BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Pustaka 1. Estetika
a. Pengertian Estetika
Berdasarkan pendapat umum, estetika diartikan sebagai suatu cabang filsafat yang memperhatikan atau berhubungan dengan gejala yang indah pada alam dan seni. Estetika yang berasal dari bahasa Yunani “aisthetika” berarti hal-hal yang dapat diserap oleh pancaindera. Oleh karena itu, estetika sering diartikan sebagai persepsi indera (sense of perception) (Dharsono, 2004: 5).
Menurut Louis Kattsof dalam Dharsono (2004: 6) mengemukakan bahwa
“estetika adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan batasan rakitan (structure) dan peranan (role) dari keindahan, khususnya dalam seni”. Jadi
estetika diartikan secara sempit sebagai filsafat yang memperhatikan atau berhubungan dengan segala yang indah pada alam dan seni.
Estetika adalah suatu ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan keindahan, mempelajari semua aspek yang disebut keindahan (AAM Djelantik, 1999: 7).
Estetika mempersoalkan hakikat keindahan alam dan karya seni, sedangkan filsafat seni mempersoalkan hanya karya seni atau benda seni, atau artifak yang disebut seni (Jakob sumardjo, 2000: 25).
9
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa Estetika adalah ilmu yang mempelajari tentang keindahan. Namun pada perkembangan saat ini, akibat pergeseran waktu, pandangan dan pendapat tentang estetika semakin meluas dengan munculnya karya-karya seni baru yang tidak melulu tentang keindahan. Namun lebih kepada simbol-simbol maupun makna yang ingin disampaikan melalui gambaran karya seni tersebut.
b. Macam-macam teori Estetika 1) Estetika Barat
Perkembangan estetika yang erat hubungannya dengan ilmu, filsafat dan seni merupakan landasan penciptaan seni modern pada abad ke-19 dan abad ke-20 di barat. Ekspresi, intuisi dan konsep individualitas merupakan sumber penciptaan yang didewakan seniman modern.
Diawali dengan estetika klasik yang dikemukakan oleh plato sebagai suatu karya yang indah sebagai suatu produk imitasi (mimesis) dah karya seni tersebut harus memiliki keteraturan dan proporsi yang tepat.
Estetika barat hakikatnya telah terbentuk sejak kebudayaan Yunani diakui sebagai suatu peradaban manusia yang amat berpengaruh terhadap lahirnya kesadaran-kesadaran akan keindahan. Istilah aistheton, aisthetica (Y) mengandung pengertian sebagai suatu hal yang dapat dicerap oleh pancaindra.
Kemudian istilah aesthesia (Y) mengandung pengertian sebagai pencerapan indrawi. Aesthetica (I) dipopulerkan oleh Alexander Gottlieb Baumgarten
(1714-1762) sebagai suatu kajian segala sesuatu yang berkaitan dengan keindahan. Kemudian Leibniz (1646-1716) mempopulerkannya untuk membedakan pengetahuan intelektual dan pengetahuan yang bersifat indrawi.
Secara historis, penyadaran akan keindahan dalam peradaban Barat dimulai dari zaman Yunani, yang diawali oleh dialog antara Socrates dan Hippias tentang pelbagai pertanyaan keindahan (Sachari, 2002: 4).
Lalu berkembang pada estetika modern oleh Bennedotte Croce dalam (Dharsono, 2004: 79) yang mengemukakan teori estetikanya dalam sebuah system filosofis dari idealism. Segala sesuatu adalah ideal yang merupakan aktivitas pikiran. Aktivitas pikiran dibagi menjadi dua yaitu yang teoritis (logika dan estetika) dan yang praktis (ekonomi dan etika).
2) Estetika Timur
Berbeda dengan perkembangan estetika barat, perkembangan estetika di Negara-negara timur tampaknya sudah berkembang mulai zaman primitive hingga munculnya berbagai agama besar sampai era modern sekarang ini.
Estetika pada dasarnya sangat dinamis dengan filosofi dan pemikiran baru, tetapi di timur justru statis dan dogmatis, sehingga sangat lamban dan bahkan tidak berkembang. Meskipun demikian sulit mengatakan keunggulan masing- masing pihak. Hal tersebut karena pijakan atau latar belakang budaya yang masing-masing berbeda (Dharsono, 2004: 158).
