BAB II
PENGATURAN MENGENAI BUKTI ELEKTRONIKSEBAGAI ALAT BUKTI YANG SAH DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA
A. Teori Pembuktian atau Sistem Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana Indonesia
Dilihat dari hukum pembuktian yang dianut oleh Indonesia sekarang,
sistem pembuktian dapat diberi batasan sebagai suatu kebulatan atau keseluruhan
dari berbagai ketentuan perihal kegiatan pembuktian yang saling mengait dan
berhubungan satu dengan lain yang tidak terpisahkan dan menjadi suatu kesatuan
yang utuh. Adapun isinya sistem pembuktian terutama tentang alat-alat bukti apa
yang boleh digunakan untuk membuktikan, cara bagaimana alat bukti ini boleh
dipergunakan, dan nilai kekuatan dari alat-alat bukti tersebut serta standar/ kriteria
yang menjadi ukuran dalam mengambil kesimpulan tentang terbuktinya sesuatu
(objek) yang dibuktikan. 46
Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang
didakwakan, merupakan bagian terpenting dalam hukum acara pidana. Oleh
karena itu, hukum acara pidana mencari kebenaran materil. Adapun enam butir
pokok yang menjadi alat ukur dalam teori pembuktian dapat diuraikan sebagai
berikut47
1. Dasar pembuktian yang tersimpul dalam pertimbangan keputusan pengadilan
untuk memperoleh fakta-fakta yang benar (bewijsgronden); :
46
Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: PT. Alumni, 2008), hal.24.
47
2. Alat-alat bukti yang dapat digunakan oleh hakim untuk mendapatkan
gambaran mengenai terjadinya perbuatan pidana yang sudah lampau
(bewijsmiddelen);
3. Penguraian bagaimana cara menyampaikan alat-alat bukti kepada hakim di
sidang pengadilan (bewijsvoering);
4. Kekuatan pembuktian dalam masing-masing alat-alat bukti dalam rangkaian
penilaian terbuktinya suatu dakwaan (bewijskracht);
5. Beban pembuktian yang diwajibkan oleh undang-undang untuk membuktikan
dakwaan di muka sidang pengadilan (bewijslast);
6. Bukti minimum yang diperlukan dalam pembuktian untuk mengikat
kebebasan hakim (bewijsminimum).
Pada hakekatnya pembuktian dimulai sejak adanya suatu peristiwa hukum.
Menurut Adami Chazawi, pada dasarnya seluruh kegiatan dalam proses hukum
penyelesaian perkara pidana, sejak penyelidikan sampai putusan akhir diucapkan
di muka persidangan oleh majelis hakim adalah berupa kegiatan yang
berhubungan dengan pembuktian atau kegiatan untuk membuktikan.48
1. Sistem Pembuktian Keyakinan Hakim Belaka (Conviction In Time)
Ilmu pengetahuan mengenal empat sistem pembuktian, yaitu:
Menurut sistem ini, hakim dapat menyatakan telah terbukti kesalahan
terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan dengan berdasarkan
keyakinannya saja, dan tidak perlu mempertimbangkan dari mana (alat bukti) dia
memperoleh dan alasan-alasan yang dipergunakan serta bagaimana caranya dalam
48
membentuk keyakinannya tersebut. Juga tidak perlu mempertimbangkan apakah
logis ataukah tidak logis. Bekerjanya sistem ini benar-benar bergantung kepada
hati nurani hakim.49 Sehingga pembuktian ini sangatlah subyektif, seseorang bisa
dinyatakan bersalah tanpa bukti apa-apa yang mendukungnya, sebaliknya
pembuktian sistem ini bisa membebaskan seseorang dari perbuatan yang
dilakukannya.50
Sistem ini mengandung kelemahan yang besar. Sebagaimana manusia
biasa, hakim bisa salah keyakinan yang telah dibentuknya, berhubung tidak ada
kriteria, alat-alat bukti tertentu yang harus dipergunakan dan syarat serta cara-cara
hakim dalam membentuk keyakinannya itu. Di samping itu, pada sistem ini
terbuka peluang praktik penegakan hukum yang sewenang-wenang, dengan
bertumpu pada alasan hakim telah yakin. Walaupun mengandung kelemahan
yang besar, sistem ini pernah berlaku di Indonesia pada zaman Hindia Belanda
dahulu, yaitu pada Pengadilan District dan Pengadilan Kabupaten51
2. Sistem Pembuktian Melulu Undang-Undang (Positief Wettelijk
Bewijstheorie)
.
Pembuktian yang didasarkan melulu kepada alat-alat pembuktian yang
disebut undang, disebut sistem atau teori pembuktian berdasar
undang-undang secara positif (positiefwettelijkbewijstheorie). Dikatakan secara positif, karena hanya didasarkan kepada undang-undang melulu. Artinya jika telah
49Ibid
. Hal 25. 50
Tb. Irman S, HukumPembuktianPencucianUang, (Jakarta: MQS Publishing, 2006), hal. 136.
