Pemaknaan Motivasi Kerja Kuat dan Motivasi Kerja Lemah (Studi Kasus Pada Dosen, Manajer dan Staf Laki-laki dan Perempuan)1
Ayu Dwi Nindyati ayu.nindyati@paramadina.ac.id
Ath Thariq Utami ath.utami@gmail.com
Atin Yakutin Atin.yakutin@gmail.com Abstrak
Pemahaman motivasi kerja secara umum telah terpatri dalam benak setiap pelaku organisasi tidak hanya bagi para pimpinan namun juga para staf. Pada umumnya para pelaku organisasi memahami motivasi kerja sebagai dorongan untuk melaksanakan pekerjaan minimal memenuhi standar kerja yang ditetapkan. Berangkat dari pemahaman umum ini, peneliti tertarik untuk mengupas lebih dalam terkait dengan makna dari motivasi kerja melalui suatu studi yang menggali karakteristik atau indikator perilaku dari para pelaku organisasi yang tergolong pada motivasi kuat dan motivasi lemah sebagai pemaknaan mendalam atas motivasi kerja. Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian kualitatif deskriptif. Jumlah responden penelitian sebanyak 11 orang yang terdiri dari 3 laki-laki dan 8 perempuan. Responden adalah kelompok dosen, manajer dan staf. Hasil penelitian menegaskan, dari tiga kelompok responden memunculkan berbagai variasi indikator perilaku. Untuk kelompok dosen memandang motivasi kuat adalah tepat waktu dalam menyelesaikan tugas (baik laki-laki dan perempuan), dan motivasi lemah menunda pekerjaan (dosen perempuan) dan mengeluh tentang pekerjaan (dosen laki-laki). Staf perempuan beranggapan bahwa motivasi kuat adalah datang dan pulang kerja tepat waktu, staf laki-laki menyebutkan motivasi kuat rajin dalam menyelesaikan tugas. Sedangkan untuk motivasi lemah untuk staf perempuan menyebutkan tidak menaati peraturan dan staf laki-laki tidak menghindar dari penugasan. Manajer menyatakan indikator perilaku motivasi kuat adalah mau bekerja extra role dan motivasi lemah adalah datang untuk bekerja terlambat pulang kerja lebih awal. Pembahasan dari hasil penelitian tersebut peneliti memandang bahwa indikator perilaku dari motivasi kerja yang dimunculkan lebih diwarnai oleh aspek hygiene (menurut Herzberg sebagai aspek eksternal) yaitu terkait dengan prosedur kerja dan tata kelola seperti peraturan jam kerja, ketepatan menyelesaikan tugas, relasi dengan rekan kerja dan kondisi atau iklim organisasi. Selain itu peneliti menyimpulkan bahwa makna khusus dari motivasi kerja selaras dengan makna umumnya yaitu dorongan untuk menyelesaikan tugas sesuai dengan standar kerjanya,secara spesifik adalah standar waktu. Tidak ada dari responden yang menyebutkan bahwa motivasi kuat ini berkaitan dengan prestasi kerja yang bagus secara eksplisit, namun bila dianalogikan bahwa menyelesaikan tugas tepat waktu sebagai indikator dari prestasi kerja, maka pemaknaan motivasi kerja ini dapat diselaraskan dengan motivasi berprestasi.
ata Kunci: Pemaknaan (meaning), Motivasi kerja, Motivasi Kerja Kuat, Motivasi Kerja Lemah
Pendahuluan
Istilah motivasi kerja dipahami bagi para pelaku organisasi baik employers (pimpinan)
maupun employees (karyawan) sebagai suatu istilah yang memberikan gambaran adanya
dorongan atau drive yang melatarbelakangi perilaku kerja muncul. Tidak sedikit motivasi
kerja dikaitkan dengan motivasi berprestasi yang berorientasi pada pemahaman atas dorongan
untuk mencapai prestasi yang diharapkan. Schultz dan Schultz (2006) menjelaskan adanya
dua alasan utama terkait dengan penelitian atau pengkajian motivasi adalah langkah yang
sangat penting sampai saat ini. Pertama, seringkali sebagai konsumen kita sebagai korban
dari karyawan yang mengalami ketidakpuasan sehingga menghasilkan kinerja yang kurang
bagus atau kurang mampu memenuhi kemauan konsumen dengan tepat. Kedua sebagai
karyawan atau pelaku organisasi kita akan menggunakan setengah dari waktu produktif kita
di tempat kerja untuk 40-45 tahun. Kondisi ini tentulah suatu tahap atau waktu yang sangat
lama untuk kita berada dalam kondisi yang tidak menyenangkan, frustrasi, tidak puas dan
tidak bahagia. Dengan tujuan tersebut maka keberadaan motivasi dalam diri manusia menjadi
satu aspek yang harus dijaga agar tidak mengakibatkan perilaku kerja yang kurang bagus.
