasarkan Tabel 4.11, terlihat thitung lebih besar dari ttabel

(5,072 > 1,664), maka H0 ditolak. Dapat disimpulkan bahwa rata-rata hasil tes

akhir kemampuan koneksi matematik siswa kelas eksperimen yang diajarkan dengan menggunakan model Experiential Learning lebih tinggi daripada rata-rata hasil tes akhir kemampuan koneksi matematik siswa kelas kontrol yang diajarkan dengan menggunakan model konvensional. Hal ini menunjukkan terdapat perbedaan kemampuan koneksi matematik antara kelas eksperimen dengan kelas kontrol.

e) Perbandingan Hasil Posttest Kemampuan Koneksi Matematik Siswa

Perbandingan hasil posttest kemampuan koneksi matematik siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol disajikan pada Tabel 4.12.

Tabel 4.12

Tabel 4.12 menunjukkan perbedaan rata-rata hasil posttest kemampuan koneksi matematik siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol. Setiap indikator koneksi matematik memiliki skor ideal yang berbeda, ini dikarenakan jumlah soal yang mewakili tiap indikator juga berbeda. Indikator koneksi antar konsep matematika diwakili oleh 3 nomor soal (soal nomor 1, 2, dan 3), dan indikator koneksi matematika dengan kehidupan sehari-hari diwakili oleh 4 nomor soal (soal nomor 4, 5, 6, dan 7), dengan skor ideal untuk setiap nomornya adalah 3.

(11)

antar konsep matematika yaitu sebesar 17,08%. Sementara pada aspek koneksi matematika dengan kehidupan sehari-hari, selisih persentase yang diperoleh kelas eksperimen dan kelas kontrol sebesar 9,35%. Persentase skor keseluruhan indikator koneksi matematik kelas eksperimen lebih tinggi 12,66% daripada kelas kontrol. Dengan demikian secara garis besar dapat disimpulkan bahwa kemampuan koneksi matematik siswa kelas eksperimen lebih tinggi daripada kelas kontrol.

Secara visual perbandingan persentase kemampuan koneksi matematik siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol dapat dilihat pada Gambar 4.4.

Gambar 4.4

Persentase Skor Kemampuan Koneksi Matematik Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol

3. Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematik Siswa

Untuk mengetahui dan membandingkan peningkatan kemampuan koneksi matematik siswa sebelum dan setelah dilaksanakan proses pembelajaran dengan menggunakan model Experiential Learning untuk kelas eksperimen dan model konvensional untuk kelas kontrol, maka dilakukan pengujian peningkatan kemampuan koneksi matematik dengan menggunakan analisis gain ternormalisasi

0 10 20 30 40 50 60 70 80

Koneksi Antar Konsep Matematika

Koneksi Matematika Dengan Kehidupan Sehari-hari Indikator Koneksi Matematik

Eksperimen

(12)

(normalized gain). Berikut deskripsi peningkatan kemampuan koneksi matematik siswa pada kelas eksperimen dan kelas kontrol yang disajikan dalam Tabel 4.13.

