• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERMASALAHAN, KELENTINGAN DAN STRATEGI KOPING KELUARGA KORBAN BENCANA LONGSOR DI KABUPATEN BOGOR NINIK NIKMATUL KHASANAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERMASALAHAN, KELENTINGAN DAN STRATEGI KOPING KELUARGA KORBAN BENCANA LONGSOR DI KABUPATEN BOGOR NINIK NIKMATUL KHASANAH"

Copied!
124
0
0

Teks penuh

(1)

DI KABUPATEN BOGOR

NINIK NIKMATUL KHASANAH

DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011

(2)

NINIK NIKMATUL KHASANAH. Permasalahan, Kelentingan, dan Strategi

Koping Keluarga Korban Bencana Longsor di Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh

EUIS SUNARTI dan TIN HERAWATI.

Bencana longsor merupakan salah satu bencana yang sering terjadi di Indonesia

salah satunya di Kabupaten Bogor. Bencana longsor menyebabkan

gangguan kehidupan keluarga baik fisik maupun non fisik. Dalam menghadapi gangguan tersebut, keluarga harus memiliki daya lenting yang tinggi dan mengembangkan strategi yang

sesuai dengan situasi yang dihadapi sehingga keluarga tetap dapat bertahan dalam

keadaan krisis.

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menganalisis kelentingan keluarga dan strategi koping pada keluarga korban longsor, sedangkan tujuan khususnya adalah: (1) mengidentifikasi karakteristik, permasalahan, kelentingan, dan strategi koping keluarga; (2) mengidentifikasi perubahan permasalahan yang dihadapi dan kelentingan keluarga; (3) menganalisis hubungan antara karakteristik keluarga dengan permasalahan keluarga, kelentingan keluarga, dan strategi koping; (4) menganalisis hubungan antara permasalahan keluarga dengan kelentingan keluarga dan strategi koping; dan (5) menganalisis pengaruh karakteristik, permasalahan, dan kelentingan keluarga terhadap strategi koping. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dan retrospektif dengan contoh sebanyak 100 responden yang diambil secara proportional random sampling. Permasalahan terberat yang dihadapi contoh adalah masalah pangan, masalah tempat tinggal, dan penurunan pendapatan keluarga. Hasil analisis pengaruh menunjukkan bahwa kunci kelentingan keluarga korban bencana longsor adalah sistem kepercayaan keluarga, pola organisasi, dan proses komunikasi. Pada keluarga korban longsor, ketiga kunci kelentingan keluarga tergolong tinggi, diantaranya ditunjukkan oleh kemampuan contoh dalam memaknai kemalangan yang disebabkan oleh longsor, memiliki hubungan sosial yang baik, dan proses komunikasi keluarga yang berjalan efektif sehingga dapat membantu contoh dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi.

(3)

NINIK NIKMATUL KHASANAH. Problem, Resilience, and Family's Coping Strategy as The Victim of Landslide Disaster at Regency of Bogor. Coached by EUIS SUNARTI and TIN HERAWATI.

Landslide disaster constitutes one of disaster which's often happened in Indonesia,

one of it at regency of Bogor. Landslide disaster causes trouble in family life both

physical and also non physical. In face that trouble, family shall has high resilience and

develops the strategy that corresponds to faced situation until the regular family

can withstand in a state crisis. The common aim of this research

is analyzing the family resilience and coping strategy on landslide victim family, meanwhile aim in particular is: (1) identify characteristic, about problem, elasticity, and family's coping strategy family; (2) identify the changing about problems which's faced and family resilience; (3) analyze the relationships among family's characteristic with family's problem, family's resilience, and coping strategy; (4) analyze the relationships among family's problem with family's resilience and coping strategy; and (5) analyze the influences of characteristic, problem, and family's resilience to coping's strategy. This research utilizes cross sectional design and retrospective by samples as much 100 respondents that taken by proportional random sampling. The biggest problems faced by respondent are food problem, home problem, and family income decrease. The analysis of influence's result shows that the key of family resilience as the victim of landslide disaster are family trusty system, organisational pattern, and communication process. On landslide disaster victim family, the third key of family resilience comes under high, amongst those pointed out by respondens' ability in mindset because of accident landslide, having good social relation, and family communication process that runing effective so gets to help respondens in solves the problem which's faced.

(4)

NINIK NIKMATUL KHASANAH. Permasalahan, Kelentingan dan Strategi Koping Keluarga Korban Bencana Longsor di Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh EUIS SUNARTI dan TIN HERAWATI.

Bencana alam yang sering terjadi di Indonesia seperti tsunami, gempa, banjir, dan longsor telah menimbulkan dampak sosial yang memberi pengaruh pada sisi kehidupan masyarakat Indonesia yang berkaitan dengan bidang kesehatan masyarakat, keluarga, dan anak. Keadaan tersebut dapat menimbulkan permasalahan yang mengganggu kehidupan keluarga sehingga menjadikan keluarga tertekan dan stres. Untuk menghadapi keadaan tersebut keluarga diharapkan memiliki daya lenting yang tinggi dan strategi koping yang tepat.

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menganalisis kelentingan keluarga dan strategi koping pada keluarga korban longsor. Tujuan khususnya adalah: (1) mengidentifikasi karakteristik, permasalahan, serta kelentingan, dan strategi koping yang dilakukan keluarga; (2) mengidentifikasi perubahan permasalahan yang dihadapi keluarga dan kelentingan keluarga; (3) menganalisis hubungan antara karakteristik dengan permasalahan, kelentingan, dan strategi koping; (4) menganalisis hubungan antara permasalahan dengan kelentingan dan strategi koping; dan (5) menganalisis pengaruh karakteristik, permasalahan, dan kelentingan terhadap strategi koping.

Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study. Pengumpulan data dilakukan di Desa Banyuwangi Kecamatan Cigudeg Kabupaten Bogor pada bulan Mei-Juni 2010. Desa ini dipilih secara purposive karena desa tersebut merupakan tempat terjadinya bencana longsor dengan jumlah korban terbanyak dan terparah. Populasi adalah keluarga korban longsor dengan jumlah total korban sebanyak 264 keluarga yang tersebar di 2 RW, yaitu RW 10 dan RW 11. Jumlah total contoh adalah 100 orang yang diambil secara proportional random sampling. Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer meliputi: (1) karakteristik keluarga (usia, lama pendidikan, besar keluarga, kepemilikan aset, pendapatan, dan pekerjaan); (2) permasalahan keluarga (pangan, kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, pakaian, pekerjaan, dan interaksi keluarga); (3) kelentingan keluarga (sistem kepercayaan keluarga, pola organisasi keluarga, dan proses komunikasi keluarga) dengan menggunakan metode retrospective; dan (4) strategi koping (fokus pada masalah dan fokus pada emosi). Data sekunder yang dikumpulkan berupa gambaran umum lokasi penelitian.

Persentase terbesar suami (61%) dan isteri (73%) termasuk dalam kategori usia dewasa awal (18-40 tahun). Persentase terbesar suami (84%) dan isteri (90%) berpendidikan tidak tamat Sekolah Dasar. Persentase terbesar (47%) keluarga contoh termasuk dalam kategori keluarga kecil (≤ 4 orang). Aset yang banyak dimiliki keluarga contoh adalah rumah (82%), ayam (65%), perhiasan (46%), kambing (37%), dan motor (29%) dengan kategori nilai aset berkisar pada Rp 0 sampai Rp 25 000 000 sebesar 75 persen. Persentase terbesar (87%) keluarga contoh memiliki pendapatan per kapita kurang dari Rp 191 000, berarti termasuk kategori keluarga miskin. Persentase terbesar suami (55%) memiliki pekerjaan sebagai petani dan isteri (74%) sebagai ibu rumah tangga.

(5)

terbesar (≥ 90%) keluarga contoh memiliki kelentingan keluarga (sistem kepercayaan keluarga, pola organisasi keluarga, dan proses komunikasi keluarga) termasuk pada kategori tinggi. Tingginya sistem kepercayaan keluarga disebabkan karena setelah terjadinya longsor keluarga contoh semakin percaya terhadap keluarga dan memaknai krisis. Tingginya pola organisasi keluarga disebabkan karena keluarga contoh memiliki pola organisasi yang baik di dalam ataupun di luar keluarga. Tingginya proses komunikasi keluarga karena komunikasi yang dilakukan keluarga contoh berjalan dengan efektif.

Koping fokus pada masalah yang dilakukan contoh adalah melakukan upaya tertentu untuk merubah keadaan, mencari dukungan dari pihak luar, dan merubah keadaan yang dapat menggambarkan tingkat resiko yang harus diambil. Koping fokus pada emosi yang dilakukan contoh adalah menciptakan situasi dan makna yang positif dari suatu kejadian, menumbuhkan kesadaran akan peran diri dalam permasalahan yang dihadapi dan menyesuaikan diri dengan kondisi yang sedang dialami, melakukan pengaturan diri baik dalam perasaan maupun tindakan, dan menghindar dari permasalahan yang dihadapi.