Para ahli Psikologi menjelaskan motivasi sebagai salah satu aspek yang mendorong
munculnya perilaku. Pemahaman perilaku manusia dapat dijelasksan oleh motivasi
berkembang sejak tahun 1940 sampai dengan 1960 an. Salah satunya adalah Hull pada tahun
1940 an (1943; 1945) menjelaskan bahwa perilaku manusia adalah fungsi perkalian dari drive
(dorongan) dan habit (kebiasaan) yang biasa dituliskan B=f(D x H). Tokoh lain yaitu Vroom
(dalam Munandar, 2008) menyebutkan bahwa performance (kinerja) merupakan fungsi dari
motivation (motivasi) dan ability (kemampuan). Dari kedua tokoh tersebut dipahami bahwa
motivasi dan drive merupakan salah satu determinan yang tidak dapat dilepaskan bila
memelajari perilaku manusia. Perilaku manusia dapat muncul tergantung dari intensitas dari
motivasi atau drive itu sendiri.
Dalam bukunya yang berjudul Motivation (theory, research and applications; fifth
edition), Petri dan Govern menjelaskan bahwa motivasi merupakan konsep yang digunakan
untuk menggambarkan dorongan pada atau dalam diri organisme yang menginisiasi atau
merangsang perilaku organisme itu sendiri (Petri & Govern, 2004). Petri dan Govern (2004)
dan Spector ( 2012) juga menjelaskan bahwa dalam memahami motivasi terlihat pada
intensity dan persistence. Semakin tinggi seseorang memiliki motivasi maka dapat terlihat
pada intensitasnya dalam perilaku tertentu. Selain itu orang yang memiliki motivasi tinggi
juga menunjukkan adanya persistence yang kuat. Persistence ini dijelaskan sebagai perilaku
yang memiliki keterlibatan yang berkelanjutan dalam pencapaian tujuan. Petri dan Govern
juga menyampaikan bahwa dari dua hal ini (intensity dan persistence) tidak selamanya
beriringan dalam menjelaskan motivasi pada manusia. Sebagai contoh dapat saja ditemui
bahwa orang yang memiliki motivasi tinggi biasanya disertai dengan persistensi yang kuat
Selain aspek intensity dan persistence tersebut, Petri dan Govern menambahkan bahwa
untuk melihat motivasi manusia dapat terlihat juga dari aspek vigor yang dipahami sebagai
semangat dalam beraktivitas. Dengan aktivitas yang dilakukan manusia dapat diperoleh
gambaran motivasi yang melandasinya. Aspek lain yang harus diperhatikan adalah adanya
direction atau arah perilaku kita. Sebagai contoh, bila kita merasa lapar, maka perilaku kita
lebih terarah pada lemari es atau ruang makan. Para ahli psikologi masih memperdebatkan
soal arah sebagai cerminan dari keberadaan motivasi dalam diri manusia, karena arah
seseorang muncul lebih dilandasi adanya kebutuhan yang memerlukan pemenuhan atas
kebutuhan tersebut.
Dalam ilmu pengetahuan termasuk psikologi, pembahasan motivasi juga mengalami
perkembangan dalam berbagai bidang termasuk dalam bidang psikologi industri dan
organisasi. Motivasi dalam konteks psikologi industri dan organisasi lebih sering dikenal
sebagai motivasi kerja. Pinder (1998) menjelaskan motivasi kerja sebagai serangkaian
dorongan energetic yang dimiliki karyawan untuk menunjukkan perilaku kerja dan
mendasari perilaku kerja tersebut dengan arah, intensitas dan durasi. Dengan demikian dalam
memahami motivasi kerja terlihat selaras dengan pemahaman tentang motivasi secara umum,
yang tetap dilandasi oleh adanya tiga aspek yaitu arah, intensitas dan durasi/persistence.