Tabel 4.13

Deskripsi Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematik Siswa

Statistik Kelas

Eksperimen Kontrol

Jumlah Siswa 41 41

Skor Ideal 100 100

Maksimum (Xmaks) 0,900 0,688

Minimum (Xmin) 0,353 0,222

Rata-rata 0,603 0,455

Median 0,596 0,451

Modus 0,501 0,429

Varians (S2) 0,017 0,015

Simpangan Baku (S) 0,131 0,122

Dari Tabel 4.13 dapat diketahui bahwa nilai gain maksimum kelas eksperimen lebih besar daripada kelas kontrol dengan selisih 0,212, begitupula dengan nilai gain minimumnya, kelas eksperimen memiliki nilai yang lebih besar 0,131 dibanding kelas kontrol. Hal yang sama terjadi pada nilai median dan modusnya, kelas eksperimen memperoleh nilai yang lebih tinggi dibanding kelas kontrol. Jika dilihat dari simpangan bakunya, kelas kontrol memiliki simpangan baku yang lebih kecil daripada kelas eksperimen. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan nilai kemampuan koneksi matematik siswa di kelas kontrol lebih seragam daripada nilai siswa di kelas eksperimen. Rata-rata peningkatan kemampuan koneksi matematik siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol memiliki selisih 0,148. Perbedaan tersebut perlu diuji lebih lanjut untuk mengetahui rata-rata peningkatan kemampuan koneksi matematik siswa pada kelas eksperimen dan kelas kontrol berbeda secara signifikan dengan menggunakan analisis uji t.

(13)

Gambar 4.5

Grafik PeningkatanKemampuan Koneksi Matematik Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol

a) Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematik Siswa Kelas Eksperimen

Data hasil gain kemampuan koneksi matematik siswa kelas eksperimen disajikan dalam Tabel 4.14.

Tabel 4.14

Distribusi Frekuensi Gain Siswa Kelas Eksperimen

No. Interval

(14)

rata gain. Siswa yang mendapat nilai di bawah nilai rata-rata gain ada 20 siswa atau sebesar 48,78%.

b) Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematik Siswa Kelas Kontrol

Data hasil gain kemampuan koneksi matematik siswa kelas kontrol disajikan dalam Tabel 4.15.

Tabel 4.15

Distribusi Frekuensi Gain Siswa Kelas Kontrol

No. Interval

Dari Tabel 4.15 dapat diketahui bahwa nilai rata-rata gain (0,455) kelas kontrol berada pada interval 0,378 - 0,455, begitu pula dengan nilai median dan modusnya yang berada pada interval yang sama. Terdapat 20 siswa atau sebesar 48,78% yang mendapat nilai lebih besar atau sama dengan nilai rata-rata gain. Siswa yang mendapat nilai di bawah nilai rata-rata-rata-rata gain ada 21 siswa atau sebesar 51,22%.

c) Uji Prasyarat Analisis Data Gain

Uji normalitas yang digunakan dalam analisis data gain adalah uji Chi-Square. Pengujian normalitas dilakukan untuk mengetahui distribusi data gain

yang diteliti berdasarkan kriteria dan taraf signifikansi tertentu yang sudah ditetapkan. Kriteria pengujian yang digunakan, yaitu jika artinya data sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal.

1) Uji Normalitas Data Gain

(15)

Tabel 4.16

Rekapitulasi Hasil Uji Normalitas Data Gain

Kelas N Taraf Dapat disimpulkan bahwa data gain dari kedua sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal.

2) Uji Homogenitas Data Gain

Setelah data gain dari kedua kelas sampel dinyatakan berasal dari populasi yang berdistribusi normal, maka untuk mengetahui apakah kedua varians sampel homogen dilakukan uji homogenitas menggunakan uji Fisher.

Hasil perhitungan uji homogenitas data gain dapat dilihat pada Tabel 4.17.

Tabel 4.17

Rekapitulasi Hasil Uji Homogenitas Data Gain

Kelas N Varians

d) Uji Hipotesis Statistik Data Gain

(16)

yang diajarkan dengan menggunakan model Experiential Learning dengan kelas kontrol yang diajarkan dengan menggunakan model konvensional. Pengujian dilakukan dengan uji-t. Hasil perhitungan uji hipotesis statistik data gain disajikan pada Tabel 4.18.

Tabel 4.18

Hasil Perhitungan Uji –t Data Gain

N Taraf

Berdasarkan Tabel 4.18, thitung lebih besar dari ttabel (5,305 > 1,664), maka

H0 ditolak, artinya terdapat perbedaan peningkatan kemampuan koneksi

matematik siswa antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. Dapat disimpulkan bahwa rata-rata peningkatan kemampuan koneksi matematik siswa yang diajarkan dengan menggunakan model Experiential Learning lebih tinggi daripada rata-rata peningkatan kemampuan koneksi matematik siswa yang diajarkan dengan model konvensional.

e) Perbandingan Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematik Siswa

Perbandingan peningkatan kemampuan koneksi matematik siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol disajikan pada Tabel 4.19.

