PEMBELAJARAN KIMIA UNTUK MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN BERPIKIR TINGKAT TINGGI (HOTS)
Harry Firman
Departemen Pendidikan Kimia FPMIPA UPI harry.firman@hotmail.com
Abstrak
Berpikir tingkat tinggi (Higher-Order Thinking Skills atau HOTS) menjadi agenda reformasi pendidikan di banyak negara. Berpikir tingkat tinggi (HOTS) didefinisikan secara luas sebagai kemampuan seseorang menggunakan pikiran untuk menjawab tantangan, masalah, pertanyaan baru (tidak biasa) yang tidak dapat dipecahkan dengan mengaplikasikan secara algoritmik (rutin) pengetahuan yang telah dipelajarinya. HOTS melibatkan elemen-elemen berpikir kritis, logis,
reflektif, metakognitif, dan kreatif yang diterapkan dalam mengiterpretasi dan menganalisis informasi, menarik generalisasi, membuat prediksi, mengkreasi solusi tidak biasa (non-algoritmik) terhadap masalah yang dihadapi, melakukan pilihan-pilihan, serta membuat keputusan. HOTS disepadankan dengan tiga jenjang kognitif tertinggi (top-three) dalam taksonomi Bloom-R (menganalisis/C4, mengevaluasi/C5, dan mengkreasi/C6). Beberapa strategi yang dapat dipilih guru dalam
mengembangkan HOTS pada diri peserta didik antara lain mengajukan pertanyaan-pertanyaan HOTS, pembelajaran berbasis inkuiri, aplikasi teknik POE (prediksi-observasi-eksplanasi).
1. Apa Berpikir Tingkat Tinggi itu?
Berpikir tingkat tinggi (Higher-Order Thinking Skills atau HOTS) menjadi agenda reformasi pendidikan di banyak negara, termasuk Indonesia. Salah satu missi Kurikulum 2013 adalah mengubah penekanan pembelajaran pada keterampilan berpikir tingkat tinggi (Kemdikbud, 2013). Berpikir tingkat tinggi (HOTS) didefinisikan secara luas sebagai kemampuan
seseorang menggunakan pikiran untuk menjawab tantangan, masalah, pertanyaan baru (tidak biasa) yang tidak dapat dipecahkan dengan mengaplikasikan secara algoritmik (rutin)
pengetahuan yang telah dipelajarinya (Rajendran, 2008).
Seringkali HOTS disepadankan dengan tiga jenjang kognitif tertinggi (top-three) dalam taksonomi Bloom versi revisi (menganalisis/C4, mengevaluasi/C5, dan mengkreasi/C6) (Fensham & Bellocii, 2013). Sebaliknya, LOTS disepadankan dengan jenjang mengingat/C1 dan mengerti/C2 dalam taknonomi Bloom versi revisi. Sementara jenjang mengaplikasi/C3 seringkali dikategorisasi sebagai berpikir tingkat menengah (Moderate-Order Thinking Skill/MOT).
2. HOTS dalam Pembelajaran Kimia
Kemampuan menganalisis (C4) adalah kemampuan menguraikan secara mental suatu
informasi yang dihadapi menjadi komponen-komponennya sehingga struktur informasi serta hubungan antar komponen-komponen informasi tersebut menjadi jelas (Andeson &
Kratwohl, 2010). Beberapa di antaranya adalah:
Membedakan strukur molekul satu senyawa dengan senyawa lainnya;
Menyimpulkan antarhubungan (interelasi) dari set data hasil pengukuran dalam
kimia;
Mengidentifikasi error dalam langkah penyelesaian masalah numerik kimia; Mengidentifikasi hubungan-hubungan antara struktur molekul dan sifat kimia dan
fisik zat;
Menstrukturkan konsep-konsep secara logis dalam peta konsep untuk ruang lingkup suatu materi pembelajaran;
Mengkonstruksi tabel data pengamatan pada eksperimen yang dirancang; Menggrafikkan data hasil percobaan berdasarkan set data yang tersedia.
Kemampuan mengevaluasi (C5) ialah kemampuan mempertimbangkan nilai suatu pernyataan, paparan, produk, berdasarkan kriteria tertentu yang ditetapkan (Andeson & Kratwohl, 2010). Beberapa di antaranya adalah:
Mendeteksi ketidaklogisan gagasan dalam suatu paparan lisan, laporan eksperimen,
dan artikel kimia;
Mengidentifikasi rumusan simpulan eksperimen kimia yang tidak didukung data; Memberikan kritik membangun terhadap pemikiran dan gagasan orang lain dalam
suatu diskusi;
Melakukan refleksi serta self-kritik terhadap karya tulis kimia pribadinya.