Beberapa ahli sepakat bahwa dalam pembahasan tentang motivasi termasuk motivasi
kerja dilandasi oleh dua perspective besar yaitu kelompok content theory dan process theory.
Dalam kelompok content theory termasuk di dalamnya adalah teori hirarkhi kebutuhan dari
Maslow, teori dua faktor dari Herzberg dan teori motivasi berprestasi dari McClelland.
Kelompok teori ini menjelaskan bahwa faktor yang membuat individu menunjukkan perilaku
yang energic, terarah dan sustain adalah karena adanya aspek kebutuhan khusus yang
memotivasinya. Kelompok teori proses terdiri dari teori reinforcement, expectancy, equity
dan goal setting. Kelompok teori ini menjelaskan bagaimana perilaku manusia bisa energik,
terarah dan sustain adalah karena adanya serangkaian proses yang dilakukan untuk membuat
manusis termotivasi (Munandar, 2008; Spector, 2012; Petri & Govern, 2004, Schultz &
Schultz, 2006).
Teori hirarki kebutuhan yang dikemukakan oleh Abraham Masloww merupakan satu
teori motivasi content yang cukup familier. Maslow menjelaskan bahwa dalam berperilaku,
manusia terpacu untuk memenuhi kebutuhan secara hirarki. Manusia senantiasa
inginkan telah terpenuhi, maka kita sudah termotivasi lagi untuk menunjukkan perilaku yang
berorientasi pada pemenuhan kebutuhan tersebut dan mulai beranjak kepada kebutuhan lain
yang lebih tinggi yang belum terpenuhi. Sekali kita sudah memenuhi kebutuhan yang lebih
rendah, maka kita akan terdorong untuk beranjak memenuhi kebutuhan pada tingkat yang
lebih tinggi. Susunan kebutuhan dari yang rendah sampai yang tinggi adalah: 1)
Physiological needs; 2) Safety needs; 3) Belonging & Love needs; 4) Esteem needs dan 5)
Self-actualization needs (Schultz & Schultz, 2006).
Teori lain yang tergolong pada content theory adalah teori motivasi yang dikemukakan
oleh McClelland. McClelland mengembangkan konsep teori motivasi dengan menggunakan
pedoman pemahaman tentang kebutuhan (needs) yang dikemukakan oleh Murray (dalam Hall
& Lindzey, 1993). Teori motivasi yang dikembangkan oleh McClelland dikenal sebagai teori
tiga kebutuhan. Menurut McClelland kebutuhan individu meliputi tiga hal, yaitu need for
achievement atau n Achievement (kebutuhan untuk berprestasi), neef for power atau n Power
(kebutuhan untuk berkuasa), dan need for affiliation atau n Affiliation (kebutuhan untuk
berhubungan dengan orang lain). Ketiga kebutuhan tersebut mempunyai kekuatan yang
berbeda untuk mendorong munculnya perilaku pada setiap individu, dan perilaku yang
diperlihatkan juga berbeda sesuai dengan dominasi kebutuhan yangada pada setiap individu.
Munandar (2008) menjelaskan bahwa penelitian-penelitian yang melibatkan teori McClelland
cenderung menggunakan salah satu kebutuhan saja yaitu n Achievement (Schultz & Schultz,
2006).
Teori terakhir yang tergolong pada kelompok content theory adalah teori dua faktor dari
Herzberg yang menjelaskan adanya faktor motivation dan hygiene yang membuat orang
tergerak untuk berperilaku. Herzberg menyebut motivator factors untuk hal-hal yang
berkaitan dengan kejadian yang memuaskan karena hampir dari semua cerita tentang
kepuasan juga melibatkan adanya produktivitas dan self-direction yang tinggi. Di sisi lain,
dari sudut pandang supervisor, karyawan yang menceritakan kejadian-kejadian positif terlihat
menunjukkan motivasi kerja pada level yang tingg. Di sisi lain, Herzberg menyebutkan
hygiene factors untuk hal-hal yang berkaitan dengan adanya situasi tidak menyenangkan
(dissatisfying events). Istilah hygiene digunakan dengan mengambil istilah tersebut dari
bidang epidemology yang dipahami sebagai suatu faktor yang tidak membuat individu
menjadi sehat namun hanya mencegah individu untuk menjadi sakit. Selaras dengan hal ini,
dan kondisi kerja yang nyaman tidak mampu memfasilitasi munculnya kepuasan kerja dalam
jangka waktu yang lama, namun lebih kepada mencegah terjadinya dissatisfaction. Herzberg
menegaskan dalam teori yang diajukan bahwa ketidakpuasan bukanlah kebalikan dari
kepuasan. Ketidakpuasan merupakan kebalikan dari tiadanya ketidakpuasan (dissatisfaction –
no dissatisfaction) dan kepuasan merupakan kebalikan dari tiadanya kepuasan (satisfaction –
no satisfaction) (Schultz & Schultz, 2006).
