• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBANDINGAN FUNGSI HAK UJI PERATURAN JU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERBANDINGAN FUNGSI HAK UJI PERATURAN JU"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

1

PERBANDINGAN FUNGSI HAK UJI PERATURAN (

JUDICIAL REVIEW

)

ANTARA MAHKAMAH KONSTITUSI INDONESIA DENGAN DEWAN

KONSTITUSI PERANCIS

oleh

Muhammad Gibty Al

PENDAHULUAN

Konstitusi atau Undang-Undang Dasar (UUD) merupakan suatu perangkat peraturan yang menetukan kekuasaan dan tanggung jawab dari berbagai alat kenegaraan. Konstitusi juga menentukan batas-batas berbagai pusat kekuasaan itu dan memaparkan hubungan-hubungan di antara mereka. Menurut sarjana hukum E.C.S. Wade dalam buku Constitutional Law, Undang-Undang Dasar adalah naskah yang memaparkan rangka dan tugas-tugas pokok dari badan-badan pemerintahan suatu negara dan menentukan pokok-pokok cara kerja badan-badan tersebut.1 K. C. Wheare berpendapat bahwa konstitusi adalah produk resultante berdasar situasi sosial, politik, dan ekonomi pada waktu dibuat.2 Prof. Sri Soemantri berpendapat bahwa Undang-Undang Dasar sebagai konstitusi tertulis merupakan sebuah dokumen formal. Dokumen tersebut berisi: (1) hasil perjuangan politik bangsa di waktu lampau, (2) pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan baik dalam waktu sekarang maupun untuk masa yang akan datang, (3) suatu keinginan, dengan mana perkembangan kehidupan ketatanegaraan bangsa hendak dipimpin, (4) tingkat-tingkat tertinggi ketatanegaraan bangsa.3

Konstitusi bukanlah undang-undang biasa. Ia tidak ditetapkan oleh lembaga legislatif yang biasa, tetapi oleh badan yang lebih khusus dan lebih tinggi kedudukannya. Jika norma hukum yang di dalamnya bertentangan dengan norma hukum yang terdapat dalam undang-undang, maka ketentuan undang-undang dasar itulah yang berlaku, sedangkan undang-undang harus memberikan jalan untuk itu (it prevails and the ordinary law must give way). Konstitusi merupakan hukum yang paling tinggi serta paling fundamental sifatnya, karena konstitusi merupakan sumber legitimasi atau landasan otorisasi bentuk-bentuk hukum atau peraturan perundang-undangan lainnya.4

Dalam kaitannya dengan hierarki norma hukum, Hans Kelsen mengemukakan teori mengenai jenjang norma hukum (Stufentheori). Hans Kelsen berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan) dalam arti, suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif yaitu Norma Dasar (Grundnorm).5

Dalam kehidupan bernegara, penting untuk menjaga konsistensi hukum atau peraturan perundang-undangan. Suatu produk hukum, tidak boleh bertentangan dengan produk hukum yang lebih tinggi (lex superiori derogat legi inferior). Kesatuan sistem hukum yang disusun secara hierarkis kelihatannya dipersoalkan ketika norma hukum di tingkat lebih rendah gagal menyesuaikan (baik penciptaannya atau muatannya) dengan norma di tingkat yang lebih tinggi.

1

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008, hlm. 169-170.

2

Dikutip Oleh Mahfud MD dalam tulisan Rambu Pembatas Dan Perluasan Kewenangan Mahkamah Konstitusi, Jurnal Hukum Nomor 4 Volume 16, tanpa tahun, hlm. 451-452.

3

Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Bandung: Alumni, 1986, hlm. 2.

4

Jimly Asshiddiqie, Gagasan Dasar Tentang Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, hlm. 8.

5

Dikutip oleh Maria Farida Indrati S. dalam buku Ilmu Perundang-Undangan Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan,

(2)

2 Dengan kata lain, ketika norma di tingkat yang lebih rendah berlawanan dengan determinasi yang mendasari urutan hierarkis norma-norma akan menjadi permasalahan. Permasalahan disini adalah masalah “norma bertentangan dengan norma”, yaitu undang-undang yang tidak konstitusional, peraturan tidak sah (perasturan yang bertentangan dengan undang-undang). Apabila sebuah undang-undang baik dalam cara penciptaannya maupun dalam muatannya gagal menyesuaikan diri dengan ketentuan-ketentuan konstitusi yang berlaku, undang-undang tersebut dapat dianggap sah atau dianggap tidak sah oleh penguasa yang ditunjuk misalnya oleh sebuah pengadilan konstitusional yang mempunyai kewenangan untuk menentukan sah atau tidak sahnya suatu undang-undang.6 Untuk menjaga konsistensi peraturan perundang-undangan, diperlukan keberadaan lembaga negara yang mempunyai kewenangan untuk mengawal dan menjaga agar suatu peraturan tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi (konsisten).

Hans Kelsen menyatakan bahwa pelaksanaan aturan konstitusional tentang legislasi dapat secara efektif dijamin hanya jika suatu organ selain badan legislatif diberikan tugas untuk menguji apakah suatu produk hukum itu konstitusional atau tidak, dan tidak memberlakukannya jika menurut organ ini produk hukum tersebut tidak konstitusional. Untuk itu dapat diadakan organ khusus seperti pengadilan khusus yang disebut mahkamah konstitusi (constitutional court), atau kontrol terhadap konstitusionalitas undang-undang (judicial review) diberikan kepada pengadilan biasa, khususnya Mahkamah Agung seperti di Amerika Serikat. Organ khusus yang mengontrol tersebut dapat menghapuskan secara keseluruhan undang-undang yang tidak konstitusional sehingga tidak dapat diaplikasikan oleh organ lain.7

Pada akhir abad ke-19 di Austria, George Jellinek mengembangkan gagasan agar kewenangan judicial review tersebut diterapkan di Austria, seperti yang telah diterapkan oleh John Marshal di Amerika. Pada tahun 1867, Mahkamah Agung Austria mendapatkan kewenangan menangani sengketa yuridis terkait dengan perlindungan hak-hak politik berhadapan dengan pemerintah. Hans Kelsen berpendapat bahwa perlu dibentuk suatu lembaga yang diberi nama Verfassungsgerichtshofth atau Mahkamah Konstitusi (Constitusional Court) yang berdiri sendiri di luar Mahkamah Agung, sehingga model ini sering disebut sebagai “The Kelsenian Model”.8

Edward F. Cooke dalam bukunya Detailed Analysis of the Constitution mengatakan bahwa: “judicial review refers to the action of a court in declaring an act of the legislature null and void, e.i., unconstitutional”.9

Baik dalam kepustakaan maupun dalam praktek dikenal adanya dua macam hak menguji, yaitu: (a) hak menguji formal (formele toetsingrecht) dan (b) hak menguji material (materiele toetsingrecht).10 Hak menguji formal adalah wewenang untuk menilai apakah suatu produk legislatif seperti undang-undang misalnya terjelma melalui cara-cara (procedure) sebagaimana telah ditentukan atau diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku ataukah tidak. Sedangkan, hak menguji material adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu.11

6

Hans Kelsen, Pengantar Teori Hukum, terj. Siwi Purwandari, Bandung: Nusa Media, 2012, hlm. 115-116.

