• Tidak ada hasil yang ditemukan

11. BAB XI . doc

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "11. BAB XI . doc"

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

D A L A M P A S T O R A L : S O A L – S O A L YG. S A L I N G B E R K A I T A N:

/PERKAWINAN /BAB XI: KELUARGA <

/ \SEKSUALITAS /

/ /KELUARGA / BAB XII: PERKAWINAN <

/ \SEKSUALITAS /

SOAL< /SEHUBUNGAN DNG.PERKAWINAN \ BAB XIII; SEKSUALITAS<

\ \TAK SEHUBUNGAN DNG.PERKAWINAN \ /DATA NONTEOLOGIS

\ NB PASTORAL: CAMPURAN<

\SOROTAN TEOLOGIS KOMPETENSI KITA

BAB XI

BEBERAPA SOAL YANG LEBIH BERKAITAN DENGAN K E L U A R G A (YANG BERDASARKAN PERKAWINAN)

Meskipun keluarga, perkawinan dan seksualitas saling berkaitan erat sekali, kiranya baik dibahas tersendiri soal-soal yang lebih berkaitan dengan keluarga. Pada umumnya dapat dikatakan bahwa segala persoalan manusia menyangkut keluarga dan adal;ah soal keluarga karena kebanyakan orang hidup dalam keluarga, maka makna relevan & aktual utk.pastoral Pasal 56 Keluarga yang berdasarkan perkawinan

Pasal 57 Anggota keluarga & rumahtangga Ekskurs I Kakek-Nenek

Ekskurs II KDRT

Ekskurs III UU RI 52/2009 Tentang Penghapusan KDRT Ekskurs IV Hukuman anak

Pasal 58 Keluarga tanpa nikah atau konkubinat Pasal 59 Keluarga Berencana

Ekskurs I ttg. Humanae vitae Ekskurs II ttg.BKKBN Pasal 60 Moral Keluarga Pasal 61 Pastoral Keluarga

PASAL 56

KELUARGA YG.BERDASARKAN PERKAWINAN

I.PENGERTIAN

Indonesia berada dalam masa peralihan, maka harus diperhitungan adanya keluarga inti dan keluarga besar. Salah satu masalah menyangkut relasi antara para anggota keluarga yang seringkali berkisar pada kebutuhan materiil, dan kurang lebih eksplisit kapkan kebutuhan yang mengatasi taraf itu. Bahkan tak jarang dilupakan bahwa relasi keadilan, misalnya antara suami-istri atau orangtua anak juga menyangkut hal-hal materiil seperti waktu.

A.FUNGSI 1.Prokreasi

Dengan ini dimaksudkan bertambahnya jumlah manusia, tak hanya demi generasi masa depan.

(2)

a.Tujuan

1) Membantu anak berkembang menjadi manusia seutuhnya, dewasa dan mandiri 2) Membekali anak dengan segala yang diperlukannya, sekarang dan kelak.

b.Manusia seutuhnya

1) Makhluk bio-psiko-sosio-spiritual 2) Aspek biologis

3) Aspek psikologis 4) Aspek sosiologis 5) Aspek moral-spiritual 6) Aspek transenden

c.Dewasa dan mandiri

1) Dewasa = Berkembang menjadi cukup umur dan dapat hidup dalam rakat

2) Mandiri = mampu mengurus diri sendiri 3) “Anakmu bukan anakmu” ( Kahlil Gibran)

B.BENTUK

1.Pelbagai bentuk

Kita tak tahu dengan pasti macam-macam bentuk hidup berkeluarga umat manusia, apalagi asal mulanya dan perkembangannya (evolusi!).

2.Dewasa ini

Dapat disinyalir bahwa dalam masyarakat dalam peralihan ada dua bentuk pokok yang berdampingan, seringkali karena pertimbangan pragmatis. Perkembangan zaman akan membawa perubahan, misalnya orangtua lanjut usia.

a.Keluarga inti (“nuclear family”)

Terutama dalam masyarakat perkotaan: terdiri dari dua generasi (orangtua dan anak-anak, juga anak angkat)

b.Keluarga besar/luas (“extended family”)

Terutama dalam masyarakat pedesaan. Terdiri dari lebih daripada dua generasi nenek, orangtua, anak-anak, cucu) dan selain itu juga garis menyamping: sanak-saudara (paman, bibi, keponakan, misanan) dan prt.

c.Bentuk campuran dalam masa transisi

1) Keluarga ini 2) Keluarga luas

II.GEREJA & KELUARGA (KELUARGA SEBAGAI “ECCLESIA DOMESTICA” (ECCLESIOLA)

A.PENGERTIAN 1.Sumber referensi

a.1964: LG 11 b.1965: GS 48 c.1981: FC 21

d.Pelbagai amanat Paus

2.Pemahaman

(3)

3.Soal

a.Perkawinan atau keluarga?

Dapat diajukan pertanyaan, apa tepatnya yang disebut “ecclesia domestica” itu? Perkawinan ataukah keluarga

Matrimonium in fieri = pernikahan atau awal perkawinan\ Matrimonium in facto esse = keluarga. Hidup perkawinan.

Pada umumnya perkawinan berkembang menjadi keluarga, dan pasutri menjadi orangtua, sehingga pertanyaan itu kurang aktual.

Tetapi dapat terjadi bahwa perkawinan tidak berkembang menjadi keluarga dan suami-istri tak menjadi orangtua..Juga dalam hal ini ungkapan “ecclesia domestica” kiranya dapat dikenakan kepada perkawinan itu.

b.Keluarga campur?

1) Pertanyaan lain yang dapat diajukan ialah apakah semua anggota keluarga harus katolik? Pertanyaan ini tak pernah atau jarang diajukan, sehingga juga tiada jawaban atasnya.

2) Keluarga cermin masyarakat majemuk

Seperti masyarakat yang majemuk, demikian pula keluarga

B.BEBERAPA UNSUR

Kalau ungkapan “ecclesia domestica” bukan hanya soal akademis, melainkan punyai relevansi dan konsekuensi dalam kenyataan, maka sebaiknya relevansi atau konsekuensi itu juga diangkat.

1.Relasi pasutri

Yang dimaksudkan ialah relasi pasutri sebagai orang beriman, termasuk makna sakramentalitas perkawinan yang bukan hanya soal sesaat belaka, melainkan dikonsepkan seumur hidup, namun dalam praktek seringkali kurang nyata.

2.Relasi orangtua-anak

Yang dimaksudkan ialah perkawinan atau keluarga sebagai wadah hidup beriman yang mendukung perkembangan para anggotanya, terutama anak-anak.

III.BEBERAPA MASALAH

A.DI INDONESIA PADA UMUMNYA 1.KDRT

Masalah kekerasan dalam rumahtangga rupanya masih aktual dan bahkan urgen.

Yang dimaksud terutama ialah sikap tanpa kekerasan dalam hubungan si kuat terhadap si lemah bukan hanya tidak fair, melainkan (campuran moral dan hukum) jug bertentangan dengan keadilan dan kasih kristiani, dan kontraproduktif, bukannya memecahkan lah, melainkan lebih memuaskan nafsu si kuat, melampiaskan kegusarannya kepada si lemah dan justru menambah masalah dan meninggalkan kenangan pahit yang membekas, atau bahkan diteruskan oleh sang kurban dalam keluarganya:

Adanya UU antikekerasan dalam rumahtangga (yang lebih menyangkut akibatrnya) perlu dan baik, tetapi lebih baik lagi kalau dikembangkan habitus relasi keadilan dan kasih-sayang dalam keluarga, apalagi rumahtangga katolik.

Soal KDRT bukan monopoli R.I., melainkan gejala lebih umum

a.Relasi suami-istri

(4)

b.Relasi orangtua anak

1) Pengaruh orangtua atas anak amat besar, juga bila kurang disadari

2) Hubungan yang baik antara orangtua dan anak menjadi suasana kondusif dan merupakan pendidikan terbaik.

3) Hubungan yang baik merupakan pembekalan terbaik yang akan diteruskan oleh anak kepada keturunannya.

2.Masalah kesetaraan

a.Pengaruh budaya patriarki di kawasan timur

Budaya patriarki yang menghambat kesetaraan di kawasan barat kiranya lebih berat di kawasan timur juga karena faktor tradisi budaya dan agama.

b.Peluang keluarga

Mulai dari keluarga sebagai satuan kecil dan mendasar serta fungsi sebagai dah pendidikan, sekolah kemanusiaan.

B.INDONESIA DALAM MASA PERALIHAN 1.Sebagian menurut pola tradisional

a.Peran adat

1) Terutama di pedesaan peran adat masih amat kuat dan ikut menentukan hidup berkeluarga.

