Daftar Isian Masalah (DIM) Rancangan Undang-Undang tentang Masyarakat Hukum Adat versi DPR RI Tahun 2018:
Logika Hukum dan Norma Pengaturannya Perlu Dirombak Total!1
Pengantar
Sejak Republik Indonesia memproklamirkan dirinya sebagai suatu negara yang merdeka hak-hak masyarakat hukum adat dan/atau masyarakat adat telah diakui keberadaannya.2 Hal ini dapat dilihat pada (Penjelasan) Pasal 18
(sebelum amandemen) UUD 1945, khususnya pada angka Romawi II, yang berbunyi “Dalam territoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 “Zelfbesturende landschappen” dan“Volksgemeenschappen”, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut”.
Meski begitu, kecuali yang tercantum pada Undang-Undang Pokok Agraria 1960, yang terjadi pada masa-masa berikutnya adalah justru pengingkaran dan/atau pelanggaran terhadapnya. Pelanggaran itu semakin masif pada masa Orde Baru. Bahkan sebuah Peraturan Pemerintah (tentang hak penguasahaan hutan) pun pernah mampu membatalkan pengakuan hak masyarakat adat yang dijamin oleh konstitusi itu (Zakaria, 2000).3
Atas desakan berbagai kalangan, utamanya dari kalangan organisasi masyarakat sipil, Pasal 18 menjadi salah satu pasal konstitusi yang perlu diamandemen. Melalui proses amandemen pada tahun 2000 itu lahirlah Pasal 18B ayat (2) yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.
Melanjutkan kecenderungan positif itu, hingga saat ini setidaknya ada 19 (sembilanbelas) peraturan perundangan-undangan setingkat undang-undang yang terkait dengan soal pengaturan lebih lanjut tentang pengakuan dan pelindungan hak-hak masyarakat hukum adat ini, meski hampir seluruhnya tidak memiliki pengaturan lebih lanjut bagaimana pengakuan yang terkandung dalam peraturan perundang-undangan ini akan drealisasikan.4
1 R. Yando Zakaria, antropolog, pendiri dan peneliti Pusat Kajian Etnografi Hak Komunitas Adat. Naskah ini disusun dalam rangka proses advokasi “RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat”, 2018.
2 Dengan alasan yang akan dijelaskan pada bagian lain, dalam dokumen ini terma masyarakat hukum adat dan masyarakat hukum adat dapat dipertukarkan satu sama lainnya. Demikian pula, terma masyarakakat adat akan digunakan sebagai terma payung yang dapat menaungi pengertian masyarakat hukum adat, masyarakat tradisional, sampai tingkat tertentu juga masyarakat daerah.
3 R. Yando Zakaria, 2000. Abih Tandeh. Masyarakat Desa di BAwah Rezim Orde Baru. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM).
Di samping itu, saat ini setidaknya tersedia pula lima perangkat peraturan perundang-undangan yang dapat digunakan untuk memperoleh pengakuan hak-hak masyarakat (hukum) adat secara hukum. Masing-masing adalah, (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa; (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Pelindungan Masyarakat Hukum Adat; dan (3) Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 tahun 2015 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang Berada dalam Kawasan Tertentu; (4) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 32 Tahun 2015 tentang Hutan Hak; dan (3) Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan.
Di tingkat daerah, sebagaimana yang dilaporkan Arizona (2015b),5 hingga tengah tahun 2015 lalu, ada sekitar 90 produk hukum daerah dan/atau kegiatan advokasi hukum daerah dalam jumlah yang hampir sama.6 Produk-produk hukum daerah dimaksud berkaitan dengan upaya (1) pengembangan/penguatan lembaga adat;7 (2) pengakuan terhadap wilayah masyarakat hukum adat;8 (3) pengakuan terhadap keberadaan suatu masyarakat hukum adat;9 dan (4) pengakuan sebagai unit pemerintahan.10 Menurut catatan terakhir, sebagaimana
tentang Mahkamah Konstitusi; (6) UU No. 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi; (7) UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air; (8) UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan; (9) UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan; (10) UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang; (11) UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil; (12) UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan; (13)UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; (14)UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan; (15) UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil; 16) UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Di samping itu pengaturan keberadaan dan hak-hak masyarakat hukum adat juga terdapat di dalam beberapa undang-undang otonomi khusus sebagai berikut: (1) UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua; (2) UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh; dan (3) UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewah Yogyakarta. Dikutip dari Kurnia Warman, tt. “Peta Perundang-undangan tentang Pengakuan Hak Masyarakat Hukum Adat”.