7

Hans Kelsen, General Theory of Law and State, translated by: Anders Wedberg, New York: Russell & Russell, 1961, hlm. 157.

8

Jimly Asshiddiqie; M. Ali Safa‟at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Jakarta: Sekretarian Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006, hlm. 140.

9

Edward F. Cooke, Detailed Analysis of the Constitution, Littlefield, Adam & Co., Paterson, New Jersey, 1960, hlm. 16.

10

Ph. Kleintjes, Staatsinstellingen van Nederlansch Indie, Eeerste Deel, Amsterdam JH. De Bussy, 1917, hlm. 326-327, dikutip oleh Sri Soemantri, Hak Menguji Material di Indonesia, Bandung: Alumni, 1982, hlm. 5.

11

(3)

3 Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul di abad ke-20.12 Terkait dengan eksistensi Mahkamah Konstitusi di banyak negara, yang mempunyai kewenangan menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, dalam tulisan ini penulis akan membandingkan fungsi uji materil peraturan (judicial review) antara Mahkamah Konstitusi Indonesia dengan Mahkamah Konstitusi Perancis. Alasan penulis membandingkan Mahkamah Konstitusi Indonesia dengan Mahkamah Konstitusi Perancis adalah karena kedua dewan konstitusi tersebut sama-sama mempunyai kewenangan untuk melakukan judicial review. Dengan demikian ada persamaan fungsi yang dapat diperbandingkan. Perbandingan ini terdiri dari perbandingan secara komprehensif atau menyeluruh (perbandingan makro) dan perbandingan dengan skala kecil (perbandingan mikro).

Dalam penelitian mengenai perbandingan antara Mahkamah Konstitusi Indonesia dengan Dewan Konstitusi Perancis ini, Mahkamah Konstitusi Indonesia berkedudukan sebagai primum comparasionis. Sedangkan, Dewan Konstitusi Perancis berkedudukan sebagai secundum comparasionis. Selanjutnya, yang berkedudukan sebagai tertium comparasionis adalah fungsi pengujian undang-undang (judicial review).

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan, yaitu:

1. Untuk memberikan deskripsi mengenai fungsi dewan konstitusi sebagai lembaga yang berwenang untuk melakukan uji materil (judicial review) terhadap undang-undang kepada undang-undang dasar.

2. Untuk memberikan penjelasan mengenai perbedaan dan persamaan mengenai fungsi Mahkamah Konstitusi Indonesia dan Mahkamah Konstitusi Perancis sebagai lembaga yudikatif yang berwenang untuk melakukan judicial review terhadap undang-undang kepada undang-undang dasar.

3. Untuk memberikan pemahaman terhadap perbedaan dan persamaan fungsi Mahkamah Konstitusi Indonesia dan Mahkamah Konstitusi Perancis sebagai lembaga yudikatif yang berwenang untuk melakukan judicial review terhadap undang-undang kepada undang-undang dasar.

4. Untuk mengevaluasi fungsi Mahkamah Konstitusi Indonesia sebagai lembaga negara yang mempunyai kewenangan menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

PEMBAHASAN

A. Perbandingan Makro Antar Mahkamah Konstitusi Indonesia dengan Dewan

Konstitusi Perancis

1. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Latarbelakang Pembentukan Mahkamah Konstitusi RI

Pemikiran mengenai pentingnya suatu pengadilan konstitusi telah muncul dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia sebelum kemerdekaan. Pada saat pembahasan rancangan UUD di Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), anggota BPUPKI Prof. Muhammad Yamin telah mengemukakan pendapat bahwa Mahkamah Agung (MA) perlu diberi kewenangan untuk membanding Undang-Undang. Namun ide ini ditolak oleh Prof. Soepomo berdasarkan dua alasan, pertama, UUD yang sedang disusun pada saat itu (yang

12

(4)

4 kemudian menjadi UUD 1945) tidak menganut paham trias politika. Kedua, pada saat itu jumlah sarjana hukum kita belum banyak dan belum memiliki pengalaman mengenai hal ini.13

Pada saat pembahasan perubahan UUD 1945 dalam era reformasi, pendapat mengenai pentingnya suatu Mahkamah Konstitusi muncul kembali. Perubahan UUD 1945 yang terjadi dalam era reformasi telah menyebabkan MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara dan supremasi telah beralih dari supremasi MPR kepada supremasi konstitusi. Karena perubahan yang mendasar ini maka perlu disediakan sebuah mekanisme institusional dan konstitusional serta hadirnya lembaga negara yang mengatasi kemungkinan sengketa antarlembaga negara yang kini telah menjadi sederajat serta saling mengimbangi dan saling mengendalikan (checks and balances). Seiring dengan itu muncul desakan agar tradisi pengujian peraturan perundang-undangan perlu ditingkatkan tidak hanya terbatas pada peraturan di bawah undang-undang melainkan juga atas undang-undang terhadap UUD 1945. Kewenangan melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 itu diberikan kepada sebuah mahkamah tersendiri di luar Mahkamah Agung. Atas dasar pemikiran itu, adanya Mahkamah Konstitusi yang berdiri sendiri di samping Mahkamah Agung menjadi sebuah keniscayaan.14

Sejarah berdirinya lembaga Mahkamah Konstitusi diawali dengan diadopsinya ide Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) dalam amandemen konstitusi yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 2001. Sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 Ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B UUD 1945 hasil Perubahan Ketiga yang disahkan pada 9 Nopember 2001.15

Pasca Amandemen UUD 1945, yaitu amandemen ke-tiga yang dilakukan pada tahun 2001, wajah lembaga yudikatif (kekuasaan kehakiman) di Indonesia banyak mengalami perubahan. Pasca amandemen UUD 1945, kekuasaan kehakiman di Indonesia terdiri atas Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa pada umumnya keberadaan Mahkamah Konstitusi suatu negara tidak lepas dari sistem pemerintahan otoriter.16 Di negara Indonesia, Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka mempunyai peranan penting guna menegakkan konstitusi dan prinsip negara hukum sesuai dengan kewenangan dan kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945.17 Dalam UUD 1945, kekuasaan kehakiman (the judicial power) diatur dalam bab tersendiri, yaitu Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman. Bab ini terdiri dari lima pasal yaitu, Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B, Pasal 24C, dan Pasal 25.

Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, di samping Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 menetapkan bahwa, “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan”. Selanjutnya, Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 menetapkan bahwa, “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.

