• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Efektivitas Terapi Topikal Terhadap Proses Penyembuhan Luka Kronis di Asri Wound Care Centre Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Efektivitas Terapi Topikal Terhadap Proses Penyembuhan Luka Kronis di Asri Wound Care Centre Medan"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi Topikal

Obat topikal merupakan salah satu bentuk obat yang sering digunakan

dalam terapi dermatologi. Kata topikal berasal dari bahasa Yunani topikos yang

memiliki arti berkaitan dengan daerah permukaan tertentu. Dalam literatur

lainnya, kata topikal berasal dari kata topos yang berarti lokasi atau tempat. Dan

secara luas obat topikal didefenisikan sebagai obat yang digunakan di tempat lesi.

Obat topikal adalah obat yang mengandung dua komponen dasar yaitu zat

pembawa (vehikulum) dan zat aktif. Zat aktif merupakan komponen bahan topikal

yang memiliki efek teraupetik, sedangkan zat pembawa adalah bagian inaktif dari

sediaan topikal yang dapat berbentuk cair atau padat yang membawa bahan aktif

berkontak dengan kulit. ( Yanhendri & Yenny, 2012).

Ada banyak pilihan terapi topikal dengan berbagai macam jenis dan produk,

akan tetapi tingkat efektivitas dalam proses penyembuhannya akan berbeda.

Kecermatan dalam memilih bentuk sediaan obat topikal sesuai dengan kondisi

kelainan kulit diperlukan, karena merupakan salah satu faktor yang berperan

dalam keberhasilan terapi topikal disamping faktor lain seperti : konsentrasi zat

aktif obat, efek fisika dan kimia, cara pemakaian, lama penggunaan obat agar

diperoleh efikasi maksimal dengan efek samping minimal. (Yanhendri & Yenny,

(2)

2. Terapi Topikal Metcovazin

Metcovazin merupakan terapi topikal yang terbuat dari zinc, nistatin, dan

metronidazole berupa racikan yang telah diuji coba sebelumnya di rumah sakit

kanker ‘’Dharmais’’ dan home nursing Wocare Center ( Buku panduan pelatihan

perawatan luka, 2012). Kandungan yang terdapat dalam metcovazin ini adalah

metronidazole, nyistatin, zink dan bahan pencampur lainya, sehingga terapi

topikal ini dikontraindikasikan pada pasien yang alergi dengan zink, nyistatin,

metronidazole dan radio terapi (Gitarja dalam Handayani, 2010).

Terapi topikal metcovazin merupakan nama merk terdaftar a.n Widasari Sri

Gitarja, SKp,.RN,. WOC(ET)N sebagai penemu dari formula metcovazin yang

sudah didaftarkan di Lembaga Hak Atas Kekayaan Intelektual, Departemen

Kehakiman sebagai nama dari terapi topikal yang digunakan dalam melakukan

perawatan luka. Sediaan terapi topikal dibuat dalam bentuk ointment jenis creams

atau salep, dengan warna putih, oranye sampai kekuningan dan memiliki bahan

aktif yaitu metronidazole. Terapi topikal metcovazin memiliki sifat

mempertahankan kelembaban luka sehingga permukaan luka tetap pada

lingkungan optimal (moist wound healing). Sehingga terapi topikal ini mampu

mengatasi infeksi bakteri dan jamur.(Tim perawatan luka di Wocare Clinic, 2013).

Sejak Wocare Clinic berdiri, metcovazin langsung digunakan dalam praktik

perawatan luka. Dan sudah 16 tahun lebih atau sejak tahun 1998 terapi topikal

metcovazin sudah digunakan oleh perawat luka bersertifikasi dan sudah

mendapatkan pelatihan perawatan luka. Terapi topikal ini digunakan untuk

(3)

luka diabetes, luka bakar, dan luka akut maupun kronis. Terapi topikal ini secara

selektif mampu membunuh bakteri anaerob, jamur, dan protozoa. Selain itu dapat

mengurangi bau tidak sedap pada perawatan luka kanker serta dapat mencegah

perdarahan terutama pada saat mengganti balutan karena tidak menyebabkan

balutan menjadi kering, mempertahankan kelembaban pada luka, dan

mempersiapkan dasar luka kuning, hitam menjadi merah dalam proses peluruhan

jaringan oleh tubuh.(Tim perawatan luka di Wocare Clinic, 2013).