Sachari (2002: 11) menjelaskan, Pemikiran lain di belahan Timur yang amat berpengaruh selama berabad-abad adalah ajaran Zen, di samping ajaran
Budhisme. Ajaran Zen hakikatnya adalah suatu pancaran langsung di luar kitab suci, tidak bergantung pada kata-kata dan tulisan, langsung menuju ke hati, ke dalam hakikat sesuatu berupa:
a) Abstraksi dan simbolik sebagai realitas
Dalam masyarakat Timur, sesuatu yang abstrak dan simbolik dianggap sebagai suatu realitas. Cerita tentang mitos Nyi Roro Kidul, merupakan sesuatu yang dianggap sebagai Ratu Kidul yang kongkrit.
b) Ilmu dan Kebijaksanaan
Di Timur, tujuan hidup pertama adalah menjadi bijaksana. Pengetahuan intelektual saja tidak mampu membuat seseorang menghayati hidup lebih baik, namun dianggap sebagai pemborosan waktu belaka.
c) Kesatuan dengan alam
Filsafat dasar Budhisme adalah wujud substansialitas dari segala yang ada.
d) Harmoni
Harmoni dengan alam merupakan inspirasi utama Taoisme. Semangat Wu-Wei menjadi selaras dengan “Tao”, yang dianggap sebagai sumber
segala yang ada.
3) Estetika Jawa
Estetika Jawa merupakan bagian dari kebudayaan Timur. Meskipun kebudayaan budaya Jawa pengaruhnya tidak seluas Budhisme, Zen, ataupun
Taoisme, tetapi kebudayaan ini memiliki ciri khas tersendiri berupa paduan aneka budaya Timur dan juga kebudayaan Islam dan Jawa teradat.
Sachari (2002: 12) menjelaskan bahwa, Estetika Jawa dapat disimak dalam pelbagai bentuk karya seni, baik seni bangunan, seni widya maupun pewayangan, seni sastra, dan pelbagai barang yang mengandung makna tertentu bagi orang Jawa. Kebudayaan Jawa terutama yang berkaitan dengan ekspresi estetiknya mengandung ciri-ciri di antaranya:
a) Bersifat kontemplatif-transedental b) Bersifat simbolistik
c) Bersifat filosofis
Pada karya batik terdapat struktur atau prinsip dasar penyusunan batik.
dalam sudut pandang estetika struktur batik terdiri dari unsur pola atau motif batik yang disusun berdasarkan pola/struktur yang sudah baku, tersusun:
(1) Motif, merupakan unsur pokok pola, berupa gambar-gambar bentuk tertentu, kita sebut ornamen. Karena merupakan unsur pokok, maka kita sebut pola ornamen pokok.
(2) Motif pengisi, merupakan pola berupa gambar-gambar yang dibuat untuk mengisi bidang, bentuknya lebih kecil dan tidak turut membentuk arti atau jiwa pola tersebut, ini kita sebut ornamen pengisi.
(3) Isen, untuk memperindah pola secara keseluruhan, baik ornamen pokok maupun ornamen pengisi diberi isian berupa
hiasan; titik-titik, garis-garis, gabungan titik dan garis. Biasanya isen dalam seni batik mempunyai bentuk dan nama tertentu, dan
jumlahnya banyak (Dharsono, 2004: 218).
Memahami tentang tata susun batik, terutama untuk memahami simbol- simbol pada batik tradisional, khususnya kaitannya dengan ornamen yang dipakai dalam batik. Misal pemakaian tata warna batik yang menjadi karakteristik orang Jawa yang dianggap memiliki lambang/simbol pemujaan terhadap causa prima, yang berada dalam kedudukan tertinggi.
Menurut Sewan susanto (1990: 212), seni batik harus memberikan keindahan jiwa, susunan dan tata warna yang dilambangkan pada ornamen dan isiannya, sehingga akan memberikan gambaran yang utuh, sesuai fungsi dan mempunyai paham kehidupan yang dapat kita mengerti.
c. Teori Estetika
Dharsono, (2004: 18) menjelaskan, secara garis besar ada tiga tingkatan basis aktivitas estetika, yaitu :
1) Tingkatan pertama: pengamatan terhadap kualitas material, warna, suara, gerak sikap dan banyak lagi sesuai dengan jenis seni serta reaksi fisik yang lain.
2) Tingkatan kedua: penyusunan dan pengorganisasian hasil pengamatan, perorganisasian tersebut merupakan konfigurasi dari struktur bentuk- bentuk pada yang menyenangkan dengan pertimbangan harmoni,
kontras, balance, unity yang selaras atau merupakan kesatuan yang utuh.
3) Tingkatan ketiga: susunan hasil persepsi (pengamatan). Pengamatan juga dihubungkan dengan perasaan atau emosi, yang merupakan hasil interaksi antara persepsi memori dengan persepsi visual. Tingkatan ketiga ini tergantung dari kepekaan penghayat.
