20 BAB II
PENGATURAN HAK CIPTA DI INDONESIA
A. Konsep Dasar Hak Cipta
Suatu bentuk yang nyata dan berwujud (expression) dan sesuatu yang
berwujud itu adalah asli (original) atau bukan hasil plagiat merupakan syarat yang
harus dipenuhi untuk dapat menikmati perlindungan hukum hak cipta. Konsep
dasar lahirnya hak cipta akan memberikan perlindungan terhadap suatu karya
cipta yang memiliki bentuk yang khas dan menunjukkan keaslian sebagai ciptaan
seseorang atas dasar kemampuan dan kreatifitasnya yang bersifat pribadi.17
1. Yang dilindungi hak cipta adalah ide yang telah berwujud dan asli.
Justifikasi yang paling mendasar untuk HKI adalah bahwa seseorang yang
telah mengeluarkan usaha ke dalam penciptaan memiliki sebuah hak alami untuk
memiliki dan mengontrol apa yang telah mereka ciptakan. Pendekatan ini
menekankan pada kejujuran dan keadilan. Dilihat sebagai perbuatan yang tidak
jujur dan tidak adil jika mencuri usaha seseorang tanpa mendapatkan terlebih
dahulu persetujuannya. Ciptaan yang mendapatkan hak cipta setidaknya harus
memperhatikan beberapa prinsip-prinsip dasar hak cipta, yakni:
Salah satu prinsip yang paling fundamental dari perlindungan hak cipta adalah
konsep bahwa hak cipta hanya berkenan dengan bentuk perwujudan dari suatu
17
ciptaan, misalnya buku, sehingga tidak berkenaan atau tidak berurusan dengan
substansinya. Dari prinsip dasar ini telah melahirkan dua subprinsip, yaitu:18 a. Suatu ciptaan harus mempunyai keaslian (orisinil) untuk dapat
menikmati hak-hak yang diberikan undang-undang keaslian, sangat
erat hubungannya dengan bentuk perwujudan suatu ciptaan.
b. Suatu ciptaan, mempunyai hak cipta jika ciptaan yang bersangkutan
diwujudkan dalam bentuk tertulis atau bentuk material yang lain. Ini
berarti bahwa suatu ide atau suatu pikiran atau suatu gagasan atau
cita-cita belum merupakan suatu ciptaan.
2. Hak cipta timbul dengan sendirinya (otomatis)
Suatu hak cipta eksis pada saat seseorang pencipta mewujudkan idenya dalam
suatu bentuk yang berwujud yang berupa buku. Dengan adanya wujud dari
suatu ide, suatu ciptaan lahir. Ciptaan yang dilahirkan dapat diumumkan (to
make public/ openbaarmaken) dan dapat diumumkan. Suatu ciptaan yang
tidak diumumkan, hak ciptanya tetap ada pada pencipta.
3. Suatu ciptaan tidak perlu diumumkan untuk memperoleh hak cipta
Suatu ciptaan yang diumumkan maupun yang tidak diumumkan (published/
unpublished work) kedua-duanya dapat memperoleh hak cipta.
4. Hak cipta suatu ciptaan merupakan suatu hak yang diakui umum (legal right)
yang harus dipisahkan dan harus dibedakan dari penguasaan fisik suatu
ciptaan.
18
5. Hak cipta bukan hak mutlak (absolut)
Hak cipta bukan suatu monopoli mutlak melainkan hanya suatu limited
monopoly. Hal ini dapat terjadi karena hak cipta secara konseptual tidak
mengenal konsep monopoli penuh, sehingga mungkin saja seorang pencipta
menciptakan suatu ciptaan yang sama dengan ciptaan yang telah tercipta lebih
dahulu.
Konsep hak cipta di
copyright dalamCopyright
ini diciptakan sejalan dengan penemuan mesi
ini ole
memerlukan tenaga dan biaya yang hampir sama dengan proses pembuatan karya
aslinya. Sehingga, kemungkinan besar para penerbitlah, bukan para pengarang,
yang pertama kali meminta perlindunga
disalin.
Awalnya, hak monopoli tersebut diberikan langsung kepada penerbit
untuk menjual karya cetak. Baru ketika peraturan hukum tentang copyright mulai
diundangkan pada tahun
diberikan ke pengarang, bukan penerbit. Peraturan tersebut juga mencakup
perlindungan kepada konsumen yang menjamin bahwa penerbit tidak dapat
mengatur penggunaan karya cetak tersebut setelah transaksi jual beli berlangsung.
Selain itu, peraturan tersebut juga mengatur masa berlaku hak eksklusif bagi
pemegang copyright, yaitu selama 28 tahun, yang kemudian setelah itu karya
Ketentuan Pasal 27 ayat (2) Deklarasi Hak Asasi Manusia seDunia juga
menyebutkan bahwa setiap orang memiliki hak untuk mendapat perlindungan
(untuk kepentingan moral dan materi) yang diperoleh dari ciptaan ilmiah,
kesusasteraan atau artistik dalam hal dia sebagai pencipta.
Hukum bertindak menjamin pencipta untuk menguasai dan menikmati
secara eksklusif hasil karyanya itu dalam hubungan kepemilikan terhadap hak
cipta dan jika perlu dengan bantuan negara untuk penegakan hukumnya. Jaminan
ini tercermin dalam sistem HKI yang berkembang dengan menyeimbangkan antar
dua kepentingan yaitu pemilik hak cipta dan kebutuhan masyarakat umum. Ada 4
prinsip dalam sistem HKI untuk menyeimbangkan kepentingan individu dengan
kepentingan masyarakat, sebagai berikut:19
1. Prinsip keadilan (the principle of natural justice)
Pencipta yang menghasilkan suatu karya berdasarkan kemampuan
intelektualnya wajar memperoleh imbalan baik berupa materi maupun bukan
materi, seperti adanya rasa aman karena dilindungi, dan diakui atas hasil
karyanya. Hukum memberikan perlindungan kepada pencipta berupa suatu
kekuasaan untuk bertindak dalam rangka kepentingannya yang disebut hak.