Ada banyak alasan mengapa metcovazin mampu mempercepat proses

penyembuhan luka, salah satunya karena dapat mempertahankan kelembaban

pada perawatan luka. Adanya kelembaban pada luka, secara otomatis tubuh akan

mempercepat terjadinya proses fibrinolisis oleh sel netrofil dan sel endotel akan

mengilangkan benang-benang fibrin secara cepat. Selanjutnya akan mempercepat

proses angiogenesis atau pembentukan pembuluh darah baru di dalam luka kronis

tersebut. Pada suasana lembab, tubuh akan mempercepat pembentukan sel aktif

dan akan mempengaruhi adanya invasi netrofil yang diikuti oleh makrofagh,

monosit dan limfosit langsung menuju luka tersebut. Dan yang terakhir adalah

pembentukan growth factor akan lebih cepat terjadi juga dalam moisture balance

luka yang seimbang kelembabanya. EGF, FGF dan interleukin akan dikeluarkan

oleh makrofagh untuk proses angiogenesis dan pembentukan struktur Korneum.

Sedangkan Platelet Drived Growth Factor (PDGF) dan Transforming Growth

Factor-Beta (TGF-Beta) akan dibentuk oleh platelet untuk proliferation

(4)

Ada beberapa fungsi dan jenis terapi topikal metcovazin menurut (Buku

panduan pelatihan perawatan luka, 2012)

a. Berfungsi untuk support autolysis debridement (melunakan jaringan

nekrosis/mempersiapkan dasar luka)

b. Menghindari trauma saat membuka balutan.

c. Mengurangi bau tidak sedap.

d. Mempertahankan suasana lembab.

e. Support granulasi (membantu membentuk jaringan granulasi)

Adapun jenis terapi topikal metcovazin terdiri dari tiga jenis :

1. Metcovazin Reguler : digunakan untuk semua warna dasar luka yang tidak

terdapat infeksi.

2. Metcovazin Gold : digunakan untuk warna dasar luka kuning yang

menandakan adanya infeksi.

3. Metcovazin Red : digunakan untuk warna dasar merah support granulasi.

3. Kontraindikasi Terapi Topikal Metcovazin

Terapi ini memiliki respon hipersensitifitas terhadap zink oxide,

metronidazole, dan nistatin dan pada kasus perawatan luka dengan terapi radiasi

tidak diizinkan, karena salep ini mengandung zinc yang dapat mengganggu

aktivitas pengobatan yang mengganggu aktifitas pengobatan yang menggunakan

(5)

3.1. Dosis dan Cara Pemakaian Metcovazin

Penggunaan salep ini tergantung dari stadium luka (derajat luka) dan

besarnya luka. Cara pemakaianya sangat mudah karena hanya mengoleskan salep

pada luka sesuai stadium luka. .(Tim perawatan luka di Wocare Clinic, 2013).

1. Stadium 1 adalah suatu kondisi dimana permukaan kulit masih utuh, tetapi

mulai terlihat kemerahan dan rasa tidak nyaman. Salep dapat dioleskan ke

permukaan kulit secara merata seluas area yang terluka.

2. Stadium 2 adalah suatu kondisi dimana terdapat lecet atau perlukaan.

Setelah luka dibersihkan dan dikeringkan, salep dapat dioleskan ke

permukaan kulit yang terluka dan kemudian di tutup dengan balutan. Atau

jika menghitam pada permukaan kulit juga di oleskan pada permukaannya.

3. Stadium 3 adalah suatu kondisi dimana kulit mendapat perlukaan yang

dalam sehingga terlihat lebih cekung dan berongga tetapi belum terlihat

otot atau tulang. Setelah luka dibersihkan, salep dapat dimasukan ke dalam

untuk mengisi cekungan atau rongga dan kemudian ditutup dengan balutan

untuk menjaga kelembaban luka dan mempercepat proses penyembuhan

luka.

