• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMUTUSAN HUBUNGAN DIPLOMATIK ANTARA QATAR DAN NEGARA-NEGARA JAZIRAH ARAB DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PEMUTUSAN HUBUNGAN DIPLOMATIK ANTARA QATAR DAN NEGARA-NEGARA JAZIRAH ARAB DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL SKRIPSI"

Copied!
99
0
0

Teks penuh

(1)

PEMUTUSAN HUBUNGAN DIPLOMATIK ANTARA QATAR DAN NEGARA-NEGARA JAZIRAH ARAB DALAM PERSPEKTIF HUKUM

INTERNASIONAL

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh :

AFIFAH MUTIARA LIWANRI NIM. 140200509

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2019

(2)

PEMUTUSAN HUBUNGAN DIPLOMATIK ANTARA QATAR DAN NEGARA-NEGARA JAZIRAH ARAB DALAM PERSPEKTIF HUKUM

INTERNASIONAL

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh :

AFIFAH MUTIARA LIWANRI NIM. 140200509

Disetujui Oleh :

A.n Ketua Departemen Hukum Internasional Wakil Dekan I

Dr. O.K Saidin,S.H.,M.Hum NIP. 196202131990031002

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Sutiarnoto,S.H.,M.Hum Arif,S.H.,M.H NIP. 195610101986031003 NIP. 196403301993031002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2019

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT yang atas rahmat dan karunia-Nya yang memberikan kesehatan, kemudahan, kelancaran kepada peneliti sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini dengan lancar dan tepat pada waktunya. Shalawat beriring salam peneliti hadiahkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW, sebagai panutan, contoh, motivator serta telah membawa umatnya dari zaman yang fana kepada zaman yang merdeka ini. Maka atas izin Allah SWT. peneliti telah menyelesaikan Skripsi yang berjudul

“Pemutusan Hubungan Diplomatik antara Qatar dengan Negara-Negara Jazirah Arab dalam Perspektif Hukum Internasional”.

Penulisan skripsi ini adalah salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara yang merupakan kewajiban bagi setiap mahasiswa/i yang ingin menyelesaikan perkuliahannya. Meskipun begitu, peneliti menyadari bahwa di dalam penulisan skripsi ini masih terdapat kekurangan-kekurangan dari segi substansi maupun kata-perkata, sehingga masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, peneliti mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar kemudian skripsi ini menjadi lebih baik adanya.

Dalam penulisan skripsi ini tentunya tidaklah luput dari dukungan maupun bantuan dari berbagai pihak, salah satunya adalah kedua orang tua tercinta peneliti Nazirwan dan Lilen yang telah memberikan dukungan penuh mulai dari balita hingga detik ini dengan tidak henti-hentinya berharap agar peneliti dapat sukses di kemudian hari dan juga kedua mertua peneliti yang sangat baik hati dan selalu saja mendukung peneliti Basyaruddin Ganie dan Novie Mutia Lusida baik dalam bentuk moril maupun materil terhadap peneliti. Serta bagi adik-adik peneliti terkasih yakni Ridho Widayanto Liwanra, Abdillah Faridz dan Zulfikri Mirza, semoga Allah SWT senantiasa memberikan rahmat dan kasih sayang kepada mereka.

(4)

Selain itu peneliti juga mengucapkan banyak terima kasih yang tak terhingga kepada pihak-pihak yang terlibat dalam penyelesaian skripsi ini. Oleh karena itu izinkan peneliti mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum, selaku Rektor Universitas Sumatera Utara;

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Bapak Prof. Dr. OK Saidin, SH., M.Hum, selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Unversitas Sumatera Utara;

4. Ibu Puspa Melati Hasibuan, SH., M.Hum, selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan juga sebagai Penasihat Akademik penelit yangi membimbing dan mengarahkan penelitiselama masa perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Bapak Dr. Jelly Leviza, SH., M.Hum, selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

6. BapakAbdul Rahman, SH., MH, selaku Ketua Departemen Hukum InternasionalFakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

7. Bapak Dr. Sutiarnoto, SH., M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum InternasionalUniversitas Sumatera Utara sekaligus Dosen Pembimbing I yang telah menyediakan waktunya dalam memberikan bantuan, bimbingan dan arahan kepada penulis pada saat penulisan skripsi ini;

8. Bapak Arif, SH., MH, selaku Dosen Pembimbing II yang telah menyediakan waktunya dalam memberikan bantuan, bimbingan dan arahan kepada penulis pada saat penulisan skripsi ini;

9. Bapak Ibu Dosen staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah bersedia memberi ilmu dan pandangan hidup kepada penulis selama penulis menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas SumateraUtara;

10. Kepada seorang suami yang sangat teristimewa atas dukungan, bimbingan, bantuan dan penyemangat peneliti selama proses masuk ke perguruan tinggi hingga detik ini serta sebagai motivasi peneliti agar

(5)

cepat menyelesaikan program sarjana di Program Studi Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara yaitu Muliadin Putrayang telah mewujudkan tangga dalam rumah peneliti;

11. Teman-teman dan sahabat yang selalu memberikan semangat kepada peneliti Vanny Anandita Gayatri Aulia, Melika Pratiwi, Larasati Dwi Utami, Maulidya Rahmah serta teman-teman yang tergabung dalam Arisan Brondong yang telah menjadi sahabat peneliti sejak bangku SMAN 2 Medan stambuk 2013 yang selalu memotivasi peneliti untuk menyelesaikan perkuliahan peneliti.

12. Sahabat seperjuangan peneliti semenjak awal menginjakkan kaki di Fakultas Hukum yang tergabung dalam Cantik-Cantik Preman yakni Support System Meutia Jasmine, Support System Jeannyfer Ono Luo Dachi, Hasiba Zahra, Dina Handayani, dan Maya Hajri Saragih yang sangat peneliti sayangi namun sangat sanggup mendahului peneliti dalam menyelesaikan perkuliahaannya tapi gapapa karena peneliti berharap kelak kita sukses bersama.

13. Sahabat peneliti yang tergabung dalam Oyeh yakni Teuku Hanif Ibrahim dan Mahdi Lubis yang yang sedikit banyaknya telah membantu peneliti menyelesaikan skripsi dan diakhir perkuliahannya ternyata sangat pacu juga sehingga peneliti hanya bisa bilang mantul.

14. Teman dan sahabat peneliti di departemen Hukum Internasional yang selalu mensupport peneliti dalam menyelesaikan skripsi dan juga berbagi suka dan duka dalam menghadapi perkuliahan yakni Chaeleisya Miranda dimana peneliti merasakan bertemu treasure ketika berkenalan dengannya yang saling berbagai kebodohan dan pemikiran yang sama yang jarang penulis temukan di orang lainnya, Avissa Novali dan Tasya Masyitah yang banyak membantu peneliti dalam merumuskan konsep skripsi peneliti sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini dengan arah yang jelas, dan juga kepada Cindy V. Lumban Batu, Wikye Herviana, Roro Try Ayu yang juga selalu saja mensupport peneliti sedari dulu hingga kini dalam menyelesaikan skripsi ini serta teman-teman Departemen Hukum

(6)

Internasional lainnya yang ikut ke jepang yang tak akan pernah terlupakan oleh peneliti.

15. Teman-teman peneliti lainnya yang sangat baik hati yang terkadang mau menemani dan direpoti peneliti ketika mengerjakan skripsi dan selalu saja peduli dengan kabar peneliti yakni Desy Putri Dira, Essy Dwi Rahmah, dan dek Anggi.

16. Teman-Teman grup klinis peneliti dan juga teman-teman grup D stambuk 2014 yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang selalu mensupport peneliti.

17. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas dukungan penuh kepada peneliti dalam penyelesaian skripsi ini sehingga dapat terselesaikan pada waktunya.

Akhir kata peneliti ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya sekali lagi kepada kedua orang tua, bapak ibu dosen, teman-teman, sahabat, saudara, keluarga dan semua pihak yang ikut andil dalam penyelesaian skripsi ini. Peneliti berharap apa yang peneliti tulis dapat bermanfaat bagi pembaca dan peneliti lainnya serta dapat diaplikasikan nantinya. Semoga Allah SWT melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua serta memberikan balasan kepada pihak-pihak yang telah bersedia membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Medan, 21 Februari 2019

Afifah Mutiara Liwanri

(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

ABSTRAK ... iii

BAB I PENDAHULUAN ... A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 9

C. Tujuan & Manfaat Penulisan ... 9

D. Keaslian Penulisan ... 10

E. Tinjauan Pustaka ... 11

F. Metode Penelitian ... 17

G. Sistematika Penulisan ... 18

BAB II PENGATURAN HUBUNGAN DIPLOMATIK DALAM HUKUM INTERNASIONAL ... A. Pengaturan Hukum mengenai Hubungan Diplomatik ... 20

B. Hak – Hak dan Kewajiban Negara dalam Hubungan Diplomatik ... 48

C. Pembukaan dan Berakhirnya Hubungan Diplomatik ... 50

BAB III HUBUNGAN DIPLOMATIK ANTARA QATAR DAN NEGARA – NEGARA JAZIRAH ARAB ... A. Dinamika dan Sebab Putusnya Hubungan Diplomatik antara Qatar dengan Negara-Negara Jazirah Arab ... 59

B. Hubungan Diplomatik antara Qatar dan Negara-Negara Jazirah Arab ... 67

1. Hubungan dalam Aspek Sosial budaya ... 67

2. Hubungan dalam Aspek Ekonomi ... 68

3. Hubungan dalam Aspek Politik ... 69

(8)

BAB IV DAMPAK PEMUTUSAN HUBUNGAN DIPLOMATIK NEGARA QATAR DENGAN NEGARA – NEGARA JAZIRAH ARAB ...

