• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Pernikahan Dini pada Remaja Aceh di Kota Lhokseumawe Tahun 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Pernikahan Dini pada Remaja Aceh di Kota Lhokseumawe Tahun 2014"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pada era globalisasi saat ini, tidak sedikit remaja yang telah melakukan pernikahan di usia dini dengan berbagai penyebab yang berbeda-beda. Pernikahan

dini (early marriage) merupakan fenomena yang sudah banyak terjadi di berbagai tempat di belahan dunia, seperti di kawasan Asia Selatan, Asia Tenggara, Afrika, dan Amerika Latin.

Menurut laporan Direktur Eksekutif United Nations Fund for Population Activities (UNFPA) sebagai organisasi PBB urusan populasi, memperkirakan bahwa pada tahun 2020 terjadi peningkatan perkawinan usia dini dan setiap tahunnya mencapai 14,2 juta. Kemudian pada tahun 2030 diperkirakan per tahunnya mencapai 15,1 juta. Pada tahun 2010, satu dari tiga wanita, atau 67 juta perempuan yang berusia

20-24 tahun menikah sebelum mereka berulang tahun ke-18. Paling banyak pernikahan dini berlangsung di negara-negara berkembang termasuk China. Kira-kira

setengah dari pernikahan itu terjadi di Asia dan 20 persen lagi di sub-Sahara Afrika. Praktek ini juga terjadi di Amerika Latin dan Karibia, serta Eropa Timur. Menurut data tahun 2010, untuk Asia Selatan, Bangladesh memiliki prevalensi tertinggi

pernikahan dini yaitu 66%. Di negara Afrika barat Niger, 75% dari anak perempuan berusia 20 hingga 24 tahun menikah sebelum genap berusia 18 tahun (Babatunde,

(2)

Menurut Survei Kesehatan Afghanistan (2010), 1 dari 50 perempuan Afghanistan kemungkinan besar meninggal karena penyebab terkait kehamilan.

Risiko kematian terkait kehamilan lima kali lebih tinggi di daerah pedesaan ketimbang di kota dan metropolitan. Angka kematian ibu terus meningkat di

Afghanistan karena masih maraknya pernikahan dini yang mengakibatkan banyak masalah kesehatan bagi perempuan. Selain meningkatkan angka kematian ibu, pernikahan dini juga menyebabkan beragam masalah reproduksi. Di antara masalah

kesehatan yang umum muncul akibat pernikahan dini dan melahirkan di usia muda adalah fistula obstetric, yang dicirikan oleh adanya bagian abnormal antara saluran lahir dan organ internal seperti rektum. Fistula menyebabkan sejumlah masalah medis seperti tak mampu menahan berkemih, infeksi kandung kemih, mandul, dan gagal ginjal (Hafiza, 2010).

Untuk menekan angka pernikahan dini, berbagai kebijakan perundang-undangan telah dikeluarkan di berbagai negara. Pemberlakuan perundang-perundang-undangan

perkawinan No.1 tahun 1974 di Indonesia yang menyatakan bahwa perkawinan tidak dapat dilaksanakan di bawah umur 21 tahun, ternyata belum mampu memberikan perubahan yang berarti dalam masyarakat. Berdasarkan laporan pencapaian

Millennium Development Goal’s (MDG’s) Indonesia 2010 yang diterbitkan oleh Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) terdapat 28,10% remaja yang

menikah di bawah usia 18 tahun.

(3)

ditemukan di Kabupaten Serdang Bedagai (Sumatera Utara), Kota Bogor (Jawa Barat), dan Kabupaten Pasuruan (Jawa Timur). Beberapa daerah memiliki angka

yang cukup tinggi seperti di Jawa Timur (39,43%), Kalimantan (35,48%), Jambi (30.63%), Jawa Barat (36%) dan Jawa Tengah (27,84%) (Kemenkes RI, 2013).

