• Tidak ada hasil yang ditemukan

DO NOT RESUSITATE DNR DARI PERSPEKTIF HU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "DO NOT RESUSITATE DNR DARI PERSPEKTIF HU"

Copied!
4
0
0

Teks penuh

(1)

DO NOT RESUSITATE (DNR) DARI PERSPEKTIF HUKUM

Tindakan penghentian bantuan hidup di Indonesia belum banyak dilakukan, hanya beberapa dokter yang berani melakukan end-of-life decision, meskipun sudah ada fatwa IDI yang membolehkan. Ada dua pilihan yang dapatdilakukan dokter terhadap pasien tanpa harapan hidup, yaitu with-holding atau with drawing life supports, yaitu penundaan atau penghentian alat bantuan hidup. Sehingga apabila dilakukan dokter tidak menyalahi prosedur meski dalam hukum pidana tidak diperbolehkan. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pada tahun 1990 mengeluarkan pernyataan bahwa manusia dinyatakan mati jika batang otaknya tidak berfungsi lagi. Konsep ini dijadikan pernyataan resmi dari Ikatan Dokter Indonesia. Kriteria yang dianut oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tersebut berlandaskan pada alasan bahwa batang otaklah terletak pusat penggerak napas dan jantung. Sehingga apabila batang otak telah mati maka jantung dan paru-paru hanya bisa bergerak dengan bantuan alat-alat penopang (Haryadi, 2007). Dengan demikian inform consent sangat berperan aktif . Dalam hal ini, dokter dapat menjelaskan diagnosa keadaan pasien secara spesifik serta resiko dan komplikasi potensial yang dihubungkan dengan alat ventilator tersebut (Erlian, 2012). Pihak keluarga akan mengambil keputusan tindakan yang akan dilakukan dokter selanjutnya. Setelah itulah dokter akan melakukan sesuai prosedur yang telah diijinkan pihak keluarga. Pihak dokter juga akan berkonsultasi kepada sumber-sumber kewenangan seperti kode etik dan kebijakan Ikatan Dokter serta kolega lain untuk mengetahui bagaimana dokter biasanya berhadapandengan masalah tersebut (R.Williams, 2005). Sehingga tindakan do not resusitate dapat dilakukan dalam kondisi seperti ini.

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290 tahun 2008 Tentang Bab IX Pasal 14:

(2)

2. Persetujuan penghentian/penundaan bantuan hidup oleh keluarga terdekat pasien. Sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah keluarga mendapat penjelasan dari tim dokter yang bersangkutan

3. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diberikan secara tertulis.

Berdasarkan beberapa ayat yang tercantum dalam ayat 14 tersebut, bahwa sebenarnya tindakan DNR dilindungi secara hukum dan dapat dilakukan dengan beberapa pertimbangan kondisi pasien.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1981, bahwa syarat adanya kematian ditentukan oleh tiga hal, yaitu: terhentinya fungsi otak, fungsi pernapasan, dan fungsi jantung. Dengan demikian, kematian fungsi otak (mati otak) di mana kehidupan intelektual dan psikis atau kejiwaan seseorang telah mati tidak berfungsi lagi. Keadaan ini belum mati jika jantung masih berdenyut dan masih bernapas. Menurut Leenen pada kasus-kasus yang disebut “pseudo euthanasia” yang disebut euthanasia semu tidak dapat dimasukkan pada larangan hukum pidana. Ada empat bentuk pseudo euthanasia menurut Leenen, yaitu: 1. Pengakhiran perawatan medis karena gejala mati batang otak, jantung masih

berdenyut, peredaran darah dan pernapasan masih berjalan, tetapi tidak ada kesadaran karena otak seratus persen tidak berfungsi, misalnya akibat kecelakaan berat

2. Pasien menolak perawatan atau bantuan medis terhadap dirinya. Dasarnya, dokter tidak dapat melakukan sesuatu jika tidak dikehendaki pasien