4. Stadium 4 adalah suatu kondisi dimana kulit mengalami perlukaan yang

lebih cekung dan berongga hingga terlihat otot dan tulang. Setelah luka

dibersihkan, salep dapat dimasukan ke dalam cekungan atau rongga

kemudian ditutup dengan balutan untuk tetap menjaga kelembaban luka

(6)

Metcovazin sebagai salah satu terapi topikal yang memiliki beberapa

keunggulan yaitu berfungsi untuk support autolysis debridement dalam

mempersiapkan dasar luka berwarna merah, menghindari trauma saat membuka

balutan, dan mengurangi bau tidak sedap. Serta dapat digunakan untuk semua

jenis luka dan semua derajat (tingkat kedalaman) luka.(Gitarja dalam Handayani,

2010). Dari studi literatur tersebut, dijelaskan bahwa terapi topikal metcovazin

memiliki kegunaan dan manfaat yang besar terhadap proses penyembuhan luka

kronik khususnya luka dengan adanya infeksi.

Infeksi merupakan salah satu faktor yang dapat menghambat proses

penyembuhan luka kronis tersebut. Sehingga luka yang bersifat akut dapat

berubah menjadi luka kronik atau luka yang lama proses penyembuhannya.

Adapun perbandingan infeksi yang terjadi antara perawatan luka dengan suasana

lembab (moisture balance) hasilnya akan lebih baik dari pada perawatan luka

dengan suasana kering yaitu (2,6 % - 7,2 %). Untuk mendukung agar luka tetap

dalam keadaan lembab, maka dibutuhkanlah terapi topikal tepat guna dan dengan

balutan (wound dreassing) yang mampu mempertahankan konsep lembab.

Fenomena ini disebabkan karena terapi topikal metcovazin memiliki kemampuan

dalam menjaga kelembaban luka yang seimbang (moisture balance).Dan konsep

lembab merupakan salah satu metode yang digunakan untuk mempercepat proses

penyembuhan luka yaitu metode perawatan luka dengan metode perawatan luka

(7)

4. Konsep luka

Luka dilihat dari waktu penyembuhanya dibagi atas dua jenis yaitu luka

akut (luka yang sesuai dengan proses penyembuhan) dan luka kronis (luka yang

mengalami kegagalan dalam proses penyembuhan).(Buku panduan perawatan

luka, 2012).

Luka merupakan suatu kerusakan yang abnormal pada kulit yang

menghasilkan kematian dan kerusakan sel-sel kulit (Wijaya, 2011). Luka adalah

kerusakan jaringan kulit atau gangguan integritas kulit yang disebabkan karena

banyak hal, diantaranya gesekan, suhu, infeksi dan lain-lain.(Arisanty, 2012).

Luka adalah rusaknya struktur dan fungsi anatomis kulit normal akibat

proses patologis yang berasal dari internal dan eksternal dan mengenai organ

tertentu (Potter & Perry, 2006). Luka adalah gangguan integritas kulit yang

disebabkan karena banyak hal, diantaranya gesekan, tekanan suhu, dan infeksi.

Dalam bahasa inggris luka dikenal dengan banyak kata diantaranya wound, ulcer,

lesion, skin tears, sore, dan dalam bahasa Indonesia dikenal dengan kata luka,

borok, koreng, dekubitus. Semua kata yang digunakan memiliki satu arti yaitu

kerusakan jaringan kulit atau gangguan integritas kulit.

5. Konsep Luka Kronis

Berdasarkan waktu atau lamanya proses penyembuhan luka, luka

diklasifikasikan menjadi luka akut dan luka kronis. Luka kronis adalah luka yang

mengalami kegagalan dalam proses penyembuhan luka atau luka yang tidak

(8)

hingga menahun. Hal ini disebabkan karena adanya faktor penyulit yang

menghambat proses penyembuhan luka sehingga luka sulit sembuh. Dan

seringnya luka kronis disebabkan karena adanya penyakit penyerta (penyakit gula,

penyumbatan pembuluh darah arteri, permasalahan pembuluh darah vena, dan

imobilisasi ). (Arisanty, 2012).

Menurut Arisanty, (2012) jenis luka akut (luka baru) diantaranya luka

operasi, luka kecelakaan, dan luka bakar, jika penanganan dilakukan dengan baik

maka luka kronis tidak akan jatuh menjadi luka kronis (luka yang sulit sembuh).

