• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENAFSIRAN DENGAN PENDEKATAN ISYÃRĨ (KAJIAN TERHADAP KITAB HAQÑIQU AT- TAFSĨR KARYA ABU ’ABDIRRAHMÃN AS-SULAMĨ [325-412 H]) TESIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENAFSIRAN DENGAN PENDEKATAN ISYÃRĨ (KAJIAN TERHADAP KITAB HAQÑIQU AT- TAFSĨR KARYA ABU ’ABDIRRAHMÃN AS-SULAMĨ [325-412 H]) TESIS"

Copied!
222
0
0

Teks penuh

(1)

(KAJIAN TERHADAP KITAB HAQÑIQU AT

TAFSĨR KARYA ABU ’ABDIRRAHMÃN AS SULAMĨ

[325 412 H])

! "#

$

%

(2)

PENGESAHAN PENGUJI

Tesis berjudul

Penafsiran Dengan Pendekatan

Isyãr

ĩ

(Kajian

Terhadap Kitab

Haqã’iq at-Tafs

ĩ

r

Karya Abu

Abdirrahmãn

as-Sulam

ĩ

)

telah diujikan pada sidang Sekolah Pasca Saarjana UIN Syarif

Hidayatulla Jakarta, pada tanggala 23 Desember 2008. Tesis ini telah

memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Magister dalam bidang Ilmu

Agama Islam.

Tim Penguji

Prof. Dr. Suwito, MA

Dr. Muchlis Hanafi, MA

Ketua/Penguji

Pembimbing/Penguji

(______________)

(______________)

Tgl____________

Tgl____________

Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer

Prof. Dr. Salman Harun

Penguji

Penguji

(______________)

(______________)

(3)

ABSTRAK

Tulisan ini membuktikan kekeliruan mereka yang menilai negatif terhadap

Haqã’iqu at-Tafsĩr. Al-Wãhidĩ (w 468 H) menganggap kafir orang yang meyakini tulisan as-Sulamĩ ini sebagai tafsir. Syamsuddin ad-Dzahabĩ (w 748 H) menilai

Haqã‘iqu at-Tafsĩr sebagai kitab yang mendatangkan musibah dan penuh dengan penafsiran kaum Qarmithah (Bãthiniyyah). Ibn al-Jawzĩ (w 597 H) menganggap

Haqã‘iqu at-Tafsĩr sebagai tafsir sufi yang penuh dengan makna yang tidak wajar, tanpa landasan satupun dari ilmu pokok (ushũl).

Tulisan ini juga menguatkan penilaian-penilaian objektif terhadap tafsir as-Sulamĩ. Menurut Ibn ash-Shalãh (w 643 H), apa yang diungkapkan as-Sulamĩ bukanlah tafsir, melainkan ungkapan sesuatu yang setara dengan yang setara (kiasan). Bagi Tãjuddin as-Subkĩ (w 771 H), Haqã‘iqu at-Tafsĩr merupakan sebuah kitab yang memuat penakwilan-penakwilan sufi yang tidak sesuai dengan makna zhahir. Dalam pandangan Ibn Taymiyah (w 728 H), Haqã‘iqu at-Tafsĩr sebagai salah satu di antara sekian tafsir yang menjelaskan kandungan al-Quran secara benar, namun penjelasan tersebut tidak sesuai dengan kehendak al-Quran dan hadits. Selain itu, menurut Ibn Taymiyah,

Haqã’iqu at-Tafsĩr memuat penafsiran-penafsiran Isyãrĩ, yang sebagiannya benar dan bermanfaat, sebagian yang lain berupa nukilan yang tidak dapat diterima, dan sebagian lain adalah kebohongan terhadap sumber.

Tesis ini menunjukkan bahwa tidak semua penafsiran dalam Haqã’iqu at-Tafsĩr menggunakan corak Isyãrĩ, sebagaimana dinilai oleh Tãjuddin as-Subkĩ dan Husain ad-Dzahabĩ. Tesis ini juga menunjukkan kebenaran penilaian Ibn Taymiyyah.

Sumber utama yang digunakan tesis ini berupa data-data kepustakaan, khususnya kitab Haqã‘ĩqu at-Tafsĩr. Data-data tersebut dibaca dengan menganalisis, yang didukung oleh disiplin ilmu lain seperti tasawuf, hadits, dan bahasa, serta membandingkannya dengan kitab-kitab tafsir zhahir yang populer.

(4)
(5)

ABSTRACT

This thesis will prove their confusion that a negative appraisal toward Haqã’iqu at-Tafsĩr. Al-Wãhidĩ (d 468 H) considered that the people who believed as-Sulamĩ's article as tafsĩr are infidel. Syamsuddin ad-Dzahabĩ (d 748 H) appraised that Haqã’iqu at-Tafsĩr is a book which brings disasters and full of exegeses or Qarmithah (Bãthiniyyah). Ibn al-Jawzĩ (d 597 H) considered Haqã’iqu at-Tafsĩr as sufi exegesis which is full of improper purpose, without any anvils from principal knowledge.

This thesis also strengthen an objective appraisal toward as-Sulamĩ's exegesis. According to Ibn ash-Shalãh (d 643 H), as-Sulamĩ's statement is not an exegesis, but expression of equal with equal (analogy). For Tãjuddin as-Subkĩ (d 771 H), Haqã’iqu at-Tafsĩr is a book that contains improper sufism commentary with exoteric. Ibn Taymiyah's (d 728 H) opinion, Haqã’iqu at-Tafsĩr is one of many exegeses that that explain about the content of Quran correctly, however, the explanation is not how al-Quran and hadits expected. And the other hand, according to Ibn Taymiyah, Haqã’iqu at-Tafsĩr contains Isyãrĩ exegesis which some of it are true and beneficial, other parts are unacceptable changes, and other are falsehood toward the sources.

This thesis demonstrates that not all of commentary in Haqã’iqu at-Tafsĩr use Isyãrĩ stripe, as it had been appraised Tãjuddin as-Subkĩ and Husain ad-Dzahabĩ. This thesis demonstrates the correctness of Ibn Taymiyah's appraisal.

The main source that is used in this thesis is data of literature, particularly

(6)

KATA PENGANTAR ﻡﻴﺤﺭﻝﺍ ﻥﻤﺤﺭﻝﺍ ﷲ ﺍ ﻡﺴﺒ

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah S.W.T yang Maha luas ilmu-Nya lagi Maha Benar karena berkat inayah-Nya tesis ini dapat terselesaikan. Selawat dan salam penulis curahkan kepada junjungan alam Muhammad S.A.W serta keluarga dan sahabatnya yang telah berjuang menegakkan kalimat Allah S.W.T.

Dalam rangka penyusunan dan penyelesaian tulisan ini tidak sedikit hambatan dan kesulitan yang penulis hadapi. Disebabkan karena keterbatasan ilmu dan fasilitas yang dimiliki. Namun dengan adanya sugesti dan spirit dari beberapa pihak, maka tesis ini dapat penulis selesaikan. Oleh karena itu, merupakan suatu kelaziman bagi penulis untuk mempersembahkan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya khususnya dan yang paling utama pada (alm) ayahanda dan ibunda tercinta yang telah berbuat banyak, mendidik dan membimbing bahkan berkorban dengan tulus ikhlas demi perkebangan dan cita-cita putranya.

Ucapan terima kasih selanjutnya penulis persembahkan setingi-tingginya kepada:

Pertama, Dr. Yusuf Rahman. MA, dengan keramahannya telah meluangkan

waktu untuk membimbing proposal tesis ini.

Kedua, pembimbing penulis, Dr. Mukhlis M. Hanafi. MA, dengan

kemurahannya dan keilmuannya telah banyak meluangkan waktunya dan ilmunya untuk mengoreksi naskah tesis ini.

Ketiga, segenap civitas akademika Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta, baik Rektor, Pembantu Rektor, Direktur dan para Asisten Direktur, para dosen dan segenap karyawan, yang telah banyak membantu, mengajar, dan memberi referensi untuk merampungkan studi S2.

Keempat, pimpinan dan karyawan perpustakaan induk dan perpustakaan

(7)

bahan-bahan kepada penulis berupa pinjaman buku-buku atau kitab-kitab serta bacaan lainnya yang diperlukan untuk penyelesaian tesis ini.

Kelima, ucapan terima kasih kepada dua sahabat baik penulis, Samsul Bahri

dan Yermijal Ferdiani, yang telah mendatangkan tafsir as-Sulamĩ dari Mesir, serta berbagai bahan rujukan lainnya. Doa penulis supaya kesuksesan selalu menyertainya dalam menempuh studi di Universitas al-Azhar, Cairo.

Keenam, para sahabat-sahabat penulis yang pada masa penulisan ini berada di

Aceh atau di Jakarta yang tidak mungkin dicantumkan namanya satu-persatu. Terima kasih kepada mereka yang telah berbuat banyak dan memberi masukan-masukan guna membantu penulis baik moril ataupun materil, sehingga tesis ini terselesaikan.

Untuk mereka yang telah berjasa, hanya doa yang dapat penulis persembahkan semoga Allah S.W.T senantiasa membalas amal baik yang telah diberikan dan mencatatnya sebagai amal jariah. Amin.

Besar harapan penulis semoga karya ini berguna kiranya bagi perkembangan ilmu agama, khususnya di bidang al-Quran, dan bermanfaat pula bagi nusa dan bangsa serta tercatat sebagai salah satu amal jariah. Amin.

Akhirnya, dengan sadar dan penuh keyakinan bahwa tulisan ini tidak luput dari kekeliruan dan kekhilafan yang tanpa sengaja dilakukan, maka dengan kerendahan hati dan lapang dada penulis mengharapkan adanya kritikan dan saran-saran dari semua pihak.

