• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN KELEMBAGAAN DAN REGULASI DALAM MENJAGA KEBERLANJUTAN OPERASI DAN PEMLIHARAAN IRIGASI SUBAK SEBAGAI WARISAN BUDAYA DUNIA DI BALI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERAN KELEMBAGAAN DAN REGULASI DALAM MENJAGA KEBERLANJUTAN OPERASI DAN PEMLIHARAAN IRIGASI SUBAK SEBAGAI WARISAN BUDAYA DUNIA DI BALI"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN KELEMBAGAAN DAN REGULASI DALAM MENJAGA KEBERLANJUTAN OPERASI DAN PEMLIHARAAN IRIGASI SUBAK

SEBAGAI WARISAN BUDAYA DUNIA DI BALI

I Nyoman Norken1,*, I Ketut Suputra2 dan I Gusti Ngurah Kerta Arsana3

1Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Udayana

2Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Udayana

3Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Udayana

*Jl. Pulau Serangan No. 41 A Sanglah Denpasar Bali, Corresponding Author, inorken@yahoo.co.uk

Abstrak

Subak di Bali diperkirakan telah ada sebelum abad ke IX dan hinga kini telah berhasil menjaga keberlangsungan pemanfaatan air untuk irigasi. Sebagai sistem irigasi tradisional, filosopi subak dalam melaksanakan berbagai kegiatan sangat erat dengan filosopi desa adat yaitu Tri Hita Karana, yang berarti tiga penyebab terciptanya keharmonisan. Filosopi Tri Hita Karana mencakup: terciptanya keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan/Pencipta disebut Parahyangan, hubungan manusia dengan alam sekitar disebut Palemahan dan hubungan manusia dengan manusia lainnya disebut Pawongan. Lanskap subak yang terhampar secara berteras dan sangat indah serta implementasi filosopi Tri Hita Karana yang telah dilaksanakan secara turun temurun telah berhasil memperoleh pengakuan Warisan Budaya Dunia dari UNESCO pada tahun 2012. Keberlangsungan subak tidak terlepas dari konsistensi peran kelembagaan dan regulasi pada sistem subak dalam mewujudkan terciptanya keharmonisan hubungan antara manusia dan manusia, serta mampu mengimplementasikan Tri Hita Karana secara keseluruhan dan berkelanjutan sejak dahulu kala hingga saat ini. Lembaga subak yang merupakan lembaga otonomi yang dibentuk berdasarkan kesepakatan para anggota (krama) subak telah berjalan dan berfungsi dengan baik dalam dalam melaksanakan pengelolaan irigasi dalam kurun waktu yang sangat lama.

Lembaga subak telah mampu mengatur dengan baik para anggota subak secara internal mulai dari subak yang kecil, subak gede (lebih dari satu subak yang meperoleh air dari satu sumber), bahkan dapat mengatur seluruh subak yang ada dalam satu daerah aliran sungai yang disebut subak agung. Besar kecilnya kepengurusan lembaga subak yang disebut prajuru sepenuhnya merupakan kesepakatan para anggota subak dan disesuaikan dengan besar kecilnya wilayah dan tanggung jawab dalam melaksanakan kegiatan. Keberhasilan mempertahankan subak juga didukung oleh adanya regulasi internal subak yang disebut awig-awig dan kesepakatan yang berupa aturan tambahan yang disebut perarem, serta keputusan rapat yang disebut paswara. Berbagai tugas dan kewajiban serta hak dari pengurus (prajuru) termasuk anggota (krama) subak diatur dalam awig-awig, perarem serta paswara.

Awig awig, perarem serta paswara dapat dalam bentuk tertulis maupun tidak tertulis, yang dilaksanakan dan ditaati secara bersama sama baik oleh pengurus maupun oleh para anggota

(2)

subak. Awig awig juga mengatur berbagai sangsi terhadap pelanggaran yang dilakukan baik oleh pengurus maupun oleh anggota subak, namun pada umumnya sangsi yang diberikan terhadap yang melanggar awig awig dapat diterima dan dilaksanakan secara tulus ikhlas.

Pengurus subak mengatur dan bertanggung jawab dalam melaksanakan seluruh aktivitas yang berkaitan aspek parahyangan, palemahan dan pawongan (Tri Hita Karana) sesuai dengan awig awig, perarem serta paswara. Walaupun lembaga dan regulasi subak sangat efektif dalam mengatur prajuru dan krama subak secara internal, namun berkaitan dengan koordinasi dengan pihak luar, seperti dengan pihak pemerintah, masih dirasakan belum optimal, hal ini diakibatkan oleh kebijakan serta regulasi pendukung dari unsur pemerintah belum sepenuhnya sejalan dan sesuai dengan kondisi serta permasalahan yang dihadapi oleh subak.

Kata-kata kunci: subak, tri hita karana, kelembagaan, regulasi, operasi dan pemeliharaan irigasi, Bali.