3. Berakhirnya kehidupan akibat keadaan darurat karena kuasa tidak terlawan (force majeure). Dalam hal ini terjadi dua kepentingan hukum yang tidak bisa memenuhi kedua-duanya

4. Penghentian perawatan pengobatan/bantuan medis yang diketahui tidak ada gunanya.

(3)

Secara rinci pasal-pasal dalam KUH Pidana yang menjelaskan tentang DNR adalah :

KUHP Pasal 338: Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum karena makar mati, dengan penjara selama-lamanya lima belas tahun. KUHP Pasal 340: Barang siapa dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena pembunuhan direncanakan, dengan hukuman mati atau penjara selama-lamanya dua puluh tahun. KUHP Pasal 359: Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang dihukum penjara seama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun. KUHP Pasal 344: Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. Namun, ada pengecualian pada KUHP pasal 344 yaitu, (1) bagi pasien yang sudah tidak dapat diharapkan lagi akan kehidupannya menurut ukuran medis, yang dinyatakan oleh dokter yang merawatnya, (2) usaha penyembuhan yang dilakukan selama ini sudah tidak berpotensi lagi, (3) pasien dalam keadaan in a persistent vegetative slate, (4) harus ada persetujuan dari pasien atau keluarga, (5) mendapat persetujuan dari pengadilan.

Undang-undang yang tertulis dalam KUHP Pidana hanya melihat dari dokter sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif dan dianggap sebagai suatu pembunuhan berencana, atau dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang. Sehingga dalam aspek hukum, dokter selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa melihat latar belakang dilakukannya euthanasia tersebut. Tidak perduli apakah tindakan tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui pengobatannya.

(4)

Daftar Pustaka

Erlian. (2012). Erlian-ff07.web.unair.ac.id/artikel. Retrieved 11 5, 2012, from web.unair.ac.id

Haryadi (2011). Masalah Euthanasia Dalam Hubungannya Dengan Hak Asasi Manusia. Retrieved 2 10, 2012 from Portal Garuda

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Bab XIX Pasal 344 Tentang Kejahatan Terhadap Nyawa

Menteri Kesehatan Nomor: 434/Men.Kes/SK/X/19983 Tentang Kode Etik Kedokteran

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 Tahun 2008 Tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran

Referensi

Dokumen terkait

Selain dari staff, kami juga meminta bantuan dari para pengajar LTC untuk menjadi pembawa acara sekaligus juga ada yang menjadi pembuka dalam berdoa dan juga ada

Dimana guru-guru SDN 10 Mata Air Padang Selatan juga harus menyampaikan semua pembelajaran mereka kepada murid-muridnya melalui program BDR ( Belajar Dari Rumah), hal ini membuat

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan sebagai bahan pertimbangan dalam merancang intervensi yang tepat guna mengembangkan posttraumatic growth pada diri

a) Rajangan jahe yang akan diproses lanjut perlu penimbangan ulang. b) Kemudian, bagian jahe yang sudah dipisah dari kulit buah,maka jumlah harus ditambah agar

kekurangannya.pendapatan dari sumber-sumber lain yang berkaitan dengan proyek atau pembatasan yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini peningkatan tarif atau juga

bahwa berdasarkan Surat Kawat Menteri Dalam Negeri Nomor : 061/6859/SJ, tanggal 4 Nopember 1982, Surat Menteri Dalam Negeri Nomor : 061/11034/SJ, tanggal 19 Nopember 1983 perihal

Perilaku yang berhubungan dengan harga diri rendah meliputi: mengkritik diri sendiri atau orang lain, penurunan produktivitas, destruktif yang diarahkan pada orang lain,

Sumber daya manusia yang berkaitan dengan manajemen, tenaga kerja, kondisi, dan lingkungan kerja yang secara profesional dan dapat terintegrasi dengan baik dapat meningkatkan