Penulis,

(8)

TRANSLITERASI

Arab Latin Arab Latin

ﺃ ‘ ﺽ dh

ﺏ b ﻁ th

ﺕ t ﻅ zh

ﺙ ts ﻉ ’

ﺝ j ﻍ gh

ﺡ h ﻑ f

ﺥ kh ﻕ q

ﺩ d ﻙ k

ﺫ dz ل l

ﺭ r ﻡ m

ﺯ z ﻥ n

ﺱ s ﻭ w

ﺵ sy ﻫ h

ﺹ sh ﻱ y

Diftong:

 ﻭَ– = aw

ْ ٍ ﻱ َ– = ay

 ﻱ ِ– = iy

 ﻭُ– = uw

Vokal pendek: Vokal Panjang:

َ

– = a ﺎـ َـ ـ = ã

ِ

– = i ﻲ ِـ ـ ـ = ĩ

ُ

– = u ﻭـ ُـ ـ = ũ

Huruf yang ber-tasydid ditulis dengan huruf yang sama secara berurut. Contoh: ﺎـ ﹶﻨﹶﻝ ْلﺠﻋ

(9)

DAFTAR ISI

ABSTRAK 3

` KATA PENGANTAR 6

TRANSLITERASI 8

DAFTAR ISI 9

BAB I: PENDAHULUAN

A. Latarbelakang masalah 11

B. Permasalahan 18

C. Tujuan dan Signifikansi Penelitian 19

D. Kajian Kepustakaan 20

E. Metode Penelitian yang Digunakan 22

F. Sistematika Penulisan 23

BAB II: AS-SULAMĨ DAN HAQÑIQ AT-TAFSĨR A. As-Sulami

1. Biografi 25

2. Kondisi Sosial 27

3. Perjalanan Intelektual (Rihlah 'Ilmiyah) 29 4. As-Sulami dan Generasi Setelahnya 34

5. Penilaian Ulama 36

B. Haqã‘iqu at-Tafsĩr

1. Latarbelakang penulisan 39

2. Sumber Rujukan 49

BAB III: KONTROVERSI SEKITAR TAFSIR ISYARI

A. Pengertian 52

(10)

BAB IV: METODELOGI PENAFSIRAN AS-SULAMĨ DAN PENILAIAN ULAMA TERHADAP KARYANYA

A. Metodelogi Penafsiran 74

1. Penafsiran al-Quran dengan al-Quran 76 2. Penafsiran al-Quran dengan Sunnah 82 3. Penafsiran as-Sulamĩ dan Kaitannya dengan Bahasa 91

B. Penilaian Ulama 100

BAB V: ANALISIS PENAFSIRAN DALAM HAQÃIQU AT-TAFSĨR

A. Ayat-ayat Kawniyah 105

B. Kisah Para Rasul 113

1. Nuh 114

2. Ibrahim 122

3. Musa 140

4. Isa 148

C. Seputar Ibadah

1. Shalat 155

2. Puasa 165

3. Zakat, Infak, dan Shadaqah 167

4. Haji 172

BAB VI: PENUTUP

A. Kesimpulan 180

B. Saran 184

DAFTAR PUSTAKA 186

(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah.

Tafsir merupakan salah satu dari sekian ilmu syariat yang agung dan tinggi kedudukannya, salah satu ilmu yang mulia objek permasalahan dan tujuannya, dan dibutuhkan sepanjang zaman, karena manusia membutuhkan petunjuk Ilahi. Tanpa tafsir, seorang Muslim tidak dapat menangkap mutiara-mutiara berharga dari ajaran Tuhan yang terkandung dalam al-Quran.

Setidaknya ada tiga segi yang membuat dan menentukan tingginya kedudukan tafsir. Pertama, yang menjadi objek kajian tafsir adalah kalam Ilahi yang mulia yang merupakan sumber segala ilmu agama dan keutamaan. Di dalamnya terhimpun berbagai aturan untuk kebaikan hidup manusia. Kedua, tujuannya adalah untuk mendorong manusia berpegang teguh pada al-Quran dalam usaha memperoleh kebahagian yang sejati, dunia dan akhirat. Ketiga, dilihat dari kebutuhan pun sangat jelas bahwa kesempurnaan mengenai bermacam-macam persoalan, baik agama maupun keduniaan, memerlukan ilmu syari’at dan pengetahuan dan mengenai seluk beluk agama. Hal itu sangat tergantung pada ilmu pengetahuan tentang al-Quran, yaitu tafsir.1

Pada hakekatnya, dengan rahmat-Nya, Allah "berbicara" dengan hamba-Nya sesuai dengan kadar pemahaman hamba, yang oleh karena itu tiap-tiap Rasul diutus sesuai dengan bahasa kaumnya, sebagaimana kitab suci yang diturunkan pada mereka. Namun demikian, penjelasan tentang al-Quran sangat dibutuhkan karena; 1) keagungan al-Quran yang dengan ungkapan sederhana mengandung berbagai makna yang detail sehingga sulit dipahami. 2) terdapat sebagian penjelasan yang diringkas, atau karena

1 M. Quraish Shihab, pengantar dalam: Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad

(12)

penjelasan yang merupakan bagian dari penjelasan lain. Dan, 3) suatu lafadz dapat mengandung tiga makna, seperti majaz, musytarak, dan iltizam.2

Oleh karena itu, sesuai dengan ucapan Ibn ’Abbãs,3 Imam ath-Thabarĩ,4 dan az-Zarkasyĩ (Muhammad bin Bahãdir bin ’Abdillah, lahir 745 dan wafat 794) membagi tafsir kepada empat macam tafsir: 1) tafsir yang dapat diketahui oleh semua orang, seperti yang berkaitan dengan tauhid dan halal-haram, 2) tafsir yang hanya di ketahui oleh pakar bahasa Arab, 3) tafsir yang dapat diketahui oleh para ulama, dan, 4) tafsir yang hanya diketahui oleh Allah, yaitu berkaitan dengan hal-hal ghaib.5

Guna menjelaskan kandungan al-Quran, Allah memberi wewenang kepada nabi Muhammad untuk menjelaskannya. Beliaulah orang yang pertama menjelaskan maksud-maksud al-Quran kepada umatnya –meskipun tidak seluruh ayat-, dan Allah memberikan jaminan kepada Rasul bahwa Ia akan memelihara al-Quran dan menjelaskannya. Dalam surat al-Qiyãmah(75) ayat 17-19 Allah berfirman:

¨

Artinya: Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan

(membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai

membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, sesungguhnya atas

tanggungan Kamilah penjelasannya.

2 Badruddĩn az-Zarkasyĩ, al-Burhãn fi Ulũm al-Qurãn, Dãru al-Ma’rifah, Beirut, 1391 H, jilid 1,

hal 14

3 ’Abdullab bin ’Abbãs bin ’Abdu al-Muthallib. Beliau adalah paman Rasul yang dijuluki dengan

"laut" karena keluasan ilmunya. Lahir sekitar tiga tahun sebelum Hijrah dan meninggal pada tahun 68 H. Ahmad bin ’Alĩ bin Hajar al-’Asqalãnĩ, Tahdziĩbu at-Tahdzĩb, Daãru al-Fikr, Beirut, 1984, jilid 5, hal 242

4 Muhammad bin Jarĩr bin Yazĩd ath-Thabarĩ, pelopor tafsir riwayat yang menjadi rujukan bagi

generasi setelahnya, dan menguasai berbagai ilmu, selain tafsir dan hadits, seperti sejarah dan bahasa. Lahir 274 H dan meninggal akhir bulan Syawal 310 H di Baghdad. Muhammad bin Ahmad ad-Dzhabĩ, Siyaru A’lãmi an-Nubalã‘, Mu‘assatu ar-Risãlah, Beirut, 1993, jilid 14, hal 2667

5 Ibn Jarĩr ath-Thabarĩ, Jãmi’ al-Bayãn fi tawĩl ay al-Qurãn, Dãr al-Kutub al-’Ilmiyah, Beirut,

(13)

Dan adalah kewajiban Rasul untuk menjelaskannya kepada para sahabatnya:

umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka

memikirkan. (an-Nahl [16]: 44)

Ketika ilmu semakin berkembang, cabang-cabangnya bemunculan, perbedaan pendapat meningkat, fanatisme menjadi serius, ilmu ’aqli juga bercampur dengan ilmu

naqli, sehingga melahirkan berbagai macam penafsiran sesuai dengan bidang tertentu,

seperti hukum, ilmiah, dan sufi, yang tidak lepas dari kepakaran masing-masing ulama tafsir. Ahli-ahli fikih lebih memfokuskan penafsirannya pada persoalan-persoalan fikih, seperti al-Jashshãsh6 dan Ibn al-’Arabĩ7, begitu juga dengan ulama sufi yang menggali

berbagai makna yang mendalam untuk mengajak manusia meninggalkan maksiat dan mengerjakan amal shaleh.

Berkenaan dengan tafsir Isyãrĩyang sering ditempuh oleh ulama sufi, ’Abdu al-’Adzĩm az-Zarqãnĩ menggolongkannya dalam satu pembagian yang termasuk di dalamnya tafsir bi al-Ma‘tsũr dan bi ar-ra‘y.8 Husain adz-Dzahabĩ membagi tafsir pada

6 Abu Bakr Ahmad bin ’Alĩ ar-Rãzĩ ulama besar bermazhab Hanafi, namun karya-karyanya

condong pada Mu’tazilah. Lahir 305 h dan wafat 370 H. Muhammad bin Ahmad ad-Dzahabĩ, Siyaru A’lãmi an-Nubalã‘, jilid 16, hal 340

7 Abu Bakr Muhammad bin ’Abdillah bin Muhammad bin ’Abdillah al-M’ãfirĩ, ulama besar

bermazhab Maliki, sangat produktif dalam berkarya. Meski ayahnya seorang pengingut mazhab Zhahiri, namun beliau menantang keras mazhab tersebut, lahir 468-543 H. Muhammad bin Ahmad ad-Dzahabĩ, Siyaru A’lãmi an-Nubalã‘, jilid 20, hal 197

8 Yang dimaksud dengan tafsir bi al-ma‘tsũr adalah: penafsiran yang menggunakan suatu

(14)

at-Tafsĩr bi al-Ma‘tsũr dan at-Tafsĩr bi ar-Ra‘y, yang bercabang pada bi ar-Ra‘y

al-Mamdũh dan bi ar-Ra‘yal-Madzmũm. Sedangkan at-Tasfĩr Shũfĩ, at-Tafsĩr al-Falsafĩ,

at-Tafsĩr al-Fiqhĩ, dan at-Tafsĩr ’Ilmĩ, masing-masing dibagi dalam sub-bab tersendiri

dengan berbagai kelebihan dan kekurangan. Pembagian di atas agaknya memberi kesan bahwa masing-masing tafsir tersebut merupakan corak yang ditempuh mufassir. Hal ini dapat dilihat dalam urainnya tentang perkembangan tafsir dengan menyatakan bahwa tafsir-tafsir di atas lebih dominan menggunakan dalil ’aqli, meski tanpa mengabaikan dalil naqli.9

Mengingat sebagian sahabat ada yang memahami makna yang tersirat dari sebuah ayat, maka tafsir Isyãrĩdapat dilakukan dengan riwayat atau logika. Salah satu contoh yang penafsiran dengan pendekatan riwayat adalah penafsiran yang bersumber dari Ibn ’Abbãs (w 68 H) –ahli tafsir dari kalangan sahabat-, dengan memahami ayat 1 dari surah an-Nashr (110) sebagai pertanda akan kembalinya Rasul kepada Kekasihnya.

