• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendidikan Kristiani dengan Pendekatan K

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pendidikan Kristiani dengan Pendekatan K"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Nama: Yosua Wahyu Anggoro

NIM : 01102303

PK Anak

Pendidikan Dengan Pendekatan Komunitas Iman bagi Anak di Keluarga

Dimulai dari cerita

Ketika saya masih kecil, mungkin antara kelas 1-2 SD, saya ingat pernah diberi tahu orang tua saya untuk tidak mau nurut kalau diajak pergi oleh orang asing yang tidak dikenal. Siapapun itu saya harus menolak, bahkan sekalipun mereka mengaku sebagai saudara atau teman dari papa dan mama. Suatu hari ada kabar yang membuat saya menjadi takut sekali. Teman perumahan saya mengatakan bahwa salah seorang temannya hilang di sekolah. Dia mengatakan bahwa banyak polisi yang datang ke sekolah, dan para guru beserta polisi itu sibuk mencari temannya yang hilang itu. Dari kabar yang teman saya ceritakan, temannya yang hilang itu terakhir masih terlihat di sekolah dan terlihat dijemput oleh om-om menggunakan mobil. Temannya itu seorang anak perempuan. Singkatnya, beberapa hari kemudia teman saya itu ditemukan. Namun bukan dalam keadaan sehat, tetapi dalam keadaan yang menggenaskan! Ia ditemukan berada di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dalam kondisi tewas mengenaskan. Diketahui sebelum dibunuh ia diperkosa terlebih dahulu. Kejadian itu sontak membuat banyak orangtua menjadi was-was, termasuk juga guru-guru.

Sejak saat itu dikelas kami anak-anak jadi sering diwanti-wanti untuk tidak mau ikut jika diajak pergi oleh orang asing. Peningkatan keamanan bagi anak-anak ditingkatkan, misalnya guru ikut menunggui anak-anak sampai mereka sudah pulang semua. Namun nasihat-nasihat dan pengawasan seperti itu tidak saya rasakan ketika saya ikut Sekolah Minggu di gereja. Sejauh yang saya ingat di gereja tidak pernah diberitahu mengenai hal seperti itu. Hal yang saya ingat dari Sekolah Minggu hanyalah cerita-cerita Alkitab dan lagu-lagu gereja. Nasihat seperti itu pertama kali justru saya dapat dirumah, dari orang tua saya. Belakangan saya duga mungkin jika tidak ada kasus penculikan seperti diatas, di sekolah pun kami tidak akan diberi nasihat dan ajaran serta pengawasan seperti itu.

Cerita saya diatas menunjukkan betapa keluarga memiliki peran positif bagi perkembangan anak. Jika orangtua saya sejak awal tidak menasihati saya, dan orang asing yang ada itu justru datang kepada saya, maka jalan hidup saya bisa saja berubah. Disinilah orangtua saya tidak hanya memberi sebuah nasihat, tetapi juga sebuah didikan kepada saja. Didikan yang (ternyata) mempersiapkan saya untuk menghadapi dunia luar. Ini merupakan contoh kecil dari pengaruh positif didalam keluarga.

(2)

pembunuhan seperti yang terjadi dalam cerita diatas, dapat pula terjadi didalam keluarga: orangtua memperkosa dan menghamili anak sendiri, orangtua membunuh anak atau anak membunuh orangtua, dan lain-lain. Berita seperti ini banyak sekali terdapat di media. Ketika saya mencoba searching di Google misalnya, dengan memasukkan kata “Ayah memperkosa anak kandung dibawah umur” terdapat 101.000 hasil, baik kasus yang baru-baru ini terjadi maupun yang sudah lama terjadi. Hal ini menunjukkan betapa kasus seperti itu bukanlah hal yang asing dan sangat jarang terjadi. Ini adalah hal konkret yang menjadi ancaman bagi anak, dan inilah realitas yang dihadapi anak.