Tabel 4.19

Perbandingan Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematik

Indikator

Eksperimen Kontrol

Gain Kategori Gain Kategori

Antar Konsep

Matematika 0,536 Sedang 0,411 Sedang Matematika dengan

Kehidupan Sehari-hari 0,645 Sedang 0,559 Sedang

Keseluruhan 0,603 Sedang 0,455 Sedang

(17)

untuk indikator koneksi matematika dengan kehidupan sehari-hari, rata-rata gain kelas eksperimen 0,086 lebih tinggi daripada rata-rata gain kelas kontrol.

Indikator secara keseluruhan pun, kelas eksperimen memiliki rata-rata gain kemampuan koneksi matematik siswa yang lebih tinggi daripada kelas kontrol. Peningkatan pada indikator koneksi antar konsep matematika lebih tinggi daripada peningkatan pada indikator koneksi matematika dengan kehidupan sehari-hari, hal ini dapat dilihat dari selisih rata-rata gain antara kelas eksperimen dan kelas kontrol untuk masing-masing indikator. Peningkatan (gain) untuk kedua indikator dari kelas eksperimen dan kelas kontrol berada pada kategori yang sama, yaitu sedang.

Secara visual perbandingan peningkatan kemampuan koneksi matematik siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol dapat dilihat pada Gambar 4.6.

Gambar 4.6

Perbandingan Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematik Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol

B.

Pembahasan

Berdasarkan hasil uji hipotesis, hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kemampuan koneksi matematik antara siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol. Rata-rata kemampuan koneksi matematik siswa yang diajarkan dengan menggunakan model Experiential Learning lebih tinggi daripada

(18)

kemampuan koneksi matematik siswa yang diajarkan dengan menggunakan model konvensional. Demikian pula, dengan peningkatan kemampuan koneksi matematik siswa yang diajarkan dengan menggunakan model Experiential Learning lebih tinggi daripada peningkatan kemampuan koneksi matematik siswa

yang diajarkan dengan menggunakan model konvensional.

Model Experiential Learning (EL) mendorong siswa secara aktif terlibat langsung dalam proses pembelajaran. Siswa bukanlah objek dalam pembelajaran, melainkan sebagai pelaku dalam mencapai tujuan pembelajaran, sehingga pembelajarannya bersifat student-centered. Pembelajaran dengan model ini memberikan kesempatan bagi siswa untuk mengkonstruk pengetahuan baru atau konsep yang akan dipelajari menggunakan pengetahuan sebelumnya. Berbeda dengan model konvensional yang biasa diterapkan oleh guru di sekolah tersebut. Pembelajarannya masih bersifat teacher-centered, yaitu guru menyampaikan materi dan contoh soal secara verbal (lisan), siswa mendengarkan dan mencatat materi yang disampaikan, serta mengerjakan latihan soal berdasarkan contoh yang diberikan. Pembelajaran ini membuat siswa kurang aktif dalam proses pembelajaran dan tidak memberikan kesempatan bagi siswa untuk mengkoneksikan pengetahuan yang dipelajari dengan pengetahuan sebelumnya.

Pembelajaran dengan menggunakan model Experiential Learning berarti melakukan pembelajaran dengan empat tahapan, yaitu concrete experience, reflective observation, abstract conceptualization, dan active experimentation. Pengetahuan atau konsep yang akan dipelajari disusun berdasarkan tujuan yang hendak dicapai dalam pembelajaran matematika yang disebut dengan bahan ajar. Bahan ajar yang akan digunakan dibuat dalam bentuk Lembar Aktivitas Siswa (selanjutnya disebut LAS) yang terdiri dari 4 tahapan model EL.

(19)

membagi siswa menjadi kelompok-kelompok kecil yang beranggotakan 5-6 siswa.