ﺱ ﺎﺒﻋ ﻥﺒﺍ ﻥﻋ

Dari Ibn ’Abbãs, bahwa sesungguhnya ’Umar ra bertanya kepada mereka (pasukan Badar dari kalangan Muhajirin dan Anshor) tentang firman

tafsir bi ar-ra‘yial-mamdũh. Apabila ijtihad penafsiran tidak memperhatikan pada asas-asas tersebut, maka ia dinamakan tafsir bi ar-ra‘yial-madzmũm. Lihat: az-Zarkasyi, al-Burhãn fi ’Ulũm al-Qur‘ãn, jild II, hal 156, Muhammad ’Abdul ’Adzĩm az-Zarqãni, Manãhil al-’Irfan, Dãr al-Fikr, Beirut, 1996, jilid 2, hal 36. Az-Zarqãni mengkategorikan beberapa kitab tafsir yang menggunakan pendekatan ra‘y (al-mahmũd) adalah:

(15)

Allah SWT: Apabila Telah datang pertolongan Allah dan kemenangan.

Mereka menjawab: kemenangan atas kota-kota dan istana-istana. (’Umar)

bertanya: apa menurut kamu wahai Ibn ’Abbãs? (Ibn ’Abbãs) menjawab:

waktu atau perumpamaan diberikan kepada Muhammad SAW, yang

menggambarkan kematiannya.

Penafsiran dengan menggunakan corak sufi bukanlah persoalan yang baru dalam khazanah Islam, melainkan sudah muncul sejak zaman sahabat. Bahkan tidak sedikit ayat al-Quran yang menggambarkan bahwa al-Quran dapat dipahami secara tersurat dan tersirat. Salah satunya terkandung dalam surah Muhammad (47) ayat 24:

Ÿ

Tidak hanya al-Quran, Rasulullah juga menegaskan bahwa al-Quran memiliki makna zhahir dan makna bathin:

Abdullah bin Masũd berkata: Rasulullah SAW bersabda: seandainya aku

menjadikan kekasih, maka aku akan menjadikan Abu Bakr sebagai

kekasih. Tetapi sahabat kalian (Abu Bakr) adalah kekasih Allah, dan

al-Quran diturunkan dengan tujuh huruf, setiap huruf memiliki zhahir dan

bathin.

Berdasarkan ayat dan hadits di atas, para ulama berkesimpulan bahwa al-Quran memiliki makna bathin yang hanya dapat dipahami oleh mereka yang mendalami

11Shahĩh. Sulaiman bin Ahmad ath-Thabrãnĩ, al-Mu’jam al-Awsath, no: 773, Musnadu Abĩ Ya’lã,

(16)

kandungan al-Quran. Penafsiran semacam ini juga telah dilakukan oleh sebagian sahabat, seperti contoh tersebut di atas.12

Namun, polemik tentang tafsir sufi ini tetap berlanjut. Ahmad bin Abi al-Hiwãrĩ,13 di antara ulama yang mendukung tafsir sufi, mengatakan: Seandainya mereka

(yang menghafal al-Quran) memahami apa yang mereka baca, mengetahui hakikatnya, menikmatinya, dan bermunajat dengannya, maka mereka tidak akan bisa tidur, karena cukup dengan apa yang mereka pahami.14 Sementara mereka yang menolaknya tidak

segan-segan mengecam penafsiran ini. Az-Zarkasyĩ (w 794 H), misalnya, mengatakan bahwa penjelasan ulama sufi bukanlah suatu penafsiran, melainkan ungkapan makna al-Quran yang diperoleh melalui proses bacaan.15 Ibn Taymiyah (Syaikhu al-Islãm Ahmad

bin ’Abdu al-Halĩm w. 728 H) juga berkesimpulan bahwa barangsiapa yang menafsirkan dan men-ta‘wil-kanal-Quran atau hadits dengan penafsiran yang tidak bersumber dari sahabat atau tabi’in, maka ia termasuk orang yang mengada-ngada kepada Allah dan kafir terhadap al-Quran.16

Salah satu tafsir klasik yang menggunakan corak sufi adalah Haqã’iqu at-Tafsĩr karya Abu ’Abdrrahmãn as-Sulamĩ (w 412 H), yang lebih dikenal dengan Tafsĩr as-Sulamĩ. As-Sulami merupakan sosok ulama sufi yang terkemuka yang melahirkan berbagai karya di bidang tasawuf, sejarah, hadits, dan tafsir.

Setidaknya terdapat 2197 ayat al-Quran yang ditafsirkan as-Sulamĩ secara acak/tidak tertib dengan menggunakan corak sufi/Isyãrĩ. Meskipun as-Sulamĩ

12 Ibarhim bin Musa asy-Syãthibĩ, al-Muwãfaqãt fĩ Ushũl asy-Syarĩ’ah, Dãr al-Hãdits, 2006, jilid 3,

hal 265

13 Ahmad bin ’Abdullah bin Maymũn, ulama zuhud berasal Kufah. Beliau adalah guru dari Abu

Dãwud dan Ibn Mãjah, lahir 164-246 H. Muhammad bin Ahmad ad-Dzahabĩ, Siyaru A’lãmi an-Nubalã‘, jilid 12, hal 85

14 Abu ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Thabaqãtu ash-Shũfiyah, Dãr al-Kutub al-’Ilmiyah, Beirut, 2003,

hal 94

15 az-Zarkasyĩ, al-Burhãn fiUlũm al-Qurãn, jilid 2, hal 170. Komentar ulama berkenaan dengan

tafsir sufi akan dibahasa dalam bab selanjutnya.

16 Ahmad bin ’Abdul Halĩm bin Taimiyah, Fatãwã Ibn Taymiyah, Dãr ak-Kutub al-’Ilmiyah,

(17)

sebagaimana pengakuannya dan terlihat dalam tafsirnya- banyak mengumpulkan penafsiran dan pendapat-pendapat ulama sufi sebelumnya dalam menjelaskan makna al-Quran –seperti Ja’far bin Muhammad bin ’Alĩ (Ja’far ash-Shãdiq, w 148 H), at-Tustarĩ17

, Junaid al-Baghdãdĩ18, Ahmad bin Muhammad bin ’Atha‘19, Muhammad bin Musa

al-Wãsithĩ (Abu Bakr, murid senior dari al-Junaid, ulama tasawuf yang menguasai ilmu dzahir w 320 H), dan ulama-ulama sufi yang lain-, terdapat pula penafsirannya sendiri sebagaimana terlihat dalam beberapa ayat surah al-Qashash (28) dan surah Shad (38)

Walau banyak mengumpulkan penafsiran ulama-ulama sufi, berbagai celaan dan kritikan dialamatkan kepada as-Sulamĩ dan tafsirnya. Al-Wãhidĩ (Abu al-Hasan ’Alĩ

bin Ahmad bin Muhammad, ulama tafsir yang menulis Asbãbu an-Nuzũl w. 468 H), sebagaimana dinukil Ibn Taymiyah, mengatakan: "Abu ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ

menulis Haqã’iqu at-Tafsĩr. Barangsiapa meyakini tulisan itu sebagai tafsir, sesunggugnya ia telah kafir".20 Ibn Taymiyah sendiri juga melontarkan kritikan terhadap tafsir as-Sulamĩ. Beliau mencontohkan tafsir as-Sulamĩ sebagai salah satu di antara sekian tafsir yang menjelaskan kandungan al-Quran secara benar, namun penjelasan tersebut tidak sesuai dengan kehendak al-Quran.21 Dari sudut lain, Ibn Taymiyah menilai

bahwa as-Sulamĩ menyebutkan dalam Haqã’iqu at-Tafsĩr berbagai isyãrãt, yang sebagiannya benar dan bermanfaat, sebagian lain adalah kebohongan terhadap sumber seperti yang bersumber dari Ja’far ash-Shãdiq, dan sebagian yang lain berupa nukilan

17 Sahl bin ’Abdillah bin Yunus at-Tustarĩ, ulama besar sufi yang banyak mengemukakan

nasehat-nasehat. Beliau pernah mengatakan bahwa seseorang hendaknya menulis hadits sampai ia meninggal, dan tinta ditumpahkan pada kuburannya sebagai saksi, wafat 283 H. Muhammad bin Ahmad ad-Dzahabĩ, Siyaru A’lãmi an-Nubalã‘, jilid 13, hal 330

18 Junaid bin Muhammad bin al-Junaid, ulama besar sufi berasal dari Baghdad yang ilmunya sesuai

dengan amalannya dan diterima dalam setiap kalangan, lahir sebelum 230 wafat 297 H. Muhammad bin Ahmad ad-Dzahabĩ, Siyaru A’lãmi an-Nubalã‘, jilid 14, hal 66

19 Abu ’Abbãs Ahmad bin Muhammad bin Sahl bin ’Atha‘, ulama yang mengkhatamkan

Quran 90 kali dalam bulan Ramadhan, namun beliau membenarkan ungkapan-ungkapan kontroversial dari al-Hallãj, meninggal 309 H. Muhammad bin Ahmad ad-Dzahabĩ, Siyaru A’lãmi an-Nubalã‘, jilid 14, hal 256

20 Ahmad bin ’Abdul Halĩm bin Taimiyah, Fatãwã Ibn Taymiyah, 13, hal 107

21 Menurut Ibn Taimiyah, terdapat sekian penafsiran dari ulama sufi dan ulama fikih yang

(18)

yang tidak dapat diterima.22 Syamsuddĩn ad-Dzahabĩ (Muhammad bin Ahmad, ulama

hadits yang menulis Siyar a’lãm an-Nubalã’, w 747 H) juga berkomentar: "(Abu ’Abdirrahman as-Sulamĩ) menulis Haqã’iqu at-Tafsĩr yang mendatangkan berbagai musibah dan penakwilan kaum Bãthiniyah. Kita memohon perlindungan dari Allah.23

Dengan berbagai komentar para ulama yang menyudutkan dan mengkafirkan penafsiran as-Sulamĩ, serta keilmuannya yang luas, tidak berlebihan jika dilakukan telaah terhadap penafsiran Isyãrĩ, dalam hal ini Haqã’iqu at-Tafsĩr.Setidaknya, dengan telaah ini dapat mengenal lebih jauh model penafsiran as-Sulamĩ beserta sumbernya, sehingga dapat menyikapi dan mempertimbangkan kembali celaan dan kritikan yang dilontarkan ulama terhadap tafsir Isyãrĩ, khususnya tafsir as-Sulamĩ. Selain itu, telaah ini mempertegas bahwa tidak semua –kalau enggan mengatakan tidak sama sekali- penafsiran as-Sulami sesat. Bertolak dari urgensi penjelasan di atas, penulis membahasnya dengan judul: "Penafsiran Dengan Pendekatan Isyãrĩ (Kajian

Terhadap Kitab Haqã’iq at-Tafsĩr Karya Abu Abdirrahmãn as-Sulamĩ [325- 412

H])".