2) Bila ada konflik antara iman dan adat biasanya adat menang.

b.Peran agama

1) Peran agama (katolik, Islam) amat besar, misalnya lewat hukum agama 2) Salah satu kesulitan: para anggota keluarga dapat menganut agama berbeda.

2.Sebagian menurut pola modern a.Peradaban barat

1) Pendidikan dan kalangan (lingkungan) ikut menentukan hidup keluarga menurut pola modern.

2) Kebijakan ini ikut mengakibatkan keluarga mengambil alih nilai dan lahnya.

b.Konteks Indonesia

1) Pola modern tak diambil-alih dalam versi murni, melainkan menurut konteks Indonesia.

2) Bisa terjadi ada kesenjangan antara bentuk lahiriah (peradaban barat) yang diambil alih, tetapi ruang batin (mentalitas) dari sini.

C.MASALAH PERKEMBANGAN 1.Arah perkembangan

Dalam masa peralihan ini belum jelas arah yang akan diambil pengembangan hidup keluarga di masa depan.

2.Peran Gereja Katolik

Ketidakpastian ini merupakan peluang untuk mempengaruhinya. Gereja bisa belajar dari perkembangan keluarga di dunia barat, menghindari perkembangan yang kurang baik dan mengarahkan perkembangan yang lebih baik, misalnya sehubungan dengan nilai-nilai.

PASAL 57

ANGGOTA KELUARGA & RUMAHTANGGA

(5)

Beberapa gejala dalam masyarakat seperti arus mudik dan kesedihan kematian anak-saudara dapat menjadi indikasi bobot ”Family values” di Asia (Ecclesia in Asia ), dan betapa eratnya hubungan kekeluargaan di Indonesia, maka patut hal ini diangkat di sini, meskipun tentu ada perbedaan individual yang harus diperhatikan. Lagi pula kekecualian meneguhkan gambaran umum.

I.BEBERAPA CATATAN

A.KELUARGA KECIL ATAU BESAR? 1.Peralihan

a.Citarasa keluarga besar, maka perlu diperhatikan kedua-duanya b.Memang ada perbedaan di perkotaan dan pedesaan

2.Arah

a.Arus makin individualistis b.Trend ke keluarga kecil

B.KELUARGA ATAU RUMAHTANGGA? 1.Disamakan

a.Lebih disamakan (bdk.UU 1/1974 ttg.perkawinan, ttg.penghapusan KDRT) b.Tak menentu (bdk.”Kartu Keluarga”)

2.Dibedakan

a.Keluarga  keluarga inti (Lebih genealogis)

b.Rumah tangga  penghuni di bawah satu atap (Lebih dari sudut ekonomis?)

II.A N A K DAN ORANGTUANYA

Dalam dekalog hukum IV: “Hormatilah ayah bundamu” yang ditujukan juga kepada orang dewasa. Kasih sayang orangtua, khususnya ibu, didukung pelbagai faktor fisik. A.ANAK

1.Anak dan keluarga

a.Penegasan iman

1) Iman menghargai anak

2) Dokumen Gereja mengajukan gagasan anak sebagai mahkota perkawinan b.Peneguhan budaya

1) Budaya Asia mengajukan gagasan “Asian Values” 2) Budaya Indonesia menganggap anak sebagai keharusan

2.Anak dan masyarakat

a.Makna 1) Kuantitatif 2) Kualitatif b.”Parens Patriae”

1) Pembangunan keluarga dna pengembangan kependudukan dianggap sebagai kesatuan (UU RI 55/2009)

2) Hutang budi negara terhadap keluarga tak terperikan, maka sewajarnya Politik negara mendukung keluarga

3.Hak anak

a.HAM ttg anak berkembang

b.Peraturan perundang-undangan khususnya yang melindungi anak juga harus kembang dan dilaksanakan.

(6)

B.IBU

1.Gejala alam

a.Konstatasi gejala

Baik pada ibu maupun hewan induk menaruh perhatian luarbiasa terhadap anak, apalagi anak manusia yang sama sekali tergantung pada orang dewasa.

b.Korelasi hormon dan gen

Penelitian pakar menunjukkan peran kerjasama hormon dan gen. 1) Endorfin

2) Oksitoksin

2.Kasih ibu

Bukan hanya soal biologis, melainkan juga moral yang memang didukung faktor biologis.

a.Kasih afektif-emosional

b.Mengupayakan hal yang baik dan diperlukan c.Kasih rasional

C.BAPA(K) 1.Umum

a.Bapa atau Bapa sering dipakai dalam arti umum

b.Juga dipakai untuk sebutan Tuhan yang tak berjenis kelamin, meski kasih Allah juga dilukiskan seperti kasih ibu (misalnya Yes 66)

2.Khusus

. a.Ayah .Bukan hanya untuk prokreasi, melainkan juga untuk edukasi. b.Relasional sebagai ayah thd.anak-anaknya, sbg. suami thd.isterinya.

D.KOMPLEMENTARITAS 1.Lelaki dan perempuan

a.Ciri khas jenis kelamin sudah bersifat komplementer b.Keduanya diperlukan anak.

2.Pembagian peran

a.Tergantung busaya dan keadaan masyarakat

b.Misalnya, tak hanya sbg.tokoh identifikasi, melainkan juga ayah sebagai tokoh otoritas

E.ORANGTUA – ANAK BELUM DEWASA

1.Kewajiban orangtua: Membesarkan dan/atau mendidik anak

a,Aspek fisik

Sandang-pangan-papan, yang tentu juga mempunyai aspek psikis.

b.Aspek psikis

Kasih sayang dan kepercayaan yang juga mempunyai “substrat” dalam aspek fisik (kejasmanian).

c.Aspek sosiokultural

Segala nilai dalam budaya tertentu

d.Aspek intelektual

Menyekolahkan anak, termasuk aspek professional, agar anak di kemudian hari dapat menekuni profesi yang perlu untuk menghidupi keluarga.

e.Aspek religius-moral

(7)

utama nilai-nilai inklusif yang mempersiapkan anak hidup dalam kat majemuk.

f.Aspek-aspek lain

Khususnya yang perlu untuk kehidupan.

2.Kewajiban anak belum dewasa – orangtua

a.Cintakasih selalu

Pada umumnya cintakasih anak kepada orangtuanya juga didukung oleh perasaan, jadi tidak melulu rasional.

b. Hormat 1) Selalu

2) Karena mereka orangtua c. Taat

1) Tidak dalam segala hal (tak boleh taat bila disuruh berdosa) Fungsional: Sementara selama belum dapat mengatur diri sendiri.

2) Pergeseran tanggungjawab.Makin menjadi besar, peran anak bertambah dan peran orangtua berkurang.

3) Kasus perbedaan pendapat ibu-bapa

F.SOAL ANAK ANGKAT

Kiranya baik pada kesempatan ini juga menyinggung soal anak angkat.

1.Pertimbangan pro-kontra angkat anak

a.Keterbatasan hubungan darah 1) Mt 12: 46-50 “Siapakah ibu-Ku”

2) Manusia memang berasal dari ibu bapanya, tetapi ia mandiri 3) Usia ibu bapa juga terbatas.

b. Aspek sosial dan solidaritas

1) Manusia makhluk sosial, hanya dapat hidup berkat orang lain, keluarga atau bukan 2) Anak mendapatkan “home” sebagai suasana yang mendukung pekembangannya 3) Anak memperoleh kasih-sayang orangtua angkat yang perlu untuk pertumbuhannya. 4) Jasa orangtua tak terperikan, maka patut didukung Negara, misalnya dengan peraturan perundang-undangan dan fasilitas yang memadai. Sayang bahwa hal ini di Indonesia kurang.Tiada kementerian Keluarga yang dimasukkan ke dalam Departemen Sosial dan Departemen Kesehatan.

5)Yatim piatu juga terus hidup, bahkan seringkali “massal”, tapi tak boleh disengaja. (Soal: pembuahan dengan sperma ayah yang telah meninggal dunia juga berarti sengaja membuat anak tanpa ayah yang mengasihi dan membinbingnya bersama ibu).

c.Peraturan peryndang-undangan, khususnya undang-undang sipil

1) WNI perlu memperhatikan UU yang sebetulnya baik (mencegah penyalahgunaan, daganganan anak, terpenuhinya persaratan adopsi dsb.), tapi sayang, banyak hal dapat ditembus dengan uang, bahkan mafia peradilan.

2)Banyak orang menghindarinya dan langsung mendaftarkan anak angkat sbg.anak diri.