51
terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut oleh
undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Sistem ini disebut
juga teori pembuktian formal (formelebewijstheorie).52
Sistem pembuktian ini hanya sesuai dengan hukum acara pidana
khususnya dalam hal pemeriksaan yang bersifat inkuisitoir (inquisitoir) seperti yang pernah dianut dahulu di benua Eropa.53 Menurut D. Simons, sistem atau
teori pembuktian berdasar undang-undang secara positif (positief wettelijk) ini berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim dan
mengikat hakim secara ketat menurut peraturan- peraturan pembuktian yang
keras.54 Teori pembuktian ini sekarang tidak mendapat penganut lagi.55 Teori ini
terlalu banyak mengandalkan kekuatan pembuktian yang disebut oleh
undang-undang.56
3. Sistem Pembuktian Keyakinan dengan Alasan Logis (Laconviction in Raisonne)
Menurut teori ini, hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasar
keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai
dengan suatu kesimpulan (conclusive) yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu. Jadi, putusan hakim dijatuhkan dengan suatu
52
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia,(Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal. 251. 53
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, (Bandung: Penerbit Sumur Bandung, 1985), hal. 110., seperti dikutip oleh Adami Chazawi, Op. Cit., hal. 27.
54
D. Simons, Beknopte Handleiding tot het Wetboek van Strafvordring, hal. 1., seperti dikutip oleh Andi Hamzah, Op. Cit., hal. 251.
55
A. Minkenhof, De Nederlandse Strafvordering, hal. 1., seperti dikutip oleh ibid. 56
motivasi. Sistem atau teori pembuktian ini disebut juga pembuktian bebas karena
hakim bebas menyebut alasan-alasan keyakinannya (vrijebewijstheorie).57
Dibandingkan dengan Sistem pembuktian keyakinan hakim belaka
(conviction in time), sistem ini lebih maju sedikit, walaupun kedua sistem ini dalam hal menarik hasil pembuktian tetap didasarkan pada keyakinan. Lebih
maju, karena dalam sistem ini dalam hal membentuk dan menggunakan keyakinan
hakim untuk menarik kesimpulan tentang terbuktinya kesalahan terdakwa
melakukan tindak pidana, didasarkan pada alasan-alasan yang logis. Walaupun
alasan-alasan itu menggunakan alat-alat bukti baik yang ada disebutkan dalam UU
maupun di luar UU.58
4. Sistem Pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara Negatif
(NegatiefWettelijk)
Menurut sistem ini, dalam hal membuktikan kesalahan terdakwa
melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, hakim tidak sepenuhnya
mengandalkan alat-alat bukti serta dengan cara-cara yang ditentukan oleh
undang-undang, tetapi harus disertai pula keyakinan bahwa terdakwa bersalah melakukan
tindak pidana. Keyakinan yang dibentuk ini haruslah didasarkan atas fakta-fakta
yang diperoleh dari alat bukti yang diperoleh dari alat bukti yang ditentukan oleh
undang-undang.59
57Ibid
., hal. 253. 58
Adami Chazawi, Op. Cit., hal. 26. 59
Ibid., hal. 28.
Jadi, dalam sistem atau teori pembuktian yang berdasarkan
undang-undang secara negatif (negatif wettelijk bewijstheorie) ini, pemidanaan didasarkan kepada pembuktian yang berganda (dubbel en grondslag, D. Simons)
undang, dasar keyakinan hakim itu bersumber pada peraturan
undang-undangan.60
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Hukum pembuktian dalam hukum acara pidana Indonesia sejak berlakunya
hetHerzieneIndonesischReglement (HIR) dahulu dan kini KUHAP adalah menganut sistem ini secara konsekuen. Pasal 294 ayat (1) HIR merumuskan
bahwa:
“tidak seorangpun boleh dikenakan hukuman, selain jika hakim mendapat keyakinan dengan alat bukti yang sah, bahwa benar telah terjadi perbuatan yang boleh dihukum dan bahwa orang yang dituduh itulah yang salah tentang perbuatan itu”.
Intinya, sistem pembuktian dalam Pasal 294 HIR itu diadopsi dengan
penyempurnaan ke dalam Pasal 183 KUHAP yang rumusannya ialah:
61
Dalam sistem menurut undang-undang secara terbatas atau disebut juga dengan
sistem undang-undang secara negatif – sebagai intinya, yang dirumuskan dalam
Pasal 183, dapatlah disimpulkan pokok-pokoknya, ialah62
a. Tujuan akhir pembuktian untuk memutus perkara pidana, yang jika memenuhi
syarat pembuktian dapat menjatuhkan pidana.
:
Sesungguhnya, pembuktian itu ditujukan untuk memutus suatu perkara, dalam
hal ini perkara pidana, dan bukan semata-mata menjatuhkan pidana. Sebab,
untuk menjatuhkan pidana masih diperlukan lagi syarat terbuktinya kesalahan
60
D. Simons, Beknopte Handleiding tot het Wetboek van Strafvordring, hal. 1., seperti dikutip oleh Andi Hamzah, Op. Cit., hal. 256.
61Ibid
., hal. 29. 62
terdakwa melakukan tindak pidana. Jika setelah kegiatan pembuktian
dijalankan, dan berdasarkan minimal dua alat bukti yang sah majelis hakim
mendapatkan keyakinan: (1) terbukti terjadinya tindak pidana; (2) terdakwa
melakukannya; dan (3) keyakinan terdakwa bersalah (tanpa terbukti adanya
peniadaan pidana selama persidangan), maka terdakwa dijatuhi pidana
(veroordeling). Sebaliknya, jika menurut keyakinan hakim tindak pidana yang didakwakan tidak terbukti, maka akan dijatuhi pembebasan (vrijspraak). Apabila tindak pidana yang didakwakan terbukti dilakukan terdakwa, tetapi
dalam persidangan terbukti adanya dasar/ alasan yang meniadakan pidana baik
di dalam UU maupun di luar UU, maka tidak dibebaskan dan juga tidak
dipidana melainkan dijatuhkan amar putusan pelepasan dari tuntutan hukum
(ontslagvanallerechtsvervolging).
b. Standar/ syarat tentang hasil pembuktian untuk menjatuhkan pidana.