5 Yance Arizona, 2015. 2015b. Sebagaimana dapat diakses pada
https://www.facebook.com/yance.arizona/posts/10207450108040211?comment_id=1020745 6706605171¬if_t=mentions_comment
6 Lihat juga
http://kabar24.bisnis.com/read/20150826/16/465904/masyarakat-adat-produk-hukum-banyak.-hak-tradisional-belum-terjamin
7 Seperti Perda Kabupaten Nunukan Nomor 34 tahun 2003 tentang Pemberdayaan, Pelestarian, Perlindungan dan Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga Adat dalam wilayah Kabupaten Nunukan, misalnya.
8 Misalnya, Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan Hak Ulayat Baduy. Sebenarnya, tanpa perda ini tanah/ulayat Baduy tidak terancam/tetap dikuasi secara efektif. Saat ini Orang Baduy sdh menguasai tanah di luar wilayah adatnya dua kali lipat dari luas ulayatnya (5000 ha). Komunikasi pribadi dengan peneliti LIPI yang sedang melakukan penelitian tentang masalah/topik dimaksud (2015).
9 Misalnya, Peraturan Daerah Kabupaten Bungo Nomor 2 Tahun 2006 tentang Masyarakat Hukum Adat Datuk Sinaro Putih; dan (Rencana) Peraturan Daerah Propinsi Sulawes Selatan tentang Amatoa Kajang.
yang ditunjukan tabel berikut, jumlah regulasi di tingkat daerah itu hampir mencapai angka 200 kasus.11
Menurut suatu publikasi dari sebuah lembaga donor, upaya-upaya legislasi di tingkat daerah ini dinyatakan mampu memantik gerakan yang memastikan keamanan tenurial masyarakat adat.12 Meski begitu, sebagaimana akan dibahas
lebih lanjut dalam bagian lain, keberadaan berbagai kebijakan itu justru punya potensi ‘membunuh masyarakat adat’ (Zakaria, 2015).13
Menurut Zakaria (2015), lemahnya daya ubah dari kebijakan-kebijakan dimaksud terjadi karena gagalnya para perumus kebijakan memahami fakta-fakta empiris di tingkat lapangan tentang apa yang disebut sebagai (kesatuan) masyarakat hukum adat dan/atau masyarakat adat itu sendiri. Para pihak, baik para perumus kebijakan, para ahli, dan juga kalangan pegiat masyarakat sipil, terjebak pada perdebatan soal pendefenisian – dan juga kondisionalitas yang
pada advokasi pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat karena menjadi bagian dari mandat kebijakan terkait ‘pemerintahan desa’ sebelum dan sesudah reformasi. Kebijakan tentang kelembagaan adat ini sudah ada sejak zaman Orde Baru cq. UU 5 Tahun 1979. Sebagaimana pernah diatur melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pemberdayaan dan Pelestarian serta Pengembangan Adat Istiadat, Kebiasaan-Kebiasaan Masyarakat dan Lembaga Adat Daerah. Kebijakan ini efektif meredam dan/atau menaklukan kekuatan adat. Lebaga-lembaga adat senang karena merasa mulai diperhatikan. Namun juga terjadi kerancuan kelembagaan di tingkat komunitas: ada kelembagaan adat yang dibentuk pemerintah yang bertingkat dari desa hingga nasional da nada lebaga-lembaga adat yang asli seperti KAN (Sumbar) dan Desa Pekraman (Bali). Saat ini juga terjadi persaingan antara Dewan Adat Papua (yang terbentuk atas dasat UU Otonomi Khusus Papua) dan Lembaga Masyarakat Adat yang berdasarkan kebijakan kemendagri yang lama, meski kedua-duanya adalah bentukan (atas dasar kebijakan) negara.