Membandingkan eksplanasi teori-teori yang ada terhadap fenomena kimia (atom,
Kemampuan mengkreasi (C6) adalah kemampuan mengintegrasikan elemen-elemen membentuk keseluruhan yang koheren; mereorganisasi unsur-unsur ke dalam pola atau struktur baru (menciptakan, merencanakan, memproduksi) (Andeson & Kratwohl, 2010). Beberapa di antaranya adalah:
Mendesain eksperimen untuk menguji suatu prediksi atau hipotesis; Merancang proses penyelesaian masalah kimia;
Mengkonstruksi eksplanasi teoritik terhadap fenomena kimia yang teridentifikasi; Membuat keputusan dalam memilih alat dan bahan yang sesuai dengan keperluan
eksperimen;
Mengkreasi metode pemisahan untuk suatu campuran; Menulis artikel tentang fenomena kimia;
Menyusun skema yang menggambarkan rute untuk mensintesis suatu senyawa
organik tertentu.
3. Strategi Pengembangan HOTS melalui Pembelajaran Kimia
HOTS tidak akan tumbuh dan berkembang secara serta-merta dalam diri peserta didik, melainkan melalui fasilitasi oleh guru. Beberapa strategi yang dapat dipilih guru dalam mengembangkan HOTS pada diri peserta didik adalah sebagai berikut.
a. Mengajukan Pertanyaan-Pertanyaan HOTS
Dalam mengelola pembelajaran kimia guru perlu menahan diri untuk menerangkan semua ihwal materi pelajaran kimia (fakta, konsep, prinsip, hukum, teori) kepada peserta didik. Sesuai dengan teori konstruktivis moda transmisi pengetahuan dalam pembelajaran dengan cara menceritakan tidak menjamin meteri pelajaran dimengerti peserta didik.
Moda transmisi pengetahuan dalam pembelajaran kimia tidak mengembangkan HOTS peserta didik. Pengembangan HOTS memerlukan stimulasi bagi peserta didik untuk berpikir ketika guru menanamkan pengetahuan kimia. Pembelajaran perlu diawali dengan eksplorasi peserta didik pada fenomena otentik kimia atau data kimia, dan scafolding bagi peserta didik untuk menangkap pengetahuan itu dengan serangkaian pertanyaan guru.
Pertanyaan-pertanyaan-pertanyaan guru perlu menstimulasi peserta dididik berpikir
tingkat tinggi, seperti misalnya mencari interrelasi, mengkonstruksi eksplanasi, membuat prediksi, mendesaian eksperimen, memformulasi generalisasi, mengritik suatu tulisan, dsb.
[Apakah hubungan antara massa molekul relatif unsur halogen dan titik leleh dan titik
didihnya?] [Apa eksplanasi yang dapat diberikan untuk menerangkan sebab terjadi relasi-relasi tersebut]
Dapat pula guru meminta peserta didik membaca suatu segmen “kesimpulan dan diskusi” dalam laporan praktikum seseorang, dan kemudian guru mengajukan pertanyaan evaluatif:
[Apakah kesimpulan yang dirumuskan sesuai atau tidak dengan data yang dikumpulkan?] [Adakah ketidak logisan dalam penjelasan terhadap kesimpulan dalam segmen diskusi?]
Contoh lain, dalam diskusi kelas, selepas memdemonstrasikan fenomena reaksi tertentu yang relatif lambat, guru mengajukan pertanyaan yang meminta peserta didik mengemukakan dugaan-dugaan sementara terhadap akibat yang akan terjadi jika suatu tindakan dilakukan;
[Apa yang akan terjadi jika temperatur dinaikkan?]
Sebagai tindak lanjut dari dugaan-dugaan peserta didik, selanjutnya guru menantang peserta didik dalam kelompok kecil merancang eksperimen untuk menguji hipotesis yang mereka ajukan:
[Bagaimana rancangan eksperimen untuk menguji dugaan kalian?] [variabel apa yang perlu
dimanipulasi, dan variabel apa yang dikontrol (dibuat konstan)?] Diskusikan dalam kelompok, dan kemudian ketengahkan dalam diskusi kelas nanti.
b. Pembelajaran Kimia Berbasis Inkuiri
Inkuiri (inquiry) bermakna penyelidikan secara ilmiah yang dilakukan saintis dalam upaya memahami alam dengan menggunakan keterampilan berpikir kritis, logis, dan kreatif. Pendekatan inkuiri dalam pembelajaran melibatkan peserta didik aktif dalam proses
eksplorasi fenomena alam bak seorang saintis, diawali dengan mengajukan pertanyaan atau masalah yang hendak dipecahkan, merancang prosedur dan melakukan pegumpulkan data melalu observasi dan eksperimentasi, serta menarik kesimpulan sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan (Llewellyn, 2002).
