• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN KESEHATAN MASYARAKAT PERKOTAAN PADA PASIEN HIDROSEFALUS DI LANTAI III UTARA RSUP FATMAWATI JAKARTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN KESEHATAN MASYARAKAT PERKOTAAN PADA PASIEN HIDROSEFALUS DI LANTAI III UTARA RSUP FATMAWATI JAKARTA"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN

KESEHATAN MASYARAKAT PERKOTAAN PADA

PASIEN HIDROSEFALUS

DI LANTAI III UTARA RSUP FATMAWATI JAKARTA

KARYA ILMIAH AKHIR NERS

HAFIDZAH FITRIYAH, S.Kep

0706270655

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN

PROGRAM PROFESI NERS

DEPOK

JULI 2013

(2)

UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN

KESEHATAN MASYARAKAT PERKOTAAN PADA

PASIEN HIDROSEFALUS

DI LANTAI III UTARA RSUP FATMAWATI JAKARTA

KARYA ILMIAH AKHIR NERS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Ners keperawatan

HAFIDZAH FITRIYAH, S.Kep

0706270655

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN

PROGRAM PROFESI NERS

DEPOK

JULI 2013

(3)
(4)
(5)

Nya sehingga karya ilmiah saya yang berjudul “Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan pada Pasien Hidrosefalus di Lantai 3 Utara RSUP Fatmawati” dapat selesai. Penulisan karya ilmiah ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat mencapai gelar Ners Keperawatan pada Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Siti Chodidjah, S.Kp., MN; selaku dosen pembimbing yang telah mengarahkan saya dalam penyusunan karya ilmiah ini;

2. Ibu Riri Maria, S.Kp., MANP; selaku Koordinator Mata Ajar Karya Ilmiah Akhir-Ners;

3. Orang tua dan keluarga yang selalu memberikan bantuan dukungan material dan moral, serta memberikan semangat;

4. Sahabat-sahabat terbaik yang selalu memberikan semangat dan hiburan di saat kejenuhan melanda;

5. Mas Ryan Yudo Widiyatmoko yang selalu memberikan semangat dan dukungan dalam penyelesaian karya ilmiah ini;

6. Teman-teman satu bimbingan (Titis Tolada, Dewanti, Aditya Wijayanti, dan Kak Ade Kurniah) yang saling mendukung dalam pembuatan karya ilmiah akhir ners ini;

7. Teman-teman Profesi 2013 yang selalu memberikan semangat dan berjuang bersama-sama dengan saya dalam menyelesaikan karya ilmiah ini.

Akhir kata, saya berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga karya ilmiah ini membawa manfaat bagi perkembangan ilmu.

Depok, 11 Juli 2013

(6)
(7)

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Hafidzah Fitriyah, S.Kep NPM : 0706260655

Program Studi : Ilmu Keperawatan Fakultas : Ilmu Keperawatan Jenis karya : Karya Ilmiah Akhir Ners

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :

Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan pada Pasien Hidrosefalus di Lantai 3 Utara RSUP Fatmawati

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di: Depok Pada tanggal: 11 Juli 2013 Yang menyatakan

(8)

Program Studi : Ilmu Keperawatan

Judul : Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan pada Pasien Hidrosefalus di Lantai 3 Utara RSUP Fatmawati

Kejadian hidrosefalus merupakan kasus terbanyak pertama dalam pada Januari-Maret 2013 di ruang bedah anak RSUP Fatmawati Jakarta. Salah satu penatalaksanaan medis bagi anak dengan hidrosefalus adalah operasi VP shunt. Terapi farmakologi maupun nonfarmakologi diberikan untuk menangani nyeri pada pasien hidrosefalus post operasi. Hal tersebut menjadikan dasar tujuan karya ilmiah ini untuk memberikan asuhan keperawatan pada anak dengan hidrosefalus post operasi VP shunt. Salah satu terapi untuk mengatasi nyeri secara non farmakologi adalah dengan menggunakan non-nutritive sucking. Nyeri pada neonatus dapat dikaji menggunakan skala nyeri neonatus dengan nilai 0-7. Penggunaan non-nutritive sucking ini efektif digunakan untuk mengurangi nyeri pada eonates pada saat prosedur eonates. Hasil penerapan dari intervensi yang telah dilakukan pada anak dengan hidrosefalus post operasi VP shunt dengan diagnosa keperawatan nyeri yaitu nyeri teratasi dibuktikan dengan adanya penurunan skala nyeri dari skala 6 ke skala 2.

Kata kunci: hidrosefalus, neonatus, nyeri, non-nutritive sucking.

ABSTRACT

Name : Hafidzah Fitriyah Program Study : Faculty of Nursing

Title : Analysis Clinical Nursing Practice of Urban Health Problem

in Children with Hydrocephalus at North Third Floor RSUP

Fatmawati

Hydrocephalus was the first biggest cases in January-March 2013 at pediatric surgery ward in RSUP Fatmawati Jakarta. One of medical treatments for child with hydrocephalus is VP shunt surgery. Pharmacological and non-pharmacological therapy given to treat pain in patient with hydrocephalus postoperative. It makes the basic purpose of this manuscript to provide nursing care to children with hydrocephalus postoperative VP shunt. One of non-pharmacological therapy to treat the pain is using non-nutritive sucking. Pain in neonates can be assased by using neonates pain scale with score 0-7. The use of non-nutritive sucking is effectively used to reduce pain in neonates during invasive procedures. The result of the application the interventions in children with hydrocephalus postoperative VP shunt with a nursing diagnosis of pain, pain can resolved by a decrease in pain scale from scale 6 to scale 2.

(9)

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN ORISINILITAS ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... v

ABSTRAK/ABSTRACT ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR SKEMA ... ix DAFTAR TABEL ... x DAFTAR LAMPIRAN ... xi 1. PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Perumusan Masalah ... 5 1.3 Tujuan Penulisan ... 5 1.3.1 Tujuan Umum... 5 1.3.2 Tujuan Khusus ... 5 1.4 Manfaat Penelitian ... 6 1.4.1 Manfaat Keilmuan ... 6 1.4.2 Manfaat Aplikatif ... 6 1.4.3 Manfaat Metodologis ... 6 2. TINJAUAN TEORI ... 7 2.1 Hidrosefalus ... 7 2.1.1 Definisi Hidrosefalus ... 7 2.1.2 Penyebab Hidrosefalus ... 7 2.1.3 Klaisifikasi Hidrosefalus ... 8 2.1.4 Patofisiologi Hidrosefalus ... 11

2.1.5 Manifestasi Klinis Hidrosefalus ... 11

2.1.6 Pemeriksaan Diagnostik... 14 2.1.7 Penatalaksanaan Medis ... 16 2.1.8 Komplikasi ... 17 2.2 Konsep Nyeri ... 18 2.2.1 Definisi Nyeri ... 18 2.2.2 Manajemen Nyeri ... 19

2.2.3 Pengkajian Nyeri Pada Neonatus ... 20

2.3 Non-Nutritive Sucking ... 21

2.3.1 Definisi Non-Nutritive Sucking ... 21

2.3.2 Mekanisme Non-Nutritive Sucking dalam Menurunkan Nyeri ... 21

(10)

3.3 Diagnosa Keperawatan ... 26

3.4 Intervensi Keperawatan ... 27

3.5 Evaluasi Tindakan ... 28

4. PEMBAHASAN ... 31

4.1 Profil Lahan Praktek ... 31

4.2 Analisis Masalah Keperawatan dengan Konsep Terkait KKMP dan Konsep Kasus Terkait ... 31

4.3 Analisis Salah Satu Intervensi dangan Konsep dan Penelitian Terkait... 32

4.4 Alternatif Pemecahan yang Dapat Dilakukan ... 34

5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 35

5.1 Kesimpulan ... 35

5.2 Saran ... 36

5.2.1 Bidang Keilmuan Keperawatan Anak ... 36

5.2.2 Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit Fatmawati, Jakarta Selatan ... 36

5.2.3 Penelitian ... 36

(11)
(12)

Tabel 2.1 Definisi Operasional Skala Nyeri Neonatus ... 20 Tabel 3.1 Analisa Data ... 26

(13)

Lampiran 1 Pengkajian

Lampiran 2 Rencana Keperawatan Lampiran 3 Implementasi dan SOAP

(14)

BAB 1

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Hidrosefalus adalah kelainan patologis otak yang mengakibatkan bertambahnya cairan serebrospinal dengan dan pernah dengan tekanan intrakranial yang meninggi, sehingga terdapat pelebaran ventrikel (Darsono, 2005:209). Pelebaran ventrikuler ini akibat ketidakseimbangan antara produksi dan absorbsi cairan serebrospinal. Hidrosefalus selalu bersifat sekunder, sebagai akibat penyakit atau kerusakan otak. Adanya kelainan-kelainan tersebut menyebabkan kepala menjadi besar serta terjadi pelebaran sutura-sutura dan ubun-ubun (DeVito EE et al, 2007:328).

Secara keseluruhan, insidensi hidrosefalus antara 0,2-4 setiap 1000 kelahiran. Insidensi hidrosefalus kongenital adalah 0,5-1,8 pada tiap 1000 kelahiran dan 11%-43% disebabkan oleh stenosis aqueductus serebri. Tidak ada perbedaan bermakna insidensi untuk kedua jenis kelamin, juga dalam hal perbedaan ras. Hidrosefalus dapat terjadi pada semua umur. Pada remaja dan dewasa lebih sering disebabkan oleh toksoplasmosis. Hidrosefalus infantil; 46% adalah akibat abnormalitas perkembangan otak, 50% karena perdarahan subaraknoid dan meningitis, dan kurang dari 4% akibat tumor fossa posterior. Secara internasional, insiden hidrosefalus yang didapat juga tidak diketahui jumlahnya. Sekitar 100.000 shunt yang tertanam setiap tahun di negara maju, tetapi informasi untuk negara-negara lain masih sedikit. Kematian pada hidrosefalus yang tidak ditangani dapat terjadi oleh karena herniasi tonsil sekunder yang dapat meningkatkan tekanan intracranial, kompresi batang otak dan sistem pernapasan (Darsono, 2005:211).