Tahap pertama, dimulai dengan guru yang memperkenalkan konsep secara figuratif menggunakan benda kongkrit dalam kehidupan sehari-hari berkaitan dengan materi yang dipelajari, kemudian membagikan bahan ajar (LAS) mengenai konsep yang dipelajari untuk semua kelompok. Di dalam LAS diberikan permasalahan berupa pertanyaan-pertanyaan atau perintah untuk melakukan suatu aktivitas yang menuntut siswa menggunakan pengetahuan yang dimiliki. Contohnya, siswa menggunakan karakteristik bangun datar untuk menemukan unsur-unsur dan sifat-sifat bangun ruang sisi datar pada benda kongkrit. Tahap concrete experience, membantu siswa dalam mengasah kemampuan koneksi matematika, baik koneksi antar konsep matematika maupun koneksi matematika dengan kehidupan sehari-hari, karena siswa secara langsung menggunakan benda nyata yang terdapat dalam kehidupan untuk memperoleh pengalaman belajar dan menggunakan pengetahuan sebelumnya untuk menemukan karakteristik dari konsep yang dipelajari.

Tahap kedua, siswa merefleksikan aktivitas pada tahap concrete experience dengan mengobservasi atau mengamati karakteristik konsep yang

dipelajari dari perspektif yang berbeda. Contohnya, siswa mengobservasi unsur-unsur dan sifat-sifat kubus dengan menentukan benar atau salah suatu pernyataan melalui gambar kubus yang disajikan dalam LAS. Guru berperan dalam membimbing dan mengawasi jalannya diskusi dengan memotivasi siswa untuk terlibat aktif dalam pembelajaran. Tahap reflective observation, membantu siswa dalam mengembangkan kemampuan koneksi matematika karena siswa menggunakan pengalaman yang diperoleh pada aktivitas sebelumnya untuk mengobservasi karakteristik/ sifat-sifat konsep yang dipelajari.

(20)

dibuat. Konsep yang diabstraksi merupakan hasil siswa dalam mengkonstruk pengetahuannya yang menjadi dasar (pedoman) dalam menyelesaikan suatu permasalahan. Contohnya, siswa membuat kesimpulan mengenai pengertian, unsur-unsur dan sifat-sifat kubus. Tahap abstract conceptualization, membantu siswa dalam mengembangkan kemampuan koneksi antar konsep matematika karena siswa menggunakan kemampuan matematika yang dimiliki untuk mengabstraksikan konsep yang dipelajari.

Tahap keempat, siswa menggunakan konsep logis untuk menemukan solusi dari berbagai permasalahan. Permasalahan yang terdapat pada tahap keempat dalam LAS yang diberikan, berupa latihan soal-soal yang digunakan untuk mengetahui pemahaman/ penguasaan siswa terhadap konsep yang dipelajari. Selain itu, latihan soal tersebut juga membantu siswa dalam mengembangkan dan meningkatkan kemampuan koneksi matematiknya. Siswa menggunakan kemampuan koneksi matematiknya untuk mengenali dan memahami masalah yang diberikan agar dapat menemukan solusi dari masalah tersebut. Peran guru di sini sebagai coach yang membimbing siswa menggunakan konsep yang diperoleh dalam menyelesaikan latihan soal yang diberikan. Pengetahuan yang diperoleh siswa dari tahap concrete experience sampai tahap active experimentation akan menjadi pengalaman belajar yang digunakan siswa

untuk membangun pengetahuan selanjutnya.

(21)

diberikan. Hal tersebut terlihat dari masih banyaknya pertanyaan dalam LAS yang belum terjawab. Pembelajaran matematika dengan model EL untuk pertemuan pertama dan kedua kurang berjalan sesuai harapan peneliti.