Contoh luka akut adalah luka operasi yang akan sembuh sesuai dengan fase

penyembuhan normal adalah kurang dari 21 hari luka akan menutup, atau luka

bakar yang sembuh selama perawatan 21 hari. Luka dikatakan luka kronis jika

proses penyembuhannya memanjang dan tidak sesuai dengan fisiologis waktu

penyembuhan luka, misalnya luka baru yang mengalami proses inflamasi hingga

5 hari, jika ditemukan tanda-tanda inflamasi pada hari ke-7 kemungkinan bukan

lagi inflamasi namun infeksi, dan ini sudah dapat dikatakan dengan luka kronis.

Sedangkan luka yang sudah pasti dikatakan luka kronis diantaranya adalah luka

tekan (dekubitus), luka karena diabetes, luka karena pembuluh darah vena

maupun arteri, luka kanker, luka dehiscence, dan abses. Luka yang lama sembuh

disertai dengan penurunan daya tahan tubuh pasien membuat luka semakin rentan

untuk terpajan mikroorganisme yang menyebabkan infeksi.

Berdasarkan WHO-depkes Indikator Standar Rawat Inap tergolong dengan

kejadian infeksi tinggi sebagai indikator kejadian infeksi paska operasi memiliki

(9)

Salah satu yang menjadi ciri khas dari luka kronis adalah jaringan nekrosis

(jaringan mati) baik yang berwarna kuning maupun yang berwarna hitam. Ciri

khas lainya dari luka kronis adalah adanya infeksi dan adanya penyulit sistemik

yang menghambat penyembuhan luka. Sehingga manajemen luka kronis menjadi

sedikit berbeda dengan manajemen luka akut. Pada dasarnya luka akut yang

fisiologis dapat sembuh dengan sendirinya, selama tidak ada faktor penyulit yang

sering ditemukan pada luka kronis. Salah satu metode yang dikembangkan adalah

metode ‘’TIME’’.(Arisanty, 2012).

Menurut Meidina & Rosina, (2012) Luka akut dan kronik berisiko terkena

infeksi. Luka akut adalah luka jahit karena pembedahan, luka trauma, dan luka

lecet. Di Indonesia angka infeksi untuk luka bedah mencapai 2.30 sampai dengan

18.30% (Depkes RI, 2001). Pada luka kronik, waktu penyembuhannya tidak dapat

diprediksi dan dikatakan sembuh jika fungsi dan struktur kulit telah utuh. Jenis

luka kronik yang paling banyak adalah luka dekubitus, luka diabetes, luka kanker.

Menurut (Ismail dalam subekti, 2011).

Luka dapat ditimbulkan oleh beberapa faktor, Menurut (Baroroh, 2011)

diantaranya adalah :

a. Imobilitas : rendahnya aktifitas (duduk dan berbaring terlalu lama,

paralisis)

b. Nutrisi tidak adekuat (kurus, ketidakcukupan protein)

c. Tingkat hidrasi (kelebihan dan kekurangan volume cairan)

d. Kelembaban lingkungan (urin, feses)

(10)

f. Penambahan usia

g. Kerusakan imun

h. Cancer atau neoplasma

Berdasarkan tingkat kontaminasi, menurut (Baroroh, 2010) luka dibedakan

menjadi :

a. Clean Wounds (Luka bersih), yitu luka bedah tidak terinfeksi yang mana

tidak terjadi proses peradangan (inflamasi) dan infeksi pada system

pernafasan, pencernaan, genital, dan urinary tidak terjadi. Kemungkinan

terjadinya infeksi luka sekitar 1%-5%.

b. Clean-contamined Wounds (Luka bersih terkontaminasi), merupakan luka

pembedahan dimana saluran respirasi, pencernaan, genital atau

perkemihan dalam kondisi terkontrol, kontaminasi tidak selalu terjadi,

kemungkinan timbulnya infeksi luka adalah 3%-11%.

c. Contamined Wounds (Luka terkontaminasi), termasuk luka terbuka, fresh,

luka akibat kecelakaan dan operasi dengan kerusakan besar dengan tehnik

aseptic atau kontaminasi dari saluran cerna ; pada kategori ini juga

termasuk insisi akut, inflamasi nonpurulen. Kemungkinan infeksi luka

10%-17%

Berdasarkan kedalaman dan luasnya luka dapat dibagi menjadi beberapa

bagian diantaranya :

a. Stadium I : Luka Superfisial (‘’Non-Blanching Erithema) : yaitu luka yang

(11)

b. Stadium II : Luka Partial Thickness’’: yaitu hilangnya lapisan kulit pada

lapisan epidermis dan bagian atas dari dermis. Merupakan luka superficial

dan adanya tanda klinis seperti abrasi, blister atau lubang yang dangkal.