3) Meloloskan diri dari birokrasi berbelit-belit (Kalau dapat sulit, mengapa dipermudah?) 4) Melepaskan diri dari pemerasan oleh pejabat yang korup.

d.Keadaan anak

1) Bisa ada rasa tak dikehendaki dan dibuang oleh ibu kandungnya

(8)

3)Adanya soal lain yang membuatnya menjadi “anak sulit”. e.kontekstual

1) Motivasi orangtua angkat penting: untuk apa? 2) Pribadi manusia tak pernah boleh diperalat. 3) Motivasi menuju ”egoistisme”:

Anak angkat untuk masa depan: lansia

Anak angkat untuk “mancing” sendiri mendapat anak, lalu bagaimana nasib anak kat?

f.Maksud jahat harus dicegah 1) Organ tubuh anak diambil

2) Anak diperlakukan tak baik atau ditelantarkan. g.Hak anak

1) Berhak diberitahu asal-usulnya 2) Soalnya hanya kapan

h.Pemberitan tahu kebenaran harus tepat 1) Sebelum dengar dari orang lain 2) Waktu ia dapat menerimanya i.Agama

1) Orang katolik diharapkan juga menimba inspirasi dan motivasi dari imannya (misalnya: kasih)

2) Tetapi iman tak boleh dipaksakan kepada orang lain.

3) Meskipun hal terbaik harus diberikan kepada anak, orangtua katolik tetap harus mengehargai HAM (untuk tidak memaksakan agama)

4) Soal yang dapat timbul ialah: bagaimana status anak angkat. Bukankan orangtua bertugas meneruskan imannya kepada anak-anaknya (anak kandung)?

j.Keputusan

1) Pertimbangkan pro-kontra

2) Mampu (fisik, psikis, finansial dsb.)

k.Cinta sejati mencegah anak jatuh ke tangan jahat 2.Anak kandung dan anak angkat

a.Perbedaan

Hanya faktor genetis (keturunan) yang membedakan anak angkat dari anak kandung, yang memang dapat merupakan buah perkawinan.

Bisa saja motivasi semula adopsi dipicu oleh tiadanya anak kandung atau altruisme atau faktor sosial, tetapi selanjutnya harus ada perlakuan tulus-ikhlas tanpa membeda-bedakan.

b.Kesamaan

Martabat manusia merupakan faktor kesamaan yang paling mendasar dan mengedepan, apalagi bagi keluarga kristiani yang diresapi semangat keadilan dan kasih. Juga anak mengemban martabat pribadi manusia, meskipun belum mampu melaksanakan kemandirian.

3.Moral yang sama

a.Unsur-unsur moral keluarga juga sepenuhnya berlaku dalam hal anak angkat. yang seperti anak kandung membutuhkan bantuan orang dewasa.

(9)

Para psikiater sendiri berbeda pendapat, ada yang mengatakan sesegera mungkin sebelum anak mendengarnya dari pihak lain. Ada pula yang mengatakan: kalau kepribadian anak sudah selesai terbentuk (usia 20 tahun ke atas). Cara bagaimana kiranya terbaik diketahui oleh orangtua sendiri.

Pokoknya, jangan sampai mennimbulkan kegoncangan jiwa. G.ANAK DEWASA – ORANGTUA LANJUT USIA

1.Hormat dan cintakasih selalu

Hal ini hamper berkembang dengan sendirinya, juga karena anak angkat merasa hutang budi kepada orangtua angkatnya.

2.Bantuan sejauh diperlukan orangtua

a.Masalah besar

Harapan (lebih tepat: prakiraan.ekspektasi) hidup makin besar dengan kemajuan ilmu dan teknologi kedokteran

Biaya hidup makin tinggi

Anak dewasa sudah harus memikul beban keluarganya sendiri, ditambah tuan bagi orangtuanya.yang kekuatannya makin surut.

Orangtua lanjut usia terpaksa memilih antara beberapa kemungkinan dengan untung-ruginya: nunut pada anak dan/atau menantu

wisma jompo rumah sendiri

Anak tak pernah dapat membalas tuntas jasa orangtuanya, tetapi mereka ini pada gilirannya sudah menikmati jasa orangtua mereka sendiri.

b.Aspek afektif & emosional

Orangtua lanjut usia tak hanya mempunyai kebutuhan materiil, melainkan juga emosional-afektif, apalagi kalau sudah duda atau janda yang sendirian tanpa teman hidup.

Mungkin segi ini lebih mudah dilupakan daripada segi jasmani.

III.KAKAK-ADIK

Hubungan keluarga dalam masyarakat Indonesia amat erat, maka tema ini sebaiknya diangkat di sini.

A.DI BAWAH SATU ATAP DALAM KELUARGA 1.Keluarga sekolah kemanusiaan

Konsili Vatikan II menyebut keluarga itu “sekolah kemanusiaan”.

Ada banyak kesempatan alamiah (tidak dicari-cari) untuk melatih hubungan kemanusiaan, bahkan kekeluargaan bagi kakak-adik.

Hubungan ini akan menjadi bantuan kelak bila mereka sudah bertanggungjawab atas keluarga sendiri.

Apa yang dipelajari dan dilatih dalam keluarga yang menjadi sekolah kemanusiaan, juga merupakan persiapan terbaik untuk hidup bermasyarakat.

2.Bersaudara

Kesadaran mempunyai saudara merupakan kekuatan dan kepercayaan tersendiri yang amat bermanfaat dalam perjuangan kehidupan. Seorang saudara tahu di mana ia dapat curhat dan akan mendapat bantuan ikhlas dalam kesulitan.

B.BILA BERKELUARGA SENDIRI 1.Terlatih

Hal-hal kecil sehari-hari yang sudah dilatih secara alamiah dalam keluarga, lebih mudah dilaksanakan dalam hal-hal yang lebih besar dalam kehidupan yang lebih serius karena tanggungjawab yang dipikul lebih besar.

(10)

Hubungan persahabatan dapat dijalin atas pilihan sendiri. Tentulah banyak faktor ikut menentukan, misalnya kecocokan, kesempatan berkomunikasi dsb.

Hubungan persaudaraan di rumah orangtua dapat dilanjutkan bila mereka sudah berkeluarga sendiri.

Mempunyai saudara sekandung sebagai sahabat tentulah dapat menjadi dukungan kuat dalam kehidupan.

IV.SANAK-SAUDARA

A.IKATAN GENEALOGIS 1.Termasuk keluarga besar

a.Aneka jenis b.Aneka sebutan

2.Siapapun yang sedikit banyak masih termasuk keluarga

B.IKATAN KEKELUARGAAN

1.Keakraban tanpa ikatan genealogis

2.Mereka yang dianggap sbg.saudara sendiri

V.LAIN-LAIN A.RINCIAN 1.Keragaman

a.Keluarga Inti b.Keluarga Besar

2.Di bawah satu atap

a.Keluarga b.Rumahtangga

C.SANAK-SAUDARA 1.Titipan

2.Ikutserta

D.ANAK KOS

1.Ciri khas: Jauh dari orangtua sendiri 2.Peran induk semang

E.PEMBANTU RUMAH TANGGA 1.Status: Pekerjaan nonformal 2.Perlakuan manusiawi-kristiani

VI.PENILAIAN

A.MENGEMBANGKAN HUBUNGAN KELUARGA 1.Keluarga sebagai anugerah

Memang hubungan para anggota keluarga tak jarang seperti anjing-kucing, tetapi tak harus selalu begitu dan pada dasarnya bisa menjadi lebih baik. Segala di dunia ini tidak abadi. Generasi bergantian tak kunjung henti. yang satu pergi, yang lain datang. Seringkali keluarga dialami sebagai anugerah.

2.Keluarga sebagai tugas

(11)

Dalam paham dinamis manusia bertugas mengembangkan nilai-nilai keluarga.

B.BEKAL CINTAKASIH KRISTIANI 1.Tidak dengan tangan kosong

Manusia mempunyai 1001 urusan. Daripadanya ada yang penting, ada yang kurang penting. Segalanya dapat diringkas menjadi tugas mengembangkan kasih. Inilah bekal juga untuk mengembangkan keluarga.

2.”Seperti Aku mengasihi kamu” (Yoh 15: 12)

Tidak tanpa alasan Marriage Encounter memilih Sabda Yesus ini sebagai yan untuk pasutri.

Kita mampu mengasihi karena lebih dahulu kita sudah dikasihi.

C KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER

Harus diakui bahwa soal KDRT demikian pula soal kesetaraan dan keadilan gender

bukan hanya soal keluarga, melainkan perempuan pada umumnya. Namun perlu dilihat juga bahwa soal ini termasuk juga soal keluarga.