De Witt H. Parker dalam (Dharsono, 2004: 154) mengemukakan secara tersirat kesatuan atau harmoni merupakan prinsip dasar dan cerminan bentuk estetis, terutama yang terkandung dalam karya seni. Kajian tentang bentuk estetis tersebut dibagi menjadi enam asas, yaitu:
a) Asas kesatuan/utuh
Asas ini berarti bahwa setiap unsur dalam sesuatu karya seni adalah perlu bagi nilai karya itu dan karyanya tersebut tidak memuat unsur-unsur yang tidak perlu dan sebaliknya mengandung semua yang diperlukan.
b) Asas tema
Dalam setiap karya seni terdapat satu atau beberapa ide induk atau peranan yang unggul berupa apa saja (bentuk, warna, pola irama, tokoh atau makna) yang menjadi titik pemusatan dari nilai keseluruhan karya itu.
c) Asas variasi menurut tema
Tema dari suatu karya seni harus disempurnakan dan diperbagus dengan terus mengumandangkannya.
d) Asas keseimbangan
Keseimbangan adalah kesamaan dari unsur-unsur yang berlawanan dan bertentangan.
e) Asas perkembangan
Asas ini dimaksudkan yaitu proses yang bagian-bagian awalnya menentukan bagian-bagian selanjutnya dan bersama-sama menciptakan suatu makna yang menyeluruh.
f) Asas tata jenjang
Merupakan penyusunan khusus dari unsur-unsur dalam asas-asas tersebut.
2. Batik
a. Pengertian Batik
Batik sebagai produk seni adiluhung, awal kelahirannya banyak diwarnai simbol-simbol dalam masyarakat Jawa. Penggunaannya pun seperti masih terbatas didominasi oleh kalangan keraton. Tapi akibat pergeseran waktu, batik pun kemudian menjadi komoditas yang diperdagangkan secara luas. Pada saat ini, penggunaan batik tidak lagi dalam lingkup keraton, tetapi mulai meluas di masyarakat. Batik juga sudah mulai digunakan tidak hanya dalam upacara adat, namun juga dalam keseharian.
Istilah batik, menurut etimologi kata “batik” berasal dari bahasa Jawa, dari kata “tik” yang berarti kecil dapat diartikan sebagai gambar yang serba rumit. Dalam Kesusasteraan Jawa Kuno dan Pertengahan, proses batik diartikan sebagai “Serat Nitik”. Setelah Kraton Kartosuro pindah ke Surakarta,
muncul istilah “mbatik” dari jarwo dosok “ngembat titik” yang berarti membuat titik (Riyanto, 1997:11).
“Batik merupakan sehelai wastra yakni kain yang dibuat secara tradisional dan terutama juga digunakan dalam matra tradisional.
Beragam pola batik tentu yang pembuatannya menggunakan teknik celup rintang dengan malam “lilin batik” sebagai bahan perintang warna.
Dengan demikian , suatu wastra dapat disebut batik bila mengandung dua unsur pokok yaitu teknik celup rintang yang menggunakan lilin sebagai perintang warna dan pola yang beragam hias khas batik” (Doellah, 2002:
10).
Menurut Sewan Susanto (1980: 5), yang dimaksud dengan teknik membuat batik adalah proses-proses pekerjaan dari permulaan yaitu dari kain mori sampai menjadi kain batik. Pekerjaan persiapan meliputi segala pekerjaan pada kain mori hingga siap dibuat batik seperti nggirah/ngetel (mencuci), nganji (menganji), ngemplong (seterika, kalendering).
Sedangkan proses membuat batik meliputi pekerjaan pembuatan batik yang sebenarnya terdiri dari pelekatan lilin batik pada kain untuk membuat motif, pewarnaan batik (celup, colet, lukis/painting, printing), yang terakhir adalah penghilangan lilin dari kain.
Sedangkan menurut Kalinggo, batik merupakan suatu hasil dari proses yang panjang mulai dari melukis motif hingga pada tahap akhir proses babaran dan yang menjadi ciri utama dari batik adalah di dalam proses tersebut menggunakan bahan utama berupa mori, malam (lilin), dan pewarna (Kalinggo, 2002: 2).
Dalam proses pembuatan batik, yakni batik tulis menggunakan alat perlengkapan yaitu gawangan dan canting. Gawangan merupakan semacam rak yang terbuat dari kayu atau bambu yang mempunyai struktur yang ringan tapi kuat sehingga dapat dipindah-pindah yang berfungsi untuk membentangkan kain agar mudah dibatik. Untuk pembatikannya menggunakan canting atau alat penampung dan penyalur lilin yang cair. Sedangkan untuk
proses pembuatan batik cap maka kain dibentangkan di atas meja yang sudah dilapisi dengan spon dan kain, cara pembatikan dilakukan dengan mencap kain memakai alat cap atau semacam tembaga yang memiliki tangkai pegangan yang telah dicelupkan pada lilin cari panas lalu ditempelkan pada kain.
b. Motif Batik
Motif berarti gambar atau ornamentasi (Sektiadi dan Nugrahani: 2008).