B. Permasalahan

Merujuk pada realitas dan latarbelakang masalah tersebut, maka permasalahan penelitian adalah penafsiran Isyãrĩ yang termuat dalam Haqã’iqu at-Tafsĩr karya as-Sulamĩ. Penelitian ini mungkin dapat dilihat dari berbagai aspek, di antaranya metode penafsiran as-Sulamĩ dan sikapnya terhadap al-Quran dan hadits. Kajian lain berupa analisis penafsiran as-Sulamĩ dengan membandingkan dengan kitab-kitab tafsir lain dalam persoalan yang sama. Dengan demikian, pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam kajian ini adalah:

22 Ibn Taimiyah, Fatãwã Ibn Taymiyah, jilid VI, hal 187

23 Muhammad bin Ahmad adz-Dzahabĩ, Tadzkirat al-Huffãdz, an-Nizhãmiyah, India, tt, jilid 3,

(19)

1. Benarkah semua penafsiran as-Sulamĩ adalah penafsiran Isyãrĩ, sebagaimana dinilai Husain adz-Dzahabĩ?

2. Bagaimanakah metode penafsiran as-Sulamĩ berkenaan dengan penafsiran al-Quran dengan al-Quran, al-Quran dengan hadits, serta al-Quran dengan bahasa?

3. Bagaimanakah aplikasi metode tersebut terhadap beberapa tema di dalam al-Quran?

4. Benarkah penafsiran as-Sulamĩ menyimpang dari tafsir zhahir, sebagaimana dinilaih al-Wãhidĩ?

Tafsir Isyãrĩ yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah penakwilan ayat al-Quran dari makna yang tersurat (zhahir) kepada makna lain yang tersirat. Terdapat beberapa kitab tafsir yang menggunakan corak Isyãrĩ, antara lain: Tafsĩru at-Tustarĩ karya Muhammad Sahl at-Tustarĩ, Lathã‘if al-Isyãrãt karya Abũ al-Qãsim al-Qusyairĩ

(’Abdul al-Karim bin Hauzãn, murid as-Sulamĩ w 465) ’Ara‘isu al-Bayãn fĩ Haqã‘iqi al-Bayãn karya Abũ Muhammad asy-Syairãzĩ (w 606), Tafsĩr Ibn ’Arabi karya Muhyiddĩn

Ibn ’Arabi (w 638), Rũh al-Ma’ãni karya Mahmũd bin ’Abdillah bin Mahmud al-Alũsĩ (w 1270).

Oleh karena itu, pembahasan ini hanya berpusat pada kitab tafsir Isyãrĩ karya Abu ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ yang persisnya bernama Haqã’iq at-Tafsĩr, diterbitkan oleh Dãr al-Kutub al-’Ilmiyah, Beirut, cetakan ke-1 tahun 2001

C. Tujuan dan Signifikansi Penelitian

1. Tujuan Penelitian.

(20)

bebarapa tema dalam al-Quran, serta menganalisa penafsiran as-Sulamĩ berkenaan dengan tema-tema tersebut.

2. Signifikansi Penelitian

Penelitian ini bermanfaat untuk mempertimbangkan kembali pandangan ulama terhadap tafsir as-Sulamĩ yang dinilai sesat, juga untuk menambah informasi yang penting berkenaan dengan tafsir Isyãrĩ.

D. Kajian Kepustakaan

Penelitian secara khusus berkenaan dengan tafsir Isyãrĩ terlihat dalam penelitian para sarjana masa kini terhadap tafsir tertentu. ’Abdul Majĩd Ihaddad memperoleh gelar doktor dengan memfokuskan penelitiannya pada penafsiran Imam al-Qusyairĩ -salah satu murid Abu ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ- dalam Lathã’if al-Isyãrãt

berkenaan dengan istilah-istilah tasawuf.24

Baharuddin HS juga meneliti ayat-ayat yang ditafsirkan secara Isyãrĩ oleh al-Alũsĩ dalam Rũh al-Ma’ãnĩ. Penelitian juga mencakup beberapa tafsir isyãrĩ yang berkembang.25 Penelitian lain adalah berkenaan dengan tafsir Isyãrĩ menurut

Thabãthabã‘ĩ yang dilakukan oleh Rosihan Anwar. Penelitian tersebut terfokus pada prinsip-prinsip tafsir Isyãrĩdalam pandangan Thabãthabã‘ĩ, serta pandapatnya berkenaan dengan riwayat para Imam.26

Penelitian lain, berkenaan dengan tafsir Isyãrĩ adalah thesis MA oleh Muhammad Anwar Syarifuddin. Lebih khusus, penelitiannya berkenaan dengan Tafsĩr

24 ’Abdul Majĩd Ihaddãd, Dirasah li Lathãifi al-Isyarãt li Abi al-Qãsim al-Qusyairiy, (Disertasi

doktor), Universitas Surbone, Paris, 2005. Informasi ini diperoleh melalui wibsite:

http://www.merbad.net/vb/showthread.php?p=21717

25 Baharuddin HS, Corak Tafsir Rũh al-Ma’ãnĩ karya al-Alũsĩ; telaah atas ayat-ayat yang

ditafsirkan secara Isyãrĩ, (Disertasi Doktor), Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2002

26 Rosihan Anwar, Tafsir Esoterik Menurut Pandangan Thabãthabã‘ĩ, (Disertasi Doktor), Program

(21)

at-Tustarĩ yang merupakan salah satu rujukan ’Abdurrahman as-Sulamĩ. Pembahasan dalam tesisnya berkisar pada prinsip-prinsip penafsiran at-Tustarĩ, serta perjalanan kaum sufi (maqãmãt).27 Novizal Wendry juga membahas penafsiran esoterik yang terdapat dalam kitab Bihãr al-Anwãr karya Muhammad Bãqir al-Majlisĩ (ulama Syi’ah, w 1111 H). Selain mengemukakan metode penafsiran al-Majlisĩ, pembahasan Novizal juga terfokus pada keberanian al-Majlisĩ dalam melegalkan tafsir esoterik.28

Dalam buku Islamic Studies Presented To Charles J. Adams, termuat sebuah artikel yang ditulis oleh guru besar Universitas Yale, Gerhard Bowering, dengan judul

The Quran Commentary Of as-Sulami. Setelah mengemukakan biografi dan metode

penafsiran as-Sulamĩ dengan singkat –yang juga dikutip dari muqaddimah tafsir as-Sulamĩ-, Gerhard lebih banyak menyoroti sistematika penafsiran, rujukannya, serta kontribusi as-Sulamĩ dalam perkembangan corak tafsir Isyãrĩ.29 Sementara dalam artikel lain dengan judul The Major Sources Of Sulamĩ's Minor Quran Commentary, Gerhard Bowering secara khusus menyoroti rujukan-rujukan as-Sulamĩ dalam kitab yang ditulis setelah Haqã’iq at-Tafsĩr, yaitu Ziyãdãt Haqã’iq at-Tafsĩr.30 Dalam dua artikel tersebut tidak ditemukan kajian terhadap penafsiran as-Sulamĩ, sebagaimana akan dimuat dalam pemabahasan ini.

Secara umum, sumber lain yang dapat dijadikan kajian kepustakan berupa kitab-kitab yang membahas tentang ilmu al-Quran, seperti Manãhil al-’Irfãn karya az-Zarqãni, at-Tafsĩr wa al-Mufassirũn karya Husain adz-Dzahabĩ, al-Manãhij at-Tafsĩriyyah karya Ja’far as-Sajãnĩ, dan at-Tafsĩr wa al-mufassirũn fĩ Tsaubihi al-Qasyĩb

27 Informasi tersebut diperoleh dari hasil wawancara dengan peneliti, tanggal 28 Maret 2007. Judul

tesisnya adalah: Sufi Simbolism on the early Qurani Commentaries (A Study On Sahl at-Tustarĩ Tafsĩr al-Quran al-’Adzĩm. Leiden University, 2000

28 Novizal Wendry, Penafsiran Esoterik dalam Tafsir Syi'ah (Studi Kitab Bihãr al-Anwãr), (Thesis

MA), Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2007

29 Gerhard Bowering, The Quran Commentary Of as-Sulami. Dalam: Islamic Studies Presented To

Charles J. Adams, Wael B. Hallaq dan Donald P. Little, (edt), Brill, Leiden, New York, 1991

(22)

karya Muhammad Hãdĩ Ma’rifah, yang masing-masing membahas satu bab atau sub-bab berkenaan dengan tafsir sufi.

Merujuk pada beberapa karya di atas yang membahas tafsir Isyãrĩ, ditemukan tanggapan-tanggapan pro dan kontra terhadap tafsir Isyãrĩ serta "benang merah" di antara keduanya. Dalam penelitian ini, akan dikaji secara khusus penafsiran as-Sulamĩ

terhadap beberapa tema yang terkandung dalam al-Quran. Namun sebagai pendahuluan kajian ini, perlu kiranya mengemukakan biografi as-Sulamĩ beserta profil tafsirnya, begitu juga tentang tafsir Isyãrĩ.

E. Metode Penelitian yang Digunakan

Bertolak dari kajian diatas, maka kajian ini menggunakan metode library research dengan mengumpulkan data dari perpustakaan serta sarana lainnya seperti

website. Data yang dihimpun dari riset perpustakaan terdiri dari data pokok berupa

Haqã’iq at-Tafsĩr yang diterbitkan oleh Dãr al-Kutub al-’Ilmiyah, Beirut, cetakan ke-1

tahun 2001. Selain itu, penggunaan data sekunder tidak dapat dihindari terutama yang berkenaan dengan tafsir, hadits, bahasa, dan taswuf.

