ANALISIS PERILAKU WAJIB PAJAK SEKTOR DAGANG
DAN JASA TERHADAP PENERAPAN PERATURAN
PEMERINTAH NO. 46 TAHUN 2013
Fitari Vidia Yanuswari
Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Surabaya Kampus Ketintang, Surabaya 60231
fitarivi12@gmail.com
ABSTRACT
This research aims to analysis behavior of KPP Pratama Mulyorejo’s taxpayer towards the implementation of Peraturan Pemerintah No. 46. Specifically, this research investigated awareness of taxpayer towards NPWP ownersip, understanding of taxpayer to PP No. 46, and respons of taxpayer towards the implementation of PP No. 46. The sample in this study consisted of
KPP Pratama’s taxpayer who have a NPWP ownership as well as taxpayer who don’t have NPWP ownership. This research used qualitative research approach, researcher do some intens interview with taxpayer to analysis behavior of taxpayer towards the implementation of PP No.46. The results of this research prove that some part of taxpayer feel profitable towards the implementation of PP No. 46. Meanwhile, some part of taxpayer feel losable towards the
implementation of PP No. 46 so they don’t interested to use PP No. 46. Keywords: PP 46 and taxpayer behavior.
PENDAHULUAN
Perkembangan tax ratio Indonesia pada tahun 2014 yaitu sekitar 12%. Dilihat dari presentasi ratio tersebut, tax ratio Indonesia masih tergolong rendah apabila dibandingkan dengan tax ratio negara-negara lain. Angka ini jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia dan
Thailand yang memiliki tax ratio di atas 15%. Rata-rata tax ratio untuk kawasan
Asia adalah sekitar 17%-21%, sementara untuk negara-negara maju seperti
Australia sekitar 40% (www.pajakonline.com).
Direktorat Jenderal Pajak telah melakukan berbagai cara untuk dapat
meningkatkan kontribusi masyarakat akan pajak, seperti memperbaharuhi
kebijakan atas hasil evaluasi, menciptakan kebijakan yang baru, maupun
menghilangkan kebijakan yang menurut mereka tidak sesuai lagi dengan
ditetapkan target tax ratio yang cukup tinggi yaitu sebesar 19% pada tahun 2019.
Target itu akan tercapai apabila Direktorat Jenderal Pajak berusaha secara
maksimal untuk meningkatkan kontribusi pajak di Indonesia.
Direktorat Jenderal Pajak telah melakukan berbagai macam usaha untuk
mencapai target tax ratio sebesar 19% di tahun 2019 salah satunya yaitu seperti yang dilakukan di tahun 2013. Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan
Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2013 pasal 2 yang menyebutkan bahwa
pemerintah mewajibkan wajib pajak baik pribadi maupun badan (kecuali yang
berbentuk badan usaha tetap) dengan peredaran bruto yang memenuhi kriteria
dibawah ini dikenakan PPh final sesuai PP 46:
“wajib pajak non BUT yang menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi 4,8 milyar dalam 1 tahun pajak”.
Besarnya tarif pajak yang diberlakukan dalam peraturan ini yaitu sebesar
1% dari peredaran bruto. Peredaran bruto yang dimaksud adalah omzet usaha
selama 1 tahun pajak. Jadi setiap pemilik usaha atau wajib pajak yang memiliki
omzet tidak melebihi 4,8 milyar maka akan dikenakan PPh final sebesar 1%.
Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2013 memiliki tujuan untuk
menyederhanakan penghitungan pajak terutang, sehingga masyarakat akan lebih
tertib administrasi dan taat pajak serta meningkatkan kontribusi pajak dari
masyarakat.
Peraturan ini diterbitkan berdasarkan hasil pengamatan pemerintah bahwa
UMKM merupakan potensi besar bagi penerimaan pajak di Indonesia dimana
jumlah UMKM di Indonesia mencapai 56 juta unit dan menyumbang sekitar 60%
dari total GDP dan menampung 97% total tenaga kerja pada tahun 2012, namun
pembayar pajak sektor UMKM belum maksimal berkontribusi dalam penerimaan
pajak. Meski jumlah UMKM di atas 50 juta unit, jumlah pembayar pajak yang
memiliki NPWP masih sekitar 20 juta. Menurut catatan Direktorat Jenderal Pajak
sumbangan penerimaan sektor UMKM ini hanya Rp 65,012 miliar atau baru
mencapai 0,54% total dari GDP sektor UMKM padahal secara perhitungan kasar
Budi, 2011). Tax ratio yang rendah ini menandakan bahwa kepatuhan pajak pada
pelaku usaha UMKM yang rendah. Dengan adanya Peraturan Pemerintah No. 46
Tahun 2013 ini pemerintah memberikan kemudahan dalam penghitungan pajak
dan diharapkan kontribusi pajak sektor UMKM akan meningkat seiring
diterapkannya Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2013.
Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2013 berlaku pada UMKM yang
omzet pertahunnya dibawah 4,8 milyar dengan tarif pajak sebesar 1% dari omzet.
Hal ini berarti peraturan baru ini menggantikan peraturan sebelumnya yaitu PPh
25 pada wajib pajak kriteria tertentu. Bagi UMKM yang memiliki omzet di atas
4,8 miliar, tarif pajak yang dikenakan tetap mengikuti aturan PPh 25. Dirjen pajak
tetap berpacu pada laporan keuangan tahun sebelumnya dalam penghitungan
pajaknya.
Berdasarkan penelitian terdahulu yang dilakukan Susilo dkk (2013)
pemahaman wajib pajak mengenai Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2013 ini
masih minim. Beberapa dari wajib pajak ini hanya mengetahui tarif pajak dari
Peraturan Pajak No. 46 namun tidak memahami peraturan tersebut. Kebanyakan
wajib pajak belum mengetahui dan memahami Peraturan Pemerintah No 46. Hal
ini dikarenakan pemerintah belum maksimal dalam memberikan penyuluhan akan
diberlakukannya Peraturan Pajak No. 46 Tahun 2013.
Peraturan Perpajakan ini tidak menghasilkan output seperti apa yang
diharapkan pemerintah. Dirjen pajak pun mengakui bahwa upaya pemerintah
mendorong penerimaan pajak dan kepatuhan wajib pajak UMKM dengan
menerapkan PPh final sebesar 1% ternyata tidak memberikan hasil yang
signifikan. Sehingga pertengahan 2014 potensi penerimaan baru tercapai sekitar
7%. Total penerimaan pajak dari UMKM sejak Juli 2013 hingga Juni 2014 hanya
sekitar Rp 2 triliun.
Angka tersebut jauh dari potensinya yang sekitar 30 triliun, dengan asumsi
kontribusi UMKM terhadap GDP sebesar Rp 3000 triliun. Berdasarkan data
tersebut, terlihat bahwa ada potensi penerimaan pajak dari UMKM yang hilang.
Adanya fenomena ini membuat peniliti tertarik mengambil topik Peraturan
maksimal tersebut menunjukkan bahwa memang wajib pajak belum sepenuhnya
menerima peraturan baru ini. Maka dari itu penelitian ini bertujuan untuk
menganilisis bagaimana perilaku wajib pajak sektor dagang dan jasa ditinjau
dengan teori atribusi terhadap penerapan Peraturan Perpajakan No. 46 Tahun
2013.
KAJIAN PUSTAKA
Teori Atribusi
Teori atribusi akan memberikan penjelasan mengenai bagaimana cara
menentukan penyebab atau motif perilaku seseorang. Teori ini diarahkan untuk
mengembangkan penjelasan dari cara kita menilai orang secara berlainan,
tergantung makna apa yang kita hubungkan (atribusikan) ke suatu perilaku
tertentu (Robbin, 1996). Teori ini mengacu pada bagaimana seseorang
menjelaskan penyebab perilaku orang lain atau dirinya sendiri, yang ditentukan
apakah dari internal atau eksternal maka akan terlihat pengaruhnya terhadap
individu.
Penyebab perilaku tersebut dalam persepsi sosial lebih dikenal dengan
istilah dispositional attributions (penyebab internal) dan situational attributions (penyebab eksternal) (Viniawati, 2013). Penyebab internal cenderung mengacu
pada aspek perilaku individual, sesuatu yang telah ada dalam diri seseorang
seperti sifat pribadi, persepsi diri, kemampuan, dan motivasi. Sedangkan
penyebab eksternal lebih mengacu pada lingkungan yang mempengaruhi perilaku
seseorang, seperti kondisi sosial, nilai sosial, dan pandangan masyarakat. Teori ini
mendukung bahwa setiap wajib pajak dalam melakukan setiap tindakan pasti
memiliki motif dan faktor-faktor yang mempengaruhi wajib pajak tersebut.
Pajak
Djajadiningrat (dalam Resmi, 2008) menyatakan bahwa pajak sebagai
suatu kewajiban menyerahkan sebagian dari kekayaan ke kas negara yang
disebabkan suatu keadaan, kejadian, dan perbuatan yang memberikan kedudukan
pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa timbal-balik dari negara
secara langsung, untuk memelihara kesejahteraan umum.
Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM)
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah membagi kriteria UMKM berdasarkan kekayaan bersih dan penjualan
tahunan. Ada 3 pembagian kriteria UMKM; pertama, usaha mikro adalah usaha
produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang
memenuhi kriteria usaha mikro sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
Kedua, usaha kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang
dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak
perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi
bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha
besar yang memenuhi kriteria usaha kecil sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang ini. Ketiga, usaha menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri
sendiri, yang dilakukan oleh orang perseorangan atau badan usaha yang bukan
merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau
menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha kecil atau
usaha besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
Peraturan Perpajakan Nomor 46 Tahun 2013
Peraturan Perpajakan Nomor 46 Tahun 2013 tentang penghasilan dari
usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto
tertentu, dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final. Peraturan Perpajakan
Nomor 46 Tahun 2013 mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2013. Tujuan pengaturan
ini adalah untuk memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak yang menerima
atau memperoleh penghasilan dari usaha yang memiliki peredaran bruto tertentu,
untuk melakukan penghitungan, penyetoran, dan pelaporan pajak penghasilan
yang terutang.
Besarnya tarif Pajak Penghasilan yang bersifat final adalah 1%. Pengenaan
dari tahun pajak terakhir sebelum tahun pajak yang bersangkutan. Dasar
pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung pajak penghasilan yang
bersifat final adalah jumlah peredaran bruto setiap bulan. Hal khusus terkait
peredaran bruto sebagai dasar untuk dapat dikenai pajak penghasilan yang bersifat
final sebagaimana diatur dalam peraturan ini. Pertama, didasarkan pada jumlah
peredaran bruto tahun pajak terakhir yang disetahunkan, dalam hal tahun pajak
terakhir sebelum tahun pajak berlakunya peraturan ini meliputi kurang dari jangka
waktu 12 bulan. Kedua, didasarkan pada jumlah peredaran bruto dari bulan saat
wajib pajak terdaftar sampai dengan bulan sebelum berlakunya peraturan ini yang
disetahunkan, dalam hal wajib pajak terdaftar pada tahun pajak yang sama dengan
tahun pajak saat berlakunya peraturan ini di bulan sebelum peraturan ini berlaku.
Ketiga, didasarkan pada jumlah peredaran bruto pada bulan pertama diperolehnya
penghasilan dari usaha yang disetahunkan, dalam hal Wajib Pajak yang baru
terdaftar sebagai Wajib Pajak sejak berlakunya Peraturan ini.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif dengan format
deskriptif untuk menganalisis perilaku wajib pajak sektor dagang pasca
diterapkannya Peraturan No. 46 Tahun 2013. Pada penelitian ini, sumber data
yang digunakan adalah sumber data primer yang berasal dari wawancara langsung
pada Wajib Pajak sektor dagang dan jasa di wilayah Mulyorejo Surabaya. Teknik
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah obeservasi dan
wawancara pada Wajib Pajak sektor dagang dan jasa di wilayah Mulyorejo
Surabaya. Menurut Bungin (2003:70) teknik analisis dan penafsiran data dalam
penelitian ini menggunakan langkah-langkah, yaitu; 1) pengumpulan data; 2)
reduksi data; 3) model data; dan 4) verifikasi dan penegasan kesimpulan.
Sugiyono (2009: 270) uji kredibiltas data terhadap hasil penelitian
kualitatif dapat dilakukan dengan cara perpanjangan pengamatan, peningkatan
ketekunan dalam penelitian, trianggulasi, diskusi dengan teman
sejawat, analisis kasus negatif, dan member check. Dalam penelitian ini penulis
PEMBAHASAN
Perilaku TaatPeraturan Perpajakan No 46 Tahun 2013
Berdasarkan sampel penelitian, wajib pajak sektor UMKM yang sudah
menggunakan Peraturan Perpajakan No 46 Tahun 2013 adalah pelaku usaha
bengkel. Wajib pajak dari usaha tersebut sudah secara tegas menggunakan
peraturan terbaru yang berlaku bagi dirinya meskipun masih banyak wajib pajak
lain yang belum taat atau belum menggunakan peraturan tersebut.
Perilaku taat pajak tersebut tentunya muncul karena beberapa alasan,
berdasarkan teori atribusi perilaku wajib pajak dipengaruhi dari faktor internal dan
eksternal. Faktor internal meliputi sifat pribadi, persepsi, kemampuan dan
motivasi. Sedangkan faktor eksternal lebih ke arah pengaruh dari lingkungan.