Dalam buku Indonesia Indah “Batik” dikatakan bahwa motif batik merupakan ekspresi yang menyatakan keadaan diri dan lingkungan penciptanya dan dapat merupakan imaginasi perorangan atau kelompok sehingga dapat mengambarkan cita-cita seseorang atau kelompok tersebut (1997: 5).
Menurut Sewan susanto (1980: 212), motif batik adalah kerangka gambar yang mewujudkan batik secara keseluruhan, disebut juga corak atau pola batik. Motif batik sendiri terdiri dari dua bagian, yaitu :
1) Ornamen Motif Batik
a) Ornamen utama adalah suatu ragam hias yang menentukan motif itu sendiri, dan biasanya memiliki masing-masing arti.
Ditinjau dari segi paham Jawa-Kuno atau paham kesaktian Indonesia, ornamen utama memiliki arti sebagai berikut :
(1) Meru, melambangkan gunung, atau tanah yang disebut juga bumi.
Gambar 1. Ornamen Meru
(2) Api atau lidah api, melambangkan nyala api, yang disebut juga geni.
Gambar 2. Ornamen Lidah Api
(3) Ular Naga, melambangkan air atau banyu disebut juga tirta (uddhaka).
Gambar 3. Ornamen Ular Naga (4) Burung, melambangkan angin atau maruta
Gambar 4. Ornamen Burung
(5) Garuda atau lar garuda, melambangkan mahkota atau penguasa tertinggi, yaitu penguasa jagad dan isinya.
Gambar 5. Ornamen Garuda
b) Ornamen tambahan adalah gambar yang berfungsi sebagai pengisi bidang dan tidak memiliki arti dalam pembentukan motif.
Ditinjau dari paham triloka yaitu paham dari kebudayaan Hindu- Indonesia, memiliki arti sebagai berikut :
(1) Burung melambangkan dunia atas.
(2) Pohon melambangkan dunia tengah.
(3) Ular melambangkan dunia bawah.
2) Isen Motif Batik
Isen motif batik adalah gambar yang berfungsi sebagai pengisi motif dan pengisi bidang di antara ornamen-ornamen tersebut.
Bentuk-bentuk isen yang masih sering dijumpai dalam motif, antara lain :
Gambar 6. Isen-isen motif
Sedangkan menurut Santosa doellah (2002: 19), pola batik dapat dirinci menjadi tiga unsur pokok berdasarkan perkembangan batik di Pulau Jawa, yaitu:
a) Ragam hias utama (klowongan), adalah bentuk hiasan yang menjadi unsur penyusun utama pola batik.
b) Isen-isen, adalah hiasan yang mengisi bagian-bagian ragam hias utama, disebut isen pola; misal cecek, sawut, cecek sawut, dan sisik melik.
c) Ragam hias pengisi adalah hiasan yang ditempatkan pada latar pola sebagai penyeimbang bidang agar secara keseluruhan tampak serasi; misal ukel, galar dan grinsing.
Ragam hias batik terdiri atas hiasan-hiasan yang disusun sedemikian rupa sehingga membentuk suatu kesatuan rancangan yang berpola. Unsur yang terdapat dalam batik itu sendiri mencakup pada ornamen, motif maupun warna.
Berdasarkan Ensiklopedia Nasional Indonesia, Ornamen adalah corak yang ditambahkan pada bagian benda yang berfungsi sebagai pengindah, sedangkan motif adalah suatu corak atau hiasan yang terungkap sebagai ekspresi jiwa manusia terhadap benda. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa motif adalah suatu bagian yang dapat disusun membentuk pola (Pujianto, 1983: 143).
Menurut The New Oxford Encyclopedic Dictionary, pola adalah gambar untuk membuat bentuk yang lebih indah. Sedangkan ragam hias terbentuk dari suatu susunan terdiri atas berbagai corak serta pembagian bidang yang beraturan (Ensiklopedia Nasional Indonesia jilid 6 1991: 409). Sedangkan menurut Santosa Doellah (2002: 20), Pola merupakan ragam hias wastra batik
yang terdiri atas hiasan-hiasan yang disusun sedemikian rupa sehingga membentuk suatu kesatuan rancangan yang berpola.
Antar ornamen, motif, pola dan ragam hias dapat disimpulkan bahwa ornamen merupakan elemen atau unsur-unsur hias dalam motif. Bila motif dikomposisikan dan diulang-ulang (repetisi) dalam penerapannya, maka akan menghasilkan ragam hias. Penerapan ragam hias itulah yang menghasilkan suatu pola.