Kelompok teori proses diawali dengan membahas expectancy theory atau VIE
(Valence-Instrumentality-Expectancy) yang disampaikan oleh Vroom pada tahun 1960an (Spector,
2012; Schultz & Schultz, 2006). Teori ini menjelaskan bahwa motivasi yang dimiliki manusia
dilandasi dengan adanya keyakinan terhadap tiga hal yaitu 1) usaha yang diperlihatkan
seseorang akan mengarahkan kinerja, 2) kinerja akan mengarahkan outcome yang spesifik
dan 3) Outcome yang dihasilkan akan memberikan nilai tertentu bagi orang tersebut. Bila
seseorang menilai outcome yang dihasilkan adalah sesuatu yang berharga baginya, maka Ia
akan cenderung mengulang kembali usaha yang dilakukannya dan begitu seterusnya. Konsep
ini menjelaskan motivasi seseorang melalui kemauan dalam mengulang usaha yang telah
dilakukan bila menghasilkan outcome yang dinilainya berharga (Spector, 2012; Schultz &
Schultz, 2006).
Teori kedua dari kelompok proses adalah teori keadilan yang dikemukakan oleh J Stacey
Adam (Schultz & Schultz, 2006). Teori ini menjelaskan bahwa seseorang terdorong
berperilaku karena melihat dan memersepsikan dirinya diperlakukan secara adil
dibandingkan orang lain. Teori ini menjelaskan bahwa ketika karyawan atau seseorang
diperlakukan dengan adil, maka hal ini akan memberikan dampak yang positif pada kepuasan
yang dirasakannya. Karyawan atau seseorang yang mengalami kepuasan ini, maka Ia akan
terdorong untuk memperliatkan kinerja yang bagus dan mengulang hal-hal yang membuatnya
merasa puas tersebut. Dan sebaliknya bila seseorang atau karyawan memersepsikan dirinya
tidak diperlakukan dengan adil di tempat kerjanya atau lingkungannya, maka ia akan
cenderung tidak puas dan ketidakpuasan ini akan menghalanginya dalam mengulang usaha
yang dilakukan untuk mendapatkan kinerja yang bagus (Spector, 2012).
Goal setting theory merupakan konsep ketiga yang termasuk dalam kelompok teori
proses. Dalam teori goal setting dijelaskan bahwa apa yang kita lakukan karena dilandasi
oleh adanya dorongan untuk mencapai tujuan yang telah dibuat atau diberikan padanya.
dengan seberapa besar diperlukan tingkat partisipasinya dalam mencapai tujuan tersebut,
tingkat kesulitan tujuan, kejelasan tujuan, seberapa penting tujuan tersebut bagi dirinya dan
adanya umpan balik yang terkait dengan progress dari pencapaian tujuan (Schultz & Schultz,
2006).
Dengan menggunakan landasan konseptual yang telah disampaikan tersebut, maka
peneliti tertarik untuk mengetahui lebih mendalam terkait dengan pemaknaan akan motivasi
kerja. Peneliti berkeinginan untuk melihat gambaran perilaku seperti apa yang diperlihatkan
oleh karyawan yang termasuk dalam kategori memiliki motivasi kuat dan motivasi lemah.
Apakah konsep tentang motivasi kerja yang dilandasi oleh adanya tiga determinan umum
yaitu intensitas, persistence dan dirction juga melandasi pemahaman responden akan motivasi
kerja itu sendiri. Selain itu dengan melihat teori-teori motivasi yang ada, maka dalam
penelitian ini juga hendak dilihat secara umum pemahaman atau pemaknaan akan motivasi
kerja kuat dan motivasi kerja lemah yang dimiliki responden, cenderung menjelaskan konsep
yang mana.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan deskriptif-kualitatif, yang
menjelaskan suatu rangkaian proses penelitian dengan melibatkan pengumpulan data-data
yang tidak berupa angka. Pengolahan data yang dikumpulkan juga tidak menggunakan
pendekatan statistik, namun lebih menggunakan content analysis. Dengan menggunakan
content analysis maka serangkaian data yang diperoleh dari pertanyaan terbuka pada
kuesioner yang digunakan akan dilakukan prosed koding dengan mengelompokkan data-data
yang memiliki makna yang sama ke dalam satu kelompok tertentu (Cresswell, 2005).