Hasil uji korelasi Spearman, menunjukkan: 1) pendapatan per kapita keluarga memiliki korelasi negatif dengan masalah pendidikan, masalah pangan, masalah kesehatan, masalah tempat tinggal, masalah pakaian, masalah interaksi keluarga, masalah pekerjaan atau pendapatan, dan permasalahan total; 2) usia suami berkorelasi negatif dengan permasalahan keluarga total; 3) besar keluarga berkorelasi positif dengan sistem kepercayaan keluarga; 4) nilai kepemilikan aset memiliki korelasi positif dengan koping fokus pada masalah; 5) usia isteri berkorelasi positif dengan koping fokus pada emosi; 6) pola organisasi keluarga memiliki korelasi negatif dengan masalah tempat tinggal dan masalah pekerjaan; 7) masalah pekerjaan berkorelasi negatif dengan proses komunikasi keluarga; 8) koping fokus pada emosi berkorelasi positif dengan masalah pekerjaan dan permasalahan keluarga total; dan 9) seluruh variabel kelentingan keluarga (sistem kepercayaan keluarga, pola organisasi keluarga, dan proses komunikasi keluarga) berkorelasi positif dengan seluruh variabel strategi koping keluarga (koping fokus pada masalah dan koping fokus pada emosi). Hasil uji regresi menunjukkan, faktor-faktor yang secara signifikan mempengaruhi strategi koping adalah permasalahan keluarga, sistem kepercayaan keluarga, pola organisasi keluarga, dan proses komunikasi keluarga (Adj R2= 0,242, p<0,01).

(6)

DAN SUMBER ACUAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Permasalahan, Kelentingan dan Strategi Koping Keluarga Korban Bencana Longsor di Kabupaten Bogor adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan dari dosen pembimbing. Skripsi ini belum pernah diajukan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga lain untuk tujuan memperoleh gelar akademik tertentu. Sumber informasi yang dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan yang berasal dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Januari 2011

(7)

DI KABUPATEN BOGOR

NINIK NIKMATUL KHASANAH

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Keluarga dan Konsumen pada

Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen

DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011

(8)

Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

(9)

Judul Skripsi : Permasalahan, Kelentingan dan Strategi Koping Keluarga Korban Bencana Longsor di Kabupaten Bogor

Nama : Ninik Nikmatul Khasanah NIM : I24062159

Disetujui,

Dr. Ir. Euis Sunarti, M.Si Pembimbing I

Tin Herawati, S.P, M.Si Pembimbing II

Diketahui,

Ketua Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen

Dr. Ir. Hartoyo, M.Sc

(10)

Penulis dilahirkan di Cirebon, Jawa Barat pada tanggal 25 Juli 1987. Penulis adalah anak ke lima dari delapan bersaudara dari keluarga Bapak H Moh Nasir dan Ibu Hj Shofiyatul Maula.

Pendidikan Taman Kanak-Kanak ditempuh penulis dari tahun 1992 hingga tahun 1994 di TK Salafie Cirebon. Pada tahun 1994 penulis menempuh pendidikan di SD Negeri 1 Tegalsari Cirebon sampai dengan tahun 2000. Pada tahun yang sama penulis menempuh pendidikan di MTs Negeri 2 Cirebon hingga tahun 2003. Pada tahun 2003 penulis melanjutkan pendidikan di MA Negeri 3 Kota Cirebon sampai tahun 2006.

Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) di Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen (IKK), Fakultas Ekologi Manusia pada tahun 2006. Selama menjadi mahasiswa aktif dalam berbagai macam kegiatan di kampus, seperti menjadi sekretaris divisi ilmiah dan pustaka Himpunan Profesi Ilmu Keluarga dan Konsumen (2007-2008), anggota Badan Pemeriksa Himpro (BPH) Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Ekologi Manusia (2007-2008), anggota Forum for Scientific Studies (FORCES) IPB (2006-2007), anggota Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA) Cirebon (2006-2010), bendahara asrama putri Indramayu (2007-2008), serta aktif dalam berbagai kepanitiaan kampus lainnya. Penulis juga menerima beasiswa dari Bank Ekspor Indonesia (2008) dan beasiswa Karya Salemba Empat (2009-2011). Selain itu, penulis mendapatkan kesempatan untuk mengikuti sekolah keguruan di Sekolah Guru Ekselensia Indonesia (2010-2011).

(11)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah, dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Permasalahan, Kelentingan dan Strategi Koping Keluarga Korban Bencana Longsor di Kabupaten Bogor”. Skripsi ini disusun oleh penulis sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak yang secara langsung maupun tidak langsung telah mendukung, memotivasi, dan memberikan doa serta semangat, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Untuk itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Dr. Ir. Euis Sunarti, M.Si dan Tin Herawati, S.P, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah memberikan waktu, dukungan, perhatian, sumbangan pikiran, dan kerjasama dalam penulisan skripsi ini.

2. Dosen penguji skripsi Dr. Diah Krisnatuti P, MS dan dosen pemandu seminar hasil penelitian Neti Hernawati, S.P, M.Si yang telah memberikan saran dan kritik kepada penulis untuk perbaikan skripsi, serta dosen pembimbing akademik Dr. Ir. Dwi Hastuti, M.Sc yang telah mengarahkan penulis selama masa perkuliahan di Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen.

3. Seluruh staf pengajar Institut Pertanian Bogor pada umumnya dan Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen pada khususnya yang telah mendidik dan memberikan bekal ilmu serta wawasan kepada penulis selama menempuh pendidikan di Institut Pertanian Bogor.

4. Camat Cigudeg dan Kepala Desa Banyuwangi beserta jajarannya atas bantuan, kemudahan, dan kerjasama yang diberikan dalam memberikan informasi yang berkaitan dengan topik penelitian.

5. Kedua orangtua saya H Moh Nasir dan Hj Shofiyatul Maula; kakak-kakak dan adik-adik saya Lili Nurlaeliyah, Amd; Istianah; Moh Anis Alhilmi, S.Pd; Moh Syamsul Huda; Fetty Farkhati; Moh Imam Taufiq; Moh Iqbal Ariz Rizqi Maulana; keponakan dan kakak ipar (Nazwa Auliaturrahman dan Agus

(12)

6. Teman terdekat saya Ramdhan Nurbianto, S.TP yang selalu memberikan bantuan, semangat, motivasi, dan doa selama penyusunan skripsi. Teman seperjuangan saya Rahayu Lestari, Gina Ginanjarsari, dan Junita Syahrini yang selalu bersedia berbagi kesulitan serta memberikan masukan, kritik, dan motivasi dalam melaksanakan penelitian dan menyelesaikan skripsi ini. Teman-teman IKK 43 (Siti Nurbayaniah, Oktavia Rattika Muladsih, Dinar Syafitri, Ina Yanuar, Fetty Karyatiwinangun, Suci Nurhayati, Tri Sapti Jayanti, Erika Herry, Simau) yang selalu dapat membantu dan saling memberikan semangat, motivasi, dan doa selama penyusunan skripsi serta kebersamaan yang indah selama masa perkuliahan. Agus Purwanto, S.Sos yang telah memotivasi dan membantu dalam proses uji coba kuesioner. Selain itu, Wahyu Gunawan, S.Kom, Abdul Azis (STIKOM Cirebon), Melinda Rakhmawati (MSL 44), dan Sherly Gustia Ningsih (THP 44) yang selalu bersedia membantu dan memotivasi dalam proses penyelesaian skripsi ini.

7. Megawati Simanjuntak, S.P, M.Si, Delima Aruwan (opung), Helpina Nurayah Simanjuntak, Farhah Azizah Salsabila, dan Jihan Fathiyah Asilah yang telah memberikan bantuan, semangat, motivasi, kasih sayang, dan memberi warna dalam kehidupan penulis khususnya dalam proses penyelesaian skripsi ini.

8. Terakhir, seluruh pihak, sahabat, kakak, adik, dan temen-teman yang juga selalu memberikan semangat, motivasi, dan doa selama penyusunan skripsi ini.

Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi seluruh pihak yang membutuhkan segala informasi yang terdapat didalamnya.

Bogor, Januari 2011

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN... ix PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1 Tujuan Penelitian ... 4 Kegunaan Penelitian ... 5 TINJAUAN PUSTAKA Bencana Alam di Indonesia ... 6

Keluarga Korban Bencana Alam ... 9

Karakteristik Keluarga ... 10

Permasalahan Keluarga ... 15

Kelentingan Keluarga ... 20

Strategi Koping Keluarga... 23

KERANGKA PEMIKIRAN ... 30

METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu ... 32

Jumlah dan Kriteria Contoh ... 32

Data dan Teknik Pengumpulan Data ... 34

Pengolahan dan Analisis Data ... 35

Definisi Operasional ... 39

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 42

Karakteristik Keluarga ... 45

Permasalahan Keluarga ... 52

Kelentingan Keluarga ... 58

Strategi Koping Keluarga ... 65

Perubahan Permasalahan Keluarga ... 73

Perubahan Kelentingan Keluarga ... 74

Hubungan antar Variabel Permasalahan Keluarga ... 75

Hubungan antar Variabel Kelentingan Keluarga ... 77

Hubungan antar Variabel Strategi Koping ... 77

Hubungan antara Karakteristik Keluarga dengan Permasalahan Keluarga ... 78

Hubungan antara Karakteristik Keluarga dengan Kelentingan Keluarga ... 79

Hubungan antara Karakteristik Keluarga dengan Strategi Koping ... 80 Hubungan antara Permasalahan Keluarga dengan Kelentingan

(14)

