• Tidak ada hasil yang ditemukan

ISLAM POLITIK DAN PERUBAHAN DINAMIKA IND

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ISLAM POLITIK DAN PERUBAHAN DINAMIKA IND"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

1 PENGANTAR

Kees van Dijk dan Nico J.G. Kaptein

Diterjemahkan oleh : Agung Mazkuriy

Kontak : mazkuriy.agung@gmail.com

Islam di Indonesia sudah lama dipuji di dalam atau pun di luar negeri,

baik oleh masyarakat umum atau kalangan akademisi, politisi dan kepala negara

karena praktek toleransi masyarakatnya. Di antara aspek yang disanjung adalah

penggabungan praktek ritual dan keyakinan yang sepenuhnya tidak mirip

dengan ajaran Islam [di belahan negara Islam lainnya], atau pun bentuk

kesediaan umat Islam Indonesia untuk menerima orang-orang Kristen di

tengah-tengah mereka, suatu kesatuan masyarakat non-Muslim dan Muslim

lainnya yang dianggap sesat oleh kelompok Islam paham puritan-radikal.

Jugapun, gambaran toleransi ini mendapat tantangan dalam sepuluh hingga lima

belas tahun terakhir dengan adanya konflik-konflik berlatar SARA, misalnya

perang saudara di Maluku, Lombok, Poso di Sulawesi, dan Banjarmasin di

Kalimantan, yang mana agama adalah salah satu faktor yang memotivasi

kekerasan massal yang dilakukan oleh umat Islam setempat dan kelompok Islam

vigilante yang mana lebih dikenal dengan sebutan FPI (Front Pembela Islam),

juga dengan munculnya beberapa organisasi teroris. Pada mulanya, terorisme di

Indonesia adalah bentukan Jamaah Islamiyah (Islamic Community), sebuah

kelompok yang terdiri dari orang Indonesia dan Malaysia yang memiliki link

dengan al-Qaeda dan gerilyawan Islam di Filipina. Gerakan tersebut diinspirasi

dan dipimpin oleh salah satu ulama paling radikal di Indonesia, Abu Bakar

Ba'asyir. Jamaah Islamiyah sendiri bertanggung jawab atas kebrutalan

pemboman di Bali (12 Oktober 2002) dan serangan teroris lainnya di

tahun-tahun awal abad ini. Sebagian besar pimpinan dan beberapa anggota

berpengaruhnya telah tewas, dipenjara atau dihukum mati. Laporan terakhir

(2)

2 sejumlah sel-sel kelompok teroris yang lebih kecil dan kurang mampu merakit

bom dengan daya ledak kuat seperti yang digunakan di Bali. Namun, dengan

tidak adanya organisasi induk bagi jaringan-jaringan yang tak terorganisir

tersebut justru lebih menyulitkan bagi pihak berwenang untuk mendeteksi dan

memutus mata rantai.

