• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGATURAN MENGENAI BUKTI ELEKTRONIKSEBAGAI ALAT BUKTI YANG SAH DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA A. Teori Pembuktian atau Sistem Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana Indonesia Dilihat dari hukum pembuktian yang dianut oleh Indonesia sekarang, - Tinjauan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II PENGATURAN MENGENAI BUKTI ELEKTRONIKSEBAGAI ALAT BUKTI YANG SAH DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA A. Teori Pembuktian atau Sistem Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana Indonesia Dilihat dari hukum pembuktian yang dianut oleh Indonesia sekarang, - Tinjauan"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PENGATURAN MENGENAI BUKTI ELEKTRONIKSEBAGAI ALAT BUKTI YANG SAH DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA

A. Teori Pembuktian atau Sistem Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana Indonesia

Dilihat dari hukum pembuktian yang dianut oleh Indonesia sekarang,

sistem pembuktian dapat diberi batasan sebagai suatu kebulatan atau keseluruhan

dari berbagai ketentuan perihal kegiatan pembuktian yang saling mengait dan

berhubungan satu dengan lain yang tidak terpisahkan dan menjadi suatu kesatuan

yang utuh. Adapun isinya sistem pembuktian terutama tentang alat-alat bukti apa

yang boleh digunakan untuk membuktikan, cara bagaimana alat bukti ini boleh

dipergunakan, dan nilai kekuatan dari alat-alat bukti tersebut serta standar/ kriteria

yang menjadi ukuran dalam mengambil kesimpulan tentang terbuktinya sesuatu

(objek) yang dibuktikan. 46

Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang

didakwakan, merupakan bagian terpenting dalam hukum acara pidana. Oleh

karena itu, hukum acara pidana mencari kebenaran materil. Adapun enam butir

pokok yang menjadi alat ukur dalam teori pembuktian dapat diuraikan sebagai

berikut47

1. Dasar pembuktian yang tersimpul dalam pertimbangan keputusan pengadilan

untuk memperoleh fakta-fakta yang benar (bewijsgronden); :

46

Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: PT. Alumni, 2008), hal.24.

47

(2)

2. Alat-alat bukti yang dapat digunakan oleh hakim untuk mendapatkan

gambaran mengenai terjadinya perbuatan pidana yang sudah lampau

(bewijsmiddelen);

3. Penguraian bagaimana cara menyampaikan alat-alat bukti kepada hakim di

sidang pengadilan (bewijsvoering);

4. Kekuatan pembuktian dalam masing-masing alat-alat bukti dalam rangkaian

penilaian terbuktinya suatu dakwaan (bewijskracht);

5. Beban pembuktian yang diwajibkan oleh undang-undang untuk membuktikan

dakwaan di muka sidang pengadilan (bewijslast);

6. Bukti minimum yang diperlukan dalam pembuktian untuk mengikat

kebebasan hakim (bewijsminimum).

Pada hakekatnya pembuktian dimulai sejak adanya suatu peristiwa hukum.

Menurut Adami Chazawi, pada dasarnya seluruh kegiatan dalam proses hukum

penyelesaian perkara pidana, sejak penyelidikan sampai putusan akhir diucapkan

di muka persidangan oleh majelis hakim adalah berupa kegiatan yang

berhubungan dengan pembuktian atau kegiatan untuk membuktikan.48

1. Sistem Pembuktian Keyakinan Hakim Belaka (Conviction In Time)

Ilmu pengetahuan mengenal empat sistem pembuktian, yaitu:

Menurut sistem ini, hakim dapat menyatakan telah terbukti kesalahan

terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan dengan berdasarkan

keyakinannya saja, dan tidak perlu mempertimbangkan dari mana (alat bukti) dia

memperoleh dan alasan-alasan yang dipergunakan serta bagaimana caranya dalam

48

(3)

membentuk keyakinannya tersebut. Juga tidak perlu mempertimbangkan apakah

logis ataukah tidak logis. Bekerjanya sistem ini benar-benar bergantung kepada

hati nurani hakim.49 Sehingga pembuktian ini sangatlah subyektif, seseorang bisa

dinyatakan bersalah tanpa bukti apa-apa yang mendukungnya, sebaliknya

pembuktian sistem ini bisa membebaskan seseorang dari perbuatan yang

dilakukannya.50

Sistem ini mengandung kelemahan yang besar. Sebagaimana manusia

biasa, hakim bisa salah keyakinan yang telah dibentuknya, berhubung tidak ada

kriteria, alat-alat bukti tertentu yang harus dipergunakan dan syarat serta cara-cara

hakim dalam membentuk keyakinannya itu. Di samping itu, pada sistem ini

terbuka peluang praktik penegakan hukum yang sewenang-wenang, dengan

bertumpu pada alasan hakim telah yakin. Walaupun mengandung kelemahan

yang besar, sistem ini pernah berlaku di Indonesia pada zaman Hindia Belanda

dahulu, yaitu pada Pengadilan District dan Pengadilan Kabupaten51

2. Sistem Pembuktian Melulu Undang-Undang (Positief Wettelijk

Bewijstheorie)

.

Pembuktian yang didasarkan melulu kepada alat-alat pembuktian yang

disebut undang, disebut sistem atau teori pembuktian berdasar

undang-undang secara positif (positiefwettelijkbewijstheorie). Dikatakan secara positif, karena hanya didasarkan kepada undang-undang melulu. Artinya jika telah

49Ibid

. Hal 25. 50

Tb. Irman S, HukumPembuktianPencucianUang, (Jakarta: MQS Publishing, 2006), hal. 136.