13

Asshiddiqie, supranote 4, hlm. 21.

14

Ibid.

15

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,supranote 12.

16

Dikutip oleh H. Achmad Surkati dalam tulisan Kedudukan dan Wewenang Mahkamah Konstitusi Ditinjau dari Konsep Demokrasi Konstitusional Studi Perbandingan di Tiga Negara (Indonesia, Jerman, dan Thailand, Jurnal Equality, No. 1 Vol. 11, Februari 2006, hlm. 43.

17

(5)

5 Dalam rangka melaksanakan amanat dalam Pasal 24C UUD 1945, pada tahun 2003 ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316). Selanjutnya, pada tahun 2011 dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, maka ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5226).

Wewenang, Tugas, dan Fungsi Mahkamah Konstitusi RI

Kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi melaksanakan prinsip checks and balances yang menempatkan semua lembaga negara dalam kedudukan setara sehingga terdapat keseimbangan dalam penyelenggaraan negara. Keberadaan Mahkamah Konstitusi merupakan langkah nyata untuk dapat saling mengoreksi kinerja antarlembaga negara. Dalam UUD 1945, ketentuan mengenai Mahkamah Konstitusi diatur dalam Pasal 24C, pasal tersebut terdiri dari enam ayat. Dalam Pasal 24C UUD 1945, pengeturan mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi terdapat pada Pasal 24C Ayat (1) dan Ayat (2).

Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 menetapkan bahwa, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.

Selanjutnya, Pasal 24C Ayat (2) UUD 1945 menetapkan bahwa, “Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar”.

Berdasarkan kelima wewenang yang dimiliki tersebut, Mahkamah Konstitusi memiliki fungsi sebagai penjaga konstitusi (the guardian of the constitution) hal itu sesuai dengan dasar keberadaan untuk menjaga pelaksanaan konstitusi. Fungsi tersebut membawa konsekuensi Mahkamah Konstitusi juga memiliki fungsi lain, yaitu sebagai penafsir konstitusi yang bersifat final (the final interpreter of the constitution). Selain itu, sesuai dengan materi muatan UUD 1945 yang meliputi aturan dasar kehidupan bernegara berdasarkan prinsip demokrasi dan jaminan terhadap perlindungan hak asasi manusia, Mahkamah Konstitusi juga memiliki fungsi sebagai pengawal demokrasi (the guardian of the democracy by protecting minority rights), pelindung hak konstitusional warga negara (the protector of the citizen‟s constitutional rights), serta pelindung hak asasi manusia (the protector of human rights).18

Dengan mencabut atau menyatakan tidak berlaku (cukup) satu dua pasal dari undang-undang, Mahkamah Konstitusi de facto membongkar dan menata ulang sistem atau tatanan yang hendak dibangun di dalam satu kesatuan peraturan perundang-undangan. Dengan kekuasaan “legislatif” seperti itu, kekuasaan kehakiman (muncul kehadapan masyarakat secara konkrit dalam putusan-putusan) diyakini dapat berfungsi sebagai kekuatan penyeimbang. Kehendak elite politik (pemerintah dan/atau DPR) yang muncul dalam kebijakan dan peraturan perundang-undangan dapat diuji dan dipertanyakan masyarakat melalui forum hak uji (material atau konstitusional).19

Kedudukan dan Susunan Mahkamah Konstitusi RI

Perihal susunan Mahkamah Konstitusi, UUD 1945 mengatur hal tersebut dalam Pasal 24C Ayat (3) dan Ayat (4). Pasal 24C Ayat (3) UUD 1945 menetapkan bahwa, “Mahkamah

18

Asshiddiqie, Supranote 4, hlm. 24.

19

(6)

6 Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden”.

Pasal 24C ayat (4) UUD 1945 menetapkan bahwa, “Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim konstitusi”.

Komposisi keanggotaan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia ditentukan oleh tiga institusi kenegaraan, yaitu: (i) tiga orang oleh Mahkamah Agung, (ii) tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan (iii) tiga orang oleh Presiden.

Hakim konstitusi sangat berbeda dari hakim biasa yang merupakan hakim karena profesi atau judges by profession. Sedangkan hakim konstitusi adalah hakim karena jabatan lima tahunan.20 Selanjutnya, dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi diatur lebih lanjut mengenai susunan Mahkamah Konstitusi. Ketentuan mengenai susunan Mahkamah Konstitusi Indonesia terdapat dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dalam Pasal 4 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi ditetapkan bahwa Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Susunan Mahkamah Konstitusi terdiri atas seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, dan tujuh orang anggota hakim konstitusi.

Dalam Pasal 4 Ayat (3) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi juga ditetapkan bahwa Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh anggota hakim konstitusi untuk masa jabatan selama dua tahun enam bulan terhitung sejak tanggal pengangkatan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi. Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi yang terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama untuk 1 (satu) kali masa jabatan. Sebelum Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terpilih, rapat pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipimpin oleh hakim konstitusi yang paling tua usianya.21

Persyaratan untuk menjadi hakim di Mahkamah Konstitusi RI tercantum dalam Pasal 15 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Sebagaian dari persyaratan tersebut adalah: (a) warga Negara Indonesia, (2) berijazah doktor dan magister dengan dasar sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum, (3) berusia paling rendah 47 tahun dan paling tinggi 65 tahun pada saat pengangkatan, dan lain-lain.22

2. Dewan Konstitusi Perancis (Conseil Constitutionnel)

Latarbelakang Pembentukan Dewan Konstitusi Perancis

Dewan Konstitusi Perancis didirikan pada 1958 yang bertepatan dengan berlakunya Konstitusi Republik Kelima. Semula ide pembentukan organ ini memang didesain untuk melucuti kekuasaan Parlemen. Oleh karena itu, organ yang disebut Conseil Constitutionnel sering pula dikatakan sebagai bentuk paling muktahir dari sistem pengujian konstitusional.23

20

Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, hlm. 154.

21

Lebih lanjut lihat Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011. Pasal tersebut terdiri dari sebelas ayat yang mengatur mengenai susunan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, termasuk mengenai tata cara pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

22

Lebih lanjut guna mengetahui persyaratan untuk menjadi hakim konstitusi lihat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dalam undang-undang tersebut, ketentuan mengenai persyaratan untuk menjadi hakim konstitusi tercantum pada Pasal 15 Undang-Undang tersebut.

