• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ekonomi dan Keuangan Syariah Perspektif

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Ekonomi dan Keuangan Syariah Perspektif"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

EKONOMI DAN INDUSTRI KEUANGAN SYARIAH: PERSPEKTIF

HUKUM KONSTITUSI DAN HAK ASASI MANUSIA

1

Oleh :

Manunggal K. Wardaya2

manunggal.wardaya@gmail.com 1. Pendahuluan

Industri keuangan syariah di tanah air menunjukkan perkembangan yang

signifikan. Secara angka, pada tahun 2017 terdapat 13 bank syariah penuh dan 21 bank syariah unit dan tak kurang dari 167 bank perkreditan syariah dengan total asset yang terkumpul adalah sekira 375 trilyun rupiah.3 Di sektor non perbankan, tercapai angka 34 % untuk pertumbuhan pembiayaan syariah dan 3,68% untuk premi asuransi syariah.4 Belum lagi sumber pendanaan inovatif untuk pembangunan berkelanjutan dari dana sosial Islam seperti wakaf dan zakat. Di pasar global, total aset keuangan syariah Indonesia menduduki peringkat ke-9 dari 10 negara di dunia dengan besar nilai asset sebesar 1,028 triliun.5 Diakui, pertumbuhan keuangan syariah baik di tingkat nasional maupun dunia sebagaimana digambarkan di atas belum bisa dikatakan besar untuk Indonesia dengan populasi Muslim terbesar di dunia.6 Dalam kesempatan

peluncuran Komite Keuangan Syariah Nasional (KKSN) di Jakarta pada bulan Juli 2017, Presiden Joko Widodo bahkan menyatakan bahwa Indonesia seharusnya menjadi pusat keuangan syariah dunia.7

1 Makalah disampaikan dalam International Islamic Research Forum (IIRF) 2017 di Institute Agama Islam Negeri Palangkaraya, 27-28 November 2017.

2 Dosen Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.

3 ‘OJK: Mau Pangsa Pasar Keuangan Syariah 20 Persen Juga Bisa’ (Temjpo.co, 2017) <https://bisnis.tempo.co/read/1022331/ojk-mau-pangsa-pasar-keuangan-syariah-20-persen-juga-bisa> accessed 15 November 2017.

4 ‘Aset Perbankan: Peluang Keuangan Syariah Terbuka Luas’ (Bisnis.com, 2017) <http://kalimantan.bisnis.com/read/20170824/433/683633/aset-perbankan-peluang-keuangan-syariah-terbuka-luas> accessed 16 November 2017.

5 Lihat ‘Aset Keuangan Syariah RI Tempati Peringkat Ke-9 Di Dunia Malaysia Ke-3’ (Kumparan, 2017) <https://kumparan.com/wiji-nurhayat/aset-keuangan-syariah-ri-tempati-peringkat-ke-9-dunia-malaysia-ke-3> accessed 20 November 1BC.

6 Posisi Indonesia dalam keuangan Syariah yang menduduki peringkat ke-9 di 2017 sebenarnya menurun dibandingkan peringkat pada tahun 2011 yang menduduki peringkat ke-4 dunia.. Lihat ‘Keuangan Syariah RI Duduki Peringkat Empat Dunia’ (Republika.co.id, 2011) <https://kumparan.com/wiji-nurhayat/aset-keuangan-syariah-ri-tempati-peringkat-ke-9-dunia-malaysia-ke-3> accessed 18 November 2017.

(2)

<http://nasional.kompas.com/read/2017/07/27/16531211/jokowi--indonesia-Tak saja dalam industri keuangan perbankan maupun non-perbankan seperti asuransi, dana pensiun dan pembiayaan syariah, industri syariah juga telah merambah ke sektor riil seperti makanan dan obat-obatan halal. Industri-industri tersebut berkembang seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat untuk melakukan aktivitas ekonomi yang sesuai dengan ajaran agama Islam. Manakala tulisan ini dibuat, Kementrian Pariwisata bahkan memastikan bahwa tak kurang 13 provinsi di tanah air telah siap menjadi tujuan wisata syariah.8 Geliat

Indonesia di bidang industri syariah di sektor riil ini, menyitir Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardoyo, terus didukung mengingat Indonesia selama ini masih menjadi pasar dan belum dapat menjadi pemain utama seperti industri keuangan syariah.