Alasan melekatnya hak pada HKI adalah penciptaan berdasarkan kemampuan
intelektualnya. Perlindungan ini pun tidak terbatas di dalam negeri pencipta
sendiri, melainkan dapat meliputi perlindungan di luar batas negaranya.
2. Prinsip ekonomi (the economic argument)
19
HKI yang diekspresikan kepada khalayak umum dalam berbagai bentuknya,
memiliki manfaat dan nilai ekonomi serta berguna bagi kehidupan manusia.
Adanya nilai ekonomi pada HKI merupakan suatu bentuk kekayaan bagi
pemiliknya. Pencipta mendapatkan keuntungan dan kepemilikan terhadap
karyanya, misalnya dalam bentuk pembayaran royalti terhadap pemutaran
musik dan lagu hasil ciptaannya.
3. Prinsip kebudayaan (the cultural argument)
Pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan, seni dan sastra sangat
besar artinya bagi peningkatan taraf kehidupan, peradaban, dan martabat
manusia. Selain itu, akan memberikan keuntungan baik bagi masyarakat,
bangsa, maupun negara. Pengakuan atas kreasi, karya, karsa, cipta manusia
yang dilakukan dalam sistem HKI diharapkan mampu membangkitkan
semangat, dan minat untuk mendorong melahirkan ciptaan baru.
4. Prinsip sosial (the social argument)
Hukum tidak mengatur kepentingan manusia sebagai individu yang berdiri
sendiri terlepas dari manusia yang lain, tetapi hukum mengatur kepentingan
manusia sebagai warga masyarakat. Jadi, manusia dalam hubungannya dengan
manusia lain sama-sama terikat dalam ikatan satu kemasyarakatan. Sistem
HKI dalam memberikan perlindungan kepada pencipta, tidak boleh diberikan
semata-mata untuk memenuhi kepentingan individu dan persekutuan atau
kesatuan itu saja, melainkan berdasarkan keseimbangan kepentingan individu
Pengaturan hak cipta tidak terlepas dari adanya perjanjian internasional.
Tujuan diadakannya perjanjian internasional melindungi atau memberikan
kepastian hak atas suatu hak yang ditimbulkan dari suatu perjanjian tersebut
kepada setiap peserta negara anggota. Maka jika dikaitkan dengan hak cipta,
maka akan diperoleh suatu tujuan yaitu untuk melindungi hak cipta secara
internasional. Secara internasional dalam hal ini berarti setiap negara peserta.
Perlindungan hak cipta secara internasional saat ini mengikuti beberapa
konvensi internasional antara lain persetujuan TRIPs, Bern Convention, Universal
Copy Rights Convention, Rome Convention. Trade Related Aspects of
Intellectual Property Right yang selanjutnya disebut TRIPs awalnya muncul atas
antisipasi Amerika dan beberapa negara Eropa yang menilai bahwa World
Intellectual Property Organizatio) yang selanjutnya disebut WIPO yang bernaung
dibawah Perserikatan Bangsa-Bangsa, tidak mampu melindungi HKI mereka di
pasar internasional, yang akan mengakibatkan neraca perdagangan mereka
menjadi negatif.
TRIPs bertujuan untuk melindungi dan menegakkan hukum hak milik
intelektual guna mendorong timbulnya inovasi, peralihan, serta penyebaran
teknologi, dengan cara menciptakan kesejahteraan sosial dan ekonomi serta
keseimbangan antara hak dan kewajiban (Pasal 7 TRIPs). Secara singkat, ada
beberapa hal penting di dalam Persetujuan TRIPs ini yang menyangkut bidang
hak cipta bila dikaitkan dengan Undang-Undang Hak Cipta Nasional, yaitu :20
20
1. Di dalam persetujuan ini perlindungan hak cipta atas program kompuer
lamanya harus tidak kurang dari lima puluh tahun (pasal 12 TRIPs), sementara
dalam Undang-Undang Hak Cipta Nasional juga telah disesuaikan menjadi
lima puluh tahun (pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Hak Cipta Nomor 12
Tahun 1997).
2. Di dalam persetujuan ini dikenal adanya hak penyewaan (rental rights) bagi
pemegang hak cipta karya film (video) dan program komputer (pasal 11
TRIPs), yaitu hak yang diberikan kepada pencipta atas kegiatan penyewaan
yang bersifat komersial. Pengaturan mengenai hal ini sudah ada dalam
Undang-Undang Hak Cipta Nasional.
3. Dalam persetujuan ini terdapat pengaturan yang tegas terhadap pelaku
pertunjukan, produsr rekaman musik dan badan penyiaran, hal mana dalam
Undang-Undang Hak Cipta Nasional sudah diatur.
TRIPs berlaku dengan disetujuinya Putaran Uruguay (GATT) pada tanggal
15 Desember 1993 yang kemudian diratifikasi pada bulan April di Marokko oleh
117 negara. Sejak saat itu TRIPs yang merupakan bagian dari GATT berlaku bagi
negara-negara anggotanya, termasuk Indonesia.