Dari sinilah timbul pertanyaan, jika keluarga sebagai tempat terdekat saja dapat membawa dampak negatif seperti itu, apa yang dapat dilakukan keluarga? Apa yang dapat dilakukan orang tua dalam menunjukkan tanggung jawabnya bagi perkembangan anak ke arah yang positif? Perkembangan anak itu holistic, tidak hanya fisik, tetapi juga psikis bahkan iman. Dalam hal ini apa yang dapat diberikan oleh keluarga kepada perkembangan anak itu, terutama dalam kaitannya dengan pendidikan kristiani dirumah. Di paper inilah saya akan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan yang datang dari realitas yang ada tersebut. Saya akan mencoba mengawali dengan membahas apa itu sebenarnya keluarga? Lalu saya akan membahas mengenai salah satu pendekatan kristiani, yaitu pendekatan Komunitas Iman. Pendekatan ini pada dasarnya menunjang bagi kehidupan bergereja (berjemaat). Ini sudah pasti karena pendekatan ini (dan juga pendekatan-pendekatan lain) memang paling lazim diterapkan untuk menunjang Pendidikan Kristiani di gereja. Lantas jika begitu, bagaimana keluarga sebagai lingkup yang paling kecil ini dapat menjadi sebuah komunitas iman? Disini lah kita akan melihat bagaimana jika penerapan pendekatan ini di dalam keluarga. Apa saja yang dapat dilakukan oleh keluarga sebagai sebuah Komunitas Iman bagi anak.

Apa itu Keluarga?

Ada banyak sekali definisi keluarga. Mulai dari yang “resmi” seperti KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), atau versi Departemen Kesehatan (DepKes), maupun definisi yang dikeluarkan oleh para ahli. Menurut KBBI1 yang dimaksud dengan keluarga ada beberapa macam, (1) ibu dan bapak beserta anak-anaknya; atau seisi rumah, (2) orang seisi rumah yang menjadi tanggungan, (3) sanak saudara; kaum kerabat, (4) satuan kekerabatan yang mendasar didalam masyarakat. Selain itu ada juga pengertian keluarga batih, yaitu keluarga yang terdiri atas suami dan/atau istri dan anak. Sedangkan menurut DepKes RI tahun 19982 pengertian keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan.

Keluarga ini dilihat dari definisinya merupakan tempat atau lingkungan terdekat dimana anak itu tumbuh dan berkembang. Bronfenbrenner3 dalam teori ekologinya memasukkan keluarga

1 Ini diambil dari http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php akses tanggal 26 Mei

2012

2 Dapat dilihat dibanyak literature, salah satunya di

http://www.scribd.com/doc/24864749/Pengertian-Keluarga akses tanggal 26 Mei 2012

3 Ini saya lihat dari tulisan Fidelis Waruwu, ”Tayangan Kekerasan di Televisi dan

Dampaknya pada Anak”, dalam Singgih Gunarsa (ed), Dari Anak Sampai Usia Lanjut,

(3)

didalam lingkup Mikrosistem, yaitu setting dimana didalamnya anak ini hidup. Bagian mikrosistem ini penting bagi peletakan dasar kepribadian anak. Ia juga menambahkan bahwa di keluarga inilah, anak mempunyai kemampuan untuk menyerap nilai-nilai yang diperlihatkan oleh anggota keluarganya, baik dari cara berbicara maupun cara berperilaku. Hal yang disebut terakhir ini ini dekat dengan teori Psikoanalisis Freud4, yang didalamnya ada membahas mengenai indentifikasi. Identifikasi ini merupakan cara yang dilakukan seseorang (dalam hal ini anak) untuk mengambil alih cirri-ciri orang lain dan menjadikannya bagian yang terintegrasi dari kepribadiannya. Tokoh yang paling lazim dijadikan titik identifikasi adalah orang tua. Meskipun ada juga tokoh-tokoh lain, namun yang pasti adalah tokoh-tokoh itu itu pasti berada dilingkungan yang dekat dengan kehidupan anak. Identifikasi ini tidak hanya sekedar meniru (imitasi) namun terjadi proses pemerolehan (acquisition) yang kurang lebih bersifat permanen pada kepribadian. Identifikasi ini berlangsung secara tidak sadar.