Responden penelitian yang digunakan sebagai sumber data pada penelitian ini adalah
individu yang bekerja pada dua jenis perusahaan, yaitu Perguruan tinggi dan Perusahaan
advertising. Responden terdiri dari tiga kelompok yaitu dosen, manajer dan staf baik laki-laki
maupun perempuan. Teknik sampling yang digunakan adalah teknik sampling non random
convenience sehingga responden yang terlibat dalam penelitian ini telah menyatakan
kesanggupannya untuk menjadi responden. Jumlah responden sebanyak 11 orang, dengan 8
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan pertanyaan terbuka yaitu
‘berdasarkan pengamatan anda terhadap lingkungan kerja anda, uraikan gambaran perilaku
kerja-perilaku kerja seperti apa yang diperlihatkan karyawan yang memiliki motivasi kerja
kuat dan motivasi kerja lemah’. Berdasarkan pertanyaan tersebut, peneliti merangkum data
yang ada dan melanjutkan dengan melakukan koding untuk melihat kategorisasi pemaknaan
akan motivasi kerja kuat dan lemah berdasarkan jenis kelamin dan kelompok responden
yang ada.
Hasil Analisis Data
Proses analisis data dilakukan dengan melakukan content analysis terhadap data-data
yang diperoleh dari responden. Peneliti mengelompokkan respon pertama, kedua dan ketiga
dari para responden. Tabel 1 berikut ini akan menjelaskasn hasil koding terhadap kelompok
responden dosen.
Tabel 1. Hasil koding untuk responden dosen
Urutan Respon
Motivasi Kuat Motivasi Lemah
Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki
Berdasarkan tabel 1, dapat dilihat adanya variasi pemaknaan motivasi kerja kuat antara
dosen laki-laki dan dosen perempuan. Perilaku kerja yang mendominasi terkait dengan
motivasi kuat adalah perilaku yang berkaitan dengan ketepatan waktu dalam menyelesaikan
tugas, datang bekerja tepat waktu (ketaatan akan prosedur kerja), aktif dalam kepanitiaan dan
tugas-tugas di luar tugas utama dosen, aktif dalam meneliti dan menghasilkan karya lebih dari
satu dalam satu tahun serta bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya. Sedangkan untuk
memaknakan motivasi lemah, para dosen menyebutkan bahwa terdapat indikator perilaku
yang secara umum berkaitan dengan penyelesaian tugas tidak tepat waktu, menunda
penyelesaian tugas, tergolong deadliner, sering tidak masuk kerja tanpa keterangan, tidak
bertanggung jawab dalam menyelesaikan tugas, terlambat mengumpulkan tugas dan tidak
menunjukkan kesediaan untuk mengembangkan diri (lebih senang bekerja sesuai
kemampuannya saja).
Peneliti melihat bahwa pemaknaan motivasi kuat oleh dosen laki-laki dan dosen
perempuan bila disoroti dari segi konseptual maka terlihat dari teori dua faktor Herzberg
(hygiene-motivator factor) bahwa pemahaman responden kelompok dosen tentang motivasi
kerja yang kuat dan lemah dikarenakan adanya kemampuan untuk menunjukkan perilaku
kerja sesuai dengan prosedur kerja atau tidak. Herzberg menjelaskan dalam teorinya bahwa
aspek-aspek yang berkaitan dengan prosedur dan administrasi kerja, sistem insentif dan
penggajian, iklim organisasi, kondisi kerja dan supervision, merupakan aspek-aspek yang
tergolong pada hygiene factor. Dari pemaknaan yang disampaikan para dosen ini juga
terdapat makna yang mencerminkan adanya motivator factor yaitu bertanggung jawab dalam
penyelesaian tugas-tugas yang diberikan padanya dan kemauan untuk mengembangkan diri.
