• Tidak ada hasil yang ditemukan

KINERJA MESIN PENDINGIN SIKLUS ADSORPSI YANG DIGERAKKAN ENERGI SURYA DENGAN LUAS KOLEKTOR 1 m 2 DAN KEMIRINGAN KOLEKTOR 30 o SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "KINERJA MESIN PENDINGIN SIKLUS ADSORPSI YANG DIGERAKKAN ENERGI SURYA DENGAN LUAS KOLEKTOR 1 m 2 DAN KEMIRINGAN KOLEKTOR 30 o SKRIPSI"

Copied!
134
0
0

Teks penuh

(1)

KINERJA MESIN PENDINGIN SIKLUS ADSORPSI YANG DIGERAKKAN ENERGI SURYA DENGAN LUAS KOLEKTOR 1 m2

DAN KEMIRINGAN KOLEKTOR 30o

SKRIPSI

Skripsi Yang Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Teknik

DANIEL C SIBARANI NIM. 110401050

DEPARTEMEN TEKNIK MESIN FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2016

(2)

ABSTRAK

Energi surya merupakan energi terbesar di muka bumi, di Indonesia sendiri energi surya dapat dimanfaatkan ke berbagai hal. Berdasarkan data penyinaran matahari yang dihimpun dari 18 lokasi di Indonesia, radiasi surya di Indonesia untuk Kawasan Barat Indonesia (KBI) mencapai 4,5 kWh/m2 /hari dengan variasi bulanan sekitar 10%, sementara itu untuk Kawasan Timur Indonesia (KTI) sekitar 5,1 kWh/m2 /hari dengan variasi bulanan sekitar 9%. Dengan demikian Energi surya tersebut dimanfaatkan sebagai sumber energi utama pada mesin pendingin siklus adsorpsi untuk menghasilkan efek pendinginan. Pada penelitian ini, komponen utama mesin terdiri dari kolektor/absorber, kondensor, dan evaporator.

Luas permukaan kolektor/absorber 1 m2 dan diatur pada kemiringan 30o. Kolektor diisi dengan 18,5 kg karbon aktif sedangkan evaporator diisi dengan 5 liter metanol.

Media yang didinginkan adalah air sebanyak 4 liter. Pengujian berlangsung selama tiga hari yang dibagi dalam dua periode yaitu proses desorpsi dan proses adsorpsi.

Hasil yang didapat dari penelitian ini adalah kolektor dapat menyerap radiasi matahari dengan rata-rata harian 7.093.769,356 J dan dapat menurunkan temperatur air menjadi 1,85 oC pada siklus adsorpsi pertama dengan rata-rata temperatur lingkungan 26,9 oC.

Kata kunci: energi surya, mesin pendingin, kolektor/adsorber, kondensor, evaporator

(3)

ABSTRACT

Solar Energy is the biggest energy on the earth, solar enegy in Indonesia can be utilized for variety of things. Based on solar radiation data collected from 18 locations in Indonesia, solar radiation for West Indonesia area has reached 4,5 kWh/m2 /day with monthly variation about 10%, while East Indonesia area has reached about 5,1 kWh/m2 /day with monthly variation about 9%. Therefore, the solar energy can be utilized as the main source of energy for the adsorption refrigeration cycle cooling machine to produce cooling effect. In this research, the main component of this machine consist of collector/adsorber, condenser, and evaporator. The surface area of this collector/adsorber is about 1m2 and tilted at 30o. The collector filled with about 18,5 kg of activated carbon, meanwhile the evaporator filled with 5 Litres of methanol. The chilled media is 4 litres of water.

This experimental lasts for three days, divided by two periods that are desorption process and adsorption process. The result from this experiment was the collector can adsorb solar radiation with daily average about 7.093.769,356 Joule and could decrease the water temperature become 1,85 oC at first adsorption cycle, while the ambience temperature about 26,9 oC.

Keyword: solar energy, cooling machine, collector/adsorber, condenser, evaporator

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kasih karunia-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini dengan baik pada waktunya. Penulisan Skripsi ini merupakan salah satu syarat bagi mahasiswa S-1 untuk dapat menyelesaikan pendidikan agar memperoleh gelar sarjana di Departemen Teknik Mesin, Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

Adapun Tugas Akhir yang dipilih merupakan bidang Teknik Pendingin dengan judul “KINERJA MESIN PENDINGIN SIKLUS ADSORPSI YANG DIGERAKKAN ENERGI SURYA DENGAN LUAS KOLEKTOR 1 m2 DAN KEMIRINGAN KOLEKTOR 30o”.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis mendapat banyak dukungan dan masukan ide dari beberapa pihak. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Bapak Tulus Burhanuddin Sitorus, ST., MT., selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk membimbing penulis dalam pengujian dan penyusunan laporan skripsi, serta memberikan bahan-bahan referensi kepada penulis.

2. Bapak Dr. Ing. Ir. Ikhwansyah Isranuri, selaku Ketua Departemen Teknik Mesin, Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Ir. M. Syahril Gultom, MT., selaku Sekertaris Departemen Teknik Mesin, Universitas Sumatera Utara.