Dari definisi yang ada ini, saya memulai dari pengertian menurut KBBI nomor (4) yaitu bahwa keluarga adalah kekerabatan yang mendasar didalam masyarakat. Dari sini saya mengambil pengertian menurut DepKes yaitu bahwa didalam keluarga ini terdapat kepala keluarga dan beberapa orang yang tinggal satu atap dalam keadaan saling ketergantungan. Dalam hal ini, menurut saya yang dimaksud kepala keluarga adalah orang tua. Selain itu dari Teori Bronfenbrenner dan Freud tadi terlihat bahwa didalam keluarga itu ada hal saling mempengaruhi satu sama lain. Sehingga secara sederhana unsur-unsur yang terdapat dalam keluarga adalah: Orang tua, anak, tinggal satu atap, saling mempengaruhi, dan adanya rasa saling ketergantungan. Sehingga definisi keluarga yang saya angkat dalam paper ini adalah

kekerabatan yang mendasar di dalam masyarakat yang terdiri atas orangtua dan anak(-anak) yang tinggal satu atap yang memiliki rasa saling ketergantungan dan saling mempengaruhi satu sama lain. Orangtua ini tidak harus ayah ibu lengkap atau orangtua kandung. Bisa ayah saja atau ibu saja baik kandung maupun tiri, atau juga anak yang tinggal jauh dari ayah ibu nya namun di tempat tinggalnya terdapat orang tua, semisal tante, om, dan sebagainya. Penting untuk diketahui disini adalah bahwa pengertian ini adalah pengertian yang dapat menunjang untuk pembahasan mengenai komunitas iman nanti. Sehingga dalam beberapa hal, ada hal-hal yang berada diluar jangkauan pembahasan paper ini, seperti anak-anak yang hidup sendiri tanpa adanya orang tua.

Pendekatan Komunitas Iman

Pendekatan ini lahir di Amerika karena kebutuhan atas komunitas, mengingat disana sifat individualisme sangat tinggi. Dua sumber yang menjadi acuannya ialah teologi pembebasan dari Amerika Latin yang mengembangkan BEC (Basic Eccclesial Comunities) atau juga dikenal sebagai Komunitas Basis dan teologi penciptaan yang menawarkan pandangan baru tentang kosmologi. Teologi Pembebasan sangat menekankan akan Allah sebagai pembebas yang membebaskan orang-orang tertindas. Komunitas Basis yang berkembang juga dapat dilihat dari kegiatan mereka yang meliputi pertemuan seminggu sekali. Dimana dalam pertemuan itu mereka membaca Injil, melakukan sharing, berdoa, melakukan refleksi atas

(4)

realitas kehidupan, dan merencanakan masa depan bagi kehidupan mereka. Disini mereka terdidik tidak hanya secara religius, tetapi juga sekular.5

Tujuan dari Pendekatan Komunitas Iman ini adalah membangun komunitas yang mempromosikan perkembangan manusia yang otentik dan membantu orang-orang itu membentuk komunitas.6 Akan tetapi komunitas disini tidak sekedar perkumpulan orang-orang semata. Ada suatu kata kunci di dalam komunitas, yaitu “saling”. Harus ada “kesalingan” didalam komunitas, misalnya saling mengenal, saling membantu, dan sebagainya. Komunitas Iman ini tidak membina pribadi-pribadi supaya menjadi sama, namun supaya semua individu berkembang sesuai dengan kepribadian masing-masing. Sehingga tanggung jawab individu tidak hilang dan tetap dihargai. Didalam Komunitas Iman ini orang-orang merefleksikan kehidupan mereka dalam terang Kitab Suci. Mereka juga menarik relevansi atas kehidupan sesuai dengan Teks. Jadi mereka mendialogkan antara Teks dan konteks. Dapat digambarkan sebagai berikut:

Relevansi

Dialog

Disini guru merupakan pemimpin yang memfasilitasi kelompok-kelompok kecil dan menolong jemaat untuk membentuk kehidupan berjemaat dan misi. Pemimpin bertugas untuk membantu melahirkan kesadaran orang-orang dalam realita mereka dan memfasilitasi interpretasi antara pengalaman masa kini dengan tradisi iman atau juga dengan teks Kitab Suci. Sedangkan naradidik adalah orang-orang dan juga komunitas iman itu sendiri.7 Proses pendidikan berlangsung dengan Pelayanan (kaki atau tangan), Refleksi (kepala), dan Aksi (hati). Ketiganya berlangsung dalam proses yang dinamis dan seimbang. Melalui Pelayanan kita belajar mengenai panggilan kita di dunia; melalui Refleksi kita menjadi tahu identitas kita; dan melalui Aksi kita belajar mengenai relasi kita dengan Tuhan, orang lain, dan ciptaan.8