Hal ini terjadi bisa saja dikarenakan melihat indikator perilaku yang dilandasi oleh
aspek-aspek eksternal seperti dalam aspek-aspek hygiene factor ini lebih mudah dibandingkan dengan
indikator perilaku yang dilandasi oleh aspek motivator factor. Herzberg menjelaskan bahwa
motivator factor terdiri dari tanggung jawab, pekerjaan itu sendiri, pengakuan dan
achievement atau pencapaian.
Hasil koding tabel 1 juga menunjukkan adanya indikasi adanya usahan pencapaian hasil
kerja yang optimal dengan disertai adanya pengelolaan waktu. Tidak menunda pekerjaan
yang dapat dilakukan dalam waktu yang ada. Hal ini menjelaskan adanya indikasi dari
menjelaskan bahwa di antara kriteria-kriteria yang ada untuk individu dengan dominasi
kebutuhan berprestasi, individu senantiasa berorientasi pada penyelesaian tugas tepat waktu,
tidak menunda pekerjaan dan juga berorientasi pada pencapai hasil kerja yang lebih bagus
dari sebelumnya.
Tabel 2 memaparkan terkait dengan pemaknaan motivasi kuat dan lemah dari
kelompok responden manajer. Kelompok ini hanya diisi oleh dua manajer yang dua-duanya
perempuan.
Tabel 2. Hasil koding untuk responden manajer
Urutan
Dari hasil koding kelompok responden manajer pada tabel 2 diperoleh informasi,
bahwa terlihat keberimbangan makna antara faktor eksternal dan internal. Berdasarkan teori
dua faktor yang disampaikan Herzberg dapat terlihat adanya pemaknaan yang berada dalam
aspek motivator factor yaitu memiliki kejelasan tujuan dalam visi dan misi saat
menyelesaikan tugasnya, mampu memberikan impact positif pada lingkungan kerja, dan
menunjukkan kemauan untuk berkembang lebih bagus. Selain itu juga terlihat adanya aspek
eksternal (hygiene factor) yang melandasi dipahaminya indikator perilaku tersebut sebagai
motivasi kuat dan lemah yaitu ketaatan akan prosedur kerja seperti tidak terlambat masuk
kerja, tidak mengeluh saat menyelesaikan tugas, tidak mengumbar hal-hal negatif perusahaan
dan bersedia untuk menerima penugasan yang memerlukan extra time.
Kebutuhan akan adanya kejelasan visi dan misi dalam melaksanakan tugasnya juga
memberikan informasi bahwa dalam hal motivasi kuat dan lemah, dalam perspektif teori
motivasi yang disampaikan McClelland bahwa orang dengan di dominasi oleh kebutuhan
untuk berprestasi hanya terdorong melakukan tugas dengan cepat bila tujuan dari tugas
lingkungannya secar harmony sehingga pemaknaan akan motivasi kuat dan lemah yang
berkaitan dengan memberikan impact positif dan mengurangi tindakan-tindakan yang
mengumbar hal-hal negatif dari perusahaan tempatnya bekerja merupakan cerminan dari
dominasi kebutuhan berafiliasi ini.
Hasil analisis untuk kelompok ketiga yaitu kelompok staf atau karyawan dalam
memaknakan fenomena motivasi kuat dan lemah dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Hasil koding untuk responden staf/karyawan
Urutan Respon
Motivasi Kuat Motivasi Lemah
Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki
Respon
Staf atau karyawan lebih menunjukkan respon yang bervariasi dalam memaknai
motivasi kuat dan motivasi lemah, seperti yang tertuang dalam tabel 3. Seperti halnya dalam
kelompok responden lainnya dapat dijumpai indikator-indikator perilaku yang menjelaskan
motivasi kuat dan lemah dari responden laki-laki dan perempuan. Indikator-indikator perilaku
tersebut mencerminkan perwujudan dari teori-teori motivasi yang telah dibahas pada bagian
sebelumnya. Berdasarkan teori dua faktor yang dikemukakan Herzberg terlihat ada
dominansi motivator factors yang muncul dari pemaknaan akan motivasi kuat dan lemah
membuat keputusan, berorientasi pada prestasi kerja, proaktif dalam menyelesaikan tugas dan
menunjukkan adanya kemauan untuk berkembang dan memelajari hal-hal baru. Aspek
hygiene factors masih terlihat yaitu kemauan untuk bekerja sesuai prosedur kerja seperti tepat
waktu penyelesaian tugas, menaati aturan kerja, disiplin dan berorientasi pada uang sebagai
imbalan dari hasil kerjanya. Berdasarkan pada teori motivasi berprestasi dari McClelland juga
terlihat bahwa pemaknaan motivasi kuat dan lemah berkaitan dengan adanya prestasi atau
kinerja yang bagus, kemandirian dan rajin dalam menyelesaikan tugas-tugasnya. Dari
kelompok responden staf atau karyawan ini muncul satu indikator perilaku yang
mencerminkan teori goal setting yaitu membuat rencana kerja yang akurat dan melaksanakan
sesuai dengan rencana yang telah dibuatnya.