4. Seluruh staf pengajar dan staf tata usaha Departemen Teknik Mesin Universitas Sumatera Utara, yang telah membantu dan melengkapi segala keperluan dalam pengerjaan laporan ini.

5. Kepada kedua orang tua saya tercinta Ir. Pantas Sibarani dan Rosana Lubis, SH yang tidak henti-hentinya memberikan dukungan baik secara moril maupun materi kepada penulis dengan penuh kasih sayang.

6. Kepada kedua kakak saya Lidya Marshinta Berliana Sibarani dan Minanty Gaby Tamara Sibarani yang selalu memberikan semangat, motivasi, serta nasihat kepada penulis.

(5)

7. Rekan satu tim penelitian, Efsartua Butarbutar, Anthony Tannady, dan John Piter Simanjuntak atas kerja sama yang keras dalam melakukan pengujian dan penyelesaian skripsi

8. Kepada Febrina Angelly Butarbutar yang telah memberikan dukungan kepada penulis.

9. Seluruh teman-teman mahasiswa Teknik Mesin Universitas Sumatera Utara angkatan 2011 yang memberikan semangat serta solusi kepada penulis dalam menyelesaikan Tugas Akhir ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan dan dukungan selama penyelesaian skripsi ini.

Akhir kata, besar harapan penulis agar skripsi ini dapat berguna bagi pengembangan dalam bidang keteknikan maupun penelitian yang bersangkutan dengan Mesin Pendingin Siklus Adsorpsi ini, serta dapat bermanfaat bagi Masyarakat. Penulis juga tidak lupa memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila terdapat kesalahan yang dilakukan selama menyelesaikan Tugas Akhir ini, maupun dalam penyusunan skripsi ini kepada semua pihak yang bersangkutan.

Medan, Desember 2016

Penulis,

Daniel C Sibarani

NIM. 110401050

(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR TABEL ...xiv

DAFTAR SIMBOL ...xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan Penelitian ... 2

1.3. Batasan Masalah... 3

1.4. Manfaat Penelitian ... 3

1.5. Sistematika Penulisan ... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Teori Umum Adsorpsi ... 5

2.1.1. Jenis-jenis Adsorpsi ... 6

2.1.1.1. Adsorpsi Fisika ... 6

2.1.1.2. Adsorpsi Kimia ... 6

2.1.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Daya Adsorpsi ... 6

2.1.2.1. Jenis Adsorbat ... 6

2.1.2.2. Temperatur ... 7

2.1.2.3. Tekanan Adsorbat ... 7

2.1.2.4. Karakteristik Adsorben ... 7

2.1.3. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Efisiensi Adsorpsi ... 7

2.1.4. Isoterm Adsorpsi ... 8

2.2. Sistem Refrigerasi Adsorpsi ... 9

(7)

2.3. Studi Literatur Jurnal Internasional ... 11

2.4. Pengaruh Sudut Kemiringan Kolektor Surya Pelat Datar ... 14

2.5. Adsorben ... 15

2.5.1. Jenis-jenis Adsorben ... 16

2.5.1.1. Adsorben Tidak Berpori (Non-Porous Sorbent) ... 16

2.5.1.2. Adsorben Berpori( Porous Sorbents) ... 16

2.5.2. Kriteria Adsorben untuk Menjadi Adsorben Komersil ... 16

2.6. Karbon Aktif sebagai Adsorben ... 17

2.6.1. Penggunaan Karbon Aktif ... 19

2.6.2. Jenis-jenis Karbon Aktif ... 20

2.6.2.1. Karbon Aktif untuk Fasa Cair ... 20

2.6.2.2. Karbon Aktif untuk Fasa Uap ... 20

2.6.2.3. Aktivasi Karbon Aktif ... 21

2.6.3. Pemilihan Karbon Aktif ... 22

2.7. Methanol sebagai Adsorbat ... 23

2.8. Kalor (Q) ... 24

2.8.1. Kalor Laten... 24

2.8.2. Kalor Sensibel ... 25

2.8.3. Perpindahan Kalor ... 25

2.9. Intensitas Radiasi ... 30

2.10. Panas yang Diserap Matahari ... 31

2.11. Energi Panas Aktual yang Digunakan Kolektor Untuk Proses Desorpsi ... 33

2.12. Effisiensi Aktual Mesin Pendingin ... 34

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 35

3.1. Tempat dan Waktu ... 35

3.2. Alat dan Bahan ... 35

3.2.1. Alat ... 35

3.2.2. Bahan ... 40

3.3.Dimensi Komponen Utama Mesin Pendingin Adsorpsi ... 42

3.3.1. Kolektor ... 42

3.3.1.1. Adsorber ... 42

(8)