Faktor Internal
Sifat pribadi merupakan salah satu faktor internal yang menyebabkan
bagaimana perilaku wajib pajak terhadap Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun
2013. Pelaku usaha bengkel, bapak BT, mempunyai sifat terbuka pada perpajakan.
Hal tersebut dapat dilihat dari pernyataan Beliau berikut ini:
“iya mbak dulu ada yang pernah sosialisasi kesini, yauda saya dengerin trus akhirnya tau ada peraturan baru itu”
Bapak BT menunjukkan bahwa Beliau mempunyai sifat terbuka menerima dan
peduli terhadap pajak. Hal itu ditunjukkan ketika ada petugas yang sosialisasi
Beliau menerima dengan baik dan mendengarkan penjelasan dari petugas. Para
pelaku usaha sektor UMKM yang mempunyai sifat terbuka tentunya lebih taat
terhadap peraturan perpajakan. Mereka menganggap bahwa pajak merupakan
suatu kewajiban yang harus dibayarkan kepada Negara yang tentunya juga harus
berdasarkan peraturan terbaru yang mengatur hal hal yang terkait dengan tata cara
dan sistem perpajakan yang berlaku.
Selain sifat diri, faktor lain yang mempengaruhi perilaku taat pajak
adalah persepsi diri. Bapak BT selaku pelaku usaha bengkel yang mempunyai
perilaku taat terhadap Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2013 mengemukakan
“saya pake peraturan barunya mbak soalnya omset saya dibawah 4,8 M.
Lagipula enak pake peraturan yang sekarang ini, saya bayarnya lebih
dikit”
Pelaku usaha bengkel merasa diuntungkan dengan adanya peraturan baru ini
karena dengan menggunakan PP No. 46 pajak terutang yang harus dibayarkan
lebih sedikit dibandingkan dengan menggunakan peraturan lama yaitu PPh 25.
Ketika menggunakan PP 46 ternyata nilai pajak yang harus dibayar lebih kecil
daripada saat menggunakan peraturan lama yaitu PPh 25 maka WP akan
menerapkan peraturan baru tersebut. Artinya, setiap WP selalu menganalisis
terlebih dahulu sebelum menggunakan peraturan lama atau baru. Faktor ketiga
yang mempengruhi perilaku taat pajak dari pelaku usaha bengkel adalah
kemampuan. Kemampuan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan
pemahaman wajib pajak terhadap Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2013.
Bapak BT selaku pelaku usaha bengkel di kecamatan Tambaksari menyatakan
bahwa:
“tau kok. waktu dulu ada yang sosialisasi kesini. peraturan yang 1 persen
dari omzet kan ya?”
Berdasarkan pernyataan tersebut terlihat bahwa sosialisasi pada WP yang terdaftar
sudah terlaksana. Pelaku usaha bengkel diberikan pemahaman langsung oleh
pihak pajak yang memberikan sosialisasi tentang Peraturan Pemerintah No. 46
Tahun 2013. Faktor keempat yang mempengaruhi perilaku taat pajak adalah
motivasi. Setiap tindakan yang dipilih oleh wajib pajak tentunya mempunyai
motivasi tersendiri. Seperti yang dikemukakan oleh bapak BT selaku pengusaha
bengkel yang termotivasi karena peraturan tersebut menguntungkan usahanya. “ya kalo bayar pasti bayar to mbak. Cuma ya lebih enak aja sekarang bayarnya lebih murah”
Berdasarkan penjelasan bapak BT menujukkan bahwa Beliau taat terhadap PP No.
46 karena termotivasi oleh nilai pajak yang harus dibayar ternyata lebih sedikit
sehingga merasa diuntungkan.
Faktor Eksternal
Nilai sosial adalah nilai yang dianut oleh suatu masyarakat, mengenai apa
bengkel bapak BT yang dengan patuh mengikuti peraturan pajak baru yang
berlaku.
“ ya pake peraturan barunya mbak. Memangnya boleh ya gak pake
PP 46 ?”
Nilai sosial yang berlaku bagi bapak BT adalah peraturan tersebut mutlak harus
dipatuhi sehingga Beliau dengan patuh menaati peraturan baru tersebut. Bapak BT
menganggap semua orang harus menaati peraturan baru yang berlaku.