Simpulan
1. Pada setiap kelompok responden (dosen, manajer dan staf/karyawan) menunjukkan
adanya kesamaan dalam memberikan makna motivasi kuat dan lemah yaitu
menunjukkan adanya asepk hygiene factors berdasarkan teori dua faktor dari
Herzberg yang berorientasi pada pelaksanaan tugas sesuai prosedur kerja seperti tepat
waktu, disiplin, tidak sering terlambat atau bolos kerja.
2. Pemaknaan selanjutnya yang juga terlihat ada dalam setiap kelompok responden
adalah aspek motivator factors berdasarkan teori dua faktor dari Herzberg yaitu
adanya kemandirian, kemauan untuk mengembangkan diri, berorientasi pada prestasi
dan proaktifitas dalam menyelesaikan tugasnya
3. Aspek orientasi prestasi dan menjaga harmonya lingkungan kerja juga muncul dalam
pemaknaan motivasi kuat dan lemah yang menjelaskan adanya pemaknaan dilandasi
oleh teori motivasi berprestasi dari McClelland.
4. Dari kelompok responden staf atau karyawan diperoleh pemaknaan yang dapat
dikategorikan dilandasi oleh adanya teori Goal Setting yaitu membuat rencana kerja
dalam menyelesaikan tugasnya.
5. Responden laki-laki dan perempuan tidak memperlihatkan pemaknaan yang berbeda
terkait dengan motivasi kuat dan lemah, keduanya didominasi oleh adanya aspek
Saran
1. Terlihat bahwa dari pemaknaan responden, didominasi oleh adanya pemaknaan yang
dilandasi oleh aspek hygiene dari teori dua faktor karena memang aspek ini terlihat
nyata dalam perilaku. Sehingga disarankan untuk mengembangkan alat ukur yang
mengimbangi kekuan observasi aspek hygiene ini, sehingga dapat diukur dengan
akurat dari sisi aspek motivator factors yang tergolong sulit untuk diobservasi
langsung, namun lebih mudah bila direfleksikan melalui alat ukur.
2. Penggalian kriteria-kriteria ukur dari motivasi kerja perlu dilakukan agar didapatkan
alat ukur yang tepat dan akurat yang dilandasi oleh konsep yang telah ada. Sehingga
tidak hanya mengembangkan keilmuan psikologi, namun juga menguatkan
implementasi keilmuan psikologi dalam dunia kerja, selain itu implementasi
manajerial yang dilakukan juga lebih akurat karena dibingkai oleh penelitian yang
Daftar Pustaka
Cresswell, J. W. (2005). Educational Research: Planing, Conducting and Evaluating: Quantitative and Qualitative Research. New Jersey: Pearson Education. Inc.
Hull, C. (1943). Principles of Behavior. New York: Appleton-Century-Crofts.
Hull, C. (1945). Essentials of Behavior. New York: Yale University Press.
Miner, J. B. (1992). Industrial-Organizartional Psychology. Singapore: McGraw Hill Book.
Munandar, A. S. (2008). Psikologi Industri dan Organisasi. Jakarta: UI-Press.
Petri, H. L., & Govern, J. M. (2004). Motivation: Theory, Research, and Applications; Fifth Edition. Belmont, CA: Wadsworth/Thomson Learning.
Pinder, C. C. (1998). Work Motivation in Organizational Behavior. Upper Saddle River, NJ: Prentice-Hall.
Sachau, D. A. (2007). Resurrecting the Motivation-Hygiene Theory: Herzberg and teh Positive Psychology Movement. Human Resource Development Review, 6(4), 377 - 393.
Schultz, D. P., & Schultz, S. E. (2006). Psychology & Work Today. Ninth Edition. Upper Saddle River, NJ: Pearson Education, Inc.