11 Malik, Arizona dan Muhajir, 2015. “Analisis Trend Produk Hukum Daerah mengenai Masyarakat Adat”. Policy Brief Epistema Institute Vol. 1.
12 Lihat
https://rightsandresources.org/en/blog/indonesia-tenure-security/#sthash.dh3BoLcy.dpbs
13 R. Yando Zakaria, 2015. “Too Much Law Will Kill You! Dinamika Pembaruan Hukum Pengakuan Hak-hak Masyarakat Adat Pasca-Reformasi”. Makalah yang dipersiapkan untuk Konferensi ke 5 Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia, Surakarta, 14 – 15 November 2015.
6
107
69
0 20 40 60 80 100 120
1979-1998 A,er the Law No. 5/1979 on Village AdministraAon (Suharto
regime)
1999-2013 a,er the Law No. 22/1999 on Regional Autonomy and the Law No.
32/ 2004 on Local Government
2013-2016 A,er the Ruling of MK35
Graphs 1. Trend of Indonesia's regional legisla5on products on recogni5on of adat peoples in the period of 1979-2016
number of regional legislaAon products
digunakan dalam pengakuan masyarakat hukum adat dan/atau masyarakat itu – yang berkepanjangan dan nyaris kontra produktif.
Demikian pula, para pihak itu juga terseret pada arus pandangan yang melihat fenomena keberadaan masyarakat hukum adat dan/atau masyarakat adat itu sebagai entitas politik semata, sebagaimana yang telah terjadi pada masa kolonial tempo hari, sehingga abai terhadap dimensi-dimensi keperdataan yang juga melekat pada beberapa susunan masyarakat hukum adat dan/atau masyarakat adat yang memang tidak tunggal itu. Akibatnya muncul logika hukum yang keliru, dalam arti tidak sesuai dengan realitas sosio-antropologis dari apa yang disebut sebagai (kesatuan) masyarakat (hukum) adat itu sendiri. Ke depan, tentu saja muncul suatu kebutuhan pada pendekatan alternatif yang lebih sesuai pesan konstitusi dan dengan realitas sosio-antropologis dari entitas yang disebut masyarakat adat itu (Zakaria, 2016).14
Lima persoalan yang perlu penyelesaian
Beberapa waktu lalu, sekitar awal minggu kedua April 2018, beredar surat yang ditandatangani Menteri Dalam Negeri, yang pada intinya menyatakan bahwa Rancangan Undang-Undang tentang Masyarakat Huku Adat yang telah diagendakan oleh DPR RI untuk dibahas tidak diperlukan. Alasannya, pertama, sudah banyak peraturan perundang-undangan tentang masyarakat adat. Kedua, RUU berpeluang mengakui kepercayaan yang belum diatur selama ini. Ketiga, pelaksanaan UU nantinya akan membebani keuangan negara.
Berbeda dengan pandangan Kementerian Dalam Negeri itu, dengan alasan sebagian hampir sama, kecuali soal potensi meningkatnya beban keuangan negara yang sejatinya akan berhubungan dengan pendekatan yang digunakan, dalam arti konsekwensi biaya dimaksud bisa tinggi dan bisa pula rendah, saya justru berpandangan inilah saatnya membayar hutang konstitusi yang sudah sangat lama terabaikan. Toh, perlunya penetapan undang-undang yang berkaitan dengan masyarakat adat ini telah pula menjadi janji politik Pemerintahan Jokowi – JK, sebagaimana yang dituangkan ke dalam naskah Nawacita.15
Ada lima persoalan yang kemudian dapat menjadi alasan mengapa “RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat” itu perlu segera ditetapkan. Pertama, pengakuan konstitusi terhadap keberdaaan dan hak-hak yang melekat padanya telah mengalami interupsi oleh peraturan perundang-undangan di bawah konstitusi. Hal inilah penyebab utama mengapa lebih dari 70 tahun amanat konstitusi belum juga terwujud secara optimal.