Berdasarkan Survei Data Kependudukan Indonesia (SDKI) 2012, di beberapa daerah didapatkan bahwa sepertiga dari jumlah pernikahan yang didata dilakukan oleh pasangan usia di bawah usia 16 tahun. Jumlah kasus pernikahan dini di

Indonesia mencapai 50 juta penduduk dengan rata-rata usia perkawinan 19 tahun. Di propinsi Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Jambi, dan Jawa Barat, angka kejadian

pernikahan dini berturut-turut 30,6%, 35,5%, 36% dan 39,4%. Bahkan di sejumlah pedesaan, pernikahan seringkali dilakukan segera setelah anak perempuan mendapat haid pertama (Kemenkes RI, 2013).

Dampak pernikahan dini di Indonesia, bahwa sekitar 10% dari populasi remaja putri melahirkan anak pertama di usia 15-19 tahun. Di Jawa Tengah

melahirkan anak di usia 15-19 tahun dengan persentase sebesar 37,13% dan menikah pada umur 16-18 tahun, sebesar 39% menikah pada usia 19-24 tahun ditemukan juga perempuan yang menikah pada di bawah 16 tahun yaitu sebesar 13,75%. Fenomena

pernikahan usia muda juga terjadi di Kabupaten Grobogan, sebanyak 18,63% perempuan yang menikah di bawah usia 16 tahun dan 44,75% perempuan menikah di

usia 16-18 tahun (BKKBN, 2009 ; BPS Jawa Tengah, 2009)

(4)

Tenggara Barat adalah salah satu penyumbang tertinggi AKI di Indonesia. Pada tahun 2011 terdapat 18.915 kelahiran di Kabupaten Lombok Tengah dan diperkirakan 10%

kelahiran tersebut oleh remaja perempuan dari usia antara 14 hingga 19 tahun. Berdasarkan Laporan Dinas Kesehatan Kabupaten Grobogan, Angka Kematian Ibu

pada tahun 2011 sebesar 114,04 per 1000 KH. Angka ini mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan kondisi tahun 2010, yaitu sebesar 80,02 per 100.000 KH. (SDKI 2007; Data Dinas Kesehatan Kabupaten Lombok Tengah, 2012; Dinas

Kesehatan Grobogan, 2011).

Data dari Kantor Kementerian Agama Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta

(2010) disebutkan bahwa pernikahan dini pada tahun 2006 berjumlah 19 kasus, pada tahun 2007 berjumlah 41 kasus, pada tahun 2008 berjumlah 69 kasus, pada tahun 2009 berjumlah 84 kasus, pada tahun 2010 berjumlah 98 kasus. Di Purwokerto, Jawa

Tengah berdasarkan catatan Pengadilan Agama, antara Januari hingga Juni 2010, terdapat 44 pasangan di bawah umur menikah. Pasangan pernikahan dini rata-rata

baru berusia 14-15 tahun untuk wanita dan 16-17 tahun untuk laki-laki (Krisman, 2011).

Supriatiningsih (2010) menyatakan bahwa 20% sampai 50% kehamilan dan

persalinan di bawah usia 20 tahun adalah kehamilan dini dan tidak diinginkan. Kenyataan ini diperburuk lagi dengan temuan BKKBN pada tahun 2010 bahwa

(5)

berekspresi. Dalam banyak kasus, sekali mereka menikah, seorang anak di bawah umur dapat kehilangan status mereka sebagai seorang anak dan perlindungan terkait

yang berlaku secara nasional.

Penelitian yang dilakukan oleh Hanggara (2011) dan Fitra (2011) tentang

pernikahan dini di Kecamatan Gejugjati dan Kecamatan Lekok, Kabupaten Pasuruan bahwa di Kecamatan ini sebanyak 35% pasangan menikah di bawah umur. Sementara itu di Kecamatan Mandalagiri Kecamatan Leuwisari Kabupaten Tasikmalaya,

ditemukan 8 pasangan yang menikah di bawah umur 18 tahun.

Penelitian yang dilakukan oleh Rafidah dkk (2009) di Kabupaten Purworejo

Jawa Tengah menyebutkan bahwa sebenarnya para responden memahami pada usia berapa seharusnya menikah, yaitu di atas 21 tahun. Bahkan tokoh agama menganjurkan menikah harus di atas 25 tahun. Namun setelah dilakukan kajian

tersebut, ternyata tingkat pendidikan yang rendah, baik orang tua maupun anak, serta perekonomian yang lemah menjadi sebab banyaknya pernikahan dini.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Nanggroe Aceh Darussalam (2011) persentase pernikahan dini usia <18 tahun di Nanggroe Aceh Darussalam sebesar 8,75% dari keseluruhan pernikahan yang ada, sedangkan dari keseluruhan

pernikahan yang terjadi di Lhokseumawe, ada sebesar 7,25% terjadi pada usia <18 tahun. Berdasarkan data BPS tersebut tingkat pendidikan masyarakat di Nanggroe

(6)

Dari beberapa penelitian menyebutkan bahwa beberapa faktor penyebab pernikahan dini adalah faktor ekonomi, yaitu supaya ekonomi keluarga terbantu

setelah anak perempuannya diserahkan kepada suaminya, faktor orang tua karena takut adanya penilaian perawan tua terhadap anaknya. Selain itu, dalam hukum positif

Indonesia pernikahan pada remaja di bawah usia 20 tahun adalah ilegal (tidak syah) sehingga mereka memilih menikah di bawah tangan (nikah sirri) (Aditya dkk, 2010).

Menurut penelitian Khoirul (2008), bahwa pernikahan di bawah umur menjadi

pemicu terjadinya pernikahan sirri. Hal itu terjadi karena terdapat dualisme hukum di tengah masyarakat, yaitu antara hukum Islam dengan hukum positif yang penuh

pertimbangan prosedural dan administratif. Pernikahan di bawah umur dengan pernikahan sirri menurut Rahmita (2010) mempunyai keterkaitan yang cukup erat. Para pelaku pernikahan sirri dengan remaja usia di bawah 20 tahun sebagian besar

tidak memikirkan dampak yang akan terjadi pada remaja putri karena belum siap fisik dan psikologisnya.

Kesiapan seorang perempuan untuk hamil dan melahirkan atau mempunyai anak ditentukan dengan kesiapan fisik (pertumbuhan tubuh). Seorang perempuan dikatakan siap secara fisik jika telah menyelesaikan pertumbuhan tubuhnya (ketika

tubuhnya berhenti tumbuh), yaitu sekitar usia 20 tahun. Sehingga usia 20 tahun bisa dijadikan pedoman kesiapan fisik. Selain kesiapan fisik, perempuan juga harus

(7)

berat. Pasalnya hamil dalam usia yang masih sangat muda emosional ibu belum sepenuhnya stabil dan ibu mudah tegang. Sementara kecacatan kelahiran bisa muncul

akibat ketegangan saat dalam kandungan, adanya rasa penolakan secara emosional ketika si ibu mengandung bayinya. Dampak kehamilan di usia muda adalah

keguguran, persalinan prematur, berat badan lahir rendah, cacat bawaan pada bayi, mudah terjadi infeksi, anemia dalam kehamilan dan keracunan kehamilan. Dampak lain yang timbul pada anak usia dini, organ reproduksinya sudah terbentuk namun

belum dapat digunakan dengan maksimal, sehingga dapat menimbulkan gangguan kesehatan, salah satunya kanker rahim (Lubis dalam BKKBN, 2010).

Berbagai macam dampak negatif juga muncul akibat pernikahan dini tersebut seperti menurunnya kualitas sumber daya manusia, kekerasan terhadap anak, kemiskinan meningkat, eksploitasi dan seks komersial anak, dan sebagainya.