A. Dampak Pemutusan Hubungan Diplomatik Negara – Negara Arab kepada Qatar ... 71 B. Pengaruh Pemutusan Hubungan Diplomatik Qatar dengan

Negara – Negara Jazirah Arab bagi Indonesia ... 76 BAB V PENUTUP ...

A. Kesimpulan ... 78 B. Saran ... 80

DAFTAR PUSTAKA ... 83

(9)

ABSTRAK

PEMUTUSAN HUBUNGAN DIPLOMATIK ANTARA QATAR DENGAN NEGARA-NEGARA JAZIRAH ARAB

DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL

*) Afifah Mutiara Liwanri

**) Dr. Sutiarnoto, S.H., M.Hum.

***) Arif, S.H., M.Hum.

Hubungan diplomatik merupakan hal yang fundamental saat ini, khususnya di era globalisasi ini. Hal ini dapat dilihat bahwa setiap negara saling membutuhkan untuk berhubungan dengan negara lainnya dalam rangka memenuhi berbagai kepentingannya, sehingga selanjutnya terjadilah pembukaan hubungan diplomatik. Namun pada perjalanannya, hubungan diplomatik terkadang tidak selalu terjalin harmonis. Berbagai konflik kepentingan selalu saja membayanginya sehingga terkadang dapat menimbulkan sebuah konflik diplomatik. Konflik diplomatik itu sendiri, apabila tidak terselesaikan dengan baik maka selanjutnya dapat berkembang menjadi pemutusan hubungan diplomatik.

Berbagai dampak terjadi ketika terjadinya pemutusan hubungan diplomatik antar negara. dampak yang paling signifikan yakni diputusnya hubungan kerjasama ekonomi dan berbagai hubungan bilateral yang berhenti seketika antara kedua negara yang memutuskan untuk diputuskannya hubungan diplomatik.

Metode penulisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan melalui interpretasi bahan-bahan dari buku-buku, jurnal, internet, instrumen hukum internasional serta karya tulis ilmiah yang terkait dengan tujuan yang dimaksudkan dalam penyusunan penelitian ini.

Pemutusan hubungan diplomatik yang terjadi antara Qatar dengan negara- negara Jazirah Arab yang terdiri atas Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, Yaman dan Mesir dipicu oleh peristiwa diterbitkannya pernyataan palsu yang disebut dikeluarkan oleh Emir Qatar yang mengkritisi pemerintahan Arab Saudi oleh media Qatar. Hal tersebut tentu saja membuat pihak Arab Saudi berang dan sebagai The Father Timur Tengah, memutuskan hubungan diplomatiknya dengan Qatar. Keputusan ini selanjutnya diikuti negara tetangga lainnya seperti Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, Yaman dan Mesir. Negara- negara ini menganggap bahwa pemerintah Qatar banyak sekali ikut campur dalam urusan luar negeri mereka. Adanya dugaan bahwa pemerintah Qatar secara tidak langsung melancarkan dukungannya terhadap kegiatan Terorisme dan kelompok separatis di Jazirah Arab sehingga menyebabkan momentum Arab Spring.

Pemutusan hubungan diplomatik ini menimbulkan gejolak baru yang cukup signifikan di Timur Tengah, mengingat eratnya hubungan antar negara Jazirah ini baik dalam segi ekonomi, sosial-budaya, politik serta dibidang lainnya.

Kata Kunci: Pemutusan Hubungan Diplomatik, Konflik Diplomatik.

*) Afifah Mutiara Liwanri

*) Dr. Sutiarnoto, S.H., M.Hum.

*) Arif, S.H., M.Hum.

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kelompok manusia yang berkembang menjadi besar pasti akan menyusun dirinya dalam suatu kesatuan masyarakat dan berusaha untuk dapat hidup tertib dan teratur. Sehingga untuk mengatur kelompok yang kian membesar tersebut, diperlukan kaidah-kaidah agar masyarakat dapat hidup dengan tentram. Salah satu kaidah yang dibutuhkan dalam menjalani hubungan antar bangsa guna mencapai kehidupan masyarakat negara yang damai dan tentram dalam hal ini dibutuhkan kaidah hubungan internasional.

Hubungan Internasional pada hakikatnya merupakan proses hubungan antar negara yang diadakan oleh negara-negara baik yang bertetangga maupun antar benua yang kemudian dengan banyak negara ataupun organisasi-organisasi internasional lainnya hingga antar sesama subjek hukum lain yang diakui oleh hukum internasional. Hubungan ini selanjutnya bisa terjalin dengan baik namun pada perkembangannya, bisa pula hubungan ini berjalan menjadi buruk. Sering terjadi bahwa hubungan tersebut menimbulkan konflik yang bermula dari

berbagai potensi konflik yang salah satunya mengenai batas wilayah suatu negara berbatasan dengan wilayah lain dimana terkadang, antar negara terjadi ketidak sepakatan tentang suatun permasalahan yang akhirnya memicu konflik.

Tidak ada hubungan yang terjadi tanpa terjadinya konflik didalam perjalanannya baik itu dalam bermasyarakat, bernegara maupun antar suatu

(11)

negara dengan negara lainnya. Ada suatu pandangan yang ekstrim dimana manusia sebagai makhluk sosial yang beragama, memiliki intelegensi, tidaklah keliru apabila dikatakan bahwa konflik internasional merupakan suatu atribut yang tidak lepas dari masyarakat itu sendiri. Konflik hanya akan hilang jika bersamaan dengan hilangnya tatanan masyarakat itu sendiri. Demikian pula dalam halnya pergaulan antar negara di dunia yang tiap-tiap negaranya memiliki

kepentingan berbeda dalam mencapai tujuannya masing-masing sehingga dapat menjadi pemicu dalam konflik internasional, bahkan dapat berujung pada perang.

Perang hanyalah mengakibatkan penderitaan bagi penduduk sipil. Bukti nyata atas penderitaan perang dapat kita lihat seperti yang terjadi di Timur Tengah yang hingga saat ini masih terus berkonflik.

Menjalin hubungan internasional, secara mutlak dibutuhkan oleh semua negara di dunia. Terlebih di era globalisasi di mana adanya ketergantugan antara satu negara dengan negara lainnya yang besar. Tidak ada satu negara pun yang bisa memenuhi memenuhi kebutuhannya dengan baikm tanpa bantuan dari atau kerjasama dengan negara lainnya, yang melakukan kerja sama di segala bidang, dalam mencapai kesejahteraan masing-masing negara meningkat. Dalam

melakukan hubungan internasional, negara biasanya diawali oleh para pejabatnya yang berwenang untuk menjadi wakil dalam menjalankan hubungan internasional, seperti Menteri Luar Negeri masing-masing negara yang akan mengadakan

hubungan. Suatu negara perlu mengadakan hubungan dengan negara lainnya atas kepentingan nasional masing-masing negara yang berkaitan antara satu sama lainnya kepentingan nasional ini antara lain mencakup dengan kepentingan di

(12)

bidang politik, ekonomi, sosial budaya, hukum dan sebagainya, dengan adanya hubungan yang tetap merupakan salah satu syarat dari masyarakat internasional.

Hubungan diplomatik dalam pergaulan internasional didahului oleh

hubungan internasional itu sendiri. Tanpa adanya hubungan dengan negara-negara lain, hubungan diplomatik tidak akan pernah terjadi, karena hubungan diplomatik hanya akan terjadi jika ada kesepakatan antara negara-negara yang berdaulat.

Hubungan diplomatik dilakukan untuk mendukung terwujudnya tujuan nasional dan kepentingan suatu bangsa. Hak untuk mengirimkan dan kewajiban untuk menerima perwakilan diplomatik suatu negara merupakan kebebasan yang dimiliki oleh hampir seluruh negara merdeka sebagai salah satu atribut dari kedaulatannya.1

Pasal 2 Konvensi Wina tahun 1961 menjelaskan bahwa pembukaan hubungan diplomatik antar negara-negara dan pembukaan perwakilan tetap

Kegiatan politik merupakan agenda dari kegiatan internasional yang saling berpengaruh dan kompleks, dengan melibatkan pemerintah dan organisasi internasional dalam mencapai tujuan-tujuannya melalui perwakilan diplomatik atau organ lainnya. Sumaryo Suryokusumo memaparkan diplomasi adalah mencapai tuhuan-tujuannya melalui perwakilan diplomatik atau organ-organ lainnya. Diplomasi merupakan pengetahuan dan seni yang bersifat individual dan sosial. Diplomasi membahas mengenai sejarah, sistem, filsafat politik,

kebudayaan, kepentingan ekonomi, serta nilai-nilai dari anggota masyarakat dunia.