Interupsi pertama dilakukan oleh Undang-Undang Pokok Agraria 1960 yang memperkenalkan logika hukum pengakuan hak yang bersyarat. Sebagaimana yang diatur pada Pasal 3, dinyatakan bahwa “pelaksanaan ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan
14 Lihat R. Yando Zakaria, 2016. “Strategi Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat (Hukum) Adat: Sebuah pendekatan sosiologi-antropologis”, dalam Jurnal Bhumi, Volume 2 No. 2, November 2016.
15 Joko Widodo dan Jusuf Kalla, 2014. Jalan Perubahan untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri
bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.” Frasa “sepanjang menurut kenyataannya masih ada” kemudian menjelma kepada sejumlah kriteria yang harus dipenuhi agar suatu masyarakat hukum adat dapat dianggap masih adat ada atau sudah punah. Demikian pula dengan frasa “sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara … serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi”.
Interupsi kedua dilakukan oleh Undang-Undang Kehutanan 1999 dan sebelumnya oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Kehutanan. Mengikuti logika pengakuan bersyarat yang diperkenalkan oleh Undang-Undang Pokok Agraria 1960, sebagaimana diatur pada pada Pasal 67, pengakuan (obyek) hak masyarakat hukum adat perlu didahului dengan penetapan keberadaan (subyek) masyarakat hukum adat itu sendiri. Logika pengakuan bersyarat pada akhirnya telah membangun proses pengakuan yang berbelit-belit, yang dalam proses evaluasinya terlebih dahulu perlu melakukan proses identifikasi, verfikasi, validasi, dan diakhiri dengan proses penetapan oleh suatu institusi pemerintahan yang diberi dan/atau memliki kewenangan untuk melakukan penetapan itu.
Logika yang sejatinya tidak berkesesuaian dengan konstitusi itu dikukuhkan oleh berbagai Putusan Mahkamah Konstitusi. Sebagaimana telah dibahas dalam Zakaria (2015 dan 2016), situasi politik pengakuan hak-hak masyarakat adat memang menjadi lebih pasti dengan munculnya Putusan No. 35 Tahun 2012 tentang Kehutanan cq. Pasal 1 Angka 3, dan seterusnya. Keistimewaan Putusan yang terakhir ini, jika dapat dikatakan begitu, adalah bahwa Mahkamah Konstitusi tidak lagi sekedar merumuskan kriteria dan kondisionalitas yang diperlukan, melainkan sekaligus menggunakannya dalam menilai legal standing
dua komunitas masyarakat adat yang mengajukan judicial review bersama AMAN.16
Pada intinya Putusan (-putusan) Mahkamah Konstutusi tersebut mengatur tentang 3 kriteria pengakuan hak-hak masyarakat (hukum) adat itu, lengkap dengan penjelasan tentang kondisionalitas yang perlu dipenuhi untuk setiap kriteria itu.