Menurut Sewan susanto (1980: 213), teori penggolongan ragam hias motif batik dapat digolongkan berdasarkan susunan dan bentuk ragam hias dalam perkembangannya, yaitu:
(1) Ragam Hias Geometris, antara lain adalah ragam hias banji, ganggong, parang dan lereng, dan ragam hias seperti anyaman.
(2) Ragam Hias Non-Geometris, adalah ragam hias yang tersusun secara harmoni tetapi tidak menurut bidang-bidang geometris, golongan ini disebut semen. Pola utamanya terdiri dari tumbuhan, meru, burung atau lar-laran, dan binatang.
(3) Ragam Hias Buketan, dimana pada kain batik penempatan bidang untuk polanya tidak sama, di suatu sisi bidang penuh dengan gambar, sedang di sisi lain hampir kosong.
(4) Batik Modern, ragam hias gaya baru yang mulai muncul dan terkenal pada tahun 1967. Pola dasarnya merupakan lukisan
lilin malam, kemudian diselesaikan dengan isen-isen seperti pada teknik batik umumnya. Pada perkembangannya lukisan pola dasar dibuat langsung dengan zat warna tanpa lilin perintang. Kain ini mulai muncul pada pertengahan tahun 1968. Batik golongan ini disebut pula batik tanpa pola.
3. Sejarah Batik
Clifford Greertz (1981: 232) menyatakan bahwa kerajinan batik memiliki cap aristokrat ketika mulai memasuki istana di pulau Jawa.
Sebelumnya batik klasik Jawa merupakan kerajinan batik rakyat. Corak asli batik tersebut tidak berubah namun ragam hias dan sentuhan tangan kaum bangsawan telah mengubah batik rakyat menjadi produk keraton. Idealisme budaya Jawa golongan atas dicerminkan pada “batik aristokrat” yang berupa karya seni batik tulis.
Beberapa motif yang muncul pada perkembangan batik klasik: (a) motif batik “semen” yang ornamennya tidak tersusun secara ilmu ukur dan (b) motif batik yang ornamennya tersusun secara geometris, kelompok ini antara lain: motif parang, ceplok, genggong dan lain-lain (Majalah Batari, 1957: 8)
Sudarmono (1990: 7) dalam Dharsono (2007: 11) menyatakan, “seni batik yang dijadikan rakyat sebagai model budaya pengagungan terhadap cuasa prima, secara halus dianimasikan sebagai produk budaya istana lewat paham
“Dewaraja kultur”. Selanjutnya batik klasik memperoleh cap aristocrat dan
kemudian fungsinya tergeser dari kepentingan rakyat menjadi kepentingan raja, dengan tujuan untuk memperkuat kedudukan raja”.
a. Sejarah Batik Solo
Perkembangan batik di Kota Solo telah melalui berbagai perubahan, ragam hias yang dipengaruhi oleh perkembangan peralatan dalam pembatikan, perkembangan pewarnaannya, dan perkembangan teknik pembatikan. Peralatan dalam membatik diawali dengan canting, cap hingga printing (meskipun printing tidak masuk dalam kategori batik), dalam pewarnaan pada mulanya pewarnaan batik menggunakan bahan pewarna alami, seperti: getah pohon, daun-daunan, kulit buah, kemudian berkembang menggunakan pewarna kimia agar prosesnya lebih cepat dan warna yang dihasilkan lebih bervariasi. Selain itu peranan dari para designer atau seniman juga berperan dalam perkembangan ragam hias batik, karena melalui mereka ragam hias-ragam hias batik banyak tercipta, meskipun demikian ragam hias klasik pun tidak ditinggalkan, karena ragam hias klasik memiliki motif dasar yang kemudian dikembangkan dalam batik dengan motif dinamis/kontemporer.
Mengenai aturan pemakaian motif batik tertentu di daerah Surakarta dan Yogyakarta memiliki aturan yang sama, karena kedua daerah tersebut merupakan daerah Vorstenlanden/kerajaan. Ketentuan tersebut menyangkut, antara lain:
1) Kedudukan sosial si pemakai.
2) Kesempatan atau peristiwa apa kain batik ini dipakai atau dipergunakan tergantung dari makna atau arti dan harapan yang terkandung pada ragam hias batik tersebut (Djoemena, 1986: 11).