1 J.G. Starke, pengantar Hukum Internasional Vol.2, Jakarta: Sinar Grafika,2007, hlm 30

(13)

diplomatik dilakukan atas dasar saling kesepakatan. Kesepakatan ini biasanya diumumkan dalam bentuk resmi seperti komunike bersama, perjanjian

persahabatan, dan lainnya.2

Para diplomat selanjutnya membuat laporan analisis yang dikirimkan ke kantor kementrian luar negerinya mengenai masalah yang menjadi data penting dalam perumusan kebijakan luar negeri. Hubungan antara diplomasi dan kebijakan luar negeri yakni untuk membentuk dan menciptakan peran suatu negara di panggung politik dunia. Selain itu tugas utama diplomasi ialah untuk memahami dan bertindak dengan cepat dan cermat dalam memperjuangkan kepentngan negaranya, khususnya di negara di mana ia ditempatkan. 3

2 BoerMauna, Hukum Internasional: Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Bandung: PenerbitPT. Alumni, 2000, hlm521

3 NicholasTandiDammen, Hukum Diplomatik, Bandung: IJPPress, Bandung, hlm712

Selanjutnya, Nicholas Tandi memaparkan, kualitas dan keberhasilan politik luar negeri tidak tergantung pada tujuan yang abstrak melainkan pada pelaksana yang nyata melalui berbagai cara, yaitu dengan menyebarluaskan kebijakan yang di ambil, menjelaskan, dan merundingkan persetujuan-persetujuan yang menjamin kan perdamaian perbedaan-perbedaan dengan melakukan mediasi dan negosiasi antar negara degan baik dan cerdas. Indonesia menerapkan pola “Intermestik”, yakni diplomasi dengan menyuarakan kepentingan nasional ke masyarakat internasional dan mengkomunikasikan perkembangan-perkembangan dalam negeri ke masyarakat internasional. Komunikasi dalam negeri bertujuan

membentengi kepentingan nasional serta mengambil langkah dalam arus tuntuan dunia. Pelaku dalam pelaksaan diplomatik ini yakni adalah diplomat.

(14)

Konvensi Wina tahun 1961 menjelaskan fungsi diplomat yakni mewakili negara pengirim di negara penerima, melindungi kepentingan negara pengirim dan kepentingan warga negaranya di negara penerima dalam batas yang

diperbolehkan hukum internasional, melakukan perundingan dengan pemerintah negara penerima dan melaporkan ke negara pengirim serta meningkatkan

hubungan persahabatan antara negara pengirim dan negara penerima serta mengembangkan hubungan ekonomi, kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Hal itu juga berlaku dalam menjalani dan menjalin hubungan dengan organisasi dunia maupun dalam forum-forum internasional.

Para diplomat dengan daya tarik dan keahliannya dalam melakukan

advokasi guna mempengaruhi para pengambil keputusan di negara penerima, dan terhadap diplomat lainnya sehingga pendekatan di perlukan guna berlangsungnya hubungan baik antara negara pengirim dengan negara penerima. Tugas utama seorang diplomat juga untuk mendapatkan data dan melaporkan informasi mengenai gambaran situasi (bagaimana sikap negara tuan rumah, kekuatan, kelemahan, dan sebagainya) yang dijadikan dasar oleh eksekutif dalam membuat kebijakan hubungan luar negerinya. Dengan seleksi dan evaluasi data serta informasi yang diperoleh secara sah dan sesuai hukum, kebiasaan internasional akan dilaporkan pada pemerintahnya sehingga akan menjadi masukan dan pertimbangan bagi para pembuat keputusan agar lebih efektif dalam menyusun kebijakan-kebijakannya.4

4 B.sen, A Diplomatic’s Handbook of International Law and Practice 2.ed, Martinus Nijhollf Publishers, The Hague/Boston/London, 1979hlm14.

(15)

Di era globalisasi ini, seorang diplomat harus mampu menggunakan seluruh bakat dan keahliannya dalam mencapai kesepakatan yang mengguntungkan negara pengirimnya. Andaikata perang dideklarasikan, diplomat haruslah mampu menyakinkan negara-negara lain yang netral mengenai justifikasi tindakan politik tersebut. Kegagalan dalam memanfaatkan keuntungan-keuntungan politik tersebut dalam proses diplomatiknya menyebabkan negara kehilangan keuntungan-

keuntungan diplomatik yang dapat diperoleh. Diplomat yang baik dapat mengurangi kerugian ataupun kekurangan dari negaranya yang dapat menjadi kelemahan ketika berada di tengah percaturan global yang didominasi negara- negara adidaya.5

Sejarah mencatat jauh sebelum bangsa-bangsa di dunia mengenal dan menjalankan hubungan diplomatik, praktik misi diplomatik telah ada di zaman India Kuno dimana mereka telah mengenal ketentuan-ketentuan atau kaidah yang

Perkembangan Komunikasi, Informasi dan Edukasi dewasa ini memicu semakin intensifnya interaksi antar negara dan antar bangsa di dunia.

Meningkatnya intensitas dalam berinteraksi tersebut mempengaruhi potensi kegiatan ekonomi, politik, sosial dan budaya antara pihak negara satu dengan lainnya. Hal tersebut baik dilakukan oleh pemerintah (pusat maupun daerah), pihak organisasi non pemerintah atau NGO (Non Government Organization), swasta/perusahaan-perusahaan multinasional, serta pihak perorangan yang merupakan pelaku dalam hubungan luar negeri sebagai entitas dari masyarakat internasional. Hal tersebut menyebabkan dibutuhkannya suatu perangkat ketentuan untuk mengatur interaksi tersebut.

5 Ibid

(16)

mengatur hubungan antar raja maupun kerajaan. Hukum bangsa pada masa itu telah mengenal istilah duta. Hukum diplomatik pada hakikatnya merupakan ketentuan atau prinsip yang dituangkan dalam instrumen-instrumen hukum sebagai hasil dari kodifikasi hukum kebiasaan internasional.6

Banyaknya kepentingan terselubung yang berada di belakang hubungan antar negara pada praktiknya dimana kepentingan terrsebut ada yang bersifat individual maupun bersifat khusus dari negara pengirim. Kepentingan tersebut sangatlah beragam. Ada negara yang dalam menjalin hubungan diplomatiknya ingin saling mengetahui rahasia antar negara satu dengan negara lainnya, ada juga negara yang memiliki misi khusus dalam menjalankan hubungan diplomatik berkedok mata-mata. Bahkan terkadang, hubungan diplomasi sarat akan kepentingan politis dalam mempengaruhi kebijakan suatu negara dengan

mencapai kepentingan tertentu. Hal ini semestinya tidak sesuai lagi dengan kaidah Suatu negara memerlukan suatu alat untuk dapat menjadi penghubung antar negara dalam mewujudkan hubungan tersebut. Penghubung tersebut kemudian diwujudkan dengan dibentuknya hubungan diplomatik antara kedua negara dengan cara menempatkan perwakilan diplomatik negara pengirim di negara penerima.untuk merundingkan hal-hal yang merupakan kepentingan bersama, mengembangkan hubungan serta mencegah kesalahpahaman ataupun menghindari menghindari terjadinya sengketa. Sebagai sarana penghubung antar negara, para misi diplomatik ini kemudian harus diberikan jaminan yang memungkinkan dalam memperoleh pelaksanaan tugas-tugas perwakilan tersebut.

6 C.S.T Kansil dan ChristineS.T.Kansil, Modul Hukum Internasional, Jakarta:

Djambatan, 2002, hlm 69-70.

(17)

diplomatik yang berlaku sebagaimana yang diatur dalam instrumen hukum

internasional sehingga bisa membatalkan perjanjian dan hubungan diplomatik bisa menjadi retak. Karena adanya pelanggaran misi diplomatik tersebut, negara

penerima biasanya melakukan pengusiran terhadap pejabat diplomatik dari negara pengirim.

Berbagai perihal tersebut menyebabkan diangkatnya masalah ini sebagai sebuah topik yang unik untuk dipelajari dimana hal tersebut menjadi sebuah polemik yang cukup pelik antara negara Qatar dengan berbagai negara di Jazirah Arab. Sejumlah negara di Jazirah Arab yang tergabung dengan Aliansi Negara teluk memutuskan hubungan diplomatik dengan negara Qatar. Negara Jazirah Arab (dan sekitarnya) yang melakukan pemutusan hubungan diplomatik tersebut yakni Arab Saudi, Bahrain, Uni Emirat Arab (UEA) , Yaman serta Mesir.

Pemutusan hubungan diplomatik dengan Qatar tersebut disebabkan oleh media pemerintah Qatar yang memuat pernyataan kontroversial yang disebut dikemukakan oleh Emir Qatar, Sheikh Tamim Hamad Al-Thani yang mengkritik Arab Saudi. Pemerintah Qatar menyebut bahwa itu merupakan pernyataan palsu yang di tampilkan di media Al Jazeera dan telah diretas serta menudingnya

sebagai sebuah kejahatan cyber yang tercela. Namun, apa yang telah terjadi semua sebenarnya merupakan bom waktu karena sebelumnya telah terjadi ketegangan yang telah berkembang selama bertahun-tahun.

Sebelumnya, pada tahun 2014, Arab Saudi, Bahrain dan UEA menarik duta besar mereka dari Qatar selama beberapa bulan sebagai protes atas tudingan campur tangan yang diduga dilakukan Qatar dalam urusan dalam negeri mereka.

Faktor kunci yang mendorong keputusan untuk dilakukannya pemutusan

(18)

hubungan diplomatik dengan Qatar secara luas yakni hubungan Qatar dengan kelompok-kelompok Islam Radikal dengan tuduhan Qatar mendukung kegiatan Terorisme, namun di satu sisi, kontra dengan membaiknya hubungan Qatar dengan Iran dan juga Israel yang memiliki hubungan buruk dengan Arab Saudi dan di ikuti negara Jazirah Arab lainnya sebagai anggota OKI dan penganut Sunni.