Selain menetapkan kriteria dan kondisionalitasnya, putusan itu juga menegaskan logika hukum dalam mengakui hak masyarakat adat itu, yakni pengakuan hak masyarakat adat harus didahului dengan penetapan subyeknya. Sebagaimana yang terkandung dalam Putusan MK 35 Tahun 2012, logika hukum yang berlaku adalah bahwa “tanah adat bukan tanah negara; tanah adat berada di wilayah adat/ulayat masyarakat hukum adat; dan hak masyarakat hukum adat diakui jika keberadaan masyarakat hukum adat yang bersangkutan telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah”.17
16 Setidaknya Zakaria (2014) mencatat ada 5 (lima) nilai positif yang dibawa oleh Putusan MK 3 Tahun 2012. Lebih lanjut lihat R. Yando Zakaria, 2014. “Kriteria Masyarakat (Hukum) Adat dan Potensi Implikasinya Terhadap Perebutan Sumber Daya Hutan Pasca-Putusan MK Nomor 35/PUU-X/@101: Studi Kasus Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur”, dalam Jurnal WACANA Nomor 33, Tahun XVI, 2014. Yogyakarta; INSIST Press.
Tabel 1. Kriteria Masyarakat Hukum Adat
Beruntung dalam putusan yang sama dinyatakan pula secara tegas bahwa ketentuan yang demikian itu berlaku hingga ditetapkan lain oleh undang-undang. Maka, penetapan sebuah undang-undang yang akan mengatur pelaksanaan pengakuan (hak) masyarakat adat ini adalah momentum yang tepat untuk meluruskan logika hukum yang belum sesuai dengan konstitusi itu.
Logika pengakuan hukum yang demikian itu memang dapat dikatakan tidak sesuai dengan konstitusi karenanya perlu diubah. Sebagaimana yang jelas terbaca pada Pasal 18 (sebelum amandemen); Pasal 18B ayat (2); dan Pasal 28i ayat (3), hak masyarakat adat adalah hak asal-usul (menurut Pasal 18 sebelum amandemen) atau hak tradisional (pasca-amandemen) yang merupakan hak bawaan dan bukan berupa hak berian. Dengan demikian, Negara tidak perlu lagi melakukan proses evaluasi terhadap hak bawaan itu yang telah selesai dideklarasikan pada tingkat konstitusi. Yang diperlukan kemudian adalah proses pengadministrasian implikasi dari pengakuan yang bersifat deklaratif itu ke dalam sistem kenegaraan yang ada.
Dengan kata lain, sebagaimana akan dibahas lebih lanjut dalam bagian lain, yang diperlukan kemudian adalah undang-undang yang mengatur proses pengadministrasian pengakuan atas sejumlah hak asal-usul/hak tradisional yang dimiliki masyarakat adat itu.
Alasan kedua, meski peraturan perundangan-undangan tentang masyarakat adat sudah banyak, namun terma, kriteria, dan mekanisme pengakuan dan perlindungan yang digunakan justru beragam dan ada kalanya tidak berkesesuaian satu sama lainnya oleh karena itu perlu pula diluruskan.
Sebagaimana telah disinggung, hasil amandemen UUD 1945 telah pula menghadirkan Pasal 28i ayat (3) yang berbunyi “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”. Melalui pasal ini, di samping terma (kesatuan) masyarakat hukum adat yang dikandung oleh Pasal 18B ayat (2), proses amandemen UUD 1945 memperkenalkan pula suatu terma baru, yakni masyarakat tradisional.
Secara sosio-antropologis, kedua terma ini dapat dikatakan ‘serupa tapi tidak sama’. Setiap ‘masyarakat hukum adat’ pastilah merupakan ‘masyarakat tradisional’ namun tidak setiap ‘masyarakat tradisional’ mewujudkan diri ke dalam ‘masyarakat ‘hukum adat’.
Meski begitu, menurut ‘bahasa peraturan perundang-undangan’, dalam naskah UUD 1945 hasil amandemen, kedua terma ini ditulis dalam huruf kecil. Oleh karenanya terma ini merujuk pada apa yang disebut sebagai ‘nama fungsi’ semata, bukan nomenklatur, sebagaimana penyebutan ‘bank sentra’ yang belakangan me;ahirkan nomeklatur Bank Indonesia yang memiliki fungsi sebagai bank sentral itu.