c. Stadium III : Luka’’Full Thickness’’ yaitu hilangnya kulit keseluruhan

meliputi kerusakan atau nekrosis jaringan subkutan yang dapat meluas

sampai bawah tetapi tidak melewati jaringan ysng mendasarinya. Lukanya

sampai pada lapisan epidermis, dermis dan fasia tetapi tidak mengenai otot.

Luka timbul secara klinis sebagai sebagai suatu lubang yang dalam dengan

atau tanpa merusak jaringan sekitarnya.

d. Stadium IV : Luka ‘’Full Thickness’’ yang telah mencapai lapisan otot,

tendon dan tulang dengan adanya destruksi atau kerusakan yang luas.

(12)

6. Konsep Penyembuhan Luka

Secara fisiologis luka akan sembuh dengan sendirinya karena tubuh dapat

melakukan penyembuhan sendiri yang dikenal dengan istilah wound healing

process atau proses penyembuhan luka. Penyembuha luka merupakan suatu

proses yang kompleks karena berbagai kegiatan bio-seluler, bio-kimia terjadi

berkesinambungan. Penggabungan respon vaskuler, aktivitas seluler dan

terbentuknya bahan kimia sebagai substansi mediator di daerah luka merupakan

komponen yang saling terkait pada proses penyembuhan luka. Besarnya

perbedaan mengenai penelitian dasar mekanisme penyembuhan luka dan aplikasi

klinik saat ini dapat diperkecil dengan pemahaman dan penelitian yang

berhubungan dengan proses penyembuhan luka dan pemakaian bahan pengobatan

yang telah berhasil memberikan kesembuhan. (Tim perawatan luka di Wocare

Clinic, 2013)

Menurut Baroroh, (2011) fase penyembuhan luka dimulai dari vascular

response atau respon yang terjadi beberapa detik setelah terjadinya luka, respon

tubuh dengan penyempitan pembuluh darah (kontriksi) untuk menghambat

perdarahan dan mengurangi pajanan terhadap bakteri. Pada saat yang sama,

protein membentuk jaringan fibrosa untuk menutup luka. Ketika trombosit

bersama protein menutup luka, luka menjadi lengket dan lembab membentuk

fibrin. Setelah 10-30 menit setelahnya terjadi luka, pembuluh darah melebar

karena serotonin yang dihasilkan trombosit. Plasma darah mengaliri luka dan

melawan toxin yang dihasilkan mikroorganisme, membawa oksigen dan nutrisi

(13)

melawan bakteri maupun jaringan yang rusak. Inflamasi merupakan bagian luka

yang akan menjadi hangat dan merah karena aprose fagositosis. Fase inflamasi

terjadi 4-6 hari setelah injury. Tujuan inflamasi untuk membatasi efek bakteri

dengan menetralkan toksin dan penyebaran bakteri. Proliferasi/resolusi

merupakan penumpukan deposit kolagen pada luka, angiogenesis (pembentukan

pembuluh darah baru), proliferasi dan pengecilan lebar luka. Fase ini berhenti dua

minggu setelah terjadinya luka, tetapi proses ini tetap berlangsung lambat 1-2

tahun. Fibroblast mensintesis kolagen dan menumbuhkan sel baru. Miofibroblast

menyebabkan luka menyempit, bila tidak terjadi penyempitan akan terjadi

kematian sel. Contohnya jika terjadi secar atau kontraktur. Epitelisasi adalah

perpindahan sel dari area sekitar folikel rambut ke area luka. Dan epitelisasi akan

lebih cepat terjadi jika luka dalam keadaan lembab. Maturasi atau rekontruksi

merupakan fase terakhir dalam proses penyembuhan luka dengan remodeling.

Dan biasanya terjadi selama setahun atau lebih setelah luka tertutup. Selama fase

ini fibrin dibentuk ulang, pembuluh darah menghilang dan jaringan memperkuat

susunanya. Remodelling ini mencakup sintesis dan pemecahan kolagen.