Selain itu, juga digunakan metode analisis, dengan melakukan pencatatan, penguraian, dan penafsiran untuk mengupas masalah yang diteliti, sehingga dapat ditemukan kesimpulan atas penafsiran as-Sulamĩ. Pengumpulan data juga dilakukan dengan metode komperatif, dengan berusaha memaparkan aplikasi tafsir as-Sulamĩ dan menganalisanya serta membandingkan dengan beberapa kitab tafsir lain yang dianggap relevan dengan permasalahan.

(23)

F. Sistematika Penulisan

Demi kemudahan dalam memahami substansi penelitian ini, maka penulisan ini dibagi pada enam bab dengan sistematika sebagai berikut:

Bab pertama, berupa pendahuluan yang terdiri dari enam sub-bab, yaitu latarbelakang

masalah, permasalahan, tujuan dan signifikansi penelitian, kajian kepustakaan, metode penelitian, serta sistematika penelitian.

Bab keedua, bagian pertama bab ini berbicara tentang kehidupan as-Sulamĩ

dengan melihat pada biografi dan kondisi sosial pada masa hidupnya, keilmuannya yang meliputi guru-guru tempat dia menimba ilmu berikut pengaruh keilmuan as-Sulamĩ

terhadap generasi setelahnya, serta penilaian ulama terhadap dirinya.

Adapun berkenaan dengan profil kitab, pembahasan berkisar pada sejarah singkat yang mendorongnya menulis tafsir, beserta sumber-sumbernya.

Bab ketiga, terdiri dari empat bagian. Pada bab ini,pembahasan berkisar pada pengertian

tafsir Isyãri. Oleh karena tafsir Isyãri sering dikaitkan dengan tafsir Bãthini, maka pembahasan pada bagian selanjutnya mencakup perbedaan tafsir Isyãrĩ dengan tafsir Bãthini. Pembahasan lain dalam bab ini mencakup sejarah tafsir Isyãri dan status hukum,

baik mereka yang menerima atau menolak tafsir Isyãri.

Bab keempat, bagain pertama dalam bab ini menilik metode yang digunakan

as-Sulamĩ dalam kaitannya dengan ayat al-Quran, hadits, dan bahasa dalam penafsirannya. Pada bagaian selanjutnya, pembahasan berkisar pada penilain ulama terhadap tafsir as-Sulamĩ, serta merespon berbagai penilaian tersebut dengan merujuk pada tiga metode yang disebutkan.

Bab kelima berupa kajian lebih khusus berkenaan dengan tafsir as-Sulamĩ, dengan

(24)

jiwa manusia dan dapat mengambil hikmahnya. Bahkan, terdapat sekian banyak ayat al-Quran yang mengajak manusia untuk mengenal Allah dengan memperhatikan alam semesta beserta isinya. Namun, penafsiran yang berbeda terlihat dalam kitab ini. Matahari dan bulan, sebagaimana terlihat dalam surah Yunus [10]: 5, diartikan dengan matahari (kecerahan) ma’rifah dan tauhid. Pembahasan selanjutnya berkenaan dengan kisah para Rasul. Sudah dimaklumi, kebanyakan dari ayat al-Quran berupa kisah umat masa lampau, yang menjadi pelajaran bagi umat setelahnya. Berkenaan dengan itu, penelitian ini akan mengkaji nilai-nilai kisah Rasul dalam pandangan as-Sulamĩ, dan pengkaitan kisah-kisah tersebut dengan praktik sufi. Penafsiran yang tidak kalah penting adalah berkenaan dengan ibadah, khususnya yang berkaitan dengan rukun Islam. Hal ini karena sering dipandang kontradiksi antara ulama sufi dan ulama fikih dalam persoalan ibadah.

Bab keenam, sebagai penutup, berisi kesimpulan guna menjawab dari permasalahan

(25)

BAB II

AS-SULAMĨ DAN HAQÑIQU AT-TAFSĨR

A. As-Sulamĩ

1. Biografi

Abu ’Abdirrrahmãn as-Sulamĩ adalah sosok ulama besar di bidang hadits, dan merupakan tokoh besar sufi di Khurasan. Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Husain bin Muhammad bin Musa bin Khãlid bin Sãlim bin Zãwiyah bin Sã’ĩd bin Qabĩshah bin Sirãq al-Azdĩ an-Naisãbũrĩ (selanjutnya disebut as-Sulamĩ). Dilihat dari keturunan ayahnya, as-Sulamĩ berasal dari keturunan Azd, yaitu Azdu bin Ghauts bin Nabt bin Malik bin Zaid bin Kahlãn bin Saba‘. Julukan "as-Sulamĩ" bersumber dari jalur keturunan ibunya, yaitu cucu dari Abu ’Amr Ismail bin Najĩd bin Ahmad bin Yusuf bin Sãlim bin Khãlid as-Sulamĩ, nasab dari Salĩm bin Manshũr bin ’Ikrimah Khashfah bin Qais bin ’ĩlãn bin Madhr.31 Abu ’Abdirrrahmãn lebih populer dengan keturunan ibunya (as-Sulamĩ) karena "dinasti" as-Sulamĩ merupakan dinasti yang terkemuka di Naisabur, hal itu ditandai dengan diangkatnya Qais bin Haitsam as-Sulãmĩ sebagai pemimpin Naisabur pada masa Mu’ãwiyah sejak tahun 41 H sampai 45 H. Tidak hanya dalam kedudukan, "dinasti" ini juga terkemuka dari segi ketaqwaan, kemapanan dan kedermawanannya. Keadaan yang demikian berbeda dengan keadaan ayahnya yang sederhana.

As-Sulamĩ lahir dari keluarga dan keturunan yang sangat zuhud pada hari selasa 10 Jumada Akhir 325 H, bertepatan dengan 16 April 936 M. Sementara sebagian sejarawan menyebutkan bahwa beliau lahir pada tahun 330 H. Pendapat pertama lebih tepat karena –sebagaimana diutarakan Abu Sa’ĩd Muhammad bin ’Alĩ al-Khasyãb (salah satu murid as-Sulamĩ yang setia di Naisabur 381-456 H)- as-Sulamĩ lahir enam hari

31Muhammad bin Ahmad ad-Dzahabĩ, Siyaru A’lãmi an-Nubalã‘, Mu‘assatu ar-Risãlah, Berut,

(26)

setelah meninggalnya Makkĩ bin Abdãn (Abu Hãtim at-Tamĩmĩ, ulama haits yang tsiqah

dari Naisabur), dan as-Sulamĩ mulai berguru secara tulisan dari Abu Bakr ash-Shabghĩ

dan Abu al-’Abbãs al-Asham pada (Muhammad bin Yusuf bin Ya’qub) tahun 333 H.32 Husain bin Muhammad bin Musa, sang ayah, adalah sosok ulama sufi yang santun bermuamalah. Sang ayah menjual dan menyedekahkan semua harta bendanya sebagai ungkapan bahagia menyambut kelahiran as-Sulamĩ. Ketika ditanya alasan tersebut, beliau menjawab: "masa depannya tidak akan lepas dari dua hal: apabila ia (as-Sulamĩ) menjadi anak yang shaleh, maka Allah akan mencukupkan kebutuhannya. Dan, apabila ia menjadi orang yang fasik, maka aku tidak mau menjadi penolong kefasikannya".33

Kenyataannya, as-Sulamĩ hanya beberapa tahun dapat merasakan kebersamaan dengan ayah. Pada tahun 348 H, ketika as-Sulamĩ berumur 13 tahun, sang ayah kembali kapada Allah. Sepeninggal ayahnya, as-Sulamĩ diasuh oleh kakek dari ibunya; Abu ’Amr Ismail bin Najĩd. Bersama sang kakek yang tidak memiliki putra, as-Sulamĩ selalu hadir dalam majlis-majlis ilmu. Kebersamaan seperti ini juga menjadi salah satu sebab mengapa Abu ’Abdirrahmãn dijuluki dengan "as-Sulamĩ". Abu ’Amr Ismail bin Najĩd meninggal dunia pada tahun 366 H dengan meninggalkan harta yang hanya diwariskan oleh ibu as-Sulamĩ.

As-Sulamĩ meninggal dunia pada hari ahad 3 Sya’ban 412 H, dan dimakamkan di sebuah rumah kumpulan kaum sufi di Naisabur, yang beliau dirikan pada masa akhir hayatnya.34

32Muhammad bin Ahmad ad-Dzahabĩ, Siyaru A’lãmi an-Nubalã‘, jilid 17, hal 247. Berkenaan

dengan biografi singkat guru-guru as-Sulamĩ, akan di utarakan pada bagian berikut.

33Ibn Mulqin; ’Umar bin ’Alĩ bin Ahmad, Thabaqãtu al-Awliyã‘, Maktabatu al-Khãbikhĩ, Mesir

1973, hal 189

34Ahmad bin Ali, al-Khathĩb al-Baghdãdĩ, Tãrĩkhu Baghdãd, Dãru al-Kutub al-’Ilmiyah, Beirut, tt,

(27)

2. Kondisi Sosial

Pada masa kekhalifahan ’Umar, tepatnya tahun 18 H, daerah Khurasan berada dibawah kerajaan Islam. Dibawah kepemimpinan Ahnaf bin Qais35 pada masa itu, penaklukan dimulai dari daerah Thabsin, Harrah, Marw, dan Naisabur. Penaklukan tersebut berlangsung sampai tahun kedua dari kepemimpinan khalifah ’Utsmãn bin ’Affãn. Pada masa itu terjadi pemberontakan orang-orang gereja di Naisabur yang mengharuskan melepas kepemimpinan Islam, meskipun Khurasan beserta daerah sekitarnya direbut kembali pada tahun 31 H di bawah kepemimpinan ’Abdullah bin ’Ãmir bin Kuraiz bin Rabĩ’ah (saudara sepupu ’Utsmãn bin ’Affãn w 85 H).36

Kerajaan Islam di Khurasan pada masa itu tidaklah berjalan lancar, melainkan penuh dengan pemberontakan-pemberontakan yang memaksa para pemimpin untuk terus mengungsi ke berbagai wilayah. Kerajaan Islam di Khurasan mencapai puncaknya pada masa bani ’Abbãs. Keadaan seperti ini dapat dipahami dari ungkapan Ibn Qutaibah bahwa:

"Ketika Allah melaksanakan kehendaknya melalui bani Umayyah dan Bani Abbas, orang-orang Khurasan dapat hidup dengan tenang dan penuh ketaatan kepada pemimpin mereka".37

Secara geografis, awal batas Khurasan adalah sekitar Irak; Azadzuwar, Juwain, dan Baihaq. Perbatasan akhirnya di sekitar India; Thakharistan, Ghaznah, Sajastan, dan Kirman. Khurasan setidaknya memiliki empat kota besar, yaitu Harat, Balkh, Marw, dan Naisabur -tanah kelahiran as-Sulamĩ.38

Sejak abad ketiga, terdapat beberapa kerajaan yang memerdekakan diri dari dinasti ’Abbãsiyah. Berdirinya kerajaan-kerajaan tersebut membawa pengaruh besar

35Ahnaf bin Qais bin Mu’ãwiyah bin Hushain. Nama sebenarnya adalah adh-Dhahãk bin Qais.