Sesungguhnya ada 2 (dua) syarat untuk mencapai suatu hasil pembuktian agar
dapat menjatuhkan pidana yang saling berhubungan dan tidak terpisahkan,
tetapi dapat dibedakan, ialah:
1) Harus menggunakan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah.
Maksud alat bukti yang sah adalah alat bukti yang disebut dalam Pasal 184
ayat (1) KUHAP.
2) Dengan menggunakan sekurang-kurangnya dua alat bukti hakim
memperoleh keyakinan. Ada tiga macam/ tingkat keyakinan yang harus
didapatkan hakim dari pembuktian dengan menggunakan minimal dua alat
yakin terdakwa melakukannya, dan dalam hal itu hakim yakin terdakwa
bersalah.
Mengenai syarat yang pertama, hal sekurang- kurangnya 2 (dua) alat bukti,
bukanlah berarti jenisnya yang harus dua, seperti 1 orang saksi (keterangan saksi)
dan lainnya keterangan terdakwa atau surat, tetapi yang dimaksud
sekurang-kurangnya 2 alat bukti yang sah, adalah bisa saja terdiri dari 2 alat bukti yang
sama jenisnya, misalnya saksi A dan saksi B yang menerangkan hal yang sama.
Mengenai syarat kedua: keyakinan hakim. Keyakinan hakim haruslah dibentuk
atas dasar fakta-fakta hukum yang diperoleh dari minimal dua alat bukti yang
sah. Keyakinan hakim yang harus dibentuk atas dasar mempergunakan minimal
dua alat bukti yang sah tadi.63
B. Ruang Lingkup Alat Bukti dalam Hukum Pidana Indonesia
Mengenai macam alat bukti yang sah dan boleh dipergunakan untuk
membuktikan yang telah ditentukan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, ialah:
a. Keterangan saksi; b. Keterangan ahli; c. Surat;
d. Petunjuk;
e. Keterangan terdakwa;
Jika dibandingkan dengan alat-alat bukti dalam Pasal 295 HIR, maka alat-alat
bukti dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP ada perbedaan. Perbedaan itu ialah:
63
1. Alat bukti pengakuan menurut HIR, yang dalam KUHAP diperluas
menjadi keterangan terdakwa. Pengertian keterangan terdakwa lebih luas
dari sekedar pengakuan.
2. Dalam KUHAP ditambahkan, alat bukti baru yang dulu dalam HIR bukan
merupakan alat bukti, yakni keterangan ahli.
a. Alat Bukti Keterangan Saksi
KUHAP telah memberikan batasan pengertian saksi, ialah orang yang
dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan
peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan
ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu (Pasal 1 angka
26). Sedangkan keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana
yang berupa keterangan saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar
sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari
pengetahuannya (Pasal 1 angka 27).64
1. Bahwa tujuan saksi memberikan keterangan ialah untuk kepentingan
penyidikan, penuntutan dan peradilan. Ketentuan ini juga mengandung
pengertian bahwa saksi diperlukan dan memberikan keterangannya dalam 2
tingkat yakni ditingkat penyidikan dan ditingkat penuntutan di sidang
pengadilan.
Dari batasan UU tentang saksi dan keterangan saksi tersebut, dapatlah
ditarik 3 kesimpulan, yakni:
64
2. Bahwa isi apa yang diterangkan, adalah segala sesuatu yang ia dengar sendiri,
ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Keterangan mengenai segala sesuatu yang
sumbernya di luar 3 sumber tadi, tidaklah mempunyai nilai atau kekuatan
pembuktian. Ketentuan ini menjadi suatu prinsip pembuktian dengan
menggunakan alat bukti keterangan saksi.
3. Bahwa keterangan saksi haruslah disertai alasan dari sebab apa ia mengetahui
tentang sesuatu yang ia terangkan. Artinya, isinya keterangan baru berharga
dan bernilai pembuktian apabila setelah memberikan keterangan ia kemudian
menerangkan tentang sebab-sebab dari pengetahuannya tersebut. Hal ini pun
merupakan prinsip umum alat bukti keterangan saksi dalam hal pembuktian.65
Di dalam batasan pengertian saksi dan keterangan saksi (Pasal 1 angka 26
dan 27), terdapat mengenai syarat, yakni: apa yang diterangkan adalah mengenai
hal yang dilihat, didengar dan dialami saksi sendiri. Apabila syarat itu tidak
dipenuhi maka keterangan saksi tersebut tidak bernilai pembuktian, karena bukan
sebagai alat bukti yang sah. Oleh karena itu, tidak dapat dipertimbangkan sebagai
alat bukti perkara pidana. Tentu saja tidak dapat digunakan untuk membentuk
keyakinan hakim.66
Syarat keterangan saksi agar keterangannya itu menjadi sah dan berharga,
sehingga dapat digunakan sebagai salah satu dasar pertimbangan hakim dalam hal
membentuk keyakinannya, dapat terletak pada beberapa hal, ialah:
65Ibid
., hal. 38. 66
i. Hal kualitas pribadi saksi
Kualitas pribadi yang dimaksud adalah kualitas saksi dalam hubungan
dengan terdakwa. Prinsip umum mengenai kualitas pribadi saksi dalam hukum
pembuktian adalah tidak ada hubungan keluarga. Pada umumnya semua orang
dapat menjadi saksi. Kekecualian menjadi saksi tercantum dalam Pasal 186
KUHAP berikut:
1) Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah
sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai
terdakwa;
2) Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara
ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena
perkawinan, dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga;
3) Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang
bersama-sama sebagai terdakwa.