Perilaku Tidak TaatPeraturan Perpajakan No 46 Tahun 2013
Sebagaimana perilaku taat pajak, perilaku tidak taat pun tentunya terdapat
faktor faktor yang mempengaruhi perilaku tersebut. Berdasarkan data penelitian
yang diperoleh melalui metode wawancara, terdapat beberapa wajib pajak sektor
UMKM yang mempunyai perilaku tidak taat terhadap Peraturan Perpajakan No.
46 Tahun 2013. Dengan menggunakan teori atribusi maka faktor yang
menyebabkan perilaku tidak taat tersebut dapat dikategorikan menjadi 2, yaitu
faktor internal dan eksternal.
Faktor Internal
Tingkah laku atau perbuatan yang banyak dipengaruhi oleh faktor dalam
diri seperti pembawaan, minat, dan cenderung bersifat tetap atau merupakan
faktor pertama yang sangat berpengaruh terhadap perilaku tidak taat pajak,
khususnya terhadap PP No 46. Beberapa informan menjelaskan pendapat mereka
ketika ditanya terkait pajak. Bapak RK selaku pelaku usaha batik mempunyai sifat
acuh tak acuh terhadap perpajakan seperti yang dikemukakan beliau:
“saya gak daftar NPWP mbak dulu sih punya pas masih kerja di Sumatra itu saya jadi pegawai jadi langsung gaji saya di potong pajak. Pas pindah ke Surabaya sini saya uda ga kerja di orang dan emang ga butuh NPWP
jadi saya ga bikin mbak.”
Bapak RK tidak tertarik sama sekali untuk memiliki NPWP karena dirasa tidak
membutuhkan NPWP dalam usahanya. Sama halnya dengan sifat yang
ditunjukkan oleh pelaku usaha fotokopi bapak JK, beliau tidak mengerti dan tidak
“ga ngerti saya mbak pajak penghasilan, saya taunya ya saya bayar iuran
ke Telkom itu wes sama pajak. Ndak tau saya itu pajak apa pokoe bayar”
“saya gapunya NPWP, usaha saya kecil sing punya kaya gtuan paling
usaha gede-gede.”
Bapak JK juga tidak menganggap penting adanya kepemilikan NPWP, sehingga
merasa tidak perlu untuk mempunyai NPWP. Pelaku usaha laptop Bapak LN
menjelaskan:
“yo saya pake pph 25 lah mbak tetep, rugi banyak saya kalo pake PP
46. La gimana dikali 1% lo mbak PP 46 itu”
“saya buka mbak jor-joran ke orang KPP saya rinci sedetail-detailnya gimana laporan keuangan saya. Ga ada yang saya tutup tutupi. Biar mereka juga tau gitu lo pengusaha IT ini emang lagi kaya gini”
Bapak LN mempunyai sifat yang dimiliki sebagian besar pengusaha yaitu tidak
mau rugi, sehingga beliau tetap menggunakan peraturan yang dianggap
menguntungkan untuk usahanya.
Faktor internal kedua yang mempengaruhi perilaku tidak taat pajak
adalah persepsi setiap wajib pajak terhadap peraturan pajak itu sendiri. Persepsi
bapak LN sebagai pelaku usaha laptop yang merasa peraturan baru tersebut
merugikan usahanya:
“saya ga pake peraturan baru, saya tetap pake perturan yang dulu saya pake konsultan pajak. Tapi saya gapake yang 1 persen itu. Pokoe ada itung-itungannya mbak yang diambil pake laba bersih. Profit kita tu gila-gilaan cuma sekitar 1 persen dari harga barang. Lah kalo pajaknya 1 persen dari omzet yo bangkrut. Saya lo mbak jual laptop harga 7juta tu batinya Cuma 15-30ribu. Taun ini pokoe ancur- ancuran harga” Pelaku usaha laptop tetap menggunakan PPh 25 walaupun pendapatannya
seharusnya dikenakan PP No. 46. Selanjutnya peneliti menemukan dua presepsi
dari salah satu wajib pajak yang belum memiliki NPWP dan tidak tertarik untuk
mendaftarkan dirinya. Berikut pernyataan bapak JK selaku pelaku usaha fotokopi:
“engga mbak. Toh usaha saya masi kecil mbak. Kalo bayar bayar gitu
saya kayanya ga mampu. Saya juga uda dapet tarikan dari dispenda juga.
“saya kurang jelas sih mbak, peraturannya dispenda kayanya baru lagi.