Keluarga ... 81

Hubungan antara Permasalahan Keluarga dengan Strategi Koping. ... 82

Hubungan Kelentingan Keluarga dengan Strategi Koping ... 84

Pengaruh Karakteristik Keluarga, Permasalahan Keluarga, dan Kelentingan Keluarga terhadap Strategi Koping ... 85

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 88

Saran ... 89

DAFTAR PUSTAKA ... 91

(15)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Peubah, skala, responden, alat dan alat pengukuran ... 34

2 Pengkategorian data penelitian ... 37

3 Sebaran penduduk berdasarkan sarana yang terdapat di Desa Banyuwangi ... 44

4 Sebaran penduduk berdasarkan jenis pekerjaan di Desa Banyuwangi ... 44

5 Sebaran penduduk berdasarkan jenis kelamin di Desa Banyuwangi ... 45

6 Sebaran contoh berdasarkan usia suami-isteri ... 46

7 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan suami dan isteri ... 47

8 Sebaran contoh berdasarkan lama pendidikan suami dan isteri ... 47

9 Sebaran contoh berdasarkan kategori besar keluarga ... 48

10 Sebaran contoh berdasarkan aset yang dimiliki keluarga ... 49

11 Sebaran contoh berdasarkan nilai aset yang dimiliki keluarga ... 50

12 Sebaran contoh berdasarkan pendapatan per kapita keluarga ... 51

13 Sebaran contoh berdasarkan jenis pekerjaan suami-isteri ... 51

14 Sebaran contoh berdasarkan pernyataan masalah pangan ... 52

15 Sebaran contoh berdasarkan pernyataan masalah kesehatan ... 53

16 Sebaran contoh berdasarkan pernyataan masalah pendidikan ... 54

17 Sebaran contoh berdasarkan pernyataan masalah tempat tinggal…….... .. 54

18 Sebaran contoh berdasarkan pernyataan masalah pakaian ... 55

19 Sebaran contoh berdasarkan pernyataan masalah pekerjaan/pendapatan ... 55

20 Sebaran contoh berdasarkan pernyataan masalah interaksi keluarga ... 56

21 Sebaran contoh berdasarkan kategori permasalahan keluarga total ... 57

22 Sebaran contoh berdasarkan pernyataan sistem kepercayaan keluarga ... 59

23 Sebaran contoh berdasarkan kategori sistem kepercayaan keluarga ... 60

(16)

25 Sebaran contoh berdasarkan kategori pola organisasi ... 62 26 Sebaran contoh berdasarkan pernyataan proses komunikasi ... 63 27 Sebaran contoh berdasarkan kategori proses komunikasi ... 64 28 Sebaran contoh berdasarkan kategori tingkat kelentingan

keluarga ... 65 29 Sebaran contoh berdasarkan pernyataan koping fokus pada

masalah ... 67 30 Sebaran contoh berdasarkan kategori koping fokus pada

masalah ... 68 31 Sebaran contoh berdasarkan pernyataan koping fokus pada

emosi ... 71 32 Sebaran contoh berdasarkan kategori koping fokus pada

emosi ... 72 33 Sebaran contoh berdasarkan kategori strategi koping total... 72 34 Sebaran contoh berdasarkan perubahan permasalahan keluarga…………. 73 35 Sebaran contoh berdasarkan perubahan tingkat kelentingan

keluarga ... 74 36 Sebaran koefisien korelasi antar variabel permasalahan keluarga ... 76 37 Sebaran koefisien korelasi antar variabel kelentingan keluarga ... 77 38 Sebaran koefisien korelasi karakteristik keluarga dengan

permasalahan keluarga ... 78 39 Sebaran koefisien korelasi karakteristik keluarga dengan

kelentingan keluarga ... 79 40 Sebaran koefisien korelasi karakteristik keluarga dengan

strategi koping ... 81 41 Sebaran koefisien korelasi permasalahan keluarga dengan

kelentingan keluarga ... 82 42 Sebaran koefisien korelasi permasalahan keluarga dengan

strategi koping ... 83 43 Sebaran kofisien korelasi kelentingan keluarga dengan strategi koping…. 84 44 Pengaruh karakteristik keluarga, permasalahan keluarga,

(17)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Kerangka Pemikiran ... 31 2 Metode Penarikan Contoh ... 33

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Hasil uji korelasi antar variabel permasalahan keluarga ... 98 2 Hasil uji korelasi antar variabel kelentingan keluarga ... 99 3 Hasil uji korelasi antar variabel strategi koping keluarga ... 100 4 Hasil uji korelasi karakteristik keluarga dengan permasalahan

keluarga……… ... 101 5 Hasil uji korelasi karakteristik keluarga dengan tingkat

kelentingan keluarga……….. ... 102 6 Hasil uji korelasi karakteristik keluarga dengan strategi koping... ... 103 7 Hasil uji korelasi permasalahan keluarga dengan kelentingan

keluarga……… ... 104 8 Hasil uji korelasi permasalahan keluarga dengan strategi koping.. ... 105 9 Hasil uji korelasi kelentingan keluarga dengan strategi koping... 106

(19)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perubahan kondisi iklim global di dunia yang terjadi dalam beberapa tahun ini merupakan sebab pemicu terjadinya berbagai bencana alam yang sering melanda Indonesia. Indonesia merupakan wilayah teritorial yang sangat rentan terhadap bencana alam karena cuaca, kondisi sosial, dan kondisi geografis Indonesia yang terletak di daerah khatulistiwa dan terletak pada tiga lempeng utama bumi yaitu Philipina, Pasifik, dan Australia yang menyebabkan Indonesia berpotensi terhadap tsunami, gempa bumi, letusan gunung berapi, banjir, dan longsor. Bahkan pertumbuhan penduduk yang tinggi dan pembangunan juga menghasilkan banyak bencana seperti kebakaran kota dan hutan, polusi udara, kerusakan lingkungan, dan terorisme. Bencana alam di Indonesia yang terjadi terus silih berganti dan beruntun menyebabkan pemulihan daerah yang terkena bencana kurang tertangani bahkan tidak tertangani dengan baik.

Selama tahun 2005, Indonesia mengalami musibah tanah longsor sebanyak 47 kali yang mengakibatkan 243 orang meninggal dunia. Musibah tersebut paling banyak terjadi di Provinsi Jawa Barat yaitu sebanyak 39 kali longsor yang mengakibatkan 205 orang meninggal dunia, 490 rumah mengalami kerusakan, 114 rumah hancur, dan 758 rumah terancam (Surono 2008). Selama tiga tahun terakhir, di Provinsi Jawa Barat terdapat banyak desa yang terkena bencana alam baik di daerah pesisir maupun di non pesisir. Berdasarkan jenis bencana alam, tanah longsor terjadi di 1 610 desa; banjir 1 162 desa; banjir bandang 103 desa; gempa bumi 68 desa; gempa bumi disertai tsunami terjadi 28 desa; gelombang pasang laut 60 desa; angin puyuh/puting beliung 984 desa; gunung meletus sebanyak 1 desa; dan kebakaran hutan telah terjadi di 128 desa (BPS 2008).

Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki alam dan pemandangan yang indah serta memiliki berbagai potensi yang dapat diberdayakan, antara lain menyangkut sumberdaya air, sumberdaya alam, pemanfaatan lahan, sumberdaya hutan, sumberdaya pesisir dan laut serta sumberdaya perekonomian. Secara geografis Jawa Barat terletak diantara Samudera Indonesia dan Selat Sunda. Hal tersebut merupakan salah satu faktor

(20)

yang menjadikan Provinsi Jawa Barat sebagai salah satu provinsi yang sangat dinamis, strategis, dan rentan akan terjadinya bencana alam seperti longsor, banjir, gempa, dan angin puting beliung.

Bencana muncul ketika ancaman alam (seperti gunung berapi) bertemu dengan masyarakat yang rentan (perkampungan di lereng gunung berapi) dan mempunyai kemampuan rendah atau tidak mempunyai kemampuan untuk menanggapi ancaman itu (tidak ada pelatihan atau pemahaman tentang gunung api atau tidak siap siaga). Gabungan keduanya menyebabkan terganggunya kehidupan masyarakat seperti kehancuran rumah, kerusakan harta benda serta korban jiwa (IDEP 2007). Menurut Sadisun (2007), bencana alam dapat menimbulkan kerugian dan penderitaan yang cukup berat sebagai akibat dari perpaduan bahaya alam dan kompleksitas permasalahan lainnya. Korban jiwa manusia yang meninggal maupun cedera, runtuhnya bangunan-bangunan pemerintah dan swasta, rusaknya sarana prasarana, jaringan utilitas, dan infrastruktur serta kerugian moril yang tidak terhitung jumlahnya merupakan akibat yang timbul dari berbagai kejadian bencana tersebut. Laju pertumbuhan penduduk, tidak tertib, dan tidak tepatnya tata guna lahan adalah salah satu inti permasalahan dan penyebab meningkatnya kerentanan bencana.

Keadaan tersebut akan menimbulkan permasalahan yang mengganggu kehidupan keluarga dan berdampak terhadap kehidupan masyarakat seperti kurangnya bahan pangan, pelayanan kesehatan terganggu, sarana pendidikan yang hancur, rumah yang rata dengan tanah, kehilangan aset, dan lapangan pekerjaan yang dapat mempengaruhi pendapatan serta hilangnya anggota keluarga yang sangat dicintai sehingga menjadikan keluarga tertekan dan stres serta meningkatnya angka kemiskinan. Permasalahan tersebut dapat menjadikan keluarga merasa tertekan dan menyisakan rasa traumatis tersendiri. Utomo (1998) menjelaskan bahwa krisis ekonomi dan bencana alam mengganggu keseimbangan dan stabilitas ekonomi, memicu penurunan daya beli keluarga termasuk obat-obatan, dan pelayanan kesehatan.