Ratio dari pembatasan ini adalah untuk mencapai objektivitas isi
keterangan saksi. Namun, bila ada hubungan keluarga, maka ada batas-batas
hubungan tertentu yang tidak boleh menjadi saksi. Sedangkan hubungan keluarga
diluar batas-batas yang ditetapkan, tidak berhalangan untuk memberikan
keterangan saksi, tetapi masih juga ada perkecualian sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 170. Menurut ayat (1) pasal ini dikecualikan untuk menjadi saksi
adalah mereka yang karena jabatan, harkat dan martabat atau jabatannya
memberikan keterangan sebagai saksi, yakni tentang hal yang dipercayakan
kepada mereka.
Ada perkecualian dari orang yang tidak boleh didengar keterangannya
dalam sidang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 168 tersebut, sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 169. Menurut Pasal 169, orang –orang yang berkualitas
dalam hubungan kekeluargaan sebagaimana disebutkan Pasal 168 dapat
memberikan keterangannya apabila:
1) Mereka yang berkedudukan dalam hubungan keluarga itu menghendaki
untuk memberikan keterangan;
2) Jaksa Penuntut Umum dan terdakwa secara tegas menyetujuinya.
Biasanya, dalam praktik saksi yang demikian diajukan oleh penasihat
hukum. Kemudian hakim akan menanyakan relevansinya dengan pokok perkara
yang sedang diperiksa. Apabila menurut pertimbangan hakim cukup alasannya
untuk dapat didengar keterangannya, maka hakim meminta kepastian kepada
jaksa penuntut umum dan terdakwa apakah mereka menyetujuinya. Keterangan
saksi keluarga ini harus tidak diatas sumpah. Karena tidak diatas disumpah, maka
keterangan demikian nilai pembuktiannya sepenuhnya bergantung kepada
pertimbangan hakim. Artinya, hakim boleh menggunakannya dan boleh juga
tidak. Jika digunakan, maka tidak dapat disamakan nilainya dengan nilai
keterangan saksi yang disumpah, melainkan sekedar dipergunakan sebagai
tambahan atas keterangan saksi yang disumpah (Pasal 185 ayat 7), atau sekedar
memperkuat alat bukti yang sudah ada saja. Dapat menambah nilai pembuktian
disumpah tadi harus bersesuaian dengan keterangan saksi yang disumpah; dan
keterangan saksi yang disumpah ini telah memenuhi syarat minimal pembuktian.
Artinya, isinya bersesuaian dengan isi dari alat bukti yang lain.67
ii. Hal apa yang diterangkan saksi
Ada 2 syarat yang menyangkut keterangan saksi di muka sidang
pengadilan yang tidak bisa dipisahkan, agar keterangan itu bernilai dan berharga
pembuktian, yang dapat dipertimbangkan untuk membentuk keyakinan hakim,
yaitu:
1. Sumber pengetahuan saksi
Artinya, bahwa apa yang diterangkan oleh saksi haruslah bersumber dari
pribadinya sendiri, bukan keterangan yang didapat dari orang lain.
Keterangan yang didapat dari cerita orang lain, tidaklah mempunyai nilai
pembuktian.
2. Substansi isi keterangan
Isi keterangan saksi haruslah keterangan mengenai fakta, yaitu apa yang
dia lihat, dia dengar dan dia alami sendiri. Oleh karena itu, pendapat
bukanlah termasuk fakta sehingga tidak termasuk keterangan saksi yang
dimaksud Pasal 1 angka 27. Mengenai hal itu ditegaskan oleh Pasal 185
ayat (5), yang menyatakan bahwa:
“baik pendapat maupun rekaan yang diperoleh dari hasil pemikiran, bukan merupakan keterangan saksi”.68
67Ibid
., hal. 42. 68
iii. Alasan apa saksi mengetahui tentang apa yang diterangkan
Apa yang dimaksud dengan alasan adalah segala sesuatu yang menjadi
sebab mengapa seorang saksi melihat, dan mendengar atau mengalami tentang
peristiwa yang diterangkan saksi. Keterangan saksi di muka sidang pengadilan,
tetapi dari rangkaian keterangannya tidak didapat keterangan mengenai sebab
pengetahuan mengenai apa yang saksi terangkan, maka keterangan tanpa sebab
pengetahuannya itu tidak bernilai pembuktian.69
iv. Syarat mengucap sumpah atau janji
Pasal 160 ayat (3) KUHAP mewajibkan pada saksi sebelum memberikan
keterangan untuk terlebih dahulu mengucapkan sumpah atau janji menurut cara
agamanya, yang isinya sumpah atau janji bahwa ia akan memberikan keterangan
yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya. Cara penyumpahan ini
disebut dengan promissoris, artinya sanggup berkata yang benar.
Kepercayaan atas kebenaran isi keterangan yang diletakkan diatas sumpah
atau dikuatkan dengan sumpah, didasarkan pada dua alasan yang bersifat menekan
secara psikologis orang, yaitu: Pertama, pada kepercayaan terhadap sanski dosa
dan kutukan dari Tuhan kepada orang yang dengan sengaja melanggar sumpah,
sesuai dengan agama yang dianut. Dengan alasan ini maka sumpah yang
diucapkan saksi haruslah berdasarkan dan menurut cara agama masing-masing.
Kedua, pada sanksi hukum pidana. Hukum pidana telah menentukan sanksi
pidana maksimum 7 tahun sampai 9 tahun penjara bagi orang yang memberikan
keterangan palsu diatas sumpah (Pasal 242 KUHP).