Perkembangan dan kemajuan yang dicapai industri keuangan syariah

sebagaimana diungkap di atas menarik untuk dicermati tak saja dari perspektif ekonomi namun pula hukum ketatanegaraan. Ekonomi dan keuangan syariah menemukan relevansinya untuk dikaji dari sudut ketatanegaraan mengingat persoalan yang berkaitan dengan syariah (yang notabene berkaitan dengan agama) adalah isu yang cukup sensitif. Sejarah ketatanegaraan Indonesia mencatat mencuatnya isu syariah dalam perdebatan dalam Badan Penyelidik Usaha Kemerdekaan (BPUPK). Frasa dalam naskah Mukadimah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) mengenai kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluk agama Islam pada akhirnya dihapus dari naskah Pembukaan UUD 1945 yang disahkan Panitia Persiapan Kemerdekaan (PPK) pada 18 Agustus 1945. Manakala tulisan ini disusun, pro kontra ide negara khilafah belum lagi benar-benar reda dari wacana publik. Puncaknya, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan disahkan dan menjadi dasar hukum

pembubaran organisasi Hizbut Thahir Indonesia oleh Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

2. Permasalahan

Dinamika penerapan syariah dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia menjadikan persoalan penerapan syariah di bidang ekonomi dan keuangan

harusnya-jadi-pusat-keuangan-syariah-dunia> accessed 17 November 2017. 8 ‘13 Provinsi Siap Jadi Tujuan Wisata Syariah’ (Sindonews.com)

(3)

menjadi menarik untuk dikaji dari sudut pandang ketatanegaraan. Mencermati Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), diketahui bahwa baik Pembukaan maupun Pasal-pasal UUD 1945 sama sekali tak mengandung ketentuan yang secara eksplisit menyebut nomenklatur ‘syariah’. Istilah syariah sama sekali tidak dijumpai dalam Pasal 33 UUD 1945 yang mengatur mengenai

perekonomian maupun Bab X A mengenai Hak Asasi Manusia (HAM). Lantas bagaimana ekonomi syariah dipandang dari sudut konstitusi? Apakah ekonomi syariah dan industri keuangan syariah berkesesuaian dengan amanat konstitusi ataukah sebaliknya bertentangan?

Tulisan ini membahas mengenai ekonomi dan industri keuangan syariah dari sudut pandang hukum ketatanegaraan. Bagaimana konstitusionalitas ekonomi dan industri keuangan syariah ini dipandang dari hukum konstitusi dan

bagaimana kebijakan hukum terkait ekonomi yang berbalut syariah diterapkan dalam kerangka konstitusi UUD 1945? Dua pertanyaan di atas akan menjadi pertanyaan kunci tulisan ini. Tulisan ini diharapkan akan memberikan

pemahaman bagaimana keuangan dan ekonomi syariah dalam perspektif konstitusi dan hukum hak asasi manusia

3. Pembahasan

3.1. Selayang Pandang Ekonomi dan Keuangan Syariah

Ekonomi syariah atau ekonomi Islam adalah kegiatan ekonomi yang dikelola sesuai dengan prinsip-prinsip agama Islam. Dalam kegiatan ekonomi Islam, unsur-unsur usaha yang dilarang dalam ajaran agama dihilangkan dan digantikan dengan perinsip-prinsip yang diperintahkan dalam Islam. Prinsip agama Islam ini mendasarkan pada sumber-sumber hukum Islam baik Al-Qur’an maupun Hadits. Kitab suci Al-Qur’an menjadi sumber penting tidak saja sebagai hukum bagi sistem ekonomi Islam, namun pula sebagai dasar etika kegiatan perekonomian. Terkait hal ini, Andi Iswandi menyatakan:

Al-Quran sebagai pedoman umat Islam merupakan kitab suci yang mengatur segala aspek kehidupan manusia, baik yang berkenaan dengan ibadah maupun muamalah. Perihal muamalah, Al-Quran menetapkan dasar-dasar teori ekonomi Islam. Inilah yang menjadi cikal bakal terbentuknya sistem ekonomi Islam. Cikal bakal ini bukan saja hukum akan tetapi juga etika. 9

Uraian di atas membawa pada pemahaman bahwa perekonomian Islam berangkat dari keyakinan bahwa kitab suci Al-Qur’an telah mengatur segala

(4)

aspek kehidupan manusia termasuk di dalamnya kegiatan perekonomian. Diterapkannya prinsip-prinsip agama Islam bahkan diyakini menjadikan perekonomian syariah lebih mampu bertahan dari terpaan krisis daripada industri keuangan konvensional.10

Salah satu prinsip/ajaran Islam yang paling menonjol terkait ekonomi yang mendasari keuangan syariah adalah larangan riba atau bunga. Larangan riba ini mendasarkan pada Al Qur’an yakni surah Al-Baqarah 275-276. Riba, dalam surah tersebut tegas dilarang dan merupakan praktik yang jika dijalankan/diterapkan dalam kegiatan perekonomian akan membawa orang ke dalam api neraka. Berpijak pada ketentuan dari Al-Qur’an tersebut, perbankan syariah tidak menerapkan sistem bunga sebagai keuntungan bagi mereka yang menanam investasinya. Alih-alih memberikan bunga, diterapkan sistem bagi hasil (nisbah) yang dalam Islam sah dilakukan. Sistem bagi hasil menjadi tawaran dari praktik perbankan yang sudah ada (perbankan konvensional).11

Selain tak mengenal riba, prinsip lain dalam keuangan syariah adalah prinsip-prinsip menyangkut ditegakkannya moral maupun etika dalam investiasi. Dalam hal ini dikehendaki bahwa investasi yang diusahakan dalam kegiatan ekonomi dikelola sesuai dengan prinsip moral dam etika agama Islam.12 Tak boleh ada orang yang dirugikan dalam kegiatan perekonomian, dan lebih penting lagi adalah setiap aspek produksi, transaksi, dan konsumsi haruslah halal dan baik. Ekonomi Islam tidak melarang bahkan sangat menganjurkan didapatinya keuntungan dalam kegiatan ekonomi, namun keuntungan yang dicari tersebut haruslah seimbang dengan kemanfaatan. Perekonomian Islam haruslah

berkeadilan dimana hak dan kewajiban seimbang dan menempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Ekonomi Islam juga bertumpu pada kebutuhan masyarakat banyak dengan orientasi pemenuhan kebutuhan dasar, bukan keinginan. Investasi juga diarahkan pada sektor yang halal dengan

memperhatikan kelestarian lingkuan.

3.2. Ekonomi Syariah : Perspektif Konstitusi

10 Lihat Burhanuddin Abdullah, Menanti Kemakmuran Negeri: Kumpulan Esai Tentang Pembangunan Sosial Ekonomi Indonesia (Gramedia Pustaka Utama 2006) 229. Abdullah mengatakan bahwa krisis ekonomi di akhir 1990-an merupakan bukti sejarah manakala perbankan konvensional mengalami keruntuhan di tengah terpaan krisis. 11 Mengenai perbedaan riba dan nisbah ini, bacalah Didin Hafidhuddin, Islam

Aplikatif (Gema Insani 2003) 113.