51

(4)

terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut oleh

undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Sistem ini disebut

juga teori pembuktian formal (formelebewijstheorie).52

Sistem pembuktian ini hanya sesuai dengan hukum acara pidana

khususnya dalam hal pemeriksaan yang bersifat inkuisitoir (inquisitoir) seperti yang pernah dianut dahulu di benua Eropa.53 Menurut D. Simons, sistem atau

teori pembuktian berdasar undang-undang secara positif (positief wettelijk) ini berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim dan

mengikat hakim secara ketat menurut peraturan- peraturan pembuktian yang

keras.54 Teori pembuktian ini sekarang tidak mendapat penganut lagi.55 Teori ini

terlalu banyak mengandalkan kekuatan pembuktian yang disebut oleh

undang-undang.56

3. Sistem Pembuktian Keyakinan dengan Alasan Logis (Laconviction in Raisonne)

Menurut teori ini, hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasar

keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai

dengan suatu kesimpulan (conclusive) yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu. Jadi, putusan hakim dijatuhkan dengan suatu

52

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia,(Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal. 251. 53

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, (Bandung: Penerbit Sumur Bandung, 1985), hal. 110., seperti dikutip oleh Adami Chazawi, Op. Cit., hal. 27.

54

D. Simons, Beknopte Handleiding tot het Wetboek van Strafvordring, hal. 1., seperti dikutip oleh Andi Hamzah, Op. Cit., hal. 251.

55

A. Minkenhof, De Nederlandse Strafvordering, hal. 1., seperti dikutip oleh ibid. 56

(5)

motivasi. Sistem atau teori pembuktian ini disebut juga pembuktian bebas karena

hakim bebas menyebut alasan-alasan keyakinannya (vrijebewijstheorie).57

Dibandingkan dengan Sistem pembuktian keyakinan hakim belaka

(conviction in time), sistem ini lebih maju sedikit, walaupun kedua sistem ini dalam hal menarik hasil pembuktian tetap didasarkan pada keyakinan. Lebih

maju, karena dalam sistem ini dalam hal membentuk dan menggunakan keyakinan

hakim untuk menarik kesimpulan tentang terbuktinya kesalahan terdakwa

melakukan tindak pidana, didasarkan pada alasan-alasan yang logis. Walaupun

alasan-alasan itu menggunakan alat-alat bukti baik yang ada disebutkan dalam UU

maupun di luar UU.58

4. Sistem Pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara Negatif

(NegatiefWettelijk)

Menurut sistem ini, dalam hal membuktikan kesalahan terdakwa

melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, hakim tidak sepenuhnya

mengandalkan alat-alat bukti serta dengan cara-cara yang ditentukan oleh

undang-undang, tetapi harus disertai pula keyakinan bahwa terdakwa bersalah melakukan

tindak pidana. Keyakinan yang dibentuk ini haruslah didasarkan atas fakta-fakta

yang diperoleh dari alat bukti yang diperoleh dari alat bukti yang ditentukan oleh

undang-undang.59

57Ibid

., hal. 253. 58

Adami Chazawi, Op. Cit., hal. 26. 59

Ibid., hal. 28.

Jadi, dalam sistem atau teori pembuktian yang berdasarkan

undang-undang secara negatif (negatif wettelijk bewijstheorie) ini, pemidanaan didasarkan kepada pembuktian yang berganda (dubbel en grondslag, D. Simons)

(6)

undang, dasar keyakinan hakim itu bersumber pada peraturan

undang-undangan.60

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

Hukum pembuktian dalam hukum acara pidana Indonesia sejak berlakunya

hetHerzieneIndonesischReglement (HIR) dahulu dan kini KUHAP adalah menganut sistem ini secara konsekuen. Pasal 294 ayat (1) HIR merumuskan

bahwa:

“tidak seorangpun boleh dikenakan hukuman, selain jika hakim mendapat keyakinan dengan alat bukti yang sah, bahwa benar telah terjadi perbuatan yang boleh dihukum dan bahwa orang yang dituduh itulah yang salah tentang perbuatan itu”.

Intinya, sistem pembuktian dalam Pasal 294 HIR itu diadopsi dengan

penyempurnaan ke dalam Pasal 183 KUHAP yang rumusannya ialah:

61

Dalam sistem menurut undang-undang secara terbatas atau disebut juga dengan

sistem undang-undang secara negatif – sebagai intinya, yang dirumuskan dalam

Pasal 183, dapatlah disimpulkan pokok-pokoknya, ialah62

a. Tujuan akhir pembuktian untuk memutus perkara pidana, yang jika memenuhi

syarat pembuktian dapat menjatuhkan pidana.

:

Sesungguhnya, pembuktian itu ditujukan untuk memutus suatu perkara, dalam

hal ini perkara pidana, dan bukan semata-mata menjatuhkan pidana. Sebab,

untuk menjatuhkan pidana masih diperlukan lagi syarat terbuktinya kesalahan

60

D. Simons, Beknopte Handleiding tot het Wetboek van Strafvordring, hal. 1., seperti dikutip oleh Andi Hamzah, Op. Cit., hal. 256.

61Ibid

., hal. 29. 62

(7)

terdakwa melakukan tindak pidana. Jika setelah kegiatan pembuktian

dijalankan, dan berdasarkan minimal dua alat bukti yang sah majelis hakim

mendapatkan keyakinan: (1) terbukti terjadinya tindak pidana; (2) terdakwa

melakukannya; dan (3) keyakinan terdakwa bersalah (tanpa terbukti adanya

peniadaan pidana selama persidangan), maka terdakwa dijatuhi pidana

(veroordeling). Sebaliknya, jika menurut keyakinan hakim tindak pidana yang didakwakan tidak terbukti, maka akan dijatuhi pembebasan (vrijspraak). Apabila tindak pidana yang didakwakan terbukti dilakukan terdakwa, tetapi

dalam persidangan terbukti adanya dasar/ alasan yang meniadakan pidana baik

di dalam UU maupun di luar UU, maka tidak dibebaskan dan juga tidak

dipidana melainkan dijatuhkan amar putusan pelepasan dari tuntutan hukum

(ontslagvanallerechtsvervolging).

b. Standar/ syarat tentang hasil pembuktian untuk menjatuhkan pidana.