Berbeda dengan pertemuan-pertemuan sebelumnya, proses diskusi pada pertemuan-pertemuan berikutnya mulai berjalan kondusif. Sebagian besar siswa mulai menunjukkan keinginannya untuk terlibat aktif dalam proses pembelajaran. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, setiap anggota kelompok mulai aktif dalam berdiskusi, saling berbagi informasi dan bertukar pendapat berdasarkan pengetahuan yang dimiliki. Hal ini juga terlihat dari semakin bertambahnya siswa yang mengemukakan pendapatnya, memperkuat gagasan yang sudah dikemukakan temannya, serta menanyakan hal yang kurang mereka pahami. Keberanian siswa dalam mengemukakan pendapat mulai meningkat, karena mereka dibiasakan untuk memberikan tanggapan selama proses diskusi.

Selama proses pembelajaran di kelas eksperimen berlangsung, peneliti menemukan bahwa ketika lingkungan belajar memungkinkan siswa untuk melakukan pembelajaran sendiri berdasarkan pengetahuan yang dimiliki, akan memungkinkan sebagian besar siswa mampu mengkonstruk pengetahuannya sendiri, sehingga pengetahuan yang mereka peroleh lebih melekat. Selain dari segi kognitif, peneliti juga menemukan adanya peningkatan aktivitas belajar pada siswa di kelas eksperimen. Sebagian siswa yang pasif pada pertemuan-pertemuan awal pembelajaran, lama-kelamaan menjadi antusias mengikuti proses pembelajaran yang berlangsung. Respon positif ini dapat dilihat dari semakin meningkatnya siswa aktif dalam berdiskusi dan bertukar pendapat selama proses pembelajaran pada setiap pertemuannya. Selain itu dapat dilihat juga dari kesungguhan siswa dalam menyelesaikan setiap tahapan pembelajaran yang terdapat dalam LAS. Melalui model Experiential Learning yang diterapkan, peneliti berusaha untuk menciptakan lingkungan belajar aktif dan memberikan kesempatan bagi siswa untuk belajar dalam suatu kelompok kecil yang memiliki beragam pengalaman, pengetahuan dan kemampuan.

(22)

mendengarkan materi yang disampaikan secara langsung oleh gurunya. Hal ini dikarenakan melalui LAS yang sudah disiapkan tersebut siswa dapat terlibat langsung dalam pembelajaran, sehingga siswa benar-benar mengikuti proses pembelajaran dari awal sampai akhir. Mulai dari menggunakan pengetahuan yang dimiliki untuk mengetahui dan memahami konsep apa yang akan atau sedang dipelajari, sampai pada akhirnya siswa dapat mengkonstruk sendiri konsep inti dari apa yang mereka pelajari tersebut.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa model Experiential Learning memberikan kontribusi yang positif dalam pembelajaran matematika. Model ini dapat diterapkan untuk mengembangkan dan meningkatkan kemampuan koneksi matematik siswa, khususnya kemampuan koneksi antar konsep matematika dan koneksi matematika dengan kehidupan sehari-hari, serta membuat siswa aktif dalam mengikuti proses pembelajaran. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Eulis Maulinahaq (Mahasiswa S1 Pendidikan Matematika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), bahwa pembelajaran matematika dengan menggunakan model Experiential Learning dapat meningkatkan pemahaman konsep matematika siswa, dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa dan memberikan respon positif dalam proses pembelajaran matematika.

Sebelum proses pembelajaran berlangsung atau sebelum siswa diberikan perlakuan menggunakan model EL dan model konvensional, terlebih dahulu dilakukan tes awal (pretest) untuk mengetahui kemampuan awal koneksi matematik siswa. Pada akhir proses pembelajaran (sesudah siswa diberikan perlakuan) menggunakan model EL dan model konvensional, juga dilakukan tes akhir (posttest) dengan instrumen soal yang sama untuk mengetahui kemampuan koneksi matematik siswa setelah proses pembelajaran dan untuk mengetahui peningkatan kemampuan koneksi matematik siswa.