Sisi buruk radikalisme Islam juga telah bergeser lebih jauh. Ditandai

dengen seringkalinya terjadi protes disertai kekerasan oleh umat Islam lokal

menentang kehadiran gereja dan rumah-rumah biasa yang mana biasa

digunakan jemaat berkumpul, ataupun terhadap kelenteng-kelenteng pemeluk

Konghucu pada tingkat lebih rendah, yang mana sering berakhir dengan

penutupan tempat-tempat tersebut. Sebagian dari akar masalah dapat ditelusuri

dalam Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Departemen Agama

yang dikeluarkan pada tahun 1969 dan direvisi pada tahun 2006, yang mana

pendirian rumah ibadat membutuhkan persetujuan dari Pemerintah Daerah dan

warga setempat, peraturan seperti ini tidak selamanya memudahkan bagi

pemeluk Kristen untuk mengekspresikan keyakinannya dalam lingkungan

mayoritas Muslim dan cenderung memberikan argumen hukum yang

demonstratif untuk membenarkan tindakan pihak yang menolak.1

Kelompok Kristen dan komunitas Tionghoa bukanlah satu-satunya

korban intoleransi, itu disebabkan kebanyakan umat Islam Indonesia adalah

penganut Sunni. Dalam beberapa tahun terakhir, kelompok Ahmadiyah dan

Syiah juga menjadi korban dari beberapa aksi brutal (lihat kontribusi oleh

Bastiaan Scherpen dalam buku ini). Insiden seperti itu sudah berlangsung sejak

1 Menurut Peraturan Bersama Menteri Nomor 8/9 Tahun 2006 tentang Kerukunan dan

(3)

3 rezim Baru Orde dari tahun 1965 hingga 1998. Ketika Soeharto berkuasa, secara

umum menggunakan Islam sebagai landasan ideologi politik dilarang dan para

pendukungnyalah yang akan bertanggung jawab atas konsekuensi pelanggaran

hukum, kelompok-kelompok haluan radikal juga diawasi secara ketat. Paska

1998, tahun dimana Suharto dipaksa mundur sebagai presiden, protes dan aksi

kekerasan lebih marak terjadi dan mengalami peningkatan tajam dalam

beberapa tahun terakhir. Menurut data yang dipublikasikan surat kabar The

Jakarta Post pada tanggal 29 Oktober 2010, jumlah kasus sebesar 470 terjadi

dalam rentang antara 1967 dan 1998, dan 700 kasus antara tahun 1998 dan

2010. Sebagaimana diungkapkan oleh seorang tokoh baru-baru ini, yang mana

dipublikasikan oleh Setara Institue for Democracy and Peace, sebuah LSM yang

bergerak dalam mempromosikan toleransi beragama sebagai salah satu

tujuannya, ada 144 aksi kekerasan terhadap kelompok minoritas agama pada

tahun 2011 dan 264 kasus pada 2012. Salah satu LSM lain yang bergerak di

bidang yang sama, Wahid Institute, menyebutkan jumlah angka kekerasan 274

kasus pada 2012. Lembaga yang terakhir ini juga mencatat peningkatan insiden

kekerasan tersebut selama beberapa tahun sejak 2009, sementara laporan

Human Rights Watch yang diterbitkan pada Februari 2013 menyimpulkan

bahwa kekerasan terhadap agama minoritas. HRW juga menyebutkan bahwa

aksi kekerasan terhadap kelompok Baha i telah 'didalami'.2

Kekerasan terhadap kelompok penganut agama minoritas seperti itu

harus dibayar mahal oleh Indonesia berupa teguran keras oleh Komisaris Tinggi

PBB untuk Hak Asasi Manusia, Navi Pillay, ketika dia mengunjungi Indonesia

pada November 2012. Setelah adanya pertemuan dengan

perwakilan-perwakilan dari kelompok mengalami kekerasan tersebut, Dia menyatakan bahwa begitu tertekan mendengarjumlahangkaaksi kekerasan tersebut,

2

The Jakarta Post, 29 Desember 2012, 3 Februari ; Hu a ‘ights Wat h, I

(4)

4 penghilangan paksa, pencabutan kewarganegaraan sepihak, tindakan-tindakan

diskriminatif, dan pelecehan terhadap mereka'. Dia memperingatkan bahwa

'budaya yang kaya dan sejarah keragaman dan toleransi' di Indonesia mungkin

menjadi bagian dari masa lalu jika situasi tidak berubah dan jika 'tindakan tegas