Sesungguhnya ada 2 (dua) syarat untuk mencapai suatu hasil pembuktian agar

dapat menjatuhkan pidana yang saling berhubungan dan tidak terpisahkan,

tetapi dapat dibedakan, ialah:

1) Harus menggunakan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah.

Maksud alat bukti yang sah adalah alat bukti yang disebut dalam Pasal 184

ayat (1) KUHAP.

2) Dengan menggunakan sekurang-kurangnya dua alat bukti hakim

memperoleh keyakinan. Ada tiga macam/ tingkat keyakinan yang harus

didapatkan hakim dari pembuktian dengan menggunakan minimal dua alat

(8)

yakin terdakwa melakukannya, dan dalam hal itu hakim yakin terdakwa

bersalah.

Mengenai syarat yang pertama, hal sekurang- kurangnya 2 (dua) alat bukti,

bukanlah berarti jenisnya yang harus dua, seperti 1 orang saksi (keterangan saksi)

dan lainnya keterangan terdakwa atau surat, tetapi yang dimaksud

sekurang-kurangnya 2 alat bukti yang sah, adalah bisa saja terdiri dari 2 alat bukti yang

sama jenisnya, misalnya saksi A dan saksi B yang menerangkan hal yang sama.

Mengenai syarat kedua: keyakinan hakim. Keyakinan hakim haruslah dibentuk

atas dasar fakta-fakta hukum yang diperoleh dari minimal dua alat bukti yang

sah. Keyakinan hakim yang harus dibentuk atas dasar mempergunakan minimal

dua alat bukti yang sah tadi.63

B. Ruang Lingkup Alat Bukti dalam Hukum Pidana Indonesia

Mengenai macam alat bukti yang sah dan boleh dipergunakan untuk

membuktikan yang telah ditentukan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, ialah:

a. Keterangan saksi; b. Keterangan ahli; c. Surat;

d. Petunjuk;

e. Keterangan terdakwa;

Jika dibandingkan dengan alat-alat bukti dalam Pasal 295 HIR, maka alat-alat

bukti dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP ada perbedaan. Perbedaan itu ialah:

63

(9)

1. Alat bukti pengakuan menurut HIR, yang dalam KUHAP diperluas

menjadi keterangan terdakwa. Pengertian keterangan terdakwa lebih luas

dari sekedar pengakuan.

2. Dalam KUHAP ditambahkan, alat bukti baru yang dulu dalam HIR bukan

merupakan alat bukti, yakni keterangan ahli.

a. Alat Bukti Keterangan Saksi

KUHAP telah memberikan batasan pengertian saksi, ialah orang yang

dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan

peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan

ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu (Pasal 1 angka

26). Sedangkan keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana

yang berupa keterangan saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar

sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari

pengetahuannya (Pasal 1 angka 27).64

1. Bahwa tujuan saksi memberikan keterangan ialah untuk kepentingan

penyidikan, penuntutan dan peradilan. Ketentuan ini juga mengandung

pengertian bahwa saksi diperlukan dan memberikan keterangannya dalam 2

tingkat yakni ditingkat penyidikan dan ditingkat penuntutan di sidang

pengadilan.

Dari batasan UU tentang saksi dan keterangan saksi tersebut, dapatlah

ditarik 3 kesimpulan, yakni:

64

(10)

2. Bahwa isi apa yang diterangkan, adalah segala sesuatu yang ia dengar sendiri,

ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Keterangan mengenai segala sesuatu yang

sumbernya di luar 3 sumber tadi, tidaklah mempunyai nilai atau kekuatan

pembuktian. Ketentuan ini menjadi suatu prinsip pembuktian dengan

menggunakan alat bukti keterangan saksi.

3. Bahwa keterangan saksi haruslah disertai alasan dari sebab apa ia mengetahui

tentang sesuatu yang ia terangkan. Artinya, isinya keterangan baru berharga

dan bernilai pembuktian apabila setelah memberikan keterangan ia kemudian

menerangkan tentang sebab-sebab dari pengetahuannya tersebut. Hal ini pun

merupakan prinsip umum alat bukti keterangan saksi dalam hal pembuktian.65

Di dalam batasan pengertian saksi dan keterangan saksi (Pasal 1 angka 26

dan 27), terdapat mengenai syarat, yakni: apa yang diterangkan adalah mengenai

hal yang dilihat, didengar dan dialami saksi sendiri. Apabila syarat itu tidak

dipenuhi maka keterangan saksi tersebut tidak bernilai pembuktian, karena bukan

sebagai alat bukti yang sah. Oleh karena itu, tidak dapat dipertimbangkan sebagai

alat bukti perkara pidana. Tentu saja tidak dapat digunakan untuk membentuk

keyakinan hakim.66

Syarat keterangan saksi agar keterangannya itu menjadi sah dan berharga,

sehingga dapat digunakan sebagai salah satu dasar pertimbangan hakim dalam hal

membentuk keyakinannya, dapat terletak pada beberapa hal, ialah:

65Ibid

., hal. 38. 66

(11)

i. Hal kualitas pribadi saksi

Kualitas pribadi yang dimaksud adalah kualitas saksi dalam hubungan

dengan terdakwa. Prinsip umum mengenai kualitas pribadi saksi dalam hukum

pembuktian adalah tidak ada hubungan keluarga. Pada umumnya semua orang

dapat menjadi saksi. Kekecualian menjadi saksi tercantum dalam Pasal 186

KUHAP berikut:

1) Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah

sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai

terdakwa;

2) Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara

ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena

perkawinan, dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga;

3) Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang

bersama-sama sebagai terdakwa.