23

(7)

7 Sejak dibentuk, lembaga inilah yang sering dikaitkan dengan „mahkamah konstitusi‟ Perancis, meskipun sebutannya adalah „dewan‟ (conseil), bukan „mahkamah‟ (cour).24

Ahli hukum tata negara Perancis, Jhon Bell dalam bukunya Frnech Constitutional Law, mengatakan bahwa:25“The creation of the Conseil Constitutionnel was originally intended as an additional mechanism to ensure executive by keeping Parliament within constitutional role”. Dewan Konstitusi Perancis adalah organ yang merdeka dari pengaruh kekuasaan Parlemen. Dan putusannya bersifat final serta mengikat organ-organ lain. Dewan Konstitusi Perancis adalah benteng terdepan dari potensi produktivitasnya sistem hukum yang tidak konstitusional.26

Wewenang, Tugas, dan Fungsi Dewan Konstitusi Perancis

Keberadaan Dewan Konstitusi Perancis (Conseil Constitutionnel) secara yuridis diatur dalam Konstitusi Republik Kelima Perancis 1958. Dalam konstitusi Perancis tersebut, Conseil Constitutionnel diatur dalam Bab VII tentang Dewan Konstitusi (Title VII: The Constitutional Council). Bab tersebut terdiri dari delapan pasal, yaitu Pasal 56 sampai dengan Pasal 63.27 Dalam konstitusi Perancis28, kewenangan Conseil Constitutionnel daiatur dalam Pasal 61, yang pada intinya menetapkan bahwa, sebelum suatu undang-undang organik dinyatakan berlaku, terlebih dahulu harus disampaikan kepada Conseil Constitutionnel.

Dewan Konstitusi Perancis mengawasi jangkauan masing-masing la loi (undang-undang) dan le regelment (peraturan). Paradigma ini menentukan bahwa Dewan Konstitusi memiliki tanggung jawab penuh dalam menguji tingkat keselarasan produk hukum dengan konstitusi. Hal itu meliputi undang-undang organik (secara umum) dan peraturan tata tertib permanen National Assembly dan Senate. Disamping itu, pengujian juga dapat diarahkan kepada perjanjian internasional (Article 54)29 yang dibuat oleh pemerintah. Kewenangan untuk meratifikasi atau menyetujui perjanjian internasional oleh dewan berlaku sejak perubahan Konstitusi tahun 1974. Berdasarkan ketentuan yang berlaku, rancangan undang-undang organik yang dinilai dan dinyatakan tidak konstitusional tidak dapat diberlakukan lagi. Putusan Dewan Konstitusi itu sendiri bersifat final dan mengikat terhadap seluruh kekuasaan publik, kewenangan administratif maupun badan peradilan umum lainnya (Lihat Pasal 62 Konstitusi Republik Kelima Perancis 1958).30

Kekuasaan serta kewenangan Conseil Constitutionnel ini tidak hanya terbatas untuk menyatakan suatu undang-undang bertentangan dengan konstitusi. Disamping kekuasaan dan wewenang tersebut, Conseil Constitutionnel juga berwenang untuk: (a) menjamin atau mengamankan (to ensure) pemilihan Presiden Perancis (Pasal 58), (b) menjamin dan mengamankan pemilihan anggota-anggota National Assembly dan Senate (Pasal 59), (c) menjamin dan mengamankan prosedur referendum (Pasal 60).31

Kedudukan dan Susunan Dewan Konstitusi Perancis

24

Jimly Asshiddiqie, Sejarah Constitutional Review dan Gagasan Pembentukan Mahkamah Konstitusi, (http://www.jimlyschool.com/read/analisis/276/sejarah-constitutional-review-gagasan-pembentukan-mk/), diakses pada 13/12/2014.

25

Dikutip oleh Jimly Asshiddiqie, dalam buku Peradilan Konstitusi di 10 Negara.

26

Asshiddiqie, supranote 23,hlm. 137.

27

Lebih lanjut lihat Konstitusi Republik Kelima Perancis 1958 (France Constitution of October 4, 1958).

28

Conseil Constitutionnel, Constitution of 4 October 1958, (http://www.conseil-constitutionnel.fr/conseil-constitutionnel/english/constitution/constitution-of-4-october-1958.25742.html) diakses pada 11/12/2014.

29

Pasal 54 Konstitusi Republik Perancis 1958: “if, on reference from the President of the Republic, the Prime Minister, or the President of either chamber, or 60 deputies or senator, the Conseil constitutionnel declares that an international agreement includes a clause contrary to the Constitution, authorization to ratify or approve it may only be given after a revision of the Constituion”.

30

Asshiddiqie, supranote 23,hlm. 155.

31

(8)

8 Di dalam sistem konstitusi Perancis, jelas tercantum ketentuan mengenai „Cour de‟Cassation‟ yang terpisah keberadaannya dari „Conseil Constitutionnel‟.32 „Cour de‟Cassation‟ adalah Mahkamah Agung, lembaga peradilan, sedangkan „Conseil Constitutionnel‟ bukan pengadilan, melainkan lembaga politik. Karena itu sebutannya bukan „cour‟ (pengadilan) tetapi „conseil‟ (dewan). Perbedaan karakter politik atau hukum dari kedua lembaga ini jelas terlihat pula dalam pola susunan keanggotaan keduanya. Jika di Mahkamah Agung, seluruh anggotanya adalah ahli hukum dan berprofesi sebagai hakim, maka dalam susunan keanggotaan „Conseil Constitutionnel‟ tidak demikian. Anggotanya dapat berasal dari partai politik atau birokrat dan sebagainya, meskipun sebagian terbesar di antaranya selalu para ahli hukum. Memang pada hakikatnya fungsi-fungsi yang dijalankan oleh lembaga pengawal konstitusi Perancis ini bukanlah fungsi-fungsi peradilan dalam arti yang lazim. Dalam sistem konstitusi Perancis, lembaga ini lebih bersifat semi-peradilan.33 Maurice Duverger menyatakan bahwa Dewan Konstitusi sebenarnya adalah lembaga politik. Artinya, institusi tersebut semata-mata dibentuk untuk memenuhi kepentingan yang bersifat politik.34

Ketentuan konstitusional yang relevan dengan mekanisme rekrutmen dan komposisi (susunan) Dewan Konstitusional seperti termaktub dalam Konstitusi Republik Kelima Perancis 1958 telah diatur dalam Pasal 56, sebagai berikut:

The constitutional Council is composed of 9 members who serve 9 year, nonrenewable terms. Three of its are namaed by the President of the Republic, three by the President of Nationall Assembly, three by the President of the Senate. In addition to the 9 members of the Constitutional Council”.

Komposisi keanggotaan Dewan Konstitusi Perancis ditentukan oleh tiga institusi kenegaraan, yaitu: (i) tiga orang diangkat oleh Presiden, (ii) tiga orang diangkat oleh Ketua Majelis Nasional, dan (iii) tiga orang diangkat oleh Ketua Senat.