Hidrosefalus menjadi kasus yang banyak terjadi di perkotaan. Angka kejadian kasus hidrosefalus di RSUP Fatmawati di ruang rawat bedah anak lantai III utara selama 3 bulan dari bulan Januari-Maret 2013 adalah sebanyak 22 kasus. Penyebab hidrosefalus salah satunya adalah bakteri. Pada daerah perkotaan yang padat penduduk, memungkinkan terjadi penyebaran bakteri dengan cepat

(15)

salah satunya bakteri yang menyebabkan hidrosefalus. Selain itu, pada daerah perkotaan yang padat penduduk masih banyak penduduk yang tingkat kesejahteraannya rendah. Tingkat kesejahteraan yang rendah dapat mempengaruhi nutrisi pada ibu hamil. Nutrisi pada ibu hamil juga mrmpengaruhi perkembangan janin. Pada ibu dengan nutrisi yang kurang, maka perkembangan janin pun akan terganggu sehingga dapat menimbulkan kelainan kongenital seperti hidrosefalus.

Kebanyakan kasus hidrosefalus dialami oleh neonatus. Anak dengan hidrosefalus memerlukan perawatan khusus dan benar karena pada anak yang mengalami hidrosefalus ada kerusakan saraf yang menimbulkan kelainan neurologis berupa gangguan kesadaran sampai pada gangguan pusat vital dan resiko terjadi dekubitus. Di ruang perawatan bedah anak, pasien diberikan perawatan termasuk tindakan pemasangan infus, perawatan luka dan prosedur invasif lain. Dalam kasus hidrosefalus ini, pemberian Non-nutritive sucking (NNS) dapat membantu untuk mengurangi nyeri yang dirasakan oleh neonatus.

Salah satu prosedur invasif yang dilakukan bagi anak adalah terapi melalui intra vena. Beberapa obat hanya efektif bila diberikan melalui jalur tersebut. Metode terapi intravena ini adalah memberikan obat-obatan pada anak yang mengalami ketidakmampuan absorpsi sebagai akibat dari kondisi diare, dehidrasi, atau pembuluh darah yang sudah kolaps, mereka membutuhkan konsentrasi serum tinggi dari suatu obat, mereka yang resisten terhadap kondisi infeksi apabila menerima pengobatan parenteral dalam jangka waktu lama, dan mereka yang mengalami nyeri terus menerus serta mereka yang menerima pengobatan di gawat darurat (Movahaedi, 2006).

Prosedur terapi melalui jalur intravena ini menimbulkan kondisi nyeri akut bagi anak terutama neonatus. Bayi baru lahir (neonatus) perlu melakukan adaptasi karena perubahan yang dialami dari dalam rahim ke luar rahim. Bobak et al., (2005) menyatakan bahwa kebanyakan bayi dapat menjalani

(16)

penyesuaian yang dibutuhkan untuk hidup di luar rahim tanpa banyak kesulitan, tetapi kesehatannya tergantung pada perawatan yang diterimanya. Bayi baru lahir cukup bulan yang dirawat di rumah sakit secara kontinu akan dilakukan pemberian terapi, oleh karena itu diperlukan pemasangan infus. Tindakan ini merupakan prosedur invasif yang menyakitkan (Taddio et al., 1998).

Nyeri adalah fenomena kompleks yang paling sulit dipahami neonatus (Merestein & Gardner, 2002). Pendapat yang sama dikemukakan oleh Melzack dan Wall (1965, dalam Kenner & McGrath, 2004) bahwa nyeri merupakan fenomena multidimensi yang tergantung pada persepsi sensorik dan emosional individu. Rangkaian proses terjadinya nyeri diawali ketika nosiceptor yang terletak pada bagian perifer tubuh distimuli oleh berbagai stimulus. Impuls nyeri diteruskan melalui aferen utama menuju medula spinalis melalui dorsal horn. Hal ini didukung oleh Merestein dan Gardner (2002) yang menyatakan bahwa neurotransmiter dan reseptornya memperkuat signal di dorsal horn sebelum mengirim sinyal tersebut ke otak. Di bagian talamus dan korteks serebri individu dapat mempersepsikan, menggambarkan, melokalisasi, menginterpretasikan dan mulai berespon terhadap nyeri (Prasetyo, 2010). Hal ini juga akan dirasakan neonatus pada saat dilakukan tindakan pemasangan infus maupun perawatan luka.

Nyeri akut merupakan suatu perasaan yang tidak menyenangkan dan pengalaman emosional yang muncul akibat kerusakan yang aktual atau potensial atau digambarkan dalam kondisi akibat kerusakan (Asosiasi Internasional Bagi Peneliti Nyeri) yang tiba-tiba atau lambat dengan berbagai tingkatan baik sedang hingga tinggi dengan diantisipasi atau diprediksi serta waktunya kurang dari 6 bulan (NANDA, 2007).

Oleh sebab itu diperlukan penanganan terhadap nyeri pada neonatus. Penanganan nyeri dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu farmakologi dan nonfarmakologi yang diperlukan untuk mengatasi respon nyeri dari prosedur

(17)

invasif yang diterima oleh bayi (American Academy of Pediatric, 2006). Jika memungkinkan, keduanya harus digunakan dalam penatalaksanaan nyeri (Hockenberry & Wilson, 2009). Namun penatalaksanaan secara nonfarmakologi sangat penting karena intervensi ini didasarkan pada pengkajian klinis perawat terhadap nyeri dan dapat dilakukan staf perawat tanpa instruksi dari dokter (Kashaninia et al., 2008). Selain itu penatalaksanaan nonfarmakologi bersifat aman, noninvasif, tidak mahal, dan merupakan fungsi keperawatan yang mandiri (Hockenberry & Wilson, 2009).

Penanganan nyeri secara nonfarmakologi dapat dilakukan dengan pemberian sukrosa (AAP, 2006). Hal ini didukung oleh Taddio, Shah, dan Katz (2009) yang menyatakan bahwa sukrosa adalah gula alami dengan analgesik dan efeknya menenangkan pada bayi muda. Studi yang dilakukan Elserafy et al., (2009) menyatakan sukrosa (karena rasa manis) dan nyeri saling berhubungan melalui sistem opioid endogen tubuh yang menyediakan analgesia alami. Analgesik sukrosa mengaktifkan sistem opioid endogen pusat, hal ini serupa dengan analgesik opioid. Cara kerja analgesik opioid adalah dengan mengikat reseptor opioid pada neuron aferen, sehingga impuls nyeri akan terhenti pada spinal cord dan tidak ditransmisikan ke korteks serebri. Dalam keadaan ini nyeri kemudian tidak dipersepsikan (Prasetyo, 2010). Blass dan Ciaramitaro (1994, dalam Gibbins & Stevens, 2001) menyatakan bahwa rasa manis dari sukrosa terdeteksi pada lidah pada 2 menit sebelum prosedur invasif yang dilakukan dan menimbulkan efek selama 5-10 menit setelah rangsangan diberikan.

Non-nutritive sucking (NNS) juga termasuk salah satu jenis penanganan nonfarmakologi yang dapat diberikan pada neonatus yang menerima prosedur invasif (AAP, 2006). Non-nutritive sucking (NNS) adalah penyediaan dot atau puting susu nonlaktasi ke mulut bayi yang menyebabkan mekanisme pengisapan tanpa pemberian ASI atau formula gizi (Gibbins & Stevens, 2001; Kenner & McGarth, 2004). NNS diperkirakan menghasilkan analgesia melalui stimulasi orotactile dan mekanoreseptor ketika diberikan kepada bayi.

(18)

Mekanisme yang mendasari kerja NNS adalah teori gate control dan efeknya akan berakhir ketika mekanisme menghisap berhenti (Gibbins & Stevens, 2001).

1.2 Perumusan Masalah

Tindakan pemasangan infus merupakan prosedur yang menimbulkan kecemasan dan ketakutan serta rasa tidak nyaman bagi anak akibat nyeri yang dirasakan saat prosedur tersebut dilaksanakan. Anak seringkali merasa takut dan menganggap prosedur tindakan dapat mengancam integritas tubuhnya (Wong, 2006). Reaksi terhadap perlukaan atau rasa nyeri diungkapkan secara subyektif oleh neonatus dengan tangisan. Tangisan yang muncul tiba-tiba dan panjang merupakan tangisan sebagai akibat dari nyeri yang dirasakan bayi (Santrock, 2001). Menurut Bobak et al., (2005) bayi yang menangis karena nyeri memiliki nada yang lebih tinggi dan melengking.

Berbagai upaya dilakukan untuk meminimalkan rasa nyeri dan meningkatkan rasa nyaman pada neonatus baik secara mandiri maupun kolaboratif. Non-nutritive sucking (NNS) juga termasuk salah satu jenis penanganan nonfarmakologi yang dapat diberikan pada neonatus yang menerima prosedur invasif (AAP, 2006). Hal ini membuat penulis tertarik untuk mengetahui bagaimana “Pengaruh pemberian Non-nutritive sucking (NNS) terhadap asuhan keperawatan pada neonatus dengan hidrosefalus post op pemasangan VP shunt yang dirawat di ruang rawat bedah anak lantai III utara RSUP Fatmawati”.

1.3 Tujuan Penulisan 1.3.1 Tujuan Umum

Mahasiswa mampu melakukan asuhan keperawatan pada anak yang mengalami hidrosefalus.