Ratio dari pembatasan ini adalah untuk mencapai objektivitas isi

keterangan saksi. Namun, bila ada hubungan keluarga, maka ada batas-batas

hubungan tertentu yang tidak boleh menjadi saksi. Sedangkan hubungan keluarga

diluar batas-batas yang ditetapkan, tidak berhalangan untuk memberikan

keterangan saksi, tetapi masih juga ada perkecualian sebagaimana ditentukan

dalam Pasal 170. Menurut ayat (1) pasal ini dikecualikan untuk menjadi saksi

adalah mereka yang karena jabatan, harkat dan martabat atau jabatannya

(12)

memberikan keterangan sebagai saksi, yakni tentang hal yang dipercayakan

kepada mereka.

Ada perkecualian dari orang yang tidak boleh didengar keterangannya

dalam sidang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 168 tersebut, sebagaimana

ditentukan dalam Pasal 169. Menurut Pasal 169, orang –orang yang berkualitas

dalam hubungan kekeluargaan sebagaimana disebutkan Pasal 168 dapat

memberikan keterangannya apabila:

1) Mereka yang berkedudukan dalam hubungan keluarga itu menghendaki

untuk memberikan keterangan;

2) Jaksa Penuntut Umum dan terdakwa secara tegas menyetujuinya.

Biasanya, dalam praktik saksi yang demikian diajukan oleh penasihat

hukum. Kemudian hakim akan menanyakan relevansinya dengan pokok perkara

yang sedang diperiksa. Apabila menurut pertimbangan hakim cukup alasannya

untuk dapat didengar keterangannya, maka hakim meminta kepastian kepada

jaksa penuntut umum dan terdakwa apakah mereka menyetujuinya. Keterangan

saksi keluarga ini harus tidak diatas sumpah. Karena tidak diatas disumpah, maka

keterangan demikian nilai pembuktiannya sepenuhnya bergantung kepada

pertimbangan hakim. Artinya, hakim boleh menggunakannya dan boleh juga

tidak. Jika digunakan, maka tidak dapat disamakan nilainya dengan nilai

keterangan saksi yang disumpah, melainkan sekedar dipergunakan sebagai

tambahan atas keterangan saksi yang disumpah (Pasal 185 ayat 7), atau sekedar

memperkuat alat bukti yang sudah ada saja. Dapat menambah nilai pembuktian

(13)

disumpah tadi harus bersesuaian dengan keterangan saksi yang disumpah; dan

keterangan saksi yang disumpah ini telah memenuhi syarat minimal pembuktian.

Artinya, isinya bersesuaian dengan isi dari alat bukti yang lain.67

ii. Hal apa yang diterangkan saksi

Ada 2 syarat yang menyangkut keterangan saksi di muka sidang

pengadilan yang tidak bisa dipisahkan, agar keterangan itu bernilai dan berharga

pembuktian, yang dapat dipertimbangkan untuk membentuk keyakinan hakim,

yaitu:

1. Sumber pengetahuan saksi

Artinya, bahwa apa yang diterangkan oleh saksi haruslah bersumber dari

pribadinya sendiri, bukan keterangan yang didapat dari orang lain.

Keterangan yang didapat dari cerita orang lain, tidaklah mempunyai nilai

pembuktian.

2. Substansi isi keterangan

Isi keterangan saksi haruslah keterangan mengenai fakta, yaitu apa yang

dia lihat, dia dengar dan dia alami sendiri. Oleh karena itu, pendapat

bukanlah termasuk fakta sehingga tidak termasuk keterangan saksi yang

dimaksud Pasal 1 angka 27. Mengenai hal itu ditegaskan oleh Pasal 185

ayat (5), yang menyatakan bahwa:

“baik pendapat maupun rekaan yang diperoleh dari hasil pemikiran, bukan merupakan keterangan saksi”.68

67Ibid

., hal. 42. 68

(14)

iii. Alasan apa saksi mengetahui tentang apa yang diterangkan

Apa yang dimaksud dengan alasan adalah segala sesuatu yang menjadi

sebab mengapa seorang saksi melihat, dan mendengar atau mengalami tentang

peristiwa yang diterangkan saksi. Keterangan saksi di muka sidang pengadilan,

tetapi dari rangkaian keterangannya tidak didapat keterangan mengenai sebab

pengetahuan mengenai apa yang saksi terangkan, maka keterangan tanpa sebab

pengetahuannya itu tidak bernilai pembuktian.69

iv. Syarat mengucap sumpah atau janji

Pasal 160 ayat (3) KUHAP mewajibkan pada saksi sebelum memberikan

keterangan untuk terlebih dahulu mengucapkan sumpah atau janji menurut cara

agamanya, yang isinya sumpah atau janji bahwa ia akan memberikan keterangan

yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya. Cara penyumpahan ini

disebut dengan promissoris, artinya sanggup berkata yang benar.

Kepercayaan atas kebenaran isi keterangan yang diletakkan diatas sumpah

atau dikuatkan dengan sumpah, didasarkan pada dua alasan yang bersifat menekan

secara psikologis orang, yaitu: Pertama, pada kepercayaan terhadap sanski dosa

dan kutukan dari Tuhan kepada orang yang dengan sengaja melanggar sumpah,

sesuai dengan agama yang dianut. Dengan alasan ini maka sumpah yang

diucapkan saksi haruslah berdasarkan dan menurut cara agama masing-masing.

Kedua, pada sanksi hukum pidana. Hukum pidana telah menentukan sanksi

pidana maksimum 7 tahun sampai 9 tahun penjara bagi orang yang memberikan

keterangan palsu diatas sumpah (Pasal 242 KUHP).

69

(15)

v. Syarat adanya hubungan keterangan saksi dengan keterangan saksi lainnya

atau alat bukti lain.

Pasal 185 ayat (2) menentukan bahwa:

“keterangan seorang saksi sadja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya”.