69
v. Syarat adanya hubungan keterangan saksi dengan keterangan saksi lainnya
atau alat bukti lain.
Pasal 185 ayat (2) menentukan bahwa:
“keterangan seorang saksi sadja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya”.
Mengikuti ketentuan ini, maka suatu fakta yang didapat dari keterangan saksi
yang satu agar menjadi berharga haruslah didukung dengan keterangan saksi yang
lain, atau didukung oleh alat bukti lain. Maksudnya didukung adalah keterangan
satu saksi harus sama, yang dalam praktik disebut bersesuaian dengan keterangan
saksi yang lain atau alat bukti yang lain. Fakta yang diperoleh dari keterangan satu
saksi yang saling bersesuaian dengan keterangan saksi lain atau alat bukti lain saja
yang dapat dipertimbangkan hakim untuk membentuk keyakinannya bahwa tindak
pidana telah terjadi dan terdakwa bersalah melakukannya. Hanya diatas keyakinan
yang dibentuk berdasarkan minimal dua alat yang sah itu saja pidana boleh
dijatuhkan.70
1. Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan saksi yang lainnya;
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menilai kekuatan
keterangan saksi dalam persidangan. Dalam menilai keterangan saksi, disamping
harus memperhatikan tentang syarat sah dan berharganya keterangan saksi, juga
harus memperhatikan standar penilaian keterangan saksi. Hal yang harus
diperhatikan sebagaimana yang telah ditentukan Pasal 185 ayat (6), ialah:
2. Persesuaian keterangan saksi dengan alat bukti lain;
70
3. Alasan saksi memberikan keterangan tertentu;
4. Cara hidup dan kesusilaan saksi.
Di samping itu, ada hal lain yang juga perlu diperhatikan dalam menilai
keterangan saksi, ialah:
1. Tanggapan terdakwa terhadap keterangan saksi (Pasal 164 ayat (1)
KUHAP), dan
2. Persesuaian keterangan saksi di persidangan dengan keterangannya di
tingkat penyidikan (Pasal 163 KUHAP).
b. Alat Bukti Keterangan Ahli
Keterangan seorang ahli disebut sebagai alat bukti pada urutan kedua
setelah keterangan saksi oleh Pasal 184 KUHAP. Dalam praktik alat bukti ini
disebut alat bukti saksi ahli. Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan
seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk
menyatakan terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan (Pasal 1
angka 28). Dalam Pasal 186 KUHAP menyatakan bahwa:
“keterangan seorang ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan”.
Isi keterangan yang disampaikan ahli adalah terkait hal-hal mengenai bidang
keahliannya yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa.
Keterangan ahli tidak perlu diperkuat dengan alasan sebab keahliannya atau
pengetahuannya sebagaimana pada keterangan saksi. KUHAP membedakan
keterangan ahli di persidangan sebagai alat bukti “keterangan ahli” (Pasal 186
sebagai alat bukti “surat” (Pasal 187 butir c KUHAP). Contohnya ialah visum et repertum yang dibuat oleh seorang dokter.
c. Alat Bukti Surat
Menurut Sudikno Mertokusumo, surat adalah:
“segala sesuatu yang memuat tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian. Dengan demikian, segala sesuatu yang tidak memuat tanda bacaan, atau meskipun memuat tanda-tanda bacaan, akan tetapi tidak mengandung buah pikiran, tidaklah termasuk dalam pengertian alat bukti tertulis atau surat.”71
a) Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;
Pasal 187 KUHAP menguraikan tentang alat bukti surat yang terdiri dari 4, yaitu:
b) Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;
c) Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya;
d) Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.
Dari macam-macam surat resmi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 187 huruf a,
b, dan c KUHAP, maka dapat digolongkan menjadi72
a) Acte ambtelijk, yaitu akta yang dibuat oleh pejabat umum. Pembuatan akta otentik tersebut sepenuhnya merupakan kehendak dari pejabat umum
tersebut. Jadi isinya adalah keterangan dari pejabat umum tentang yang ia :
71
Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, (Bandung: Mandar Maju, 2003), hal. 62.
72
lihat dan ia lakukan. Misalnya, berita acara tentang keterangan saksi yang
dibuat oleh penyidik.
b) Acte partij, yaitu akta otentik yang dibuat para pihak di hadapan pejabat umum. Pembuat akta otentik tersebut, sepenuhnya berdasarkan kehendak
dari para pihak dengan bantuan pejabat umum. Isi akta otentik tersebut
merupakan keterangan-keterangan yang berisi kehendak para
pihak.Misalnya, akta jual beli yang dibuat di hadapan notaris.
Menurut Martiman Prodjohamodjojo seperti dikutip oleh Andi Hamzah,
Pasal 187 butir (d) adalah surat yang tidak sengaja dibuat untuk menjadi alat
bukti, tetapi karena isinya surat ada hubungannnya dengan alat bukti yang lain,
maka dapat dijadikan sebagai alat bukti tambahan yang memperkuat alat bukti
yang lain. Secara formal, alat bukti surat sebagaimana disebut dalam Pasal 187
huruf (a), (b), dan (c) adalah alat bukti sempurna, sebab dibuat secara resmi
menurut formalitas yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan,
sedangkan surat yang disebut dalam butir (d) bukan merupakan alat bukti yang
sempurna. Dari segi materil, semua bentuk alat bukti surat yang disebut dalam
Pasal 187 bukanlah alat bukti yang mempunyai kekuatan mengikat. Sama seperti
keterangan saksi atau keterangan ahli, surat juga mempunyai kekuatan
pembuktian yang bersifat bebas (vrij bewijskracht).