Keanggotaan mantan Presiden dalam Dewan Konstitusi adalah seumur hidup, sedangkan masa jabatan Sembilan anggota Dewan Konstitusional tidak boleh lebih dari sembilan tahun. Artinya anggota dewan tidak dapat diangkat kembali. Jadi, hanya untuk satu kali masa jabatan. Namun, pemberhentian atau berakhirnya masa jabatan Sembilan anggota dewan tidak dilakukan secara serentak pada waktu yang bersamaan. Melainkan sepertiga dari anggota berhenti tiap tiga tahun sekali. Artinya, tiap tiga tahun aka nada tiga orang anggota baru yang menggantikan tiga orang anggota yang berhenti.35

Bagi ketentuan yang berlaku di Perancis, untuk menjadi anggota Dewan Konstitusi hanya dipersyaratkan bagi mereka yang telah berusia di atas 18 tahun dan tidak ada kriteria formal lainnya yang diperlukan untuk mengisi keanggotaan dewan. Dengan Perkataan lain, mekanisme pengangkatan yang berlaku di Perancis sama sekali tidak menggambarkan kondisi yang dapat digunakan sebagai instrumen preventif untuk menolak seorang kandidat menjadi anggota Dewan Konstitusi. Dalam praktik yang berkembang dewasa ini, kriteria umum untuk mengisi komposisi Dewan Konstitusi dilakukan melalui afiliasi politik. Akibatnya, keanggotaan dewan didominasi oleh politis profesional. Data statistik yang dibuat oleh Stone dari 1958 hingga 1988, memperlihatkan 41 orang anggota yang telah diangkat menjadi anggota dewan, 59% di antaranya atau setara dengan 24 orang, diangkat dari alumni parlemen dan kabinet pemerintahan Perancis. Kriteria tersebut memperlihatkan bahwa di Perancis tidak berlaku persyaratan khusus untuk menjadi seorang Dewan Konstitusional. Meskipun terdapat diantara mereka yang berpendidikan hukum, tetapi syarat pendidikan formal hukum bukan suatu keharusan.36

32

Lihat Undang-Undang Dasar Perancis (Konstitusi Republik Perancis 1958).

33

Asshiddiqie, supranote 24.

34

Asshiddiqie, supranote 23,hlm. 151.

35

Asshiddiqie, supranote 23,hlm. 153.

36

(9)

9

B. Perbandingan Mikro Antar Mahkamah Konstitusi Indonesia dengan Dewan Konstitusi

Perancis

1. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Fungsi Pengujian Peraturan

Pasal 22A UUD 1945 menetapkan bahwa, “Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur lebih lanjut dengan undang-undang”. Dalam rangka melaksanakan amanat konstitusi tersebut, maka pada tahun 2011 ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5234). Undang-Undang tersebut ditetapkan dengan tujuan untuk memberikan tuntunan bagi lembaga yang memiliki kewenang untuk membuat peraturan. Dalam undang-undang tersebut diatur mengenai jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan. Pengaturan mengenai jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan terdapat dalam ketentuan Bab III tentang Jenis, Hierarki, dan Materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan. Selanjuntnya, Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menetapkan bahwa, “Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota”.

Peraturan yang lebih lendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, yaitu UUD 1945 (lex superiori derogat legi inferior). Hal tersebut bertujuan agar menjaga konsistensi peraturan yang berlaku. Agar tidak terjadi tumpang tindih antara satu peraturan dengan peraturan lainnya (yang lebih tinggi). Peraturan yang lebih rendah harus menyesuaikan dengang peraturan yang lebih tinggi. Apabila suatu peraturan dirasa bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, maka dapat dilakukan pengujian terhadap peraturan yang dianggap bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi tersebut (judicial review).

Di Indonesia, pengujian peraturan (judicial review) dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Lalu, apa perbedaan antara judicial review yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung?. Jawabannya adalah, Mahkamah Konstitusi berwenang melakukan pengujian terhadap undang-undang yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Sedangkan, Mahkamah Agung berwenang melakukan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang dianggap bertentangan dengan undang-undang. Pada bagian dari tulisan ini penulis akan membahas mengenai Mahkamah Konstitusi yang mempunyai kewenangan untuk melakukan judicial review.

(10)

10 melanggar hak-hak konstitusional warga negara. Inilah yang disebut judicial review yang merupakan wewenang.37

Pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar dapat meliputi pengujian formil ataupun pengujian materiil. Pasal 51 ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menetapkan bahwa, “Dalam permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa:

a. Pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan a. berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan/atau

b. Materi muatan dalam ayat, pasal, dan atau bagian undang-b. undang yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” I Dewa Gede Palguna berpendapat bahwa dalam pengujian formil harus dibuktikan bahwa pembentukan suatu undang-undang bertentangan dengan UUD 1945, dan jika terbukti maka keseluruhan undang-undang itu akan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Sedangkan pengujian materiil, terkait dengan bagian tertentu dari undang-undang itu yang dipandang bertentangan dengan UUD 1945 dan jika terbukti maka bagian itu saja yang akan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.38 Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa pengujian materiil dapat dilakukan terhadap keseluruhan undang-undang, ataupun bagian-bagian tertentu. Bagian-bagian itu meliputi bab, pasal, ayat, frasa, kata, ataupun bahkan tanda baca. Selain itu juga dimungkinkan dilakukan pengujian terhadap penjelasan dan lampiran, bahkan mungkin juga ada pengujian terhadap konsideran suatu undang-undang.39

Kewenangan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia untuk Melakukan Pengujian

Peraturan (Judicial Review)

Salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945. Secara yuridis, kewenangan Mahkamah Konstitusi tersebut terdapat dalam ketentuan:

a. Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945;

b. Pasal 10 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.;

c. Pasal 29 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Nomor 157 Tahun 2009, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5076);

d. Pasal 9 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 menetapkan bahwa, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”. Diantara beberapa kewenangan Mahkamah Konstitusi yang terdapat dalam ketentuan Pasal 24C Ayat (1), dalam

37

Hamdan Zoelvah, Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint) dalam Sistem Peradilan di Indonesia, Jurnal Sekretariat Negara Republik Indonesia, Nomor 16, Mei 2010, hlm. 47.

38

Dikutip Oleh Muchamad Ali Safa‟at dalam Pengujian Ketentuan Penghapusan Norma dalam Undang-Undang, Jurnal Konstitusi, No. 1, Vol. 7, Februari 2010, hlm. 8-9.

39

(11)

11 tulisan ini penulis akan berfokus pada salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi yaitu menguji undang-undang terhadapUndang-Undang Dasar. Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memutuskan apakah suatu undang-undang bertentangan atau tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Mahkamah Konstitusi.Kewenangan pertama Mahkamah Konstitusi sering disebut sebagai “judicial review”. Namun istilah ini harus diluruskan dan diganti dengan istilah “constitutional review” atau pengujian konstitusional mengingat bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945. Per definisi, konsep “constitutional review” merupakan perkembangan gagasan modern tentang sistem pemerintahan demokratis yang didasarkan atas ide negara hukum (rule of law), prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power), serta perlindungan hak asasi manusia (the protection of fundamental rights). Dalam sistem “constitutional review” itu tercakup dua tugas pokok, yaitu:40

1. Menjamin berfungsinya sistem demokrasi dalam hubungan peran atau “interpaly” antara cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Constitutional review dimaksudkan untuk mencegah dominasi kekuasaan dan/atau penyahgunaan kekuasaan oleh salah satu cabang kekuasaan.