Beliau masuk Islam pada masa Rasul, dan menjadi salah satu pemimpin dalam perang Shiffin. W 67 H. Muhammad bin Ahmad ad-Dzahabĩ, Siyaru A’lãmi an-Nubalã‘, jilid 4, hal 86

36Yãqũt al-Hamwĩ, Mu‘jamu al-Buldãn, Dãru al-Fikr, Beirut, tt, jilid 2, hal 350 37Yãqũt al-Hamwĩ, Mu‘jamu al-Buldãn, jilid 2, hal 350

(28)

terhadap perkembangan peradaban Islam di Khurasan yang sebelumnya berpusat di Baghdad. Peradaban yang berkembang berupa pembangunan fisik, maupun pemikiran-pemikiran.39

Tahun 205 H-259 H, Naisabur dijadikan pusat kerajaan Thahiriyyah, yang diawali oleh ’Abdullah bin Thãhir bin al-Husain bin Mushab (182-230 H). Di bawah kerajaan ini, Naisabur menjadi pusat peradaban dan ekonomi. Selanjutnya, kerajaan berpindah pada kerajaan Shafãriyah, di bawah pimpinan Abu Yusuf Ya’qub bin al-Laits as-Sajastãnĩ (w 265 H). kerajaan ini berkuasa dari tahun 254 sampai 290 H.

Setelah kerajaan Shafãriyah, muncul kerajaan Sãmãniyah (266-389 H). Pada abad ke-4, Naisabur menjadi pusat kota Islam dan berada pada masa keemasan di bidang pembangunan dan pemikiran, dan menjadi kota terpenting di Khurasan. Pada masa kerajaan ini juga berkembang mazhab fikih, khususnya mazhab Hanafiyah dan Syafi’iyah. Akhir abad keempat, atau memasuki abad kelima, Naisabur menjadi pusat ilmu tasawuf di bagian timur.40 Hal itu terlihat dengan munculnya ulama-ulama tasawuf seperti at-Turmudzĩ41, Abu Yazĩd al-Busthãmĩ,42 Abu Nashr ’Abdullah bin ’Alĩ as-Sirãj

ath-Thũsĩ (w 378 H) dengan kitabnya al-Luma’, Abu Thãlib al-Makkĩ43 dengan kitabnya

tu al-Qulũb, dan Muhammad bin Ishaq bin Ibrahim al-Kalãbadzĩ (pengikut mazhab Hanafi, w 384 H) dengan kitabnya at-Ta’arruf li Madzhabi at-Tashawwuf.

39Hasan Ibrahim Hasan, Tãrĩkhu al-Islãm; as-Siyãsĩ wa ad-Dĩnĩ wa ats-Tsaqãfĩ wa al-Ijtimã’ĩ,

al-Maktabatu an-Nahdhatu al-Mishriyatu, 1979, jilid III, hal 62.

40The Encyclopedia of Islam, ed P.J. Bearman dkk, Brill, Leiden, 2000, jilid 10, hal 314

41Abu ’Abdillah Muhammad bin ’Alĩ bin al-Hasan al-Hakĩm. Beliau diusir dari Turmudz karena

menulis kitab Khatmu al-Wilãyati dan ’Ilalu asy-Syarĩ’ati, yang isinya dianggap lebih memuliakan para wali daripada para nabi, dan para wali memiliki wali penutup sebagaimana para nabi. Menurut as-Sulamĩ, beliau diusir karena penduduk Turmudz tidak bisa memahami dua kitab tersebut. Beliau wafat 255 H. Muhammad bin Ahmad ad-Dzahabĩ, Siyaru A’lãmi an-Nubalã‘, jilid 13, hal 441

42Thaifũr bin Isa bin Sarũsyãn (w 261). Tokoh tasawuf yang banyak mengutarakan Syathahãt,

tetapi banyak pula ungkapan yang bermanfaat. Kakeknya Sarũsyãn seorang Mmajusi yang memeluk Islam. Abu Yazĩd, Adam dan ’Alĩ adalah tiga saudara yang zuhud. Muhammad bin Ahmad ad-Dzahabĩ, Siyaru A’lãmi an-Nubalã‘, jilid 13, hal 86

43Muhammad bin ’Alĩ bin ’Athiyyah al-Hãritsĩ, ulama zuhud yang banyak menahan lapar, hanya

(29)

Melihat dari sejarah singkat di atas, maka keilmuan as-Sulamĩ mendapat pengaruh dengan keadaan zaman pada masa itu. Guru as-Sulamĩ yang pertama, sang ayah, dikenal sebagi murid ulama sufi asy-Syiblĩ,44 begitu juga dengan kakeknya yang dikenal sebagai murid al-Junaid al-Bagdadĩ (w 297 H).

3. Perjalanan Intelektual (Rihlah ’Ilmiyah)

Sebagaimana disinggung di atas, as-Sulamĩ menuntut ilmu berawal dari ulama besar Naisabur di bidang hadits, Abu Bakr ash-Shabghĩ (Ahmad bin Ishaq bin Ayyub, 258-342 H), di saat as-Sulãmĩ belum genap 8 tahun. Tentunya, as-Sulãmĩ banyak mendapat bimbingan ilmu tasawuf dari ayah dan kakeknya. Berawal dari itu, timbul kemauan yang besar dalam diri as-Sulamĩ untuk menekuni dua bidang ilmu tersebut dengan "menjelajahi" berbagai daerah, antara lain: ke Irak, Ray, Hamdan, Marw, Hijaz.

Selama hidupnya, tentu banyak guru-guru yang di jumpai as-Sulamĩ. Bahkan, hanya sedikit –kalau enggan berkata tidak- daerah yang beliau singgah tanpa berguru pada ulama yang ada di daerah tersebut. Di antara guru-gurunya adalah:

1. Abu Bakr Muhammad bin Daud bin Sulaiman an-Naisãbũrĩ. Beliau salah seorang ulama Tasawuf yang dinilai tsiqah. Wafat 342 H45

2. Abu al-Hasan Ahmad bin Muhammad bin ’Abdũs bin Salamah al-’Anzĩ

an-Naisãbũrĩ ath-Tharã‘ifĩ, wafat di Naisabur tahun 346 H.46

3. Abu Hãmid Ahmad bin ’Alĩ bin Hasan bin Syãdzãn an-Naisãbũrĩ, yang juga dikenal dengan Ibn Hasnawĩh. Seorang yang taat beribadah siang dan malam. Meninggal tahun 350 H dalam usia 98 tahun.47

44Abu Bakr Dalfu bin Jahdar, pengikut mazhab Maliki yang mempelajari hadits dan fikih

masing-masing selama 20 tahun. Wafat 334 H. Muhammad bin Ahmad ad-Dzahabĩ, Siyaru A’lãmi an-Nubalã‘, jilid 15, hal 367

(30)

4. Abu Muhammad al-Marãghĩ Ja’far bin Muhammad bin Hãrits. Ulama ini sangat gemar mencari dan mempelajari hadits meskipun harus ditempuh dengan perjalan yang jauh, hal itu terlihat bahwa beliau masih tetap menulis hadits di ujung masa hidupnya. Beliau meninggal pada hari senin 26 Rajab tahun 356, dalam usia yang lebih dari 80 tahun.48

5. Abu Sa’ĩd Ahmad bin Muhammad bin Ramĩh bin ’Ishmah an-Nakha’ĩ, wafat 357 H.

6. Abu Ishaq, Ibrahim bin Ahmad bin Muhammad bin Rajã‘ an-Naisabũrĩ al-Warrãq al-Abzãrĩ. Tokoh hadits yang tsiqah. Wafat dalam usia 97 pada 5 Rajab 364 H.49

7. Abu al-Qãsim an-Nashrãbãdzĩ Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad bin Mahwiyah al-Khurãsanĩ. Ulama besar dalam ilmu hadits, tasawuf dan sejarah di Naisaburĩ, serta banyak mengemukakan makna Isyãrĩ dari Quran atau hadits. Wafat pada tahun 367 H. Beliau juga guru dari al-Hãkim an-Naisãbũrĩ.50

8. Abu al-’Abbãs Ahmad bin Muhammad bin Isa bin al-Jarãh al-Mishrĩ, wafat 376 H.51

9. Abu al-Hasan ’Alĩ bin ’Umar bin Ahmad bin Mahdi bin Mas’ũd bin an-Nu’mãn bin Dĩnãr bin Abdillah al-Baghdãdĩ, atau lebih dikenal dengan Imam ad-Dãruquthnĩ. Beliau merupakan guru as-Sulamĩ yang paling berpengaruh di bidang hadits. Lahir 306 H, dan wafat 385 H.52

10. Abu Nu’aim Ahmad bin ’Abdillah bin Ahmad bin Ishaq bin Mahrãn al-Ashbahãnĩ, tokoh sufi dan hadits di daerahnya. Lahir tahun 336 H, dan

48 Yãqũt al-Hamwĩ, Mu‘jamu al-Buldãn, jilid 5, hal 93

49Yãqũt al-Hamwĩ, Mu‘jamu al-Buldãn, jilid 1, hal 408, Muhammad bin Ahmad ad-Dzhabĩ, Siyaru

A’lãmi an-Nubalã‘, jilid 16, hal 152

(31)

meninggal tahun 430 H di bulan Muharram. Meski lebih muda, as-Sulamĩ

pernah menjadi murid Abu Nu’aim. Di antara karyanya yang terkenal adalah Hilyatu al-Awliyã‘, dan Tãrĩkhu Akhbãri Asfbahãn.53

11. Abu Bakr, Ahmad bin ’Alĩ bin ’Abdillah bin ’Umar bin Khalam asy-Syairãzĩ. Ulama tsiqah yang mulai menuntut ilmu sejak umur 4 tahun. Lahir 398 H, meninggal 487 H.54

Berbekal warisan yang ditinggalkan kakeknya, as-Sulamĩ hanya menghabiskan masa hidupnya dengan menuntut ilmu, menulis buku, dan mengajarkannya. Namun demikian, as-Sulamĩ mulai menulis sejak akhir tahun 350-an. Artinya, beliau menghabiskan lebih dari lima puluh tahun umurnya untuk menulis hadits, tafsir, tasawuf dan sejarah yang mencapai lebih dari seratus buku.