Implikasinya bagi pelayanan yakni dengan membantu kelompok-kelompok dan gereja untuk menjadi komunitas dan menjangkau dunia. Disini juga diharapkan terjadi pola Think Globally Act Locally. Maksudnya adalah bahwa Komunitas Iman ini memiliki wawasan yang luas namun tetap beraksi dan memberi dampak lokal. Selain itu juga ada pola Think Locally Act Globally, dimana Komunitas Iman ini diharapkan mampu berfikir sesuai konteks lokal namun dapat memberi dampak secara global.

Keluarga Sebagai Sebuah Komunitas (yang Mendukung Perkembangan) Iman (Anak)

Melihat pengertian keluarga dan penjelasan pendekatan Komunitas Iman seperti yang telah disebut diatas dapat terlihat adanya persamaan. Yaitu terdapatnya kata “saling”. Dari sinilah dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya keluarga itu sendiri sejak mulanya adalah sebuah

5 Jack.L. Seymour, Mapping Christian Education, Nashville: Abingdon Press, 1997, hal.

46-47

6 Seymour.Mapping, hal. 21 7 Seymour.Mapping, hal. 48-49 8 Seymour.Mapping, hal. 53

(5)

komunitas. Namun komunitas yang diharapkan disini adalah komunitas yang mampu mendukung perkembangan iman anak. Terutama dalam membentuk dasar-dasar iman yang kokoh bagi anak dalam menghadapi realitas yang ia hadapi diluar.

Berawal dari orang tua. Orang tua dalam hal ini adalah guru yang merupakan pemimpin yang memfasilitasi anak-anak dalam membentuk kehidupannya. Dalam hal ini membentuk kehidupan anak adalah memfasilitasi anak agar dapat berkembang sesuai dengan kepribadiannya. Untuk menunjang hal ini, sudah selayaknya orangtua mengetahui tahap-tahap perkembangan yang ada pada anak. Sehingga orang tua dalam memfasilitasi perkembangan anaknya itu dapat melakukannya dengan tepat sesuai kategori usia anak. Secara sederhana kategori usia ini dapat dibagi 3, yaitu untuk anak dibawah 6 tahun (pra SD), 6-9 tahun (1-3 SD), dan 9-12 tahun (4-6 SD).9 Untuk anak dibawah 6 tahun mereka belum mampu berfikir abstrak dan logis. Mereka bisa mampu berimajinasi, namun imajinasi mereka masih terbatas pada hal-hal konkret. Anak usia 6-9 tahun perkembangan kognitif mereka sudah lebih berkembang, dan pertanyaan yang mereka ajukan sudah mulai lebih dalam. Anak usia 9-12 tahun sudah berada pada masa transisi menuju remaja. Aspek kognitif, afektif, bahkan sosial mereka sudah mengalami perkembangan. Jika bertanya, mereka sudah memikirkan mengenai hubungan sebab-akibat. Dengan mengetahui cirri-ciri anak pada usia tertentu seperti ini, orang tua dapat melakukan hal yang tepat untuk memfasilitasi anak.