Pendahuluan

Subak merupakan sistem irigasi tradisional di Bali dan diperkirakan telah ada sebelum abad ke IX. Sebagai sistem irigasi tradisional, subak bercorak sosio agraris religius dengan dilandasi oleh filosopi Tri Hita Karana, yang merupakan filosopi desa adat yang ada di Bali.

Filosofi Tri Hita Karana mempunyai makna tiga penyebab terjadinya keharmonisan, yaitu terciptanya keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan (disebut Parahyangan), manusia dengan manusia lainnya (disebut Pawongan) serta manusia dengan alam sekitarnya (disebut Palemahan). Keindahan landskap irigasi subak yang terhampar luas dan berteras serta implementasi filosopi Tri Hita Karana dalam melaksanakan kegiatan pertanian dan pengelolaan air untuk irigasi, telah mendorong UNSCO untuk menganugrahi subak sebagai World Heritage Property Cultural Landscape of Bali Province: the Subak System as a Manifestation of the Tri Hita Karana Philosophy, pada tahun 2012 (Ukirsari, 2012).

Implementasi Tri Hita Karana dalam sistem subak meliputi: aspek parahyangan yang berkaitan dengan rangkaian upacara keagamaan (ritual) dalam satu masa tanam padi mulai dari mengalirkan air dari sungai ke saluran irigasi sampai menyimpan padi di tempat penyimpanan (lumbung). Aspek pawongan meliputi organisasi subak (disebut sekehe subak) dan regulasi yang disebut awig- awig beserta aturan tambahan yang disebut perarem dan paswara (keputusan rapat), serta aspek palemahan yang berkaitan dengan wilayah subak, jaringan irigasi serta tata cara pembagian air atau pengelolaan air. Walaupun subak merupakan irigasi tardisional, namun subak mempunyai organisasi dan regulasi atau peraturan yang sangat baik dan telah mampu menjaga eksistensi subak dalam waktu yang sangat lama, sejak mulai dibangun hingga saat ini. Makalah ini mencoba untuk memberi gambaran yang lebih komperehensif tentang keberadaan organisasi dan regulasi subak serta peranannya dalam melaksanakan operasional dan pemeliharaan serta melestarikan tradisi yang telah dilakukan secara turun temurun dan telah mendapat mengakuan sebagai warisan budaya dunia.

(3)

Subak dan Perkembangan Subak

1. Definisi Subak

Walaupun diperkirakan subak telah ada sejak lama, namun definisi tentang subak secara resmi dijelaskan pada Peraturan Daerah (Perda) Propinsi Bali No. 02/PD/DPRD/1972 tentang Irigasi Daerah Provinsi Bali, mendefinisikan bahwa subak adalah: “masyarakat hukum adat di Bali yang bersifat sosio agraris religius yang secara historis didirikan sejak dahulukala dan berkembang terus sebagai organisasi penguasa tanah dalam bidang pengaturan air dan lain-lain di dalam suatu daerah”. Selanjutnya Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Bali, Nomor 9 Tahun 2012, Tentang Subak mendefinisikan bahwa: “Subak adalah organisasi tradisional dibidang tata guna air dan atau tata tanaman di tingkat usaha tani pada masyarakat adat di Bali yang bersifat sosio-agraris, religius, ekonomis yang secara historis terus tumbuh dan berkembang”. Sementara berbagai peneliti subak juga memberikan definisi subak dengan berbagai sudut pandang masing-masing, seperti: Geertz (1967) dalam Pitana (1993) memberi batasan bahwa subak adalah areal persawahan yang mendapatkan air adri satu sumber. Selanjutnta Sutawan dkk (1986) dalam Pitana (1993) mejelaskan bahwa subak adalah organisasi petani lahan basah yang mendapatkan air irigasi dari suatu sumber bersama, memiliki satu atau lebih Pura Bedugul (pura/tempat persembahyangan dalam Agama Hindu untuk memuja Dewi Sri, manifestasi Tuhan sebagaai Dewi Kesuburan), serta mempunyai kebebasan dalam mengatur rumah tangganya sendiri maupun di dalam berhubungan dengan pihak luar. Grader (1979) dalam Griadhi, dkk (1993) menyatakan bahwa subak merupakan:

kumpulan sawah-sawah dari saluran yang sama atau dari cabang yang sama dari suatu saluran, mendapat air dan merupakan pengairan. Selanjutnya Sutha (1978) dalam Griadhi, dkk (1993), menguraikan bahwa persubakan adalah: organisasi kemasyarakatan yang disebut seka atau sekehe Subak adalah suatu kesatuan sosial yang teratur di mana para anggotanya merasa terikat satu sama lain karena adanya kepentingan bersama dalam hubungannya dengan pengairan untuk persawahan, mempunyai pimpinan (pengurus) yang dapat bertindak ke dalam dan ke luar serta mempunyai harta baik material maupun immaterial. Dengan demikian subak pada prinsipnya merupakan organisasi kemasyarakatan yang bersifat tradisional religius yang otonum yang dibentuk untuk mengatur air dari sumbernya untuk mengairi satu daerah persawahan. Namun belakangan, organisasi subak juga dibentuk untuk mengatur organisasi pertanian bukan persawahan (perkebunan) yang dikenal dengan nama

“subak abian” yang mengelola lahan perkebunan (Norken, dkk, 2016).