1.Umum

a.Kekerasan gejala umum

b.Terjadi lintas batas sejak dahulu kala

2.Dalam rumahtangga

a.Rumahtangga memberi banyak kesempatan

b.Kekerasan dalam rumahtangga menjadi lebih parah

3.Budaya patriarki

a.Diskriminasi terhadap perempuan

b.Peraturan Perundang-undangan yang diskriminatif terhadap Perempuan c.Penyingkiran perempuan dari hidup publik dan pembangunan

d.Marginalisasi e.Subordinasi f.Beban ganda g.Kekerasan

4.Beberapa bentuk atau bidang

a.Pendidikan b.Ekonomi c.Hukum d.Politik e.Lain-lain

EKSKURS I: KAKEK-NENEK & KELUARGA BESAR A.KEADAAN KELUARGA DEWASA INI

1.Ekspektasi hidup

a.Lebih panjang

b.Juga kemampuan individual

2.Bakti

a.Bagi anak kecil b.Bagi anak besar

B.SALING MEMBANTU 1.Kebutuhan keluarga

(12)

III.KELUARGA BESAR A.MASA PERALIHAN

1.Kebersamaan keadaan agraris dan industrialis

2.Kemajemukan keadaan

B.KELUARGA BESAR ATAU KELUARGA INTI?

1.Pastoral Gereja yang membantu manusia dalam situasinya

a.Mengena

b.Macam-macam situasi

2.Pastoral Gereja

a.Bagi keluarga inti b.Bagi keluarga besar

EKSKURS II: SIKAP TERHADAP KEKERASAN DALAM KELUARGA

Tema kekerasan dalam keluarga tidak dicari-cari, melainkan makin aktual tak hanya di

Indonesia, juga sesudah berlakunya UU KDRT, melainkan juga di mancanegara. Bebe-rapa hari yang lalu dalam siaran warta berita DW-TV dikabarkan dua anak balita ditelantarkan ibunya (juga suatu bentuk kekerasan yang bertentangan dengan keadilan dan cintakasih, apalagi

terhadap si lemah oleh ibu yang berwajib memelihara anaknya!), yang satu mati kehausan secara mengerikan, yang lain, yakni adiknya yang berusia 2 tahun, hampir mati. Yang tak menjadi berita tv atau media massa lainnya jauh lebih banyak, dan jumlah kasus kekerasan dalam keluarga di Indonesia menurut berita terakhir makin meningkat. Soal ini memang tak dapat diatasi hanya secara yuridis, meskpun undang-undang bermanfaat karena menyediakan dasar hukum untuk bertindak.

Sudah dalam pengalaman pastoral dan praktek Tribunal yang menangani kasus-kasus perkawinan, soal kekerasan dalam keluarga merupakan “evergreen”. Jadi, juga di kalangan katolik yang mempunyai akses kepada bantuan pastoral kasus-kasus ini relevan, aktual dan urgen. Di pastoran katedral Malang saputangan saja tak cukup untuk mengusap tetes air mata, maka saya sediakan tisyu. Maka dari itu tema ini sungguh aktual, dan perlu ditangani, baik preventif kalau bisa, maupun kuratif.

Yang dimaksudkan dengan “sikap terhadap” bukanlah hanya penilaian dari jauh dalam menyikapi kekerasan pada umumnya dan dalam keluarga, melainkan juga perlunya ang-gota keluarga sendiri mempraktekkan sikap antikekerasan dalam keluarga, dibantu upaya pastoral Gereja. Maka dari itu tulisan ini berguna bagi para anggota keluarga sendiri, dan juga bagi seluruh umat, khususnya petugas pastoral, lebih khusus lagi Romo paroki.

I.PRINSIP ANTIKEKERASAN (NONVIOLENCE)

Harus jelas dan tegas, apa yang dimaksudkan, kalau tidak, maka juga pembahasannya kabur, dan bahkan bisa mengganggu kepastian hukum, dengan akibat hal-hal tertentu yang termasuk kekerasan dalam keluarga, lolos dari penilaian dan terus berlangsung dengan kurban yang terus menderita, dan pelaku yang bebas dari sanksi, bahkan diang- gap wajar dan sudah biasa, dan membuat orang bersikap apatis. Ini bukan hanya pengi- raan, melainkan kejadian benaran, yakni praksis beberapa Romo yang kurang mengenal jalan keluar yang disediakan Kitab Hukum Kanonik. Tak cukup hanya menghibur istri yang babak belur dipukuli suami untuk kesekian kalinya: “Perkawinan katolik tak dapat diputus atau dicerai. Sabar saja seperti Yesus juga sabar”. Saya bertanya dalam hati: apakah waktu studi di STFT tak pernah mendengar pelbagai kemungkinan yang diakan KHK? Namun menarik garis jelas dan tegas atau tajam antara kekerasan yang tak dibenarkan dan jalan nonkekerasan yang menjanjikan tidaklah mudah.

A.KEKERASAN

(13)

kekejaman, sado-masokisme, kekerasan dalam rumah tangga, genetika dan rasan, kekerasan legislatif, mutilasi, antikekerasan, kebrutalan polisi, kekerasan agama, kekerasan di sekolah, kekerasan sektarian, kekerasan oleh negara, tawuran, kekerasan terhadap perempuan, kekerasan terhadap laki-laki, kekerasan dalam olah raga, kekerasan (personifikasi) dalam mitologi Yunani. Saya tambahkan: kekerasan dalam Perjanjian Lama! Ini semua hanya contoh! Saya pakai saja dua kategori yang tuntas untuk menampung segalanya, yakni kekerasan fisik & kekerasan nonfisik.

1.Kekerasan fisik

Paling kasat mata dan gampang disepakati ialah kekerasan fisik (memukul, perkosa dsb.), terutama bila tanda atau akibatnya bisa dijadikan bukti, misalnya oleh saksi ahli, seperti dokter, psikiater, polisi dsb.

Belum lagi kasus-kasus tidak langsung kekerasan dalam keluarga seperti keluarga pengungsi kurban “danau” lumpur air panas Lapindo dan bencana alam lain. Rupanya hal-hal ini tak dihitung sebagai kekerasan dalam keluarga, meskipun akibatnya juga membuat sengsara, menderita keadaan serba kekurangan: rumah, privacy, sanitasi, sekolah, makan, minum, air bersih, mata pencaharian dan infrastruktur dsb.yang amat dibutuhkan masyarakat untuk hidup layak manusiawi dan berkembang tetapi sulit diusahakan sendiri. Lagi-lagi rakyat kecil yang menjadi kurban dan mendapat banyak janji. Bencana alam memang tak selau bisa kan, tetapi kalau terjadi secara berkala seperti banjir di Jakarta, kalau secara berkala pula sembako naik (beras, minyak dsb.), maka timbul pertanyaan di mana tah yang khusus bertugas mengatur kepentingan umum? Kemelaratan juga suatu

bentuk kekerasan dan pelecehan martabat manusia dengan hak asasi dan sipilnya.. Hal-hal ini contoh betapa sulitnya menarik garis tajam antara kekerasan yang

mang tak langsung fisik, tetapi dapat mempunyai akibat fisik seperti kelaparan dsb.

2.Kekerasan nonfisik

Kejelasan kekerasan fisik tak boleh membuat kita lupa akan kekerasan lain yang bersifat nonfisik, yang jauh lebih luas dan lebih banyak daripada kekerasan psikis. Definisi negatif “nonfisik” amat luas dan bisa mencakup segala, karena mengikuti klasifikasi tuntas menurut prinsip kontradiktoris (kontradiktoris: fisik - nonfisik; kontrer: ini - itu). Kalau ditanyakan, apa saja kekerasan nonfisik itu, kiranya gampang-gampang-sulit, karena amat luas, pokoknya segala bertentangan dengan kemauan bebas dan memaksa, misalnya “kawin paksa” yang seringkali dijalani karena “timor reverentialis” (hormat dan takut atasan).

Kekerasan nonfisik termasuk kekerasan, tapi tidak setiap kekerasan nonfisik, nya putusan Pengadilan terlarang. Lalu mana kekerasan nonfisik yang dilarang, mana yang tidak. Menghukum anak dengan sedikit memukul bokongnya satu kali terlarang atau tidak? Memaksa anak yang sudah seminggu tak mandi, untuk bersihkan badan, terlarang atau tidak? Jadi, tak cukup memerhatikan perbedaan antara kekerasan fisik dan nonfisik,melainkan masih harus dipertimbangkan lebih lanjut sejauh mana penggunaan kekerasan nonfisik bisa dibenarkan.

B.ANTIKEKERASAN

Lebih gampang merumuskan sesuatu secara negatif (bukan apa) daripada secara positif (apa), keduanya saling melengkapi. Di sini kedua jalan ini ditempuh..