Menurut Santosa doellah 2002, Adapun ragam batik yang berkembang di Solo berdasarkan pengaruh zaman dan lingkungannya, yaitu:
a) Batik Kraton
Adalah wastra batik dengan pola tradisional, terutama yang semula tumbuh dan berkembang di kraton-kraton Jawa. Tata susun ragam hias pewarnaannya merupakan paduan mengagumkan antara matra seni, adat, pandangan hidup, dan kepribadian lingkungan yang melahirkannya yakni kraton.
b) Batik Saudagaran
Adalah wastra batik yang dihasilkan oleh kalangan saudagar batik, polanya bersumber pada pola-pola batik kraton, baikpola larangan maupun pola batik kraton lainnya, yang ragam hias utama serta isen polanya diubah sedemikian rupa sesuai dengan selera kaum saudagar.
c) Batik Petani
Adalah batik yang digunakan oleh kaum petani setelah pemakaian batik sebagai bahan busana menembus tembok kraton dan merambah masyarakat pedesaan.
d) Batik pengaruh India
Adalah wastra batik yang menerapkan ragam hias wastra dari India, yaitu kain patola dan chintz atau sembagi, serta mulai dibuat oleh pedagang- pedagang Arab atau Cina pada awal abad ke-19 di kawasan pantai utara Pulau Jawa, terutama Cirebon dan Lasem.
e) Batik Belanda
Adalah jenis batik yang tumbuh dan berkembang antara tahun 1840-1940, hampir semuanya berbentuk sarung, pada mulanya hanya dibuat bagi masyarakat Belanda dan Indo-Belanda, dan kebanyakan dibuat didaerah pesisir (Pekalongan).
f) Batik Cina/ Pecinan
Adalah jenis batik yang dibuat oleh orang-orang Cina atau peranakan yang menampilkan pola-pola dengan ragam hias satwa mitos Cina, seperti naga, singa, burung phoenix (burung hong), kura-kura, kilin (anjing berkepala singa), dewa dan dewi, ragam hias yang berasal dari keramik Cina kuno, serta ragam hias berbentuk mega dengan warna merah atau merah dan biru.
g) Batik Djawa Hokokai
Adalah batik yang diproduksi oleh perusahaan-perusahaan batik di Pekalongan, terutama pengusaha Cina, kurang lebih tahun 1942-1945, dengan pola dan warna yang sangat dipengaruhi oleh budaya Jepang, meskipun latar masih menampakkan pola batik kraton, antara lain parang,
kawung, lereng dan ceplokan. Ragam hias bunga seperti sakura, krisant,
dahlia dan anggrek dalam bentuk buketan atau lung-lungan.
h) Batik Indonesia
Lahir sekitar tahun 1950 adalah batik yang selain secara teknis berupa paduan antara pola tradisional batik kraton dan proses batik pesisiran juga mengandung makna persatuan Indonesia.
b. Sejarah Kampung Laweyan
Kampoeng Batik Laweyan merupakan cluster tertentu, unik dan memiliki cerita bersejarah panjang heroik. Menurut RT Mlayadipura pada bukunya, Desa Laweyan (sekarang disebut sebagai Kampoeng Laweyan) telah ada sebelum Pajang Royal Kingdom. Sejarah Laweyan ditulis setelah Kyai Ageng Henis tinggal dan tinggal di Laweyan pada sekitar abad ke-15.
Kyai Ageng Henis atau biasa disebut Kyai Ageng Laweyan, adalah putra Kyai Ageng Sela, yang adalah Raja Brawijaya keturunan. Kyai Ageng Henis memiliki judul sebagai manggala pinatuwaning nagara kerajaan Pajang ketika Raja Jaka Tingkir memerintah kerajaan pada 1546.
Setelah Kyai Ageng Henis meninggal, rumah itu ditempati oleh cucunya, Bagus Danang atau Mas Ngabehi Sutawijaya, kemudian Sutawijaya pindah ke Mataram (Kotagede) dan menjadi Raja pertama era Mataram Islam dan berjudul Panembahan Senopati.
Pasar Laweyan digunakan sebagai sebuah pasar yang ramai yang digunakan untuk perdagangan apapun jenis bahan terutama benang dan kain. Kapas ini diproduksi oleh Pedan, Juwiring dan desa Gawok.
Lokasinya berada di Desa Laweyan (noe antara Kampoeng Lor Pasar Mati dan Kidul Pasar Mati dan timur Kampoeng Setono). Pada southren pasar Laweyan ada Pelabuhan besar, Kabanaran pelabuhan sungai.
Laweyan memiliki bagian besar pada pertempuran melawan penjajahan. Sekitar tahun 1911, dibentuk Perdagangan Persatuan Islam (Serikat Dagang Islam = SDI) dengan KH Samanhudi sebagai mantan.
Dalam ilmu ekonomi, Laweyan juga adalah pelopor kerjasama, bernama
"Persatoean Peroesahaan Batik Boemi Poetera Soerakarta" pada 1935.