2. Perkembangan Subak

Beberapa informasi tentang keberadaan subak antara lain: prasasti Sukawana A.I, tahun 882 Masehi (abad ke IX), yang telah menyebut kata “huma” yang berarti sawah, sementara pada prasasti Bebetin AI tahun 986 Masehi (abad ke X) yang menyebutkan “undagi pangarung”

yang bearti tukang membuat terowongan air atau dalam bahasa Bali disebut aungan, selanjutnya dijelaskan pula dari prasasti Pandak Badung tahun 1071 dan Klungkung tahun 1072 (abad ke XI), tulisan tentang “kasuwakan” yang dalam kasanah bahasa Bali dapat berubah menjadi “kasubakan” yang artinya organisai subak, atau suatu daerah irigasi (Purwita, 1993). Selanjutnya diuraikan bahwa, jumlah subak dalam perkembangannya juga terus bertambah, tercatat tahun 1971 ada 1193 subak, tahun 1991 sebanyak 1331 subak dengan luas, dalam periode 1997-2008 telah terjadi konversi lahan sawah seluas 6.361 ha, atau rata-rata per tahun seluas 579 ha/tahun dengan luas subak yang masih tersisa sebesar 82.095 ha yang dimasa lalu luas subak mencapai lebih dari 100.000 ha, sementara menurut Bali Membangun (2013) mencatat bahwa pada tahun 2009 ada sebanyak 1546 dan pada tahun 2013 terdapat 1599 subak. Laju penurunan luas lahan subak akibat alih fungsi lahan

(4)

dari lahan persawahan menjadi lahan bukan untuk persawahan, antara lain untuk permukiman, perdagangan dan lain sebagainya, kelihatannya akan terus berlanjut, pada dekade terakhir alih fungsi lahan sawah mencapai luas sekitar 1000 ha setiap tahun (Finlayson dan Paramita, 2013).

Organisasi Subak

1. Organisasi dan Struktur Organisasi

Setiap subak yang ada di Bali pada umumnya mempunyai nama subak, organisasi dan struktur organisasi, walaupun struktur organisasinya kadang-kadang sangat sederhana tetapi cukup efektif dalam mengatur kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh para petani anggota subak yang disebut krama subak dan pengurus subak disebut prajuru subak. Pitana (1993) menguraikan, untuk subak yang kecil hanya dipimpin oleh seorang ketua yang disebut kelihan subak atau pekaseh. Sedangkan untuk subak lebih besar maka prajuru terdiri dari:

Pekaseh (ketua), Petajuh (wakil ketua), Penyarikan atau Juru Tulis (sekretaris), Patengen atau Juru Raksa (Bendahara), Kasinoman atau Juru Arah (penyalur informasi) dan Saya/Bhaga /Penyade (pembantu khusus atau kelompok kerja yang berkaitan dengan berbagai jenis kegiatan). Untuk subak besar atau beberapa subak yang mempunyai sumber air yang sama (satu sumber air) disebut subak gede, dan dipimpin oleh pekaseh gede dan wakil pekaseh gede. Pada tahun 1980an mulai dibentuk organisasi subak yang mencakup satu daerah aliran sungai disebut Subak Agung dan dipimpin oleh Pekaseh Subak Agung. Subak juga dapat dibagi-bagi lagi dengan bagian-bagian yang lebih kecil yang disebut tempek dan dipimpin oleh kelihan tempek, kelihan tempek berada dibawah pekaseh. Belakangan ada perkembangan bahwa pengurus (prajuru) subak dilengkapi dengan kelompok kerja yang disebut penyade atau bhaga yang membidangi aspek parahyangan, pawongan dan palemahan, atau disesuaikan dengan kebutuhan masing masing subak. Berkaitan dengan pemilihan prajuru baik itu pekaseh maupun prajuru lainnya, pda umumnya dipilih secara musyawarah mufakat atau aklamasi (disebut suryak siu) dan biasanya berasal dari anggota (krama) subak sendiri. Dimasa lalu pemilihan sering juga dilakukan atas dasar garis keturunan, dimana anak seorang pekaseh langsung menggantikan orang tuanya sesuai dengan kebiasaan yang di anut secara turun menurun, disamping itu kriteria utama dari pekaseh yang akan dipilih oleh anggota subak adalah: kejujuran, dedikasi loyalitas terhadap subak yang ditujukkan oleh sikap dan prilaku selama memjadi krama subak, serta mempunyai jiwa pengabdian yang tanpa pamrih. Sementara masa jabatan prajuru subak sering dilakukan dalam waktu yang lama yang disebabkan oleh kepercayaan para anggota (krama) subak terhadap kinerja pekaseh yang yang dianggap tulus ikhlas dan tanpa pamrih (yang sering disebut dengan prinsip ngayah). Belakangan ini berkembang masa jabatan prajuru subak dibatasi selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali dan juga berkembang pemilihan dengan cara voting dan dengan kriteria sedikit ada perubahan, seperti: pernah sebagai prajuru, jujur dan bertanggung jawab serta berpendidikan yang cukup. Organisasi subak merupakan organisasi yang otonum dalam artian berbagai hal yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat intern subak dilakukan melalui kesepakatan bersama diantara para anggota (krama) subak dengan pengurus (prajuru). Sehingga tidak mengherankan bahwa setiap subak mempunyai kebiasaan tersendiri (disebut dresta) yang belum tentu sama dengan kebiasaan subak lainya dalam melaksanakan berbagai kegiatan. Sementara untuk anggota (krama) subak umumnya dibagi menjadi 3 (tiga) kelompok, antara lain: a) krama pengayah yaitu krama atau anggota subak yang mempunyai sawah dan bekerja sebagai petani, b) krama pangoot/pengampel yaitu krama subak yang mewakili pemilik sawah sebagai petani yang