1.Negatif

Apa perbedaan antara non-- dan anti--? Kedua-duanya dipakai dan dapat ditafsirkan sebagai reaksi atas penggunaan kekerasan yang mempunyai gradasi tingkat), misalnya mengenai “bela diri”, ada yang menafsirkan Mt.5: 39 sebagai cifisme mutlak dan menganjurkannya, ada yang membenarkan teori bellum iustum. (perang defensif yang adil).

a.Non-violence

(14)

buddhisme disebut “ahimsa”.

Menghindari dan menghindarkan kekerasan sudah merupakan kemajuan besar dalam masyarakat yang biasa mempergunakan kekerasan privat atau kolektif. Ada banyak tokoh gerakan antikekerasan yang sampai sekarang amat ruh, terutama Yesus, Ghandi, Martin Luther King kurban kekerasan.

b.Anti-violence

“Antikekerasan” melawan penggunaan kekerasan, menurut kata mengungkapkan sikap lebih kuat daripada “nonviolence” dalam arti tak hanya tidak memakai kerasan, melainkan proaktif mendukung gerakan melawan penggunaan san, terutama karena keyakinan.

Dalam bahasa sehari-hari tidak terlalu dibedakan antara nonviolence dan violence.

2.Positif

Juga usaha untuk menghindari penggunaan kekerasan banyak bentuk dan nya. Upaya-upaya ini lazim dianggap menghindari kekerasan, tapi mungkin lebih tepat dianggap sebagai upaya untuk mengurangi kekerasan fisik.

a.Jajur diplomatik (perundingan)

Selama orang berunding, biasanya ada gencatan senjata. Selama orang saling berbicara, senjata (yang termasuk penggunaan kekerasan) diam.

Maka dari itu (misalnya dalam soal nuklir Korea Utara dan Iran) ada banyak usaha untuk mendahulukan jalan diplomatis (jadi, perundingan) daripada embargo mis (yang menggunakan kekerasan), apalagi perang (penggunaan kekerasan fisik). b.Pemecahan menurut adat

Dari media massa kita tahu bahwa banyak penggunaan kekerasan dalam konflik horisontal dipecahkan menurut adat, dengan harapan agar lebih berhasil sejauh masyarakat ybs.berpegang teguh pada adat, meskipun tidak aksklusif, melainkan disertai tindakan pengamanan lain. Pokoknya diharapkan agar jangan dipergunakan kekerasan. Sejauh mana pemecahan menurut adat berhasil, dapat kita ketahui dari media massa.

c.Pemecahan lewat jalur hukum

Jalan lain yang terbuka untuk mencegah penggunaan kekerasan ialah jalur hukum, meskipun antara lain karena KKN, mafia peradilan, pelbagai permainan oknum aparat hukum, kepastian hukum dan penegakan hukum lemah. Putusan pengadilan dapat menceraikan pasangan suami-istri, meskipun salah satu pihak sebetulnya terpaksa menerima putusan itu. Bukankah ini juga suatu bentuk rasan?

d.Pemecahan kekeluargaan

Kita juga mengenal pemecahan kekeluargaan, yang dianggap dapat mengurangi kekerasan, namum seringkali kita tak tahu tahu apa yang terjadi di baliknya. Bisa baik, bisa tidak. TST (Sama tahu, sama mau). Mungkin saja dihindari bentuk kekerasan yang satu, tapi diganti dengan bentuk kekerasan yang lain.

e.Hotline

Tak jarang, sebagai tindakan preventif, antara dua penguasa yang bisa kan potensi penggunaan kekerasan, apalagi kalau tragis karena salah paham, dipasang hotline.

f.Lain-lain

(15)

Pemilihan jalan pemecahan seringkali membawa-serta pengurbanan yang harus dipikul banyak orang lain. Presiden Amerika menentukan kebijakan, puluhan ribu personil militer AS dikirim ke Irak dan Afganistan. Kurban harus dipikul tentera dan keluarganya.

Tanpa keharusan dan paksaan, bahkan sanksi, sejumlah kebijakan tak dapat judkan, karena hanya bahasa sanksi yang dimengerti. Bagaimana dengan rantasan KKN di Indonesia?

C.PRINSIP 1.Pragmatisme

a.Arti pragmatisme

Dengan “pragmatisme” di sini dimaksudkan mentalitas, “budaya”, cara berpikir, bersikap dan berperilaku tanpa keyakinan atau prinsip, “plin-plan”, bahkan sampai oportunistis, dengan segala cara yang menghalalkan segalanya asalkan tujuan atau maksud tercapai. Tetapi keyakinan dan prinsip apa itu? Hak atas kebebasan

hatinurani penting, tetapi orientasi pada hatinurani saja tidak cukup untuk hidup dalam masyarakat dan keluarga.

b.Godaan pragmatisme

Godaan pragmatisme besar, apalagi dalam pemikiran “teleologis”, yakni pola pikir banyak orang yang lebih mementingkan dampak sosial yang diinginkan daripada cara yang dipakai. Baik-buruk, tepat-kurang tepat diukur menurut hasil yang diharapkan. Kalau hasilnya dianggap baik, tinggal mengejarnya, tak peduli bagaimana caranya..

2.Prinsip perilaku

a.Umum dalam masyarakat

Pengalaman dan pengamatan kita menunjukkan masih banyaknya terjadi kekerasan dalam masyarakat Hal ini dapat terjadi di mana-mana, juga di negara “maju”. Yang menyedihkan ialah: penilaian dan sikap umum: dibenarkan atau kurangnya dianggap biasa dan ditolerir. Buktinya?

1) Dalam pemeriksaan orang terduga polisi masih menggunakan kekerasan. Saya pernah melihat sendiri bagaimana seorang polisi memukuli pengendara sepeda motor.

2) Dalam penjara Amerika Serikat (juara HAM) Guantanamo, banyak tahanan di-siksa. Demikian pula tentera Inggris menyiksa tahanan di Irak.

3) Kebiasaan main hakim sendiri: Pencuri ayam dikroyok dan dipukuli sampai babak belur. Sopir mobil atau truk tabrakan melarikan diri takut dikroyok. 4) Belum lagi kekerasan nonfisik: Tanpa uang pungutan warga masyarakat sulit

mendapatkan apa yang adalah haknya. Demikian pula negosiasi dalam pem-bayaran pajak atau denda damai kepada polisi lalu lintas.

5) Banyak kasus pelanggaran HAM tak ditindak (impunity).

b.Khusus dalam keluarga

Banyak kebiasaan yang ada dalam masyarakat juga terjadi dalam keluarga, apalagi kalau istri diperlakukan sebagai “milik” suami, anak sebagai “milik” orangtua, sedangkan seharusnya hubungan suami-istri bersifat kemitraan, dan anak bukan milik, melainkan menurut syair Kahlil Gibran dititipkan Tuhan kepada orangtua. Perlu ditumbuhkembangkan prinsip perilaku antikekerasan, baik dalam masyarakat, maupun dalam keluarga yang relasi timbal-baliknya tak dapat diatur menurut kategori kepemilikan (istri adalah milik suami, anak adalah milik orangtua) yang mendorong orang untuk memperlakukan milik menurut kemauan pemilik. Apa kriteria kan masa depan anak? Kemauan orangtua ataukah kemauan dan kemampuan anak? c.Keberatan melawan prinsip antikekerasan

(16)

1) Hak bela diri

Diakui tradisi teologi moral katolik, dan sekarangpun masih aktual. Misalnya, hak bela diri menghadapi jawatan perpajakan dengan oknum-oknum yang korup

dan tak memungkinkan prosedur transparan, kredibel dan akuntabel.

Hak bela diri mendapatkan hak legitim (asasi atau sipil) sebagai warga kat yang tak mungkin tanpa membayar pungutan liar.

Pada awal tahun 1960-an ketika di Kongo rusuh dan banyak biarawati diperkosa, tiga teolog Roma (Huerth, Pallacini dan Lambruschini) membenarkan biarawati memakai pil antihamil sebagai tindakan preventif agar kalau diperkosa jangan sampai hamil.

Teori “bellum iustum” juga dihalalkan sebagai hak bela diri kolektif. 2) Tanpa kekerasan perjuangan keadilan percuma

Banyak keberhasilan perjuangan demi keadilan hanya berhasil setelah pengguna-an suatu bentuk kekeraspengguna-an ypengguna-ang mendesak dpengguna-an “memaksa” pihak ypengguna-ang berkuasa untuk mengabulkan permintaan, seperti banyak terjadi di Indonesia.

Eksekusi putusan pengadilan (juga suatu bentuk kekerasan?) seringkali terjadi dengan kekerasan juga.

Jawab:

Hak bela diri tidak dihapus.

Maksud baik tidak menghalalkan sarana buruk.

Mungkin perlu dirinci lebih lanjut antara bentuk kekerasan yang tak dapat dibenarkan dan bentuk kekerasan yang termasuk lingkup paksaan yang dapat dipahami dan dibenarkan sebagai “minus malum” atau “maius bonum”, misalnya gugatan, proses dan putusan pengadilan, yang bahkan dianjurkan sebagai jalan tidak main hakim diri.