Tapi saya bayar 7% dari omzet. 7% itu wes sama iuran lain-lain, jadi saya ini kan umkmnya masi binaan Telkom. Nah itu tiap bulannya bayar 7% untuk iuran dan pajak, cuma saya gatau Telkom nyetor pajaknya
berapa ke dispenda”
Pernyataan bapak JK tersebut menunjukkan bahwa ia mempunyai persepsi bahwa
hanya pelaku usaha yang mempunyai usaha besar saja yang harus membayarkan
pajak dan mendaftarkan diri pada KPP. Ia juga mengaku sudah membayar pajak
kepada PT Telkom selaku perusahaan yang membina UMKMnya. Namun, pajak
yang dibayarkan tersebut bukan pajak penghasilan seperti yang dibahas di
penelitian ini. Hal serupa juga di temukan pada wajib pajak yang juga belum
mempunyai NPWP. Bapak RK selaku pelaku usaha batik mengemukakan:
“saya ga begitu percayae mbak sama orang pajak. Saya gatau duitnya
ngalirnya kemana. Daripada saya bayar pajak ya mendingan bayar zakat
lebih jelas ngalirnya kemana”
Bapak RK mempunyai persepsi bahwa pihak pajak tidak dapat dipercaya dalam
mengelola uang sehingga beliau enggan membayarkan pajak dan lebih memilih
membayar zakat dimana beliau yakin uang zakat yang beliau bayarkan akan
sampai ke tangan yang membutuhkan.
Faktor ketiga yang mempengaruhi perilaku tidak taat pajak adalah
kemampuan dari wajib pajak dalam memahami peraturan terbaru dari perpajakan.
Belum seluruh WP yang terdaftar telah paham akan penerapan Peraturan
Pemerintah No. 46 Tahun 2013. bapak LN sebagai pelaku usaha laptop di
kecamatan Mulyorejo menyatakan bahwa:
“tau mbak. Aku kan make konsultan pajak. Pasti dikasi taulah pas peraturane keluar”
Hasil dari ekstensifikasi ini sendiri ternyata masih belum menyeluruh. Terbukti
dari pernyataan bapak RK selaku pelaku usaha pakaian batik di kecamatan
Kenjeran:
“saya NPWP aja gak punya mbak mana tau saya peraturan peraturan
pajak. Wong yang dulu saya punya NPWP aja saya gak tau detail penghitungannya gimana. Saya tau jadi aja, gaji saya dipotong pajak
Pelaku usaha batik menyatakan ketidaktahuannya akan peraturan baru tersebut.
Terlebih lagi walaupun dia sempat memiliki NPWP namun ia tidak tahu cara
penghitungannya. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan akan pajak dari
pelaku usaha pakaian batik masih kurang. Hal senada diungkapkan oleh bapak JK
selaku pelaku usaha fotocopy:
“gak tau saya mbak, saya lo gak pernah bayar pajak ke KPP. Peraturan kaya gitu saya gak tau”
Adanya hal tersebut bukan berarti pihak pajak belum melakukan tugasnya.
Sebagaimana yang dikatakan oleh bapak Nur Yanto dari seksi pengawasan dan
konsultasi:
“. . . . pihak kami sebenarnya juga sudah berusaha secara maksimal
dalam mensosialisasikan peraturan tersebut, namun menurut saya memang butuh waktu “
“hal itu mungkin disebabkan karena peraturan perpajakan yang
berubah-ubah, dinamis tergantung dengan kebutuhan, sehingga tahapan proses sosialisasi belum merata. . ..”
Faktor terakhir yang berpengaruh terhadap perilaku tidak taat WP adalah
motivasi dari WP itu sendiri. Seperti yang dikemukakan oleh bapak pelaku usaha
laptop bapak LN yang mempunyai motivasi tersendiri atas perilaku yang beliau
tunjukkan terhadap PP No. 46 Tahun 2013.
“intine saya ya males mbak kalo bayar pake peraturan baru itu , saya
tetep pake yg lama soale ya lebih murah. Ga beratno aku .“
Bapak LN tetap menggunakan peraturan lama dikarenakan peraturan lama lebih
menguntungkan dibandingkan peraturan baru. Beliau mempunyai motivasi bahwa
bila menggunakan peraturan lama maka beliau akan lebih untung dibandingkan
dengan menggunakan PP No. 46. Selanjutnya peneliti menemukan motivasi
berbeda dari dua wajib pajak yang belum mempunyai NPWP. Bapak RK
menjelaskan:
“ya soale jelas kalo zakat duitnya ngalir kemana , kalo pajak ? belum
tentu uangnya buat pembangunan”
Berdasarkan penjelasan bapak RK beliau tetap tidak tertarik membayar pajak
menggunakan uangnya benar-benar dimanfaatkan untuk orang yang
membutuhkan. Berbeda halnya dengan pelaku usaha JK yang juga tidak memiliki
NPWP.