Untuk mengatasi stres, traumatis, dan bangkit dari tekanan bencana alam, setiap keluarga diharapkan dapat lebih konsentrasi terhadap permasalahan yang dihadapi dan menyelesaikan permasalahan tersebut. Dalam menghadapi

(21)

permasalahan tersebut keluarga harus memiliki daya lenting yang tinggi dan mengembangkan strategi yang sesuai dengan situasi yang dihadapi dan biasa dikenal dengan strategi koping. Menurut Folkman & Lazarus (1984), strategi koping merupakan suatu perubahan dari suatu kondisi ke lainnya sebagai cara untuk menghadapi situasi tidak terduga, yang disebut sebagai sebuah proses dan Friedman (1998) mendefinisikan strategi koping sebagai respon perilaku positif yang digunakan keluarga dan sistemnya untuk memecahkan permasalahan atau mengurangi stres yang diakibatkan oleh peristiwa tertentu sehingga diharapkan keluarga mampu berperan secara efektif dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Menurut Sunarti (2010), faktor yang menentukan strategi mana yang paling banyak atau sering digunakan sangat tergantung pada kepribadian seseorang dan sejauh mana tingkat stres dari suatu kondisi atau masalah yang dialaminya. Faktor-faktor yang mempengaruhi strategi koping individu adalah kesehatan fisik, keyakinan atau pandangan positif, keterampilan memecahkan masalah, keterampilan sosial, dan dukungan sosial.

Dalam memilih dan melakukan strategi koping untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi, keluarga membutuhkan daya lenting yang tinggi untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang dihadapi baik daya lenting individu maupun daya lenting keluarga. Tingkat kerentanan atau tingkat kelentingan dan ketangguhan berkaitan dengan kemampuan bangkit dari keterpurukan, persepsi terhadap stessor, kemampuan mengelola stres, kemampuan mengelola emosi yang berdampak secara negatif, dan strategi atau mekanisme koping yang dilakukan (Sunarti 2009). Kelentingan keluarga berhubungan dengan keluarga yang rentan dan bermasalah. Apabila keluarga mampu melakukan strategi koping dan mempunyai daya lenting yang tinggi, maka akan berdampak positif pada ketahanan keluarga. Menurut Luthar et al. (2000), diacu dalam Walsh (2002) kelentingan keluarga merupakan proses yang dinamis yang mencakup proses adaptasi yang positif dalam keadaan kesulitan atau terjadi kemalangan. Sedangkan menurut Walsh (2002) daya lenting keluarga terbentuk dari daya lenting individu yang baik. Daya lenting yang dimiliki keluarga semakin kuat maka diharapkan keluarga tersebut semakin tahan terhadap tekanan yang disebabkan oleh bencana alam. Untuk memperkuat daya lenting keluarga

(22)

dibutuhkan berbagai dukungan baik bersifat sosial ataupun bersifat pribadi, seperti keluarga, masyarakat, dan pemerintah. Berdasarkan hal tersebut, terdapat beberapa pertanyaan penelitian, yaitu permasalahan apa saja yang dihadapi keluarga korban longsor, bagaimana kelentingan keluarga dan strategi koping yang dilakukan keluarga korban longsor?.

Tujuan Penelitian Tujuan Umum

Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis kelentingan keluarga dan strategi koping keluarga korban longsor.

Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi karakteristik keluarga, permasalahan keluarga, kelentingan keluarga, dan strategi koping yang dilakukan keluarga

2. Mengidentifikasi perubahan permasalahan yang dihadapi keluarga dan kelentingan keluarga

3. Menganalisis hubungan antara karakteristik keluarga dengan permasalahan keluarga, kelentingan keluarga, dan strategi koping

4. Menganalisis hubungan antara permasalahan keluarga dengan kelentingan keluarga dan strategi koping

5. Menganalisis pengaruh karakteristik keluarga, permasalahan keluarga, dan kelentingan keluarga terhadap strategi koping.

Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menyediakan informasi mengenai dampak langsung yang dirasakan oleh korban bencana longsor seperti kehilangan harta benda, kerusakan rumah, dan fasilitas umum sesaat dan setelah terjadinya bencana longsor. Dampak yang terjadi, dapat berupa dampak psikologis yang dapat mengganggu kehidupan korban bencana longsor. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan tentang teori ilmu keluarga terutama yang berkaitan dengan kelentingan keluarga dan strategi koping keluarga dalam kondisi pasca krisis yang disebabkan oleh bencana

(23)

longsor, sebagai literatur untuk penelitian selanjutnya, dan sebagai sarana pengembangan dan perluasan pengetahuan peneliti. Selain itu, penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan pemerintah dalam membuat kebijakan atau program dalam menanggulangi korban bencana longsor.

(24)

TINJAUAN PUSTAKA

Bencana Alam di Indonesia

Bencana adalah peristiwa atau serangkaian peristiwa yang menyebabkan gangguan serius pada masyarakat sehingga menyebabkan korban jiwa serta kerugian yang meluas pada kehidupan manusia baik dari segi materi, ekonomi, maupun lingkungan dan melampaui kemampuan masyarakat tersebut untuk mengatasi dampak bencana alam dengan menggunakan sumberdaya yang mereka miliki. Bencana juga merupakan sebuah peristiwa yang terjadi karena bertemunya ancaman dari luar terhadap kehidupan manusia dengan kerentanan, yaitu kondisi yang melemahkan masyarakat untuk menangani bencana yang dapat berdampak merugikan manusia dan lingkungan, dan tidak adanya kemampuan masyarakat untuk menanggulanginya (IDEP 2007).

Berdasarkan penyebab bahayanya, bencana dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu bencana alam, bencana sosial, dan bencana campuran. Bencana alam disebabkan oleh kejadian-kejadian alamiah seperti gempa bumi, tsunami, gunung berapi, dan angin topan. Bencana sosial atau bencana buatan manusia, yaitu hasil dari tindakan langsung maupun tidak langsung manusia seperti perang, konflik sosial, terorisme, dan kegagalan teknologi. Bencana dapat terjadi karena alam dan manusia sekaligus yang dikenal sebagai bencana campuran atau kompleks, seperti banjir dan kekeringan. Sedangkan dilihat dari tempo kejadiannya, ancaman dapat terjadi secara mendadak dan berangsur-angsur. Contoh ancaman yang terjadi secara mendadak adalah gempa bumi, tsunami, dan banjir bandang, sedangkan ancaman yang berlangsung secara perlahan-lahan atau berangsur-angsur adalah banjir genangan, rayapan, kekeringan, dan ancaman yang terjadi musiman adalah banjir bandang (di musim hujan), kekeringan (di musim kemarau) dan suhu dingin. Faktor-faktor yang berpengaruh pada terjadinya bencana adalah berada di lokasi berbahaya, kemiskinan, perpindahan penduduk dari desa ke kota, kerusakan dan penurunan kualitas lingkungan, pertambahan penduduk yang pesat, perubahan budaya, serta kurangnya informasi dan kesadaran (IDEP 2007).

(25)

Menurut BPPN (2006), bencana dapat disebabkan oleh kejadian alam (natural disaster) maupun oleh manusia (man-made disaster). Faktor-faktor penyebab terjadinya bencana antara lain:

1. Bahaya alam (natural hazards) dan bahaya karena manusia (man-made hazards) yang menurut United Nations International Strategy for Disaster Reduction (UN-ISDR) dapat dikelompokkan menjadi bahaya geologi (geological hazards), bahaya hidrometeorologi (hydrometeorological hazards), bahaya biologi (biologycal hazards), bahaya teknologi (technologycal hazards), dan penurunan kualitas lingkungan (environmental degradation);

2. Kerentananan (vulnerability) yang tinggi dari masyarakat, infrastruktur serta elemen-elemen di dalam kawasan beresiko bencana; dan

3. Kapasitas yang rendah dari berbagai komponen di dalam masyarakat.

Pada tahun 2004 Indonesia mengalami berbagai bencana alam seperti tsunami, banjir, longsor, dan gempa. Tsunami di Aceh yang terjadi pada tahun 2004 mengakibatkan sekitar lebih dari 200 000 jiwa meninggal dan terhitung lebih dari 300 000 jiwa terlantar (Purwadianto 2006). Selama tahun 2005 Indonesia mengalami musibah tanah longsor sebanyak 47 kali yang mengakibatkan 243 orang meninggal dunia. Musibah tersebut paling banyak terjadi di Provinsi Jawa Barat yaitu sebanyak 39 kali longsor yang mengakibatkan 205 orang meninggal dunia, 490 rumah mengalami kerusakan, 114 rumah hancur, dan 758 rumah terancam (Surono 2008). Selama tiga tahun terakhir, di Provinsi Jawa Barat terdapat banyak desa yang terkena bencana alam pada daerah pesisir dan non pesisir berdasarkan jenis bencana alam adalah tanah longsor sebanyak 1 610 desa; banjir sebanyak 1 162 desa; banjir bandang sebanyak 103 desa; gempa bumi sebanyak 68 desa; gempa bumi disertai tsunami sebanyak 28 desa; gelombang pasang laut sebanyak 60 desa; angin puyuh/puting beliung sebanyak 984 desa; gunung meletus sebanyak 1 desa; dan kebakaran hutan sebanyak 128 desa (BPS 2008).