1.3.2 Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus dari penulisan karya ilmiah akhir ini adalah mahasiswa:

(19)

 Mampu mengidentifikasi masalah fisik yang muncul pada anak dengan hidrosefalus post op pemasangan VP shunt;

 Mampu memberikan asuhan keperawatan pada anak dengan hidrosefalus pos op pemasangan VP shunt;

 Mampu menerapkan aplikasi Non-nutritive sucking (NNS) pada anak dengan hidrosefalus post op pemasangan VP shunt.

1.4 Manfaat Penulisan 1.4.1 Manfaat Keilmuan

Karya ilmiah ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu keperawatan anak khususnya dalam memberikan gambaran tentang pemberian asuhan keperawatan pada anak dengan hidrosefalus.

1.4.2 Manfaat Aplikatif

Karya ilmiah ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai gambaran pemberian asuhan keperawatan pada anak dengan hidrosefalus pada pihak rumah sakit dan ruang bedah anak lantai III utara. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan mutu pelayanan asuhan keperawatan yang diwujudkan dengan meningkatnya kepuasaan klien terhadap pelayanan keperawatan yang diberikan.

1.4.3 Manfaat Metodologis

Karya ilmiah ini diharapkan dapat dijadikan sebagai penemuan baru terkait penerapan asuhan keperawatan pada anak dengan hidrosefalus sehingga kemudian hari dapat dijadikan sebagai sumber rujukan ilmiah bagi penulisan karya ilmiah berikutnya.

(20)

BAB 2

TINJAUAN TEORI

2.1 Hidrosefalus

2.1.1 Definisi Hidrosefalus

Hidrosefalus adalah kelainan patologis otak yang mengakibatkan bertambahnya cairan serebrospinal dengan atau pernah dengan tekanan intrakranial yang meninggi, sehingga terdapat pelebaran ventrikel (Darsono, 2005:209). Pelebaran ventrikuler ini akibat ketidakseimbangan antara produksi dan absorbsi cairan serebrospinal. Hidrosefalus selalu bersifat sekunder, sebagai akibat penyakit atau kerusakan otak. Adanya kelainan-kelainan tersebut menyebabkan kepala menjadi besar serta terjadi pelebaran sutura-sutura dan ubun-ubun (DeVito EE et al, 2007:328).

2.1.2 Penyebab Hidrosefalus

Hidrosefalus terjadi bila terdapat penyumbatan aliran cairan serebro-spinal (CSS) pada salah satu tempat antara tempat pembentukan CSS dalam sistem ventrikel dan tempat absorbsi dalam ruang subarakhnoid. Akibat penyumbatan, terjadi dilatasi ruangan CSS diatasnya (Allan H. Ropper, 2005). Teoritis pembentukan CSS yang terlalu banyak dengan kecepatan absorbsi yang abnormal akan menyebabkan terjadinya hidro-sefalus, namun dalam klinik sangat jarang terjadi.

Penyebab penyumbatan aliran CSS yang sering terdapat pada bayi dan anak (Allan H. Ropper, 2005:360) :

1) Kelainan bawaan (kongenital) a. Stenosis akuaduktus sylvii b. Spina bifida dan kranium bifida c. Sindrom Dandy-Walker

(21)

2) Infeksi

Akibat infeksi dapat timbul perlekatan meningen. Secara patologis terlihat penebalan jaringan piamater dan arakhnoid sekitar sisterna basalis dan daerah lain. Penyebab lain infeksi adalah toxoplasmosis.

3) Neoplasma

Hidrosefalus oleh obstruksi mekanik yang dapat terjadi di setiap tempat aliran CSS. Pada anak yang terbanyak menyebabkan penyumbatan ventrikel IV atau akuaduktus Sylvii bagian terakhir biasanya suatu glioma yang berasal dari serebelum, penyumbatan bagian depan ventrikel III disebabkan kraniofaringioma.

4) Perdarahan

Perdarahan sebelum dan sesudah lahir dalam otak, dapat menyebabkan fibrosis leptomeningen terutama pada daerah basal otak, selain

penyumbatan yang terjadi akibat organisasi dari darah itu sendiri.

2.1.3 Klasifikasi Hidrosefalus

Klasifikasi hidrosefalus bergantung pada faktor yang berkaitan dengannya, berdasarkan:

1. Gambaran klinis, dikenal hidrosefalus manifes (overt hydrocephalus) dan hidrosefalus tersembunyi (occult hydrocephalus).

2. Waktu pembentukan, dikenal hidrosefalus kongenital dan hidrosefalus akuisita.

3. Proses terbentuknya, dikenal hidrosefalus akut dan hidrosefalus kronik.

4. Sirkulasi CSS, dikenal hidrosefalus komunikans dan hidrosefalus non komunikans.

Hidrosefalus interna menunjukkan adanya dilatasi ventrikel, hidrosefalus eksternal menunjukkan adanya pelebaran rongga subarakhnoid di atas permukaan korteks. Hidrosefalus obstruktif

(22)

menjabarkan kasus yang mengalami obstruksi pada aliran likuor. Berdasarkan gejala, dibagi menjadi hidrosefalus simptomatik dan asimptomatik. Hidrosefalus arrested menunjukan keadaan dimana faktor-faktor yang menyebabkan dilatasi ventrikel pada saat tersebut sudah tidak aktif lagi. Hidrosefalus ex-vacuo adalah sebutan bagi kasus ventrikulomegali yang diakibatkan atrofi otak primer, yang biasanya terdapat pada orang tua (Darsono, 2005).

Hidrosefalus pada anak atau bayi pada dasarnya dapat di bagi dua: 1. Kongenital

Merupakan hidrosephalus yang sudah diderita sejak bayi dilahirkan, sehingga:

 Pada saat lahir keadaan otak bayi terbentuk kecil.

 Terdesak oleh banyaknya cairan didalam kepala dan tingginya tekanan intrakranial sehingga pertumbuhan sel otak terganggu.

2. Didapat

Bayi atau anak mengalaminya pada saat sudah besar, dengan penyebabnya adalah penyakit-penyakit tertentu misalnya trauma, TBC yang menyerang otak dimana pengobatannya tidak tuntas.

Pada hidrosefalus di dapat pertumbuhan otak sudah sempurna, tetapi kemudian terganggu oleh sebab adanya peninggian tekanan intrakranial. Sehingga perbedaan hidrosefalus kongenital dengan di dapat terletak pada pembentukan otak dan pembentukan otak dan kemungkinan prognosisnya.

Berdasarkan letak obstruksi CSS (cairan serebrospinal), hidrosefalus pada bayi dan anak ini juga terbagi dalam dua bagian yaitu:

1. Hidrosefalus komunikan

Apabila obstruksinya terdapat pada rongga subarachnoid, sehingga terdapat aliran bebas CSS dalam sistem ventrikel sampai ke tempat sumbatan. Jenis ini tidak terdapat obstruksi pada aliran CSS tetapi villus

(23)

arachnoid untuk mengabsorbsi CSS terdapat dalam jumlah yang sangat sedikit atau malfungsional. Umumnya terdapat pada orang dewasa, biasanya disebabkan karena dipenuhinya villus arachnoid dengan darah sesudah terjadinya hemmorhage subarachnoid (klien memperkembangkan tanda dan gejala-gejala peningkatan ICP).

2. Hidrosefalus non komunikan

Apabila obstruksinya terdapat terdapat didalam sistem ventrikel sehingga menghambat aliran bebas dari CSS. Biasanya gangguan yang terjadi pada hidrosefalus kongenital adalah pada sistem vertikal sehingga terjadi bentuk hidrosefalus non komunikan. Biasanya diakibatkan obstruksi dalam sistem ventrikuler yang mencegah bersikulasinya CSS. Kondisi tersebut sering dijumpai pada orang lanjut usia yang berhubungan dengan malformasi congenital pada sistem saraf pusat atau diperoleh dari lesi (space occuping lesion) ataupun bekas luka. Pada klien dewasa dapat terjadi sebagai akibat dari obstruksi lesi pada sistem ventricular atau bentukan jaringan adhesi atau bekas luka didalam system di dalam system ventricular. Pada klien dengan garis sutura yang berfungsi atau pada anak–anak dibawah usia 12–18 bulan dengan tekanan intraranialnya tinggi mencapai ekstrim, tanda–tanda dan gejala–gejala kenaikan ICP dapat dikenali. Pada anak-anak yang garis suturanya tidak bergabung terdapat pemisahan /separasi garis sutura dan pembesaran kepala.

3. Hidrosefalus bertekanan normal (Normal Pressure Hidrocephalus) Di tandai pembesaran sister basilar dan ventrikel disertai dengan kompresi jaringan serebral, dapat terjadi atrofi serebral. Tekanan intrakranial biasanya normal, gejala – gejala dan tanda – tanda lainnya meliputi; dimentia, ataxic gait, incontinentia urine. Kelainan ini berhubungan dengan cedera kepala, hemmorhage serebral atau thrombosis, meningitis; pada beberapa kasus (kelompok umur 60 – 70 tahun) ada kemungkinan ditemukan hubungan tersebut.

(24)

2.1.4 Patofisiologi Hidrosefalus

Dikarenakan kondisi CSS yang tidak normal, hidrosefalus secara teoritis terjadi sebagai akibat dari tiga mekanisme yaitu produksi likuor yang berlebihan, peningkatan resistensi aliran likuor, dan peningkatan tekanan sinus venosa. Konsekuensi tiga mekanisme di atas adalah peningkatan tekanan intrakranial (TIK) sebagai upaya mempertahankan keseimbangan sekresi dan absorbsi. Mekanisme terjadinya dilatasi ventrikel cukup rumit dan berlangsung berbeda-beda tiap saat selama perkembangan hidrosefalus. Dilatasi ini terjadi sebagai akibat dari kompresi sistem serebrovaskuler, redistribusi dari likuor serebrospinalis atau cairan ekstraseluler, perubahan mekanis dari otak, efek tekanan denyut likuor serebrospinalis, hilangnya jaringan otak, dan pembesaran volume tengkorak karena regangan abnormal sutura kranial. (Darsono, 2005:212).