II.DALAM KELUARGA A.NILAI KELUARGA 1.Menurut akal sehat

Keuntungan penggunaan akal sehat ialah adanya pijakan bersama bagi semua orang apapun agamanya. Inilah gagasan inklusif yang mempersatukan semua. Dengan penalaran akal sehat banya sekali yang dapat dicapai juga mengenai Keluarga, misalnya dalam perumusan hak-hak asasi pada umumnya dan keluarga pada khususnya. Contoh: undang-undang negara yang tak berorientasi pada ciri khas agama tertentu, demikian pula dalam ajaran sosial Gereja:

Bdk.Familiaris consortio:

Keluarga sebagai persekutuan pribadi-pribadi

Keluarga sebagai wadah pengabdian (prokreasi dan pendidikan) kepada hidup

Keluarga dan masyarakat

2.Menurut iman

Ajaran Gereja Katolik menjunjung tinggi hasil penalaran akal sehat, bahkan dalam suatu aliran teologi moral ditegaskan peranan “recta ratio (akal sehat) dan “lex ralis” atau “ius naturale” (hukum kodrati) yang banyak dipakai dalam Ajaran Sosial Gereja, sehingga Ruslan Abdulgani (tokoh Islam) pernah mengatakan:Ajaran Sosial Sosial Gereja itu universal, bukan monopoli Gereja Katolik. Lalu dimana letak bangan iman?

a.Fungsi iman terhadap nilai-nilai “kodrati” keluarga

1) Iman dapat memperluas cakrawala atau wawasan makna, misalnya selibat. 2) Iman dapat memperdalam pemahaman, misalnya dalam ekologi.

(17)

b.Sumbangan iman untuk paham keluarga

Tentulah gagasan-gagasan di bawah ini dapat diuraikan lebih panjang lebar, tetapi bukan konteksnya di sini, maka cukuplah disebut saja, terutama untuk kan pentingnya budaya anikekerasan dalam keluarga.

1) Keluarga adalah Gereja rumah tangga (ecclesia domestica) 2) Keluarga adalah persemaian panggilan khusus

3) Keluarga adalah wadah evangelisasi

4) Keluarga berdasarkan sakramen perkawinan adalah wadah kasih

B.ANTIKEKERASAN DALAM KELUARGA

Di atas sudah dinyatakan bahwa dalam masyarakat terjadi banyak konflik dan upaya menanggulanginya tanpa kekerasan. Keluarga adalah bagian dari masyarakat, malahan sel masyarakat yang hidup dalam interaksi dengan masyarakat, maka apa yang berlaku dalam masyarakat sering juga berlaku dalam keluarga.

1.Bentuk yang lazim dalam masyarakat

Keluarga termasuk bentuk hidup yang paling biasa dalam masyarakat, bahkan satuan-satuan hidup bersama yang bukan keluarga “meniru” keluarga, misalnya asrama, komunitas religius, panti jompo dsb.

Demikian pula banyak upaya penanggulan konflik dengan sarana antikekerasan dalam masyarakat diterapkan juga pada kasus-kasus keluarga.

2.Keadilan dan kasih

Untuk mudahnya kita pakai saja relasi pokok antarmanusia, yakni keadilan dan kasih yang juga berlaku bagi keluarga.

.

a.Keadilan relasi kemitraan

“Keadilan” termasuk keutamaan pokok yang amat penting (hampir semua

perintah atau hukum dekalog dapat diuraikan dalam kategori keutamaan keadilan seperti dilakukan oleh Tomas Aquino dan para Dominikan).

“Keadilan” berarti kemauan tetap untuk memberikan kepada setiap orang apa yang merupakan haknya (“suum cuique).

Nah, dapat diuraikan panjang lebar dan secara kontekstual (keluarga di New York lain daripada di Benculuk, bdk.Diskusi kanonik ttg.kontekstualisasi ”bonum coniugum”), apa yang merupakan hak suami, istri, ayah, bunda, kakak, adik. Suatu contoh: “Primary love needs” dalam buku John Gray, Men are from Mars, women are from Venus, New York 1994.

Saya sebut satu hal yang sering diabaikan dalam keluarga: waktu! Pasutri kurang waktu untuk satu sama lain, orangtua kurang waktu untuk anak-anaknya.

b.Kasih-sayang relasi kemitraan

“Kemitraan”, itulah istilahnya yang amat penting untuk soal kekerasan dalam keluarga. Kemitraan berarti: menghormati martabat manusia (juga anak!), tanpa menggunakan kekerasan. Jadi, sebaiknya mulai dalam keluarga, satuan terkecil dalam masyarakat, sel masyarakat.

1) Kemitraan dalam relasi suami-istri tak sesuai dengan penggunaan kekerasan.

2) Kemitraan dalam relasi orangtua-anak mengutamakan argumentasi persuasif di atas sikap diktatorial, apalagi kekerasan dalam hubungan penuh kasih-sayang. Kiranya harus dibahas tersendiri soal “hukuman”, sejauh mana menyangkut kekerasan, meskipun dengan maksud baik.

3) Kemitraan dalam relasi kakak-adik dalam semangat persahabatan diungkapkan dalam proses tukar pikiran dan curhat.

C.KONKRET SIAPA SAJA?

(18)

1.Pasutri

a.Preventif

Sering dikatakan bahwa komunikasi amat penting antara lain karena komunikasi yang baik dapat menghindarkan salah satu sumber konflik, yakni salah paham. Salah satu sarana yang menjadi keprihatinan “Marriage Encounter” ialah nikasi suami-istri.

b.Kuratif

Terutama suami-istri katolik yang hidup dalam perkawinan yang tak terputuskan harus menyadari bahwa tiada jalan lain selain rekonsiliasi yang meskipun soalnya penuh dengan kekerasan berkembang tanpa kekerasan. Bila komunikasi baik, maka bukan hanya kekerasan dihindari, melainkan relasi pasutri dapat giakan dan kehangatan kasih sayang mereka itu pada gilirannya juga dapat menciptakan suasana dan memberi contoh yang baik kepada anak-anak. Anak tak hanya ingin dicintai oleh orangtuanya, melainkan juga ingin melihat relasi ibu bapaknya baik.

2.Orangtua-anak

a.Preventif

Seperti halnya dengan hubungan suami-istri juga dalam hubungan anak salah paham, bahkan beda persepsi bisa menimbulkan konflik dengan kekerasan. Maka dari itu logislah bahwa upaya pencegahan konflik dengan kekerasan itu membutuhkan kebiasaan komunikasi, tidak baru berkomunikasi kalau ada konflik.

Salah satu sikap orasngtua Indonesia yang kurang tepat, meskipun maksudnya baik ialah kurang menghargai martabat, otonomi dan kebebasan anak, misalnya dalam memilih status hidup.

b.Kuratif

Memang berbeda dengan ikatan perkawinan katolik, ikatan keturunan tua-anak tak dapat diubah, meskipun dalam cahaya iman tidak mutlak kan, bdk.Mk 3: 35 yang dapat menjadi sumber inspirasi juga untuk relasi tua-anak adoptif. Konflik antara orangtua dan anak sulit dicegah, seninya ialah bagaimana mengatasi konflik itu tanpa kekerasan.

3.Kakak-adik a.Preventif

Selama masih dalam keluarga yang sama, jadi pada umumnya belum dewasa, bahan konflik antara kakak-adik tentu ada. Di kemudian hari, bila orang

menempuh jalan sendiri dan mempunyai keluarga masing-masing, bahan konflik dan kekerasan berkurang.

b.Kuratif

Hubungan kakak-adik sebagai kakak-adik tak dapat diubah, maka bila ada konflik satu-satunya jalan ialah mengatasinya tanpa kekerasan, apalagi ngat spiral kekerasan yang tak kunjung henti.

4.Lain-lain

Karena Indonesia dalam masa peralihan dari pola agraris ke pola industri, karena keluarga besar dan keluarga inti masih ada berdampingan, karena ada pembantu rumah tangga dan anak kost, maka dipakai saja kata “Lain-lain” a.Terhadap sanak-saudara

(19)

b.Terhadap pembantu rumah tangga

Hubungan kemitraaan belum diberlakukan bagi prt, mungkin karena alasan sosiokultural. Dalam hubungan atas-bawah bahaya penggunaan kekerasan lebih besar, maka diperlukan sikap lebih waspada dalam hal ini.

c.Terhadap anak kost

Di dekat kampus perguruan tinggi biasanya juga tersedia kamar-kamar kost. Bahan konflik dan penggunaan kekerasan kiranya makin berkurang, tetapi tak dapat dianggap tak ada, bukankah dalam masyarakat tetap ada penggunaan kekerasan itu? Bagaimanakah komunikasi antara pemilik rumah kost / induk semang dan anak kost yang jauh dari rumah orangtuanya?