(23)

1. Kemampuan Koneksi Antar Konsep Matematika

Soal yang memperlihatkan bagaimana kemampuan koneksi antar konsep matematika adalah butir soal nomor 1, 2, dan 3. Berikut akan disajikan jawaban siswa untuk pertanyaan nomor 3.

“Diketahui sebuah balok dengan ukuran panjang, lebar dan tingginya masing-masing adalah cm, cm, dan cm. Jika jumlah panjang semua rusuk balok adalah 100 cm, hitunglah nilai x.

Gambar 4.7

Contoh Jawaban Posttest Siswa Kelas Eksperimen pada Indikator Koneksi Antar Konsep Matematika

Gambar 4.8

(24)

Gambar 4.7 merupakan contoh jawaban posttest siswa kelas eksperimen yang memperoleh skor 2 dari 3 untuk soal nomor 3. Dari gambar tersebut menunjukkan bahwa siswa mampu mengenali dan memahami koneksi antar konsep yang terdapat dalam soal, tetapi siswa masih salah dalam melakukan perhitungan manipulasi aljabar. Sehingga hasil akhir yang diminta tidak terjawab dengan benar. Gambar 4.8 merupakan contoh jawaban posttest siswa kelas kontrol yang memperoleh skor 1 dari 3 untuk soal yang sama. Dari gambar terlihat bahwa siswa memahami konsep apa yang harus digunakan tetapi belum mampu mengkoneksikan konsep tersebut dengan panjang rusuk balok yang disajikan dalam bentuk aljabar.

Dilihat dari hasil pretest dan posttest, baik siswa kelas eksperimen maupun kelas kontrol pada indikator koneksi antar konsep matematik cenderung mengalami peningkatan kualitas jawaban yang berbeda. Berdasarkan jawaban pretest pada soal nomor 3, baik siswa kelas eksperimen maupun kelas kontrol

hampir semua siswa mendapat skor 0 dari 3 karena tidak menjawab. Hanya beberapa diantaranya yang memperoleh skor 3 pada siswa kelas eksperimen dan skor 1 pada siswa kelas kontrol.

Berdasarkan jawaban posttest untuk soal yang sama, siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol kebanyakan memperoleh skor 1 dari 3, yaitu sebanyak 18 siswa atau sebesar 43,9%. Dari hasil jawaban siswa dengan skor 1 hanya menunjukkan pemahaman terhadap konsep jumlah panjang rusuk balok,dan belum menunjukkan kemampuannya dalam mengenali dan memahami koneksi antar konsep yang terdapat dalam soal. Perbedaan perolehan skor untuk soal nomor 3 terlihat pada jumlah siswa yang memperoleh skor 0, 2 dan 3. Siswa kelas eksperimen yang memperoleh skor 0 hanya 3 orang, sedangkan kelas kontrol lebih dari 5 yaitu ada 7 orang. Siswa yang mendapat skor 0 dikarenakan tidak memberikan jawaban dari pertanyaan yang diberikan. Hal ini menunjukkan ketidakpahaman siswa terhadap konsep matematika dan koneksinya yang terdapat dalam soal tersebut.

(25)

siswa pada kelas kontrol. Dilihat dari hasil jawabannya, baik siswa kelas eksperimen maupun kelas kontrol sudah menunjukkan pemahaman terhadap koneksi antar konsep yang disajikan, dapat mensubtitusikan dengan benar ukuran dari panjang setiap rusuk balok dalam konsep jumlah panjang semua rusuk balok, tetapi masih ada kesalahan dalam proses perhitungannya.

Siswa kelas eksperimen yang memperoleh skor maksimum ada 8 orang siswa atau sebesar 19,5%, sedangkan siswa kelas kontrol yang memperoleh skor maksimum hanya 5 orang siswa atau sebesar 12,2%. Dilihat dari hasil jawaban siswa yang mendapat skor maksimum menunjukkan bahwa siswa mampu mengenali dan memahami keterkaitan antar konsep-konsep matematika untuk menyelesaikan masalah dalam matematika. Tidak ada perbedaan yang begitu signifikan dari hasil jawaban siswa yang memperoleh skor maksimum.