Maka, dalam upaya pengaturan lebih lanjut amanat Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28i ayat (3) ini, sekaligus untuk mengakomodasi pandangan publik yang peduli dengan masalah ‘masyarakat adat’, penggunaan terma Masyarakat Adat (M dan A dengan huruf besar) dapat digunakan sebagai nomenklatur baru dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Dengan upaya ini keragaman terma – dan pengertian -- dalam berbagai undang-undang yang ada saat ini dapat disatukan dan diluruskan.
Demikian pula dengan kriteria dan mekanisme penetapan keberadaan masyarakat adat yang bersangkutan. Kriteria dan instrument hukum penetapan yang disyaratkan dalam Undang-undang Kehutanan 1999 tidak sama dengan, sekedar menyebut contoh, Putusan MK 35/2012 dan apalagi dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2015.
Dengan logika hukum baru yang mengasumsikan proses pengakuan dan/atau penatapan subyek sebelum pengakuan hak itu tidak diperlukan maka perdebatan tentang kriteria dan mekanisme penetapan itu sudah boleh untuk diakhiri atau diabaikan dan langsung saja mengatur soal pengadministrasiannya.18
Alasan ketiga, faktanya, masih ada hak masyarakat adat yang belum jelas pengakuannya. Salah satu yang terpokok adalah soal hak spiritualitas-nya. Fakta ini telah mendorong sejumlah pihak untuk mengajukan judicial review atas Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dan Pasal 64 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006, yang telah diputus melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016. Pada intinya putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa kata ‘agama’ dalam berbagai pasal tersebut bertentangan dengan konstitusi sepanjang tidak termasuk ‘kepercayaan’. Namun, meski sudah ada Putusan MK 97/2016 itu, proses pengaturannya dalam sistem administrasi kependudukan masih dalam polemik.19
Alasan keempat, sebagaimana telah disinggung, model peraturan perundang-undangan pengakuan hak-hak masyarakat hukum adat yang ada saat ini
18 Mengingat kondisi sosio-antropologis yang telah muncul sebagai akibat pengabaian masalah pengakuan dan perlindungan (hak) masyarakat adat selama ini, pengaturan lebih lanjut soal pengadministrasian implikasi pengakuan hak masyarakat adat itu dapat dipayungi oleh upaya “pelindungan hak masyarakat adat”.
menganut logika hukum yang lebih berorientasi pada pengenalan dan penetapan subyek; dan proses penetapan subyek melalui proses politik di parlemen maupun eksektif di tingkat Daerah yang mendahului pengakuan obyek dan jenis hak. Di samping tidak sesuai dengan amanat konstitusi, sebagaimana telah dijelaskan di atas, logika hukum yang demikian tidak selamanya cocok dengan realitas sosio-antropologis hubungan antara subyek, obyek, dan jenis hak yang berkaitan dengan kapasitas subyek untuk masuk ke dalam proses-proses politik di parlemen daerah ataupun mengakses lobby politik kepada Kepala Daerah. Alih-alih mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat yang terjadi sesungguhnya adalah ‘membunuh masyarakat adat’ itu sendiri (Zakaria, Harian KOMPAS, 18/0418).