Mengikuti ketentuan ini, maka suatu fakta yang didapat dari keterangan saksi

yang satu agar menjadi berharga haruslah didukung dengan keterangan saksi yang

lain, atau didukung oleh alat bukti lain. Maksudnya didukung adalah keterangan

satu saksi harus sama, yang dalam praktik disebut bersesuaian dengan keterangan

saksi yang lain atau alat bukti yang lain. Fakta yang diperoleh dari keterangan satu

saksi yang saling bersesuaian dengan keterangan saksi lain atau alat bukti lain saja

yang dapat dipertimbangkan hakim untuk membentuk keyakinannya bahwa tindak

pidana telah terjadi dan terdakwa bersalah melakukannya. Hanya diatas keyakinan

yang dibentuk berdasarkan minimal dua alat yang sah itu saja pidana boleh

dijatuhkan.70

1. Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan saksi yang lainnya;

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menilai kekuatan

keterangan saksi dalam persidangan. Dalam menilai keterangan saksi, disamping

harus memperhatikan tentang syarat sah dan berharganya keterangan saksi, juga

harus memperhatikan standar penilaian keterangan saksi. Hal yang harus

diperhatikan sebagaimana yang telah ditentukan Pasal 185 ayat (6), ialah:

2. Persesuaian keterangan saksi dengan alat bukti lain;

70

(16)

3. Alasan saksi memberikan keterangan tertentu;

4. Cara hidup dan kesusilaan saksi.

Di samping itu, ada hal lain yang juga perlu diperhatikan dalam menilai

keterangan saksi, ialah:

1. Tanggapan terdakwa terhadap keterangan saksi (Pasal 164 ayat (1)

KUHAP), dan

2. Persesuaian keterangan saksi di persidangan dengan keterangannya di

tingkat penyidikan (Pasal 163 KUHAP).

b. Alat Bukti Keterangan Ahli

Keterangan seorang ahli disebut sebagai alat bukti pada urutan kedua

setelah keterangan saksi oleh Pasal 184 KUHAP. Dalam praktik alat bukti ini

disebut alat bukti saksi ahli. Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan

seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk

menyatakan terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan (Pasal 1

angka 28). Dalam Pasal 186 KUHAP menyatakan bahwa:

“keterangan seorang ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan”.

Isi keterangan yang disampaikan ahli adalah terkait hal-hal mengenai bidang

keahliannya yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa.

Keterangan ahli tidak perlu diperkuat dengan alasan sebab keahliannya atau

pengetahuannya sebagaimana pada keterangan saksi. KUHAP membedakan

keterangan ahli di persidangan sebagai alat bukti “keterangan ahli” (Pasal 186

(17)

sebagai alat bukti “surat” (Pasal 187 butir c KUHAP). Contohnya ialah visum et repertum yang dibuat oleh seorang dokter.

c. Alat Bukti Surat

Menurut Sudikno Mertokusumo, surat adalah:

“segala sesuatu yang memuat tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian. Dengan demikian, segala sesuatu yang tidak memuat tanda bacaan, atau meskipun memuat tanda-tanda bacaan, akan tetapi tidak mengandung buah pikiran, tidaklah termasuk dalam pengertian alat bukti tertulis atau surat.”71

a) Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;

Pasal 187 KUHAP menguraikan tentang alat bukti surat yang terdiri dari 4, yaitu:

b) Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;

c) Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya;

d) Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.

Dari macam-macam surat resmi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 187 huruf a,

b, dan c KUHAP, maka dapat digolongkan menjadi72

a) Acte ambtelijk, yaitu akta yang dibuat oleh pejabat umum. Pembuatan akta otentik tersebut sepenuhnya merupakan kehendak dari pejabat umum

tersebut. Jadi isinya adalah keterangan dari pejabat umum tentang yang ia :

71

Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, (Bandung: Mandar Maju, 2003), hal. 62.

72

(18)

lihat dan ia lakukan. Misalnya, berita acara tentang keterangan saksi yang

dibuat oleh penyidik.

b) Acte partij, yaitu akta otentik yang dibuat para pihak di hadapan pejabat umum. Pembuat akta otentik tersebut, sepenuhnya berdasarkan kehendak

dari para pihak dengan bantuan pejabat umum. Isi akta otentik tersebut

merupakan keterangan-keterangan yang berisi kehendak para

pihak.Misalnya, akta jual beli yang dibuat di hadapan notaris.

Menurut Martiman Prodjohamodjojo seperti dikutip oleh Andi Hamzah,

Pasal 187 butir (d) adalah surat yang tidak sengaja dibuat untuk menjadi alat

bukti, tetapi karena isinya surat ada hubungannnya dengan alat bukti yang lain,

maka dapat dijadikan sebagai alat bukti tambahan yang memperkuat alat bukti

yang lain. Secara formal, alat bukti surat sebagaimana disebut dalam Pasal 187

huruf (a), (b), dan (c) adalah alat bukti sempurna, sebab dibuat secara resmi

menurut formalitas yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan,

sedangkan surat yang disebut dalam butir (d) bukan merupakan alat bukti yang

sempurna. Dari segi materil, semua bentuk alat bukti surat yang disebut dalam

Pasal 187 bukanlah alat bukti yang mempunyai kekuatan mengikat. Sama seperti

keterangan saksi atau keterangan ahli, surat juga mempunyai kekuatan

pembuktian yang bersifat bebas (vrij bewijskracht).