Menurut Wijaya, (2010) proses penyembuhan luka merupakan proses yang

dinamis. Proses penyembuhan tidak hanya terbatas pada proses regenerasi yang

bersifat lokal, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh faktor endogen seperti : umur,

nutrisi, imunologi, pemakaian obat-obatan, dan kondisi metabolik. Proses

penyembuhan luka terdiri dari beberapa fase, fase pertama luka akan mengalami

inflamasi (reaksi peradangan dan pembersihan atau debris), fase kedua luka akan

(14)

granulasi dan epitelisasi) dan fase terakhir adalah maturasi atau remodeling

(penguatan jaringan kulit).

Gambar 2.2 Proses penyembuhan luka.

6.1. Fase Inflamasi

Menurut (Kristianto 2010) pada fase inflamasi luka akan tampak eritema,

bengkak, hangat, dan nyeri, berlangsung 4 hari setelah injuri. Pada fase ini terjadi

destruksi dan penghancuran debris yang dilakukan oleh neutrofil atau PMN

(polimorfonukleosit) yang akan berdampak pembuluh darah melepaskan plasma

dan PMN ke sekitar jaringan. Neutrofil memfagosit debris dan mikrooganisme

sebagai pertahanan primer terhadap terjadinya infeksi. Fibrin dihancurkan dan

didegradasi. Proses selular yang berperan adalah makrofag yang mempunyai

kemampuan untuk untuk memfagosit bakteri sebagai pertahanan skunder.

Berbagai jenis growth factor dan kemotaksis disekresi, yaitu fibroblast growt

factor (FGF), epidermal growth factor (EGF), transforming growth factor (TGF)

(15)

berikutnya. Respon vaskuler yang terjadi adalah dilatasi, angiogenesis dan

vasculogenesis.

6.2. Fase Granulasi

Fase ini dimulai dari hari ke-2 sampai 24 hari (6 minggu). Fase ini menjadi

fase destruktif dan fase proliferasi atau fibroblastic fase. Ini merupakan fase

dengan aktivitas yang tinggi yaitu suatu metode pembersihan dan penggantian

jaringan sementara. PMN akan membunuh bakteri pathogen dan makrofag

memfagosit bakteri yang mati dan debris dalam usaha membersihkan luka. Selain

itu, makrofag juga sangat penting dalam proses penyembuhan luka karena dapat

menstimulasi fibroblastic sel untuk membuat kolagen.(Wijaya, 2010). Proses

granulasi terjadi dalam durasi waktu 4-21 hari, yang ditunjukan dengan

terbentuknya jaringan yang berwarna kemerahan dan adanya kontraksi pada luka.

Secara selular, fibroblast akan mensekresikan kolagen untuk proses regenerasi

jaringan. Dan pada fase ini terjadilah proses angiogenesis untuk membentuk

sel-sel endotel sebagai cikal bakal terbentuknya kapiler-kapiler darah. Sel-sel-sel

keratinosit juga diproduksi yang bertanggung jawab dalam proses epitelisasi.

Sitokin utama yang berperan dalam proses ini adalah TGF 𝛽𝛽 dengan respon

vascular dilatasi. Ekstraselular matriks yang berperan adalah kolagen dan

proteoglikan.(Kristianto, 2010).

Angiogenesis akan terjadi untuk membangun jaringan pembuluh darah baru.

Kapiler baru yang terbentuk akan terlihat pada kemerahan (ruddy), jaringan

granulasi tidak rata atau bergelombang (bumpy) . Migrasi sel epitel terjadi di atas

(16)

dari folikel rambut, kelenjar keringat atau kelenjar sebasea dalam luka terlihat

tipis, (translucent film) melewati luka. Sel tersebut sangat rapuh dan mudah

dihilangkan dan pembersihan dilakukan dengan hati-hati. Migrasi akan berhenti

ketika luka menutup dan mitosis epithelium menebal.(Wijaya, 2010)

6.3. Fase Maturasi atau Remodeling

Menurut Kristianto, (2010) fase ini dimulai pada hari ke 21 dengan tahun.