(5)

Sekilas mengenai implementasi ekonomi syariah beserta beberapa prinsip

dasanya di atas mempertegas gambaran ekomomi dan industri keuangan syariah sebagai aktifitas perekonomian yang dilakukan dengan menerapkan ajaran agama, dalam hal ini Islam. Memerhatikan prinsip-prinsip ekonomi Islam

tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya ekonomi Islam berkeselarasan dengan cita perekonomian nasional sebagaimana termaktub dalam UUD 1945. Kegiatan ekonomi syariah yang berorientasi pada kepentingan umum dan yang mengusahakan keuntungan bagi semua misalnya, adalah berkeselarasan cita UUD 1945 yang menghendaki disusunnya perekonomian Indonesia sebagai usaha bersama atas dasar azas kekeluargaan, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. Usaha bersama akan membawa kepada

kesejahteraan bersama bangsa Indonesia sebagai satu keluarga besar, dan bukannya keuntungan semata pada segelintir orang atau mereka yang kuat kedudukannya sebagaimana watak perekonomian yang kapitalistik.

Jika prinsip-prinsip Islam dalam kegiatan perekonomian berkeselarasan dengan Pasal 33 UUD 1945, penerapan prinsip dalam nilai-nilai Islam merupakan

penikmatan hak atas kebebasan beragama (freedom of religion). Hak ini tak saja dijamin oleh Pasal 28E ayat (2) UUD 1945, namun pula instrument internasional mengenai HAM.13 Pasal 18 (1) the International Covenant on Civil and Political

Rights (ICCPR) menyatakan :

Everyone shall have the right to freedom of thought, conscience and religion. These rights shall include freedom to have or to adopt religion or belief on his choice, and freedom, either individually or in community with others and in public or private, to manifest his religion or belief in worship, observance, practice, and teaching.

Dari rumusan kebebasan beragama tersebut, dapat dikatakan bahwa praktik perekonomian syariah seperti yang mewujud di Indonesia merupakan

penikmatan kebebasan beragama khususnya kebebasan untuk mewujudkan keberagamaan (freedom to manifest religion). Sebagaimana dinyatakan dalam rumusan tersebut, kebebasan untuk mewujudkan keberagamaan itu dapat

dilakukan secara sendiri-sendiri (individually) maupun dalam komunitas bersama orang lain (in community with others), baik secara public maupun privat.

13 Selengkapnya Pasal 28E ayat (2) menyatakan “setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih

(6)

Terkait dengan pelaksanaan kebebasan untuk mewujudkan keberagamaan ini, penting untuk memerhatikan ketentuan Pasal 18 ayat (3) ICCPR yang

menyebutkan:

Freedom to manifest one’s religion or belief maybe subject only to such limitations as are prescribed by law and are necessary to protect public safety, order, health, or morals or the fundamental rights and freedoms of others.

Dari rumusan tersebut di atas, diketahui bahwa kebebasan untuk memanifestasi agama dapat dikenakan pembatasan, pembatasan mana haruslah bersaranakan undang-undang. Ketentuan ini membedakannya dengan kebebasan untuk

memeluk agama atau kepercayaan (freedom to adopt religion or belief) yang tak dapat dibatasi dalam keadaan apapun juga.14 Lebih jauh, dari rumusan pasal di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pembatasan melalui undang-undang akan diterima jika memang benar-benar diperlukan. Adapun yang menjadi pembenar pembatasan melalui undang-undang adalah keselamatan publik, ketertiban umum, kesehatan umum, moral publik, ataupun hak-hak dan kebebasan dasar orang lain.

Indonesia adalah negara peserta ICCPR sejak tahun 2005 dengan ratifikasi

melalui UU No. 12 Tahun 2005. Dengan demikian, segala ketentuan dalam ICCPR termasuk klausul mengenai kebebasan beragama ini pula telah menjadi hukum positif bagi Indonesia. Adalah negara, dalam hal ini terutama pemerintah, yang memikul tanggung jawab untuk menghormati, melindungi, memenuhi dan mempromosikan HAM termasuk kebebasan untuk mewujudkan kebebasan ini. Sebagai perjanjian internasional, ketentuan hukum nasional termasuk ketentuan UUD 1945 tak dapat dijadikan dalih untuk mengingkari atau abai dari kewajiban menjalankan ketentuan hukum internasional. Alih-alih demkian, hukum nasional harus diinterpretasi dan dilaksanakan sesuai dengan semangat Pasal 18 (3). Sebagai konsekwensi dari negara hukum, penghormatan, perlindungan, pemenuhan hak atas kebebasan mewujudkan keberagamaan dalam konteks ekonomi syariah dan industri keuangan syariah oleh negara diwujudkan antaranya melalui pembentukan aneka regulasi. Regulasi ini dapat berupa Undang-undang maupun peraturan di bawahnya. Mengenai perbankan syariah misalnya, diwujudkan dengan dibentuknya UU No. 21 Tahun 2008 tentang