Meskipun tidak ada pengaturan khusus tentang cara memeriksa alat bukti

surat seperti yang diatur dalam Pasal 304 HIR, maka harus diingat bahwa sesuai

dengan sistem negatif yang dianut oleh KUHAP, yakni harus ada keyakinan dari

(19)

karena itu bersifat bebas. Dalam hukum acara pidana, yang dicari adalah

kebenaran materil atau kebenaran sejati, sehingga konsekuensinyahakim bebas

untuk menggunakan atau mengesampigkan sebuah surat. Disamping itu haruslah

diingat tentang adanya minimum pembuktian, walaupun ditinjau dari segi formal

alat bukti surat resmi (otentik) yang berbentuk surat yang dikeluarkan berdasarkan

ketentuan undang-undang adalah alat bukti yang sah dan bernilai sempurna,

namun nilai kesempurnaannya, pada alat bukti surat yang bersangkutan tidak

berdiri sendiri, melainkan sekurang-kurangnya harus dibantu dengan satu alat

bukti yang sah lainnya.

d. Alat Bukti Petunjuk

Pasal 188 ayat (1) memberikan pengertian petunjuk, yaitu:

“perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya”.

Penjelasan pasal ini menyebutkan bahwa pemberian nilai atas petunjuk itu

diserahkan kepada kebijaksanaan hakim. Karena alat bukti petunjuk ini adalah

berupa pemikiran atau pendapat hakim yang dibentuk dari hubungan atau

persesuaian alat bukti yang ada dan dipergunakan dalam sidang, maka sifat

subyektivitas hakim lebih dominan. Oleh karena itu, Pasal 188 ayat (3)

mengingatkan hakim agar dalam menilai kekuatan alat bukti petunjuk dalam

setiap keadaan tertentu harus dilakukan dengan arif dan bijaksana, setelah hakim

memeriksa dengan cermat dan seksama yang didasarkan hati nuraninya. Menurut

Pasal 188 ayat (2) KUHAP dalam hal cara memperoleh alat bukti petunjuk, hanya

(20)

1) Keterangan saksi; 2) Surat;

3) Keterangan terdakwa.

Nilai kekuatan pembuktian (bewijskracht) dari alat bukti petunjuk sama dengan alat bukti lainnya yaitu bebas. Hakim tidak terikat atas kebenaran

persesuaian yang diwujudkan oleh petunjuk. Dalam menggunakan alat bukti

petujuk, tugas hakim akan lebih sulit, ia harus mencari hubungan antara

perbuatan, kejadian atau keadaan, menarik kesimpulan yang perlu serta

mengkombinasikan akibat-akibatnya dan akhirnya sampai pada suatu keputusan

tentang terbukti atau tidaknya sesuatu yang telah didakwakan.

e. Keterangan Terdakwa

Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di

sidang pengadilan (Pasal 1 butir 15 KUHAP). Keterangan terdakwa ialah apa

yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia

ketahui sendiri atau alami sendiri (Pasal 189 ayat (1) KUHAP). Keterangan

terdakwa yang diberikan dalam persidangan barulah merupakan alat bukti.

Keterangan tersebut berisi pernyataan terdakwa tentang apa yang ia perbuat, apa

yang ia lakukan, dan apa yang ia alami. Keterangan terdakwa di luar sidang

(keterangan tersangka) tidak bisa dipergunakan untuk menemukan bukti dalam

sidang, jika tidak didukung alat bukti yang sah. Keterangan terdakwa hanya dapat

digunakan terhadap dirinya sendiri. Dengan demikian keterangan terdakwa

tersebut tidak bisa untuk memberatkan sesama terdakwa.73

73

(21)

C. Bukti Elektronik Sebagai Alat Bukti yang Sah dalam Hukum Pidana Indonesia

Sgarlata Chung dan David J. Byer, memberikan deskripsi mengenai ruang

lingkup alat bukti elektronik, yang mencakup:

“any information created or stored in digital form whenever a computer is used to accompish a task... Therefore, electronic evidence... may include information databases, operating systems, application programs, computer-generated models, electronic and voice mail messages and records, and other information or instructions residing in computer memory”.74

Alat bukti elektronik memiliki cakupan yang luas dan jenis yang beragam,

sehingga pengumpulan dan pemeriksaan alat bukti elektronik membutuhkan

waktu yang lama dan biaya yang tidak sedikit. Pengaturan alat bukti elektronik

harus didasarkan pada sistem dan prinsip pembuktian hukum acara pidana yang

berlaku di Indonesia. KUHAP belum mengatur mengenai alat bukti elektronik

sebagai alat bukti yang sah, namun beberapa peraturan perundang-undangan telah

mengatur bahwa data elektronik dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah. Surat

Mahkamah Agung kepada Menteri Kehakiman Nomor 39/TU/88/102/Pid tanggal

14 Januari 1988 menyatakan bahwa “microfilm atau microfiche dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah dalam perkara pidana di pengadilan

menggantikan alat bukti surat, dengan catatan microfilm tersebut sebelumya

dijamin keotentikasiannya yang dapat ditelusuri kembali dari registrasi maupun

berita acara”.75

74

Josua Sitompul, Op. Cit., hal. 263. 75

Ibid., hal. 270.

Menurut Fakhriah (2009), pengakuan microfilm atau microfiche

(22)

Mahkamah Agung Nomor 71.K/Sip/1974 mengenai fotokopi dokumen sebagai

alat bukti. Dalam Putusan MA tersebut diakui bahwa fotokopi dapat diterima

sebagai alat bukti bila disertai keterangan atau dengan jalan apapun secara sah

dapat ditunjukkan bahwa fotokopi tersebut sesuai dengan aslinya. Oleh karena

itu, berdasarkan analogi maka hasil print out mesin faximili, microfilm atau

microfiche juga dapat diterima sebagai alat bukti.76

Adapun yang dimaksud dengan bukti elektronik adalah bukti yang didapat

dari kejahatan yang menggunakan peralatan teknologi untuk mengarahkan suatu

peristiwa pidana berupa data-data elektronik baik yang berada di dalam perangkat

teknologi itu sendiri misalnya terdapat pada komputer, harddisk/ floppydisk,

memorycard, simcard atau yang merupakan hasil printout, ataupun telah mengalami pengolahan melalui suatu perangkat teknologi tertentu misalnya

komputer ataupun dalam bentuk lain berupa jejak (path) dari suatu aktivitas penggunaan teknologi. 77

Mengenai alat-alat bukti elektronik ini, Hakim Mohammed Chawki dari

ComputerCrimeResearchCenter mengklasifikasikan bukti elektronik menjadi tiga kategori, yaitu: 78

a. Real Evidence

Realevidence atau physicalevidence ialah bukti yang terdiri dari objek-objek nyata/ berwujud yang dapat dilihat dan disentuh. “Realevidence juga

76

Efa Laela Fakhriah, Bukti Elektronik dalam Sistem Pembuktian Perdata, (Bandung: PT. Alumni, 2009), hal 57, seperti dikutip oleh Ibid.