Produksi likuor yang berlebihan disebabkan tumor pleksus khoroid. Gangguan aliran likuor merupakan awal dari kebanyakan kasus hidrosefalus. Peningkatan resistensi yang disebabkan gangguan aliran akan meningkatkan tekanan likuor secara proporsional dalam upaya mempertahankan reasorbsi yang seimbang. Peningkatan tekanan sinus vena mempunyai dua konsekuensi, yaitu peningkatan tekanan vena kortikal sehingga menyebabkan volume vaskuler intrakranial bertambah dan peningkatan tekanan intrakranial sampai batas yang dibutuhkan untuk mempertahankan aliran likuor terhadap tekanan sinus vena yang relatif tinggi. Konsekuensi klinis dari hipertensi vena ini tergantung dari komplians tengkorak (Darsono, 2005:212).

2.1.5 Manifestasi Klinis Hidrosefalus

Tanda awal dan gejala hidrosefalus tergantung pada derajat ketidakseimbangan kapasitas produksi dan resorbsi CSS (Darsono, 2005). Gejala-gejala yang menonjol merupakan refleksi adanya hipertensi intrakranial.

(25)

Manifestasi klinis dari hidrosefalus pada anak dikelompokkan menjadi dua golongan, yaitu:

1) Hidrosefalus terjadi pada masa neonatus

Meliputi pembesaran kepala abnormal, gambaran tetap hidrosefalus kongenital dan pada masa bayi. Lingkaran kepala neonatus biasanya adalah 35-40 cm, dan pertumbuhan ukuran lingkar kepala terbesar adalah selama tahun pertama kehidupan. Kranium terdistensi dalam semua arah, tetapi terutama pada daerah frontal. Tampak dorsum nasi lebih besar dari biasa. Fontanel terbuka dan tegang, sutura masih terbuka bebas. Tulang-tulang kepala menjadi sangat tipis. Vena-vena di sisi samping kepala tampak melebar dan berkelok. (Peter Paul Rickham, 2003).

2)Hidrosefalus terjadi pada akhir masa kanak-kanak

Pembesaran kepala tidak bermakna, tetapi nyeri kepala sebagai manifestasi hipertensi intrakranial. Lokasi nyeri kepala tidak khas. Dapat disertai keluhan penglihatan ganda (diplopia) dan jarang diikuti penurunan visus. Secara umum gejala yang paling umum terjadi pada pasien-pasien hidrosefalus di bawah usia dua tahun adalah pembesaran abnormal yang progresif dari ukuran kepala. Makrokrania mengesankan sebagai salah satu tanda bila ukuran lingkar kepala lebih besar dari dua deviasi standar di atas ukuran normal. Makrokrania biasanya disertai empat gejala hipertensi intrakranial lainnya yaitu fontanel anterior yang sangat tegang, sutura kranium tampak atau teraba melebar, kulit kepala licin mengkilap dan tampak vena-vena superfisial menonjol, dan fenomena ‘matahari tenggelam’ (sunset phenomenon). Gejala hipertensi intrakranial lebih menonjol pada anak yang lebih besar dibandingkan dengan bayi. Gejalanya mencakup: nyeri kepala, muntah, gangguan kesadaran, gangguan okulomotor, dan pada kasus yang telah lanjut ada gejala gangguan batang otak akibat herniasi tonsiler (bradikardia, aritmia respirasi). (Darsono, 2005:213)

(26)

Kepala bisa berukuran normal dengan fontanela anterior menonjol, lama kelamaan menjadi besar dan mengeras menjadi bentuk yang karakteristik oleh peningkatan dimensi ventrikel lateral dan anterior – posterior diatas proporsi ukuran wajah dan bandan bayi. Puncak orbital tertekan ke bawah dan mata terletak agak ke bawah dan ke luar dengan penonjolan putih mata yang tidak biasanya. Tampak adanya dsitensi vena superfisialis dan kulit kepala menjadi tipis serta rapuh.Uji radiologis : terlihat tengkorak mengalami penipisan dengan sutura yang terpisah – pisah dan pelebaran vontanela. Ventirkulogram menunjukkan pembesaran pada sistem ventrikel . CT scan dapat menggambarkan sistim ventrikuler dengan penebalan jaringan dan adanya massa pada ruangan occuptional. Pada bayi terlihat lemah dan diam tanpa aktivitas normal. Proses ini pada tipe communicating dapat tertahan secara spontan atau dapat terus dengan menyebabkan atrofi optik, spasme ekstremitas, konvulsi, malnutrisi dan kematian, jika anak hidup maka akan terjadi retardasi mental dan fisik (Darsono, 2005:213).

Tanda dan gejala hidrosefalus pada bayi adalah kepala menjadi makin besar dan akan terlihat pada umur 3 tahun; keterlambatan penutupan fontanela anterior, sehingga fontanela menjadi tegang, keras, sedikit tinggi dari permukaan tengkorak. Tanda – tanda peningkatan tekanan intracranial antara lain muntah, gelisah, menangis dengan suara tinggi, peningkatan sistole pada tekanan darah, penurunan nadi, peningkatan pernafasan dan tidak teratur, perubahan pupil, lethargi – stupor, peningkatan tonus otot ekstrimitas, dahi menonjol bersinar atau mengkilat dan pembuluh-pembuluh darah terlihat jelas, alis mata dan bulu mata ke atas, sehingga sclera telihat seolah-olah di atas iris, bayi tidak dapat melihat ke atas, “sunset eyes”, strabismus, nystagmus, atropi optic, dan bayi sulit mengangkat dan menahan kepalanya ke atas.

(27)

Pada anak yang telah menutup suturanya terjadi tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial seperti nyeri kepala, muntah, letargi, lelah, apatis, perubahan personalitas, ketegangan dari sutura cranial dapat terlihat pada anak berumur 10 tahun, penglihatan ganda, kontruksi penglihatan perifer, strabismus, dan perubahan pupil.

2.1.6 Pemeriksaan Diagnostik

Selain dari gejala-gejala klinik, keluhan pasien maupun dari hasil pemeriksaan fisik dan psikis, untuk keperluan diagnostik hidrosefalus dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan penunjang yaitu:

1) Rontgen foto kepala

Dengan prosedur ini dapat diketahui:

1. Hidrosefalus tipe kongenital/infantile, yaitu: ukuran kepala, adanya pelebaran sutura, tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial kronik berupa imopressio digitate dan erosi prosessus klionidalis posterior. 2. Hidrosefalus tipe juvenile/adult oleh karena sutura telah menutup maka dari foto rontgen kepala diharapkan adanya gambaran kenaikan tekanan intrakranial.

2) Transimulasi

Syarat untuk transimulasi adalah fontanela masih terbuka, pemeriksaan ini dilakukan dalam ruangan yang gelap setelah pemeriksa beradaptasi selama 3 menit. Alat yang dipakai lampu senter yang dilengkapi dengan rubber adaptor. Pada hidrosefalus, lebar halo dari tepi sinar akan terlihat lebih lebar 1-2 cm.

3) Lingkaran kepala

Diagnosis hidrosefalus pada bayi dapat dicurigai, jika penambahan lingkar kepala melampaui satu atau lebih garis-garis kisi pada chart (jarak antara dua garis kisi 1 cm) dalam kurun waktu 2-4 minggu. Pada anak yang besar lingkaran kepala dapat normal hal ini disebabkan oleh karena hidrosefalus terjadi setelah penutupan suturan secara fungsional.

(28)

Tetapi jika hidrosefalus telah ada sebelum penutupan suturan kranialis maka penutupan sutura tidak akan terjadi secara menyeluruh.

4) Ventrikulografi

Yaitu dengan memasukkan kontras berupa O2 murni atau kontras lainnya dengan alat tertentu menembus melalui fontanela anterior langsung masuk ke dalam ventrikel. Setelah kontras masuk langsung difoto, maka akan terlihat kontras mengisi ruang ventrikel yang melebar. Pada anak yang besar karena fontanela telah menutup untuk memasukkan kontras dibuatkan lubang dengan bor pada kranium bagian frontal atau oksipitalis. Ventrikulografi ini sangat sulit, dan mempunyai risiko yang tinggi. Di rumah sakit yang telah memiliki fasilitas CT Scan, prosedur ini telah ditinggalkan.

5) Ultrasonografi

Dilakukan melalui fontanela anterior yang masih terbuka. Dengan USG diharapkan dapat menunjukkan system ventrikel yang melebar. Pendapat lain mengatakan pemeriksaan USG pada penderita hidrosefalus ternyata tidak mempunyai nilai di dalam menentukan keadaan sistem ventrikel hal ini disebabkan oleh karena USG tidak dapat menggambarkan anatomi sistem ventrikel secara jelas, seperti halnya pada pemeriksaan CT Scan.

6) CT Scan kepala

Pada hidrosefalus obstruktif CT Scan sering menunjukkan adanya pelebaran dari ventrikel lateralis dan ventrikel III. Dapat terjadi di atas ventrikel lebih besar dari occipital horns pada anak yang besar. Ventrikel IV sering ukurannya normal dan adanya penurunan densitas oleh karena terjadi reabsorpsi transependimal dari CSS.

Pada hidrosefalus komunikans gambaran CT Scan menunjukkan dilatasi ringan dari semua sistem ventrikel termasuk ruang subarakhnoid di proksimal dari daerah sumbatan.

(29)

7) MRI (Magnetic Resonance Imaging)

Untuk mengetahui kondisi patologis otak dan medula spinalis dengan menggunakan teknik scaning dengan kekuatan magnet untuk membuat bayangan struktur tubuh.