Meskipun tidak ada pengaturan khusus tentang cara memeriksa alat bukti
surat seperti yang diatur dalam Pasal 304 HIR, maka harus diingat bahwa sesuai
dengan sistem negatif yang dianut oleh KUHAP, yakni harus ada keyakinan dari
karena itu bersifat bebas. Dalam hukum acara pidana, yang dicari adalah
kebenaran materil atau kebenaran sejati, sehingga konsekuensinyahakim bebas
untuk menggunakan atau mengesampigkan sebuah surat. Disamping itu haruslah
diingat tentang adanya minimum pembuktian, walaupun ditinjau dari segi formal
alat bukti surat resmi (otentik) yang berbentuk surat yang dikeluarkan berdasarkan
ketentuan undang-undang adalah alat bukti yang sah dan bernilai sempurna,
namun nilai kesempurnaannya, pada alat bukti surat yang bersangkutan tidak
berdiri sendiri, melainkan sekurang-kurangnya harus dibantu dengan satu alat
bukti yang sah lainnya.
d. Alat Bukti Petunjuk
Pasal 188 ayat (1) memberikan pengertian petunjuk, yaitu:
“perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya”.
Penjelasan pasal ini menyebutkan bahwa pemberian nilai atas petunjuk itu
diserahkan kepada kebijaksanaan hakim. Karena alat bukti petunjuk ini adalah
berupa pemikiran atau pendapat hakim yang dibentuk dari hubungan atau
persesuaian alat bukti yang ada dan dipergunakan dalam sidang, maka sifat
subyektivitas hakim lebih dominan. Oleh karena itu, Pasal 188 ayat (3)
mengingatkan hakim agar dalam menilai kekuatan alat bukti petunjuk dalam
setiap keadaan tertentu harus dilakukan dengan arif dan bijaksana, setelah hakim
memeriksa dengan cermat dan seksama yang didasarkan hati nuraninya. Menurut
Pasal 188 ayat (2) KUHAP dalam hal cara memperoleh alat bukti petunjuk, hanya
1) Keterangan saksi; 2) Surat;
3) Keterangan terdakwa.
Nilai kekuatan pembuktian (bewijskracht) dari alat bukti petunjuk sama dengan alat bukti lainnya yaitu bebas. Hakim tidak terikat atas kebenaran
persesuaian yang diwujudkan oleh petunjuk. Dalam menggunakan alat bukti
petujuk, tugas hakim akan lebih sulit, ia harus mencari hubungan antara
perbuatan, kejadian atau keadaan, menarik kesimpulan yang perlu serta
mengkombinasikan akibat-akibatnya dan akhirnya sampai pada suatu keputusan
tentang terbukti atau tidaknya sesuatu yang telah didakwakan.
e. Keterangan Terdakwa
Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di
sidang pengadilan (Pasal 1 butir 15 KUHAP). Keterangan terdakwa ialah apa
yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia
ketahui sendiri atau alami sendiri (Pasal 189 ayat (1) KUHAP). Keterangan
terdakwa yang diberikan dalam persidangan barulah merupakan alat bukti.
Keterangan tersebut berisi pernyataan terdakwa tentang apa yang ia perbuat, apa
yang ia lakukan, dan apa yang ia alami. Keterangan terdakwa di luar sidang
(keterangan tersangka) tidak bisa dipergunakan untuk menemukan bukti dalam
sidang, jika tidak didukung alat bukti yang sah. Keterangan terdakwa hanya dapat
digunakan terhadap dirinya sendiri. Dengan demikian keterangan terdakwa
tersebut tidak bisa untuk memberatkan sesama terdakwa.73
73
C. Bukti Elektronik Sebagai Alat Bukti yang Sah dalam Hukum Pidana Indonesia
Sgarlata Chung dan David J. Byer, memberikan deskripsi mengenai ruang
lingkup alat bukti elektronik, yang mencakup:
“any information created or stored in digital form whenever a computer is used to accompish a task... Therefore, electronic evidence... may include information databases, operating systems, application programs, computer-generated models, electronic and voice mail messages and records, and other information or instructions residing in computer memory”.74
Alat bukti elektronik memiliki cakupan yang luas dan jenis yang beragam,
sehingga pengumpulan dan pemeriksaan alat bukti elektronik membutuhkan
waktu yang lama dan biaya yang tidak sedikit. Pengaturan alat bukti elektronik
harus didasarkan pada sistem dan prinsip pembuktian hukum acara pidana yang
berlaku di Indonesia. KUHAP belum mengatur mengenai alat bukti elektronik
sebagai alat bukti yang sah, namun beberapa peraturan perundang-undangan telah
mengatur bahwa data elektronik dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah. Surat
Mahkamah Agung kepada Menteri Kehakiman Nomor 39/TU/88/102/Pid tanggal
14 Januari 1988 menyatakan bahwa “microfilm atau microfiche dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah dalam perkara pidana di pengadilan
menggantikan alat bukti surat, dengan catatan microfilm tersebut sebelumya
dijamin keotentikasiannya yang dapat ditelusuri kembali dari registrasi maupun
berita acara”.75
74
Josua Sitompul, Op. Cit., hal. 263. 75
Ibid., hal. 270.