Selain dari kemampuan koneksi matematik untuk indikator koneksi antar konsep matematika, perbedaan juga terlihat dari peningkatan kemampuan koneksi matematik untuk indikator koneksi antar konsep matematika. Rata-rata peningkatan (gain) kelas eksperimen (0,536) untuk indikator koneksi antar konsep matematika lebih tinggi daripada rata-rata gain kelas kontrol (0,411) dengan selisih peningkatannya sebesar 0,125. Gain kedua kelas sampel berada pada kategori sedang. Hal ini membuktikan bahwa melalui pembelajaran matematika dengan menggunakan model Experiential Learning untuk semua tahapannya, khususnya pada tahap reflective observation, abstract conceptualization dan active experimentation, cukup signifikan untuk meningkatkan kemampuan koneksi matematik siswa pada indikator koneksi antar konsep matematika.

2. Kemampuan Koneksi Matematika dengan Kehidupan Sehari-hari

Soal yang memperlihatkan bagaimana kemampuan koneksi matematika dengan kehidupan sehari-hari adalah butir soal nomor 4, 5, 6 dan 7. Pertanyaan nomor 5 adalah sebagai berikut:

(26)

Gambar 4.9

Contoh Jawaban Posttest Siswa Kelas Eksperimen pada Indikator Koneksi Matematika dalam Kehidupan Sehari-hari

Gambar 4.10

Contoh Jawaban Posttest Siswa Kelas Kontrol pada Indikator Koneksi Matematika dalam Kehidupan Sehari-hari

(27)

salah dalam merubah satuan luas dari cm2 menjadi m2. Dari Gambar 4.10 menunjukkan bahwa siswa kelas kontrol kurang teliti dalam perhitungan perkaliannya, sehingga menyebabkan perhitungan luas permukaan yang diminta menjadi salah. Hal tersebut menyebabkan hasil akhir yang diminta tidak terjawab dengan benar meskipun kedua siswa tersebut mampu mengkoneksikan konsep matematika dengan kehidupan sehari-hari.

Dilihat dari hasil pretest dan posttest siswa, baik kelas eksperimen maupun kelas kontrol pada indikator koneksi matematika dengan kehidupan sehari-hari cenderung mengalami peningkatan kualitas jawaban yang berbeda. Berdasarkan jawaban pretest pada soal nomor 5, baik siswa kelas eksperimen maupun siswa kelas kontrol hampir semua siswa mendapat skor 0 dari 3 karena tidak menjawab. Beberapa diantaranya memperoleh skor 2 dan 3 untuk siswa kelas eksperimen dan skor 1 dan 2 untuk siswa kelas kontrol.

Berdasarkan jawaban posttest untuk soal yang sama, siswa kelas eksperimen tidak ada yang memperoleh skor 0, sedangkan siswa kelas kontrol masih ada yang memperoleh skor 0 sebanyak 4 orang atau sebesar 9,76%. Siswa kelas kontrol yang memperoleh skor 0 dikarenakan tidak memberikan jawaban dari pertanyaan yang diberikan. Siswa kelas eksperimen yang memperoleh skor 1 sebanyak 4 orang atau sebesar 9,76%, dan siswa kelas kontrol yang memperoleh skor 1 sebanyak 16 orang atau sebesar 39%. Dilihat dari hasil jawaban siswa yang memperoleh skor 1 baik siswa kelas eksperimen maupun kelas kontrol dikarenakan siswa kurang tepat dalam menentukan rumus luas permukaan balok yang digunakan untuk menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari.

(28)

penggunaan konsep luas permukaan balok tanpa tutup, masih terdapat kesalahan dalam perhitungan luas permukaan yang akan dipasangi keramik, sehingga salah dalam menghitung biaya pemasangan yang ditanyakan.