(7)

Perbankan Syariah. Sebagaimana dinyatakan pada paragraph ke-5 di bagian Penjelasan UU tersebut, UU Perbankan Syariah dibentuk untuk memberikan kepastian hukum kepada stakeholder dan sekaligus memberikan keyakinan kepada masyarakat dalam menggunakan produk dan jasa Bank Syariah. Terkait hal ini, UU Perbankan Syariah mengatur jenis usaha, ketentuan pelaksanaan syariah, kelayakan usaha, penyaluran dana, dan larangan bagi Bank Syariah maupun UUS yang merupakan bagian dari Bank Umum Konvensional.

Mengenai pembatasan yang mungkin dilakukan terhadap kebebasan untuk mewujudkan keberagamaan sebagaimana dinyatakan dalam ICCPR, maka UU Perbankan Syariah pula menjadi dasar untuk melakukan

pembatasan-pembatasan yang ditujukan untuk memastikan bahwa kegiatan perbankan syariah dilaksanakan sesuai dengan prinsip syariah, demokrasi ekonomi, dan kehati-hatian. Pembatasan ini, dalam tataran hukum nasional, mempunyai pijakan Pasal 28J (2) UUD 1945, yang menyatakan bahwa hak asasi manusia dapat dibatasi untuk menjamin penikmatan hak orang lain.

Pembatasan dalam UU No. 21 Tahun 2008 misalnya mewujud dalam ancaman pidana terhadap setiap orang yang menjalankan kegiatan usaha syariah tanpa mendapatkan ijin dari Bank Indonesia. Selengkapnya Pasal 59 (1)menyatakan:

Setiap orang yang melakukan kegiatan usaha Bank Syariah, UUS, atau kegiatan penghimpunan dana dalam bentuk Simpanan, atau investasi berdasarkan Prinsip Syariah tanpa izin usaha dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 22 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) dan paling lama 15 (limabelas) tahun dengan pidana denda paling sedikit Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) dan paling banyak 200.000.000.000,00 (duaratus milyar rupiah)

Rumusan pasal 59 (1) yang mengancamkan sanksi pidana dalam hal

dijalankannya usaha ekonomi syariah tanpa izin Bank Indonesia di atas dapat dipahami sebagai bentuk perlindungan negara terhadap setiap orang dalam jurisdiksi negara dari praktik ekonomi syariah yang tidak berijin. Dalam hal ini, izin bank Bank Indonesia yang hanya bisa diperoleh jika dipenuhi syarat-syarat sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 ayat (2) merupakan sarana pengawasan untuk memastikan bahwa orang maupun badan hukum yang hendak melakukan kegiatan ekonomi syariah berupa bank, UUS, maupun penghimpunan dana tidak akan menimbulkan kerugian pada orang lain.

(8)

Ekonomi syariah dan Industri keuangan syariah pada hakekatnya adalah kegiatan ekonomi yang diterapkan sesuai dengan tuntunan agama Islam. Berbagai prinsip dasar ekonomi syariah berkeselarasan dengan cita

perekonomian sebagaimana tercantum dalam UUD 1945. Lebih jauh, ekonomi syariah maupun keuangan syariah dalam beragam bentuknya antara lain bank syariah,simpan pinjam syariah merupakan bagian dari hak kebebasan beragama (freedom of religion) khududnys untuk mewujudkan keberagamaan (freedom to manifest religion). Kebebasan mewujudkan keberagamaan diakui sebagai bagian dari hak asasi manusia. Ia diakui oleh berbagai instrument hukum hak asasi manusia baik dalam arasnya yang nasional maupun internasional.