Menurut Fakhriah (2009), pengakuan microfilm atau microfiche
Mahkamah Agung Nomor 71.K/Sip/1974 mengenai fotokopi dokumen sebagai
alat bukti. Dalam Putusan MA tersebut diakui bahwa fotokopi dapat diterima
sebagai alat bukti bila disertai keterangan atau dengan jalan apapun secara sah
dapat ditunjukkan bahwa fotokopi tersebut sesuai dengan aslinya. Oleh karena
itu, berdasarkan analogi maka hasil print out mesin faximili, microfilm atau
microfiche juga dapat diterima sebagai alat bukti.76
Adapun yang dimaksud dengan bukti elektronik adalah bukti yang didapat
dari kejahatan yang menggunakan peralatan teknologi untuk mengarahkan suatu
peristiwa pidana berupa data-data elektronik baik yang berada di dalam perangkat
teknologi itu sendiri misalnya terdapat pada komputer, harddisk/ floppydisk,
memorycard, simcard atau yang merupakan hasil printout, ataupun telah mengalami pengolahan melalui suatu perangkat teknologi tertentu misalnya
komputer ataupun dalam bentuk lain berupa jejak (path) dari suatu aktivitas penggunaan teknologi. 77
Mengenai alat-alat bukti elektronik ini, Hakim Mohammed Chawki dari
ComputerCrimeResearchCenter mengklasifikasikan bukti elektronik menjadi tiga kategori, yaitu: 78
a. Real Evidence
Realevidence atau physicalevidence ialah bukti yang terdiri dari objek-objek nyata/ berwujud yang dapat dilihat dan disentuh. “Realevidence juga
76
Efa Laela Fakhriah, Bukti Elektronik dalam Sistem Pembuktian Perdata, (Bandung: PT. Alumni, 2009), hal 57, seperti dikutip oleh Ibid.
77
Edmon Makarim, Kompilasi Hukum Telematika, (Jakarta: Raja Grafindo, 2004), hal. 455, seperti dikutip oleh Sara Yosephine Bangun, Kedudukan Bukti Surat Elektronik (Email) Dari Prespektif Hukum Acara Pidana Indonesia, (Medan: USU)., hal. 15.
78
merupakan bukti langsung berupa rekaman otomatis yang diperoleh dari alat
(device) yang lain, contohnya computerlogfiles”.79
b. Testamentary evidence
Realevidence atau bukti nyata ini meliputi kalkulasi-kalkulasi atau analisa-analisa yang diolah oleh komputer
melalui pengaplikasian software dan penerimaan informasi dari device lain seperti
jam yang built-in langsung dalam komputer atau remotesender. Bukti nyata ini muncul dari berbagai kondisi. Bukti elektronik sebagai suatu alat bukti yang sah
yang berdiri sendiri (realevidence), tentunya harus dapat diberikan jaminan bahwa suatu rekaman/ salinan data (datarecording) berjalan sesuai dengan prosedur yang berlaku (telah dikalibrasi dan diprogram) sedemikian rupa sehingga hasil printout
suatu data dapat diterima dalam pembuktian kasus. Contohnya jika sebuah
komputer bank secara otomatis mengkalkulasi (menghitung) nilai pembayaran
pelanggan terhadap bank berdasarkan tarifnya, transaksi-transaksi yang terjadi dan
credit balance yang dikliring secara harian, maka kalkulasi ini akan digunakan
sebagai sebuah bukti nyata.
Testamentaryevidence atau dikenal juga dengan istilah HearsayEvidence
adalah keterangan dari saksi maupun expertwitness yaitu keterangan dari seorang ahli dapat diberikan selama persidangan, berdasarkan pengalaman dan
pengamatan individu. Peranan dari keterangan ahli sesuai dengan peraturan
perundang-undangan kita yaitu UU No.8 Tahun 1981 KUHAP, bahwa keterangan
ahli dinilai sebagai alat bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian jika
keterangan yang diberikan tentang suatu hal berdasarkan keahlian khusus dalam
79
bidang yang dimilikinya dan yang berupa keterangan “menurut pengetahuannya”
secara murni.80 Kedudukan seorang ahli dalam memperjelas tindak pidana yang
terjadi serta menerangkan atau menjelaskan bukti elektronik sangat penting dalam
memberikan keyakinan hakim dalam memutus perkara kejahatan dunia maya.
Termasuk pada Testamentaryevidence adalah dokumen-dokumen data yang juga diolah oleh komputer yang merupakan salinan dari informasi yang diberikan
(dimasukkan) oleh manusia kepada komputer. Cek yang ditulis dan slip
pembayaran yang diambil dari sebuah rekening bank juga termasuk
heraseyevidence.81
c. Circumstantial evidence
Pengertian dari circumstansialevidence ini adalah merupakan bukti terperinci yang diperoleh berdasarkan ucapan atau pengamatan dari kejadian yang
sebenarnya yang mendorong untuk mendukung suatu kesimpulan, tetapi bukan
untuk membuktikannya. circumstantialevidence atau derivedevidence ini merupakan kombinasi dari realevidence dan hearsayevidence”.82
80
M. Yahya Harahap, Pembahasan dan Penerapan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Jilid II, (Jakarta: Pustaka Kartini, 1993), hal. 301, seperti dikutip oleh Melda Octaria Damanik, Loc.Cit.,hal. 44.
81
Sara Yosephine Bangun, Loc.Cit.,hal. 16. 82
Edmon Makarim, 12 April 2007, “Tindak Pidana terkait dengan Komputer dan Internet: Suatu Kajian Pidana Materiil dan Formil”, Seminar Pembuktian dan Penanganan Cyber Crime di Indonesia, (FH UI, Jakarta), seperti dikutip oleh Lamgok Herianto Silalahi,
Loc.Cit.,hal.86.