tidak diambil untuk menekan angka kekerasan dan kebencian terhadap kaum

minoritas dan mengkaji ulang interpretasi sempit atas ekstrimis Islam'.3

Muslim sebagai arus utama berupaya untuk melakukan Islamisasi

Indonesia ke tataran lebih lanjut dalam kontek kemasyarakatan Indonesia. Salah

satu perkembangan penting dalam memfasilitasi proses itu adalah

diundangkannya UU tentang Pemerintahan Daerah pada tahun 1999 dan revisi

pada tahun 2004, yang manamemberikan kewenanganPemerintah Daerah –

kewenangan kepada orang-orang yang menduduki lembaga-lembaga di

Propinsi, Kabupaten dan Kota – berupa otonomi lebih luas, dan juga telah

member jalan lebar para pengusung Islamisasi secara yangjelas berupa

advantage untuk menggoalkan tujuan mereka. Aturan legal seperti itu

memungkinkan Pemerintah Daerah untuk mengeluarkan Peraturan Daerah

(biasa disingkat Perda) secara independen tanpa adanya pengawasan atau

kontrol oleh administrasi Pemerintahan yang lebih tinggi, kecuali di beberapa

segmen yang tetap menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, yang mana

kebijakan menyangkut keagamaan adalah satu kewenangan Pemerintah Pusat.

Fakta bahwa Pemerintah Daerah tidak diperbolehkan untuk mengeluarkan

aturan hukum berkaitan keagamaan tidak mencegah mereka melakukannya

dengan apa yang disebut Peraturan Daerah Syari ah Perda Syari ah . Perda

-perda itu sendiri memiliki macam-macam bentuk. Beberapa di antaranya

mewajibkan Pegawai Negeri untuk mengikuti kegiatan-kegiatan keagamaan di

bulan puasa atau menjadikan kemampuan membaca Al-Qur'an sebagai

prasyarat untuk memasuki jenjang pendidikan lanjutan atau dalam proses

3

Indonesia harus mengatasi meningkatnya tindak diskrimasi dan kekerasan, ucap

Sekretaris Je dral PBB , UN News Centre, 13 November 2012,

(5)

5 pernikahan. Sejumlah Perda baru muncul, di antara paling dikritik adalah Perda

yang mendiskriminasikan perempuan. Perda tersebut mewajibkan perempuan

untuk menyesuaikan diri dengan nilai-nilai berbusana menurut Islam (jilbab dan busana yang tidak terbuka di kantor-kantor pemerintah dan lembaga-lembaga pendidikan menengah, atau memberlakukan jam malam, yang mana tidak

membolehkan perempuan untuk keluar rumah tanpa ditemani oleh saudara

laki-laki di malam hari atau menakut-nakuti mereka untuk melakukannya. Pada

bulan Agustus 2012, Komite Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan

menghitung ada 282 Perda yang diskriminatif terhadap perempuan. Sebanyak

96 dari Perdatersebut berkaitan dengan prostitusi dan pornografi, sebagaimana

akan dipaparkan oleh Euis Nurlaelawati dan Muhammad Latif Fauzi dalam buku

ini, dapat memiliki efek negatif yang lebih luas dan rumit bagi keberlangsungan

kehidupan perempuan, tidak hanya dari sisi Pekerja Seks Komersil tetapi juga

perempuan lain. Enam puluh Perda tersebut di antaranya terkait dengan standar

pakaian dan 'standar agama', dan 38 lainnya berkaitan 'mobilitas perempuan'.4

Contoh kasus mencolok adalah yang terjadi di Aceh, Propinsi di ujung

utara pulau Sumatra. Dalam upaya untuk membujuk separatis Gerakan Aceh

Merdeka (disingkat; GAM) untuk meletakkan senjata, Jakarta telah memberikan

propinsi tersebutOtonomi Khusus pada bulan Oktober 1999. Aceh diberi hak

untuk menyusun undang-undang dan peraturannya sendiri dalam bidang

keagamaan, pendidikan dan adat istiadat, Propinsi lain tidak memiliki

kewenangan seluas itu. Hasilnya adalahdiundangkannyabeberapa hukum Islam

(Qanun) yang mempromosikan standarperilaku 'benar' dalam Islam (termasuk

di antaranya cara berpakaian perempuan, laki-laki tampaknya terbebas dari

pembatasan tersebut), melarang praktik dan keyakinan non-Sunni, tindakan

perjudian, konsumsi rokok, dan kepemilikan minuman beralkohol dipidanakan.