“la usaha saya ini kecil lo mbak, hasilnya ya gak seberapa, belum buat
kebutuhan sehari-hari, biaya operational, bayar angsuran dll. La klo
bayar pajak yo ga ada mbak uangnya”
Berdasarkan penjelasan bapak JK, beliau termotivasi untuk memenuhi kebutuhan
lainnya dengan menggunakan penghasilannya sehingga merasa diberatkan bila
harus membayar pajak kepada lembaga perpajakan.
Faktor Eksternal
Faktor eksternal disini terkait dengan lingkungan bisnis dari setiap wajib
pajak, yaitu meliputi nilai sosial dan kondisi sosial. Nilai sosial terkait dengan apa
yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk oleh masyarakat. Nilai sosial
yang ditemukan dalam penelitian ini salah satunya yaitu pada bapak LN pelaku
usaha laptop:
“yang jelas tahun ini dirjen pajak menolerir. Mereka gak mau keras
karena mereka tahu sendiri realnya. Kalo IT sekarang lagi parah-parahnya. Apalagi laptop. Kalo ada omongannya asosiasi apa itu waktu ditanya jawa pos ngomong turunnya 20%. Itu boong. Wong realnya lo ajur-ajuran turun bisa sampe 40%-50%. Jawaban mereka tu jawaban etika semua. Gak bisa memposisikan kita sebagai pengusaha”
Bapak LN tetap memilih menggunakan peraturan lama walaupun seharusnya
dikenakan PP 46 dikarenakan dari pihak dirjen pajak menolerir pelaku usaha
tersebut. Sehingga dapat terlihat bahwa nilai sosial yang berlaku disini mendorong
pelaku usaha laptop untuk berperilaku. Kemudian pendapat berbeda dikemukakan
oleh bapak JK selaku pelaku usaha fotokopi:
“saya kan biasanya ada pertemuan mbak untuk umkm binaan Telkom, dan setau saya mereka ya gak bayar pajak lagi selain ke Telkom”
Perkumpulan UMKM binaan Telkom yang bapak JK ikuti, rata-rata anggotanya
memang tidak membayar pajak kepada KPP. Nilai sosial yang ada pada
perkumpulan ini mendorong bapak JK untuk berperilaku. Sehingga beliau pun
tidak merasa perlu untuk mendaftarkan diri pada KPP. Lain halnya dengan bapak
“saya gak pernah kena sanksi dan gak pernah ada pihak pajak yang
dateng ke daerah sini tuh mbak”
Bapak RK tidak pernah mendapatkan sanksi ataupun teguran dari pihak pajak. Hal
ini merupakan nilai sosial yang berlaku pada lingkungan UMKM bapak RK.
Kurangnya pantauan dari dirjen pajak mempengaruhi perilaku dari wajib pajak itu
sendiri.
Faktor eksternal kedua adalah kondisi sosial. Dalam penelitian ini peneliti
menemukan kondisi sosial yang menarik yang mendorong informan untuk
berperilaku. Bapak LN selaku pelaku usaha laptop mengemukakan bahwa
persaingan usaha di bidang yang beliau jalani sangat ketat:
“Profit kita tu gila-gilaan cuma sekitar 1 persen dari harga barang. Lah kalo pajaknya 1 persen dari omzet yo bangkrut. Saya lo jual laptop harga 7 juta tu untungnya cuma 15-30ribu. Taun ini pokoe ancur- ancuran
harga”
Beliau menjelaskan bahwa kondisi lingkungan usaha yang beliau jalani memang
sedang dalam persaingan yang sangat ketat. Sehingga keuntungan yang beliau
dapatkan tak seberapa. Kondisi ini membuat beliau lebih memilih membayar
menggunakan peraturan lama dibandingkan peraturan baru dikarenakan jumlah
pajak yang beliau bayarkan nominalnya lebih kecil bila menggunakan peraturan
lama. Berbeda halnya dengan bapak JK pelaku usaha laptop yang menjelaskan
kondisi lingkungan usaha yang ia jalani:
“engga mbak. Toh usaha saya masi kecil mbak. Kalo bayar bayar gitu saya kayanya ga mampu. Saya juga uda dapet tarikan dari dispenda
juga. Ada perwalinya. Kalo bayar dobel dobel ya bangkrut mbak”
Bapak JK menjelaskan bahwa belaau sudah membayar pajak kepada pihak
Telkom yang mana beliau pahami pajak tersebut mengikuti peraturan dari
dispenda, dan beliau merasa usahanya masih tergolong usaha kecil.