(http://kampoenglaweyan.com, diakses tanggal 28 April 2013, 18:25).
c. Perkembangan Batik di Laweyan
Kerajinan batik adalah kesenian menggambar di atas kain dengan malam yang menggunakan teknik celup rintang yang merupakan kebudayaan keluarga raja pada jaman dulu. Awalnya batik dikerjakan terbatas hanya pada keraton saja dan digunakan hanya untuk para raja dan keluarga serta pengikutnya. Oleh karena banyak dari pengikut raja yang tinggal di luar keraton maka kerajinan batik ini dikerjakan di tempat mereka masing-masing dan lama-lama mulai ditiru oleh rakyat terdekat dan
meluas menjadi pekerjaan kaum wanita dalam rumah tangganya untuk mengisi waktu senggang.
Seperti halnya di Kelurahan Laweyan yang merupakan kawasan Sentra Industri batik yang unik, spesifik dan bersejarah. Industri batik di kawasan ini mula-mula merupakan industri kerajinan rumah tangga yang dilakukan oleh kaum wanita yang sering disebut dengan istilah mbok mase.
Industri Batik di Laweyan telah berkembang dan terus mengalami berbagai perubahan dari waktu ke waktu. Hal tersebut tidak terlepas dari peranan para pengusaha batik di kampung tersebut. Perubahan status sosial dari para pedagang batik telah mempengaruhi perkembangan industri batik itu sendiri. Naiknya kekayaan para pengusaha batik berhubungan erat dengan naiknya status sosial mereka sebagai mbok mase, yaitu gelar untuk majikan pemilik perusahaan di Laweyan. Bila dibandingkan dengan kategori gelar yang ada dalam lingkungan abdi dalem istana kerajaan, maka status sosial mbok mase di Laweyan itu sejajar dengan kedudukan para abdi dalem kriya pembatik dalam dinas istana. Segi-segi yang menarik untuk diteliti dari gaya hidup orang-orang laweyan adalah persepsi kekayaan dan kebudayaan mereka kelihatan menonjol menyejajarkan diri dengan para abdi dalem istana itu. Akan tetapi dari segi yang lain para saudagar Laweyan justru mengkounter gaya hidup para priyayi istana itu yang dirasakan tidak cocok dengan lingkungan sosial Laweyan. Misalnya, sikap hidup berfoya-foya, gila hormat dan poligami yang mencerminkan
kondisi umum gaya hidup para priyayi istana, adalah masalah yang dipandang negatif oleh saudagar Laweyan (Soedarmono, 2006:30-31).
Laweyan terus berkembang sebagai pusat industri batik yang makmur di Surakarta selama awal abad 20. Sebagai akibat ditemukannya alat pembatik cap menggantikan canting, yang dibawa masuk ke Laweyan pada sekitar awal abad 20, Industri batik Laweyan mengalami fase modernisasi.
Fase itu ditandai dengan munculnya gagasan para pengusaha melahirkan produk batik “sandang” pada tahun 1925, dan jenis batik “tedjo” pada tahun 1956 (Soedarmono, 2006: 45).
Batik tulis dan batik cap berkembang berdampingan sampai saat ini.
Ditinjau dari halus tidaknya, maka batik tulislah yang lebih halus daripada batik cap, sebab batik tulis motif-motifnya lebih hidup, karena dibuat dengan rasa seni atau unsur seni masih ada didalamnya, sedangkan walaupun batik cap prosesnya jauh lebih cepat dari batik tulis, akan tetapi hasil batik cap ini agak berbeda dengan batik tulis. Dari segi ketepatan pengulangan bentuk canting cap lebih menjamin, akan tetapi dari kesempurnaan goresan kurang baik. Batikan cap sering kali tidak tembus dan kadang-kadang dilain sisi tembus, bahkan blobor (Riyanto, 1997:13).
Semakin majunya teknologi, pada sekitar tahun 1960-an ditemukan alat pembuatan batik dengan “printing” atau “sablon” dengan alat cap yang terbuat dari kain yang telah dilukis dan bagian tepinya diberi plangkan (kayu) dengan ukuran lebar 80 cm dan panjang menurut lebar
mori/cambric. Batik ini terkenal dengan batik printing. Proses dari pada cara ini lebih cepat dengan kalkulasi yang rendah sebab batik ini tidak memakai cara ngecap dengan malam dahulu, dan tidak juga melorod (membabar), akan tetapi mori dicap langsung dengan motif yang dikehendaki (Kusumawardani, 2006: 54).
Dinamika perkembangan batik mengalihkan perhatian konsumen batik. Masyarakat beralih ke tekstil kain motif batik, sedang kaum borjuis Indonesia memakai kain batik alus untuk keperluan acara resmi maupun pesta-pesta resmi. Dinamika tersebut membawa batik (batik canting) ke singgasananya yang eksklusif. Batik tulis yang berkembang sekarang justru mempunyai posisi yang jelas dalam eksistensinya (Prisma, 5 mei 1987: 56- 57) dalam (Dharsono, 2007: 10).