(5)

disebabkan oleh pemilik sawah tidak mampu bekerja sebagai petani di sawah, serta c) krama leluputan yaitu anggota yang diperkenankan/dibolehkan tidak melaksanakan kewajiban dikarenakan sudah diberikan tugas khusus, misalnya sebagai bendesa adat (ketua adat).

Struktur organisasi secara umum dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Struktur Organisasi Subak (Sushila 1987).

2. Kewajiban dan hak dari pengurus dan anggota 1) Kewajiban pengurus dan anggota

Pengurus maupun anggota subak mempunyai tugas dan kewajiban masing-masing dalam melaksanakan berbagai kegiatan. Pengurus (prajuru) maupun anggota (krama) subak mempunyai kewajiban sesuai dengan kedudukkannya, yang dapat di uraikan sebagai berikut: kewajiban pengurus subak (prajuru) antara lain: a) melaksanakan, memastikan serta menuntun anggota subak dalam melaksanakan peraturan (awig awig), kesepakatan

Rapat Anggota Subak (Paruman Krama)

Pekaseh/Kelihan Subak (Ketua Subak)

Pangliman/Petajuh (Wakil Ketua)

Penyarikan/Juru Surat (Sekretaris)

Petengan/Juru Raksa (Bendahara)

Kesinoman/Juru Arah (Pembantu Umum) Pesayahan/Penyade/Bagha

(Kelompok Kerja)

1. Bidang Parahyangan 2. Bidang Pawongan 3. Bidang Palemahan.

Kelihan Tempek (Ketua Kelompok)

Kelihan Tempek (Ketua Kelompok)

Kelihan Tempek (Ketua Kelompok)

Krama Subak

(Anggota Subak yang Berkelompok dalam Tempek) Kekuasaan tertinggi

Prajuru /Pimpinan

Pembantu Pimpinan

Pelaksana

(6)

(aturan tambahan atau perarem) serta hasil keputusan rapat yang disebut paswara, termasuk memimpin rapat yang disebut paruman atau sangkepan. b) menuntun serta menyaksikan tatacara serta upacara (ritual yang disebut pengaci) untuk menjaga kesucian dalam subak, c) sebagai wakil dari dari subak berkaitan dengan hubungan dengan pihak luar. Sementara anggota (krama) subak mempunyai kewajiban antara lain, a) mentaati dan melaksanakan semua aturan yang ada (awig awig, perarem dan paswara), b) menghadiri dan ikut dalam pengambilan keputusan dalam rapat anggota, c) bersedia menjadi pengurus sesuai dengan kesepakatan (perarem atau paswara). Selain itu anggota subak mempunyai tugas yang harus dilaksanakan, antara lain: a) menjaga keutuhan subak agar berhasil sesuai dengan harapan, b) melaksanakan pembangunan dan upacara pada subak, dan c) melaksanakan kewajiban lain, seperti: membayar pajak, urunan (yang dimasa lalu juga disebut sarin tahun), melaksanakan usaha tani, ketertiban dalam pembagian air dan usaha tani, wajib melapor apabila menjual sawah. Kewajiban pengurus dan anggota subak juga disesuaikan dengan kondisi dan kebiasaan (dresta) dari subak masing-masing, sehingga antara satu subak dengan subak yang lain tidak sesalu sama, hal ini karena sistem subak merupakan lembaga yang otonomi dan independen dalam mengatur dirinya ke dalam. Kewajiban pengurus dan anggota subak pada umumnya dituangkan ke dalam peraturan (awig-awig) subak, apabila ada perubahan atau tambahan kewajiban yang dibebankan baik kepada pengurus maupun anggota subak dituangkan ke dalam aturan tambahan atau disebut perarem atau keputusan rapat yang disebut paswara (Norken, dkk 2016).