Disamping itu, otoritas lokal juga memiliki kewenangan untuk menindak dan

menghukum pelaku hubungan di luar pernikahan. Ini berlaku jugaberlakuatas

4

(6)

6 dasar asumsi bahwa dua orang yang belum menikah dari jenis kelamin yang

berbeda tanpa ikatan keluarga yang berduaan dalam ruang tertutupdijatuhi

sanksi bersalah dengan dakwaan zina (lihat kontribusi oleh Reza Idria).

Hal ini tidak hanya terjadi di Aceh saja, bahwasanya Pemerintah Pusat

tidak dapat mengganggu gugat ketika hukum dan peraturan tersebut

diundangkan, di daerah lain di Indonesia juga terjadi, Otonomi Daerah membuat

pembatalan atau revisi atas Peraturan Daerah acapkali terkendala. Argumen

bahwa UU tentang Pemerintahan Daerah tidak memperbolehkan Perda

agamajugatidak mencegah para pendukung Islamisme untuk menegakkan

peraturan-peraturan tersebut. Mereka berpendapat bahwa peraturan-peraturan

tersebut merupakan pengejawantahan nilai-nilai Islam. Bukan saja kebutuhan

untuk menegakkan nilai-nilai dan norma-norma moral sebagai alasannya, juga

beralasan untuk mengimplementasikan dalam konteks nasional dan daerah

(bahkan mungkin di Asia). Di sisi lain, alasan tersebut juga dijadikan alasan

pembenaran kausalitas antara cara berpakaian perempuan dan pelecehan

seksual. Seiya sekata, para politisijuga tidak keberatan atau, ketika dipaksa

untuk berkomentar, mereka menyatakan argumen yang sama. Butuh waktu

hingga bulan Februari 2006 bagi Pemerintah Pusat untukmembuat keputusan

gunaikut andil dan membatalkan beberapa Peraturan Daerah tersebut, namun

dua tahun kemudian, Menteri Dalam Negeri Mardiyanto, sebagaimana dikutip

masih mengatakan bahwa tidak ada peraturan Syariah yang berlaku di )ndonesia , hanya Perda-perda yang menerapkan nilai Islam dan itu tidak Islam'.5Januari 2012 penggantinya, Gamawan Fauzi, menyebutkan jumlah yang

mencengangkan Perda-perda yang dikaji oleh Kementeriannya sejak Ia diangkat

pada tahun 2009, terdapat 15.000 Perda. Kemendagri melakukan pembatalan

'sebagian pasaldalamPerdaatau seluruhnya' dari 915 Perda tersebut. Sejak

tahun 2002 pihaknya telah 'membekukan' total 1.878 Perda.Lebih dari 1.800

Perda dikatakan concern tentang pajak daerah dan retribusi, 22 Perda terkait

5

(7)