Yang kedua yang perlu diperhatikan adalah, orang tua meskipun adalah fasilitator, namun tidak boleh dilupakan bahwa orang tua juga merupakan contoh model atau tokoh dimana anak menjadikannya sebagai acuan identifikasi diri. Sehingga untuk banyak hal, orang tua perlu memperhatikan tindakannya. Ini penting mengingat saat ini banyak sekali orang tua yang tidak mampu memberi contoh teladan yang baik bagi anak-anaknya. Inilah yang disebut Ibrahim sebagai sebuah “Krisis Keteladanan”.10 Contoh yang diberikan melalui keteladanan ini terkesan sederhana, namun sesungguhnya penting dan sulit untuk dilakukan. Lebih jauh Ibrahim mengatakann bahwa saat ini anak telah kehilangan “pusat contoh” karena nyaris sudah tidak ada lagi tokoh yang mampu menjadi teladan, termasuk figur-figur atau tokoh-tokoh publik. Melihat pentingnya keteladanan ini, maka orangtua selaku fasilitator dapat berangkat dari kesadaran bahwa mereka merupakan sosok teladan bagi anak. Sehingga dalam hal ini, apakah itu buruk ataupun baik, itu dapat memberi contoh bahkan menjadi dasar bagi perkembangan anak-anak. Penggunaan kekerasan baik fisik maupun verbal sudah selayaknya dihindari dan tidak dilakukan.

Selain hal-hal ini, masih ada hal lain yang perlu diperhatikan orangtua. Hughes misalnya menawarkan beberapa cara dalam hal ini.11 Dalam kaitannya dengan pendekatan Komunitas Iman maka yang dapat dilakukan adalah, selain mengetahui perkembangan anak menurut

9 Tidak semua ahli berpendapat seperti ini, ini hanya pembagian yang lazim saja. Piaget

misalnya, dalam teori Perkembangan Kognitifnya ia hanya sampai pada anak usia 11 tahun.

10 Lihat Idy Subandy Ibrahim, Budaya Populer Sebagai Komunikasi, Yogyakarta: Jalasutra,

2007, hal. 306

(6)

usia, juga perlu diperhatikan mengenai membangun komunikasi dengan anak. Orangtua harus mampu memberi kemampuan terbaiknya dalam mendengar, berkomunikasi, dan menyelesaikan masalah. Ini akan sangat bergunan selama proses pendidikan di komunitas iman: pelayanan, refleksi, aksi. Orang tua perlu menciptakan hubungan keluarga yang memiliki rasa saling menghormati, bekerjasama, dan penerimaan akan tanggung jawab. Dan yang tidak boleh dilupakan oleh orangtua adalah orangtua perlu merefleksikan kembali mengenai gaya didikan yang ia lakukan.

Didalam Komunitas Iman tersebut guru atau orangtua memiliki tugas untuk melahirkan kesadaran orang-orang dalam realita mereka. Dalam hal ini orangtua dapat melakukan hal yang sama kepada anak. Anak perlu ditunjukkan mengenai realitas yang ada disekitarnya. Misalnya seperti banyaknya penculikan yang dilakukan kepada anak-anak, atau masih banyak anak seumuran mereka yang hidup susah dan sudah harus bekerja untuk dapat bertahan hidup. Dalam hal itu orang tua dapat menolong anak untuk melakukan interpretasi antara realitas itu dengan teks-teks Kitab Suci. Interpretasi yang dimaksud disini tentu saja sesuai dengan kemampuan kognitif anak. Misalnya dimulai dari realitas mengenai anak-anak terlantar atau anak-anak jalanan. Orang tua dapat memancing anak untuk melihat pendapatnya mengenai anak-anak jalanan itu. “Apa yang kamu pikirkan tentang anak-anak terlantar?” Anak bisa saja menjawab, “Kotor! Bau! Miskin, kasihan, perlu ditolong” dan lain sebagainya. Dalam hal ini orangtua tidak boleh menyalahkan anak, apapun jawabannya. Dalam hal ini yang perlu orang tua lakukan hanyalah kembali bertanya dari jawaban anak itu, “mengapa kamu berfikir demikian?” Setelah anak memberikan berbagai macam jawabannya, orang tua sekali lagi dapat mengajukan pertanyaan seperti “Kamu mau ngga berteman dengan mereka?” Jawabannya bisa iya maupun tidak. Dalam hal ini orang tua lalu dapat melanjutkan pembicaraan dengan memberi contoh mengenai kisah Yesus yang sayang kepada semua anak-anak. Yesus memanggil semua anak-anak untuk datang kepadanya, dan Ia mau menerima mereka semua. Perlu ditunjukkan bahwa Yesus dalam hal ini adalah contoh teladan yang baik, dan anak-anak dapat menjadikan Yesus sebagai teladan hidupnya. Pertanyaan dapat berlanjut menjadi “Apa kamu mau menjadi seperti Tuhan Yesus yang sayang kepada semua orang?” Anak-anak dalam hal ini biasanya akan senang sekali untuk menjadikan dirinya menjadi seperti tokoh yang diteladaninya.