Data bencana dari BAKORNAS PB (Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana) menyebutkan bahwa antara tahun 2003-2005 telah terjadi 1 429 kejadian bencana, dimana bencana hidrometeorologi merupakan

(26)

bencana yang paling sering terjadi yaitu 53.3 persen dari total kejadian bencana di Indonesia. Dari total bencana hidrometeorologi, yang paling sering terjadi adalah banjir (24.1 persen dari total kejadian bencana di Indonesia) diikuti oleh tanah longsor (16%). Meskipun frekuensi kejadian bencana geologi (gempa bumi, tsunami, dan letusan gunung berapi) hanya 6.4 persen, bencana ini telah menimbulkan kerusakan dan korban jiwa yang besar (BPPN 2006).

Menurut Sadisun (2007), bencana alam dapat menimbulkan kerugian dan penderitaan yang cukup berat sebagai akibat dari perpaduan bahaya alam dan kompleksitas permasalahan lainnya. Korban jiwa manusia yang meninggal maupun cedera, runtuhnya bangunan-bangunan pemerintah dan swasta, rusaknya sarana prasarana, jaringan utilitas dan infrastruktur serta kerugian moril yang tidak terhitung jumlahnya merupakan akibat yang timbul dari berbagai kejadian bencana tersebut. Laju pertumbuhan penduduk, tidak tertib, dan tidak tepatnya tata guna lahan adalah salah satu inti permasalahan dan penyebab meningkatnya kerentanan bencana. Menurut BPPN (2006), bencana dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti kondisi geografis, geologis, iklim, maupun faktor-faktor lain seperti keragaman sosial, budaya, dan politik.

Besarnya kerugian juga tergantung pada bentuk bahayanya sendiri, mulai dari kebakaran yang mengancam bangunan individual sampai dengan peristiwa tubrukan meteor besar. Namun demikian pada daerah yang memiliki tingkat bahaya tinggi (hazard) serta memiliki kerentanan/kerawanan (vulnerability) yang juga tinggi tidak akan memberi dampak yang hebat/luas jika manusia yang berada di sana memiliki ketahanan terhadap bencana (disaster resilience). Konsep ketahanan bencana merupakan evaluasi kemampuan sistem dan infrastruktur-infrastruktur untuk mendeteksi, mencegah dan menangani tantangan-tantangan serius yang hadir. Dengan demikian meskipun daerah tersebut rawan bencana dengan jumlah penduduk yang besar jika diimbangi dengan ketahanan terhadap bencana yang cukup (Anonim 2009).

Penanggulangan bencana adalah serangkaian kegiatan baik sebelum, saat dan sesudah terjadi bencana yang dilakukan untuk mencegah, mengurangi, menghindari, dan memulihkan diri dari dampak bencana. Secara umum kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam penanggulangan bencana adalah sebagai berikut:

(27)

pencegahan, pengurangan dampak bahaya, kesiapsiagaan, tanggap darurat, pemulihan (rehabilitasi dan rekonstruksi), dan pembangunan berkelanjutan yang mengurangi resiko bencana (IDEP 2007).

Keluarga Korban Bencana Alam

Lingkungan sosial yang paling dekat dengan manusia atau pribadi adalah keluarga. Keluarga adalah suatu satuan terkecil yang dipimpin oleh manusia sebagai makhluk sosial. Keluarga adalah instansi pertama yang memberikan pengaruh terhadap sosialisasi diri manusia terhadap pembentukan pribadi manusia (Soedarsono 1997). Keluarga korban bencana adalah keluarga yang tempat tinggal, harta bendanya rusak dan hilang terkena suatu bencana, dan menyisakan rasa traumatis tersendiri. Bencana yang terjadi menimbulkan dampak di berbagai aspek kehidupan individu dan keluarga.

Dampak sosial ekonomi yang diakibatkan oleh suatu bencana meliputi dampak makro ekonomi fiskal; mata pencaharian, pekerjaan dan penghasilan; serta dampak sosial (BNPB 2009). Bencana yang menyebabkan terganggunya mata pencaharian para buruh lepas (buruh tani atau buruh pabrik harian) berdampak terhadap ekonomi keluarga. Strategi ekonomi yang dilakukan keluarga hanya sebatas bertahan hidup “survival economic strategy” dan bersifat “tutup lubang gali lubang” (Sunarti 2009).

Dampak bencana terhadap aspek sosial berhubungan dengan pola hubungan yang berubah karena kematian, perpisahan, pengisoliran, dan kehilangan (kehilangan status sosial, posisi serta peran dalam masyarakat), kerusakan nilai-nilai sosial dan rusaknya fasilitas serta terganggunya institusi yang bertanggung jawab memelihara modal sosial. Bencana juga berdampak pada aspek psikologis yaitu terjadinya perubahan kondisi emosi, tingkah laku, cara berfikir, kemampuan mengingat, kemampuan belajar, persepsi dan pemahaman seseorang. Dampak bencana terhadap aspek psikologis juga berkaitan dengan gangguan atau perubahan terhadap cara pandang dan kemampuan dalam memecahkan masalah sehingga rasa trauma dan kecemasan yang berkepanjangan tidak menyelimuti kehidupan keluarga. Sedangkan dampak bencana terhadap

(28)

aspek ekonomi adalah kehilangan dan kerusakan materi, serta kemampuan mencari nafkah (Sunarti 2010).

Berbagai penelitian yang dilakukan di Indonesia menunjukkan bahwa bencana berdampak menembus kehidupan mikro di tingkat keluarga, mengganggu keberfungsian serta pencapaian kesejahteraan keluarga (Sunarti 2007). Dampak dari suatu bencana juga menimbulkan masalah psikososial. Masalah psikososial adalah masalah kejiwaan dan kemasyarakatan yang mempunyai pengaruh timbal balik, sebagai akibat terjadinya perubahan sosial dan atau gejolak dalam masyarakat yang dapat menimbulkan gangguan jiwa, gangguan kehidupan, pengungsian, dan migrasi (Sunarti 2010).

Karakteristik Keluarga

Usia. Usia merupakan salah satu faktor demografi yang mempengaruhi persepsi seseorang dalam membuat keputusan, menerima segala sesuatu hal yang baru dan dapat mempengaruhi selera seseorang terhadap beberapa barang dan jasa (Kotler & Armstrong 2001). Usia orangtua yang muda akan relatif rentan terhadap adanya badai dan tantangan dalam kehidupan keluarga (Hastuti 2008).

Pada usia dewasa muda (usia 21-41 tahun) dan dewasa madya (usia 49-60 tahun) adalah tahapan yang biasa terjadi stres dan masalah sehingga pada usia tersebut membutuhkan persiapan yang matang untuk menghadapi permasalahan yang dihadapinya (Gunarsa & Gunarsa 1991). Menurut Hultsch & Deutsh (1981), setiap tahapan usia menghadapi masa transisi dan masa krisis yang dapat diselesaikan sesuai dengan tahapan usia. Hayslip & Panek (1989), menyatakan bahwa persepsi antar individu terhadap permasalahan yang dihadapi memiliki perbedaan sebagaimana reaksi mereka dalam menghadapi permasalahan. Semakin bertambah usia seseorang maka semakin besar kemungkinan individu untuk lebih mudah mengasumsikan suatu keadaan sebagai situasi yang penuh tekanan dan menyelesaikan permasalahan yang dihadapi dengan baik, sehingga usia merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan dan melakukan strategi koping.

Berdasarkan hasil penelitian Firdaus & Sunarti (2009), terdapat hubungan antara tekanan ekonomi objektif dengan usia contoh, usia suami, dan pendidikan

(29)

suami. Pendidikan yang tinggi memungkinkan memiliki keterampilan yang lebih baik dan lebih dipandang sehingga lebih dipilih untuk mengisi kesempatan bekerja manakala terjadi keterbatasan. Usia yang semakin meningkat memungkinkan keluarga memiliki tabungan atau sebagian anak sudah mandiri sehingga masalah keuangan semakin berkurang. Terdapat hubungan positif antara pendidikan contoh dengan manajemen keuangan keluarga dan hubungan negatif antara usia contoh dengan mekanisme pengeluaran pangan dan pengeluaran non pangan. Semakin tinggi pendidikan contoh, memungkinkan contoh memiliki kemampuan pengelolaan keuangan yang lebih baik. Usia contoh maupun suami yang semakin tinggi memungkinkan jumlah tanggungan yang semakin besar dan atau memungkinkan keluarga memiliki tabungan dan aset, dan atau semakin memantapkan pendapatan dan pengeluaran keluarga, sehingga tidak menunjukkan mekanisme koping yang dinamis.