2. Untuk melindungi setiap individu warga negara dari penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga negara yang merugikan hak-hak fundamental mereka yang dijamin dalam konstitusi.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011, mengatur mengenai prosedur pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Undang-undang yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah undang-undang yang diundangkan setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku, sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disampaikan kepada DPR, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden, dan Mahkamah Agung. Jika diperlukan perubahan terhadap undang-undang yang telah diuji, DPR atau Presiden segera menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.

Pihak yang Dapat Mengajukan Permohonan Judicial Review kepada Mahkamah

Konstitusi RI

Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:41

a. perorangan warga negara Indonesia;

b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;

c. badan hukum publik atau privat; atau d. lembaga negara.

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

40

Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusi di Berbagai Negara, Jakarta: Konstitusi Perss, 2005, hlm. 10-11.

41

(12)

12 Sebagaimana telah dipaparkan pada bahasan sebelumnya bahwa salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia adalah melakukan pengujian undang-undang kepada UUD 1945. Hasil (output) dari pengujian yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi RI selanjutnya dicantumkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi RI.

Ada beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi RI yang dinilai melampaui batas kewenangan dan masuk ke ranah legislatif, padahal putusan Mahkamah Konstitusi RI bersifat final dan mengikat. Disamping itu, pengaturan konstitusi tentang pengujian peraturan perundang-undangan telah sedikit merancukan konsentrasi kekuasaan kehakiman dalam penanganan antara konflik peraturan dan konfil orang dan atau lembaga. Masih ada permasalahan lain yakni adanya Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 005/PUU-V/2006 yang mengeluarkan hakim-hakim Mahkamah Konstitusi dari obyek pengawasan Komisi Yudisial.42

Untuk masalah yang pertama, ada beberapa putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat ultra petita (tidak diminta) yang mengarah pada intervensi ke dalam bidang legislasi, ada juga putusan yang dapat melanggar asas nemo judex in causa sua (larangan memutus hal-hal yang menyangkut dirinya sendiri).43 Dengan dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 005/PUU-V/2006 yang memutuskan mengeluarkan hakim-hakim Mahkamah Konstitusi dari obyek pengawasan Komisi Yudisial menurut hemat penulis putusan ini melanggar asas nemo judex in causa sua. Putusan tersebut mencerminkan bahwa Mahkamah Konstitusi RI adalah lembaga negara yang berkedudukan sebagai lembaga negara „setengah dewa‟. Dengan dikeluarkannya putusan tersebut juga menunjukan bahwa Mahkamah Konstitusi mengatur agar dirinya tidak menjadi obyek pengawasan dari Komisi Yudisial. Dalam memutus perkara pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, Mahkamah Konstitusi perlu mempertimbangkan maksud serta tujuan dari para perumus Undang-Undang Dasar (dalam hal ini adalah kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau MPR).

Sejak dibentuknya Mahkamah Konstitusi, yaitu pasca perubahan ke-tiga UUD 1945, telah cukup banyak undang-undang yang dimintakan judicial review. Dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2014, Mahkamah Konstitusi telah melakukan judicial review sebanyak 329 undang-undang.44 Lalu, apakah yang harus dipikirkan agar undang-undang tidak sering dimintakan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi?. Sri Soemantri berpendapat bahwa, DPR sebagai lembaga legislasi perlu tambahan tenaga yang mempunyai kualifikasi tertentu, khususnya dalam bidang ilmu perundang-undangan, teori konstitusi, dan hukum konstitusi. Apabila hal tersebut sudah dapat dilakukan, kualitas undang-undang yang dihasilkan akan jauh lebih baik dibandingkan sebelumnya. Di samping itu, dengar pendapat dengan para pakar dari berbagai perguruan tinggi dan lain-lain kelomppok dalam masyarakat juga perlu diintensifkan. Apabila pembentukan undang-undang sudah dilakukan seperti dikemukakan diatas, kualitasnya akan jauh lebih baik, sehingga kemungkinannya sangat kecil untuk dimintakan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.45

2. Dewan Konstitusi Perancis

Kewenangan untuk Melakukan Pengujian Peraturan (Judicial Review)

Secara konstitusional Dewan bukanlah satu-satunya organ penjamin konstitusi. Karena jika dicermati secara teliti diktum Pasal 5 Konstitusi Republik Kelima (1958). Presiden Republik Perancis juga tugas untuk menegak dan menghormati konstitusi. Bunyi Pasal 5 itu, antara lain

42

Mahfud MD; Jazim Hamidi; I Dewa Gede Palguna; Muchamad Ali Safa‟at; Mustafa Lutfi, Constitutional Question Alternatif Baru Pencara Keadilan Konstitusional, Malang: Universitas Brawijaya Press, 2010, hlm. 13.

43

Ibid.

44

Data Rekapitulasi Perkara Pengujian Undang-Undang diperoleh penulis dari website Mahkamah Konstitusi (http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.RekapPUU) diakses pada 14/12/2014.

45

(13)

13 menandaskan: “The President of the Republic shall ensure the respect of the Constitution”. Berlandaskan pada ketentuan pasal ini, maka sewaktu-waktu presiden dapat mengamankan kebijaksannya sendiri melalui upaya justifikasi konstitusional suatu tanggung jawab untuk menghormati konstitusi selain dari Dewan Konstitusi. Melalui ketentuan tersebut, Presiden Republik Perancis juga diasumsikan sebagai pelindung konstitusi. Bahkan di bawah situasi tertentu pemerintah melalui kekuatannya di parlemen, memiliki kekuasaan untuk menjatuhkan penilaian definitif terhadap konstitusionalitas suatu rancangan undang-undang (bills) sebelum diundangkan. Hal ini dapat dilaksanakan oleh pemerintah dan presiden masing-masing komisi dalam dua kamar. Melalui mekanisme motion d‟irrecevabilitie (mosi tidak dapat menerima) mereka dapat menyatakan bahwa rancangan undang-undang yang telah diusulkan oleh parlemen itu tidak dapat diterima (motion d‟irrecevabilitie). 46

Hak uji material di Perancis mempunyai sifat yang khas dan dilakukan oleh sebuah lembaga khas.47 Sehubungan dengan persoalan ini Herman Finer mengatakan:48 “Even the Fifth Republic does not institute the judicial guarantee of constitutionality; decisions of constitutionality are reserved for the Constitutional Council”.

Dewan Konstitusi (Conseil Constitutionnel) untuk menjalankan fungsi pengujian konstitusionalitas. Pada mulanya, Perancis termasuk bersama-sama dengan Inggris dan Belanda dikenal sebagai penentang keras gagasan memberikan kewenangan kepada hakim atau pengadilan untuk melakukan pengujian konstitusionalitas atas undang-undang. Namun dalam perkembangan di kemudian hari, ide pengujian konstitusionalitas itu sendiri diterima, tetapi sebagai alternatifnya, sistem pengujian itu tidak dilakukan oleh hakim atau lembaga peradilan, melainkan oleh lembaga non-peradilan. Karena itu, yang dirumuskan dalam Konstitusi Perancis bukan „cour‟ (pengadilan), melainkan „conseil‟ (dewan), sehingga dibentuk lembaga „Conseil Constitutionnel‟, bukan „Cour Constitutionnel‟.49

Pihak yang Dapat Mengajukan Permohonan Judicial Review kepada Dewan Konstitusi

Perancis

Sebagaimana telah dipaparkan pada bahasan sebelumnya bahwa Conseil Constitutionnel terdiri dari semua mantan Presiden Perancis dan Sembilan anggota tambahan. Dewan Konstitusi Perancis tersebut dapat menyatakan bahwa suatu usulan undang-undang bertentangan dengan Konstitusi, namun Dewan hanya boleh mempertimbangkan perkara itu atas permintaan Presiden Republik, Perdana Menteri, ketua salah satu dari dua majelis dalam parlemen Perancis (National Assembly dan Senate), atau suatu kelompok yang terdiri dari sekurang-kurangnya 60 anggota dari tiap-tiap majelis tersebut.50

Putusan Dewan Konstitusi Perancis

Pasal 62 Konstitusi Republik Kelima Perancis menyatakan bahwa ketentuan hukum yang telah dinyatakan tidak konstitusional oleh Dewan Konstitusi, selanjutnya ketentuan tersebut tidak dapat berlaku atau diimplementasikan. Putusan Dewan memiliki aspek yang secara efektif mengikat rancangan undang-undang yang diusulkan presiden, maupun terhadap perjanjian internasional yang dibuat oleh pemerintah. Begitu pula persoalannya dengan rancangan undang-undang yang telah diusulkan oleh pemerintah sebagai pelaksana mandat perlemen. Secara

46

Asshiddiqie, supranote 23,hlm. 158.

47

Sri Soemantri, supranote 11, hlm. 32.

48

Dikutip oleh Sri Soemantri dalam Hak Menguji Material di Indonesia, Bandung: Penerbit Alumni, 1982, hlm 32.

49

Asshiddiqie, supranote 24.

50

(14)

14 konstitusional putusan Dewan Konstitusi juga berkekuatan final dan mengikat atas rancangan undang-undang yang diusulkan oleh pemerintah.51

KESIMPULAN

Dari serangkaian pembahasan yang telah dibahas pada bagian-bagian sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat persamaan maupun perbedaan antara dewan konstitusi di Indonesia dengan di Perancis. Selanjutnya, beranjak dari persamaan dan perbedaan tersebut, penulis akan memberikan evaluasi.

Persamaan tersebut antara lain adalah: (1) baik Mahkamah Konstitusi RI dan Dewan Konstitusi Perancis (Conseil Constitutionnel) mempunyai kewenangan untuk melakukan pengujian undang-undang terhdap Undang-Undang Dasar, (2) Putusan Mahkaman Konstitusi RI dan Conseil Constitutionnel bersifat final dan mengikat (final and binding), (3) Kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar yang diemban oleh Mahkamah Konstitusi RI dan Conseil Constitutionnel Perancis adalah kewenangan yang diatur dalam konstitusi masing-masing negara.

Disamping persamaan, terdapat pula perbedaan antara Mahkamah Konstitusi RI dengan Conseil Constitutionnel Perancis. Perbedaan tersebut antara lain adalah: (1) Mahkamah Konstitusi RI adalah lembaga yudikatif, sedangkan Conseil Constitutionnel adalah lembaga politik, (2) Para Hakim Konstitusi di Mahkamah Konstitusi RI haruslah orang yang mempunyai latarbelakang pendidikan hukum, sedangkan anggota Conseil Constitutionnel tidak harus berasal dari orang yang mempunyai latarbelakang pendidikan hukum, (3) Komposisi Mahkamah Konstitusi RI adalah sembilan orang Hakim Konstitusi (termasuk didalamnya Ketua dan Wakil Ketua merangkap sebagai anggota), sedangkan komposisi Conseil Constitutionnel adalah sembilan orang anggota dewan ditambah mantan Presiden Preancis sebagai anggota ex-officio. (4) Mahkamah Konstitusi RI berwenang untuk melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, sedangkan Conseil Constitutionnel berwenang untuk melakukan pengujian terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) terhadap Undang-Undang Dasar. Disamping berwenang untuk menguji RUU terhadap Undang-Undang Dasar, Conseil Constitutionnel juga berwenang untuk menguji perjanjian internasional yang hendak diratifikasi oleh Pemerintah, (5) Di Indonesia, Pihak yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu perorangan warga negara Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum publik atau privat, atau lembaga negara. Sedangkan, di Perancis, pihak yang dapat mengajukan permohonan pengujian RUU terhadap Undang-Undang Dasar adalah Presiden Republik, Perdana Menteri, ketua salah satu dari dua majelis dalam parlemen Perancis (National Assembly dan Senate), atau suatu kelompok yang terdiri dari sekurang-kurangnya 60 anggota dari tiap-tiap majelis tersebut.

Mahkamah Konstitusi RI dibentuk atas amanat UUD 1945 (amandemen ke-tiga, 2001). Salah satu wewenang Mahkamah Konstitusi RI adalah melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 menetapkan bahwa, “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Sebagai negara hukum Indoesia perlu mengatur jalannya kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara melalui produk hukum. Produk hukum yang ada tidak boleh bertentangan antara satu dengan yang lainnya.

Fungsi dari pemberian wewenang pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar pada Mahkamah Konstitusi adalah untuk menjaga konsistensi peraturan perundang-undangan. Agar undang-undang tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, yaitu Undang-Undang Dasar (lex superiori derogate legi inferiori). Dalam menjalankan fungsinya tersebut, terdapat kejadian dimana Mahkamah Konstitusi yang berperan sebagai lembaga

51

(15)

15 penafsir Undang-Undang Dasar menggunakan fungsi tersebut untuk menguntungkan dirinya sendiri. Sebagaimana telah disinggung pada pembahasan sebelumnya yaitu, Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 005/PUU-V/2006 yang mengeluarkan hakim-hakim Mahkamah Konstitusi dari obyek pengawasan Komisi Yudisial. Seyogiyanya, Mahkamah Konstitusi perlu mempertimbangkan apa yang menjadi maksud dan tujuan dari lembaga MPR sebagai lembaga yang berwenang untuk mengubah dan menetapakan UUD 1945.

Salah satu perbedaan yang tampak dari perbandingan antara Mahkamah Konstitusi Indonesia dengan Conseil Constitutionnel Perancis adalah kewenangan Conseil Constitutionnel Perancis dalam menguji RUU dan perjanjian internasional yang hendak diratifikasi oleh Pemerintah Perancis. Menurut hemat penulis, Mahkamah Konstitusi RI perlu memiliki kewenangan untuk menguji perjanjian internasional yang hendak diratifikasi seperti halnya yang dimiliki oleh Conseil Constitutionnel Perancis (Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 33/PUU-IX/2011 memutuskan bahwa undang-undang pengesahan perjanjian internasional adalah jenis undang-undang yang tidak dapat dimohonkan untuk diuji di Mahkamah Konstitusi). Sehingga, sebelum perjanjian internasional diratifikasi, baik Presiden, DPR, dan Mahkamah Konstitusi dapat saling berkoordinasi untuk menilai apakah suatu perjanjian internasional layak untuk diratifikasi atau tidak. Koordinasi tersebut diperlukan, mengingat Indonesia mempunyai kepentingan nasional, yang salah satunya adalah memajukan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Sedangkan, beberapa ahli menilai bahwa beberapa perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia tidak membawa manfaat serta keuntungan bagi Indonesia. Bahkan ada yang menyatakan bahwa beberapa perjanjian Internasional ada yang bertentangan dengan kepentingan nasional.

(16)

16 DAFTAR PUSTAKA

Buku-Buku

Edward F. Cooke, Detailed Analysis of the Constitution, New Jersey: Littlefield, Adam & Co., 1960.

Hamdan Zoelvah, Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint) dalam Sistem Peradilan di Indonesia, Jurnal Sekretariat Negara Republik Indonesia, Nomor 16, Mei 2010.

Hans Kelsen, General Theory of Law and State, translated by: Anders Wedberg, New York: Russell & Russell, 1961.

Hans Kelsen, Pengantar Teori Hukum, terj. Siwi Purwandari, Bandung: Nusa Media, 2012. Jimly Asshiddiqie; M. Ali Safa‟at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Jakarta: Sekretarian

Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006.

Jimly Asshiddiqie, Gagasan Dasar Tentang Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2005.

Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusi di Berbagai Negara, Jakarta: Konstitusi Perss, 2005.

Jimly Asshiddiqie; Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi di 10 Negara, Jakarta: PT Sinar Grafika, 2012.

Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

Mahfud MD; Jazim Hamidi; I Dewa Gede Palguna; Muchamad Ali Safa‟at; Mustafa Lutfi, Constitutional Question Alternatif Baru Pencara Keadilan Konstitusional, Malang: Universitas Brawijaya Press, 2010.

Maria Farida Indrati S. dalam buku Ilmu Perundang-Undangan Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Yogyakarta: PT Kanisius, 2007.

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008. Michael Bodgan, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, terj. Derta Sri Widowatie, Bandung:

Nusa Media, 2010.

Sri Soemantri, Hak Menguji Material di Indonesia, Bandung: Alumni, 1982.

Sri Soemantri, Hukum Tata Negara Indonesia Pemikiran dan Pandangan, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014.

Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Bandung: Alumni, 1986.

Internet

Conseil Constitutionnel, Constitution of 4 October 1958, (http://www.conseil- constitutionnel.fr/conseil-constitutionnel/english/constitution/constitution-of-4-october-1958.25742.html) diakses pada 11/12/2014.

Jimly Asshiddiqie, Sejarah Constitutional Review dan Gagasan Pembentukan Mahkamah Konstitusi, (http://www.jimlyschool.com/read/analisis/276/sejarah-constitutional-review-gagasan-pembentukan-mk/), diakses pada 13/12/2014.

Legifrance, Journal Officiel de la Republique Francaise, (http://www.legifrance.gouv.fr/jopdf/common/jo_pdf.jsp?numJO=0&dateJO=19581005 &pageDebut=09151&pageFin=null&pageCourante=09164) diakses pada 11/12/2014. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Data Rekapitulasi Perkara Pengujian

(17)

17 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Sejarah Pembentukan Mahkamah Konstitusi,

(http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.ProfilMK&id=1), diakses pada 06/12/2014.

Jurnal, Tulisan Lepas, dan Pidato Ilmiah

H. Achmad Surkati, Kedudukan dan Wewenang Mahkamah Konstitusi Ditinjau dari Konsep Demokrasi Konstitusional Studi Perbandingan di Tiga Negara (Indonesia, Jerman, dan Thailand, Jurnal Equality, No. 1 Vol. 11, Februari 2006.

Mahfud MD, Rambu Pembatas Dan Perluasan Kewenangan Mahkamah Konstitusi, Jurnal Hukum No. 4 Vol. 16, tanpa tahun.

Muchamad Ali Safa‟at dalam Pengujian Ketentuan Penghapusan Norma dalam Undang-Undang, Jurnal Konstitusi, No. 1, Vol. 7, Februari 2010.

Tristam Pascal Moeliono, Putusan Pengadilan: Dalam Dialog tentang Hukum dan Keadilan, disampaikan dalam Pidato Orasi Dies Natalis Ke-56 Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung 2014.

Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Amandemen IV).

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316).

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Nomor 157 Tahun 2009, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5076).

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5226).

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5234).

Putusan Pengadilan

Referensi

Dokumen terkait

belum bisa mengisi kesepian dalam hati manusia. 1) Pesan Dakwah Lirik Keempat Lagu Lubang di Hati.. 94 Ketika kita sama-sama bertanya kepada akal, kita sering

Tujuan penyemprotan oli tidak lain lagi untuk mendinginkan piston ketika mesin dalam kondisi bekerja (arapannya supaya suhu piston tetap terjaga dalam artian suhu piston

1) Mengevaluasi sistem penilaian karyawan. 2) Penegakan disiplin dan pelaksanaan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan. 3) Merancang program-program penghargaan bagi

Data Kelahiran hidup di Kabupaten Karimun pada tahun 2014 tercatat sebanyak 4.890 kelahiran dan terdapat 45 kasus lahir mati yang terdiri dari 22 bayi laki-laki dan 23

Hal ini sangat penting dilakukan untuk mengetahui bagaimana kualitas pelayanan publik yang saat ini diberikan oleh Kecamatan Natar dalam memenuhi kebutuhan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh positif dan tidak signifikan variabel profesionalisme sebesar 0,184 dengan nilai signifikan sebesar 0,086>0,05

Dilihat dari orang yang membuat keputusan,euthanasia dibagi menjadi: 1 Voluntary euthanasia, jika yang membuat keputusan adalah orang yang sakit dan Involuntary

Sedangkan dalam penelitian ini akan dibuat aplikasi Bantu Pengolahan Nilai Indeks Kinerja Dosen di fakultas Teknologi industri UAD, yang dapat menampilkan data