Judul ekskurs ini ialah “Sikap terhadap kekerasan dalam keluarga”. Kiranya baik pada akhir dirangkum beberapa hal yang mendukung sikap itu yang kiranya tak boleh hami secara simplistis, melainkan kritis seperti akan menjadi lebih jelas di bawah ini:

1) Sikap antikekerasan pada umumnya (yang merupakan konteks penggunaan kekerasan pada khususnya) harus disepakati dan diusahakan oleh semua pihak,

dikembangkan sejak usia dini agar menjadi “habitus” (Nota Pastoral KWI 2003) sebagai sumber perilaku dan tindakan. Dengan kata lain: perlu situasi dan kondisi serta suasana kondusif untuk mencegah konflik yang memicu kekerasan. Demikian pula diperlukan habitus untuk memecahkan konflik dengan jalan damai. Alasannya: Bukan hanya teoretis karena hukum cintakasih, melainkan juga karena praktis menurut pengalaman tak

menyelesaikan masalah, melainkan justru menjadi masalah baru dan bagian dari masalah yang bagaikan benang kusut makin sulit diuraikan. Pengalaman mengajarkan adanya spiral kekerasan, artinya, kekerasan yang satu memicu kekerasan yang lain (“mata ganti mata, gigi ganti gigi”, bdk.Mt 5: 38) ba-gaikan lingkaran setan tak kunjung henti.

2) Sikap antikekerasan dalam rumahtangga (keluarga besar dan/atau keluarga inti) pada khususnya a fortiori harus dikembangkan menjadi habitus dan diwujudkan dalam praktek. Di satu pihak keluarga rawan konflik dengan kekerasan tanpa banyak kesempatan untuk menghindar, di lain pihak dalam keluarga yang dikonsepkan bagai hidup bersama dalam kasih-sayang yang membahagiakan, kekerasan kan amat tajam dan menyedihkan. Anggota keluarga peka terhadap kekerasan. Keluargalah yang terpanggil mengusahakan pendidikan sikap antikekerasan, mengembangkan habitus baru (“baru” = melawan arus kekerasan yang dibenarkan dalam masyarakat kita), agar dengan meluasnya pergaulan anak (di sekolah, dalam rukun tetangga, dalam masyarakat) tercipta suasana rukun dan damai.

3) Dasar: martabat manusia dan relasi kesetaraan. Penanggulangan penggunaan

kekerasan, baik dalam masyarakat maupun dalam keluarga tak dapat diatasi hanya dengan Undang-undang melawan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, melainkan dengan

mengembangkan habitus baru yang menghormati martabat manusia dan relasi setara. Proses ini membutuhkan waktu panjang, apalagi kalau melawan budaya kekerasan yang dianggap sudah biasa dan memberi kesan diterima.

Sekali lagi: sikap antikekerasan harus lahir dari kebenaran fundamental: - Kita mengemban martabat manusia

- Kita adalah setara

- Ajaran Yesus: damai sejahtera antikekerasan, apalagi dalam keluarga. 4) Beberapa prinsip moral yang membutuhkan pernjernihan

- Pemikiran “teleologis” yang berorientasi pada keberhasilan dalam mengejar tujuan sehubungan dengan penggunaan kekerasan.

- Hak atas bela diri yang memang tak dipertanyakan, tetapi di mana batasnya?

(20)

- Kategorisasi kekerasan fisik dan nonfisik serta “minus malum” juga harus dili-hat gradasinya sejauh mana harus ditolak, sejauh mana dibenarkan, sejauh mana terpaksa boleh dipakai sebagai minus malum (keburukan yang lebih kecil) demi keadilan atau nilai lain sebagai maius bonum (nilai yang lebih besar).

5) Habitus baru. Bagaimanapun juga rumitnya soal kekerasan, kesulitan ini tak boleh menghalangi pengembangan habitus baru sebagai sumber perilaku dalam menyikapi dan dalam menggunakan kekerasan yang dalam banyak hal sudah cukup jelas. Dengan demikian kita juga menanggapi Nota Pastoral KWI.

Sejak beberapa tahun Indonesia mengenal UU antikekerasan yang menyebut sebagai bentuknya:

1.Fisik

a.Pemukulan b.Pemerkosaan c.Pelantaran d.Kerja (paksa)

2.Nonfisik

a.Kejiwaan b.Intimidasi c.Pemaksaan d.Lain-lain

Beberapa upaya: 1.Gereja

a.Surat Gembala 22-12-2004 ”Kesetaraan Perempuan dan Laki-laki sebagai Citra Allah”

b.Sekretariat ”Jaringan Mitra Perempuan” KWI, kemudian bernama Sekretariat ”Gender dan Pemberdayaan Perempuan”

2.Pelbagai kelompok dan LSM

a.Pelbagai pernyataan dan seruan b.Pebagai lembaga

3.Negara

a.UU No.23 Tahun 2005 ttg.Penghapusan KDRT b.Kementerian Pemberdayaan Perempuan

c.Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, lembaga independen yang didirikan 12 Oktober 1998 berdasarkan keppres No.181 Tahun 1998

EKSKURS III : UU RI No.23 Tahun 2005 TENTANG PENGHAPUSAN KDRT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus;

(21)

e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu dibentuk Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga;

Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J, dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan

1. Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau peram-pasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

2. Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga.

3. Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga.

4. Perlindungan adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan.

5. Perlindungan Sementara adalah perlindungan yang langsung diberikan oleh kepolisian dan/atau lembaga sosial atau pihak lain, sebelum dikeluarkannya penetapan perintah perlindungan dari penga-dilan.

6. Perintah Perlindung?an adalah penetapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan untuk memberikan perlindungan kepada korban.

7. Menteri adalah menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawab?nya di bidang pemberdayaan perempuan.

Pasal 2

(1) Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi : a. suami, isteri, dan anak;

b. orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau

c. orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.

(2) Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud pada huruf c dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan

.

BAB II ASAS DAN TUJUAN Pasal 3

Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dilaksanakan berdasarkan asas : a. penghormatan hak asasi manusia; a. mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga; b. melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga; c. menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga; dan

d. memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.

BAB III LARANGAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA Pasal 5

Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara :

(22)

Pasal 6

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.

Pasal 7

Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.

Pasal 8

Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi :

a. pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut;

b. pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

Pasal 9

(1) (2)

Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, pera-watan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.

Penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.

BAB IV HAK-HAK KORBAN Pasal 10

Korban berhak mendapatkan :

a. perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan,advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan; b. pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;

c. penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;

d. pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan

e. pelayanan bimbingan rohani.

BAB V KEWAJIBAN PEMERINTAH DAN MASYARAKAT Pasal 11

Pemerintah bertanggung jawab dalam upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga.

Pasal 12

(1) Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pemerintah : a. merumuskan kebijakan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga;

b. menyelenggarakan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang kekerasan dalam rumah tangga; c. menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi tentang kekerasan dalam rumah tangga; dan

d. menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitif gender dan isu kekerasan dalam rumah tangga serta menetapkan standar dan akreditasi pelayanan yang sensitif gender.

(2) (3)

Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri. Menteri dapat melakukan koordinasi dengan instansi terkait dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

Pasal 13

Untuk penyelenggaraan pelayanan terhadap korban, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing dapat melakukan upaya :

a. penyediaan ruang pelayanan khusus di kantor kepolisian;

b. penyediaan aparat, tenaga kesehatan, pekerja sosial, dan pembimbing rohani;

c. pembuatan dan pengembangan sistem dan mekanisme kerja sama program pelayanan yang melibat-kan pihak yang mudah diakses oleh korban; dan

d. memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi, keluarga, dan teman korban.

Pasal 14

Untuk menyelenggarakan upaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing, dapat melakukan kerja sama dengan

(23)

Pasal 15

Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk :

a. mencegah berlangsungnya tindak pidana;

Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak mengetahui atau menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga, kepolisian wajib segera memberikan perlindungan sementara pada korban. Perlindungan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lama 7 (tujuh) hari sejak korban diterima atau ditangani. Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepolisian wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.

Pasal 17

Dalam memberikan perlindungan sementara, kepolisian dapat bekerja sama dengan tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani untuk mendampingi korban.

Pasal 18

Kepolisian wajib memberikan keterangan kepada korban tentang hak korban untuk mendapat pelayanan dan pendampingan.

Pasal 19

Kepolisian wajib segera melakukan penyelidikan setelah mengetahui atau menerima laporan tentang terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.