Terdapat berbagai siklus yang dikemukakan pakar sebagai langkah-langkah umum implementasi pembelajaran berbasis inkuiri. Beberapa di antaranya adalah “the 5E”: engage, explore, explain, extend/elaborate, evaluate (Bybee & Powell, 2014) dan “the 5-stages level of Inquiry”: discovery learning, interactive demonstration, inquiry lesson, inquiry
laboratory, hypothetical inquiry (Wenning, 2010). Dengan siklus apapun, pembelajaran
eksplanasi terhadap interelasi yang teridentifikasi, serta menarik generalisasi. Implementasi pembelajaran kimia berbais inkuiri mengembangkan kemampuan kognitif analisis, evaluasi, serta kreasi peserta didik. Oleh sebab itu pembelajaran berbasis inkuiri perlu menjadi
alternatif pembelajaran kimia yang mengembangkan HOTS.
c. Aplikasi Strategi Pembelajaran POE (Predict-Observe-Explain)
Predict-Observe-Explain (POE) is suatu strategi pembelajaran yang meminta peserta didik
memprediksi apa yang akan terjadi, mmengobservasi apa kenyataan yang terjadi, dan memberikan eksplanasi keakuratan atau keakuratan prediksinya (Furtak, 2009). Strategi pembelajaran ini efektif melibatkan peserta didik mengemukakan gagasannya dan
berargumentasi. Jika prediksi terjadi menunjukkan konsepsinya akurat, sedangkan jika prediksi berbeda dengan kenyataan (kontradiksi) bermakna prediksinya tidak berdasar pengetahuan yang akurat, sehingga menstimulasinya untuk mengubah konsepsinya.
Dalam implementasi POE, langkah pertama guru mengetengahkan suatu situasi dan meminta peserta didik memprediksi. Langkah selanjutnya guru mengumpulkan prediksi-prediksi peserta didik dan melakukan demosntrasi, sementara peserta didik mencatat apa yang diamatinya dan menjelaskan mengapa yang ia pikirkan terjadi/tidak terjadi. Sebagai akhir pembelajaran guru menegaskan hal-hal yang observasi dan implikasinya.
POE menstimulasi peserta didik untuk mengembangkan HOTS sebab peserta didik mempunyai pengalaman berhipotesis, mengkonstruksi gagasan yang didukung bukti, serta membuat eksplanasi terhadap fakta-fakta yang terjadi. Dengan demikian rangkaian aktivitas POE bukan hanya efektif dalam memfasilitasi proses konstruksi pengetahuan oleh peserta didik, melainkan juga mengembangkan HOTS peserta didik.
4. Asesmen HOTS
Asesmen pencapaian HOTS tidak sesuai jika dilakukan dengan cara konvensional, yakni testing yang lebih berfokus pada hafalan terhadap materi pembelajaran, atau kemampuan berjenjang rendah seperti pemecahan masalah rutin (algoritmik). Asesmen HOTS
Rujukan
Anderson, L. W., & Kratwohl, D. R. (2001). A taxonomy for teaching, learning, and assessing: A revision of Bloom’s taxonomy of educational objectives (Terjemahan A. Prihantoro). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Fensham, P. J., & Bellocchi, A. (2013). Higher order thinking in chemistry curriculum and its assessment. Journal of Chemical Education, 76, 548-554.
Furtak, E. M. (2009). Formative assessment for secondary science teachers. Thousand Oaks, CA: Corwin.
Kemdikbud (2013). Perubahan pola pikir dalam Kurikulum 2013. https://kemdikbud.go.id/kemdikbud/dokumen/
Llewellyn, D. (2002). Inquire within: Implementing inquiry-based science standards. Thousand Oaks, CA: Corwin Press.
Rajendran, N. S. (2008). Teaching and acquiring higher-order thinking skills: Theory and practice. Tanjong Malim: Penerbit Universiti Pendidikan Sultan Idris.