1 PENGANTAR
Kees van Dijk dan Nico J.G. Kaptein
Diterjemahkan oleh : Agung Mazkuriy
Kontak : mazkuriy.agung@gmail.com
Islam di Indonesia sudah lama dipuji di dalam atau pun di luar negeri,
baik oleh masyarakat umum atau kalangan akademisi, politisi dan kepala negara
karena praktek toleransi masyarakatnya. Di antara aspek yang disanjung adalah
penggabungan praktek ritual dan keyakinan yang sepenuhnya tidak mirip
dengan ajaran Islam [di belahan negara Islam lainnya], atau pun bentuk
kesediaan umat Islam Indonesia untuk menerima orang-orang Kristen di
tengah-tengah mereka, suatu kesatuan masyarakat non-Muslim dan Muslim
lainnya yang dianggap sesat oleh kelompok Islam paham puritan-radikal.
Jugapun, gambaran toleransi ini mendapat tantangan dalam sepuluh hingga lima
belas tahun terakhir dengan adanya konflik-konflik berlatar SARA, misalnya
perang saudara di Maluku, Lombok, Poso di Sulawesi, dan Banjarmasin di
Kalimantan, yang mana agama adalah salah satu faktor yang memotivasi
kekerasan massal yang dilakukan oleh umat Islam setempat dan kelompok Islam
vigilante yang mana lebih dikenal dengan sebutan FPI (Front Pembela Islam),
juga dengan munculnya beberapa organisasi teroris. Pada mulanya, terorisme di
Indonesia adalah bentukan Jamaah Islamiyah (Islamic Community), sebuah
kelompok yang terdiri dari orang Indonesia dan Malaysia yang memiliki link
dengan al-Qaeda dan gerilyawan Islam di Filipina. Gerakan tersebut diinspirasi
dan dipimpin oleh salah satu ulama paling radikal di Indonesia, Abu Bakar
Ba'asyir. Jamaah Islamiyah sendiri bertanggung jawab atas kebrutalan
pemboman di Bali (12 Oktober 2002) dan serangan teroris lainnya di
tahun-tahun awal abad ini. Sebagian besar pimpinan dan beberapa anggota
berpengaruhnya telah tewas, dipenjara atau dihukum mati. Laporan terakhir
2 sejumlah sel-sel kelompok teroris yang lebih kecil dan kurang mampu merakit
bom dengan daya ledak kuat seperti yang digunakan di Bali. Namun, dengan
tidak adanya organisasi induk bagi jaringan-jaringan yang tak terorganisir
tersebut justru lebih menyulitkan bagi pihak berwenang untuk mendeteksi dan
memutus mata rantai.
Sisi buruk radikalisme Islam juga telah bergeser lebih jauh. Ditandai
dengen seringkalinya terjadi protes disertai kekerasan oleh umat Islam lokal
menentang kehadiran gereja dan rumah-rumah biasa yang mana biasa
digunakan jemaat berkumpul, ataupun terhadap kelenteng-kelenteng pemeluk
Konghucu pada tingkat lebih rendah, yang mana sering berakhir dengan
penutupan tempat-tempat tersebut. Sebagian dari akar masalah dapat ditelusuri
dalam Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Departemen Agama
yang dikeluarkan pada tahun 1969 dan direvisi pada tahun 2006, yang mana
pendirian rumah ibadat membutuhkan persetujuan dari Pemerintah Daerah dan
warga setempat, peraturan seperti ini tidak selamanya memudahkan bagi
pemeluk Kristen untuk mengekspresikan keyakinannya dalam lingkungan
mayoritas Muslim dan cenderung memberikan argumen hukum yang
demonstratif untuk membenarkan tindakan pihak yang menolak.1
Kelompok Kristen dan komunitas Tionghoa bukanlah satu-satunya
korban intoleransi, itu disebabkan kebanyakan umat Islam Indonesia adalah
penganut Sunni. Dalam beberapa tahun terakhir, kelompok Ahmadiyah dan
Syiah juga menjadi korban dari beberapa aksi brutal (lihat kontribusi oleh
Bastiaan Scherpen dalam buku ini). Insiden seperti itu sudah berlangsung sejak