Proses Pendidikan

(7)

merayakan ulang tahunnya mengundang anak-anak jalanan atau anak-anak dari panti asuhan. Itu dapat menjadi bagian dari pelayanan, tapi pelayanan yang diharapkan adalah yang keluar. Dimana anak diajak untuk melihat keluar langsung kepada realitas yang ada. Sehingga tidak ada salahnya orang tua mengajak anak untuk berkunjung ke tempat dimana realitas yang ada itu hidup. Dalam hal anak-anak terlantar itu, orang tua dapat membawa anaknya ketempat mereka berada, dan biarkan anaknya bermain dengan mereka. Bahkan mungkin ikut melakukan kegiatan yang mereka lakukan. Hal seperti inilah bentuk pelayanan yang dapat dilakukan oleh anak-anak. Karena pelayanan tidaklah melulu memberi dana, atau properti, dan sebagainya. Jika terlalu sulit untuk pergi hanya dibatas keluarga, orang tua dapat bekerjasama dengan gereja atau orang tua-orang tua lain untuk melakukan hal demikian. Namun disini memiliki konsekuensi penolakan. Namun pro dan kontra merupakan sesuatu yang lumrah. Sehingga jika tidak ingin tergantung pada orang lain, orang tua harus mampu membuat keputusan sendiri. Yang pasti adalah pelayanan ini perlu untuk dilakukan, karena jika hanya sebatas bahwa anak mengetahui realitasnya dan ia tidak melakukan apa-apa, maka itu tidak ada artinya.

Selanjutnya adalah refleksi. Sebelum masuk ke apa-apa saja yang dapat dilakukan selama refleksi, ada baiknya mencari tahu kapan dan dimana saat yang tepat untuk melakukan hal ini. Jacobson dalam hal ini memberi sara mengenai waktu yang tepat untuk melakukan hal ini, yaitu pada saat makan malam bersama atau saat sebelum tidur.12 Makan malam dipilih karena biasanya pada saat itulah keluarga berkumpul untuk makan bersama. Sedangkan waktu sebelum tidur berangkat dari konteksnya dimana sebelum tidur biasanya seorang anak diceritakan cerita terlebih dahulu. Sebenarnya kapanpun waktunya, yang terpenting adalah pada saat itu orang tua dan anak berada dalam kondisi siap untuk menjalin komunikasi satu sama lain, tidak terganggu oleh hal-hal diluar apa yang akan direfleksikan, dan memiliki waktu yang cukup. Setelah menemukan waktu yang tepat refleksi dapat dimulai dengan percakapan ringan, “Gimana kemarin rasanya bermain dengan teman-teman disana?” Anak akan memberikan jawaban yang beraneka ragam. Bisa senang, tidak suka, atau biasa saja. Yang perlu diangkat oleh orang tua adalah bukan untuk “memaksa” anak agar senang berada dekat mereka, namun yang terpenting adalah anak sudah melihat bahkan merasakan langsung mengenai realitas yang ada di sekitar mereka. Lalu orang tua dapat melanjutkan percakapan seperti “Kamu kan sudah melihat keadaan mereka gimana. Dan kemarin kita juga sudah tahu kalau Tuhan Yesus itu mau terbuka untuk menolong semua orang. Kira-kira apa yang dapat kamu lakukan untuk menolong mereka?” Jawaban bisa bermacam-macam, namun bisa juga anak hanya diam. Apapun jawabannya itu memiliki konsekuensi untuk melanjutkan aksi yang dilakukan.