Walau as-Sulamĩ mendalami hadits, tafsir, dan sejarah, namun karangan-karangan beliau lebih dikenal dalam bidang taswuf. Bukankah beliau dikenal sebagai ulama sufi? Dalam karangan-karangannya, as-Sulamĩ lebih banyak mengemukakan pendapat-pendapat atau ungkapan-ungkapan ulama sebelumnya. Boleh jadi, langkah ini ditempuh untuk menggambarkan prilaku mulia ulama-ulama sufi terdahulu. Di antara karangan-karangan beliau adalah:

1. Ãdãbu ash-Shahbati. Terdiri dari satu jilid, cetakan pertama oleh Dãru ash-Shahãbati li at-Turãts, Mesir, tahun 1990. Dalam kitab ini, as-Sulãmĩ

menerangkan adab-adab yang harus dimiliki setiap orang dalam bermuamalah, sesuai dengan ayat al-Quran dan hadits. Dalam setiap pembahasan, beliau mengemukakan syair-syair atau kata-kata mutiara yang dianggap relevan.

(32)

2. Kitãbu al-Arba’ĩn fĩ al-Hadĩts. Kitab ini memuat 40 hadits yang dipilih as-Sulãmĩ berkenaan dengan zuhud. Diterbitkan oleh Maktabah al-’Arabiyyah al-Qayyimah.

3. Tãrĩkhu Ahli ash-Shifah. Kitab ini memuat akhlak-akhlak mereka yang senantiasa beribadat, serta keutamaan-keutamaan mereka. Selanjutnya, dalam Hulyatu al-Awliyã‘, Abu Nu’aim banyak menukil dari kitab ini. 4. Tãrĩkhu ash-Shũfiyah. Kitab ini ditulis sebelum kitab Thabaqãtu

ash-Shũfiyah, dan menjadi rujukan ad-Dzahabĩ untuk Tãrĩkhu al-Islãm, serta al-Khathĩb al-Baghãdi untuk Tãrĩkhu Baghãd.

5. Thabaqãtu ash-Shũfiyah. Kitab ini disusun pada tahun 380-an H, tepatnya akhir abad ke-4. Kitab ini merupakan biografi ulama-ulama sufi yang memuat lima thabaqah, dalama tiap-tiap thabaqah memuat 20 nama sesuai dengan masa hidup. Ad-Dzahabĩ juga banyak menukil dari kitab ini untuk kitabnya Siyaru A’lãmi an-Nubalã‘.

6. Ghalathãtu ash-Shũfiyah. Setelah membahas ilmu syariat, di dalamnya termuat pembahasan tentang penyimpangan-penyimpangan tasawuf, serta menolak masalah al-hulũl.

7. al-Malãmatiyyah wa ash-Shũfiyah wa Ahli al-Fatwah. Buku ini diterbitkan pertama kali di Mesir, yang di-tahqĩq oleh Abu al-’Alã ’Afĩfĩ.

8. Su‘ãlãtu Abĩ ’Abdirrahmãn as-Sulãmĩ. Buku ini terdiri dari satu jilid, yang memuat pertanyaan-pertanyaan as-Sulãmĩ kepada gurunya Imam ad-Dãruquthnĩ.

(33)

untuk mengobatinya. Diterbitkan oleh Maktabatu as-Shahãbah, India, tahun 1408 H.

10. al-Futuwwah. Kitab ini pada dasarnya berupa jawaban dari pertanyaan yang dilontarkan pada as-Sulamĩ tentang al-Futuwwah. Kitab ini terdiri dari satu jilid dan memuat lima juz kecil. Dalam kitab ini as-Sulamĩ

menguraikan berbagai macam pengertian dan bentuk dari al-Futuwwah

yang dikuatkan dengan hadits, atau ucapan sahabat. Secara keseluruhan, kitab ini mengajak manusia untuk selalu berakhlak mulia.

11. Muqaddimah fĩ at-Tasshawwuf. Dalam kitab ini, as-Sulamĩ ingin menguraikan beberapa istilah ilmu tasawuf seperti al-mahabbatu, at-tawakkul, ar-ridhã, asy-syafaqatu, al-washãyã, al-ma’rifah, shuhbatu,

husnu al-khuluq, al-futuwwatu, dan as-sakhã‘. Pada akhir kitab, beliau

menetapkan syarat-syarat tasawuf.

12. Jawãmi’u Ãdãbu ash-Shũfiyah. Setelah mengemukakan Adab Allah terhadap Rasul dan para sahabat, as-Sulamĩ mengemukakan 161 adab yang dijalani para sufi. Adab-adab tersebut sekan menjadi rumusan bagi ulama sufi

13. Maqãtu al-Awliyã‘.

14. al-Farqu baina asy-Syarĩ’ah wa al-Haqĩqah.

15. Manãhiju al-’Ãrifĩn: at-Tshawwuf lahũ Bidãyatun wa Nihãyatun wa Maqãtu.

16. al-Ikhwah wa al-Akhawãt fĩ ash-Shũfiyah. 17. Ãdãbu at-Ta’ãzĩ.

18. Sunanu ash-Shũfiyah. 19. al-Istisyhãdãt. 20. Amtsãlu al-Qur‘ãn

(34)

22. Darajãtu al-Mu’ãmalãt

23. Zulalu al-Faqr. 24. Nasĩmu al-Arwãh.

Tentunya, dari semua karangan as-Sulãmĩ –baik yang disebutkan di atas, atau tidak disebutkan- hanya beberapa kitab yang sampai di tangan kita. Selebihnya tidak diterbitkan karena ditelan zaman, atau pernah diterbitkan namun ditelan zaman.

4. As-Sulãmĩ dan Generasi Setelahnya.

Seorang ulama besar, selain meninggalkan karya-karya yang dikenang oleh umatnya, juga meninggalkan murid-murid yang menjadi penerus, yang pada diri mereka sangat kental dengan keilmuan as-Sulãmĩ. Imam al-Qusyairĩ (w 465) sampai saat ini dikenal sebagai ulama besar dalam bidang tasawuf. Dua karyanya yang terkenal, ar-Risãlah al-Qusyairiyyah dan kitab tafsir sufi Lathã‘ifu al-Isyãrãt, memiliki pengaruh

besar dari as-Sulamĩ. Mayoritas riwayat-riwayat di dalamnya bersumber dari as-Sulãmĩ. Begitu juga dengan ulama besar lainnya Imam al-Baihãqĩ, dalam kitabnya az-Zuhd, Imam al-Baihãqĩ antara lain membahas pengertian zuhud, macam-macamnya, serta ciri-ciri orang yang menyandang predikat Zãhid. Selain itu, beliau juga mencantumkan ungkapan-ungkapan ulama sufi tentang zuhud. Dari sekian pembahasan yang termuat dalam kitab tersebut, setidaknya terdapat 112 riwayat yang bersumber dari as-Sulamĩ. Hal ini juga menunjukkan pengaruh besar as-Sulãmĩ bagi seorang ulama besar sekaliber Imam al-Baihãqĩ. Muridnya yang lain, Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim (ulama tafsir

tsiqah, w 427 H), selain merujuk pada ’Abdullah bin Habĩb bin Rabĩ’ah (yang juga

(35)

Adapun murid-murid beliau, di antaranya:

1. Abu Sa’ĩd Fadhl bin Abĩ al-Khair Muhammad bin Ahmad al-Mĩhanĩ. Ulama sufi yang sangat zuhud dan memiliki banyak karamah. Meninggal tahun 440 H dalam usia 79 tahun.

2. Abu Muhammad al-Juwainĩ ’Abdullah bin Yusuf. Ulama yang taat beribadah meninggal 434 H.55

3. Abu al-Qãsim ’Ubaidullah bin Ahmad bin ’Utsmãn al-Azharĩ. Lahir 355 H, meninggal 435 H.

4. Abu Husain Ahmad bin ’Alĩ bin Husain bin Muhammad bin Musa, lebih dikenal dengan at-Tũzĩ, yang merupakan salah satu guru al-Khathĩb al-Baghdãdĩ. Lahir hari jum’at 19 Muharramm 364 H dan wafat malam rabu 16 Rabi’u al-Awwal 442 H.56

5. Abũ Bakr al-Baihãqĩ Ahmad bin Husain bin ’Alĩ bin Musa -atau lebih dikenal dengan Imam al-Baihaqĩ-, lahir di bulan Sya’ban 384 H dan meninggal pada tahun 458 H di Naisabur.

6. Abu Qãsim al-Qusyairĩ ’Abdu al-Karĩm bin Hauzãn bin ’Abdi al-Malik bin Thalhah bin Muhammad, salah satu guru al-Khathĩb al-Baghdãdĩ. Lahir 376 H dan wafat 465 H.

7. Abu Manshũr ’Umar bin Ahmad bin Muhammad bin Musa al-Jũrĩ. Seorang ulama pengikut mazhab Hanafĩ, yang sejak masa remaja menjadi murid pilihan as-Sulãmĩ. Meninggal 469 H.