Pada fase remodeling dan maturasi melibatkan peran fibroblast dan miofibroblas

untuk membentuk struktur jaringan yang lebih kuat. Sedangkan menurut (Wijaya,

2010) fase remodeling merupakan fase dimana fungsi utamanya adalah

meningkatkan kekuatan regangan pada luka. Kolagen asli akan diproduksi selama

fase rekonstruksi yang diorganisir dengan kekuatan regangan yang minimal.

Selama masa maturasi, kolagen akan perlahan-lahan digantikan dengan bentuk

yang lebih terorganisasi, menghasilkan peningkatan regangan. Ini bertepatan

dengan penurunan dalam vaskularisasi dan ukuran skar.

Berikut adalah proses yang dapat dilihat proses penyembuhan luka dari

fase inflamasi, fase proliferative, dan fase maturasi.

Gambar 2.3 Fisiologi penyembuhan luka.( Wijaya, 2010)

(17)

7. Faktor-Faktor yang Menghambat Proses Penyembuhan Luka Kronis

Ada beberapa faktor-faktor yang dapat menghambar proses penyembuhan

luka kronis menurut buku panduan pelatihan luka, (2012) diantaranya :

1. Penyakit penyerta

2. Pengobatan seperti

a. Chemotherapy dan Radiasi

b. Corticosteroid

3. Berkurangnya perfusi jaringan dan suplai oksigen (O2)

4. Malnutrisi

5. Infeksi

5. Stres Psikososial

a. Family faktor, dan financial (keuangan)

7.1. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka

Ada 2 kelompok faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka, yaitu

faktor general dan faktor lokal ( Carville, 2007). Adapun faktor general yang

mempengaruhi penyembuhan luka yaitu :

1. Usia

Pada saat lanjut usia, secara alamiah kulit akan mengalami kemunduran

fungsi sistemik. Epidermis menjadi lebih tipis, dermis menjadi atropi dan

terjadi penurunan vaskularisasi. Turgor kulit menurun karena kolagen dan

elastic fibrin berkurang, jaringan adipose juga mengalami penurunan

(18)

diikuti dengan pnurunan kemampuan respon hormone dan faktor-faktor

pertumbuhan. (Handayani, 2010 dan Norman, 2004)

2. Penyakit Penyerta

a. Diabetes mellitus

b. Anemia

c. Malignansi/keganasan

d. Rhemumatoid

e. Auto immune disorder

f. Hepatic failure

g. Uremia

h. Inflamatory bowel desease

3. Vaskularisasi

Pada dasarnya suplai darah merupakan hal yang penting untuk

mempertahankan kehidupan jaringan. Faktor intrinsik dan ekstrinsik dapat

menurunkan suplai darah sehingga membuat jaringan mati yang termasuk dalam

faktor intrinsik adalah arteriosklerosis, syok dan hemorargi yang menyertai

trauma. Sedangkan yang termasuk dalam faktor ekstrinsik berhubungan dengan

efek tekanan, penggeseran dan merokok (Carvile, 2007 dan Handayani, 2010).

4. Nutrisi

Malnutrisi menyebabkan terhambatnya proses penyembuhan luka dan

meningkatkan resiko infeksi. Malnutrisi dapat terjadi karena insufisiensi intake

nutrisi, syndrome malabsorbsi, atau banyaknya cairan yang keluar dari fistula

(19)

Malnutrisi juga dapat terjadi karena gangguan atau intoleransi terhadap

obat-obatan yang mempengaruhi absorbsi dan metabolisme nutrient (Carvile, 2007 dan

Handayani, 2010)

1. Obesitas

Vaskularisasi jaringan adipose sangat sedikit. Jaringan adipose yang

berlebihan akan mempersulit proses penyembuhan luka karena menimbulkan

regangan pada jahitan luka. Hal ini dapat menyebabkan dehisense tepi luka

(Carvile, 2007 dan Handayani, 2010)

2. Gangguan sensasi atau pergerakan

Adanya oklusi pada aliran darah menyebabkan tekanan atau gesekan

sehingga kapiler menjadi rapuh. Pergerakan dapat membantu sirkulasi sistemik,

terutama aliran darah balik dari ekstremitas bawah (Carvile, 2007 dan Handayani,

2010)