2) Hak pengurus dan anggota

Pengurus maupun anggota subak mempunyai hak sesuai dengan kedudukan maupun peran masing masing. Hak pengurus umumnya tidak di atur secara jelas dalam awig awig, namun diatur dalam perarem atau aturan tambahan. Pengurus subak mempunyai hak antara lain: a) memperoleh insentif yang diperoleh dari iuran para anggota yang besarnya dan porsinya disesuaikan dengan kedudukan dengan menggunakan satuan/unit, sebagai contoh: pekaseh 1000, wakil/petajuh 600, sekretaris/juru tulis 600, bendahara/juru raksa 600, kelihan tempek 400 dan seterusnya, b) dibebaskan dari iuran (urunan) dan bentuk pungutan lainya. Insentif yang diperoleh oleh prajuru subak berasal dari urunan (disebut sarin tahun yang berupa seikat padi dan sekarang berupa uang yang disesuaikan dengan luas kepemilikkan sawah, sekitar Rp. 50.000,-/kecoran yaitu satuan banyak air yang diperoleh atau setara dengan 0.4 ha). Besar insentif yang menjadi hak prajuru adalah sisa jumlah seluruh urunan dikurangi dengan biaya pelaksanaan ritual (parahyangan) selama satu masa tanam (umumnya setiap 6 bulan), kemudian dibagi sesuai dengan porsinya.

Walaupun pengurus subak mendapatkan insentif, yang besarnya pada umumnya sangat kecil (berkisar Rp. 300.000,- uang saat ini setiap 6 bulan), namun pengurus subak selalu melaksanakan kewajiban secara tulus tanpa pamrih dengan prinsip ngayah. Sementara hak dari anggota subak antara lain: a) mendapat bagian air secara adil, b) memilih dan dipilih sebagai pengurus subak, c) mengeluarkan pendapat dan usulan, d) minta ijin tidak ikut kegiatan atau melakukan kegiatan dengan cara diwakili atau ijin, e) melaporkan pelanggaran, f) mendapat bagian dari kekayaan, dan g) mendapat pelayanan dan perlakuan yang baik (Norken, dkk 2016).

Dalam melaksanakan kewajiban maupun perolehan hak, baik pengurus maupun anggota subak umumnya melaksanakan prinsip kebersamaan dengan moto: sagilik-saguluk salunglung-sabayantaka (bersatu padu dan saling menghormati atau gotong royong), dengan prinsip tersebut intensitas konflik pada umunya sangat kecil, walaupun kadang terjadi konflik umumnya segera dapat diatasi oleh pengurus subak atau oleh pembina subak.

(7)

3. Pembina subak

Selain subak mempunyai kepengurusan kedalam yang sangat otonum dan independen, namun subak juga mempunyai pembina dari unsur diluar pengurus subak. Dimasa silam pembina subak yang sangat disegani adalah Sedahan dan Sedahan Agung. Sedahan/Sedahan Yeh/Pengelurah adalah Petugas Pemerintah Daerah Kabupaten yang mengatur dan mengawasi air irigasi untuk Subak-Subak di wilayahnya, sedangkan Sedahan Agung adalah Petugas Pemerintah Daerah Kabupaten yang mengatur dan mengawasi tertib pengairan di dalam kabupaten dan merupakan penasehat serta pelaksana dari Pemerintah Kabupaten di dalam bidang irigasi. Sejak dicanangkannya Pemerintahan Otonomi Daerah di Tingkat Kabupaten pada tahun 2000an wewenang pemerintah kabupaten menjadi sedemikan besar dalam menentukan Satuan Kerja Perangkat Daerah, hal ini membawa dampak yang sangat besar terhadap keberadaan Sedahan dan Sedahan Agung dan bermuara kepada ketidak jelasan keberadaannya sebagai aparat pemerintah pembina subak. Saat ini hanya Kabupaten Tabanan yang masih memfungsikan Sedahan dan Sedahan Agung (Norken dkk, 2010). Selain itu subak juga dibina oleh Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten/Kota yang dalam hal ini dilakukan oleh Sub Dinas Pengairan berkaitan dengan pembangunan atau pemeliharaan bangunan- bangunan irigasi. Sedangkan untuk hal-hal yang berkaitan dengan pertanian dibina oleh Dinas Pertanian, sementara yang berkaitan dengan masalah adat-istiadat dibina oleh Dinas Kebudayaan, kondisi seperti ini berlangsung hingga saat ini. Belakangan ini muncul berbagai institusi yang wadah organisasi subak, seperti: sabhantara pekaseh, forum subak, majelis subak atau nama sejenisnya yang pada dasarnya adalah merupakan forum organisasi/perkumpulan subak yang bertujuan dan berfungsi sebagai media konsultatif dan koordinatif antara subak dan pembina subak serta pemerintah. Walaupun saat ini pembinaan telah dilakukan oleh berbagai instansi, namun dalam pelaksanaannya sering terjadi kesimpang siuran akibat masih lemahnya koordinasi antar instansi, baik dari berbagai tingkatan dalam pemerintahan maupun koordinasi antar subak sendiri. Dimasa lalu, keberadaan Sedahan maupun Sedahan Agung merupakan pembina subak yang mampu mengkoordinasikan berbagai instansi baik unsur pemerintah maupun antar subak, sehingga berbagai permasalahan dapat segera diselesaikan melalui koordinasi Sedahan dan Sedahan Agung. Saat ini nama dan fungsi Sedahan dan Sedahan Agung hanya masih di Kabupaten Tabanan, sementara didaerah lain sudah tidak jelas lagi sebagai pembina subak (Norken dkk, 2010).