Berbagai instrument hukum terkait ekonomi syariah adalah bentuk dari peran negara dalam memenuhi kewajibannya menghormati dan melindungi HAM. Berbagai peraturan tersebut dibuat untuk memfasilitasi sekaligus menjaga agar pelaksanaan kebebasan untuk mewujudkan keberagamaan melalui ekonomi syariah tidak bertentangan dengan kepentingan hukum orang lain maupun ketertiban umum. Sebagai hak yang terbilang bukan sebagai non-derogable rights, maka pembatasan-pembatasan yang diberlakukan terhadap industri keuangan syariah adalah sesuatu yang dapay dibenarkan/diterima dari kacamata hukum ketatanegaraan.

Daftar Rujukan

‘13 Provinsi Siap Jadi Tujuan Wisata Syariah’ (Sindonews.com)

<https://nasional.sindonews.com/read/994208/162/13-provinsi-siap-jadi-tujuan-wisata-syariah-1430102126> accessed 23 November 2017

Abdullah B, Menanti Kemakmuran Negeri: Kumpulan Esai Tentang Pembangunan Sosial Ekonomi Indonesia (Gramedia Pustaka Utama 2006)

‘Aset Keuangan Syariah RI Tempati Peringkat Ke-9 Di Dunia Malaysia Ke-3’ (Kumparan, 2017) <https://kumparan.com/wiji-nurhayat/aset-keuangan-syariah-ri-tempati-peringkat-ke-9-dunia-malaysia-ke-3> accessed 20 November 1BC

‘Aset Perbankan: Peluang Keuangan Syariah Terbuka Luas’ (Bisnis.com, 2017)

(9)

Hafidhuddin D, Islam Aplikatif (Gema Insani 2003)

Huda N and Heykal M, Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan Teoritis Dan Praktis

(Kencana 2010)

Iswandi A, ‘Peran Etika Qur’ani Terhadap Sistem Ekonomi Islam’ (2014) VI Al-Iqtishad 143

‘Joko Widodo: Indonesia Harusnya Jadi Pusat Keuangan Syariah Dunia’ (Kompas.com, 2017)

<http://nasional.kompas.com/read/2017/07/27/16531211/jokowi--indonesia-harusnya-jadi-pusat-keuangan-syariah-dunia> accessed 17 November 2017

‘Keuangan Syariah RI Duduki Peringkat Empat Dunia’ (Republika.co.id, 2011) <https://kumparan.com/wiji-nurhayat/aset-keuangan-syariah-ri-tempati-peringkat-ke-9-dunia-malaysia-ke-3> accessed 18 November 2017

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui secara parsial variabel faktor-faktor ketrampilan dan etos kerja terhadap produktifitas pada CV Mandiri Trans di Surabaya,

Prinsip tersebut secara lengkap dibahas oleh Grice (1975) yang mencetuskan Prinsip Kerja Sama. Menurut Grice, dalam sebuah tuturan, partisipan tuturan sebaiknya mematuhi

(3) Pendiri dapat menetapkan jumlah akumulasi iuran dan hasil pengembangan yang dapat dibayarkan sekaligus dengan nilai yang lebih rendah dari jumlah

Kebutuhan pemberian nama pada suatu warna, ternyata berlaku secara universal di seluruh dunia. Tantangan ini harus dijawab dengan baik oleh manusia di setiap negara. Warna perlu

Efektif tanggal 1 Januari 2012 PPSAK No. 44 &#34;Akuntansi Aktivitas Pengembangan Real Estat&#34; dalam Paragraf 47 – 48 dan 56 – 61” Pencabutan standar ini mengubah penyajian

“Pengembangan Panduan Kemampuan Menentukan Tujuan Belajar Menggunakan Teknik Goal Setting Pada Peserta Didik SMP”. Tujuan Penelitian

[r]

Fase keenam dalam materi literasi ekonomi dan keuangan Syariah adalah fase implementasi pengetahuan keuangan dan ekonomi Syariah dalam kehidupan di usia