Tuduhan Qatar yang melakukan dukungan terhadap Terorisme di sepanjang Jazirah Arab ditambah lagi dengan bumbu-bumbu ketegangan sebelumnya atas dugaan campur tangan pemerintah Qatar terhadap urusan dalam negeri Negara- Negara tersebut ditengah memanasnya terjadinya Arab Spring di sepanjang semenanjung Arab dimana pemerintah Qatar di duga berada di belakang Hancurnya Rezim Suriah dan Libya menyebabkan pemutusan hubungan diplomatik tidak dapat di elakkan lagi dari masing-masing negara yang merasa stabilitasnya terancam oleh keberadaan pemerintah Qatar sebagai sebuah kekuatan baru di negara Jazirah Arab.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang uraikan sebelumnya maka yang menjadi rumusan masalah dalam penulisan skripsi ini adalah :

1. Bagaimana Pengaturan Hubungan Diplomatik dalam Hukum Internasional?

2. Bagaimana Hubungan Diplomatik Antara Qatar Dan Negara – Negara Jazirah Arab?

3. Bagaimana Dampak Pemutusan Hubungan Diplomatik Negara Qatar Dengan Negara – Negara Jazirah Arab?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

(19)

Adapun beberapa tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan hubungan diplomatik dalam hukum internasional.

2. Untuk mengetahui bagaimana hubungan diplomatik antara negara Qatar dengan Negara-Negara Jazirah Arab.

3. Untuk mengetahui dampak apa saja yang terjadi dalam pemutusan hubungan diplomatik antara negara Qatar dan negara-negara Jazirah Arab.

Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini adalah :

1. Sebagai bahan informasi dan pengetahuan mengenai pemutusan hubungan diplomatik yang terjadi antara negara Qatar dengan negara- negara Jazirah Arab

2. Sebagai bahan referensi yang menjadi acuan penulisan lebih lanjut pada perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara khususnya dan pembaca pada umumnya.

D. Keaslian Penulisan

Skripsi ini berjudul “PEMUTUSAN HUBUNGAN DIPLOMATIK ANTARA QATAR DENGAN NEGARA-NEGARA JAZIRAH ARAB DALAM HUKUM INTERNASIONAL”.

Topik utama yang berusaha peneliti tampilkan dalam penelitian ini ialah bagaimana sebenarnya pentingnya suatu hubungan diplomatik bagi suatu negara dan bagaimana bila terjadi pemutusan hubungan diplomatik di dalamnya dan bagaimana aturan hukum internasional akan masalah ini. Topik yang peneliti angkat sendiri berawal dari sebuah peristiwa yang terjadi belakangan waktu yang

(20)

lalu di pertengahan 2017 lalu. Dengan keyakinan ini penelitii meyakini belum ada tulisan awal / pertama di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang sama seperti topik ini sebagai bahan utama penulisan skripsi.

E. Tinjauan Pustaka

Secara etimologis (asal usul kata), kata “diplomasi” berakar dari satu kata bahasaYunani, yaitu Ziplwna, atau Duplicata yang artinya digandakan atau

dilipatkan dua. Kemudian dalam masyarakat Yunani dikenal istilah “diploma” yang berarti naskah atau dokumen tertentu yang diberi lubang ditengahnya dan disimpan di arsip kantor. Sedangkan kata “diplomasi” digunakan menyebut petugas

penyimpan “diploma.”7

Diplomasi itu sendiri merupakan suatu cara komunikasi yang dilakukan antara berbagai pihak termasuk negosiasi antara wakil-wakil yang sudah diakui.

Praktik-praktik negara semacam itu sudah melembaga sejak dahulu dan kemudian , sehingga dalam perkembangannya kata ini berkembang menjadi diplomat, diplomasi dan diplomatik. Dalam kajian lain, kata diplomasi diyakini berasal dari bahasa Yunani “diploun” yang artinya melipat. Pada masa kekaisaran Romawi semua paspor, termasuk surat-surat jalan untuk melewati jalan- jalan di wilayah negara tersebut dicetak pada piringan logam kemudian dilipat dan dijahit menjadi satu sehingga berbentuk khas. Surat jalan dan paspor tersebut dinamakan “diplomas”. Orang yang mengelola “diplomas” disebut “diplomatics”

atau “diplomatique”. kemudian pada akhir abad ke-18 penggunaan kata diplomas sudah berkonstansi pada pengertian politik hubungan luar negeri.

7 SumaryoSuryokusumo, Hukum Diplomatik : Teori dan kasus. Alumni, Bandung, 1995, hlm,4-5.

(21)

menjelma sebagai aturan-aturan hukum internasional. Dalam memahami hukum diplomatik, kita perlu pula menelaah defenisi diplomatik yang telah diberikan oleh para ahli. 8Menurut Sir Ernest Satow, diplomasi merupakan penerapan kemampuan dan intelegensia untuk melakukan hubungan pemerintah antar negara-negara yang merdeka dan berdaulat, yang terkadang mereka meningkatkan hubungan dengan vassal states atau negara di bawah mereka yang di lakukan dengan cara damai.

Random House Dictionary mengartikan diplomasi sebagai “the conduct by government officials of negotiations and other relatios between nations; th art of science of conducting such negotiations; skill in managing negotiantions, handling of people so that there is little or no ill-will tact”9

(i) The employment of tact, shrewdness, and skill in my negotiation of transaction;

.

Sedangkan Quency Wright dalam bukunya The Study of International Relations memberikan batasan dalam dua cara:

(ii) The art of negotiation in order to achieve the maximum of costs, within a system of politics in which war is a possibility.

Dengan adanya berbagai batasan tersebut, arti diplomasi yang di sebutkan dalam Oxford English Dictionary menurut Harold Nicholson adalah paling tepat dan lugas yaitu:

(i) The management of internal relations by means of negotiation;

(ii) The method by which these relations are adjusted and managed by ambassadors and envoys;

8 Sumaryo Suryokusumo, Hukum Diplomatik dan Konsuler: Jilid I. PT.Tatanusa, Jakarta, 2013,hlm.3

9Ibid

(22)

(iii) The business of art of diplomatist;

(iv) Skill or address in the conduct of international intercourse and negotiations.

Batasan tersebut, hampir sama dengan batasan yang telah diberikan oleh Brownlie yakni “diplomacy comprises any means by which states establish or maintain mutual relations, communicate with each other, or carry out political or legal transactions, in each case through their authorized agents”.

Namun, pengertian secara traditional istilah “hukum diplomatik” digunakan untuk merujuk pada norma-norma hukum internasional yang mengatur tentang kedudukan dan fungsi misi diplomatik yang dipertukarkan oleh negara-negara yang telah membina hubungan diplomatik. Dalam arti yang luas hukum diplomatik merupakan norma-norma hukum internasional yang berkaitan dengan berbagai jenis misi diplomatik di luar negeri bukan saja dibentuk oleh negara tetapi juga dibentuk oleh subjek hukum internasional lainnya. Berbeda denga pengertian-pengertian sekarang dalam perkembangannya, hukum diplomatik bukan saja menyangkut hubungan diplomatik dan konsuler antar negara, tetapi juga keterwakilan negara dalam hubungannya dengan organisasi-organisasi internasional khususnya yang bersifat universal.

Dari batasan dan pengertian tersebut, dapat ditarik kesimpulan adanya beberapa faktor yang penting yaitu hubungan antar bangsa untuk merintis kerja sama dan persahabatan, hubungan tersebut dilakukan melalui pertukaran misi diplomatik termasuk para pejabatnya, para pejabat tersebut harus diakui statusnya sebagai pejabat diplomatik dan agar para pejabat itu dapat melakukan tugasnya dengan bik dan efisien yang perlu diberikan hak-hak keistimewaan dan kekebalan yang

(23)

didasarkan atas aturan-aturan dalam hukum kebiasaan internasional serta perjanjian- perjanjian lainnya yang menyangkut hubungan diplomatik antar negara.

Dengan demikian, pengertian hukum diplomatik pada hakikatnya merupakan ketentuan atau prinsip-prinsip hukum internasional yang mengatur hubungan

diplomatik antar negara yang dilakukan atas dasar pemufakatan bersama dan ketentuan atau prinsip-prinsip tersebut dituangkan di dalam instrumen-instrumen hukum sebagai hasil dari kodifikasi hukum kebiasaan internasional dan

pengembangan kemajuan hukum internasional.

Dalam perkembangannya, hukum diplomatik mempunyai lingkup yang lebih luas lagi bukan saja mencakupi hubungan diplomatik antar negara, tetapi juga hubungan konsuler dan keterwakilan negara dalam hubungannya dengan organisasi- organisasi internasional khususnya yang mempunyai tanggung jawab dan

keanggotaannya bersifat global atau lazim disebut organisasi internasional yang bersifat universal. Disamping itu, hukum diplomatik juga lingkupnya bisa mencakup status misi khusus dari suatu negara ke negara lain yang sudah tentu di dalam menunaikan misinya tersebut memerlukan kekebalan dan keistimewaan seperti lazimnya dinikmati oleh para pejabat diplomatik dan konsuler serta para anggota perwakilan negara-negara pada organisasi internasional yang bersifat universal. Bahkan dalam kerangka hukum diplomatik ini dapat juga mencakup ketentuan-ketentuan tentang perlindungan, keselamatan, pencegahan serta penghukuman terhadap tindak kejahatan yang ditujukan kepada para diplomat.