77

Edmon Makarim, Kompilasi Hukum Telematika, (Jakarta: Raja Grafindo, 2004), hal. 455, seperti dikutip oleh Sara Yosephine Bangun, Kedudukan Bukti Surat Elektronik (Email) Dari Prespektif Hukum Acara Pidana Indonesia, (Medan: USU)., hal. 15.

78

(23)

merupakan bukti langsung berupa rekaman otomatis yang diperoleh dari alat

(device) yang lain, contohnya computerlogfiles”.79

b. Testamentary evidence

Realevidence atau bukti nyata ini meliputi kalkulasi-kalkulasi atau analisa-analisa yang diolah oleh komputer

melalui pengaplikasian software dan penerimaan informasi dari device lain seperti

jam yang built-in langsung dalam komputer atau remotesender. Bukti nyata ini muncul dari berbagai kondisi. Bukti elektronik sebagai suatu alat bukti yang sah

yang berdiri sendiri (realevidence), tentunya harus dapat diberikan jaminan bahwa suatu rekaman/ salinan data (datarecording) berjalan sesuai dengan prosedur yang berlaku (telah dikalibrasi dan diprogram) sedemikian rupa sehingga hasil printout

suatu data dapat diterima dalam pembuktian kasus. Contohnya jika sebuah

komputer bank secara otomatis mengkalkulasi (menghitung) nilai pembayaran

pelanggan terhadap bank berdasarkan tarifnya, transaksi-transaksi yang terjadi dan

credit balance yang dikliring secara harian, maka kalkulasi ini akan digunakan

sebagai sebuah bukti nyata.

Testamentaryevidence atau dikenal juga dengan istilah HearsayEvidence

adalah keterangan dari saksi maupun expertwitness yaitu keterangan dari seorang ahli dapat diberikan selama persidangan, berdasarkan pengalaman dan

pengamatan individu. Peranan dari keterangan ahli sesuai dengan peraturan

perundang-undangan kita yaitu UU No.8 Tahun 1981 KUHAP, bahwa keterangan

ahli dinilai sebagai alat bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian jika

keterangan yang diberikan tentang suatu hal berdasarkan keahlian khusus dalam

79

(24)

bidang yang dimilikinya dan yang berupa keterangan “menurut pengetahuannya”

secara murni.80 Kedudukan seorang ahli dalam memperjelas tindak pidana yang

terjadi serta menerangkan atau menjelaskan bukti elektronik sangat penting dalam

memberikan keyakinan hakim dalam memutus perkara kejahatan dunia maya.

Termasuk pada Testamentaryevidence adalah dokumen-dokumen data yang juga diolah oleh komputer yang merupakan salinan dari informasi yang diberikan

(dimasukkan) oleh manusia kepada komputer. Cek yang ditulis dan slip

pembayaran yang diambil dari sebuah rekening bank juga termasuk

heraseyevidence.81

c. Circumstantial evidence

Pengertian dari circumstansialevidence ini adalah merupakan bukti terperinci yang diperoleh berdasarkan ucapan atau pengamatan dari kejadian yang

sebenarnya yang mendorong untuk mendukung suatu kesimpulan, tetapi bukan

untuk membuktikannya. circumstantialevidence atau derivedevidence ini merupakan kombinasi dari realevidence dan hearsayevidence”.82

80

M. Yahya Harahap, Pembahasan dan Penerapan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Jilid II, (Jakarta: Pustaka Kartini, 1993), hal. 301, seperti dikutip oleh Melda Octaria Damanik, Loc.Cit.,hal. 44.

81

Sara Yosephine Bangun, Loc.Cit.,hal. 16. 82

Edmon Makarim, 12 April 2007, “Tindak Pidana terkait dengan Komputer dan Internet: Suatu Kajian Pidana Materiil dan Formil”, Seminar Pembuktian dan Penanganan Cyber Crime di Indonesia, (FH UI, Jakarta), seperti dikutip oleh Lamgok Herianto Silalahi,

Loc.Cit.,hal.86.

Atau singkatnya,

yang dimaksud dengan circumstantialevidence atau deriviedevidence adalah informasi yang mengkombinasikan antara bukti nyata (realevidence) dengan informasi yang diberikan oleh manusia kepada komputer dengan tujuan untuk

(25)

harian sebuah statement bank karena tabel ini adalah diperoleh dari realevidence

(yang secara otomatis membuat tagihan bank) dan hearseyevidence (check

individu dan entry pembayaran lewat slip-playingin).83

a. UU No. 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan

Sampai saat ini ada beberapa perundang-undangan yang secara parsial

telah mengatur eksistensi alat bukti elektronik, yaitu:

UU No. 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan telah meletakkan

dasar penting dalam penerimaan (admissibility) informasi atau dokumen elektronik.84 Dengan dikeluarkannya UU No. 8 Tahun 1997 tanggal 24 Maret

1997 tentang Dokumen Perusahaan, pemerintah berusaha untuk mengatur

pengakuan atas mikrofilm dan media lainnya (alat penyimpan informasi yang bukan kertas dan mempunyai tingkat pengamanan yang dapat menjamin keaslian

dokumen yang dialihkan atau ditransformasikan). Misalnya compact disk- read only memory (CD-ROM), dan Write Once- Read- Many (WORM), yang diatur dalam Pasal 12 UU tentang Dokumen Perusahaan tersebut sebagai alat bukti yang

sah.85

83

Sara Yosephine Bangun, Loc. Cit.,hal. 16. 84

Josua Sitompul, Op. Cit., hal. 271. 85

Petrus Reinhard Golose, 12 April 2007,” Penegakan Hukum Cyber Crime dalam sistem Hukum Indonesia”, Seminar Pembuktian dan Penanganan Cyber Crime di Indonesia,(FH UI, Jakarta), hal.23., seperti dikutip oleh Lamgok Herianto Silalahi, Loc. Cit.,hal. 78.