7 penjualan minuman beralkohol.6 Contoh lain dari 'Perda Syariah' tidak

disebutkan. Hal ini sendiri sudah menunjukkan bahwa Perda Agama di tingkat

lokal telah saling berlomba agar lolos pemeriksaan oleh Pusta. Selain itu,

dibatalkan mungkin juga bukan kata yang tepat. UU No. 22 Th. 1999 tentang

Pemerintahan Daerah masih memberi kewenangan Pemerintah Pusat untuk

membatalkan Perda-perda yang bertentangan dengan produk hukum yang lebih

tinggi atau bertentangan dengan kepentingan umum (Ps. 114, angka. 1),revisi

pada tahun 2004 (Ps. 145, Angka. 3) pembatalan memerlukan Keputusan

Presiden (Peraturan Presiden) untuk melakukannya. Menteri Dalam Negeri

tidak memiliki wewenang untuk membatalkan Perda-perda tersebut. Pun,

gubernur tidak bias membatalkan sebuah Perda-perda yang dikeluarkan oleh

Kota atau Kabupaten di wilayah Propinsinya.7 Beberapa liputan yang

diberitakan di media, di dalam jurnal ilmiah, dan LSM tentang kekerasan

antaragama, serangan terhadap minoritas keagamaan, dan tindakan

diskriminasi terhadap perempuan merupakan konsekuensi dari pro-kontra yang

begitu kuat tentang nilai-nilai Islam di Indonesia, atau dukungan untuk

pelaksanaan hukum Islam dalam segala aspeknya mungkin terlalu berlebihan

dalam kasus ini.8 Di sisi lain, dengan menggunakan deskripsi 'Islam yang ramah'

guna menggambarkan hakikat arus utama Islam di Indonesia adalah dengan

melihat sejarah ke belakang melalui kacamata hitam, baik dulu dan sekarang.

6

The Jakarta Post, 18 January 2013.

7

Tampaknya sangat tidak mungkin mengingat banyaknya Perda yang disengketakan dapat dibatalkan. Undang-undang mengharuskan bahwa Keputusan Presiden dikeluarkan dalam waktu 60 hari setelah Pemda telah mengajukannya kepada Pemerintah Pusat untuk pengawasan (yang harus dikaji dalam rentang seminggu setelah diundangkandi daerah). Pada tahun 2012, dua Peraturan Bersama Menteri – Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kumham – diterbitkan terkait Perda-perda tersebut. Langkah ini diambil sebagai bentuk pedoman bagi Pemda dalam menyusun Perda-perdanya guna memastikan bahwa mereka tidak melanggar hak asasi manusia.

8

(8)

8 Meskipun runtuhnya Orde Baru pada tahun 1998 adalah garis demarkasi dalam

sejarah Indonesia yang diikuti oleh era demokrasi, yang sebenarnya dan

kebebasan berekspresi yang jamak dikenal di Indonesia sebagai Reformasi atau

Era Reformasi. Topik yang dibahas dalam buku ini tidak hanya outcome dari

desentralisasi, pengenalan sistem politik yang demokratis, dan kebebasan yang

lebih besar yang muncul paska tahun 1998. Sebagaimana yang dipaparkan

dalam sejumlah kontribusi dalam buku ini, radikalisme dalam Islam di Indonesia

tidak tiba-tiba muncul setelah tahun 1998. Sebagaimana fakta yang ditunjukkan

dalam sejumlah bab dalam buku ini, radikalisme Islam di Indonesia tidak

tiba-tiba muncul setelah tahun 1998. Akarnya dapat ditelusuri kembali ke masa Orde

Baru, tidak hanya di akhir-akhir masa rezim, tetapi juga pada tahun-tahun awal

rezim Orde Baru, bahkan lebih jauh lagi dalam sejarah Indonesia. Upaya untuk

mempromosikan Islam sendiri juga telah diprakarsai oleh pemerintah Orde

Baru, misalnya dengan membiayai pembangunan masjid dan kompetisi baca

Al-Qur'an (MTQ). Dalam hal ini, perhatian khusus juga dilakukan untuk

memisahkan kompetensi Pengadilan Agama dan mempublikasikan Kompilasi

Hukum Islam yang mana pemerintah memiliki tujuan lebih lanjut berupa

menyusun keluarga Islam dan hukum waris di tingkat nasional, yang mana

setiap permasalahan akan dikonsultasikan dengan Hakim Muslim dalam

memberikan putusan (lihat kontribusi oleh Euis Nurlaelawati dan Stijn van

Huis).