2.1.7 Penatalaksanaan Medis

Penanganan hidrosefalus masuk pada katagori ”live saving and live sustaining” yang berarti penyakit ini memerlukan diagnosis dini yang dilanjutkan dengan tindakan bedah secepatnya. Keterlambatan akan menyebabkan kecacatan dan kematian sehingga prinsip pengobatan hidrosefalus harus dipenuhi yakni: mengurangi produksi cairan serebrospinal dengan merusak pleksus koroidalis dengan tindakan reseksi atau pembedahan, atau dengan obat azetasolamid (diamox) yang menghambat pembentukan cairan serebrospinal, memperbaiki hubungan antara tempat produksi caira serebrospinal dengan tempat absorbsi, yaitu menghubungkan ventrikel dengan subarachnoid, dan pengeluaran cairan serebrospinal ke dalam organ ekstrakranial, yakni: drainase ventrikule-peritoneal, drainase lombo-peritoneal, drainase ventrikulo-pleural, drainase ventrikule-uretrostomi, dan drainase ke dalam anterium mastoid.

Cairan serebrospinal dialirkan ke dalam vena jugularis dan jantung melalui kateter yang berventil (Holter Valve/katup Holter) yang memungkinkan pengaliran cairan serebrospinal ke satu arah. Cara ini merupakan cara yang dianggap terbaik namun, kateter harus diganti sesuai dengan pertumbuhan anak dan harus diwaspadai terjadinya infeksi sekunder dan sepsis.Tindakan bedah pemasangan selang pintasan atau drainase dilakukan setelah diagnosis lengkap dan pasien telah di bius total. Dibuat sayatan kecil di daerah kepala dan dilakukan pembukaan tulang tengkorak dan selaput otak, lalu selang pintasan dipasang. Disusul kemudian dibuat sayatan kecil di daerah perut, dibuka rongga perut lalu ditanam selang pintasan, antara ujung selang

(30)

di kepala dan perut dihubungakan dengan selang yang ditanam di bawah kulit hingga tidak terlihat dari luar. Pengobatan modern atau canggih dilakukan dengan bahan shunt atau pintasan jenis silicon yang awet, lentur, tidak mudah putus.

Ada 2 macam terapi pintas/”shunting” yaitu eksternaldengan cara CSS dialirkan dari ventrikel ke dunia luar, dan bersifat hanya sementara. Misalnya: pungsi lumbal yang berulang-ulang untuk terapi hidrosefalus tekanan normal. Secara internal, CSS dialirkan dari ventrikel ke dalam anggota tubuh lain dengan cara: ventrikulo-sisternal, CSS dialirkan ke sisterna magna (Thor-Kjeldsen); ventrikulo-atrial, CSS dialirkan ke sinus sagitalis superior; ventrikulo-bronkhial, CSS dialirkan ke bronkus; ventrikulo-mediastinal, CSS dialirkan ke mediastinum;

ventrikulo-peritoneal, CSS dialirkan ke rongga peritoneum. “Lumbo Peritoneal Shunt”dengan cara CSS dialirkan dari Resessus Spinalis Lumbalis ke rongga peritoneum dengan operasi terbuka atau dengan jarum Touhy secara perkutan.

2.1.8 Komplikasi

Komplikasi sering terjadi karena pemasangan VP shunt adalah infeksi dan malfungsi. Malfungsi disebakan oleh obstruksi mekanik atau perpindahan didalam ventrikel dari bahan – bahan khusus (jaringan /eksudat) atau ujung distal dari thrombosis sebagai akibat dari pertumbuhan. Obstruksi VP shunt sering menunjukan kegawatan dengan manifestasi klinis peningkatan TIK yang lebih sering diikuti dengan status neurologis buruk.

Komplikasi yang sering terjadi adalah infeksi VP shunt. Infeksi umumnya akibat dari infeksi pada saat pemasangan VP shunt. Infeksi itu meliputi septik, Endokarditis bacterial, infeksi luka, Nefritis shunt, meningitis, dan ventrikulitis. Komplikasi VP shunt yang serius lainnya adalah subdural hematoma yang di sebabkan oleh reduksi yang cepat

(31)

pada tekanan ntrakranial dan ukurannya. Komplikasi yang dapat terjadi adalah peritonitis abses abdominal, perforasi organ-organ abdomen oleh kateter atau trokar (pada saat pemasangan), fistula hernia, dan ilius.

2.2 Konsep Nyeri 2.2.1 Definisi Nyeri

Nyeri adalah fenomena kompleks yang paling sulit dipahami neonatus (Merestein & Gardner, 2002). Pendapat yang sama dikemukakan oleh Melzack dan Wall (1965, dalam Kenner & McGrath, 2004) bahwa nyeri merupakan fenomena multidimensi yang tergantung pada persepsi sensorik dan emosional individu. Rangkaian proses terjadinya nyeri diawali ketika nosiceptor yang terletak pada bagian perifer tubuh distimuli oleh berbagai stimulus. Impuls nyeri diteruskan melalui aferen utama menuju medula spinalis melalui dorsal horn. Hal ini didukung oleh Merestein dan Gardner (2002) yang menyatakan bahwa neurotransmiter dan reseptornya memperkuat signal di dorsal horn sebelum mengirim sinyal tersebut ke otak. Di bagian talamus dan korteks serebri individu dapat mempersepsikan, menggambarkan, melokalisasi, menginterpretasikan dan mulai berespon terhadap nyeri (Prasetyo, 2010).

Nyeri akut merupakan suatu perasaan yang tidak menyenangkan dan pengalaman emosional yang muncul akibat kerusakan yang aktual atau potensial atau digambarkan dalam kondisi akibat kerusakan (Asosiasi Internasional Bagi Peneliti Nyeri) yang tiba-tiba atau lambat dengan berbagai tingkatan baik sedang hingga tinggi dengan diantisipasi atau diprediksi serta waktunya kurang dari 6 bulan (NANDA, 2007).

(32)

2.2.2 Manajemen Nyeri

Anak memiliki pengalaman nyeri yang ditimbulkan oleh cedera akibat penyakit ataupun prosedur yang menyakitkan, pembedahan, tekanan, peregangan berlebihan atau berkurangnya suplai oksigen ke jaringan (Potts & Mandleco, 2007). Nyeri yang terus-menerus dalam jangka panjang akan berpotensial memiliki konsekuensi terhadap fisiologis, psikososial, dan perilaku (Goldschneider, 1998 dalam Hockenberry & Wilson, 2009). Oleh sebab itu, manajemen nyeri harus menjadi prioritas bagi perawat klinik.

Ada dua macam manajemen nyeri yaitu farmakologi dan nonfarmakologi:

1) Manajemen Farmakologi

Ada beberapa analgesik yang digunakan dalam manajemen farmakologi. Nonopioid mencakup asetaminofen (tylenol. Paracetamol) dan obat nonsteroid antiinflamatory (NSAIDs), sesuai untuk nyeri ringan sampai sedang. Opiod diperlukan untuk nyeri sedang sampai berat. Kombinasi dari aksi kedua analgesik ini pada sistem nyeri berada di dua tingkat: aksi utama nonopioid pada sistem perifer dan aksi utama opioid pada sistem saraf pusat. Pendekatan ini meningkatkan efek analgesik tanpa meningkatkan efek samping.

2) Manajemen Nonfarmakologi

Nyeri sering dihubungkan dengan ketakutan, kecemasan, dan stres. Sejumlah teknik nonfarmakologi, seperti distraksi, relaksasi, imajinasi terpimpin, dan stimulasi kulit, memberikan strategi koping yang membantu menurunkan persepsi nyeri, membuat nyeri lebih ditoleransi, menurunkan kecemasan, dan meningkatkan efektivitas analgesik atau menurunkan dosis yang dibutuhkan. Meskipun masih kurang penelitian mengenai efektivitas beberapa intervensi ini, namun strategi ini aman, noninvasif, tidak mahal, dan merupakan tindakan keperawatan mandiri (Hockenberry & Wilson, 2009).

(33)

2.2.3 Pengkajian Nyeri pada Neonatus

Rasa nyeri yang dirasakan neonatus saat dilakukan prosedur invasif disampaikan melalui tangisan. Menurut Santrock (2001) perkembangan bahasa pada masa bayi masih sangat sederhana, sehingga bayi masih sulit untuk mengkomunikasikan keinginannya. Oleh karena itu neonatus menggunakan tangisan sebagai mekanisme yang paling penting dalam berkomunikasi dengan dunia sekitar mereka. Menangis sehubungan dengan nyeri lebih sering dan lama. Ekspresi wajah adalah karakter paling konsisten dan spesifik. Kebanyakan bayi berespon dengan meningkatkan gerak tubuh, namun bayi mungkin saja mengalami nyeri meskipun ketika ia berbaring tenang dengan mata terpejam (Hockenberry & Wilson, 2009).

Tabel 2.1 Definisi Operasional Skala Nyeri Neonatus

Ekspresi wajah

0- Otot rileks Wajah tenang, ekspresi tenang

1- Menyeringai Otot wajah tegang; dagu, rahang, alis mengkerut (ekspresi wajah negatif: hidung, mulut, alis)

Menangis

0- Tidak menangis Tenang, tidak menangis

1- Merengek Mengerang pelan, sebentar-sebentar

2- Menangis keras Jeritan keras; meningkat, melengking terus-menerus (catatan: tangisan tanpa suara jika bayi intubasi seperti yang ditunjukkan oleh gerakan wajah dan mulut yang jelas)

Pola bernapas

0- Rileks Pola bernapas biasa pada bayi

1- Perubahan pola napas

Tersengguk-sengguk, tidak teratur, lebih cepat dari biasanya; tersumbat; menahan napas

Lengan

0- Rileks/tenang Otot tidak kaku, kadang-kadang ada pergerakan lengan acak

1- Tertekuk/lurus Menegang, lengan lurus, kaku dan atau ekstensi cepat, tertekuk

Kaki

0- Rileks/tenang Otot tidak kaku, kadang-kadang ada pergerakan kaki acak 1- Tertekuk/lurus Menegang, kaki lurus, kaku dan atau ekstensi cepat,

tertekuk

Keadaan terjaga

0- Tidur, terjaga Tenang, tidur dengan tenang atau terjaga

1- Rewel Terjaga, gelisah, meronta-ronta

(34)

Beberapa alat pengkajian nyeri telah dikembangkan untuk pengkajian nyeri pada neonatus. Salah satu alat pengkajian nyeri yang digunakan perawat adalah neonatal infant pain scale (NIPS) yang dikembangkan oleh Lawrence et al. pada tahun 1993. Terdapat enam parameter yang digunakan untuk mengevaluasi nyeri pada neonatus yaitu ekspresi wajah (facial expression), menangis (cry), pola bernafas (breathing patterns), lengan (arms), kaki (legs), dan keadaan terjaga (state of arousal). Rentang skor 0-1 dan 0-2, setelah dijumlahkan maka skor minimum adalah 0 dan skor maksimum adalah 7. Semakin tinggi skor menunjukkan semakin nyeri.

2.3 Non-Nutritive Sucking (NNS)

Non-nutritive sucking (NNS) merupakan salah satu terapi yang dapat diberikan untuk menurunkan nyeri secara nonfarmakologis. NNS diperkirakan menghasilkan analgesia melalui stimulasi orotactile dan mekanoreseptor ketika diberikan kepada bayi. Mekanisme yang mendasari kerja NNS adalah teori gate control dan efeknya akan berakhir ketika mekanisme menghisap berhenti (Gibbins & Stevens, 2001). Sebelumnya kita perlu mengetahui tentang definisi dan mekanisme NNS dalam menurunkan nyeri.

2.3.1 Definisi Non-Nutritive Sucking (NNS)

NNS adalah penyediaan dot atau puting susu nonlaktasi ke mulut bayi yang menyebabkan mekanisme pengisapan tanpa pemberian ASI atau formula gizi (Gibbins & Stevens, 2001; Kenner & McGarth, 2004). Dapat disimpulkan bahwa NNS adalah dot yang diberikan kepada neonatus tanpa pemberian nutrisi.

2.3.2 Mekanisme Non-Nutritive Sucking (NNS) dalam Menurunkan Nyeri

NNS diperkirakan menghasilkan angka analgesia pada bayi melalui stimulasi dari orotactile dan mekanoreseptor ketika dot atau puting nonlaktasi masuk ke dalam mulut bayi. Induksi analgesia orotactile pada NNS tidak muncul melalui jalur opioid; hal ini tidak terpengaruh

(35)

oleh pemberian naltrexone, dan kemanjurannya berakhir ketika mekanisme mengisap berhenti (Gibbins & Stevens, 2001).

Data yang tersedia terbatas untuk mendukung dasar mekanisme NNS sebagai intervensi penghilang rasa nyeri. Namun, kemungkinan mekanisme yang mendasari yaitu teori Gate Control (Gibbins & Stevens, 2001). Teori Gate Control dari Melzack dan Wall (1965) menyatakan bahwa impuls nyeri dapat diatur atau bahkan dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat. Mekanisme pertahanan dapat ditemukan di sel-sel gelatinosa substansia di dalam kornu dorsalis pada medulla spinalis, talamus, dan sistem limbik. (Clancy & McVivar, 1992 dalam Potter & Perry, 2005). Teori ini mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya menutup pertahanan tersebut merupakan dasar terapi menghilangkan nyeri.

Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut kontrol desenden dari otak mengatur proses pertahanan. Neuron delta A dan C melepaskan substansia P untuk mentransmisi impuls melalui mekanisme pertahanan. Selain itu, terdapat mekanoreseptor, neuron beta A yang lebih tebal, yang lebih cepat yang melepaskan neurotransmitter penghambat. Apabila masukan yang dominan berasal dari serabut delta A dan serabut C, maka akan membuka pertahanan tersebut dan neonatus akan mempersepsikan sensasi nyeri. Bahkan jika impuls nyeri dihantar ke otak, terdapat pusat korteks yang lebih tinggi di otak yang memodifikasi persepsi nyeri (Potter & Perry, 2005). NNS dapat mengurangi rasa nyeri dengan menghambat impuls nociceptive dari perifer sepanjang serabut asenden dan mengaktifkan taktil serabut aferen yang menstimulasi sistem desenden untuk menutup gerbang dan mengurangi nyeri (Gibbins & Stevens, 2001).

(36)

2.4 WOC (Web of Causation)

vvv

Diagnosa

Gangguan Mobilisasi Fisik b.d penururnan fungsi sensorik motorik

Kriteria hasil:

Tidak terjadinya dekubitus

Intervensi :

 Ubah Posisi anak secara teratur dan buat sedikit perubahan posisi .

 Pertahankan kesejajaran tubuh secara fungsional seperti bokong, kaki, tangan.

 Bantu klien untuk melakukan latihan rentang gerak

 Berikan perawatan kulit dengan cermat, berikan pelembab, ganti pakaian yang basah dan pertahankan linen klien tetap bersih dan bebas dari kerutan.

Spina Bifida (terbukanya sal. Saraf mulai di kepala hingga tulang belakang)

Syndrome Dandy-Walker (sal. CSF buntu, karena obstruksi dari perluasan ventrikel IV)

WEB OF CAUSATION HIDROSEFALUS Stenosis aquaduktus syvii (sex linked) Aneurisma arteri Trauma (perinatal/ tidak) Perdarahan Terbentuk oklusi/hematom Obstruksi sal. CSF Medula spinalis, medula oblongata,

serebelum, letaknya lebih rendah, menutupi foramen magnum

↑ gradient

tekanan cairan intraventrikel & Ventrikel otak membesar

Neoplasma

Massa di otak

Mendesak jaringan sekitar (obstruksi sal. CSF)

Ventrikel IV, III, & aquaductus sylvii tersumbat Trauma saat lahir/trauma pada anak-anak Infeksi Eksudat Menghambat vili-vili Reabsorbsi CSF ↓ Penumpukan CSF Membentu k fibrosis, karena penumpuk an eksudat purulen & koagulasi darah di ruang Ibu hamil makan daging mentah/tidak cuci tangan Infeksi terinfeksi Menular ke anak melalui plasenta Obstruksi pada vili-vili arachnoid Hidrosefalus

Menekan subkortikal & batang otak Kehilangan autoregulasi serebral Batang otak tertekan Subkortikal tertekan Muntah TTV kacau Suhu tubuh ↑ Menekan system saraf Penurunan fungsi neurologis

Refleksi pupil ↓ Fungsi sensorik motorik ↓ Nyeri kepala hebat

Gangguan rasa nyaman: nyeri

Gangguan cairan & elektrolit

Gangguan mobilitas fisik Risiko cedera Risiko cedera

Diagnosa

Resiko kekurangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan keluaran cairan yang berlebihan

Kriteria hasil:

Anak tidak menunjukkan gejala dehidrasi

Diagnosa

Resiko tinggi kerusakan integritas kulit dan kontur b.d immobilisasi

Kriteria hasil:

Anak tidak mengalami integritas kulit

Intervensi:

 mobilisasi anak (miring kanan dan miring kiri) setiap 2 jam

 observasi terhadap tanda-tanda kerusakan integritas kulit dan kontraktur

 jaga kebersihan dan kerapihan tempat tidur

Diagnosa:

Penurunan perfusi serebral b.d peningkatan TIK pada hidrocefalus

Kriteria hasil:

Anak akan mempertahankan fungsi otak dan tidak menunjukkan tanda-tanda peningkatan TIK

Intervensi:

Naikkan posisi kepala 30˚

Diagnosa:

Resiko kekurangan cairan dan elektrolit b.d intake yang kurang disertai muntah

Kriteria hasil:

Anak tidak menunjukkan tanda dehidrasi seperti BB yang stabil,

Diagnosa

Gangguan mobilitas fisik b.d peningkatan TIK

Kriteria hasil:

Memepertahankan kekuatan dan fungsi otot Mempertahankan integritas kulit

Intervensi :

Bantu anak untuk mangambil posisi yang sesuai Berikan latihan ROM pasif untuk bayi Ajarkan orang tua latihan rentang gerak Berikan perawatan kulit dengan cermat Pantau pola eliminasi anak, bantu agar anak dapat defekasi secara teratur

Periksa adanya daerah nyeri tekan, kemerahan, kulit hangat, dan otot yang tegang

Diagnosa

Gangguan Mobilisasi Fisik b.d penururnan fungsi sensorik motorik.

Kriteria hasil:

Tidak terjadinya dekubitus

Intervensi :

 Ubah Posisi anak secara teratur dan buat sedikit perubahan posisi .

 Pertahankan kesejajaran tubuh secara fungsional seperti bokong, kaki, tangan.

 Bantu klien untuk melakukan latihan rentang gerak

Gangguan rasa nyaman : Nyeri b.d peningkatan tekanan intracranial

Kriteria hasil:

 Rasa nyeri anak berkurang Intervensi:

 Jelaskan penyebab nyeri

 Atur posisi pasien

 Ajarkan pasien teknik relaksasi

 Kolaborasi dengan tim medis untuk pemberian analgesic

 Persiapan operasi

Diagnosa:

Resiko cidera b.d peningkatan TIK yang disebabkan penekanan pada sistem saraf.

Kriteria hasil:

Tidak terjadi cedera pada saat TIK meningkat

Intervensi:

Diagnosa:

Resiko tinggi perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penurunan nafsu makan akibat mual dan muntah karena TIK

Kriteria hasil:

Bayi/anak tidak muntah

↑ TIK Perfusi jaringan ↓ Kesadaran ↓ Tengkorak lebih tipis Mata “setting sun”

Berat kepala ↑ Kulit kepala lebih tipis &

Hipoksia

Letargi

Gangguan mobilitas fisik Risiko kerusakan integritas kulit

Penurunan perfusi serebral

Resiko kekurangan cairan & elektrolit

Resiko perubahan nutrisi Pada bayi: sutura &

fontanel belum menutup

(37)

BAB 3 ANALISA KASUS

3.1 Pengkajian Kasus

Klien bernama Anak L, usia 2 bulan, masuk melalui IGD dan dirawat di ruang bedah anak lantai III utara RSUP Fatmawati sejak tanggal 20 Mei 2013. Klien dibawa ke rumah sakit dengan alasan mengalami pembesaran kepala sejak lahir. Orangtua klien mengatakan, klien lahir di bidan secara normal. Pada saat lahir memang kepala klien terlihat agak besar, namun di bidan mengatakan klien normal. Tidak ada kejang. Saat masuk RS, berat badan klien 6,7 kg. Panjang badan 58 cm. Lingkar kepala klien 49,8 cm. Klien dirawat untuk pro operasi pemasangan VP shunt pada tanggal 23 Mei 2013. Operasi mundur dari rencana awal menjadi tanggal 24 Mei 2013. Setelah operasi, klien dirawat di ruang High Care Unit lantai III selatan untuk mendapat perawatan yang lebih intensif. Pada tanggal 27 Mei 2013, klien pindah lagi ke ruang III utara karena kondisi sudah stabil.

Pada saat pengkajian awal, kesadaran klien compos mentis dan keadaan umumnya sedang. Di kepalanya tampak balutan luka operasi. Selain itu di abdomen juga terdapat luka balutan. Tanda-tanda vital klien cukup stabil yaitu N: 110 x/menit, pernafasan 28 x/ menit, dan suhu 36,8oC.. Klien terlihat berbaring di tempat tidur. Klien terlihat sering menangis, terutama pada saat dilakukan prosedur invasif seperti pemasangan infus dan pengambilan sampel darah. Hasil dari pemeriksaan cairan otak secara makroskopi didapatkan hasil Tes Nonne (+) dan Tes Pandy (+), protein total 53 mg/d, glukosa 45 mg/dl, dan klorida 667 mg/dl. Sedangkan hasil pemeriksaan hematologi semuanya dalam batas normal.

Sejak lahir, klien pernah mengalami demam dan batuk pilek, tidak ada kejang dan mimisan. Klien sudah mendapat imunisasi BCG dan polio. Klien diberi ASI oleh ibu klien. Menurut orangtua klien, klien tidak ada masalah dalam pemberian ASI, klien minum cukup banyak. Selain ASI, klien juga diberikan

(38)

PASI yaitu bubur susu. Pola tidur klien yaitu 9 jam untuk tidur malam dan 2 jam saat siang. Klien BAB 2 kali sehari, BAK 6 kali sehari. Penilaian risiko jatuh dengan metode humpty dumpty, skor yang didapat adalah 13 yaitu risiko jatuh sedang. Penilaian risiko dekubitus dengan metode norton, skornya adalah 9 yaitu kategori sedang. Klien mendapatkan obat parenteral yaitu ceftriaxone 2x200 mg dan ketorolac 2x7,5 mg. Klien mendapat cairan IVFD yaitu KaEn IB 500ml dalam 24 jam. (Pengkajian lengkap terlampir).

3.2 Analisa Data

Dari hasil pengkajian yang telah dilakukan, lalu dilakukan analisa kasus dan didapatkan beberapa masalah keperawatan yang muncul. Klien memiliki risiko gangguan perfusi jaringan serebral. Hal ini tampak dari ukuran kepala klien yang melebihi ukuran kepala normal pada usianya. Tanda dan gejala yang tampak seperti sunset eyes juga menunjukkan tanda dan gejala hidrosefalus. Selain itu dari CT scan tampak dilatasi ventrikel dan hasil pemeriksaan cairan otak secara makroskopi didapatkan hasil Tes Nonne (+) dan Tes Pandy (+).

Masalah lain yang muncul adalah gangguan rasa nyaman: nyeri. Hal ini dikarenakan karena respons klien yang menunjukkan ketidaknyamanan seperti menangis. Terutama pada saat dilakukan prosedur invasif seperti pemasangan infus dan pengambilan sampel darah. Selain itu pada klien telah dilakukan operasi pemasangan VP shunt pada 24 Mei 2013, sehingga muncul masalah risiko infeksi pada luka operasi. Setelah operasi, klien terpasang perban luka pada dua tempat yaitu di kepala dan abdomen.

(39)

Tabel 3.1 Analisa Data

DATA KLIEN MASALAH KEPERAWATAN

Data Subjektif:

Ibu mengatakan anak rewel dan menangis.

Data Objektif:

 Anak tampak meringis dan sering menangis.

 Pengkajian nyeri neonatus 6 dari 7

 Terpasang balutan luka op di kepala dan abdomen.

'Gangguan rasa nyaman: nyeri

Data Subjektif: -

Data Objektif:

 Terpasang balutan luka op di kepala dan abdomen.

 Leukosit 10.000/uL

 Suhu: 36,8 o C

Risiko infeksi

Data Subjektif:

 Ibu mengatakan kepala anak membesar sejak lahir Data Objektif:

 Kepala tampak membesar, lingkar kepala 49,8 cm, terlihat ‘sunset eyes’ pada anak

 Hasil CT scan: Tampak dilatasi ventrikel

 Hasil pemeriksaan makroskopi cairan otak: tes Nonne (+), tes Pandy (+)

Risiko gangguan perfusi serebral

3.3 Diagnosa Keperawatan

Dari masalah yang muncul di atas, muncul beberapa diagnosa yang dapat diangkat. Dari diagnosa keperawatan yang diangkat, dapat dibuat prioritas diagnosa keperawatan yang akan diatasi, yaitu:

1) Gangguan rasa nyaman: nyeri berhubungan dengan luka post operasi 2) Risiko infeksi berhubungan dengan luka post operasi

3) Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan peningkatan TIK (tekanan intrakranial).

(40)

3.4 Intervensi Keperawatan

Diagnosa: Gangguan rasa nyaman: nyeri berhubungan dengan luka post operasi

Kriteria hasil:

1. Skala nyeri berkurang menjadi 3

2. Klien tampak tenang dan ekspresi wajah tidak menyeringai 3. Klien mampu berpartisipasi dalam aktifitas dan istirahat

Implementasi:

a. Mengkaji tingkat nyeri menurut skala pengkajian neonatus (0-7) b. Memberikan posisi nyaman pada klien

c. Memberikan terapi non-nutritive sucking d. Melibatkan orangtua dalam setiap tindakan

e. Melakukan kolaborasi pemberian ketorolac 2x7,5 mg

Diagnosa: Risiko infeksi berhubungan dengan luka post operasi Kriteria hasil:

1. Suhu dan tanda-tanda vital dalam batas normal (nadi: 60-120x/menit , suhu: 36,5-37,5oC, RR: 20-40x/menit)

2. Luka insisi operasi bersih, tidak ada pus

3. Tidak ada tanda-tanda infeksi pada luka post operasi (kemerahan, panas, dan bengkak)

4. Hasil lab: leukosit dalam batas normal (9.000-12.000/uL )

Implementasi:

a. Memonitor tanda-tanda vital.

b. Mengbservasi tanda infeksi: perubahan suhu, warna kulit, malas minum, irritability.

c. Mengubah posisi kepala setiap 3 jam untuk mencegah dekubitus

d. Mengobservasi tanda-tanda infeksi pada luka insisi yang terpasang shunt, melakukan perawatan luka pada shunt dan upayakan agar shunt tidak tertekan.

(41)

e. Melakukan kolaborasi pemberian ceftrixone 2x200 mg

Diagnosa: Risiko gangguan perfusi serebral berhubungan dengan peningkatan TIK (tekanan intrakranial)

Kriteria hasil:

1. Tidak terjadi peningkatan TIK (ditandai dengan nyeri kepala hebat, kejang, muntah, dan penurunan kesadaran)

2. Tanda-tanda vital dalam batas normal (nadi: 60-120x/menit , suhu: 36,5-37,5oC, RR: 20-40x/menit)

3. Klien akan mempertahankan atau meningkatkan kesadaran

Implementasi:

a. Mempertahankan tirah baring dengan posisi kepala datar dan pantau tanda vital

b. Memantau status neurologis

c. Memantau frekuensi/irama jantung dan denyut jantung

d. Memantau pernapasan, catat pola, irama pernapasan dan frekuensi pernapsan.

e. Meninggikan kepala tempat tidur sekitar 30 derajat sesuai indikasi. Menjaga kepala pasien tetap berada pada posisi netral.

f. Mengukur lingkar kepala setiap 1 minggu sekali, observasi fontanel dari cembung dan palpasi sutura kranial

3.5 Evaluasi Tindakan

a. Diagnosa: Gangguan rasa nyaman: nyeri berhubungan dengan luka post operasi

Evaluasi: Subjektif:

- Ibu mengatakan tangisan anak berkurang pada saat diberikan NNS Objektif:

(42)

- Anak tampak tenang, tidak menangis tetapi hanya merengek sesekali, pola bernapas lebih cepat dari biasanya, otot-otot pada ekstremitas tidak menegang (skala nyeri 2)

- Skala nyeri dari 6 menjadi 2 Analisa:

- Masalah teratasi sebagian Planning:

- Lakukan penilaian skala nyeri neonatus setiap prosedur invasif

- Berikan non-nutritive sucking (NNS) selama prosedur invasif dilakukan

b. Diagnosa: Risiko infeksi berhubungan dengan luka post operasi Evaluasi:

Subjektif: - Objektif:

- Suhu= 36,5oC

- Leukosit dalam batas normal - ruangan

- Tidak tampak tanda-tanda infeksi - Tidak ada pus pada luka operasi

- Ibu tampak selalu menggunakan hand rub yang ada di depan Analisa:

- Masalah infeksi tidak terjadi Planning:

- Pantau tanda-tanda vital - Pantau tanda-tanda infeksi

- Ganti balutan luka dengan prinsip steril - Kolaborasi pemberian antibiotik

c. Diagnosa: Risiko gangguan perfusi serebral berhubungan dengan peningkatan TIK (tekanan intrakranial)

(43)

Subjektif:

- Ibu mengatakan tidak ada demam dan muntah pada anak Objektif:

- Suhu: 36,5oC

- Tidak ada tanda-tanda peningkatan TIK seperti kejang dan muntah - Lingkar kepala 49 cm

Analisa:

- Gangguan perfusi serebral tidak terjadi Planning:

- Pantau tanda-tanda vital - Pantau adanya kejang - Pertahankan posisi kepala 30˚

(44)

BAB 4 PEMBAHASAN

4.1 Profil Lahan Praktik

Lantai III utara merupakan salah satu ruang perawatan anak umum dan bedah, yang terletak di gedung teratai RSUP Fatmawati. Lantai III Utara terdiri dari 12 kamar yang terbagi atas: 1 kamar bedah prima, 3 kamar kelas I, 2 kamar kelas II, 1 kamar khusus isolasi infeksi, 1 kamar khusus luka bakar, dan 4 kamar kelas III dengan kapasitas tempat tidur sebanyak 45 tempat tidur. Jumlah ketenagaan di ruangan ini berjumlah 23 orang perawat, yang terdiri dari 7 orang lulusan S1 keperawatan, 14 orang lulusan DIII keperawatan, 2 orang lulusan SPK, dan 2 orang pekarya lulusan SLTA. Ruang lantai III utara dikelola oleh seorang Kepala Ruangan yaitu Ibu Ns. Yuminah S.Kep., dibantu oleh Wakil Kepala Ruangan Ibu Fenty Sahara, AMK., dan dua orang PN yaitu PN 1 Ibu Yanti, AMK. dan PN 2 Bapak Ns. Dedi Lisman, S.Kep., serta 17 orang perawat pelaksana.

4.2 Analisis Masalah Keperawatan dengan Konsep Terkait KKMP dan Konsep Kasus Terkait

Hasil pengkajian didapatkan data bahwa klien menderita Hidrosefalus dengan tindakan operasi pemasangan VP shunt. Hidrosefalus merupaka kelainan kongenital yang belum diketahui penyebabnya secara pasti. Infeksi bakteri merupakan salah satu dari penyebab hidrosefalus. Pada saat janin masih berada di dalam perut ibu, infeksi mungkin dapat terjadi sehingga mengganggu perkembangan janin. Akibat infeksi dapat timbul perlekatan meningen sehingga secara patologis terlihat penebalan jaringan piamater dan arakhnoid di sekitar sistem basalis dan daerah lainnya. Dari hasil pemeriksaan cairan otak klien, didapatkan bahwa hasil tes Nonne dan tes Pandi positif. Dapat disimpulkan bahwa cairan otak klien positif meningitis. Meningitis merupakan inflamasi pada leptomeningeal dan ruang subaraknoid yang disebabkan oleh invasi bakteri, virus, agen kimiawi, maupun agen infeksius lain (Kumar, Cotran, & Robins, 1997).

(45)

Dari kasus An.L didapatkan data bahwa keluarga tergolong dalam kaum urban yang tinggal Bogor. Daerah ini termasuk daerah yang padat penduduk. Orangtua An.L masih tinggal bersama orangtuanya. Dengan usianya yang masih tergolong muda, Ibu A melahirkan An.L pada usia 17 tahun. Suaminya yang bekerja sebagai buruh dengan penghasilan kurang dari 2 juta sehingga keluarga termasuk dalam ekonomi menengah ke bawah. Ibu A yang lulusan SMP mengaku tidak mengetahui tentang penyebab penyakit anaknya. Ibu A juga tidak mengetahui tentang kebutuhan nutrisi selama kehamilan. Walaupun tidak diketahui secara pasti, nutrisi ibu selama kehamilan dan usia ibu yang masih muda dianggap turut berperan dalam perkembangan janin. Selain itu, keluarga tinggal di kota yang padat penduduk yang memungkinkan penularan infeksi meningococal meningitis. Kelainan kongenital yang dialami An.L mungkin juga disebabkan oleh hal-hal tersebut.

4.3 Analisis Salah Satu Intervensi dengan Konsep dan Penelitian Terkait

Pelaksanaan intervensi keperawatan kepada An.L dilakukan secara komprehensif, baik fisik maupun psikologis klien. Terkait masalah gangguan rasa nyaman nyeri yang dialami klien, maka salah satu intervensi yang dilakukan oleh penulis terkait aplikasi tesis yaitu penggunaan Non-nutritive sucking (NNS) ysng merupakan salah satu penanganan nonfarmakologi. Tesis yang penulis adaptasi berjudul “Efektivitas Pemberian Sukrosa dan Non-Nutritive Sucking Terhadap Respon Nyeri dan Lama Tangisan Neonatus Pada Prosedur Invasif di RSAL dr.Ramelan Surabaya” milik Kristiawati dari Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia Program Studi Magister Ilmu Keperawatan Kekhususan Keperawatan Anak Juli 2010.

Nyeri adalah fenomena kompleks yang paling sulit dipahami neonatus (Merestein & Gardner, 2002). Oleh sebab itu diperlukan penanganan terhadap nyeri pada neonatus. Penanganan nyeri dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu farmakologi dan nonfarmakologi yang diperlukan untuk mengatasi respon nyeri dari prosedur invasif yang diterima oleh bayi (American Academy of Pediatric, 2006). Non-nutritive sucking (NNS) juga termasuk

(46)

salah satu jenis penanganan nonfarmakologi yang dapat diberikan pada neonatus yang menerima prosedur invasif (AAP, 2006). NNS diperkirakan menghasilkan analgesia melalui stimulasi orotactile dan mekanoreseptor ketika diberikan kepada bayi. Mekanisme yang mendasari kerja NNS adalah teori gate control dan efeknya akan berakhir ketika mekanisme menghisap berhenti (Gibbins & Stevens, 2001).

Pada klien An.L, terapi ini dapat dilakukan karena usia An.L yang tergolong dalam neonatus sehingga pengkajian nyeri dapat dilihat dari respon nyeri dan lamanya tangisan neonatus. Rasa nyeri yang dirasakan neonatus saat dilakukan prosedur invasif disampaikan melalui tangisan. Menurut Santrock (2001) perkembangan bahasa pada masa bayi masih sangat sederhana, sehingga bayi masih sulit untuk mengkomunikasikan keinginannya. Oleh karena itu neonatus menggunakan tangisan sebagai mekanisme yang paling penting dalam berkomunikasi dengan dunia sekitar mereka. Menangis sehubungan dengan nyeri lebih sering dan lama. Ekspresi wajah adalah karakter paling konsisten dan spesifik. Kebanyakan bayi berespon dengan meningkatkan gerak tubuh, namun bayi mungkin saja mengalami nyeri meskipun ketika ia berbaring tenang dengan mata terpejam (Hockenberry & Wilson, 2009).

Evaluasi dari pemberian terapi ini dapat dilihat dari penilaian skala nyeri neonatus atau neonatal infant pain scale (NIPS) yang dilakukan pada klien An.L pada saat prosedur pemasangan infus. Dari penilaian skala nyeri didapatkan bahwa ekspresi wajah An.L tenang, tidak menangis tetapi hanya merengek sesekali, pola bernapas lebih cepat dari biasanya, dan otot-otot pada ekstremitas tidak menegang, dan keadaan tenang atau terjaga. Skor yang didapat adalah 2 dari skala maksimum 7. Hal ini membuktikan bahwa pemberian NNS pada neonatus terlihat efektif pada saat prosedur invasif yang menimbulkan nyeri.

Gambar

Tabel 2.1 Definisi Operasional Skala Nyeri Neonatus .....................................
Tabel 2.1 Definisi Operasional Skala Nyeri Neonatus
Tabel 3.1 Analisa Data

Referensi

Dokumen terkait

Di sisi lain dampak yang timbul cukup beragam, yaitu adanya berbagai konflik yang muncul dihipotesiskan sebagai akibat pemekaran wilayah yang berakibat

Pada ABC system, seluruh biaya tidak langsung akan dikumpulkan dalam beberapa pengelompokkan biaya (cost pool) sesuai dengan aktivitas masing-masing yang

 Guru membimbing siswa dalam berdiskusi dalam menanggapi berbagai peristiwa dalam kehidupan yang menggunakan aksara Sunda.  Guru membimbing siswa dalam menyalin

Sumber stres lain yang didapatkan dari penelitian ini yaitu bersumber dari keluarga Dari dimensi strategi koping problem focused coping untuk aspek koping

Nilai kalor yang diperoleh dari proses pembakaran tidak dapat diukur secara langsung; yang dapat diukur secara langsung pada proses pembakaran adalah suhu.. Untuk

Tugas pokok Dlreksi adalah melaksanakan seluruh kegiatan pengelolaan Perusda Taman satwa Taru Jurug Surakarta menurut kebijakan yang telah dltentukan oleh Walikota dan atau

Komisaris setiap waktu berhak memberhentikan untuk sementara seorang atau lebih anggota Direksi apabila anggota Direksi tersebut bertindak bertentangan dengan