Lama dan Tingkat Pendidikan. Tingkat pendidikan seseorang dapat dilihat dari jenis dan lamanya pendidikan formal atau non formal yang telah ditempuh. Pendidikan merupakan salah satu faktor dalam diri seseorang yang akan mempengaruhi perilaku. Menurut Gunarsa & Gunarsa (2000), tingkat pendidikan yang dicapai akan mempengaruhi dan membentuk cara, pola, kerangka berfikir, persepsi, pemahaman, dan kepribadian seseorang. Menurut Hardinsyah & Suhardjo (1987), pendidikan akan berhubungan dengan jenis pekerjaan seseorang. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan semakin besar. Hardinsyah (1987) Seseorang yang berpendidikan lebih tinggi akan diberi upah lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang tingkat pendidikannya lebih rendah. Keterbatasan pengetahuan karena rendahnya pendidikan berpengaruh terhadap tingkah laku anggota keluarga dalam memilih kebutuhan dan dalam membuat keputusan.

Menurut Pearlin & Schooler (1976), diacu dalam Furi (2006), individu yang berpendidikan tinggi pada umumnya lebih positif dalam menghadapi situasi dan bersikap lebih percaya mengatasi permasalahannya dengan perilaku yang berpusat pada masalah, sedangkan menurut Billing & Moss (1981), diacu dalam Furi (2006) seseorang dengan pendidikan yang lebih rendah lebih percaya pada perilaku yang berpusat pada emosi. Strategi koping yang dilakukan dalam sebuah

(30)

keluarga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan orangtua. Semakin tinggi tingkat pendidikan kepala keluarga maka akan memudahkan keluarga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Syarief 1998).

Lama pendidikan diukur berdasarkan program wajib belajar sembilan tahun. Berdasarkan UU No 2/1989 (Pasal 3 jo. Pasal 13) dan PP No 28/1990 (Pasal 1 jo. Pasal 3), esensi dan ciri-ciri pendidikan dasar (Suwarso 1993) yaitu: 1. Pendidikan dasar merupakan pendidikan umum, artinya merupakan

pendidikan minimum yang berlaku untuk semua negara; 2. Pendidikan dasar berlangsung sembilan tahun;

3. Pendidikan dasar tidak bersifat uniform;

4. Pendidikan dasar diselenggarakan dijalur sekolah pada berbagai jenis dan satuan pendidikan;

5. Lulusan pendidikan dasar adalah setara; dan

6. Tujuan pendidikan dasar adalah menyiapkan peserta untuk melanjutkan ke jenjang menengah dan membekali peserta didik dengan pengetahuan dan keterampilan dasar yang berguna di masyarakat.

Menurut Sunarti (2007), pendidikan seseorang menentukan kemampuannya dalam mengembangkan meknisme koping dalam menghadapi situasi darurat karena bencana. Menurut Sunarti (2001), lama pendidikan sembilan tahun digunakan sebagai batasan wajib belajar karena dianggap dapat memberikan pengetahuan, wawasan, dan keterampilan minimal bagi seseorang untuk menjalankan kehidupannnya.

Besar Keluarga. Besar keluarga ditentukan oleh banyaknya jumlah anggota keluarga. Berdasarkan jumlah atau besar keluarga, keluarga dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu: keluarga kecil (kurang dari sama dengan 4 orang), keluarga sedang (5-7 orang), dan keluarga besar (lebih dari sama dengan 8 orang) (BKKBN 1996). Besar jumlah keluarga akan berpengaruh terhadap pendistribusian konsumsi makanan antar anggota keluarga. Terutama pada keluarga yang sangat miskin, pemenuhan makanan akan lebih mudah jika diberi makan dengan jumlah yang sedikit (Suhardjo 1989).

Penelitian pada keluarga miskin di beberapa wilayah Asia, Afrika, dan Amerika Latin menunjukkan bahwa anak-anak dalam keluarga yang jumlah

(31)

anggotanya besar akan menghadapi resiko yang lebih besar menderita kekurangan gizi, hal ini disebabkan oleh jumlah makanan yang dimakan keluarga besar dan miskin cenderung lebih sedikit dibandingkan dengan yang dimakan keluarga kecil dengan tingkat pendapatan yang sama (Eckholm & Newland, diacu dalam Hardinsyah 1985). Selain itu keluarga dengan jumlah anak terlalu besar seringkali mempunyai masalah dalam hal pemenuhan kebutuhan pokok keluarga, sehingga kondisi ini pada akhirnya akan memperbesar tingkat stres (Pulungan 1993, diacu dalam Cahyaningsih 1999).

Sumarwan (2002), menyatakan bahwa pendapatan per kapita dan belanja pangan keluarga akan menurun sejalan dengan meningkatnya jumlah anggota keluarga. Keluarga yang memiliki jumlah anggota yang lebih besar akan mengkonsumsi pangan dengan jumlah lebih banyak dibandingkan keluarga dengan jumlah anggota yang lebih sedikit.

Kepemilikan Aset. Sumberdaya merupakan suatu sumber dari kekuatan, potensi dan kemampuan untuk mencapai suatu manfaat dan tujuan. Sumberdaya aset adalah sesuatu apapun yang dimiliki keluarga atau yang dapat diakses keluarga, dan memiliki nilai tukar yang dapat mendorong keluarga untuk mencapai tujuannya. Aset tersebut dapat berupa sumberdaya ekonomi, potensi manusia, karakter pribadi, kualitas lingkungan, sumberdaya alam, dan fasilitas masyarakat (Rice & Tucker 1986, diacu dalam Nuryani 2007).

Sumberdaya keluarga ditinjau dari sudut pandang ekonomi merupakan alat atau bahan yang tersedia dan diketahui fungsinya untuk memenuhi kebutuhan atau tujuan keluarga (Gross, Crandall & Knoll 1980). Sumberdaya berdasarkan jenisnya diklasifikasikan menjadi dua, yaitu sumberdaya manusia dan materi. Sumberdaya manusia memiliki dua ciri, yaitu pribadi/personal dan interpersonal, sedangkan sumberdaya materi terdiri atas benda-benda atau barang, jasa, waktu, dan energi. Sumberdaya dalam keluarga adalah berupa aset/harta kekayaan yang dimiliki keluarga. Sedangkan menurut Bryant (1990), aset adalah sumberdaya atau kekayaan yang dimiliki keluarga. Aset akan berperan sebagai alat pemuas kebutuhan. Oleh karena itu, keluarga yang memiliki aset yang banyak cenderung lebih sejahtera dibandingkan dengan keluarga yang memiliki aset terbatas.

(32)

Pendapatan Per Kapita. Pendapatan keluarga adalah seluruh penerimaan yang diterima oleh seluruh anggota keluarga. Besarnya pendapatan yang diterima rumah tangga dapat menggambarkan tingkat kesejahteraan suatu masyarakat (BPS 2005). Menurut Roedjito (1986), keluarga yang berpenghasilan rendah akan menggunakan sebagian besar pendapatannya untuk pangan sebagai kebutuhan pokok. Suhardjo (1989), mengemukakan bahwa pendapatan sangat berpengaruh terhadap alokasi pengeluaran keluarga.

Pendapatan keluarga mempunyai pengaruh paling besar terhadap analisis kategori pengeluaran. Sumber penghasilan rumah tangga berupa pendapatan yang digunakan untuk membeli dan memproduksi barang dan jasa yang dapat meningkatkan kepuasan dan kesejahteraan anggota rumah tangga. Pada kondisi pendapatan terbatas, rumah tangga akan mendahulukan pemenuhan kebutuhan makanan sehingga pada kelompok masyarakat berpendapatan rendah akan terlihat bahwa sebagian besar pendapatannya akan dialokasikan untuk konsumsi makanan. Seiring dengan peningkatan pendapatan dan berjalannya waktu akan terjadi pergeseran, yaitu porsi pendapatan yang dibelanjakan untuk makanan menuju peningkatan porsi pendapatan yang dibelanjakan untuk barang bukan makanan (BPS 2003).

Pendapatan per kapita adalah pendapatan total yang diperoleh keluarga dibagi jumlah anggota keluarga. Pendapatan merupakan indikator yang baik, bukan saja pada tingkat kesejahteraan jasmaniah yang dapat dicapai seseorang. Melainkan terhadap kedudukan sosial seseorang dalam masyarakat. Semakin tinggi pendapatan seseorang, maka orang tersebut semakin bebas memilih dan bergerak. Oleh karena itu, pendapatan merupakan ukuran yang baik terhadap kekuatan dan kedudukan seseorang dalam masyarakat (Ginting & Penny 1984, diacu dalam Nuryani 2007).

Pekerjaan. Salah satu indikator dari pendapatan yang diperoleh suatu keluarga setiap bulannya adalah dilihat dari jenis pekerjaannya (Kumari 2001). Bekerja adalah kegiatan yang dilakukan dengan maksud memperoleh atau membantu penghasilan (Kusumaningsih 2007). Sedangkan menurut BPS (1998), bekerja adalah kegiatan yang dilakukan dengan maksud memperoleh penghasilan atau keuntungan selama paling sedikit satu jam dalam seminggu yang lalu dan

(33)

harus dilakukan berturut-turut dan tidak boleh terputus, termasuk pekerja keluarga tanpa upah yang membantu dalam usaha atau kegiatan ekonomi. Pekerjaan termasuk ke dalam salah satu sumber pendapatan dalam keluarga. Menurut Khomsan (2007), adanya pekerjaan tetap dalam suatu keluarga maka keluarga tersebut relatif terjamin pendapatan setiap bulannya. Jika keluarga tidak memiliki pekerjaan tetap maka pendapatan keluarga setiap bulannya tidak dapat dipastikan. Menurut Engel et al. (1994), pekerjaan merupakan indikator tunggal terbaik mengenai kelas sosial.