Setiap negara yang merdeka dan berdaulat serta diakui secara hukum

internasional mempunyai atribut-atribut pokok (essential of legitation, ius legationis,

(24)

atau droit de legation) yang biasa dikenal dengan Hak Keterwakilan Negara. Hak Keterwakilan Negara ini mempunyai dua dimensi. Pertama, hak keterwakilan negara secara aktif ( droit de legation actif) yaitu hak untuk mengakreditasikan duta

besarnya ke negara-negara lain. Kedua, hak keterwakilan negara secara pasif (droit de legation passif)yaitu untuk menerima wakil-wakil diplomatik yang

diakreditasikan oleh negara-negara lain. Oleh karena itu, Hak Keterwakilan Negara pada hakekatnya merupakan kewenangan dari sesuatu negara yang berdaulat untuk mengakreditasikan duta besarnya ke negara lain dan untuk menerima pejabat diplomatik dari negara lain. Menurut Fauchille menyatakan:

“ The active right of legation, that is to say, the capacity to accredite diplomatic agents to other states and the passive right of legation, which is capacity to receive envoys from other states, represent essential

characteristic of sovereign power ”.10

10 SumaryoSuryokusumo, Loc. Cit hlm 6.

Namun dilain pihak, Fauchille juga menyatakan bahwa dalam arti

sebenarnya tidak ada suatu negara yanng wajib menerima wakil-wakil diplomatik dari negara lain dan hal itu hanya tergantung dari hubungan baik antara negara dan bukan semata-mata masalah hukum. Pendapat ini di dukung oleh Calvo yang menyatakan bahwa memang hak keterwakilan negara pada prinsipnya bisa ditanggapi sebagai hak yang sempurna, tetapi dalam prakteknya tidak demikian karena tidak ada negara terikat untuk membina misi yang bersifat politik di negara lain atau untuk menerima di wilayahnya wakil dari negara-negara lain.

(25)

Jika diperhatikan dalam Konvensi Wina baik 1961 maupun 1963 , jelas sekali dinyatakan bahwa pembukaan perwakilan baik diplomatik maupun konsuler memang memerlukan adanya kesepakatan bersama terlebih dahulu (mutual consent). Bahkan penempatan Duta Besar sebagai Kepala Perwakilan Diplomatik termasuk penempatan para Atase Pertahanan di Perwakilan

diplomatik tersebut bisa saja tidak diterima karena sesuatu hal yang tidak perlu diberikan alasannya (persona non grata)

Pada waktu pembahasan tentang hubungan diplomatik dalam rangka perumusan Konvensi mengenai masalah tersebut, Komisi Hukum Internasional dalam laporannya kepada Majelis Umum PBB dalam sidangnya yang ke-10 tahun 1955, telah sering kali menyinggung tentang doktrin mengenai “Hak

Keterwakilan” yang dinikmati oleh setiap negara saling ketergantungan antara negara dan pentingnya untuk mengembangkan hubungan bersahabat di antara mereka, yang merupakan salah satu tujuan dari PBB perlu pembentukan hubungan diplomatik antara mereka. Namun tidak ada hak keterwakilan semacam itu bisa dilaksanakan tanpa adanya persetujuan diantara para pihak, maka Komisi Hukum Internasional tidak menganggap bahwa hal itu harus disebutkan di dalam

rancangan naskah.

Negara dalam membina hubungan diplomatik dengan negara lain perlu adanya pengakuan (recognition) terlebih dahulu terhadap negara tersebut. Tanpa adanya pengakuan, maka pembukaan hubungan diplomatik tidak dapat

dilaksanakan. Indonesia tidak dapat membuka hubungan diplomatiknya di Israel, karena Indonesia tidak mengakui negara tersebut. Pengakuan dari suatu negara bukan berarti negara-negara yang mengakui negara baru tersebut harus membuka

(26)

hubungan diplomatik dengannya. Hak yang dimiliki oleh negara-negara yang berdaulat bagaimanapun juga penting dari sudut hukum internasional karena hal itu merupakan kemampuan suatu negara dalam hukum untuk menerima dan menempatkan wakil diplomatik, tidak setiap negara memiliki hak semacam itu, karena hanya negara yang merdeka dan diakui yang dapat melakukan hal ini yang mampu. Akibatnya, jika suatu negara mempunyai maksud untuk membuka hubungan diplomatik dengan negara lain, yang pertama harus dipenuhi adalah bahwa negara itu merupakan suatu negara yang merdeka. Kedua, bahwa negara itu harus diakui oleh negara lainnya11

F. Metode Penelitian

.

1. Jenis dan Sifatpenelitian

Jenis dari penelitian ini adalah dengan menggunakan metode penelitian Hukum Normatif (Legal Research), yaitu dengan mengacu pada berbagai norma Hukum, dalam hal ini adalah perangkat Hukum Internasional yang terdapat di dalam berbagai sumber terkait dengan konflik internasional serta penyelesaiannya.

2. Data Penelitian

Data penelitian yang digunakan diuraikan menjadi beberapa bagian mulai dari yang terutama yang bersifat sebagai penyokong. Bahan hukum primer yang dibuatan dalam penulisan skripsi ini adalah Konvensi Wina 1961 tentang Diplomat dan Konsuler. Bahan hukum sekunder adalah buku-buku, artikel-artikel, jurnal-jurnal baik dari media cetak maupun internet, dan bahan-bahan lainnya yang memuat penjelasan-penlasan yang berhubungan dengan pemutusan

11MasyurEffendi, Hukum Diplomatik Internasional: Hubungan Politik-Bebas aktif Asas Hukum Diplomatik dalam Era Ketergantungan Antarbangsa. Usaha Nasional, Surabaya,1993,hlm.133

(27)

hubungan diplomatik yang tengah terjadi antara Qatar denganNegara-Negara Jazirah Arab, yang memuat keterangan lainnya yang menjadi bahan penunjang terhadap penulisan skripsi ini dan yang menjadi penunjang dapat berupa kamus Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Inggris serta buku hukum lainnya yang dapat menjadi pedoman dalam penulisan skripsiini.

3. Teknik PengumpulanData

Teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan penelitian kepustakaan (library Research), baik untuk memperoleh bahan hukum primer maupun dalam memperoleh bahan hukum sekunder.

4. AnalisisData

Analisis data dalam penulisan skripsi ini adalah analisis kualitatif dimana data-data yang dikumpulkan dipisahkan menurut kategori masing-masing dan kemudian ditafsirkan untuk mencari jawaban dari permasalahan.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan merupakan upaya atau cara untuk mempermudah dalam melihat dan memahami isi dari tulisan ini secara menyeluruh. Dalam sistematika penulisan ini dibagi ke dalam 5 (lima) bab. Setiap bab menguraikan pembahasan-pembahasan tersendiri secara sistematis dan saling terkait antara bab satu dengan bab yang lainya. Setiap bab terdiri dari subbab sebagai penjabaran lebih lanjut dari bab yang ada yang akan mendukung keutuhan pembahasan setiap bab dengan tujuan agar lebih memudahkan dalam hal pemahaman dan terarahnya penulisan skripsi ini. Adapun sistematika penulisan dalam skripsi ini yaitu :

(28)

PENDAHULUAN

Yaitu menguraikan mengenai Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.

PENGATURAN HUBUNGAN DIPLOMATIK DALAM HUKUM INTERNASIONAL

Yaitu menguraikan mengenai Instrumen Hukum dalam Hubungan Diplomatik, Hak-Hak dan Kewajiban Negara dan Berakhirnya Hubungan Diplomatik.

HUBUNGAN DIPLOMATIK ANTARA QATAR DAN NEGARA – NEGARA JAZIRAH ARAB

Yaitu menguraikan mengenai Dinamika dan Sebab Putusnya Hubungan Diplomatik antara Qatar dan Negara-Negara Jazirah Arab serta Bagaimana Hubungan Diplomatik antara Qatar dan Negara-Negara Jazirah Arab.

BAB I

BAB II

BAB III

(29)

DAMPAK PEMUTUSAN HUBUNGAN DIPLOMATIK

NEGARA QATAR DENGAN NEGARA – NEGARA JAZIRAH ARAB

Yaitu menjelaskan mengenai Bagaimana Dampak Pemutusan Hubungan Diplomatik antara Qatar dengan Negara Jazirah Arab bagi Negara Itu Sendiri dan Bagaimana Dampaknya bagi

Indonesia.

BAB IV

BAB V PENUTUP

Yaitu menguraikan mengenai Kesimpulan dan Saran.

(30)

BAB II

PENGATURAN HUBUNGAN DIPLOMATIK DALAM HUKUM INTERNASIONAL

A. Pengaturan Hukum mengenai Hubungan Diplomatik

Berbicara tentang sumber hukum diplomatik, maka tidak akan terlepas dari Hukum Internasional Publik Hukum Internasional Publik diibaratkan seperti pohon dan Hukum Diplomatik merupakan cabangnya. Untuk itu,sumber hukum diplomatik tidak dapat dipisahkan dari ketentuan Pasal 38 (1) Statuta ICJ (Interntional Court of Justice) yang telah diakui oleh para ahli hukum Internasional sebgai sumber hukum internasional yang berbunyi sebagai berikut;

“Bagi Mahkamah Internasional yang fungsinya memutuskan perkara- perkara yang diajukan kepadanya sesuai dengan Hukum Internasional, akan menetapkan :

1) Perjanjian-Perjanjian internasional, baik yang umum maupun khusus yang secara tegas mengatur dan diakui oleh negara-negarapihak;

2) Kebiasaan internasional yang terbukti merupakan praktik umum yang diterima sebagai hukum;

3) Prinsip-prinsip Hukum Umum yang diakui oleh bangsa- bangsaberadab;dan

4) Sesuai ketentuan-ketentuan pasal 59, keputusan-keputusan pengadilan dan ajaran para ahli hukum ternama dri berbagai bangsa, sebagai

(31)

sumber untuk tambahan untuk menetapkan kaidahhukum.” 12 Perang dingin menjadi salah satu faktor seringnya terjadinya insiden diplomatik dan juga dilanggarnya ketentuan-ketentuan tengtang hubungan diplomatik, maka dari itu atas usul dari Yugoslavia, Majelis Umum PBB pada tahun 1953 menerima resolusi yang meminta komisi hukum internasional memberikan prioritas untuk dilaksanakannya modifikasi dalam hubungan dan kekebalan diplomatik.