4. Peran organisasi dalam pelestarian subak

Walaupun sistem subak telah berumur ribuan tahun, hingga saat ini masih tetap bisa bertahan, meskipun sejak pesatnya arus urbanisasi dan perkembangan pariwisana di Bali, tantangan dalam mempertahankan subak sangatlah berat. Berbagai tantangan meliputi: alih fungsi lahan, rendahnya kepemilikan lahan dan pendapatan bertani, minat pemuda disektor pertanian lahan basah sangat rendah, risiko gagal panen tinggi akibat hama, menurunnya kuantitas dan kualitas sumberdaya air, dan sebagainya. Namun demikian dengan kegigihan para pengurus (prajuru) subak dalam mempertahankan tradisi yang dilaksanakan selama bertahun tahun, yang dilandasi dengan prinsip ngayah (bekerja tanpa pamrih), subak masih mampu dipertahankan. Peran yang paling menonjol dalam mempertahankan subak adalah pengurus (prajuru) subak, terutama para pekaseh, dalam melaksanakan praktek Tri Hita Karana secara nyata dan konsisten, sesuai dengan warisan yang diturunkan oleh para pedahulunya berdasarkan tradiasi dan tetap dilaksanakan secara berkesinambungan. Prinsip ngayah (bekerja dengan tulus ikhlas tanpa mengharapkan imbalan/pamrih) sebagai spirit yang dianut oleh para pekaseh, telah memberikan landasan pengabdian yang kuat untuk melaksanakan tugas tugas yang berkaitan persubakkan (Norken dkk, 2016). Ketulusan pengabdian dari para

(8)

pekaseh telah membuat dan mampu membangkitkan rasa simpati dan respek dari para anggota (krama) subak, serta mengikuti dan mentaati segala kebijakan pekaseh yang telah disepakati dan disetujui bersama. Dimasa silam, bimbingan dan arahan dari Sedahan dan Sedahan Agung sebagai pembina dalam menyelesaikan berbagai persoalan telah menjadikan subak sebagai lembaga tradisi yang sangat percaya diri dalam melaksanakan tradisi pengelolaan kegiatan berkaitan dengan irigasi di Bali. Berkenaan dengan tidak jelasnya fungsi serta keberadaan Sedahan dan Sedahan Agung saat ini (kecuali di Kabupaten Tabanan), sementara niat pemerintah untuk melestarikan sistem subak cukup tinggi, perlu kiranya nama, fungsi dan keberadaan Sedahan dan Sedahan Agung sebagai institusi yang mempunyai fungsi koordinasi antara para pekaseh dengan pemerintah perlu mulai dihidupkan kembali, sehingga koordinasi dalam memperkuat lembaga subak dapat berjalan dengan efektif dalam upaya melestarikan subak dimasa yang akan datang sebagai warisan budaya dunia.

(9)

Regulasi Subak

1. Peraturan (Awig Awig)

Awig-awig merupakan peraturan yang mengatur subak secara internal. Awig-awig mengatur berbagai kegiatan, organisasi, hak dan kewajiban pengurus dan para anggota (krama) subak tersebut. Awig-awig dapat diperluas dan ditambahkan dengan aturan tambahan yang disebut perarem atau paswara (keputusan rapat). Perarem atau paswara biasanya dilakukan untuk beradaptasi dengan perubahan yang terjadi untuk memenuhi tuntutan para petani sebagai anggota subak. Awig-awig merupakan aturan yang mengatur implementasi dari filosopi Tri Hita Karana dalam pelaksanaan kegiatan usaha tani pada lahan persawahan. Sebagai sebuah peraturan, awig- awig secara umum terdiri dari Bab disebut Sarga dan Bagian disebut Palet, serta Pasal disebut Pawos. Cakupan Awig-Awig dari Subak meliputi: nama dan tempat, prinsip-prinsip dasar, aturan keanggotaan, aturan aspek keagamaan, aturan aspek irigasi (persubakan), pengaturan denda, perubahan awig-awig dan bab penutup. Awig- awig biasanya dijelaskan dan ditulis dalam bahasa dan huruf Bali, meskipun belakangan ada evolusi awig- awig ditulis dalam huruf Bali dan huruf Latin dan disahkan oleh Unsur Pemerintah sebagai Pembina Subak di tingkat Pemerintah kabupaten/Kota. Awig-awig dapat ditambah dengan aturan tambahan yang disebut perarem dan keputusan rapat yang disebut paswara, yang merupakan aturan tambahan dalam menyesuaikan dengan kondisi dan situasi yang berkembang. Perarem atau paswara dapat berupa berbagai usulan baru yang disepakati dalam rapat (paruman atau juga disebut sangkepan) subak yang kemudian dijadikan aturan tambahan sebagai tambahan dari awig- awig yang sudah ada. Awig-awig setiap subak umumnya tidak sama satu dengan lainnya karena awig-awig pada dasarnya dibuat berdasarkan kesepakatan yang berbasis pada kebersamaan dan keadilan dalam memikul hak dan kewajiban dengan prinsip yang disebut: sagilik-saguluk salunglung sabayantaka (bersatu padu dan saling menghargai yang dalam bahasa Indonesia juga disebut gotong royong).