3. Penggunaan terapi

Adapun golongan obat-obatan yang mempengaruhi proses penyembuhan

luka (Carvile, 2007 dan Handayani, 2010) diantaranya :

a. Non steroid anti inflamasi drugs (NSAID) dapat menekan fase

inflamasi dengan menghambat sintesis prostaglandin padahal

prostaglandin merupakan mediator.

b. Agen sitotoksik tidak menggaggu secara spesifik sel-sel yang tumbuh

pada proses penyembuhan luka, namun obat ini menngurangi daya

(20)

c. Corticosteroid dapat mensupresi makrofag dan produksi kolagen,

mengganggu proses angiogenesis dan epitelisasi. Obat ini juga

menghambat kontraksi luka dan mengurangi daya regang luka,

menekan respon imun sehingga dapat lebih rentan terinfeksi.

d. Obat-obatan imunosupresi dapat mengurangi aktivitas sel darah putih

sehingga mengganggu membersihkan febris dan berakibat pada

peningkatan resiko terinfeksi.

e. Nikotin menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah, meningkatkan

agregasi platelet, menurunkan sintesis kolagen, dan menghambat

epitelisasi. Merokok juga dapat mengurangi oksigenisasi jaringan

dengan meningkatkan perfusi karbondioksida dan menurunkan

oksihemoglobin (Clarke, 1988 dalam Carvile, 2007).

f. Antibiotik dilaporkan mempunyaai efek negative dan positif pada

penyembuhan luka. Contoh penisiline yang melepaskan penisilamine

dapat mengurangi kekuatan luka dengan mencegah persilangan

kolagen (Carvile, 2007 dan David, 1986)

g. Terapi Radiasi pada dasarnya digunakan untuk merusak sel-sel yang

mengalami keganasan, akan tetapi sel-sel yang sehat dalm jaringan

juga ikut rusak.

4. Status psikologis yang buruk

Stres, ansietas, dan depresi menunjukan penurunan efisiensi system imun

(21)

5. Lama mengalami luka

Lamanya proses penyembuhan luka kronik, akan menyebabkan jaringan

akan mati (nekrotik) dan menutupi luka, sehingga proses pertumbuhann

jaringan akan terhambat dan proses penyembuha luka menjadi tertunda

(Harding & Moriris dalam Handayani, 2010)

8. Bahan dan alat yang digunakan dalam perawatan luka

Bahan dan alat pengukuran yang digunakan meliputi :

1. Lembar Pengkajian Luka skala Betes-Jensen

2. Lembar Observasi

3. Lembar Catatan Perkembangan

4. Pulpen

5. Perlak

6. Baskom

7. Gunting dan Pinset Anatomis Steril

8. Kamera Digital

9. Alat Pengecek Kadar Gula Darah

10.Air hangat

11.Sabun pencuci luka

12.Nacl 0,9%

13.Kassa lipat

14.Sarung tangan steril dan beersih

15.Plaster

16.Elastomul halft, elastis verband

17.Balutan luka atau Dressing (Hydroaktif gel, Calsium alginate, Silver

dressing, Polyurethane foam).

18.Antiseptik gel

Gambar

Gambar 2.1 Stadium Kedalaman Luka
Gambar 2.2 Proses penyembuhan luka.
Gambar 2.3  Fisiologi penyembuhan luka.( Wijaya, 2010)

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan beserta hasil analisis data dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, maka didapatkan kesimpulan sebagai

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa terdapat hubungan antara fungsi kognitif dengan tingkat kemandirian aktivitas sehari-hari pada lansia di UPT Panti Wredha

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) keadaan guru teknologi dan kejuruan pada umumnya telah berkualifikasi

Kepemimpinan dan Kompensasi Pengaruhnya Terhadap Kinerja Karyawan dan Dampaknya Terhadap Oorganizational Citizenship Behavior Jurnal EMBA 921 Vol.1 No.3 Juni 2013, Hal. Salemba

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas siswa dalam pembelajaran menggunakan metode word square pada pokok bahasan ekosistem, mengetahui perbedaan peningkatan hasil

Dalam penelitian ini, disajikan data peramalan penjualan lampu pada tahun 2020 serta waktu proses setiap elemen kerja untuk menyelesaikan 1 unit lampu berdasarkan stasiun

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “ Hubungan Pola Asuh Orang Tua

Dengan tidak diberikannya wewenang pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan, maka berarti