Konferensi tersebut dinamakan “The United Conference on Diplomatic Intercourse and Immunities”, yang mengadakan sidangnya di Wina pada 2 Maret 1961 – 14 April 1961. Kota Wina dipilih dengan pertimbangan historis karena kongres pertama mengenai hubungan diplomatik diselenggarakan di kota tersebut pada tahun 1815. Setelah konferensi ini, dalam perkembangan selanjutnya

dihasilkanlah beberapa instrumen – instrumen yaitu :

a) Vienna convention on diplomatic relations.

b) Optional protocol concerning aqucuistion of nationality and.

c) Optional protocol concerning the complusory settlement of disputes.

Konvensi Wina 1961 diterima oleh 72 negara , tidak ada yang menolak dan hanya satu negara abstain. Pada 18 April 1961, wakil dari 75 negara

menandatangani konvensi tersebut, yang terdiri dari mukadimah , 53 pasal, dan 2 protokol dan sekaligus, mengesahkan konvensi tersebut dengan judul “ Vienna

12 Boer Mouna , Hukum Internasional, Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Penerbit Alumni, Bandung,2000, hlm.467.

(32)

Convention on Diplomatic Relation”. tiga tahun kemudian, pada 24 April 1964, Konvensi Wina tentang hubungan diplomatik ini dinyatakan mulai berlaku. 13

1. Kongres Wina 1815 (The Final Act Of the Congress of Vienna on diplomatic ranks 1815);

Pasal 1-9 konvensi ini menyangkut pembentukan misi-misi diplomatik hak dan cara- cara untuk pengangkatan serta pengangkatan serta penyerahan surat- surat kepercayaan dari Kepala Perwakilan Diplomatik (Duta Besar). Pasal 20-28 mengenai kekebalan dan keistimewaan bagi misi-misi diplomatik termasuk pembebasan berbagai pajak. Pasal 29-36 adalah mengenai kekebalan dan keistimewaan bagi anggota keluarga para diplomat dan staf pelayanan yang bekerja pada mereka. Akhirnya, Pasal 48-53 berisi berbagai ketentuan mengenai penandatanganan, aksesi, ratifikasi dan mulai berlakunya konvensi tersebut.

Selain Hukum Internasional Publik, Hukum Diplomatik juga memiliki kekhususan tersendiri. Kekhususan Hukum Diplomatik ini terdiri dari beberapa bentuk:

Pengaturan pertama kali dari tingkatan-tingkatan perwakilan diplomatik ini baru dimulai ketika berlangsung Kongres Wina pada tanggal 19 Maret 1815. Kongres ini menyepakati dibentuknya tiga kategori diplomatik yaitu:14

13 Mochtar Kusumaatdmaja, Pengantar hukum Internasional, Buku I: Bagian Umum, Penerbit PT Bina cipta, Bandung,1982.hlm.107.

14 G.P.H Djatikoesoemo, Hukum Internasional Bagian Damai, Jakarta, 1956, hlm 90.

(33)

a. Duta Besar dan Perwakilan Tahta Suci (Ambassador, Papal Legates atau Nuntius).

Merupakan tingkat tertingi dalam perwakilan diplomatik saat itu, pangkat yang setingkat lebih rendah adalah “ duta ” , oleh karena ia wakil pribadi kepala negara dan dapat beraudiensi langsung kepada Kepala Negara Penerima. Sedangkan duta harus melalui Menteri Luar Negeri. Namun dalam hal-hal tertentu ia dapat langsung juga beraudiensi kepada Kepala Negara Penerima oleh karena dalam prakteknya hal demikian sering berlangsung makan pada waktu itu perbedaan antara Duta Besar dan Duta hampir tiada lagi.

Papal Legates atau Nentius adalah perwakilan dari Vatikan, sama kedudukan kehormatannya dengan Duta Besar namun misinya bersifat religius (Gereja Roma Katolik).

b. Duta Besar Luar Biasa dan Menteri Berkuasa Penuh ( Envoys Extra Ordinary, Minister Plenipotentiary).

Sebutan mereka ini sering dikenal dengan nama “Duta Besar Istimewa/Biasa”. Mereka juga dianggap bukan bertindak sebagai wakil Kepala Negara. Oleh karena itu, mereka tidak berhak langsung secara pribadi dapat bertemu dengan Kepala Negara Penerima. Mereka berhak akan titel “Excelency Paduka Yang Mulia” berdasarkan komitas belaka.

c. Kuasa Usaha ( Charge d’affaires).

(34)

Menurut G.P.H Djatikoesoemo, ada dua pengertian mengenai kuasa usaha ini, yaitu:

1. Kuasa Usaha Tetap (Charge d’affairs en pied) yang menjabat kepala dari suatu perwakilan.

2. Kuasa Usaha Sementara yang menjalankan pekerjaan dari pada kepala perwakilan, sementara pejabat ini belum datang atau sedang tidak ada di tempat.

Mereka ini diperbantukan untuk Meneteri Luar Negeri, bukan untuk Kepala Negara.15

Menurut Oppenheim – Lauterpacht, klasifikasi jabatan diplomatik dalam Kongres Wina 1815 didasarkan atas adanya perbedaan fungsi yang dijalankan oleh setiap golongan perwakilan tersebut, bahkan dipengaruhi pula berdasarkan urutan-urutan penyerahan surat kepercayaan akan penentuan mereka sebagai diplomat.16

2. Konvensi Wina 1961 Mengenai Hubungan Diplomatik (Vienna Convention on Diplomatic Relations and Optional Protocols 1961)

Vienna Convention on the Law of Treaties 1961 (Konvensi Wina) mengatur mengenai Perjanjian Internasional Publik antar Negara sebagai subjek utama hukum internasional. Konvensi ini pertama kali open for ratification pada tahun 1961 dan baru entry into force pada tahun 1980.

Sebelum adanya Vienna Convention 1961 perjanjian antar negara, baik bilateral maupun multilateral, diselenggarakan semata-mata berdasarkan asas-asas seperti, good, faith, pacta sunt servanda dan perjanjian

15 Ibid, hlm 125

16 Oppenheim-Lauterpacht, International Law Vol. I, Longmans Green & Co, 8th ed., 1960, hlm 769-770.

(35)

tersebut terbentuk atas consent dari negara-negara di dalamnya.

Singkatnya sebelum keberadaan Vienna Convention 1961 Perjanjian Internasional antar Negara diatur berdasarkan kebiasaan internasional yang berbasis pada praktek negara dan keputusan-keputusan Mahkamah Internasional atau Mahkamah Permanen Internasional (sekarang sudah tidak ada lagi) maupun pendapat-pendapat para Ahli Hukum Internasional (sebagai perwujudan dari opinion juris).

Setelah berdirinya PBB dalam tahun 1945, untuk pertama kalinya, pengembangan kodifikasi hukum internasional termasuk hukum diplomatik telah dimulai pada tahun 1949 secara intensif oleh Komisi Hukum Internasional khususnya ketentuan-ketentuan yang menyangkut kekebalan dan pergaulan diplomatik telah digariskan secara rinci.

Akhirnya setelah melalui proses yang panjang selama 12 tahun, konferensi berkuasa penuh (Plenipotentiary Conference) telah diadakan di Wina, Austria pada tanggal 2 Maret – 14 April 1961 dan telah mengesahkan suatu konvensi dengan judul “Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik” (Vienna Convention on Diplomatic Relation) pada tanggal 18 April 1961.17

Konvensi Wina 1961 ini terdiri dari 53 pasal yang meliputi hampir semua aspek penting dari hubungan diplomatik secara permanen antar- negara. Di samping itu, terdapat pula 2 Protokol Pilihan (Optional Protocol) mengenai Perolehan Kewarganegaraan dan Keharusan untuk

17 Sumaryo Suryokusumo, Hukum Diplomatik dan Konsuler: Jilid I,PT.Tatanusa, Jakarta, 2013,hlm,24.

(36)

Menyelesaikan Sengketa yang masing-masing terdiri dari 8 dan 10 pasal.

Konvensi Wina 1961 tersebut beserta kedua protokolnya telah diberlakukan sejak tanggal 24 April 1964 sampai dengan tanggal 31 Desember 1987 ada 151 negara yang telah menjadi pihak dalam Protokol Pilihan mengenai Perolahan Kewarganegaraan dan 52 negara telah menjadi pihak dalam Protokol Pilihan mengenai keharusan untuk menyelesaikan sengketa.18

Pasal 1-19 Konvensi Wina 1961 menyangkut pembentukan misi- misi diplomatik, hak dan cara-cara untuk pengangkatan serta penyerahan surat-surat kepercayaan dari Kepala Perwakilan Diplomatik (Duta Besar);

Pasal 20-28 mengenai kekebalan dan keistimewaan bagi misi-misi diplomatuk termasuk pembebasan berbagai pajak. Pasal 29-36 adalah mengenai kekebalan dan keistimewaan bagi anggota keluarga para diplomat dan staf pelayanan yang bekerja pada mereka. Akhirnya, Pasal 48-53 berisi berbagai ketentuan mengenai penandatanganan, aksesi, ratifikasi dan mulai berlakunya Konvensi tersebut.19

a) Vienna Convention on Consular Relation;

Berbicara mengenai Konvensi Wina 1961, tidak terlepas juga berbicara mengenai Optional Protokol yang beserta termaktub:

b) Optional Protocol Concerning Acquistion of nationality;

c) Optional Protocol Concerning the Complusary Settlement of Disputes.

18 Ibid

19 Sumaryo Suryokusumo, Op.cit hlm 24

(37)

3. Konvensi Wina mengenai Hubungan Konsuler 1963 (Vienna Convention on Consular Relations 1963)

Untuk pertama kalinya usaha guna mengadakan kodifikasi peraturan-peraturan tentang lembaga konsul telah dilakukan dalam Konferensi Negara-Negara Amerika tahun 1928 di Havana, Cuba, di mana dalam tahun itu telah disetujui Convention on Concular Agents (Konvensi mengenai Pejabat Konsuler). Sesudah itu dirasakan belum ada usaha yang cukup serius untuk mengadakan kodifikasi lebih lanjut tentang peraturan- peraturan tentang hubungan konsuler kecuali setelah Majelis Umum PBB meminta kepada Komisi Hukum Internasional untuk melakukan kodifikasi mengenai masalah tersebut.20

Pembahasan masalah itu dalam Komisi Hukum Internasional telah dimulai sejak tahun 1955 yaitu dengan menunjuk Mr. Zourek sebagai Rapporteur Khusus (Special Rappoteur). Rencana terakhir konvensi mengenai Hubungan Konsuler telah menyetujui rancangan yang diusulkan dan memutuskan untuk menyelenggarakan suatu konferensi diplomatik dan menyetujuinya pada awal tahun 1963. Wakil dari 95 negara telah berkumpul di ibukota Austria dari tanggal 4 Maret – 22 April 1963 dan tanggal April 1963 telah menyetujui rancangan terakhir konvensi mengenai Hubungan Konsuler termasuk kedua Protokol Pilihan sebagaimana yang juga terjadi pada Konvensi Wina 1961. Akta finalnya telah ditandatangani pada tanggal 24 April 1963 dan dinyatakan berlaku hingga tanggal 19 Maret 1967. Ada sejumlah 117 negara yang sudah

20 GVG Khirsnamurty, Modern Diplomacy hlm. 91.

(38)

meratifikasi dan aksesi, 40 di antaranya telah menjadi pihak dalam Protokol Pilihan tentang Kwajiban untuk Menyelesaikan Sengketa.

Konvensi mengenai Hubungan Konsuler terdiri dari 79 pasal dan digolongkan dalam lima bab. Bab Pertama (Pasal 2-27) antara lain mengenai cara-cara dalam mengadakan hubungan konsuler termasuk tugas-tugas konsul; Bab Kedua (Pasal 28-57) berhubungan dengan kekebalan dan keistimewaan yang diberikan bukan hanya diberikan kepada perwakilan konsulernya, tetapi juga pada pejabat konsuler karir serta para anggota perwakilan konsuler lainnya; sedangkan Bab Ketiga (Pasal 58-67) khusus ketentuan-ketentuan mengenai lembaga Konsul Kehormatan termasuk kantornya. Ketentuan-ketentuan dalam Bab Ketiga ini juga memuat ketentuan-ketentuan tentang kekebalan dan keistimewaan yang diberikan kepada Konsul Kehormatan di Kantornya; Adapun Bab Keempat (Pasal 69-73) berisi ketentuan-ketentuan umum antara lain mengenai pelaksanaan tugas-tugas konsuler oleh perwakilan diplomatik, hubungan konvensi ini dengan persetujuan internasional lainya dan sebagainya; Bab terakhir yakni Bab Kelima adalah mengenai ketentuan- ketentuan final seperti penandatanganan, ratifikasi dan aksesi, mulai berlakunya dan lain-lain.

4. Konvensi New York mengenai Misi Khusus 1969 (New York Convention on Special Mission 1969).

Konvensi Wina 1961 mengenai Hubungan Diplomatik dan Konvensi Wina 1969 mengenai Hubungan Konsuler telah mengutamakan kodifikasi dari hukum kebiasaan yang ada. Pada waktu Konvensi Wina

(39)

mengenai Hubungan Diplomatik dapat diselesaikan, Komisi Hukum Internasional menyadari bahwa hubungan diplomatik bukanlah hanya terdiri dari masalah-masalah yang berkaitan dengan pertukaran misi yang bersifat permanen tetapi juga melibatkan pada pengiriman utusan atau misi dengan tujuan terbatas, seperti apa yang dikenal sebagai “Diplomasi ad- hoc”. Dalam mempertimbangkan hal itu, Komisi Hukum Internasional telah meminta kepada Rapperteur Khusus untuk mempelajari masalah ini.

Setelah ia melaporkan dalam tahun 1960, Komisi Hukum Internasional telah menyetujui satu rancangan tiga pasal mengenai “ Misi Khusus ” yang harus dimasukkan dalam Konvensi mengenai Hubungan Diplomatik.

Majelis Umum PBB kemudian menyetujui pasal-pasal tambahan tersebut diserahkan kepada konferensi yang akan datang dan menekankan bahwa hasil tersebut hanya sebagai studi pendahuluan . menanggapi usul Sub- Komite yang telah dibentuk untuk menangani masalah tersebut, Konferensi Wina telah menyetujui suatu resolusi yang menyerukan agar Majelis Umum PBB memerintahkan kepada Komisi Hukum Internasional untuk meminta merumuskan sebuah instrumen baru secara tersendiri mengenai masalah Misi Khusus.

Rapporteur Khusus yang telah ditunjuk oleh Komisi Hukum Internasional, Mr. Bartos, ditugaskan untuk mempersiapkan rancangan pasal-pasal mengenai masalah itu, yang harus didasarkan dalam ketentuan-ketentuan dalam Konvensi bahwa Misi Khusus yang karena sifat tugasnya haruslah dibedakan dengan Misi Khusus yang karena sifat tugasnya haruslah dibedakan dengan misi diplomatik yang bersifat

(40)

permanen. Beberapa tahun telah dibahas dalam Komisi Hukum Internasional dan dibicarakan secara panjang lebar dalam Komite VI Majelis Umum PBB, maka telah berhasil secara final dirumuskan 50 pasal yang kemudian disampaikan kepada Majelis Umum dalam tahun 1967 dalam sidangnya yang ke-24. Majelis Umum PBB pada tanggal 8 Desember 1969 telah menyetujui Resolusi 2530 (XXIV) yang menyatakan teks konvensi mengenai misi khusus dan menyatakan terbuka untuk penandatanganan, ratifikasi dan aksesi.21

Sebagaimana dikatakan di dalam mukadimahnya, Konvensi mengenai Misi Khusus ini merupakan pelengkap Konvensi Wina 1961 dan 1963 dan dimaksudkan dapat menjadi sumbangan bagi pengembangan hubungan baik semua negara, apapun sistem perundang-undangan maupun sistem sosialnya. Konvensi New York 1969 mengenai Misi Khusus beserta Protokol Pilihan-nya mengenai Kewajiban untuk Menyelesaikan Pertikaian yang sudah berlaku sejak 21 Juni 1985, telah diratifikasi oleh 23 negara sampai dengan tanggal 31 Desember 1987, sepuluh di antaranya menjadi pihak pada Protokol Pilihan.22

5. Konvensi New York Mengenai Pencegahan Pencegahan Dan Penghukuman Kejahatan Terhadap Orang-Orang Yang Menurut Hukum Internasional Dilindungi Termasuk Para Diplomat (Convention on The Prevention and Punishment of Crimes Against Internasionality Protected Persons, Including Diplomatic Agents 1973).

21 Sumaryo Suryokusumo, Op.cit hlm 28

22 Ibid

(41)

Hukum Diplomatik telah mencatat kemajuan lebih lanjut dengan secara khusus mengharuskan melalui sebuah konvensi, suatu kewajiban yang penting bagi negara penerima untuk mencegah setiap serangan yang ditujukan kepada seseorang, kebebasan dan kehormatan dari para diplomat serta untuk nelindungi gedung perwakilan diplomatik. Dalam tahun 1971, Organisasi Negara-negara Amerika telah menyetujui suatu konvensi tentang masalah tersebut. Dalam sidangnya ke-24 dalam tahun 1971, berhubung meningkatnya kejahatan yang dilakukan terhadap misi diplomatik termasuk juga para diplomatnya, dan perlunya untuk menghukum para pelanggar, Majelis Umum PBB telah meminta Komisi Hukum Internasional mempersiapkan rancangan pasal-pasal mengenai pencegahan dan penghukuman kejahatan-kejahatan yang dilakukan terhadap orang-orang yang dilindungi secara Hukum Internasional.

Konvensi mengenai masalah ini akhirnya telah disetujui oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 14 Desember 1973 dengan resolusi 3166 (XXVII). Konvensi ini kemudian telah diberlakukan pada tanggal 2 Februari 1977 dan sekarang sudah tercatat sekitar 70 negara yang sudah meratifikasinya.

Dalam mukadimahnya, ditekankan pentingnya aturan-aturan Hukum Internasional mengenai tidak boleh diganggu gugatnya dan perlunya proteksi secara khusus bagi orang-orang menurut hukum internasional harus dilindungi termasuk, kewajiban negara-negara dalam menangani dan mengatasi masalah itu. Konvensi New York 1973 ini terdiri dari 20 pasal dan walaupun hanya beberapa ketentuan tetapi cukup

(42)

mencukupi berbagai aspek yang berkaitan dengan perlindungan dan penghukuman terhadap pelanggar. Di dalam pasal 1 misalnya, telah diberikan batasan mengenai “ orang-orang yang menurut Hukum Internasional perlu dilindungi ” termasuk Kepala-kepala Negara dan Pemerintahan, Menteri, atau Wakil Diplomatik serta pejabat-pejabat negara serta organisasi internasional lainnya yang memang berhak memperoleh perlindungan secara khusus. Konvensi ini juga merinci apa yang dimaksud dengan tindakan kejahatan yang disengaja seperti pembunuhan, penculikan serta tindakan kekerasan lainnya termasuk ancaman, yang ditujukan baik terhadap mereka maupun gedung atau tempat tinggal mereka. Disamping itu, konvensi juga mengatur tentang kerja sama negara-negara guna mengatasi tindakan tukar-menukar informasi dan tindakan lainnya yang perlu dikoordinasikan.23

6. Konvensi Wina 1975 Mengenai Keterwakilan Negara Dalam Hubungannya Dengan Organisasi Internasional Yang Bersifat Universal (Vienna Convention on the Representation of states in their Relation with International Organization of a Universal Characther 1975).

Konvensi ini dikenal dengan Konvensi Wina 1975 yang juga dikenal sebagai sumbangan yang penting bagi pengembangan kodifikasi Hukum Diplomatik. Urgensi perumusan konvensi sebenarnya didorong adanya situasi dimana pertumbuhan organisasi internasional yang begitu

23 Sumaryo Suryokusumo, Op.cit hlm 29

(43)

cepat baik jumlahnya maupun lingkup masalah hukumnya yang timbul akibat hubungan negara dan organisasi internasional. Perumusan konvensi tersebut tidak sebagaimana dalam Konvensi Wina 1961, karena melibatkan tiga aspek subyek hukum yaitu bukan saja organisasi internasional dan negara-negara anggotanya, tetapi juga negara tuan rumah tempat markas besar organisasi berada. Situasi yang sangat kompleks ini memerlukan hak dan kewajiban dari para pihak yang sangat adil dan memadai.

Sejak dimajukan masalah ini kepada Komisi Hukum Internasional untuk pertama kalinya dalam tahun 1958, barulah pembahasan secara substantif dapat dilakukan dalam tahun 1968 dimana Rapporteur Khusus yang ditugasi dengan masalah itu dapat melaporkan tentang rancangan pasal-pasal yang lengkap dengan komentar mengenai kedudukan hukum dari wakil-wakil negara dalam organisasi internasional. Komisi Hukum Internasional kemudian menyetujui rancangan sementara sebanyak 21 pasal dengan komentar mengenai ruang lingkup dan hal-hal lainnya yang menyangkut rancangan secara keseluruhan termasuk Perwakilan Tetap pada organisasi internasional secara umum. Selama tahun 1969 sampai 1970 setelah melanjutkan pembahasan mengenai topik tersebut, komisi Hukum Internasional telah menyetujui beberapa rancangan pasal lagi tentang kekebalan, keistimewaan, dan kemudahan bagi perwakilan Peninjau Tetap serta delegasi ke berbagai badan dan konvensi. Dalam perkembangannya lebih lanjut terdapat permasalahan baru dalam persidangan tahun 1971 dimana telah dimajukan tiga masalah:

(44)

(i) Dampak yang mungkin terjadi dalam keadaan yang luar biasa seperti tidak adanya pengakuan, tidak adanya/putus nya hubungan diplomatik dan konsuler atau adanya pertikaian senjata di antara anggota-anggota organisasi internasional sendiri.

(ii) Perlu dimasukkannya ketentuan-ketentuan mengenai penyelesaian sengketa.

(iii) Delegasi peninjauan dari negara –negara ke berbagai badan dan konverensi.24

Akhirnya, dalam tahun 1972, Majelis Umum PBB telah memutuskan untuk menyelenggarakan konvensi internasional sesegera mungkin dan dalam tahun 1973, Majelis Umum memberikan waktu agar konferensi semacam itu di beri permulaan dan pada 1975 di Wina.

Konferensi PBB mengenai Ketewakilan Negara-negara dalam Hubungannya dengan Organisasi Internasional yang bersifat Universal telah diadakan di Wina, Austria pada tanggal 4 Februari – 14 Maret 1975 yang dihadiri oleh 81 negara, 2 negara peninjau, 7 badan khusus, 3 organisasi Antar-Pemerintahan dan 7 wakil dari Organisasi Pembebasan Nasional yang diakui oleh Organisasi Persatuan Afrika atau Liga Arab.

Kebiasaan internasional juga merupakan bagian dari sumber hukum diplomatik, walaupun kebiasaan internasional ini tidak terkodifikasi secara tertulis, namun banyak negara-negara yang mematuhi kebiasaan internasional ini banyaknya negara yang mematuhi kebiasaan

24 Sumaryo Suryokusumo, Op.cit hlm 31

(45)

internasional sebagai hukum dikarenakan kebiasaan internasional tidak secara tertulis sehingga hukumnya tidak begitu mengikat. Prinsip-prinsip hukum umum dan keputusan pengadilan juga merupakan sumber hukum diplomatik. Khusus mengenai keputusan pengadilan ini pada hakikatnya tidak mempunyai kekuatan mengikat kecuali pihak-pihak yang bersangkutan. Sebagai contoh, enam keputusan Mahkamah Internasional pada 24 Mei 1980, dalam kasus menyangkut staf perwakilan diplomatik dan konsuler Amerika Serikat di Teheran, yang disetujui oleh 13 suara dan 2 suara menolak.25

1. Sumber hukum dalam arti formil adalah sumber hukum yang memberi jawaban atas pertanyaan “dimana dapat diperoleh kaidah hukum yang dapat dipakai pedoman penyelesaian suatu persengketaan atau masalah”.

Para ahli hukum ternama dari berbagai bangsa yang diterima menjadi anggota Komisi Hukum Internasional berpendapat bertambahnya wibawa sebagai sumber subsider apabila ia bertindak di dalam fungsinya secara langsung berkaitan dengan persoalan hukum internasional yang dicari penyelesaiannya. Menurut kajian teoritik, setidaknya ada tiga macam pengertian sumber hukum yaitu sebagai berikut:

2. Sumber hukum dalam arti materiil adalah sumber hukum yang memberi jawaban atas pertanyaan “apa dasar pengikat suatu kaidah hukum pada masyarakat”.

25 Suryokusumo, Op.Cit.,1995,hlm.25.

(46)

3. Sumber hukum dalam arti yang lain, yaitu sumber hukum yang dapat memberi jawaban atas pertanyaan mengenai “ apa fakor yang membantu dan berpengaruh dalam pembentukan kontruksi hukum sebagai refleksi atas fenomena sosial dalam kehidupan masyarakat ”. Faktor tersebut bersifat politis, ekonomis, sosiologis, antropologis maupun psikologis.26

Para ahli hukum belum tentu sama dalam memaknai sumber hukum, misalnya J.G. Starke mengartikan sumber hukum dalam arti material sebagai sumber hukum yang menjawab pertanyaan dimana diperoleh kaidah hukum yang bisa digunakan pedoman penyelesaian permasalahan. Dengan demikian, sumber hukum dalam arti materialmenurut J.G. Starke sama dengan pengertian sumber hukum dalam arti formil sebagaimana penjabaran angka (2) di atas. Dalam konteks pembahasan ini, pengertian sumber hukum material adalah sumber hukum yang menjawab pertanyaan dimana diperoleh kaidah hukum yang bisa digunakan pedoman penyelesaianpermasalahan.27

Sumber hukum materil dari Hukum Diplomatik berkaitan dengan sumber hukum materiil dari hukum internasional karena pada hakikatnya Hukum Diplomatik merupakan bagian dari Hukum Internasional. Sampai saat ini belum ada satu pun badan internasional khusus yang bertugas menciptakan hukum diplomatik (legislator). Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa selama ini hanya bertindak sebagai lembaga pengesah semua konvensi internasional mengenai hukum diplomatik, kemudian dikembangkan dan dikodifikasi oleh

26 Widodo ,Op.Cit., 2009. hlm28.

27 J.G. Starke , Op.Cit, Rajawali, Jakarta, 1990, hlm 45.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penulisan ini adalah bahwa perlindungan terhadap warganegara dinegara lain yang tidak memiliki atau telah melakukan pemutusan hubungan diplomatik dan

Pada bagian ini dibahas tentang pertanggungjawaban negara atas pelanggaran hak Kekebalan Diplomatik ditinjau dalam Hukum Internasional (Konvensi Wina 1961 tentang

Yang menjadi latar belakang timbulnya tanggung jawab negara dalam hukum internasional adalah tidak ada negara yang dapat menikmati hak-haknya tanpa menghormati hak- hak

Hal ini merupakan sebuah anomali mengingat bahwa perseteruan Qatar dengan empat negara tersebut yang memutuskan hubungan diplomatik dengannya masih berlanjut, dan dalam jangka

Puji syukur kehadirat Allah SWT dimana atas segala rahmat, berkah dan karunia Nya, sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi yang berjudul “ Persepsi Arab Saudi

Dalam pengertian di atas, bila kita lihat dari kasus negara Arab dan Qatar, Qatar berjuang keras untuk bangkit dari keterpurukan ekonomi akibat embargo yang

“Hubungan Diplomatik Taiwan dengan Negara Lain Dalam Statusnya Sebagai. Subjek

Normalisasi hubungan diplomatik yang dilakukan oleh negara-negara Arab dengan Israel dapat memiliki dampak terhadap kebijakan luar negeri Indonesia di kawasan tersebut.. Sebagaimana