Siswa kelas eksperimen yang memperoleh skor maksimum sebanyak 16 orang atau sebesar 39%, sedangkan kelas kontrol sebanyak 9 orang atau sebesar 22%. Dilihat dari hasil jawaban siswa yang mendapat skor maksimum menunjukkan bahwa siswa mampu mengenali dan memahami keterkaitan konsep-konsep matematika untuk menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Tidak ada perbedaan yang begitu signifikan dari hasil jawaban siswa yang memperoleh skor maksimum.

Selain dari kemampuan koneksi matematik untuk indikator koneksi matematika dengan kehidupan sehari-hari, perbedaan juga terlihat dari peningkatan kemampuan koneksi matematiknya. Rata-rata peningkatan (gain) siswa kelas eksperimen (0,645) untuk indikator koneksi matematika dalam kehidupan sehari-hari lebih tinggi daripada kelas kontrol (0,559), dengan selisih peningkatannya sebesar 0,086. Gain kedua kelas sampel berada pada kategori sedang. Hal ini membuktikan bahwa melalui pembelajaran matematika dengan menggunakan model Experiential Learning untuk semua tahapannya, khususnya pada tahap concrete experience, cukup signifikan untuk meningkatkan kemampuan koneksi matematik siswa pada indikator koneksi matematika dalam kehidupan sehari-hari.

(29)

C.

Keterbatasan Penelitian

Peneliti menyadari penelitian ini belum sepenuhnya sempurna meskipun berbagai upaya telah dilakukan agar diperoleh hasil yang optimal. Ada beberapa faktor yang sulit dikendalikan sehingga penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan, diantaranya:

1. Penelitian ini hanya diteliti pada pokok bahasan Kubus dan Balok, sehingga belum dapat digeneralisasikan pada pokok bahasan lain.

2. Alokasi waktu yang terbatas menyebabkan perlunya persiapan dan pengaturan yang lebih baik agar setiap tahapan dalam pembelajaran dengan menggunakan model Experiential Learning dapat berlangsung lebih maksimal.

3. Penelitian ini hanya berlangsung selama satu bulan menyebabkan kurang maksimalnya pengaruh pembelajaran matematika dengan menggunakan model Experiential Learning terhadap kemampuan koneksi matematik.

Gambar

Tabel 4.1
Grafik Hasil Tes Awal (Gambar 4.1 Pretest) Kemampuan Koneksi Matematik Siswa
Tabel 4.6
Grafik Hasil Tes Akhir (Gambar 4.3 Posttest) Kemampuan Koneksi Matematik Siswa
+7

Referensi

Dokumen terkait

A numerical simulation using commercial code CFD has been carried out in order to explore the heat transfer and fluid flow characteristics in enclosure between double glasses cover

Agar terhindar dari kebodohan, marilah belajar dengan giat!. Marilah menjaga hutan agar tidak terjadi

perkara baik yang timbul dalam sistem hukum waris ini tidak menjadi. tingkat pertama dan dalam tingkat masalah, asal setiap sistem

Berdasar pada Berita Acara Pembuktian kualifikasi nomor Berita Acara Pembuktian kualifikasi Nomor : 108/ULP-Pokja-JK/2011 tanggal 2 Mei 2011 Pekerjaan Perencanaan Teknis

Salah satu bukti perbedaan mencolok tersebut ialah mengenai status anak yang diangkat, jika dalam hukum perdata status anak yang diangkat menjadi anak kandung

Sedangkan, lokasi penelitian lain seperti daerah 30-32 Ilir, daerah pasar 16 Ilir, pelabuhan Boom Baru, daerah 7-10 Ulu, daerah Tangga Takat merupakan jalur

Karakter keluarga bugis menurut kebanyakan orang itu bersifat otoriter, namun ke otoriteran dari karakter bugis itu sendiri bukan otoriter menurut pemaknaan

mengenai Nilai-nilai Budaya, Estetika, dan Pendidikan serta Bentuk Respons Masyarakat Setempat terhadap Nilai-nilai Ketradisian dalam Kehidupan Sosial di Kecamatan