Tidak semua awig-awig subak dibuat secara tertulis dan disahkan oleh pihak berwenang, sebagian subak mencatat awig-awig secara sederhana atau bahkan tidak tertulis. Dimasa silam awig- awig subak bahkan tidak tertulis dan hanya merupakan kebiasaan yang disebut dresta namun demikian awig-awig subak selalu dihormati dan diikuti seta ditaati oleh para anggota serta pengurus subak (Norken dkk, 2016).

2. Peran regulasi dalam pelestarian subak

Awig-awig yang pada awalnya hanya merupakan merupakan kesepakatan bersama para anggota subak melalui rapat (paruman atau sangkepan), kemudian menjadi kebiasaan (dresta) dan budaya yang dilandasi oleh kepercayaan yang berbasis pada Agama Hindu di Bali, serta diwariskan dari generasi ke generasi dalam dalam setiap melaksanakan kegiatan usaha tani persawahan. Kesadaran dalam menjaga keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan (Parahyangan) yang menjadi roh (spirit) dalam awig-awig subak, serta telah menjadi pendorong bagi subak untuk terus melaksanakan berbagai kegiatan secara tulus ikhlas dari dahulu kala hingga saat ini. Kepatuhan dan kesadaran para pengurus (prajuru) dan anggota (krama) subak dalam melaksanakan kegiatan sesuai dengan awig-awig yang terlah mereka sepakati menjadi bagian yang sangat penting dalam mempertahankan keberadaan subak hingga saat ini. Pada jaman yang telah tergolong sangat modern seperti sekarang ini, dengan berbagai keterbatasan yang dimiliki, subak masih tetap secara konsisten melaksanakan berbagai kegiatan, sehingga subak masih mampu dilestarikan hingga saat ini.

Tantangan yang paling berat yang dihadapi oleh subak berkaitan dengan regulasi adalah belum konsistennya peraturan dari unsur eksternal yang mampu mendukung pelestarian

(10)

keberadaan subak, seperti: peraturan daerah maupun parturan perundangan dari pemerintah pusat. Sebagai contoh: Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2012 tentang Subak pengganti Peraturan Daerah Provinsi Bali No.02/PD/DPRD/1972 tentang Irigasi Daerah Provinsi Bali belum terlihat memperkuat keberadaan subak, sementara ditingkat nasional lembaga subak juga mendapat pengakuan melalui Peraturan Pemerintah (PP) 20 tahun 2006 tentang Irigasi, namun PP tersebut sudah tidak berlaku dan belum mempunyai pengganti seiring dengan dicabutnya Undang Undang No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.

Dimasa yang akan datang dukungan peraturan perundangan dari unsur pemerintah sangat diperlukan dalam upaya melestarikan subak yang telah diakui sebagai Warisan Budaya Dunia (Norken, 2016).

Kesimpulan

Dari uraian di atas ada beberapa kesimpulan yang dapat disampaikan, antara lain:

1) Subak merupakan sistem irigasi tradisional di Bali, dibangun sejak abad ke IX dilandasi oleh filosopi Tri Hita Karana dan diakui sebagai Warisan Budaya Dunia dari UNESCO.

2) Subak pada prinsipnya merupakan organisasi kemasyarakatan yang bersifat tradisional religius yang otonum yang dibentuk untuk mengatur air dari sumbernya untuk mengairi satu daerah persawahan.

3) Setiap subak baik dari subak yang kecil hingga yang besar mempunyai organisasi yang disesuaikan dengan kebutuhan, dipimpin oleh ketua (pekaseh) yang dipilih dengan prinsip musyawarah dan sangat efektif dalam mengatur berbagai kegiatan hingga saat ini.

4) Setiap subak mempunyai peraturan internal yang disebut awig-awig baik tertulismaupun tidak, yang dilaksanakan secara turun temurun, dihormati dan dipatuhi secara tulus ikhlas oleh pengurus (prajuru) dan anggota (krama) subak.

5) Peran organisasi dan awig-awig subak sangat besar dalam mempertahankan dan melestarikan keberadaan subak hingga saat ini, walaupun berbagai tantangan yang sangat berat yang harus dipikul oleh prajuru dan krama, baik internal maupun external subak.