Atau singkatnya,
yang dimaksud dengan circumstantialevidence atau deriviedevidence adalah informasi yang mengkombinasikan antara bukti nyata (realevidence) dengan informasi yang diberikan oleh manusia kepada komputer dengan tujuan untuk
harian sebuah statement bank karena tabel ini adalah diperoleh dari realevidence
(yang secara otomatis membuat tagihan bank) dan hearseyevidence (check
individu dan entry pembayaran lewat slip-playingin).83
a. UU No. 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan
Sampai saat ini ada beberapa perundang-undangan yang secara parsial
telah mengatur eksistensi alat bukti elektronik, yaitu:
UU No. 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan telah meletakkan
dasar penting dalam penerimaan (admissibility) informasi atau dokumen elektronik.84 Dengan dikeluarkannya UU No. 8 Tahun 1997 tanggal 24 Maret
1997 tentang Dokumen Perusahaan, pemerintah berusaha untuk mengatur
pengakuan atas mikrofilm dan media lainnya (alat penyimpan informasi yang bukan kertas dan mempunyai tingkat pengamanan yang dapat menjamin keaslian
dokumen yang dialihkan atau ditransformasikan). Misalnya compact disk- read only memory (CD-ROM), dan Write Once- Read- Many (WORM), yang diatur dalam Pasal 12 UU tentang Dokumen Perusahaan tersebut sebagai alat bukti yang
sah.85
83
Sara Yosephine Bangun, Loc. Cit.,hal. 16. 84
Josua Sitompul, Op. Cit., hal. 271. 85
Petrus Reinhard Golose, 12 April 2007,” Penegakan Hukum Cyber Crime dalam sistem Hukum Indonesia”, Seminar Pembuktian dan Penanganan Cyber Crime di Indonesia,(FH UI, Jakarta), hal.23., seperti dikutip oleh Lamgok Herianto Silalahi, Loc. Cit.,hal. 78.
Pengalihan dokumen perusahaan ke dalam bentuk mikrofilm atau media
lainnya tersebut harus memenuhi persyaratan yang secara implisit diatur dalam
1) Setiap pengalihan dokumen wajib dilegalisasi yang dilakukan oleh pemimpin
perusahaan atau pejabat yang ditunjuk di lingkungan perusahaan tersebut
dengan dibuatkan berita acara yang memuat sekurang-kurangnya memuat:
1. Keterangan tempat waktu pelaksanaan legalisasi;
2. Keterangan bahwa pengalihan dokumen tersebut telah sesuai dengan
hasilnya;
3. Tanda tangan dan nama jelas pejabat yang bersangkutan.
2) Dapat dilakukan sejak dokumen dibuat atau diterima perusahaan;
3) Pimpinan perusahaan wajib mempertimbangkan kegunaan naskah asli
dokumen yang perlu;
4) Pimpinan perusahaan wajib menyimpan naskah asli Dokumen Perusahaan
yang dialihkan ke dalam mikrofilm atau media lainnya adalah naskah asli
yang mempunyai kekuatan pembuktian otentik dan masih mengandung
kepentingan hukum tertentu.
Lebih lanjut, UU Dokumen Perusahaan juga mengatur bahwa apabila
dianggap perlu maka dalam hal tertentu dan untuk keperluan tertentu, dapat
dilakukan legalisasi terhadap hasil cetak dokumen perusahaan yang telah dimuat
dalam mikrofilm atau media lainnya. Dari pengaturan tersebut, setidaknya ada dua
kesimpulan yang dapat diambil. Pertama informasi atau dokumen elektronik harus
dilegalisasi. Sebenarnya, legalisasi ini merupakan usaha untuk menjaga atau
mempertahankan keautentikan konten dari Dokumen Perusahaan. Melalui proses
ini Dokumen Perusahaan dalam bentuk mikrofilm atau media lainnya tersebut
sah. Kedua, yang dimaksud dengan alat bukti yang sah menurut Pasal 15 ayat (1)
UU Dokumen Perusahaan ialah alat bukti surat, khususnya akta di bawah
tangan.86
b. Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
Pasal 27 UU Terorisme mengatur bahwa alat bukti pemeriksaan tindak
pidana terorisme meliputi:
1) Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana;
2) Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
3) Data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/ atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada:
a) Tulisan, suara, atau gambar;
b) Peta, rancangan, foto, atau sejenisnya;
c) Huruf, tanda, angka simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.
c. Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Berdasarkan undang-undang ini, ada perluasan mengenai sumber
perolehan alat bukti yang sah berupa petunjuk. Berdasarkan KUHAP, alat bukti
petunjuk hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan
terdakwa, tetapi menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, bukti petunjuk
86
juga dapat diperoleh dari alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan,
dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang
serupa dengan itu tetapi tidak terbatas pada data penghubung elektronik
(electronik data interchange), surat elektronik (e-mail), telegram, teleks, faksimili dan dari dukumen, yakni setiap rekaman atau informasi yang dapat dikeluarkan
dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda
fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa
tulisan suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi
yang memiliki makna.
d. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang.
Pasal 29 mengatur mengenai alat bukti selain sebagaimana ditentukan
dalam KUHAP, dapat pula berupa:
a) Informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara
elektronik dengan alat optik atau serupa dengan itu dan
b) Data, rekaman atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar
yang dapat dikeluarkan denegan atau tanpa bantuan suatu sarana, bauk
yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas atau yang
terekam secara elektronik, termasuk tidak terbatas pada:
(1) Tulisan, suara atau gambar;
(3) Huruf, tanda, angka, simbol atau perforasi yang memiliki makna
atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau