• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peluang dan Tantangan Prospek Perbankan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Peluang dan Tantangan Prospek Perbankan"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Peluang dan Tantangan Prospek Perbankan 2014

Bank Indonesia (BI) menilai, meski pertumbuhan industri perbankan nasional terus mengalami perbaikan, namun kontribusinya dalam pembangunan ekonomi nasional masih sub-optimal alias belum memadai. Hal yang berlawanan itu terlihat pada fakta bahwa rasio total aset industri perbankan terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada September 2011 beberapa taun yang lalu lalu hanya sebesar 47,2%.Di sisi lain, rasio penyaluran kredit terhadap PDB hanya 29%. Sebagai perbandingan, rasio kredit terhadap PDB di Malaysia 114%, Thailand 117%, dan Cina 131%.Selain itu, perspektif dari dunia usaha memberi gambaran yang sama, seperti hasil survei BI yang menyebutkan bahwa pangsa kredit bank dari total pembiayaan perusahaan sangat minim, yaitu untuk modal kerja (KMK) hanya 25% dan untuk investasi (KI) hanya 21%.

(2)

Sementara suku bunga kredit banknya hanya 6,5% dan 5,7%. Dalam hal ini, terdapat 13 bank Indonesia dinilai layak menjadi bank paling efisien dibandingkan dengan bank-bank lain pada kategori masing-masing. Kategori itu adalah bank asing dan campuran, bank umum swasta nasional, bank syariah dan bank pembangunan daerah (BPD), serta bank umum atau bank BUMN. Ke-13 bank terdiri atas atas dua bank BUMN, empat bank umum swasta nasional devisa, satu bank perkreditan rakyat (BPR), dua bank campuran, tiga bank asing, dan satu bank umum swasta nasional devisa syariah. Tahun ini, terjadi peningkatan jumlah bank yang masuk kategori bank efisien. Tahun lalu, bank yang tergolong efisien hanya berjumlah tujuh.Selain itu, sebaran bank yang masuk kategori efisien lebih merata yang mengindikasikan terjadi peningkatan efisiensi dalam operasional pada hampir semua kategori bank.Dari gambaran itu, yang perlu dicermati adalah konstruksi berpikir bahwa rasio kredit terhadap PDB yang rendah dinilai sebagai kegagalan bank dalam menjalankan fungsi intermediasinya. Pandangan ini boleh jadi tidak sepenuhnya benar, karena kalau dilihat dari posisi loan to deposit ratio (LDR) yang berkisar 81%, maka rasio ini menggambarkan penyaluran kredit cukup besar. Bahkan beberapa bank memiliki LDR mendekati 100%.Negasi yang lain adalah bahwa yang memberikan kontribusi terhadap PDB bukan hanya sektor perbankan saja, namun juga sektor keuangan non perbankan seperti industri pasar modal, anjak piutang, leasing, asuransi dan modal ventura.

(3)
(4)

Jadi, sungguh kasihan bagi bank-bank yang sudah berusaha meningkatkan efisiensi operasionalnya, lantas harus menurunkan bunga simpanan, namun kemudian pemilik dana akan memindahkan dananya ke bank-bank pesaing yang berani memberikan bunga simpanan sedikit lebih tinggi. Sekali lagi, inilah konsekuensi dari mekanisme pasar dengan persaingan terbuka menjadi aturan mainnya. Lantas, apakah tidak ada jalan keluar yang lain untuk menggerakkan penurunan suku bunga? Ada, yakni bank menawarkan produk dan jasa perbankannya secara paket sehingga penetapan pricing bisa menjadi lebih rendah. Model “value chain” atau “supply chain” bisa terapkan di perbankan sehingga pricing menjadi jauh lebih kompetitif. Dengan cara demikian, tercipta spirit “menang-menang” (mengambil salah satu pilar ”Tujuh Kebiasaan Hebat” menurut Steven Covey) karena di satu sisi bank diuntungkan dan di sisi lain para nasabah juga diuntungkan. Apalagi kalau bank mampu memberikan layanan prima yang di atas standar rata-rata layanan perbankan, tentu nasabah akan loyal kepada banknya. Di samping aspek tantangan nyata yang dihadapi perbankan nasional terkait semakin muramnya wajah perekonomian dunia 2014 ini, maka prospek dan peluang yang baik pun tersedia melalui Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).MP3EI bisa menjadi faktor kunci menggenjot kredit karena kebutuhan pendanaan untuk sektor infrastruktur berskala besar amat dinantikan. Bahkan pembiayaan perbankan akan semakin tersebar karena pelaksanaan MP3EI dilakukan melalui enam koridor ekonomi dari Aceh hingga Papua.

(5)

Belajar dari penanganan krisis moneter 1997/98 dan krisis ekonomi 2008 silam, maka kalangan perbankan nasional tetap harus hati-hati, waspada dan terus memantau perkembangan lingkungan global agar dapat melakukan langkah-langkah antisipasi secara tepat dan efektif. Lebih baik lagi jika setiap bank menyiapkan protokol manajemen krisis masing-masing untuk berjaga-jaga jika keadaan ke depannya semakin memburuk. Sebagai contoh, ketika likuiditas valas sedang seret, sebaiknya perbankan menghentikan sementara waktu pembiayaan valas dengan mengarahkan debitur meminjam dalam rupiah. Pelambatan ekonomi masih akan membayangi kinerja industri perbankan tahun depan. Pertumbuhan industri perbankan di tahun 2014 diperkirakan semakin lambat. Tahun depan, tantangan industri perbankan kian berat lantaran likuiditas semakin ketat, sementara risiko kredit bermasalah meningkat.

Bank Indonesia (BI) memperkirakan, pertumbuhan kredit perbankan tahun depan hanya di kisaran 15,3%-16,6%. Angka ini jauh di bawah perkiraan pertumbuhan kredit tahun 2013 di kisaran 20,8%.Gubernur BI, Agus Martowardojo, mengatakan upaya stabilisasi ekonomi yang diperkirakan masih akan berlangsung hingga 2014 menjadi alasan penurunan angka pertumbuhan kredit perbankan. Pelambatan pertumbuhan penyaluran kredit juga dipicu kenaikan suku bunga perbankan. Alih-alih agresif, bank akan bersikap konservatif. Sebagian besar bank memilih mengerem laju pertumbuhan kredit dan memasang target pertumbuhan sesuai proyeksi BI.

(6)

Thila Nadason, Pjs Presiden Direktur Bank Internasional Indonesia (BII), mengatakan likuiditas pada tahun depan semakin ketat lantaran langkah The Federal Reserve melakukan tapering off. Alhasil, likuiditas akan kembali lari ke luar negeri. Menurut Pahala, pengetatan likuiditas sudah terlihat dari pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) yang melambat dua tahun terakhir. Sebagai gambaran, tahun 2011, penghimpunan DPK industri perbankan masih tumbuh 19%. Tahun lalu DPK cuma naik 15%. Risiko kekeringan likuiditas makin meningkat sejak BI mengerek bunga acuan (BI rate) Juni 2013 lalu. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) memperkirakan, pertumbuhan DPK tahun depan hanya naik 14,1%. "Bank kecil paling terpukul efek kekeringan likuiditas," kata Doddy Ariefianto, Head of Economic and Banking System Risk Division LPS. Risiko NPL meningkat Karena itu, perang suku bunga simpanan masih akan berlangsung hingga tahun depan. Bank akan berlomba menawarkan suku bunga deposito setinggi-tingginya untuk menggaet dana nasabah. Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Bidang Pengawas Perbankan, Nelson Tampubolon, mengakui likuiditas perbankan menjadi persoalan potensial tahun depan. Ia khawatir, saat kondisi ekonomi makro memburuk, bank saling menahan diri memberikan pinjaman di pasar uang antarbank (PUAB).

(7)

Achmad Baequni, Direktur Keuangan Bank Rakyat Indonesia (BRI), mengakui ada potensi kenaikan NPL tahun depan meski tidak besar. BRI telah mengantisipasi dengan selektif menyalurkan kredit. "Bank harus mempelajari profil nasabah dan usaha mereka serta mengelola penyaluran kredit untuk mengendalikan NPL," kata Parwati Surjaudaja, Presiden Direktur Bank OCBC NISP. Jadi, tahun depan bankir mesti lebih berhati-hati. Sementara itu, Pengamat Ekonomi Aviliani yang juga Sekjen Komite Ekonomi Nasional (KEN) memaparkan, tantangan dunia perbankan 2014, khususnya Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) di Indonesia tetap tahan banting terhadap krisis. Bertolak pada krisis 2008 lalu, rupiah menyentuh angka Rp 12 ribu. Meski demikian, waktu itu Indonesia dapat bertahan dan keluar dari krisis saat itu. Yang terjadi saat ini, katanya, investasi terus menurun sementara rupiah melemah.”Itu dikarenakan barang-barang dan peralatan kita masih impor. Kebijakan Bank Indonesia sudah bagus, namun efektifi tasnya masih kurang,” ujarnya. Menurutnya, yang harus diperbaiki adalah hal fundamental. Mencontoh India, mata uang Rupee melemah, na mun mereka meiliki nilai ekspor yang bagus. Demikian Prancis yang mempertahankan modenya, Jepang mempertahankan dan fokus pada otomotif dan elektroniknya.”Jadi Indonesia impornya harus dikurangi dan ekspornya diperbanyak Pelambatan ekonomi masih akan membayangi kinerja industri perbankan tahun depan. Pertumbuhan industri perbankan di tahun 2014 diperkirakan semakin lambat. Tahun depan, tantangan industri perbankan kian berat lantaran likuiditas semakin ketat, sementara risiko kredit bermasalah meningkat. Bank Indonesia (BI) memperkirakan, pertumbuhan kredit perbankan tahun depan hanya di kisaran 15,3%-16,6%. Angka ini jauh di bawah perkiraan pertumbuhan kredit tahun 2013 di kisaran 20,8%. Gubernur BI, Agus Martowardojo, mengatakan upaya stabilisasi ekonomi yang diperkirakan masih akan berlangsung hingga 2014 menjadi alasan penurunan angka pertumbuhan kredit perbankan. Pelambatan pertumbuhan penyaluran kredit juga dipicu kenaikan suku bunga perbankan.

(8)

BI.Pahala N. Mansuri, Direktur Keuangan Bank Mandiri, mengatakan rata-rata pertumbuhan kredit tiga tahun terakhir mencapai 24%. Tahun 2014, sudah saatnya pertumbuhan kredit melambat di kisaran 15%-17%. Presiden Direktur Bank Central Asia (BCA), Jahja Setiaatmadja, mengatakan kredit sektor konsumer seperti kredit properti dan kredit kendaraan bermotor pada tahun depan akan tersendat akibat kebijakan pengetatan loan to value (LTV) yang dirilis BI. Selain kredit melambat, bank juga menghadapi dua tantangan besar pada tahun depan. Direktur Bank Jabar Banten, Bien Subiantoro, mengatakan likuiditas yang semakin ketat menjadi tantangan utama perbankan di tahun depan. Banyak dana nasabah institusi keluar dari sistem perbankan lantaran dialihkan untuk membeli surat utang negara (SUN) demi mendongkrak yield. Alhasil, likuiditas semakin seret dan persaingan memperebutkan dana pihak ketiga (DPK) makin ketat.

Thila Nadason, Pjs Presiden Direktur Bank Internasional Indonesia (BII), mengatakan likuiditas pada tahun depan semakin ketat lantaran langkah The Federal Reserve melakukan tapering off. Alhasil, likuiditas akan kembali lari ke luar negeri. Menurut Pahala, pengetatan likuiditas sudah terlihat dari pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) yang melambat dua tahun terakhir. Sebagai gambaran, tahun 2011, penghimpunan DPK industri perbankan masih tumbuh 19%. Tahun lalu DPK cuma naik 15%. Risiko kekeringan likuiditas makin meningkat sejak BI mengerek bunga acuan (BI rate) Juni 2013 lalu. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) memperkirakan, pertumbuhan DPK tahun depan hanya naik 14,1%. "Bank kecil paling terpukul efek kekeringan likuiditas," kata Doddy Ariefianto, Head of Economic and Banking System Risk Division LPS. Risiko NPL meningkat Karena itu, perang suku bunga simpanan masih akan berlangsung hingga tahun depan. Bank akan berlomba menawarkan suku bunga deposito setinggi-tingginya untuk menggaet dana nasabah. Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Bidang Pengawas Perbankan, Nelson Tampubolon, mengakui likuiditas perbankan menjadi persoalan potensial tahun depan. Ia khawatir, saat kondisi ekonomi makro memburuk, bank saling menahan diri memberikan pinjaman di pasar uang antarbank (PUAB).

(9)

yang melibatkan delapan bank. Proyek tersebut diharapkan memicu peningkatan transaksi repo antarbank sehingga likuiditas perbankan lebih longgar. Meski begitu, bankir harus menyiapkan strategi alternatif, seperti penerbitan obligasi untuk menjaga likuiditas di 2014. Tantangan kedua yang tak kalah berat adalah risiko kenaikan kredit bermasalah alias non-performing loan (NPL) akibat kenaikan suku bunga kredit dan penurunan dana beli masyarakat. BI memperkirakan, NPL tahun depan bisa mencapai 2,8%-3,1%. Per Oktober 2013, NPL perbankan masih di level 1,9%. Mirza Adityaswara, Deputi Gubernur Senior BI, meminta perbankan meningkatkan biaya pencadangan alias provisi, mengantisipasi dampak kenaikan kredit bermasalah. Bank juga harus meningkatkan rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR) untuk memperkuat ketahanan permodalan saat ekonomi melemah.

Achmad Baequni, Direktur Keuangan Bank Rakyat Indonesia (BRI), mengakui ada potensi kenaikan NPL tahun depan meski tidak besar. BRI telah mengantisipasi dengan selektif menyalurkan kredit. "Bank harus mempelajari profil nasabah dan usaha mereka serta mengelola penyaluran kredit untuk mengendalikan NPL," kata Parwati Surjaudaja, Presiden Direktur Bank OCBC NISP. Jadi, tahun depan bankir mesti lebih berhati-hati. Ketatnya likuiditas yang terlihat dari melambatnya pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) dua tahun terakhir menjadi tantangan terbesar perbankan syariah pada 2014. Risiko kekeringan likuiditas makin meningkat sejak BI mengerek bunga acuan (BI Rate) pada Juni 2013. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) memperkirakan pertumbuhan DPK di 2014 hanya naik 14,1 persen.Perbankan syariah dengan skalanya yang relatif masih kecil serta jaringan outlet yang belum terlalu besar, tentu akan menghadapi tingkat persaingan tidak berimbang dengan bank-bank konvensional yang ukurannya besar.

(10)

Komposisi dana murah bank-bank besar lebih baik dibanding perbankan syariah. Kenaikan BI Rate hingga 7,5 persen akan mendorong perebutan dana, khususnya bagi bank kecil, menjadi kian ketat. Implikasinya, biaya dana menjadi kian mahal, sehingga berpotensi menaikan margin pembiayaan dan menahan laju pembiayaan. Di sisi lain, sebagai bank yang relatif baru berkembang, ketentuan terkait dengan financing to deposit ratio (FDR) sebesar 78 persen-100 persen menjadi batasan (constraint) bagi perbankan syariah untuk melakukan ekspansi pembiayaan. Kebutuhan untuk melakukan ekspansi pembiayaan di satu sisi, sedang di sisi lain menghadapi keterbatasan dana (terutama dana murah) bisa menghambat laju pertumbuhan perbankan syariah secara keseluruhan.Ketentuan FDR ini jelas memberatkan perbankan syariah yang sedang berupaya meningkatkan pembiayaan. Sulitnya memobilisasi dana, khususnya dana murah, dapat membuat mereka terpaksa menahan laju ekspansi pembiayaannya. Sebab, bila laju pembiayaan tinggi tanpa diimbangi laju pendanaan yang seimbang, akan mendorong posisi FDR mereka di atas 100 persen dari DPK. Padahal, FDR yang melebihi 100 persen belum tentu mencerminkan bank berpotensi mengalami masalah likuiditas. Bisa jadi, bank memang memiliki masalah dengan DPK, tetapi bank terkait memiliki modal yang cukup sehingga likuiditas bank tidak bermasalah.

“Saya mengusulkan agar BI atau Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perlu mempertimbangkan rasio lain yang lebih fair sebagai ukuran likuiditas,” ujar Sunarsip, Ekonom The Indonesia Economic Intelligence (IEI), Senin (30/12). Misalnya, dengan menggunakan financing to funding ratio (FFR) yang menggunakan total sumber pendanaan (DPK plus modal) sebagai denominator. BI atau OJK juga dapat membuat kebijakan F/LDR yang berbeda di antara kelas bank. Bank kecil dengan kemampuan mobilisasi simpanan yang relatif lebih kecil, tentunya tidak fair bila harus dituntut memenuhi ketentuan F/LDR yang sama dengan bank besar.

(11)

Referensi

Dokumen terkait

7HUNDLW GHQJDQ VLVWHP SHPLOX WHUVHEXW GLDWDV XQWXN PHQWHUMHPDKNDQ SHODNVDQDDQ\D KDUXV NHPEDOL NHSDGD ODQGDVDQ ÀORVRÀI SHPEHQWXNDQ 88 1R WDKXQ WHQWDQJ 3HPLOX \DLWX EDKZD 3HPLOLKDQ

Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan di Kabupaten Humbang Hasundutan, yang meliputi analisis internal dan eksternal (IFE dan EFE Matriks), analisis SWOT dan analisis

Peneliti menganggap penelitian tentang hasil belajar membaca dengan media puzzle ini adalah hal yang baru, karena pada umumnya puzzle yang digunakan untuk siswa SD berupa gambar

Penelitian yang dilakukan oleh Sholihah (2008) yang berjudul ”Penerapan Strategi Active Learning Type Firing Line Untuk Meningkatkan Motivasi Dan Hasil Belajar

PENELITIAN TINDAKAN KELAS UPAYA MENINGKATKAN MINAT DAN MOTIVASI BELAJAR PADA MATA PELAJARAN IPS MELALUI METODE CERAMAH BERVARIASI SISWA KELAS V CAWU I DI SDN 2

Oleh karenanya dilakukan analisa kandungan senyawa organik agar didapatkan informasi mengenai seberapa besar jumlah senyawa organik yang terkandung pada air

Sama seperti hewan Kelas Insekta atau hewan Ordo Diptera lainnya, lalat buah juga mampu menangkap bunyi di atas frekuensi 20 kHz atau sering disebut ultrasonik..