Permasalahan Keluarga

Pangan. Dari studi pemantapan SIDI (Sistem Syarat Dini dan Intervensi) diketahui bahwa golongan masyarakat yang selalu mengalami rawan konsumsi pangan adalah mereka yang tergolong dalam masyarakat ekonomi rendah. Hal ini berkaitan erat dengan daya beli masyarakat (Karyadi & Susanto 1996). Walaupun kekurangan daya beli merupakan hal yang utama namun sebagian kasus kekurangan gizi dapat diatasi dengan adanya pengetahuan gizi yang baik dari ibu karena pengetahuan gizi merupakan landasan utama dalam menentukan konsumsi pangan keluarga (Soetjiningsih 1995).

Kesehatan. Menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992, kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Pemeliharaan kesehatan adalah upaya penanggulangan dan pencegahan gangguan kesehatan yang memerlukan pemeriksaan, pengobatan, dan atau perawatan termasuk kehamilan dan persalinan (Anonim 2010).

Menurut pernyataan dari Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO), kesehatan adalah keadaan fisik, mental, dan kesejahteraan sosial secara lengkap dan bukan hanya sekedar tidak mengidap penyakit atau kelemahan. Faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan adalah kondisi sosial (10%); kondisi medis (8%); kondisi iklim (7%); faktor keturunan (15%); dan gaya hidup (60%) (Bambang 2010).

Pendidikan. Pendidikan orangtua merupakan salah satu faktor penting dalam tumbuh kembang anak. Tingkat pendidikan anak yang dicapai oleh

(34)

orangtua akan menentukan cara, pola dan kerangka berfikir, serta persepsi pemahaman kepribadiannya. Orangtua yang berpendidikan tinggi akan tetap mengedepankan pendidikan anak-anaknya dalam kondisi apapun. Menurut Hardinsyah & Suhardjo (1987), pendidikan akan berhubungan dengan jenis pekerjaan seseorang. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan semakin besar. Menurut Hardinsyah (1987), seseorang yang berpendidikan lebih tinggi akan diberi upah lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang tingkat pendidikannya lebih rendah.

Tempat Tinggal. Rumah adalah tempat dimana keluarga dapat bersatu dan merasa satu kesatuan. Menurut BPS (1997) rumah tidak hanya berfungsi sebagai tempat berlindung tapi juga berfungsi sebagai tempat tinggal. Oleh karena itu aspek kesehatan dan kenyamanan bahkan estetika bagi sekelompok masyarakat tertentu sangat menentukan dalam pemilihan rumah tinggal dan berkaitan dengan kesejahteraan penghuninya. Menurut BNPB (2009), rumah merupakan aset penting bagi individu dan keluarga, tempat sebagian besar dimensi kehidupan manusia berlangsung. Rumah juga menunjukkan status sosial ekonomi seseorang/keluarga di lingkungan masyarakat, merupakan hasil usaha yang dilakukan dalam kurun waktu yang tidak sebentar. Rusaknya rumah akibat gempa bumi akan berdampak terhadap ekonomi keluarga dan mempengaruhi arah serta prioritas pengambilan keputusan keluarga. Diperlukan waktu lama untuk memulihkan keadaan keluarga dan dalam rentang waktu tersebut maka akan terjadi penurunan kualitas kehidupan keluarga.

Menurut Slamet (1996) rendahnya penghasilan menyebabkan tidak mampunya keluarga untuk memiliki rumah yang memenuhi syarat sehat dan akan menimbulkan permasalahan kesehatan. Timbulnya permasalahan kesehatan di dalam lingkungan pemukiman rumah disebabkan karena orang belum sepaham tentang fungsi suatu rumah. Apakah rumah sekedar berfungsi untuk bernaung saja ataukah untuk istirahat total (jasmaniah, rohaniah, dan sosial), ataukah untuk membesarkan anak, atau juga tempat belajar dan tempat usaha. Ada yang dapat tinggal di rumah yang sekedar berbentuk naungan dari panas dan hujan seperti di sepanjang rel kereta api yang bersandar pada dinding rumah dan lain-lainnya. Ada pula rumah yang bentuknya sangat mewah. Organisasi kesehatan sedunia

(35)

mendefinisikan rumah sebagai: “rumah adalah tempat untuk tumbuh dan berkembang baik secara jasmani, rohani, dan sosial”.

Keadaan rumah yang layak adalah rumah dengan struktur bangunan yang tidak membahayakan penghuninya, ventilasi yang cukup, pencahayaan yang cukup, dan tidak sesak. Menurut Sukarni (1989), bangunan perumahan, luas lantai, dan ventilasi sangat mempengaruhi penularan penyakit terutama penyakit saluran pernafasan seperti TBC dan batuk rejan. Jenis lantai, atap dinding, dan jendela mempengaruhi pula perlindungan para penghuninya terhadap dingin, panas, dan hujan. Rumah sehat harus memiliki syarat sebagai berikut:

1. Memenuhi kebutuhan fisiologis

• Suhu ruangan tidak banyak berubah, berkisar antara 18-20 °C. suhu ruangan tergantung pada suhu udara luar, pergeseran udara, kelembaban udara, dan suhu benda disekitarnya

• Cukup mendapat penerangan (sinar), siang maupun malam, terutama pada pagi hari cukup sinar matahari

• Cukup terjadi pertukaran hawa (ventilasi), sehingga ruangan tetap segar karena cukup oksigen. Cukup mempunyai jendela yang luas keseluruhan ± 15% dari luas lantai dan jendela harus sering dibuka

• Cukup mempunyai isolasi suara, yaitu dinding kedap suara, baik dari luar maupun dalam. Sebaiknya jauh dari sumber kegaduhan suara, seperti pabrik, kereta api, lapangan terbang, pasar, sekolah, dan lainnya.

2. Memenuhi kebutuhan psikologis

• Cara pengaturannya harus memenuhi rasa keindahan • Adanya jaminan kebebasan setiap anggota keluarga

• Ruangan bagi anggota keluarga yang telah dewasa harus sendiri-sendiri sehingga tidak terganggu privacynya

• Harus ada tempat keluarga berkumpul

• Harus ada ruang tamu untuk kehidupan bermasyarakat. 3. Menghindari terjadinya kecelakaan

• Konstruksi dan bahan bangunan harus kuat • Tidak mudah terbakar

(36)

• Terdapat sarana pencegahan terjadinya kecelakaan di susia, kolam, dan lainnya terutama untuk anak-anak.

4. Menghindari terjadinya penyakit

• Terdapat sumber air yang sehat, cukup kualitas, dan kuantitas

• Terdapat tempat pembuangan kotoran, sampah, dan air limbah yang baik • Dapat mencegah perkembangbiakan vektor penyakit

• Cukup luas, dimana kamar mandi ± 5 m2/kapita/luas lantai, luas ruangan per orang dikatakan kurang jika < 7 m2/orang, cukup jika antara 7-10 m2/orang, dan baik jika > 10 m2/orang.

Pakaian. Pakaian (sandang) adalah salah satu kebutuhan pokok manusia di samping makanan (pangan) dan tempat tinggal (papan). Pakaian berfungsi untuk melindungi anggota tubuh dari terik matahari dan penyakit. Selain berfungsi menutup tubuh, pakaian juga dapat merupakan pernyataan lambang status seseorang dalam masyarakat (Anonim 2007).

Fungsi pakaian dapat ditinjau dari beberapa aspek antara lain aspek biologis, psikologis, dan sosial. Fungsi pakaian ditinjau dari aspek biologis adalah untuk melindungi tubuh dari cuaca, sinar matahari, debu, gangguan binatang, melindungi tubuh dari benda-benda lain yang membahayakan kulit, dan untuk menutupi atau menyamarkan kekurangan dari si pemakai. Ditinjau dari aspek psikologis, fungsi pakaian adalah dapat menambah keyakinan dan rasa percaya diri; dan dapat memberi rasa nyaman. Sedangkan fungsi pakaian dari aspek sosial adalah untuk menutupi aurat atau memenuhi syarat kesusilaan; menggambarkan adat atau budaya suatu daerah; sebagai media informasi bagi suatu instansi atau lembaga; dan sebagai media komunikasi non verbal (Anonim 2010).

Pendapatan/Pekerjaan. Menurut Hardinsyah (1997), pendapatan keluarga adalah jumlah semua hasil perolehan yang didapat oleh anggota keluarga dalam bentuk uang sebagai hasil pekerjaan yang dinyatakan dalam pendapatan per kapita. Pendapatan menentukan daya beli terhadap pangan dan fasilitas lain seperti pendidikan, perumahan, kesehatan, dan lain-lain. Diduga terdapat hubungan positif antara pekerjaan dengan pendapatan. Pekerjaan yang mapan dan terjamin maka pendapatan keluarga akan tetap terjamin sehingga dapat memenuhi

(37)

kebutuhan keluarga. Namun jika terjadi hambatan dalam pekerjaan seperti terjadi bencana alam dan pemutusan hubungan kerja maka pendapatan keluargapun akan berkurang dan sulit untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Interaksi Keluarga. Hubungan yang terjadi dalam keluarga dapat dilihat dengan menggunakan konsep interakasionalisme melalui konsep interaksi dan dampak yang ditimbulkannya. Hubungan yang terjadi dalam keluarga dapat dilihat dari hubungan suami dan isteri, hubungan orangtua dan anak, hubungan antar saudara (siblings), dan dapat ditambahkan hubungan antargenerasi (Suleman 1999, diacu dalam Setioningsih 2010).