Memasuki aksi, ada beberapa hal yang dapat dilakukan. Misalnya “kunjungan” ke tempat anak-anak itu menjadi sesuatu yang sifatnya rutin. Atau dalam berdoa misalnya, anak yang telah diajar untuk berdoa setiap hari tidak lupa untuk mendoakan anak-anak terlantar itu. Atau juga anak dapat menceritakan pengalamannya kepada teman-temannya bahkan mengajak mereka sehingga aksi yang dilakukan dapat melibatkan lebih banyak orang. Jika

12 Dapat dilihat di Carol Jacobson, “Let the Littlle Children Come: Teaching the Bible with

(8)

anak ini sudah berhasil mengajak teman-temannya untuk ikutn melakukan aksi ini, maka sudah pasti ini akan menarik perhatian setiap orang, termasuk orang-orang dewasa. Dalam hal ini bahkan anak-anak itu dapat menjadi contoh bagi orang-orang dewasa, dan menjadi “penyulut api” pelayanan pada orang tua. Sehingga akhirnya para orangtua pun dapat melakukan aksi pelayanan sesuai tahap kemampuan mereka. Jika sudah seperti ini, maka tugas orang tua selaku fasilitator pun sudah berjalan dengan baik.

Penutup

Kita sudah melihat bahwa anak pun sesungguhnya sudah memiliki kemampuan untuk melakukan pelayanan keluar. Pelayanan yang ia lakukan bahkan dapat memancing dan mengetuk hati orang-orang dewasa untuk melakukan hal yang demikian. Anak pun dapat menjadi teladan. Dalam hal yang ideal seperti ini, implikasi dari pendekatan Komunitas Iman bagi pelayanan untuk membantu kelompok-kelompok dan gereja untuk menjadi komunitas dan menjangkau dunia pun dapat terwujud. Dan semua ini dapat terjadi melalui satu sosok yang (dianggap) kecil: Anak.

Daftar Pustaka

Hughes, Mary.“Family Ministry”. Dalam Krych, Margaret (Ed.), The Ministry of Children’s Education: Foundations, Contexts, and Practices. Minneapolis: Fortress Press, 2004,

Ibrahim, Idy Subandy.Budaya Populer Sebagai Komunikasi, Yogyakarta: Jalasutra, 2007

Jacobson, Carol .“Let the Littlle Children Come: Teaching the Bible with Children”. Dalam Krych, Margaret (Ed.), The Ministry of Children’s Education: Foundations, Contexts, and Practices. Minneapolis: Fortress Press, 2004

Seymour, Jack L. (ed).Mapping Christian Education: Approaches to Congregational Learning. Nashville: Abingdon Press, 1997.

Waruwu, Fidelis.”Tayangan Kekerasan di Televisi dan Dampaknya pada Anak”, dalam Gunarsa, Singgih (ed), Dari Anak Sampai Usia Lanjut, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006

Online

http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php akses tanggal 26 Mei 2012

Referensi

Dokumen terkait

Namun dari hasil surveilans angka tersebut mengalami peningkatan dari bulan April ke Mei yaitu dari 0,09% menjadi 0,15% dan dengan sudah dilaksanakan edukasi mengenai hand hygiene,

Soal UTS Bahasa Inggris SMP Semester Genap Tahun Ajaran 2017/2018 Kelas VIII Read the text below carefully and choose the answer between A, B, C, D, or E.. Text below is for

 Kriteria hasil: mendemonstrasikan batuk efektif, dan suara nafas bersih, tidak ada sianosis dan dispnea, menunjukan jalan nafas yang patenc.

Sesuai dengan tujuan dalam penelitian ini yaitu untuk mengetahui kemampuan pembelajaran inquiry mulai dari merumuskan masalah, memecahkan masalah, dan menyimpulkan

yang diperoleh dari hasil pengembang Memahami bahwa kritik yang an rasa keadilan individu menjadi dilancarkan oleh madzab yang keadilan yang dapat diterima dan

Struktur hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah kabupaten sambas perlu di analisis karena hasil perhitungannya dapat dijadikan sebagai indikator

Penilaian diri berperan penting bersamaan dengan bergesernya pusat pembelajaran dari guru ke peserta didik yang didasarkan pada konsep belajar mandiri (autonomous learning).

PROGRAM ALGORITMA CONTOH SEDERHANA.. Probabilitas pindah silang dan probabilitas mutasi bernilai tetap % 7.. Mutasi']); disp(['Jumlah maksimum individu yang dievaluasi adalah