4. Pola Buketan
Buketan berasal dari bahasa Perancis bouquet yang berarti rangkaian
bunga/karangan bunga. Menurut Iwan Tirta (2009: 98), “flora alias tumbuhan tetap menjadi sumber inspirasi pola batik, termasuk batik karya orang-orang peranakan Eropa alias orang Indo. Corak buketan konon merujuk pada gaya lukisan botani, yang di Eropa marak sebagai karya seni para perempuan kelas menengah”.
Sewan susanto (1980: 240), mengemukakan bahwa yang dimaksud pola buketan ialah pola yang berisi motif dengan tumbuhan atau lung-lungan yang
panjang selebar kain. Motif tersebut biasanya terdapat pada bagian kain batik sarung dari pekalongan, Lasem, Tegal, Cirebon.
Pola buketan mudah dikenali lewat rangkaian bunga dengan kombinasi kupu-kupu, burung ataupun satwa lainnya. Sehelai wastra buketan biasanya mengandung lima atau enam susunan ragam hias cantik, dan unsur yang ditampilkan membentuk suatu kesatuan yang selaras. Sebagian besar pola Batik Belanda termasuk ke dalam pola buketan (Santosa, 2002: 19).
Eliza van Zuylen, van Metzelaar, ter Horst dan Coenraad, adalah orang- orang yang terkenal dalam kalangan batik Eropa. Kain-kain batik yang mereka hasilkan dikerjakan secara luar biasa dengan garis-garis tajam dan latar yang bersih. Kebanyakan pola mereka adalah desain bunga-bunga, disebut buketan (dari bahasa Perancis bouquet = rangkaian bunga).
Batik van Zuylen atau “panselen” menurut banyak orang merupakan batik Belanda yang paling terkenal. Tahun 1980 ia mulai membuka pembatikan di Pekalongan dan tahun 1918 sudah menjadi pemilik pembatikan Indo-Eropa terbesar di Jawa. Dari batik-batiknya yang dibuat pada tahun 1900 ia sudah berani memakai pola yang sama untuk badan dan kepala. E. van Zuylen sendiri dianggap yang mempopulerkan buket bunga, yang kemudian disebut buketan dan ditiru dan bahkan dijiplak pesaingnya di sepanjang pesisir Jawa. Buketan ini bertahan lama begitu pula warna-warna pastelnya (Ishwara, 2011: 90).
Gambar 7. Gambar Pola Buketan Van Zuylen (Batik Belanda) Sumber : Santosa Doellah (2002: 29)
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa motif buketan merupakan motif yang berasal dari bahasa Perancis bouquet yaitu rangkaian atau karangan bunga. Buketan merupakan bagian batik Belanda yang muncul pada jaman penjajahan kolonial Belanda dan kebanyakan dibuat didaerah pesisir. Batik dengan motif buketan biasanya berupa kain sarung yang mempunyai pola badan dan pola pinggiran.
B. Kerangka Pikir
Menurut Dharsono, (2004: 18), hal-hal yang perlu diperhatikan dalam mengaji suatu karya seni adalah unsur-unsur visual yang terdiri dari tingkat pertama yang berupa kualitas material, warna; tingkat kedua yang berupa pertimbangan harmoni, kontras, balance, unity yang selaras; dan tingkat ketiga
berupa hasil persepsi (pengamatan) antara persepsi memori dan visual.
Sedangkan untuk menunjang pengamatan suatu karya seni, De Witt H. Parker dalam Dharsono (2004: 154) berpendapat bahwa asas-asas estetika merupakan aspek yang penting. Aspek-aspek estetika tersebut antara lain asas kesatuan/utuh, asas tema, asas variasi menurut tema, asas keseimbangan, asas perkembangan dan asas tata jenjang. Dari teori-teori tersebut, maka dapat dirumuskan suatu kerangka pikir sebagai berikut :
Bagan 1. Kerangka Pikir Karya Seni
Latar Belakang motif batik buketan di Laweyan
Surakarta
Unsur-unsur Visual (Dharsono, 2004: 18)
Aspek estetika Motif Buketan Pengamat
Asas-asas estetika De Witt H. Parker (Dharsono, 2004: 154)
1. Memvalidasi dan mencari tahu latar belakang tiap motif batik buketan melalui wawancara dengan pemilik perusahaan, pencipta atau designer motif buketan tersebut.
2. Mengamati dan menganalisa karya seni yang berupa batik dengan motif buketan yang telah dikumpulkan dari observasi di kampung batik
Laweyan.
3. Mendeskripsikan dan menjabarkan makna estetika yang terkandung dalam data berdasarkan unsur-unsur visual dan asas-asas estetika.
4. Menarik kesimpulan dan memberi saran mengenai aspek estetika motif buketan.