Model pengakuan yang seperti ini tidak saja akan membebani biaya negara (Pusat dan Daerah), tetapi lebih-lebih lagi akan membebani masyarakat adat itu sendiri. Faktanya, dari belasan hutan adat yang telah diakui pemerintah hingga tahun 2017 lalu, semua mengandalkan pendampingan organisasi masyarakat sipil yang mendapatkan dukungan dana dari luar negeri.20
Sampai kapan proses ini akan dibiarkan terus berlanjut? Salah satu Surat Keputusan untuk Pencadangan Hutan Adat, meski sudah lewat setahun, belum juga dapat dilanjutkan pada penetapan hutan adat karena Peraturan Daerah tentang Penetapan Keberadaan Masyarakat Hukum Adat yang disyaratkan. Hal ini terjadi, antara lain, masih terjerat dinamika politik lokal yang berakar pada “kepatutan-kepatutan adat” yang perlu dihormati para pihak yang terkait dalam proses perjuangan dan pengakuan atas hutan adat yang bersangkutan.21
Padahal, keberagaman subyek, obyek, dan jenis hak masyarakat adat yang beragam dapat saja bermuara pada logika hukum yang berbeda pula. Pengakuan hak-hak masyarakat adat yang bersifat publik22 tentunya memerlukan syarat yang berbeda dengan pengakuan hak-hak yang bersifat perdata23 saja. Jika
20
http://print.kompas.com/baca/opini/artikel/2017/01/09/Tonggak-BaruHak-Masyarakat-Adat. Untuk memahami betapa rumitnya proses yang dilewati untuk mendapatkan pengakuan beberapa hutan adat yang Surat Keputusannya langsung diserahkan oleh Presiden Jokowi, yang dimulai dengan kegiatan-kegiatan riset dan seminar hasil riset, proses pengajuan permohonan, kegiatan verifikasi dan validasi yang dilakukan oleh pihak Direktorat PKTHA, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, silahkan pelajari Perkumpulan HuMa, “Agenda Percepatan Penetapan Hutan Adat. Academic Paper”. Kertas Kerja yang diproduksi untuk Rapat Koordinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jakarta tanggal 19 Maret 2018.
21 Lihat Kartini Sjahrir-Pandjaitan, et.al., 2017. Etnografi Tanah Adat di Kabupaten Humbang
Hasundutan. Laporan Penelitian. Kerjasama Yayasan Sjahrir dan Pusat Kajian Etnografi Hak-hak Komunitas Adat).
pengakuan hak yang diakui itu mengandung kewenangan-kewenangan yang bersifat publik, seperti hak untuk melaksanakan pemerintahan, pengadilan, dan juga kewenangan atas properti yang bersifat publik, maka mekanisme pengakuannya haruslah melalui penetapan kebijakan seperti peraturan daerah. Hal ini diperlukan karena pengakuan itu akan bermuara pada hak untuk menyelenggarakan kewenangan-kewenangan yang bersifat publik dan juga akan menggunakan sumberdaya Negara.
Namun, jika itu hanya menyangkut pengakuan hak masyarakat hukum adat yang lebih bersifat privat dan/atau yang bersifat keperdataan, baik komunal ataupun perorangan, seperti tanah dan hutan adat misalnya, cukup langsung melalui proses pengadministrasian yang dilakukan oleh instansi teknis terkait saja. Sebab susunan masyarakat adat yang bersifat privat itu dapat diperlakukan sebagai badan hukum perdata semata (Simarmata dan Steni, 2017).24
Dengan pergeseran strategi yang semula lebih mengutamakan pengakuan subyek menjadi perlindungan hak masyarakat adat, terutama di tingkat Pusat, diperkirakan implikasi kepada kelembagaan dan keuangan Negara tidaklah begitu siginifikan. Hal ini terjadi karena beban yang muncul akibat dari upaya perlindungan hak masyarakat adat ini terbagi ke dalam berbagai tugas pokok dan fungsi berbagai kementerian dan lembaga yang sudah ada.
Melalui undang-undang dengan logika hukum yang baru ini berbagai kegiatan perlindungan dan pemajuan hak masyarakat adat dipastikan dapat berjalan secara terkoordinasi dan tidak saling bertentangan sebagaimana yang terjadi selama ini. Tugas koordinasi pun melalui undang-undang ini dapat dipastikan oleh salah satu kementerian koordinator yang ada.
Berbeda dengan tingkat Pusat, implikasi kelembagaan dan keuangan yang cukup aan dirasakan adalah pada tingkat Daerah. Namun demikian, karena sebagian besar upaya perlindungan dan pemajuan hak masyarakat adat menjadi tugas pokok dan fungsi kementerian dan lembaga di tingkat Pusat akan beban kelembgaan yang muncul itu dapat dipikul oleh kedua pihak.