Interaksi manusia pertama kali terjadi dalam keluarga. Interaksi orangtua dan anak adalah suatu pola perilaku yang mengikat orangtua dan anak secara timbal balik yang mencakup berbagai upaya keluarga. Interaksi keluarga (orangtua dan anak) adalah hubungan antara anak dan orangtua yang dilandasi oleh perasaan, perkataan, dan perlakuan orangtua terhadap anak-anaknya serta strategi pendidikan budi pekerti yang dilakukan setiap hari di rumah mulai bayi hingga dewasa. Interaksi orangtua dan anak diwujudkan dalam bentuk komunikasi dan bonding (Puspitawati 2006). Dalam keadaan normal, lingkungan pertama yang berhubungan dengan anak adalah orangtua, saudara, dan kerabat dekat yang tinggal satu rumah. Pada dasarnya hubungan orangtua dan anak tergantung pada sikap orangtua. Sikap orangtua sangat mempengaruhi hubungan keluarga dan keluarga cenderung akan bertahan. Hubungan yang baik antara ayah, ibu, dan anak-anak disamping anggota keluarga akan dapat terjalin dengan baik dalam lingkungan keluarga (Effendi et al. 1995, diacu dalam Kunarti 2004). Selain itu, menurut Saxton (1990) terdapat pula interaksi pasangan yang dikonsepkan ke dalam tiga komponen dasar yaitu kesesuaian dalam persepsi peran, timbal balik peran, dan kesetaraan fungsi peran.

Menurut Susanto & Sunario (1995), semakin rentannya keluarga dan permasalahan yang dihadapi keluarga disebabkan karena semakin lemahnya kualitas komunikasi antar anggota keluarga sehingga fungsi keluarga semakin pudar dalam melindungi anggota keluarga dari pengaruh dan ancaman dari luar keluarga. Pengaruh dari luar terhadap pribadi keluarga semakin kuat akibat peningkatan teknologi komunikasi di era informasi globalisasi.

(38)

Menurut Dagun (1990), diacu dalam Mutyahara (2005) keintiman diantara anggota keluarga akan sangat mempengaruhi kehangatan terhadap keluarga. Meluangkan waktu bersama merupakan syarat utama untuk menciptakan komunikasi antara orangtua dan anak, sebab dengan adanya waktu bersama maka keintiman dan keakraban dapat diciptakan diantara anggota keluarga. Menurut Sunarti (2010), gempa bumi yang korban rasakan berpengaruh terhadap hubungan suami isteri dan keluarga. Sebagian contoh merasa menjadi lebih harmonis dan dekat dengan suami dan keluarga, namun terdapat pula ibu yang merasa suaminya menjadi lebih mudah marah, malas bekerja, dan kurang perhatian dibandingkan sebelum gempa.

Kelentingan Keluarga

Definisi kelentingan adalah sebuah proses dinamis untuk bertahan dari kesengsaraan secara signifikan serta kemampuan untuk beradaptasi secara positif. Kunci dari konsep kelentingan keluarga terdiri dari proses dinamis untuk beradaptasi dan menghadapi resiko (Walsh 2002). Menurut McCubbin & Thompson (1987), diacu dalam Sunarti (2010) bahwa kelentingan merupakan salah satu faktor yang berinteraksi dengan strategi koping dan menjadi bagian dalam manajemen stres keluarga. Kelentingan keluarga merupakan bagian dari ketahanan keluarga yang dapat menentukan ketahanan keluarga. Ketahanan keluarga adalah suatu kemampuan keluarga dalam mengelola sumberdaya yang dimiliki keluarga dalam menghadapi permasalahan yang dihadapi untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Peningkatan ketahanan keluarga menjadi penting sehubungan dengan fakta adanya variasi kemampuan keluarga dalam pemenuhan kebutuhan, pelaksanaan fungsi, melalui pengelolaan masalah dan stres (Krysan, Moore, & Zill, diacu dalam Sunarti 2001).

Kelentingan keluarga merupakan proses yang dinamis yang mencakup proses adaptasi yang positif dalam keadaan kesulitan atau terjadi kemalangan (Luthar et al. 2000, diacu dalam Walsh 2002). Cara atau upaya untuk mengembangkan kelentingan keluarga adalah dengan meningkatkan keberfungsian dan kesejahteraan keluarga dengan mencegah anggota keluarga dari berbagai keadaan krisis yang dapat mengancam kestabilan keluarga.

(39)

Kelentingan keluarga dapat dipandang sebagai upaya untuk bertahan dalam keadaan krisis dan kembali kepada keadaan semula pada saat terjadinya kemalangan atau krisis. Dalam keadaan yang demikian, keluarga dapat mengatur dan memaksimalkan sumberdaya yang dimiliki keluarga (Walsh 2002). Hasil penelitian ditemukan bahwa pengelolaan sumberdaya keluarga pada kondisi kemalangan yang sama dapat menghasilkan respon dan hasil berbeda (Kaufman & Ziegler, diacu dalam Walsh 2002).

Kelentingan keluarga dapat dilihat pada hubungan dan pengaruh suatu resiko dan proses yang terjaga sepanjang waktu, keterlibatan diri, keluarga, dan besarnya pengaruh sosial budaya (Garmezy 1991; Masten, Best, dan Garmezy 1990; Rutter 1987; Werner 1993, diacu dalam Walsh 2002). Kelentingan keluarga juga dapat dilihat dari sistem kepercayaan keluarga, pola organisasi, dan proses komuniksai. Sistem kepercayaan keluarga mencakup pemaknaan terhadap kemalangan, pandangan positif, kesadaran, dan spiritual. Pola organisasi mencakup fleksibilitas, keterkaitan, sumberdaya sosial, dan ekonomi. Adapun proses komunikasi mencakup kejelasan, ekspresi emosi secara terbuka, dan kolaborasi penyelesaian masalah (Walsh 2002). Sistem kepercayaan keluarga adalah kepercayaan bersama terhadap keluarga yang dapat membantu seseorang untuk memaknai krisis atau permasalahan yang dihadapi dengan memberikan perasaan yang positif, memiliki harapan yang tinggi, mengembangkan dan mengaplikasikan nilai yang terdapat dalam keluarga, serta meningkatkan tujuan spiritual untuk mengurangi tekanan dan menyelesaikan masalah (Antonovsky & Sourani 1988, diacu dalam Walsh 2002).Pola organisasi dapat dilakukan melalui struktur yang fleksibel, kepemimpinan bersama, saling mendukung, dan kerjasama dalam menghadapi keadaan krisis atau kemalangan (Walsh 2002). Komunikasi dikatakan efektif apabila tujuan komunikasi sudah terpenuhi dan pesan yang disampaikan dan diterima sama. Salah satu bentuk komunikasi adalah pengungkapan diri. Pengungkapan diri adalah salah satu memberikan informasi diri kepada orang lain dengan tujuan agar orang lain memahami apa yang sedang dirasakan oleh seseorang (Yuhaeni et al. 2006).

Ketahanan merupakan bawaan atau sesuatu yang ada dalam diri seseorang yang dianggap tahan terhadap stes karena batin dan tetap tabah dalam menghadapi

Gambar

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Karakteristik Keluarga −  Usia −  Lama pendidikan −  Besar keluarga −  Kepemilikan aset −  Pendapatan  −  Pekerjaan Permasalahan Keluarga −  Pangan −  Kesehatan −  Pendidikan −  Tempat tinggal −  Pakaian −  Pekerjaan/Pendapatan
Tabel 3 Sebaran penduduk berdasarkan sarana yang terdapat di Desa  Banyuwangi
Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan usia suami isteri (n=100)
Tabel 8 Sebaran Contoh Berdasarkan Lama Pendidikan Suami Isteri (n=100)  Kategori Lama Pendidikan (Tahun)  Suami  Isteri
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap media pembelajaran yang dikembangkan dapat disimpulkan bahwa Media pembelajaran interaktif Adobe Flash Professional CS6

Lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 65 Tahun 2013 menyatakan bahwa pola pembelajaran harus berpusat pada siswa, bersifat interaktif

Dalam pemanfaatan informasi akuntansi ini adalah untuk mengetahui proses pencatatan transaksi yang terjadi pada Usaha Dagang RIMBA KENCANA, Usaha Jasa PHOTO COPY

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Arslan &amp; Zaman (2014) yang mengungkapkan bahwa kualitas pelayanan yang baik akan menimbulkan minat

• Pelaksanaan pengadaan pada umunya dilakukan oleh Unit Kerja yang mempunyai fungsi logistik sesuai dengan One Gate Policy bahwa Unit Logistik bertanggung

Apabila ingin mengujicobakan sebuah aplikasi yang tidak dipercaya atau bukan dari situs-situs resmi, harap gunakan aplikasi yang menyediakan area virtual pada

Dalam hal ini, tugas customer service operational sangat penting, mereka juga harus mengetahui bahkan menguasai semua situasi dan kondisi irregularity flight

Pemilu nasional (pemilu legislatif dan pemilu presiden) 1) Pembentukan Badan Penyelenggara Pileg dan Pilpres; 2) Kelompok kerja kegiatan tahapan Pileg dan Pilpres;.. Rencana