SIMPULAN
Berdasarkan penelitian dan pembahasan pada bab sebelumnya mengenai
perilaku wajib pajak sektor dagang terhadap Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun
menjadi hal dasar yang mempengaruhi wajib pajak dalam penerapan peraturan
perpajakan, baik peraturan baru yaitu PP No. 46 maupun peraturan lama.
Setiap wajib pajak mempunyai keputusan yang berbeda terkait
penggunaan peraturan baru, keputusan tersebut dipengaruhi persepsi dari setiap
wajib pajak. Kemampuan berpengaruh terhadap perilaku wajib pajak atas
penerapan PP No. 46. Semakin tinggi kemampuan wajib pajak memahami PP.
No. 46, maka semakin baik perilaku yang ditunjukkan wajib pajak. Motivasi
masih terkait dengan ketiga faktor sebelumnya, sifat diri, presepsi diri, dan
kemampuan.
Kondisi sosial mencerminkan kondisi bisnis dan usaha terkait artinya
apabila kondisi sosial tidak menguntungkan untuk menggunakan peraturan pajak
baru maka pengusaha atau wajib pajak dalam lingkup usaha tersebut tidak akan
menggunakan peraturan baru tersebut, begitupun sebaliknya. Sedangkan nilai
sosial sebagai salah satu faktor eksternal terkait perilaku wajib pajak mempunyai
pengaruh terhadap perilaku wajib pajak. Nilai sosial yang ada saat ini masih ada
kelonggaran, artinya masih ada semacam toleransi terkait penerapan PP No. 46.
Saran dari peneliti, jika ingin melakukan penelitian sejenis adalah untuk
memfokuskan penelitian pada wajib pajak yang harusnya terkena Peraturan
Pemerintah No. 46 Tahun 2013 tetapi masih tetap menggunakan PPh 25 untuk
dasar penghitungan pajak terutang.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang memiliki Peredaran Bruto tertentu.
Benita, Amy. 2015. “Analisis Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013”. Jurnal Ilmiah Universitas Bakrie. Vol 3 No 1.
Budi, Chandra. 2011. Penyidikan terhadap wajib pajak. Direktorat Jendral Pajak Kementrian Keuangan.
--- . 2007. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Prenada Media Group.
Diatmika, I Putu Gede. 2013. “Penerapan Akuntansi Pajak Atas PP No.46 Tahun 2013 tentang PPh Atas Penghasilan dari Usaha Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu”. Jurnal Akuntansi Profesi. Vol 3 No 2.
Fury, Yuliya Ratna. 2014. “Penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 pada Usaha Mikro Kecil dan Menengah di Kabupaten Batang (Studi Empiris pada Wajib Pajak Orang Pribadi Pelaku UMKM yang terdaftar di KPP Batang). Jurnal Nominal. Vol 2 No 1.
Koentjaraningrat. 1993. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Mardiasmo. 2009. Perpajakan. Edisi Revisi. Yogyakarta: Andi Offset
Moleong, Lexy J. 2007. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Moleong, Lexy J. 2010. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Moleong, Lexy J. 2014. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Muhktar. 2013. Metode Praktis Penelitian Deskriptif. Jakarta: GP Press Group.
Prastowo, Andi. 2014. Metode Penelitian kualitatif. Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA.
Resmi, Siti. 2008. Perpajakan Studi & Kasus. Edisi 4. Jakarta: Salemba Empat
Resyniar, Gandhys. 2013. “Persepsi Pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) Terhadap Penerapan PP. 46 Tahun 2013”. Jurnal Ilmiah Mahasiswa FEB. Vol 2 No 2.
Robins, P.S. 2001. Perilaku Organisasi. Terj. Diana Angelica. Jakarta: Salemba Empat (pp. 230-233)
Sugiyono. 2012. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Suparmoko. 2000. Keuangan Negara dalam Teori dan Praktek. Edisi 5. BPFE. Yogyakarta.
Susilo, Eunike Jacklyn dan Betri Sirajuddin. 2013. Pemahaman Wajib Pajak Terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 Tentang Pajak UMKM (Studi Kasus Pada Wajib Pajak yang Terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Palembang Ilir Barat). Skripsi. Palembang: Jurusan Sarjana (S1) Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Sriwijaya
Waluyo. 2007. Perpajakan di Indonesia. Jakarta: Salemba Empat