1 Menurut Peraturan Bersama Menteri Nomor 8/9 Tahun 2006 tentang Kerukunan dan
3 rezim Baru Orde dari tahun 1965 hingga 1998. Ketika Soeharto berkuasa, secara
umum menggunakan Islam sebagai landasan ideologi politik dilarang dan para
pendukungnyalah yang akan bertanggung jawab atas konsekuensi pelanggaran
hukum, kelompok-kelompok haluan radikal juga diawasi secara ketat. Paska
1998, tahun dimana Suharto dipaksa mundur sebagai presiden, protes dan aksi
kekerasan lebih marak terjadi dan mengalami peningkatan tajam dalam
beberapa tahun terakhir. Menurut data yang dipublikasikan surat kabar The
Jakarta Post pada tanggal 29 Oktober 2010, jumlah kasus sebesar 470 terjadi
dalam rentang antara 1967 dan 1998, dan 700 kasus antara tahun 1998 dan
2010. Sebagaimana diungkapkan oleh seorang tokoh baru-baru ini, yang mana
dipublikasikan oleh Setara Institue for Democracy and Peace, sebuah LSM yang
bergerak dalam mempromosikan toleransi beragama sebagai salah satu
tujuannya, ada 144 aksi kekerasan terhadap kelompok minoritas agama pada
tahun 2011 dan 264 kasus pada 2012. Salah satu LSM lain yang bergerak di
bidang yang sama, Wahid Institute, menyebutkan jumlah angka kekerasan 274
kasus pada 2012. Lembaga yang terakhir ini juga mencatat peningkatan insiden
kekerasan tersebut selama beberapa tahun sejak 2009, sementara laporan
Human Rights Watch yang diterbitkan pada Februari 2013 menyimpulkan
bahwa kekerasan terhadap agama minoritas. HRW juga menyebutkan bahwa
aksi kekerasan terhadap kelompok Baha i telah 'didalami'.2
Kekerasan terhadap kelompok penganut agama minoritas seperti itu
harus dibayar mahal oleh Indonesia berupa teguran keras oleh Komisaris Tinggi
PBB untuk Hak Asasi Manusia, Navi Pillay, ketika dia mengunjungi Indonesia
pada November 2012. Setelah adanya pertemuan dengan
perwakilan-perwakilan dari kelompok mengalami kekerasan tersebut, Dia menyatakan bahwa begitu tertekan mendengarjumlahangkaaksi kekerasan tersebut,
2
The Jakarta Post, 29 Desember 2012, 3 Februari ; Hu a ‘ights Wat h, I
4 penghilangan paksa, pencabutan kewarganegaraan sepihak, tindakan-tindakan
diskriminatif, dan pelecehan terhadap mereka'. Dia memperingatkan bahwa
'budaya yang kaya dan sejarah keragaman dan toleransi' di Indonesia mungkin
menjadi bagian dari masa lalu jika situasi tidak berubah dan jika 'tindakan tegas
tidak diambil untuk menekan angka kekerasan dan kebencian terhadap kaum
minoritas dan mengkaji ulang interpretasi sempit atas ekstrimis Islam'.3
Muslim sebagai arus utama berupaya untuk melakukan Islamisasi
Indonesia ke tataran lebih lanjut dalam kontek kemasyarakatan Indonesia. Salah
satu perkembangan penting dalam memfasilitasi proses itu adalah
diundangkannya UU tentang Pemerintahan Daerah pada tahun 1999 dan revisi
pada tahun 2004, yang manamemberikan kewenanganPemerintah Daerah –
kewenangan kepada orang-orang yang menduduki lembaga-lembaga di
Propinsi, Kabupaten dan Kota – berupa otonomi lebih luas, dan juga telah
member jalan lebar para pengusung Islamisasi secara yangjelas berupa
advantage untuk menggoalkan tujuan mereka. Aturan legal seperti itu
memungkinkan Pemerintah Daerah untuk mengeluarkan Peraturan Daerah
(biasa disingkat Perda) secara independen tanpa adanya pengawasan atau
kontrol oleh administrasi Pemerintahan yang lebih tinggi, kecuali di beberapa
segmen yang tetap menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, yang mana
kebijakan menyangkut keagamaan adalah satu kewenangan Pemerintah Pusat.