Reportase dalam buku ini terletak pada sejumlah perkembangan terkini

yang signifikan, yang secara keseluruhan menunjukkan bagaimana Islam di

Indonesia berkembang dan seberapa jauh telah bergerak di luar stereotipe Islam

yang ramah. Perkembangan ini terjadi dengan latar belakang dari kepatuhan

yang tumbuh terhadap perintah-perintah Islam dalam masyarakat yang lebih

luas.Seperti halnya di belahan dunia Muslim yang lain, jumlah orang berpakaian

dan berperilaku dengan cara Islam (puritan) telah tumbuh dalam

(9)

9 agama telah meningkat dalam jumlah dan semakin populer. Lebih lanjut,

eksponen Islam radikal semakin vokal dalam menggelar demonstrasi dan

mengorganisir pertemuan massa. Dengan berkutat pada sejumlah

perkembangan ini, buku ini bertujuan untuk menjelaskan sebuah paradoks yang

menarik. Kami mengamati bahwa, meskipun sebuah Islamisasi sedang

berlangsung di masyarakat Indonesia, partai-partai Islam tidak begitu mendapat

citra baik di Indonesia. Sementara pada saat yang sama kita melihat juga bahwa

peranantersebutdibawah arahan partai-partai Islam, maka perundang-undang

berbau Islami sebenarnya memiliki peluang bisa diberlakukan.

Buku ini adalah beberapa bagian hasil penelitian bersama yang dilakukan

oleh sejumlah peneliti dari Belanda dan Indonesia dalam rangka program

penelitian berjudul 'Penguatan Pengetahuan dan Dialog dengan Dunia Islam /

Arab', disingkat IRP (Islam Research Programe). Program ini didanai oleh

Kementrian Luar Negeri Kerajaan Belanda dan bertujuan untuk memberikan

masukan datake sejumlah Kedutaan Besar negara-negara Muslim berupa

informasi akademik yang relevan sesuai perkembangan terkini yang ada di

delapan negara. Buku ini didasarkan atas ulasan akhir dari chapter Indonesia

dalam project ini.9 Islam Research Programe yang ada di tangan pembaca

merupakan proyek penelitian di Jakarta yang berlangsung sejak 2010 sampai

dengan Desember 2012 dan didokumentasikan di Leiden Institute for Area

Studies (LIAS).

Ketika laporan ini baru selesai sebagian, para ahli diundang diskusi

secara mendalam dengan staf Kedutaan Besar Belanda di Jakarta, proyek

penelitianini bertujuan untuk menganalisa tren keagamaan dalam masyarakat

Indonesia kontemporer, dan lebih spesifik mengamati perkembangan yang

berkaitan dengan peran Islam dalam konteks politik, budaya dan sosial-hukum.

Anggota peneliti tersebut dikelompokan ke dalam tiga kelompok penelitian,

9

(10)

10 setiap kelompok terdiri dari pemimpin kelompok, seorang peneliti paska

doktoral di Indonesia, dan peneliti junior dari Indonesia dan Belanda.

Keseluruhan proyek penelitian dikelola oleh Marise van Amersfoort. Sedangkan

tiga kelompok penelitian tersebut adalah; (1) kelompok penelitian terhadap

partai politik Islam dan organisasi sosial keagamaan (dipimpin oleh Kees van

Dijk, LIAS) dan perundang-undangan, (2) penelitian yang berfokus pada syariah,

dan kedudukan legalitas perempuan dan anak-anak (yang dipimpin oleh Léon

Buskens, LIAS), dan (3) kelompok peniliti yang berfokus pada Syariah dan

norma-norma sosial yang bertentangan dengan syariah (counterculture) di Aceh

(dipimpin oleh Nico J.G. Kaptein, LIAS). Mayoritas peneliti adalah orang yang

memiliki wawasan lapangan cukup di Indonesia. Dilengkapi pula dengan

penelitian kepustakaan, baik perpustakaan di Indonesia atau pun

perpustakaan-perpustakaan yang mengoleksi literatur tentang Indonesia yang terdapat di

Leiden, Belanda.