Ucapan Terimakasih

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang setulus-tulusnya kepada rekan rekan pada Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Udayana, serta pengurus dan anggota Indonesion Commission on Irrigation and Drainage (INACID) Cabang Bali yang telah memberikan masukan dan dorongan sehingga makalah ini dapat diselesaikan sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan.

Daftar Pustaka

Anonim. 1972. Perda Provinsi Bali No. 02/PD/DPRD/1972 tentang Irigasi Daerah Provinsi Bali.

Anonim. 2012. Perda Provinsi Bali No. 9 tahun 2012 tentang Subak.

Anonim. 2013. Data Bali Membangun. Bappeda, Pemerintah Provinsi Bali

(11)

Anonim. 2016. Awig-awig Subak Jatiluwih, Pasedahan Yeh Ho,Desa Jatiluwih, Kecamatan Tabanan, Bali.

Artiya, IBM. 2011. Awig-Awig Subak Pulagan, Desa Tampakiring, Kecamatan Tampaksiring, Gianyar, Bali .

Artiya, IBM. 2011. Pararem Penyacah Awig Subak Pulagan, Desa Tampakiring, Kecamatan Tampaksiring, Gianyar, Bali .

Finlayson R., dan Enggar P. 2013. Subak, Sistem Irigasi Khas Bali, Berada di Ambang Kehancuran (http://worldagroforestry.org/newsroom/press-releases/subak-sistem-irigasi- khas-bali-berada-di-ambang-kehancuran).

Griadhi IKW., Sirtha I N., Suasthawa IM. 1993. Subak dalam Perspektif Hukum, dalam: I Gde Pitana (Editor), Subak Sistem Irigasi Tradisional Bali, Penerbit, Upada Sastra, Denpasar.

Norken IN.,Suputra IK, dan Kerta Arsana IGN. 2015. Aktivitas Aspek Tradisional Religius Pada Irigasi Subak:Studi Kasus Pada Subak Piling, Desa Biaung, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, Laporan Penelitian, Program Magister Teknik Sipil, Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar.

Norken IN.,Suputra IK, and Kerta Arsana IGN. 2015. Water Resources Management of Subak Irrigation System in Bali, Jurnal Applied Mechanics and Materials Vol 776 pp 139- 144, Trans Tech Publications, Switzerland.

Norken IN., Suputra IK, dan Kerta Arsana IGN., Sari SNI. 2016. Implementasi Tri Hita Karana Pada Subak Sebagai Warisan Budaya Dunia (Studi Kasus Pada Subak Pulagan Di Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar) Laporan Penelitian, Program Magister Teknik Sipil, Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar.

Pitana, IG. 1993. Subak, Sistem Irigasi Tradisional Bali (Sebuah Deskripsi Umum), dalam: I Gde Pitana (Editor), Subak Sistem Irigasi Tradisional Bali, Penerbit, Upada Sastra, Denpasar.

Purwita IBP. 1993. Kajian Sejarah Subak di Bali, dalam: I Gde Pitana (Editor), Subak Sistem Irigasi Tradisional Bali, Penerbit, Upada Sastra, Denpasar.

Sushila, J. 1987. Ciri-Ciri Khas Dari Subak Sistem Irigasi di Bali, Sub Dinas Pengairan, Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Daerah Tingkat I Bali, Denpasar.

Ukirsari M. 2012. Plakat UNESCO, Pengakuan Subak sebagai Warisan Dunia 2012 (http://nationalgeographic.co.id/berita/2012/09/plakat-unesco-pengakuan-subak-sebagai- warisan-dunia-2012).

Gambar

Gambar 1.  Struktur Organisasi Subak (Sushila 1987).

Referensi

Dokumen terkait

Pada lelang Surat Berharga Negara (SBN) yang berlangsung pada 1 September total penawaran yang masuk pada lelang SBSN kali ini mencatat oversubscribed 4,79 kali atau setara

cerita dalam animasi pendek ini diharapkan akan membuat anak – anak merasa terwakilkan, karena tokoh ini adalah asli buatan lokal.. Pada praktisnya animasi pendek ini

Demikianlah pelaksanaan program pemberantasan buta aksara Al-Qur’an pada Suku Anak Dalam (SAD) di Desa Dwi Karya Bhakti khususnya Kampung Sungai Kelukup walaupun

(2) gerak menerima, gerak menerima ini dilakukan oleh tuan rumah pada saat menyambut tamu yang hadir didepan pintu rumah, gerakan tangan didepan dada seperti menarik

berbunga jantan dan umur berbunga betina menunjukkan bahwa perlakuan beberapa dosis trichokompos memberikan pengaruh yang tidak nyata terhadap umur berbunga jantan dan

Pemberian pupuk anorganik dengan persentase 100% dan 75% menunjukkan hasil rata indeks luas daun yang tidak berbeda nyata demikian pula dengan pemberian kompos

Hasil penelitian menunjukkan bahwa menurut pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita dengan analisis Tipologi Klassen antar kabupaten di provinsi Jawa Tengah terbagi

Maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk membangun sistem pembelajaran bangun ruang dengan metode marker augmented reality berbasis android yang digunakan