Fakta bahwa Pemerintah Daerah tidak diperbolehkan untuk mengeluarkan
aturan hukum berkaitan keagamaan tidak mencegah mereka melakukannya
dengan apa yang disebut Peraturan Daerah Syari ah Perda Syari ah . Perda
-perda itu sendiri memiliki macam-macam bentuk. Beberapa di antaranya
mewajibkan Pegawai Negeri untuk mengikuti kegiatan-kegiatan keagamaan di
bulan puasa atau menjadikan kemampuan membaca Al-Qur'an sebagai
prasyarat untuk memasuki jenjang pendidikan lanjutan atau dalam proses
3
Indonesia harus mengatasi meningkatnya tindak diskrimasi dan kekerasan, ucap
Sekretaris Je dral PBB , UN News Centre, 13 November 2012,
5 pernikahan. Sejumlah Perda baru muncul, di antara paling dikritik adalah Perda
yang mendiskriminasikan perempuan. Perda tersebut mewajibkan perempuan
untuk menyesuaikan diri dengan nilai-nilai berbusana menurut Islam (jilbab dan busana yang tidak terbuka di kantor-kantor pemerintah dan lembaga-lembaga pendidikan menengah, atau memberlakukan jam malam, yang mana tidak
membolehkan perempuan untuk keluar rumah tanpa ditemani oleh saudara
laki-laki di malam hari atau menakut-nakuti mereka untuk melakukannya. Pada
bulan Agustus 2012, Komite Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan
menghitung ada 282 Perda yang diskriminatif terhadap perempuan. Sebanyak
96 dari Perdatersebut berkaitan dengan prostitusi dan pornografi, sebagaimana
akan dipaparkan oleh Euis Nurlaelawati dan Muhammad Latif Fauzi dalam buku
ini, dapat memiliki efek negatif yang lebih luas dan rumit bagi keberlangsungan
kehidupan perempuan, tidak hanya dari sisi Pekerja Seks Komersil tetapi juga
perempuan lain. Enam puluh Perda tersebut di antaranya terkait dengan standar
pakaian dan 'standar agama', dan 38 lainnya berkaitan 'mobilitas perempuan'.4
Contoh kasus mencolok adalah yang terjadi di Aceh, Propinsi di ujung
utara pulau Sumatra. Dalam upaya untuk membujuk separatis Gerakan Aceh
Merdeka (disingkat; GAM) untuk meletakkan senjata, Jakarta telah memberikan
propinsi tersebutOtonomi Khusus pada bulan Oktober 1999. Aceh diberi hak
untuk menyusun undang-undang dan peraturannya sendiri dalam bidang
keagamaan, pendidikan dan adat istiadat, Propinsi lain tidak memiliki
kewenangan seluas itu. Hasilnya adalahdiundangkannyabeberapa hukum Islam
(Qanun) yang mempromosikan standarperilaku 'benar' dalam Islam (termasuk
di antaranya cara berpakaian perempuan, laki-laki tampaknya terbebas dari
pembatasan tersebut), melarang praktik dan keyakinan non-Sunni, tindakan
perjudian, konsumsi rokok, dan kepemilikan minuman beralkohol dipidanakan.
Disamping itu, otoritas lokal juga memiliki kewenangan untuk menindak dan
menghukum pelaku hubungan di luar pernikahan. Ini berlaku jugaberlakuatas
4
6 dasar asumsi bahwa dua orang yang belum menikah dari jenis kelamin yang
berbeda tanpa ikatan keluarga yang berduaan dalam ruang tertutupdijatuhi
sanksi bersalah dengan dakwaan zina (lihat kontribusi oleh Reza Idria).
Hal ini tidak hanya terjadi di Aceh saja, bahwasanya Pemerintah Pusat
tidak dapat mengganggu gugat ketika hukum dan peraturan tersebut
diundangkan, di daerah lain di Indonesia juga terjadi, Otonomi Daerah membuat
pembatalan atau revisi atas Peraturan Daerah acapkali terkendala. Argumen
bahwa UU tentang Pemerintahan Daerah tidak memperbolehkan Perda
agamajugatidak mencegah para pendukung Islamisme untuk menegakkan
peraturan-peraturan tersebut. Mereka berpendapat bahwa peraturan-peraturan
tersebut merupakan pengejawantahan nilai-nilai Islam. Bukan saja kebutuhan
untuk menegakkan nilai-nilai dan norma-norma moral sebagai alasannya, juga
beralasan untuk mengimplementasikan dalam konteks nasional dan daerah
(bahkan mungkin di Asia). Di sisi lain, alasan tersebut juga dijadikan alasan
pembenaran kausalitas antara cara berpakaian perempuan dan pelecehan
seksual. Seiya sekata, para politisijuga tidak keberatan atau, ketika dipaksa
untuk berkomentar, mereka menyatakan argumen yang sama. Butuh waktu
hingga bulan Februari 2006 bagi Pemerintah Pusat untukmembuat keputusan
gunaikut andil dan membatalkan beberapa Peraturan Daerah tersebut, namun
dua tahun kemudian, Menteri Dalam Negeri Mardiyanto, sebagaimana dikutip
masih mengatakan bahwa tidak ada peraturan Syariah yang berlaku di )ndonesia , hanya Perda-perda yang menerapkan nilai Islam dan itu tidak Islam'.5Januari 2012 penggantinya, Gamawan Fauzi, menyebutkan jumlah yang
mencengangkan Perda-perda yang dikaji oleh Kementeriannya sejak Ia diangkat
pada tahun 2009, terdapat 15.000 Perda. Kemendagri melakukan pembatalan
'sebagian pasaldalamPerdaatau seluruhnya' dari 915 Perda tersebut. Sejak
tahun 2002 pihaknya telah 'membekukan' total 1.878 Perda.Lebih dari 1.800
Perda dikatakan concern tentang pajak daerah dan retribusi, 22 Perda terkait
5
7 penjualan minuman beralkohol.6 Contoh lain dari 'Perda Syariah' tidak
disebutkan. Hal ini sendiri sudah menunjukkan bahwa Perda Agama di tingkat
lokal telah saling berlomba agar lolos pemeriksaan oleh Pusta. Selain itu,
dibatalkan mungkin juga bukan kata yang tepat. UU No. 22 Th. 1999 tentang
Pemerintahan Daerah masih memberi kewenangan Pemerintah Pusat untuk
membatalkan Perda-perda yang bertentangan dengan produk hukum yang lebih
tinggi atau bertentangan dengan kepentingan umum (Ps. 114, angka. 1),revisi
pada tahun 2004 (Ps. 145, Angka. 3) pembatalan memerlukan Keputusan
Presiden (Peraturan Presiden) untuk melakukannya. Menteri Dalam Negeri
tidak memiliki wewenang untuk membatalkan Perda-perda tersebut. Pun,
gubernur tidak bias membatalkan sebuah Perda-perda yang dikeluarkan oleh
Kota atau Kabupaten di wilayah Propinsinya.7 Beberapa liputan yang
diberitakan di media, di dalam jurnal ilmiah, dan LSM tentang kekerasan
antaragama, serangan terhadap minoritas keagamaan, dan tindakan
diskriminasi terhadap perempuan merupakan konsekuensi dari pro-kontra yang
begitu kuat tentang nilai-nilai Islam di Indonesia, atau dukungan untuk
pelaksanaan hukum Islam dalam segala aspeknya mungkin terlalu berlebihan
dalam kasus ini.8 Di sisi lain, dengan menggunakan deskripsi 'Islam yang ramah'
guna menggambarkan hakikat arus utama Islam di Indonesia adalah dengan
melihat sejarah ke belakang melalui kacamata hitam, baik dulu dan sekarang.
6
The Jakarta Post, 18 January 2013.
7
Tampaknya sangat tidak mungkin mengingat banyaknya Perda yang disengketakan dapat dibatalkan. Undang-undang mengharuskan bahwa Keputusan Presiden dikeluarkan dalam waktu 60 hari setelah Pemda telah mengajukannya kepada Pemerintah Pusat untuk pengawasan (yang harus dikaji dalam rentang seminggu setelah diundangkandi daerah). Pada tahun 2012, dua Peraturan Bersama Menteri – Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kumham – diterbitkan terkait Perda-perda tersebut. Langkah ini diambil sebagai bentuk pedoman bagi Pemda dalam menyusun Perda-perdanya guna memastikan bahwa mereka tidak melanggar hak asasi manusia.
8
8 Meskipun runtuhnya Orde Baru pada tahun 1998 adalah garis demarkasi dalam
sejarah Indonesia yang diikuti oleh era demokrasi, yang sebenarnya dan
kebebasan berekspresi yang jamak dikenal di Indonesia sebagai Reformasi atau
Era Reformasi. Topik yang dibahas dalam buku ini tidak hanya outcome dari
desentralisasi, pengenalan sistem politik yang demokratis, dan kebebasan yang
lebih besar yang muncul paska tahun 1998. Sebagaimana yang dipaparkan
dalam sejumlah kontribusi dalam buku ini, radikalisme dalam Islam di Indonesia
tidak tiba-tiba muncul setelah tahun 1998. Sebagaimana fakta yang ditunjukkan
dalam sejumlah bab dalam buku ini, radikalisme Islam di Indonesia tidak
tiba-tiba muncul setelah tahun 1998. Akarnya dapat ditelusuri kembali ke masa Orde
Baru, tidak hanya di akhir-akhir masa rezim, tetapi juga pada tahun-tahun awal
rezim Orde Baru, bahkan lebih jauh lagi dalam sejarah Indonesia. Upaya untuk
mempromosikan Islam sendiri juga telah diprakarsai oleh pemerintah Orde
Baru, misalnya dengan membiayai pembangunan masjid dan kompetisi baca
Al-Qur'an (MTQ). Dalam hal ini, perhatian khusus juga dilakukan untuk
memisahkan kompetensi Pengadilan Agama dan mempublikasikan Kompilasi
Hukum Islam yang mana pemerintah memiliki tujuan lebih lanjut berupa
menyusun keluarga Islam dan hukum waris di tingkat nasional, yang mana
setiap permasalahan akan dikonsultasikan dengan Hakim Muslim dalam
memberikan putusan (lihat kontribusi oleh Euis Nurlaelawati dan Stijn van
Huis).
Reportase dalam buku ini terletak pada sejumlah perkembangan terkini
yang signifikan, yang secara keseluruhan menunjukkan bagaimana Islam di
Indonesia berkembang dan seberapa jauh telah bergerak di luar stereotipe Islam
yang ramah. Perkembangan ini terjadi dengan latar belakang dari kepatuhan
yang tumbuh terhadap perintah-perintah Islam dalam masyarakat yang lebih
luas.Seperti halnya di belahan dunia Muslim yang lain, jumlah orang berpakaian
dan berperilaku dengan cara Islam (puritan) telah tumbuh dalam
9 agama telah meningkat dalam jumlah dan semakin populer. Lebih lanjut,
eksponen Islam radikal semakin vokal dalam menggelar demonstrasi dan
mengorganisir pertemuan massa. Dengan berkutat pada sejumlah
perkembangan ini, buku ini bertujuan untuk menjelaskan sebuah paradoks yang
menarik. Kami mengamati bahwa, meskipun sebuah Islamisasi sedang
berlangsung di masyarakat Indonesia, partai-partai Islam tidak begitu mendapat
citra baik di Indonesia. Sementara pada saat yang sama kita melihat juga bahwa
peranantersebutdibawah arahan partai-partai Islam, maka perundang-undang
berbau Islami sebenarnya memiliki peluang bisa diberlakukan.
Buku ini adalah beberapa bagian hasil penelitian bersama yang dilakukan
oleh sejumlah peneliti dari Belanda dan Indonesia dalam rangka program
penelitian berjudul 'Penguatan Pengetahuan dan Dialog dengan Dunia Islam /
Arab', disingkat IRP (Islam Research Programe). Program ini didanai oleh
Kementrian Luar Negeri Kerajaan Belanda dan bertujuan untuk memberikan
masukan datake sejumlah Kedutaan Besar negara-negara Muslim berupa
informasi akademik yang relevan sesuai perkembangan terkini yang ada di
delapan negara. Buku ini didasarkan atas ulasan akhir dari chapter Indonesia
dalam project ini.9 Islam Research Programe yang ada di tangan pembaca
merupakan proyek penelitian di Jakarta yang berlangsung sejak 2010 sampai
dengan Desember 2012 dan didokumentasikan di Leiden Institute for Area
Studies (LIAS).
Ketika laporan ini baru selesai sebagian, para ahli diundang diskusi
secara mendalam dengan staf Kedutaan Besar Belanda di Jakarta, proyek
penelitianini bertujuan untuk menganalisa tren keagamaan dalam masyarakat
Indonesia kontemporer, dan lebih spesifik mengamati perkembangan yang
berkaitan dengan peran Islam dalam konteks politik, budaya dan sosial-hukum.
Anggota peneliti tersebut dikelompokan ke dalam tiga kelompok penelitian,
9
10 setiap kelompok terdiri dari pemimpin kelompok, seorang peneliti paska
doktoral di Indonesia, dan peneliti junior dari Indonesia dan Belanda.
Keseluruhan proyek penelitian dikelola oleh Marise van Amersfoort. Sedangkan
tiga kelompok penelitian tersebut adalah; (1) kelompok penelitian terhadap
partai politik Islam dan organisasi sosial keagamaan (dipimpin oleh Kees van
Dijk, LIAS) dan perundang-undangan, (2) penelitian yang berfokus pada syariah,
dan kedudukan legalitas perempuan dan anak-anak (yang dipimpin oleh Léon
Buskens, LIAS), dan (3) kelompok peniliti yang berfokus pada Syariah dan
norma-norma sosial yang bertentangan dengan syariah (counterculture) di Aceh
(dipimpin oleh Nico J.G. Kaptein, LIAS). Mayoritas peneliti adalah orang yang
memiliki wawasan lapangan cukup di Indonesia. Dilengkapi pula dengan
penelitian kepustakaan, baik perpustakaan di Indonesia atau pun
perpustakaan-perpustakaan yang mengoleksi literatur tentang Indonesia yang terdapat di
Leiden, Belanda.
Buku ini didasarkan pada laporan akhir penelitian sesuai hasil tiga
kelompok penelitian yang telah disebutkan. Pada bagian pertama dalam buku ini
menyoroti para pemimpin partai-partai politik Islam dan organisasi
sosial-keagamaan berpengaruh yang berafiliasi dengan partai politik dalam panggung
politik. Kedua kelompok tersebut adalah aktor utama dalam menentukan sejauh
mana dalam perundang-undangan nasional dan regional mencerminkan
prinsip-prinsip Islam. Mereka juga memainkan peran penting dalam perdebatan Islam di
Indonesia, baik sebagai kekuatan pendorong dari Islamisasi lebih lanjut dari
masyarakat dan undang-undang, seperti PKS (Partai Keadilan Sejahtera) dan
dan Jamaah Tarbiyah (akan dibahas secara rinci oleh Ahmad-Norma Permata),
atau kelompok yang menghimbau untuk mengambil peran aktif dalam melawan
tindakan intoleransi dan radikalisme, seperti halnya Nahdlatul Ulama dan
Muhammadiyah. Bagian kedua membahas konsekuensi dari pengenalan Syariah
11 diberi kewenangan lebih luas dari pada daerah-daerah lain sebagaimana telah
disebutkan.
Publikasi ini merupakan hasil dari kerja sama tim dan tidak mungkin
untuk tidak mengucapkan terima kasih kepada semua pihak dalam proyek
penelitian IRP di Jakarta satu persatu. Pertama-tama merupakan kebahagiaan
kita untuk berterima kasih Koos van Dam, Annemieke Ruigrok, Tjeerd de Zwaan,
Onno Koopmans dan Wachid Ridwan yang dalam bagian tertentu dari semua
proyekini memainkan peran penting atas nama Kedutaan Besar Belanda di
Jakarta. Di Leiden, terima kasih kami terucap kepada Leiden Institute for Area
Studies (LIAS), khususnya mantan manajer LIAS, Rogier Busser, dan juga kepada
Pusat Studi Islam dan MasyarakatUniversitas Leiden (Leiden University Centre
for the Study of Islam and Society) atas dukungan administratif dalam tahap akhir
dari proyek ini. Lucis juga mendukung dan memfasilitasi penerbitan buku ini.
Terutama kepada anggota staf yang sangat membantu: Heleen van der Linden
yang mengedit laporan IRP dan menyusun buku ini, dan Annemarie van
Sandwijk yang bersama-sama dengan Hannah Mason, mengurus proses akhir