Pengalihan dokumen perusahaan ke dalam bentuk mikrofilm atau media

lainnya tersebut harus memenuhi persyaratan yang secara implisit diatur dalam

(26)

1) Setiap pengalihan dokumen wajib dilegalisasi yang dilakukan oleh pemimpin

perusahaan atau pejabat yang ditunjuk di lingkungan perusahaan tersebut

dengan dibuatkan berita acara yang memuat sekurang-kurangnya memuat:

1. Keterangan tempat waktu pelaksanaan legalisasi;

2. Keterangan bahwa pengalihan dokumen tersebut telah sesuai dengan

hasilnya;

3. Tanda tangan dan nama jelas pejabat yang bersangkutan.

2) Dapat dilakukan sejak dokumen dibuat atau diterima perusahaan;

3) Pimpinan perusahaan wajib mempertimbangkan kegunaan naskah asli

dokumen yang perlu;

4) Pimpinan perusahaan wajib menyimpan naskah asli Dokumen Perusahaan

yang dialihkan ke dalam mikrofilm atau media lainnya adalah naskah asli

yang mempunyai kekuatan pembuktian otentik dan masih mengandung

kepentingan hukum tertentu.

Lebih lanjut, UU Dokumen Perusahaan juga mengatur bahwa apabila

dianggap perlu maka dalam hal tertentu dan untuk keperluan tertentu, dapat

dilakukan legalisasi terhadap hasil cetak dokumen perusahaan yang telah dimuat

dalam mikrofilm atau media lainnya. Dari pengaturan tersebut, setidaknya ada dua

kesimpulan yang dapat diambil. Pertama informasi atau dokumen elektronik harus

dilegalisasi. Sebenarnya, legalisasi ini merupakan usaha untuk menjaga atau

mempertahankan keautentikan konten dari Dokumen Perusahaan. Melalui proses

ini Dokumen Perusahaan dalam bentuk mikrofilm atau media lainnya tersebut

(27)

sah. Kedua, yang dimaksud dengan alat bukti yang sah menurut Pasal 15 ayat (1)

UU Dokumen Perusahaan ialah alat bukti surat, khususnya akta di bawah

tangan.86

b. Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

Pasal 27 UU Terorisme mengatur bahwa alat bukti pemeriksaan tindak

pidana terorisme meliputi:

1) Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana;

2) Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan

3) Data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/ atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada:

a) Tulisan, suara, atau gambar;

b) Peta, rancangan, foto, atau sejenisnya;

c) Huruf, tanda, angka simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.

c. Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi.

Berdasarkan undang-undang ini, ada perluasan mengenai sumber

perolehan alat bukti yang sah berupa petunjuk. Berdasarkan KUHAP, alat bukti

petunjuk hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan

terdakwa, tetapi menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, bukti petunjuk

86

(28)

juga dapat diperoleh dari alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan,

dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang

serupa dengan itu tetapi tidak terbatas pada data penghubung elektronik

(electronik data interchange), surat elektronik (e-mail), telegram, teleks, faksimili dan dari dukumen, yakni setiap rekaman atau informasi yang dapat dikeluarkan

dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda

fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa

tulisan suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi

yang memiliki makna.

d. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Perdagangan Orang.

Pasal 29 mengatur mengenai alat bukti selain sebagaimana ditentukan

dalam KUHAP, dapat pula berupa:

a) Informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara

elektronik dengan alat optik atau serupa dengan itu dan

b) Data, rekaman atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar

yang dapat dikeluarkan denegan atau tanpa bantuan suatu sarana, bauk

yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas atau yang

terekam secara elektronik, termasuk tidak terbatas pada:

(1) Tulisan, suara atau gambar;

(29)

(3) Huruf, tanda, angka, simbol atau perforasi yang memiliki makna

atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau

Referensi

Dokumen terkait

Prosedur pengajuan hukum pembuktian, pertama surat dibuat berdasarkan sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, kedua keterangan ahli yaitu segala hal yang dinyatakan

Proses pembuktian pada kasus cybercrime pada dasarnya tidak berbeda dengan pembuktian pada kasus pidana konvensional, tetapi dalam kasus cybercrime ada beberapa hal

Op.cit. Memberantas Korupsi bersama KPK. 2) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat

Dari hasil pembahasan dapat disimpulkan, bahwa bukti elektronik dalam hukum acara pidana berstatus sebagai alat bukti yang berdiri sendiri dan alat bukti yang tidak berdiri sendiri

a) Tidak dikecualikan kepada pejabat lain yang ditetapkan oleh undang- undang.. b) Menyangkut akta yang harus dibuat atau berwenang membuat akta otentik mengenai

Berdasarkan Pasal 188 ayat 1 KUHAP, petunjuk didefinisikan sebagai perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara satu dengan yang

Informasi dan atau dokumen elektronik dapat dianggap sebagai alat bukti elektronik sebagaimana ditentukan sebagai perluasan alat bukti pada hukum acara pidana yang

Oleh sebab itu, sumber hukum masing-masing negara telah memuat pengaturan mengenai prinsip exclusionary rules, yaitu bagaimana tindakan atau akibat yang akan diterima oleh aparat