Maraknya perdagangan anak (trafficking) di antaranya dipicu oleh terjadinya pernikahan di bawah umur. Praktek pernikahan dini yang umum terjadi di suatu

wilayah juga dapat menyebabkan angka kematian ibu dan bayi cukup tinggi yang disebabkan oleh tradisi lama yang masih dianut oleh sebagian masyarakat (Petti dkk, 2011)..

Tradisi lama yang sudah turun temurun yang menganggap perkawinan pada usia dini sebagai suatu hal yang wajar. Dalam masyarakat Indonesia, bila anak

(8)

menginginkan perkawinan itu, maupun orang yang mengawini. Ada yang mengeksploitasi anak atas nama ekonomi atau materi, ada yang karena gengsi atau

harga diri bisa mengawinkan anaknya dengan orang yang dianggap terpandang tanpa memperdulikan apakah calon suami anaknya sudah beristri atau belum, apakah anak

perempuannya sudah siap secara fisik, mental dan sosial ataukah belum (Hadi, 2010) Dilihat dari data di atas bahwa ternyata pernikahan dini sudah terjadi dimana-mana dengan berbagai penyebab. Hal serupa juga banyak terjadi di Kota

Lhokseumawe, terutama di Desa Pusong Kecamatan Banda Sakti. Penduduk di desa tersebut sebagian besar terdiri dari nelayan tetapi berada di daerah perkotaan

Lhokseumawe. Hasil observasi yang peneliti lakukan bahwa banyak ditemui remaja putri usia di bawah 20 tahun sudah menimang bayi atau mengendong anak dengan kondisi yang memprihatinkan. Ibunya dalam kondisi seperti orang yang kurang

terurus, sedangkan bayi atau anaknya memiliki perawakan yang kurus (kecil), nampak lesu, terlambat tumbuh kembangnya. Beberapa ibu muda tersebut bahkan ada

yang sudah memiliki anak 2 atau tiga orang, dengan kondisi yang hampir sama yaitu kurang gizi. Data yang diperoleh dari bidan bahwa dalam 2 bulan terakhir menolong persalinan remaja usia di bawah 20 tahun sebanyak 5 orang, dan yang mengalami

komplikasi sebanyak 4 orang. Komplikasi persalinan yang dialami seperti anemia, letak lintang, distosia bahu (panggul sempit).

(9)

dapat dipastikan. Kebiasaan masyarakat di desa tersebut, jika suami pergi melaut maka untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sebagian warga mengutang di warung

(kedai), sedangkan jika suami sudah pulang melaut baru hutang-hutang tersebut dibayar. Sering terjadi hutang mereka bertumpuk-tumpuk pada pemilik warung

(kedai) karena ketika pulang melaut hasil yang diperoleh tidak sesuai dengan diharapkan.

Hal tersebut tidak lepas dari budaya yang berkembang di masyarakat bahwa

wanita tidak boleh sampai terlambat menikah, oleh karena itu banyak anak–anak usia remaja pun sudah dinikahkan. Bahkan di Lhokseumawe ada budaya perjodohan sejak

anak perempuan belum lulus SD atau masih SMP. Sampai pada saat ini, budaya semata–mata sebagai alasan utama keluarga menikahkan anak perempuannya saat masih belia. Jumlah anak menikah dini (di bawah 17 tahun) terus meningkat. Pada

tahun 2011 jumlah remaja yang menikah di usia dini sebanyak 23 orang, tahun 2012 meningkat menjadi 28 orang. Dari pengamatan peneliti pada sebagian kasus

pernikahan dini, remaja putri menikah dipaksa orang tua pernikahan karena ingin memperbaiki ekonomi dan keluar dari kemiskinan, hamil di luar nikah, dan sebagian lagi karena status sosial.

Berdasarkan pemantauan peneliti bahwa pernikahan dini di kampung nelayan tersebut masih banyak didasari oleh kebiasaan masyarakat setempat. Wanita yang

(10)

lama yang sudah lama tertanam menganggap bahwa menstruasi merupakan telah dewasanya seorang anak gadis masih dipercaya orang tua di kampung tersebut.