Pasal 20

Kepolisian segera menyampaikan kepada korban tentang : a. identitas petugas untuk pengenalan kepada korban;

b. kekerasan dalam rumah tangga adalah kejahatan terhadap martabat kemanusiaan; dan c. kewajiban kepolisian untuk melindungi korban.

Pasal 21

(1) Dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada korban, tenaga kesehatan harus : a. memeriksa kesehatan korban sesuai dengan standar profesinya;

b. membuat laporan tertulis hasil pemeriksaan terhadap korban dan visum et repertum atas permintaan penyidik kepolisian atau surat keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama sebagai alat bukti.

(2) Pelayanan kese?hatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di sarana kesehatan milik pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat.

Pasal 22

(1) Dalam memberikan pelayanan, pekerja sosial harus :

a. melakukan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman bagi korban;

b. memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan perlindungan dari kepolisian dan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;

c. mengantarkan korban ke rumah aman atau tempat tinggal alternatif; dan

d. melakukan koordinasi yang terpadu dalam memberikan layanan kepada korban dengan pihak kepolisian, dinas sosial, lembaga social yang dibutuhkan korban.

(2) Pelayanan pekerja sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di rumah aman milik pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat.

Pasal 23

Dalam memberikan pelayanan, relawan pendamping dapat :

a. menginforma?sikan kepada korban akan haknya untuk mendapatkan seorang atau beberapa orang pendamping;

b. mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan atau tingkat pemeriksaan pengadilan dengan membimbing korban untuk secara objektif dan lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya;

c. mendengarkan secara empati segala penuturan korban sehingga korban merasa aman didampingi oleh pendamping; dan

(24)

Pasal 24

Dalam memberikan pelayanan, pembimbing rohani harus memberikan penjelasan mengenai hak, kewajiban, dan memberikan penguatan iman dan taqwa kepada korban.

Pasal 25

Dalam hal memberikan perlindungan dan pelayanan, advokat wajib :

a. memberikan konsultasi hukum yang mencakup informasi mengenai hakhak korban dan proses peradilan;

b. mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dalam sidang pengadilan dan membantu korban untuk secara lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya; atau

c. melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum, relawan pendamping, dan pekerja sosial agar proses peradilan berjalan sebagaimana mestinya.

Pasal 26

(1) (2)

Korban berhak melaporkan secara langsung kekerasan dalam rumah tangga kepada kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara.

Korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk melaporkan kekerasan dalam rumah tangga kepada pihak kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara .

Pasal 27

Dalam hal korban adalah seorang anak, laporan dapat dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh, atau anak yang bersangkutan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 28

Ketua pengadilan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari sejak diterimanya permohonan wajib menge-luarkan surat penetapan yang berisi perintah perlindungan bagi korban dan anggota keluarga lain, kecuali ada alasan yang patut.

Pasal 29

Permohonan untuk memperoleh surat perintah perlindungan dapat diajukan oleh : a. korban atau keluarga korban;

Permohonan perintah perlindungan disampaikan dalam bentuk lisan atau tulisan. Dalam hal permohonan diajukan secara lisan, panitera pengadilan negeri setempat wajib mencatat permohonan tersebut.

Dalam hal permohonan perintah perlindungan diajukan oleh keluarga, teman korban, kepolisian, relawan pendamping, atau pembimbing rohani maka korban harus memberikan persetujuannya.

Dalam keadaan tertentu, permohonan dapat diajukan tanpa persetujuankorban.

Pasal 31

(1) (2)

Atas permohonan korban atau kuasanya, pengadilan dapat mempertimbangkan untuk : a. menetapkan suatu kondisi khusus;

b. mengubah atau membatalkan suatu kondisi khusus dari perintah perlindungan.

Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan bersamasama dengan proses pengajuan perkara kekerasan dalam rumah tangga.

Pasal 32

(1) (2) (3)

(25)

Pasal 33

(1) (2)

Pengadilan dapat menyatakan satu atau lebih tambahan perintah perlindungan. Dalam pemberian tambahan perintah perlindungan, pengadilan wajib mempertimbangkan keterangan dari korban, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani.

Pasal 34

(1) Berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin timbul, pengadilan dapat (2)

menyatakan satu atau lebih tambahan kondisi dalam perintah perlindungan. Dalam pemberian tambahan kondisi dalam perintah perlindungan, pengadilan wajib mempertimbangkan keterangan dari korban, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani.

Pasal 35

(1) (2) (3)

Kepolisian dapat menangkap untuk selanjutnya melakukan penahanan tanpa surat perintah terhadap pelaku yang diyakini telah melanggar perintah perlindungan, walaupun pelanggaran tersebut tidak dilakukan di tempat polisi itu bertugas.

Penangkapan dan penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diberikan surat perintah penangkapan dan penahanan setelah 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam.

Penangguhan penahanan tidak berlaku terhadap penahanan sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2).

Pasal 36

(1) (2)

Untuk memberikan perlindungan kepada korban, kepolisian dapat menangkap pelaku dengan bukti permulaan yang cukup karena telah melanggar perintah perlindungan.

Penangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilanjutkan dengan penahanan yang disertai surat perintah penahanan dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam.

Pasal 37

(1) (2)

Korban, kepolisian atau relawan pendamping dapat mengajukan laporan secara tertulis tentang adanya dugaan pelanggaran terhadap perintah perlindungan.

Dalam hal pengadilan mendapatkan laporan tertulis sebagaimana (3)

dimaksud pada ayat (1), pelaku diperintahkan menghadap dalam waktu 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam guna dilakukan pemeriksaan. Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh pengadilan di tempat pelaku pernah tinggal bersama korban pada waktu pelanggaran diduga terjadi.

Pasal 38

(1) (2) (3)

Apabila penga?dilan mengetahui bahwa pelaku telah melanggar perintah perlindungan dan diduga akan melakukan pelanggaran lebih lanjut, maka Pengadilan dapat mewajibkan pelaku untuk membuat pernya-taan tertulis yang isinya berupa kesanggupan untuk mematuhi perintah perlindungan.

Apabila pelaku tetap tidak mengindahkan surat pernyataan tertulis tersebut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengadilan dapat menahan pelaku paling lama 30 hari.

Penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai dengan surat perintah penahanan.

BAB VII PEMULIHAN KORBAN Pasal 39

(26)

Tenaga kesehatan wajib memeriksa korban sesuai dengan standar profesinya. Dalam hal korban memerlukan perawatan, tenaga kesehatan wajib memulihkan dan merehabilitasi kesehatan korban.

Pasal 41

Pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani wajib memberikan pelayanan kepada korban dalam bentuk pemberian konseling untuk menguatkan dan/atau memberikan rasa aman bagi korban.

Pasal 42

Dalam rangka pemulihan terhadap korban, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping dan/atau pembimbing rohani dapat melakukan kerja sama.

Pasal 43

Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan upaya pemulihan dan kerja sama diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah). Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkankorban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah). Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp

45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah). Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).

Pasal 45

(1) (2)

Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 9.000.000,00 (sembilan juta rupiah).

Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah).

Pasal 46

Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah)

.

Pasal 47

Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

Pasal 48

Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal 47 mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurangkurangnya selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 49

Referensi

Dokumen terkait

Dari beberapa penelitian diatas di perguruan tinggi Agama Hindu belum ada pembahasan mengenai Pemanfaatan Teknologi Informasi Dan Komunikasi (TIK) Dalam Meningkatan Mutu

Medan magnet dapat digambarkan dengan garis – garis gaya magnet yang keluar dari kutub utara dan masuk ke kutub selatan.. Garis Gaya Magnet adalah garis khayal yang keluar dari

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Fakultas Pendidikan Seni dan Desain. © Awit Gending Adriani 2016

Sekali cewek tahu bahwa kamu ingin memanjakannya atau berusaha membeli perhatiannya dengan hadiah, jika si cewek juga berniat menipu, maka dia akan tega

Dengan adanya sistem penerapan Perancangan iLearning Raharja Ask and News (iRAN) Dalam Meningkatkan Sistem Informasi Pada Perguruan Tinggi ini diharapkan nantinya bagi calon

Torak (piston) yang bergerak secara translasi/bolak-balik didalam silinder mengkompresikan udara sehingga menaikan temperatur dan tekanan, kemudian bahan bakar

Peningkatan laju pertumbuhan jamur pada TKKS ukuran 2 cm hingga 1 cm dan 0,5 cm disebabkan oleh peningkatan luas permukaan TKKS yang cukup drastis seperti terlihat pada Gambar

terbesar (≥ 90%) keluarga contoh memiliki kelentingan keluarga (sistem kepercayaan keluarga, pola organisasi keluarga, dan proses komunikasi keluarga) termasuk pada