Hadirnya Persetujuan TRIPs ini mengakibatkan Indonesia secara tidak
langsung diharuskan untuk menyesuaikan peraturan perundang-undangannya
dengan berbagai konvensi internasional. Khususnya dalam hak cipta Indonesia
telah melakukan penyempurnaan dengan hadirnya Undang-Undang Nomor 12
Penyesuaian dan penyempurnaan tersebut memang dilakukan melalui
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Hak Cipta yang saat ini sudah
tidak berlaku lagi sebab telah mengalami beberapa kali perubahan, namun hal ini
tetap dapat dilihat sebagai suatu sejarah dan dasar adanya kesesuaian antara
konvensi Internasional dengan Undang-Undang Hak Cipta Nasional.
Konvensi Roma 1961 mulai berlaku terhadap negara-negara anggota
Persetujuan TRIPs. Konvensi ini berisikan pengaturan tentang perlindungan bagi
pelaku pertunjukan, produser rekaman suara dan organisasi penyiaran. Yang
menjadi permasalahan pokok yang dituangkan dalam ketentuan konvensi ini
adalah mengenai perlindungan bagi pelaku pertunjukan produser rekaman dan
organisasi penyiaran.
Hak cipta juga diatur dalam Konvensi Bern yang ditandatangani di Bern
pada tanggal 9 September 1886. Adapun konvensi ini telah beberapa kali
mengalami revisi serta penyempurnaan, yaitu: 21
1. Revisi pertama dilakukan di Paris pada tanggal 4 Mei 1986;
2. Revisi kedua di Berlin pada tanggal 13 November 1908;
3. Revisi ketiga di Bern pada tanggal 24 Maret 1914;
4. Revisi keempat di Roma tanggal 2 Juli 1928;
5. Revisi kelima di Brussels pada tanggal 26 Juni 1948;
6. Revisi keenam di Stockholm pada tanggal 14 Juli 1967;
7. Revisi terakhir di Paris pada tanggal 24 Juli 1971.
21Ibid
Konvensi Bern berpendapat bahwa objek perlindungan hak cipta terdiri
dari karya sastra, ilmu, dan seni yang meliputi segala hasil bidang sastra, ilmu,
dan seni dengan cara atau bentuk pengungkapan apapun. Di samping karya asli
dari pencipta pertama, dilindungi juga karya-karya turunan (salinan) seperti
terjemahan, saduran, aransemen music, karya fotografis. Perlindungan juga
diberikan kepada para pencipta atau pemegang hak. Para Pencipta memperoleh
perlindungan yang sama seperti diperoleh mereka dalam negara sendiri atau
perlindungan yang diberikan oleh konvensi ini. Artinya, pencipta merupakan
warga negara dari salah satu negara yang terikat pada konvensi memperoleh
perlindungan di negara-negara yang bergabung dalam Uni ini.22
Kemunculan Protokol Stockholm ini mengakibatkan negara-negara
berkembang yang telah meratifikasi protokol tersebut memperoleh pengecualian Hal ini diatur dalam Pasal 5 (setelah direvisi di Paris tahun 1971), yang
sekaligus merupakan pasal yang terpenting. Menurut pasal ini pencipta akan
menikmati perlindungan yang sama seperti diperoleh mereka dalam negara sendiri
atau perlindungan yang diberikan oleh konvensi ini.
Mengenai revisi dan penyempurnaan terhadap Konvensi Bern ini, hal yang
terpenting adalah penyempurnaan yang memuat protokol (tambahan dari
perjanjian utama) yang memperhatikan kepentingan-kepentingan negara
berkembang dan ini diterima pada revisi di Stockholm tanggal 14 Juli 1967.
Kemudian protokol ini diberi tempat dalam appendix (tambahan/lampiran)
tersendiri dalam konvensi ini.
22
atau reserve yang berkenan dengan perlindungan yang diberikan oleh Konvensi
Bern. Pengecualian itu dapat dilakukan mengenai hal yang berkenaan dengan hak
melakukan penerjemahan, jangka waktu perlindungan, tentang hak untuk
mengutip dari artikel-artikel dari berita-berita pers, hak untuk melakukan siaran
radio dan perlindungan daripada karya-karya sastra dan seni semata-mata untuk
tujuan pendidikan, ilmiah atau sekolah.23
Salah satu ketentuan konvensi universal hak cipta adalah ketentuan
formalitas hak cipta berupa kewajiban setiap hak cipta yang ingin dilindungi
mencantumkan tanda (c) dalam lingkaran disertai nama pencipta, dan tahun karya
cipta tersebut mulai dipublikasikan. Simbol tersebut menunjukkan bahwa hak
cipta telah dilindungi di negara asalnya, dan telah terdaftar di bawah perlindungan
hak cipta.
Konvensi selanjutnya adalah Konvensi Jeneva yang ditandatangani pada
tanggal 6 September 1952 yang mengatur tentang hak cipta universal dan dikenal
sebagai Universal Copyright Convention. Konvensi ini mulai berlaku pada
tanggal 16 September 1955. Tujuan dari konvensi ini adalah untuk memberikan
perlindungan hak cipta secara universal.
24
Setelah mengalami revisi pada tanggal 24 Juli 1971 di Paris, konvensi ini
terdiri dari 21 pasal dan dilengkapi dengan 3 protokol. Protokol I mengenai
perlindungan karya dari orang yang tanpa kewarganegaraan dan
orang-orang pelarian, ataupun para pengungsi. Secara internasional hak cipta mereka itu
perlu dilindungi. Protokol II mengenai berlakunya konvensi ini atas karya-karya
23
OK. Saidin.,Op. Cit. hlm. 216.
24
daripada organisasi-organisasi internasional tertentu. protokol III berkenaan
dengan cara-cara untuk memungkinkan turut sertanya negara dalam konvensi ini
dengan cara bersyarat.
Konvensi Bern jika dibandingkan dengan Konvensi Jeneva maka di situ
terdapat perbedaan mengenai dasar falsafah yang dianut. Konvensi Bern
menganut dasar falsafah Eropa yang menganggap hak cipta sebagai hak alamiah
pencipta pribadi, sehingga menonjolkan sifat individualis yang menimbulkan hak
monopoli. Sedangkan Konvensi Jeneva di samping kepentingan individu juga
memperhatikan kepentingan umum. Konvensi Jeneva mencoba untuk
mempertemukan antara falsafah Eropa dan falsafah Amerika yang memandang
hak monopoli yang diberikan kepada pencipta diupayakan pula agar
memperhatikan kepentingan umum.25
Konvensi-konvensi internasional ini telah diratifikasi oleh pemerintah
Indonesia. Pada tahun 1994, pemerintah meratifikasi pembentukan Organisasi
Perdagangan Dunia (World Trade Organization – WTO), yang mencakup pula
Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights – TRIPs
(“Persetujuan tentang Aspek-aspek Dagang Hak Kekayaan Intelektual”). Universal Copyrights Convention berpendapat bahwa hak cipta itu
ditimbulkan oleh karena adanya ketentuan yang memberikan hak seperti itu
kepada pencipta. Oleh sebab itu jika dilihat dalam UUHC 1982 yang diperbaharui
dengan UUHC 1987 dan UUHC 1997 menganut sistem yang terakhir ini, dimana
hak cipta itu dilahirkan oleh undang-undang.
25Ibid
Ratifikasi tersebut diwujudkan dalam bentuk undang-undang Nomor 7 tahun
1994. Pada tahun 1997, pemerintah meratifikasi kembali Konvensi Bern melalui
Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1997 dan juga meratifikasi World
Intellectual Property Organization Copyrights Treaty (“Perjanjian Hak Cipta
WIPO”) melalui Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1997.
B. Pengaturan Hak Cipta dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014
tentang Hak Cipta
Pengaturan hak cipta sudah lama dikenal dan dimiliki di Indonesia sebagai
hukum positif sejak zaman Hindia Belanda dengan berlakunya Auteurswet 1912.
Pada tahun 1982 ini kemudian disahkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982
tentang Hak Cipta sebagai pengganti Auteurswet 1912. Undang-undang ini
kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 dan kemudian
diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 yang selanjutnya dicabut
dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.
Undang-undang ini berlaku sampai tahun 2014, yang kemudian digantikan oleh
undang-undang hak cipta terbaru yaitu Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014
yang berlaku hingga saat ini.
Pengaturan yang berlaku bagi perlindungan hak cipta di Indonesia saat ini
adalah Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Undang-undang ini disebutkan lebih memberi perlindungan bagi para pencipta di
Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari pasal-pasal di dalamnya yang lebih memberi
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta sebelumnya
mengatur hak cipta dalam 78 Pasal, namun dalam UUHC 2014 telah dilakukan
perubahan dan penyempurnaan terhadap pasal-pasal dalam hak cipta, serta
penambahan pasal sehingga UUHC 2014 mengatur mengenai hak cipta dalam 126
pasal.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta ini mengatur
lebih banyak mengenai defenisi, seperti adanya defenisi atas “fiksasi”,
“fonogram”, “penggandaan”, “royalti”, “Lembaga Manajemen Kolektif”,
“pembajakan”, “penggunaan secara komersial”, “ganti rugi”, dan sebagainya.
UUHC 2014 membahas lebih detail isu yang sebelumnya telah dicantumkan
dalam undang-undang lama. Sebagai contoh, pembahasan hak ekonomi, hak
cipta, dan hak terkait diberi porsi 17 pasal. Termasuk di dalamnya adalah
ketentuan mengenai kepemilikan hak ekonomi pencipta yang telah dijual putus
(sold flat) kepada pihak lain akan beralih kembali kepada pencipta setelah 25
tahun (Pasal 18 UUHC 2014) dan ketentuan yang sama untuk performer lagu
dan/atau musik yang telah dijual hak ekonominya (Pasal 30 UUHC 2014).26
Penjelasan Umum UUHC 2014 ini menunjukkan bahwa secara garis besar
UUHC 2014 memiliki perbedaan dengan undang-undang sebelumnya.
Undang-undang ini mengatur antara lain tentang:27
1. Perlindungan hak cipta dilakukan dengan waktu lebih panjang;
26
Selvie Sinaga, “Catatan Terhadap UU Hak Cipta Baru”, Kompas, Februari 2015).
27
2. Perlindungan yang lebih baik terhadap hak ekonomi para pencipta dan/atau
pemilik hak terkait, termasuk membatasi pengalihan hak ekonomi dalam
bentuk jual putus (sold flat);
3. Penyelesaian sengketa secara efektif melalui proses mediasi, arbitrase, atau
pengadilan sera penerapan delik aduan untuk tuntutan pidana;
4. Pengelola tempat perdagangan bertanggungjawab atas tempat penjualan
dan/atau pelanggaran hak cipta dan/atau hak terkait di pusat tempat
perbelanjaan nyang dikelolanya;
5. Hak cipta sebagai benda bergerak tidak berwujud dapat dijadikan objek
jaminan fidusia;
6. Menteri diberi kewenangan untuk menghapus ciptaan yang sudah dicatatkan,
apabila ciptaan tersebut melanggar norma agama, norma susila, ketertiban
umum, pertahanan dan keamanan negara, serta ketentuan peraturan
perundang-undangan;
7. Pencipta, pemegang hak cipta, pemilik hak terkait menjadi anggota Lembaga
Manajemen Kolektif agar dapat menarik imbalan atau royalti;
8. Pencipta dan/atau pemilik hak terkait mendapat imbalan royalti untuk ciptaan
atau produk hak terkait yang dibuat dalam hubungan dinas dan digunakan
secara komersial;
9. Lembaga Manajemen Kolektif yang berfungsi menghimpun dan mengelola
hak ekonomi pencipta dan pemilik hak terkait wajib mengajukan permohonan
10.Penggunaan hak cipta dan hak terkait dalam sarana multimedia untuk
merespon perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.
Selain itu dalam UUHC 2014 Pasal 16 ayat (1) diatur juga tentang
pengalihan hak cipta dengan wakaf, dan dalam ayat (3) dikatakan bahwa hak cipta
adalah benda bergerak tidak berwujud yang dapat dijaminkan dengan jaminan
fidusia. Mengenai jangka waktu perlindungan hak cipta yang lebih panjang, dalam
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta disebutkan bahwa
jangka waktu perlindungan hak cipta adalah selama hidup pencipta dan
berlangsung hingga 50 tahun setelah pencipta meninggal dunia, dan dalam UUHC
2014, masa berlaku hak cipta diperpanjang menjadi seumur hidup pencipta
ditambah 70 tahun setelah meninggal.
Hak cipta dalam UUHC 2014 terbagi atas dua jenis hak, yaitu hak
ekonomi dan hak moral. Hak moral pencipta tanpa batas waktu seperti yang
dimaksudkan dalam Pasal 57 ayat (1) UUHC 2014 adalah hak untuk tetap
mencantumkan atau tidak mencantumkan namanya pada salinan sehubungan
dengan pemakaian ciptaannya untuk umum; menggunakan nama aslinya atau
nama samarannya; mempertahankan haknya dalam hal terjadi distorsi ciptaan,
mutilasi ciptaan, modifikasi ciptaan, atau hal yang bersifat merugikan kehormatan
diri atau reputasinya, berlaku tanpa batas waktu. Sedangkan hak moral pencipta
yang berjangka waktu sebagaimana yang dimaksudkan dalam ayat (2) adalah hak
untuk mengubah ciptaannya sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat; dan
mengubah judul dan anak judul ciptaan, berlaku selama berlangsungnya jangka
Undang-undang ini juga mengatur dalam Pasal 58 bahwa untuk hak
ekonomi atas ciptaan, perlindungan hak cipta berlaku selama hidup pencipta dan
terus berlangsung selama 70 tahun setelah pencipta meninggal dunia, terhitung
mulai 1 Januari tahun berikutnya. Jika dimiliki oleh badan hukum, maka berlaku
selama 50 tahun sejak pertama kali dilakukan pengumuman.
Pasal 58 ayat (1) UUHC 2014 diatur juga bahwa perlindungan dalam pasal
tersebut hanya berlaku bagi ciptaan berupa:28
a. Buku, pamphlet, dan semua hasil karya tulis lainnnya;
b. Ceramah, kuliah, pidato, dan ciptaan sejenis lain;
c. Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu
pengetahuan;
d. Lagu atau musik dengan atau tanpa teks;
e. Drama, drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomime;
f. Karya seni rupa dalam segala bentuk seperti lukisan, gambar, ukiran,
kaligrafi, seni pahat, patung, atau kolase;
g. Karya arsitektur;
h. Peta; dan
i. Karya seni batik atau seni motif lain.
Namun dalam Pasal 59 ayat (1) UUHC 2014 diatur bahwa ciptaan
berupa:29
a. Karya fotografi;
b. Potret;
28
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, Bab IX, Pasal 58.
29
c. Karya sinematografi;
d. Permainan video;
e. Program komputer;
f. Perwajahan karya tulis;
g. Terjemahan, tafsiran, saduran, bunga rampai, basis data, adaptasi,
aransemen, modifikasi, dan karya lain dari hasil transformasi;
h. Terjemahan, adaptasi, aransemen, transformasi, atau modifikasi
ekspresi budaya tradisional;
i. Kompilasi ciptaan atau data, baik dalam format yang dapat dibaca
dengan program komputer atau media lainnya; dan
j. Kompilasi ekspresi budaya tradisional selama kompilasi tersebut
merupakan karya yang asli; berlaku selama 50 tahun sejak pertama kali
diumumkan.
Ciptaan berupa karya seni terapan, perlindungan hak cipta berlaku selama
25 tahun sejak pertama kali diumumkan. Hal lain yang diatur dalam
undang-undang ini adalah adanya larangan bagi pengelola tempat perdagangan untuk
membiarkan penjualan dan/atau penggandaan barang hasil pelanggaran hak cipta
dan/atau hak terkait di tempat perdagangan yang dikelolanya. Menurut Pasal 114
UUHC 2014 pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 10 UUHC 2014 tersebut
dijatuhi pidana denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pengelolaan hak ekonomi dalam hak cipta diatur dalam undang-undang
ini yaitu dalam Pasal 1 angka 22 UUHC 2014 yang menyebutkan adanya
badan hukum nirlaba yang diberi kuasa oleh pencipta pemegang hak cipta,
dan/atau pemilik hak terkait guna mengelola hak ekonominya dalam bentuk
menghimpun dan mendistribusikan royalti.
Perbaikan dan penyempurnaan dalam UUHC 2014 ini bertujuan untuk
memberi perlindungan yang lebih baik terhadap pencipta dan kepada pihak-pihak
lainnya, seperti adanya kepastian hukum sebagai jaminan terhadap hak-hak
masing-masing pihak dalam hak cipta. Tujuan ini tentu akan tercapai jika
dilaksanakan secara benar dan tepat oleh seluruh pihak dengan adanya kesadaran
dari setiap pihak akan keberadaan undang-undang ini sebagai payung hukum bagi
perlindungan hak cipta di Indonesia.
C. Implementasi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta
dalam Memberi Perlindungan Hukum bagi Pencipta
Hukum berfungsi sebagai alat perlindungan kepentingan manusia, agar
kepentingan manusia itu terlindungi, sehingga hukum harus dilaksanakan.
Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, damai, tetapi dapat juga
dapat terjadi karena pelanggaran hukum. Dalam hal ini, hukum yang telah
dilanggar itu harus ditegakkan. Melalui penegakan hukum inilah hukum itu
menjadi kenyataan.30
Perlindungan hukum terhadap hak cipta sesungguhnya merupakan
pengakuan terhadap hak eksklusif, yaitu hak untuk menikmati sendiri manfaat
ekonomi pada ciptaan, dengan mengecualikan orang lain yang tanpa
30
persetujuannya untuk turut menikmatinya. Hukum melindungi monopoli serupa
itu dan mencegah orang lain mengambil manfaat dari ciptaannya secara tidak adil.
Pencipta dapat menikmati sendiri hasil jerih payahnya tanpa gangguan
apapun yang dapat merugikan kepentingannya dengan monopoli. Kekuatan
proteksi monopoli itu yang diharapkan menjadi insentif untuk memacu kreativitas
dan berkembangnya daya inovasi masyarakat, sehingga dapat melahirkan
ciptaan-ciptaan baru yang lebih banyak dan beragam.
Setidaknya ada beberapa alasan mengapa begitu pentingnya bagi seluruh
pihak di Indonesia untuk memberi perhatian serius terhadap hak cipta, yaitu: 31 1. Hak cipta mengandung budaya berpikir rasional, budaya berpikir kreatif,
budaya bekerja dan berkarya, dan budaya menghormati karya atau jerih payah
orang lain. Macam-macam budaya itu sangat diperlukan jika ingin
membangun masyarakat atau negara maju.
2. Perkembangan dunia telah memasuki babak baru bahwa barang-barang
ber-HKI umumnya dan ber-hak cipta khususnya sudah menjadi komoditi yang
bernilai tinggi secara ekonomi. Semakin banyak negara menghasilkan barang
ber-hak cipta semakin besar peluang meningkatkan devisa negara. Pada masa
sekarang maupun yang akan datang, Indonesia tidak dapat lagi hanya
mengandalkan komoditi ekspor yang bersumber dari (hasil) alam. Sumber
daya alam itu terbatas dan suatu saat akan habis.
3. Lahirnya WTO yang diikuti dengan TRIPs merupakan genderang persaingan
bebas, bahkan pertarungan satu lawan satu antarnegara, dan secara riil adalah
31Ibid
persaingan antarmanusia. Kecerdasan, kreativitas, dan kecepatan bertindak
manusia adalah kunci memenangkan persaingan . Apabila bangsa kita tetap
tidak concern dengan budaya hak cipta, selamanya budaya mencipta (yang
membutuhkan kecerdasan, kreativitas, dan kecepatan bertindak) tidak akan
berkembang di Indonesia. Jika budaya mencipta tidak berkembang, seterusnya
bangsa kita hanya menjadi pembeli atau konsumen produk-produk asing
(Eropa, Amerika, Jepang, Korea, dan lain-lain) seperti selama ini.
Munculnya UUHC 2014 merupakan suatu penyempurnaan yang
dilakukan terhadap undang-undang sebelumnya. Tujuan dari penyempurnaan ini
tentunya diarahkan pada perlindungan yang lebih baik yang diberikan terhadap
pencipta dan ciptaannya.
Perkembangan yang semakin pesat dalam bidang ilmu pengetahuan,
teknologi, seni dan sastra menimbulkan kebutuhan akan adanya peningkatan
perlindungan dan jaminan kepastian hukum bagi pencipta, pemegang hak cipta,
dan juga pemilik hak terkait. Turut sertanya Indonesia dalam berbagai perjanjian
internasional di bidang hak cipta dan hak terkait juga mendorong Indonesia untuk
mengaplikasikannya secara lebih lanjut dalam sistem hukum nasional, agar para
pencipta dan kreator nasional mampu berkompetisi dalam jangkauan
internasional.
Hal ini juga termasuk dalam beberapa latar belakang lahirnya UUHC 2014
menggantikan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Dari
penjelasan tersebut dapat dilihat bahwa tujuan dari lahirnya undang-undang
terhadap pencipta. Hal ini dapat dilihat dari pasal-pasal dalam undang-undang
tersebut yang menunjukkan keseriusan perlindungan yang diberikan terhadap
pencipta, pemegang hak cipta dan pemilik hak terkait.
Implementasi dari UUHC 2014 belum banyak yang dapat dilihat secara
nyata dalam penegakan hukum di Indonesia. Hal ini disebabkan undang-undang
ini masih baru diberlakukan sejak akhir tahun 2014. Namun secara teori dapat
dilihat gambaran dari pemberlakuan undang-undang ini dalam melindungi
hak-hak para pihak-hak dalam hak-hak cipta di Indonesia.
Terdapat beberapa perubahan dalam UUHC 2014 antara lain adanya
perlindungan hak ekonomi dan hukum pencipta serta industri teknologi informasi
dan komunikasi, dimana pada undang-undang terdahulu masalah hak ekonomi
diletakan pada bagian umum penjelasan. Sedang dalam UUHC 2014 ini, hak
ekonomi pencipta atau pemegang hak cipta diatur dalam pasal khusus yakni Pasal
8-11 UUHC 2014, hak ekonomi atas potret dalam Pasal 12-15 UUHC 2014 yang
pengalihannya diatur dalam Pasal 16-19 UUHC 2014.
Demikian dalam jangka perlindungan, juga mengalami perubahan yang
signifikan dimana dalam UUHC 2014 diberikan seumur hidup dan 70 tahun
sesudah meninggal, sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002
tentang Hak Cipta hanya diberikan tambahan selama 50 tahun setelah
meninggal.32
32
“UU Hak Cipta Baru”, TRENDMARK Konsultan Hak Kekayaan Intelektual,
Implementasi dari pasal ini tentunya akan memberikan dampak
positif bagi pencipta, dimana pencipta lebih dihargai dengan adanya perpanjangan
waktu perlindungan. Sehingga baik pencipta maupun keturunannya nanti masih
dapat menikmati hak-hak atas ciptaannya.
Pendaftaran ciptaan yang dulunya diatur dalam Undang-Undang Nomor
19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta kini diatur dalam UUHC 2014 dengan istilah
pencatatan. Dalam hal ini setiap ciptaan sudah dilindungi secara otomatis, namun
penting bagi para pencipta atau pemegang hak cipta untuk mencatatkan
ciptaannya, agar memiliki bukti yang sah jika dikemudian hari terjadi
permasalahan atau sengketa menyangkut hak cipta tersebut. Tata cara pencatatan
hak cipta diatur dalam Pasal 66 sampai Pasal 73 UUHC 2014.
Selain mengenai pencatatan diatur juga mengenai hapusnya kekuatan
hukum pencatatan dalam UUHC 2014. Dalam Pasal 74 UUHC 2014 disebutkan
sebab-sebab terjadinya penghapusan kekuatan hukum pencatatan ciptaan dan hak
terkait, yaitu:33
1. permintaan orang atau badan hukum yang namanya tercatat sebagai pencipta,
pemegang hak cipta, atau pemilik hak terkait;
2. lampaunya waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58, Pasal 59, Pasal 60
ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 61;
3. putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap mengenai
pembatalan pencatatan ciptaan atau produk hak terkait; atau
4. melanggar norma agama, norma susila, ketertiban umum, pertahanan dan
keamanan negara, atau peraturan per undang-undangan yang penghapusannya
dilakukan oleh menteri.
33
Undang-undang hak cipta ini juga melindungi pencipta dalam hal terjadi
jual putus (sold flat) yaitu dalam Pasal 18 UUHC 2014. Ciptaan buku, dan/atau
semua hasil karya tulis lainnya, lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks yang
dialihkan dalam perjanjian jual putus dan/atau pengalihan tanpa batas waktu, hak
ciptanya beralih kembali kepada pencipta pada saat perjanjian tersebut mencapai
jangka waktu 25 tahun. Hal tersebut juga berlaku bagi karya pelaku pertunjukan
berupa lagu dan/atau musik yang dialihkan dan/atau dijual hak ekonominya, hak
ekonomi tersebut beralih kembali kepada pelaku pertunjukan setelah jangka waktu
25 tahun, yang diatur dalam Pasal 30. Pemberlakuan dari pasal ini memberi
jaminan perlindungan bagi pencipta yang menjual ciptaannya untuk memperoleh
kembali hak ciptanya secara otomatis setelah 25 tahun.
Bentuk perlindungan lainnya dapat dilihat dalam hal penyelesaian
sengketa hak cipta. Dalam BAB XIV tentang Penyelesaian Sengketa, Pasal 95
(ayat) 1 UUHC 2014 disebutkan bahwa: "Penyelesaian sengketa hak cipta dapat
dilakukan melalui alternatif penyelesaian sengketa, arbitrase, atau pengadilan".
Berdasarkan pada Pasal 95 (ayat) 1 UUHC 2014 tersebut, bahwa upaya
penyelesaian sengketa hak cipta bisa dilakukan melalui alternatif penyelesaian
sengketa dan arbritase sebelum ke pengadilan. Pasal ini merupakan terobosan baru
didalam UUHC 2014. Selain itu juga bahwa untuk penyelesaian hak cipta yang
salah satu pihaknya berada di luar negeri, diakomodir ketentuan penyelesainnya
didalam Pasal 95 (ayat) 4 UUHC 2014, yang berbunyi: "Selain pelanggaran hak
cipta dan/atau hak terkait dalam bentuk pembajakan, sepanjang para pihak yang
Kesatuan Republik Indonesia harus menempuh terlebih dahulu penyelesaian
sengketa melalui mediasi sebelum melakukan tuntutan pidana".
Selain itu, setiap pencipta, pemegang hak cipta dan pemilik hak terkait
bisa juga mengajukan gugatan ganti rugi melalui Pengadilan Niaga atas
pelanggaran hak cipta atau produk terkait. Ketentuan tentang ganti rugi ini
disebutkan didalam Pasal 99 (ayat) 1 UUHC 2014. Menurut ketentuan Pasal 99
(ayat) 2 UUHC 2014 disebutkan bahwa: "Gugatan ganti rugi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat berupa permintaan untuk menyerahkan seluruh atau
sebagian penghasilan yang diperoleh dari penyelenggaraan ceramah, pertemuan
ilmiah, pertunjukan atau pameran karya yang merupakan hasil pelanggaran hak
cipta atau produk hak terkait". Selain itu juga pencipta, pemilik hak cipta dan
pemegang hak terkait juga bisa bisa mengajukan putusan sela kepada pengadilan
niaga.34
34
News Detail, “Ketentuan Pidana Dan Penyelesaian Sengketa Hak Cipta Menurut Uu Hak Cipta No. 28 Tahun 2014”, Acemark Intellectual Property,
Penjabaran tersebut menunjukkan kembali bahwa perubahan dan
penyempurnaan yang dilakukan terhadap UUHC di Indonesia telah menciptakan
suatu perlindungan dan kepastian hukum yang lebih baik bagi pencipta Indonesia.
Hal ini dapat semakin baik jika diterapkan secara benar dalam penegakan hukum
di Indonesia, terutama dalam bidang hak cipta. Sebab untuk menjamin terciptanya
suatu suasana hukum yang baik, tidak hanya dibutuhkan undang-undang yang
mengaturnya saja, tetapi juga kerjasama antara pemerintah, penegak hukum dan
masyarakat dalam mewujudkannya.
Masyarakat Indonesia sendiri pun masih sangat rendah pemahamannya
terhadap hak cipta khususnya dan HKI umumnya, terbukti bahwa kebanyakan
orang tidak merasa bersalah menjual maupun membeli produk hasil bajakan.
Penjual buku bajakan, kaset atau CD bajakan mungkin banyak yang sadar bahwa
perbuatannya dilarang hukum. Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan para
pembeli karena memang undang-undang tidak spesifik melarang orang membeli
barang bajakan. Hanya saja, langsung atau tidak langsung, banyaknya peminat
barang bajakan itulah yang membuat maraknya produksi dan penjualan barang
bajakan. Kalau saja masyarakat sadar nilai sebuah ciptaan sehingga merasa
bersalah jika membeli barang bajakan, hal itu sangat efektif menekan bahkan
mungkin menghentikan eksploitasi ciptaan orang lain oleh orang-orang yang
hanya mementingkan diri sendiri.35
Masyarakat seringkali mengalaskan kurangnya kemampuan ekonomi yang
mengharuskan mereka menjual dan membeli barang bajakan. Hal ini dikarenakan
harga barang bajakan jauh berada dibawah harga barang asli. Bahwa perbaikan
ekonomi rakyat harus dilakukan oleh pemerintah dan perekonomian rakyat yang
sulit mempengaruhi meningkatnya tingkat kejahatan, itu benar.
Pemimpin-pemimpin pemerintahan memang perlu menyadari bahwa dengan himbauan saja
supaya rakyat menaati hukum, sementara kepedulian mereka terhadap kehidupan
ekonomi rakyat yang sangat rendah, tidak ada artinya. Penegakan hukum yang
35
konsisten haruslah sejalan dengan pembangunan seluruh aspek kehidupan
masyarakat.36
1. Pengetahuan hak cipta perlu masuk dalam kurikulum sekolah mulai dari SD
sampai perguruan tinggi;
Hal yang juga menjadi persoalan pokok menyangkut pelaksanaan hukum
hak cipta adalah kultur dan paradigma masyarakat. Dalam pandangan kultur atau
budaya, dalam pandangan tradisional yang sampai sekarang belum sepenuhnya
pupus adalah bahwa suatu ciptaan oleh masyarakat dianggap sebagai milik
bersama dan kalaupun ada pengakuan individu terhadap ciptaan, tetapi bentuknya
lebih menonjolkan segi moral hak cipta daripada nilai ekonomisnya. Selain itu ada
juga realitas yang menunjukkan dimana masyarakat kita umumnya tidak
memandang kejahatan hak cipta sebagai kejahatan, atau dianggap tidak terlalu
jahat. Sangat berbeda misalnya dalam pandangan masyarakat tentang kejahatan
pencurian jika dibandingkan dengan kejahatan hak cipta.
Penegakan hukum dalam perlindungan hak cipta ini sangat diperlukan.
Oleh sebab itu, agar hukum ditegakkan sebagaimana mestinya, sosialisasi yang
mendasar dan sistematis harus dilakukan dalam dua tahap:
2. Sosialisasi hak cipta kepada segenap aparat penegak hukum, mulai dari polisi,
jaksa, hakim, dan advokat perlu dilakukan secara intensif. Kalau pemerintah
memiliki kemauan politik yang kuat untuk menegakkan hukum hak cipta,
langkah-langkah pembaharuan tidak dapat sekadar mengutak-atik rumusan
undang-undang atau melakukan razia secara insidentil. Yang lebih penting
36Ibid
adalah, melakukan upaya sistematis untuk mengubah budaya dan paradigma
berpikir masyarakat dan penegak hukum.37
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta ini sudah
memberi perlindungan dan kepastian hukum yang lebih baik bagi pencipta.
Namun, diperlukan kerjasama yang baik antara pemerintah, penegak hukum
maupun masyarakat dalam menerapkannya di dalam praktek hukum di Indonesia.
Implementasi yang benar dari undang-undang tersebut yang dilakukan
oleh seluruh pihak akan mempermudah tercapainya tujuan pembuatan
undang-undang ini. Sehingga pencipta, pemegang hak cipta, dan pemilik hak terkait
semakin terjamin kepastian hukumnya. Hal ini juga diharapkan akan memberi
pengaruh yang baik pula, dimana para pencipta akan semakin giat berkarya dan
menghasilkan ciptaan-ciptaan yang lebih baik lagi tanpa takut akan kehilangan
hak-haknya di kemudian hari.
37Ibid