8. Abu Bakr Ahmad bin ’Alĩ bin ’Abdillah bin ’Umar bin Khalf sy-Syairãzĩ, lahir pada tahun 398 H dan wafat 487 H.

9. Abu Abdillah al-Qãsim bin al-Fadhl bin Ahmad bin Ahmad bin Mahmũd ats-Tsaqafĩ (397-489 H).

(36)

10. Abu Hasan al-Madĩnĩ an-Naisãbũrĩ ’Alĩ bin Ahmad bin Muhammmad bin Ahmad bin ’Abbdillah bin Ismail (405-494 H).

5. Penilaian Ulama

Perdebatan antara ulama fikih dan ulama tasawuf sering terjadi, dan itu dimulai sejak akhir abad ke-2. Berbagai tuduhan dialamatkan pada as-Sulamĩ, sebagaimana tuduhan-tuduhan kepada sufi yang lain. Tuduhun-tuduhan kepada as-Sulamĩ semakin menjadi dengan adanya Haqã‘iqu at-Tafsĩr. Selain berkenaan dengan tafsirnya, tuduhan-tuduhan pada as-Sulamĩ juga karena sosok kesufiannya, yang dianggap memalsukan hadits.

Dalam menilai sosok as-Sulamĩ, khususnya mereka yang kontra, akan merujuk pada ungkapan Muhammad bin Yusuf al-Qaththãn57 yang pernah dilontarkan pada

al-Khathĩb al-Baghdãdĩ (Ahmad bin ’Alĩ bin Tsãbit, w 463 H). Menurut al-Qaththãn, as-Sulamĩ tidak tsiqah, dan hanya sesaat belajar dari Abu ’Abbãs al-Ashamm. Tetapi setelah Abu Abdillah bin al-Bai’ (Muhammad bin ’Abdillah bin Muhammad, atau lebih dikenal dengan al-Hãkim an-Naisãbũrĩ) meninggal, as-Sulãmĩ kembali belajar dari al-Ashamm berkenaan dengan sejarah Yahya bin Ma’ĩn (bin ’Awn bin Ziyãd, penulis kitab sejarah yang terkenal, w 233 H) dan berbagai pelajaran lainnya. Ia (as-Sulamĩ) juga memalsukan hadits untuk mendukung aliran tasawuf. Salah satu ulama yang mengutip ungkapan al-Qaththãn di atas adalah Ibn al-Jawzĩ (Abu al-Faraj ’Abdirrrahmãn, w 597 H). Jika dilihat dari redaksi bahasa berkenaan dengan biografi as-Sulãmĩ dalam al-Muntazham, Ibn al-Jawzĩ mengutip setengah dari penjelasan al-Khathĩb al-Baghdãdĩ.

Agaknya Ibn al-Jauzĩ tidak seimbang dalam menilai as-Sulamĩ. Beliau hanya mengutip ungkapan al-Qaththãn tanpa mengutip komentar al-Khathĩb al-Baghdãdĩ yang

57Abu ’Abdirrahmãn Muhammad bin Yusuf bin Ahmad al-Qaththãn an-Naisãbũrĩ, wafat 422 H.

(37)

membantah tuduhan al-Qaththãn. Bagi al-Khathĩb al-Baghdãdĩ, as-Sulãmĩ merupakan ulama besar di negerinya dan keberadaannya sangat diakui di kalangannya, serta ulama hadits yang bermutu.58 Berbeda dengan Ibn al-Jauzĩ -setelah mengemukakan penilaian al-Qaththãn dan al-Khathĩb al-Baghdãdĩ-, Tãjuddin as-Subkĩ (’Abdu al-Wahhãb bin ’Alĩ, w 771 H) menganggap penilaian al-Khathĩb al-Baghdãdĩ lebih tepat, bahkan tidak menghiraukan penilaian al-Qaththãn.59

Jika ditelesuri penilaian al-Qaththãn, sesungguhnya Abu ’Abbãs al-Ashamm – yang juga guru dari al-Hãkim an-Naisãbũrĩ- meninggal pada tahun 346 H. Sebagaimana pernah disebutkan sebelum ini, as-Sulamĩ mulai menuntut ilmu secara tertulis sejak usia 8 tahun atau sekitar tahun 333 H, salah satu gurunya adalah al-Ashamm. Bila dikaitkan dengan tahun wafat Abu ’Abbãs al-Ashamm, maka umur as-Sulãmĩ saat itu adalah 21 tahun. Bukankah jarak antara 8 dan 21 tahun merupakan masa yang panjang? Bagaimana mungkin as-Sulamĩ belajar dari al-Ashamm setelah al-Hãkim an-Naisãbũrĩ

meninggal, yaitu tahun 405?

Tuduhan bahwa as-Sulamĩ memalsukan hadits juga perlu ditinjau kembali. Layaknya ulama tasawuf lain, atau mungkin ulama fikih, dalam sekian karya mereka tentu terdapat hadits-hadits shahĩh, hasan, dha’ĩf, atau mungkin hadits palsu ( al-mawdhũ). As-Sulamĩ tidak memalsukan hadits, melainkan hanya mengutip

hadits-hadits yang telah dikemukakan ulama-ulama sebelumnya. Sebagai contoh, dalam kitab

Ãdãbu ash-Shuhbati, as-Sulamĩ mengemukakan hadits:

ﻤ ﻯ ﺭﺨﻷﺍ ﺎﻤﻫﺩﺤﺇ لﺴﻐﺘ ﻥﻴﺩﻴﻝﺍ لﺜﻤ ﺎﻴﻘﺘﻝﺍ ﺍﺫﺇ ﻥﻴﻨﻤﺅﻤﻝﺍ لﺜ 6 0

58Abu al-Faraj ’Abdurrahmãn bin al-Jawzĩ, al-Muntazham fĩ Tãrĩkhi al-Mulũk wa al-Umam, Dãru

Shãdir, Beirut, 1358 H, jilid 8, hal 6, dan Talbĩsi Iblĩs, Dãru al-Kutub al-’Ilmiyyah, 2006, hal 178. Bandingkan dengan: al-Khathĩb al-Baghdãdĩ, Tãrĩkhu Baghdãd, jilid 2, hal 248.

59’Abdu al-Wahhãb as-Subkĩ, Thabaqãtu asy-Syãfi’iyyah al-Kubrã, Dãru Ihyã‘i Kutub

al-’Arabiyyah, Beirut, tt, jilid 4, hal 143

60Abu ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Ãdãbu ash-Shuhbati, Dãru Maktabati at-Tarbiyah, Beirut, 1990,

(38)

Hadits tersebut juga dikemukakan Imam al-Ghazãlĩ dalam kitabnya Ihyã‘u ’Ulũmi ad-Dĩn. Al-’Irãqĩ sebagai penyeleksi hadits kitab tersebut mengatakan bahwa

hadits yang dimaksud diriwayatkan oleh as-Sulamĩ dalam Ãdãbu ash-Shuhbati. Jika ditelusuri, hadits tersebut juga telah dikemukakan oleh ulama sebelum as-Sulamĩ, seperti abu Thãlib al-makkĩ.61

Adanya hadits-hadits palsu dalam suatu karya tidak berarti penulisnya memalsukan hadits. Bahkan, al-Hãkim an-Naisãbũrĩ yang menamai kitabnya dengan al-Mustadraku ’alã ash-Shahĩhain, juga terdapat hadits-hadits lemah, bahkan palsu. Hal

yang serupa juga berlaku pada as-Sulamĩ. Kenyataannya, mayorits hadits yang dimuat dalam Haqã‘iqu at-Tafsĩr berupa hadits shahĩh. Begitu juga dengan kitab-kitabnya yang lain, di dalamnya terdapat hadits-hadits dengan kwalitas yang berbeda.

Jika argumen di atas belum dapat diterima, ketika menafsirkan ayat 83 dari surah al-Anbiyã‘ (21), as-Sulamĩ membantah dengan tegas sebuah hadits yang menyatakan bahwa seluruh tubuh nabi Ayyub dimakan ulat, sehingga hanya menyisakan hati dan lidahnya.62

Abu Nu’aim, teman seperjuangan as-Sulamĩ w 430, menilainya sebagai orang yang memiliki perhatian penuh terhadap tasawuf dan menjernihkannya dari berbagai pengaruh negatif terhadap cara salaf. As-Sulamĩ menjalani kesufiannya sesuai dengan mazhab salaf, dan menantang mereka yang merusak kesucian mazhab ini (tasawuf).63

Pujian Abu Nu’aim bukan sekedar pujian "tanda persahabatan". As-Sulamĩ

sendiri dengan tegas mengecam tasawuf-tasawuf yang tidak sesuai dengan syariat. Sesungguhnya, setiap ilmu bathin yang tidak sesuai dengan ilmu zhahir, maka itu adalah ilmu yang sesat. Seorang sufi yang tidak memeiliki amalan yang dikenal secara syariat,

61Abu Hãmid al-Ghazãlĩ, Ihyã‘u ’Ulũmi ad-Dĩn, Dãru al-Ma’rifah, Beirut, tt jilid 2, hal 158, Abu

Thãlib al-Makkĩ, Qũtu al-Qulũb, Dãru al-Fikr, Beirut, tt, jilid 2, hal 214

62Abu ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Haqa‘iq at-Tafsĩr, Dãru al-Kutub al-’Ilmiyyah, Birut, 2001, jilid 2,

hal 10

63Ahmad bin ’Abdillah bin Ahmad bin Ishaq, Hilyatu al-Awliyã‘ wa Thabaqãtu al-Asffiyã‘, Dãru

Referensi

Dokumen terkait

Tabel 5, menunjukkan ada penurunan tekanan darah diastolik antara kelompok treatment dan kelompok kontrol dan secara statistik menunjukkan ada perbedaan yang bermakna

Sebagai inovasi baru, buah bit merah digunakan sebagai bahan dasar pembuat lip tint agar sel-sel pada kulit bibir kita tidak banyak menggunakan produk pewarna

Dalam pembahasan dan penetapan memerlukan waktu dua puluh hari lebih untuk menyelesaikan peraturan desa tersebut, dan ditetapkan oleh Bapak Timbul Trijono sebagai

Di samping cabaran dari ajaran sesat akidah Ahli Sunnah Wal Jamaah turut berdepan dengan perkembangan aliran pemikaran Barat moden yang amat mudah meresap masuk

[r]

Konsep dari perancangan video ini yaitu media informasi pendukung berbasis infografis yang menyajikan pengenalan pemeriksaan kehamilan yang efektif serta mudah

Padahal kita ketahui bahwa sektor pertanian adalah penghasil bahan baku untuk sektor industri, sehingga seharusnya pemerintah harus melakukan kebijakan kenaikkan

Disamping meraka menjalankan syariat Islam mereka juga melakukan ritual sesajen bahkan tidak hanya itu saja ada ritual lain yang dipercayai masyarakat Kebon Randu