Buku ini didasarkan pada laporan akhir penelitian sesuai hasil tiga

kelompok penelitian yang telah disebutkan. Pada bagian pertama dalam buku ini

menyoroti para pemimpin partai-partai politik Islam dan organisasi

sosial-keagamaan berpengaruh yang berafiliasi dengan partai politik dalam panggung

politik. Kedua kelompok tersebut adalah aktor utama dalam menentukan sejauh

mana dalam perundang-undangan nasional dan regional mencerminkan

prinsip-prinsip Islam. Mereka juga memainkan peran penting dalam perdebatan Islam di

Indonesia, baik sebagai kekuatan pendorong dari Islamisasi lebih lanjut dari

masyarakat dan undang-undang, seperti PKS (Partai Keadilan Sejahtera) dan

dan Jamaah Tarbiyah (akan dibahas secara rinci oleh Ahmad-Norma Permata),

atau kelompok yang menghimbau untuk mengambil peran aktif dalam melawan

tindakan intoleransi dan radikalisme, seperti halnya Nahdlatul Ulama dan

Muhammadiyah. Bagian kedua membahas konsekuensi dari pengenalan Syariah

(11)

11 diberi kewenangan lebih luas dari pada daerah-daerah lain sebagaimana telah

disebutkan.

Publikasi ini merupakan hasil dari kerja sama tim dan tidak mungkin

untuk tidak mengucapkan terima kasih kepada semua pihak dalam proyek

penelitian IRP di Jakarta satu persatu. Pertama-tama merupakan kebahagiaan

kita untuk berterima kasih Koos van Dam, Annemieke Ruigrok, Tjeerd de Zwaan,

Onno Koopmans dan Wachid Ridwan yang dalam bagian tertentu dari semua

proyekini memainkan peran penting atas nama Kedutaan Besar Belanda di

Jakarta. Di Leiden, terima kasih kami terucap kepada Leiden Institute for Area

Studies (LIAS), khususnya mantan manajer LIAS, Rogier Busser, dan juga kepada

Pusat Studi Islam dan MasyarakatUniversitas Leiden (Leiden University Centre

for the Study of Islam and Society) atas dukungan administratif dalam tahap akhir

dari proyek ini. Lucis juga mendukung dan memfasilitasi penerbitan buku ini.

Terutama kepada anggota staf yang sangat membantu: Heleen van der Linden

yang mengedit laporan IRP dan menyusun buku ini, dan Annemarie van

Sandwijk yang bersama-sama dengan Hannah Mason, mengurus proses akhir

Referensi

Dokumen terkait

Proses persiapan dalam acara pesta pernikahan membutuhkan waktu yang cukup lama sekitar tiga minggu. Setelah pelamaran, keluarga dan masyarakat datang bersama-sama

[r]

dimaksud pada butir 4.2.4. kepada Pengirim setelah menerima.. dokumen Asli Surat Pernyataan Penerimaan Barang beserta. lampirannya seperti dimaksud pada

Diabetes Mellitus adalah suatu penyakit kronis yang menimbulkan gangguan multi sistem dan mempunyai karakteristik hyperglikemia yang disebabkan defisiensi insulin atau kerja

Semua awak kapal harus berpartisipasi dalam latihan pemadam kebakaran, karena tujuan dari latihan ini adalah untuk dapat membentuk kelompok pemadam kebakaran yang bermutu,

variabel green marketing yang terdiri dari eco-label, eco-brand, environmental advertising, environmental awareness, green product, green price, green promotion dan

Pengomposan dengan menggunakan metode timbunan dipermukaan terhumifikasi berwarna gelap setelah 3 – 4 bulan dan merupakan sumber bahan organik untuk pertanian

Pilih Section A/ B ( sesuai dengan letak MLE Card ) f. mini Vidas akan membaca MLE Card secara otomatis g. Setelah selesai pembacaan, tekan Master Lot Menu h. Pilih List Master Lot6.