Remaja wanita yang menikah dini banyak yang berasal dari keluarga besar (jumlah anak lebih dari 3 orang), khususnya di daerah nelayan tersebut dengan keadaan

ekonomi yang serba terbatas dan adanya sikap yang apatis, pasrah pada nasib dan keadaan. Keadaan ini menyebabkan banyak remaja putri yang putus sekolah dan akhirnya dinikahkan oleh orang tua pada usia dini.

Praktek pernikahan dini banyak dipengaruhi oleh budaya lokal. Para orang tua di pedesaan ingin mempercepat pernikahan dengan berbagai alasan ekonomi, sosial

anggapan tidak penting pendidikan bagi anak perempuan dan stigma negatif terhadap status perawan tua. Di perkotaan, orang tua mempercepat pernikahan dengan beberapa alasan diantaranya anaknya yang hamil di luar nikah (untuk menghilangkan

rasa malu) atau yang menikahi anaknya adalah orang kaya. Hal ini dianggap sebagai sebuah solusi yang kemungkinan di kemudian hari akan menyesatkan anak-anak.

Ibarat anak sudah melakukan suatu kesalahan yang besar, bukan memperbaiki kesalahan tersebut, tetapi orang tua justru membawa anak pada suatu kondisi yang rentan terhadap masalah baru. Karena di kemudian hari perkawinan usia dini tersebut

sangat besar peluang akan mengalami banyak konflik.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti merasa tertarik untuk melakukan

(11)

1.2 Permasalahan

Dari data dan uraian di atas, pernikahan dini banyak terjadi dimana-mana

termasuk di Kota Lhokseumawe, dengan berbagai dampak negatif yang dialami oleh remaja putri baik dampak pada kehidupan sosial, maupun dampak pada kesehatan

reproduksinya. Berdasarkan hal tersebut, maka permasalahan penelitian ini adalah bagaimana pernikahan dini pada remaja Aceh di Kota Lhokseumawe tahun 2014.

1.3 Tujuan Penelitian

Untuk menganalisis mengapa dan apa penyebab terjadinya pernikahan dini pada remaja Aceh di Kota Lhokseumawe Tahun 2014.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat secara praktis dan teoritis. 1. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi masukan kepada pihak terkait untuk membuat suatu kebijakan dalam menurunkan pernikahan dini serta

meningkatkan pemahaman masyarakat untuk menunda menikah usia muda dan kehamilan pada usia <20 tahun karena dapat mengakibatkan gangguan pada kesehatan reproduksi.

2. Manfaat Teoritis

Diharapkan mampu memberikan informasi tentang kesehatan reproduksi pada

Referensi

Dokumen terkait

Biaya tidak langsung didefinisikan sebagai biaya yang tidak secara langsung terhubung dengan sebuah kegiatan, tetapi masih penting dalam pelaksanaan. Contoh kegiatan dari biaya

1) User, pengguna yang memberi masukan ke aplikasi pencarian berupa kalimat pencarian, kemudian diterima oleh Input Query Processor. 2) Input Query Processor,

Keterkaitan penggunaan unmanned drones dengan mengaplikasikan Hukum Humaniter Internasional harus sesuai dengan apa yang diatur dalam Konvensi Jenewa. Apa yang

Perancangan Kartu pintar untuk kamar tidur dengan menggunakan sensor photodioda dan sensor infrared berbasis Arduino Uno telah berhasil dengan baik sesuai

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijelaskan, maka penulis berkeinginan untuk meneliti secara lebih mendalam tentang peran kyai dalam pembinaan

The results showed paraquat increases in liver MDA levels significantly but decreases in liver glutathione levels significantly compared to controls, while taurine and

reflektif fase Comparing yaitu siswa mampu mengaitkan masalah yang ditanyakan dengan masalah yang pernah dihadapi (Lihat Tabel 2.1 Indikator Berpikir Reflektif).