Alasan kelima, sebagaimana yang terjadi pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, ada kalanya pengaturan lanjutan berkaitan dengan pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat ini yang menghambat pelaksanaan pengakuan dan perlindungan itu sendiri. Oleh sebab itu, sampai hari ini tidak ada desa adat sebagai salah satu wujud pengakuan hak asal-usul/hak tradisional masyarakat adat yang dimungkinkan oleh UU Desa yang baru itu yang telah duregistrasi oleh Kementerian Dalam Negeri. Salah satu alasan Pemerintah menolak membahas RUU Masyarakat Adat karena Kementerian Dalam Negeri sudah memberlakukan Peraturan Menteri Dalam
Warman, (2010). Hukum Agraria dalam Masyarakat Majemuk. Dinamika Interaksi Hukum Adat dan Hukum Negara di Sumatera barat. Jakarta: HuMa, Van Vollenhoven Institute, KITLV – Jakarta).
24 Rikardo Simarmata dan Bernadinus Steni, 2017. Masyarakat Hukum Adat Sebagai Subjek
negeri Nomor 52 Tahun 2015 sebagai tindak lanjut dari keberadaan UU Desa adalah cermin ketidakpahaman pada UU Desa itu sendiri.25
Implikasi Terhadap RUU MHA vrsi DPR RI 2018
Dengan catatan-catatan di atas maka implikasinya terhadap Rencana Undang-Undang tentang Masyarakat Hukum Adat versi DPR RI adalah sebagai berikut:
1. Judul RUU harus diubah menjadi (Rancangan) Undang-Undang tentang Perlindungan Hak Masyarakat Adat.
2. Uraian dalam BAB 1, KETENTUAN UMUM, perlu disesuaikan.
3. BAB II, PENGAKUAN, hapus. Perlu duganti/ditambahkan BAB tentang RUANG LINGKUP.
4. BAB III, EVALUASI, hapus.
5. BAB IV, LEMBAGA ADAT, hapus, karena akan terakomodasi dengan sendirnya dalam “Perlindungan Hak Masyarakat Adat”
6. BAB V, HAK DAN KEWAJIBAN, perlu disesuaikan. Dengan pengaturan yang jelas: BAB yang mengatur tentang jenis-jenis hak yang diakui; dan BAB yang mengatur proses pemajuan hak-hak masyarakat adat.
7. BAB VI, PEMBERDAYAAN MASYARAKAT HUKUM ADAT, disesuaikan dengan penekatan pada PEMAJUAN HAK, yang meliputi:
a. pelestarian Hak Masyarakat Adat;
b. pemberdayaan Masyarakat Adat;
c. pengembangan Hak Masyarakat Adat; dan
d. pemanfaatan Hak Masyarakat Adat.
8. BAB VII, SISTEM INFORMASI, tetap dengan penyesuaian yang dibutuhkan. 9. BAB VIII, TUGAS DAN WEWENANG, tetap dengan penyesuaian yang
dibutuhkan.
10.BAB X, PENYELESAIAN SENGKETA, tetap dengan penyesuaian. 11.BAB XI, PENDANAAN, tetap dengan penyesuaian.
12.BAB XII, PARTISIPASI MASYARAKAT, tetap dengan penyesuaian. 13.BAB XIII, LARANGAN, hapus atau tetap dengan penyesuaian.
14.BAB XIV, KETENTUAN PIDANA, hapus atau tetap dengan penyesuaian. 15.BAB XV, KETENTUAN PERALIHAN, tetap dengan penyesuaian.
16.BAB XVI, KETENTUAN PENUTUP, tetap dengan penyesuaian.***
25 Lihat R. Yando Zakaria, 2015. “Desa Adat, Nomenklatur Strategis yang Terancam Mandul”, dalam Jurnal Analisis Sosial, Vol. 19, No. 2, Desember 2015. Halaman 168 – 193. Sebagaimana dapat diakses pada