3.3.1.2. Kotak Insulasi Adsorber ... 44

3.3.1.3. Kaca Penutup Adsorber ... 45

3.3.2. Kondesor ... 45

3.3.3. Evaporator ... 46

3.3.3.1.Wadah Air ... 47

3.3.3.2. Kotak Insulasi Evaporator ... 48

3.4. Langkah Pembuatan Mesin Pendingin Adsorpsi ... 49

3.4.1. Pembuatan Ulang Kolektor ... 49

3.4.2. Pembuatan Ulang Evaporator ... 51

3.4.3. Modifikasi Insulasi dengan Kaca Penutup ... 53

3.5. Set-Up Eksperimental ... 55

3.6. Pelaksanaan Penelitian ... 57

3.7. Variabel Penelitian ... 60

3.7.1. Variabel Bebas ... 60

3.7.2. Variabel Terikat ... 60

3.8. Metode Pelaksanaan Penelitian ... 61

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 62

4.1. Hasil Pengujian ... 62

4.1.1. Pengujian Hari Pertama... 62

4.1.2. Pengujian Hari Kedua ... 64

4.1.3. Pengujian Hari Ketiga ... 66

4.2. Analisa Grafuk ... 69

4.2.1. Pengaruh Intensitas Radiasi terhadap Temperatur Komponen ... 69

4.2.2. Adsorber ... 72

4.2.2.1. Kondisi Temperatur dan Tekanan pada Pengujian Hari Pertama ... 72

4.2.2.2. Kondisi Temperatur dan Tekanan pada Pengujian Hari Kedua ... 73

4.2.2.3. Kondisi Temperatur dan Tekanan pada Pengujian Hari Ketiga ... 74

4.2.3. Kondensor ... 75

4.2.4. Evaporator dan Air ... 77

(9)

4.2.4.1. Analisa Perubahan Air Menjadi Es ... 80

4.3.Volume Methanol ... 80

4.4. Pengolahan Data ... 82

4.4.1. Perhitungan Intensitas Radiasi ... 84

4.4.2. Perhitungan Panas yang Diserap Kolektor ... 86

4.4.3. Panas Aktual yang Diperlukan Kolektor untuk Proses Desorpsi (Qic) ... 89

4.4.3.1. Qic Pada Pengujian Pertama ... 89

4.4.3.2. Qic Pada Pengujian Kedua ... 90

4.4.3.3. Qic Pada Pengujian Ketiga ... 90

4.4.4. Effisiensi Aktual Kolektor ... 91

4.4.4.1. Effisiensi Pengujian Pertama ... 91

4.4.4.2. Effisiensi Pengujian Kedua ... 92

4.4.4.3. Effisiensi Pengujian Ketiga ... 92

4.4.5. Perhitungan Kondensor ... 92

4.4.6. Perhitungan Evaporator ... 96

4.4.7. Kapasitas Pendinginan Aktual (Quc) dan Koefisien Performansi (COP) Aktual Siklus ... 99

4.4.7.1. Pengujian Hari Pertama ...100

4.4.7.2. Pengujian Hari Kedua ...100

4.4.7.3. Pengujian Hari Ketiga ...101

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ...102

5.1. Kesimpulan ...102

5.2. Saran ...103

DAFTAR PUSTAKA ... xviii LAMPIRAN

(10)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1. Ilustrasi Proses Adsorpsi ... 5

2.2. Siklus Dasar Refrigerasi Adsorpsi ... 9

2.3. Diagram Clayperon Ideal Sistem Pendingin Siklus Adsorpsi ... 10

2.4. Komponen Siklus Adsorpsi ... 12

2.5. Prinsip kerja mesin pendingin siklus adsorpsi ... 13

2.6. Jenis-jenis adsorben ... 17

2.7. Karbon Aktif ... 18

2.8. Methanol Pro Analisys ... 24

2.9. Perpindahan panas pada kolektor surya ... 26

2.10.a. Intensitas Radiasi Bidang horizontal ... 30

2.10.b. Intensitas Radiasi Bidang yang dimiringkan ... 30

3.1. Sistem akuisisi data dan Thermocouple type K ... 35

3.2. Alat pengukur jarak laser ... 36

3.3. Manometer vakum ... 37

3.4. Pompa vakum... 37

3.5. Katub ... 38

(11)

3.6. Laptop ... 39

3.7. HOBO Microstation Data Logger ... 39

3.8. Model Kolektor ... 42

3.9. Ruang Bagian Dalam Adsorber ... 43

3.10. Model Kotak Insulasor Kolektor ... 44

3.11. Dimensi Kotak Insulator Kolektor ... 44

3.12. Model Kaca Penutup Adsorber ... 45

3.13. Model Kondensor... 46

3.14. Model Evaporator ... 46

3.15. Dimensi Evaporator (dalam cm) ... 47

3.16. Dimensi Wadah Air (dalam cm) ... 47

3.17. Kotak Insulasor Evaporator ... 48

3.18. Karbon aktif dimasukkan ke adsorber ... 49

3.19. Pemasangan Kawat Kasa ... 50

3.20. Adsorber dicat hitam doff ... 50

3.21. Bagian bawah Adsorber ... 51

3.22. Alas bawah evaporator dan jalur pelampung ukur ... 51

3.23. Pelampung ukur dipasang ... 52

3.24. Evaporator Siap digunakan ... 53

(12)

3.25. Kotak Insulasor Kolektor setelah dimodifikasi... 53

3.26. Adsorber siap digunakan... 54

3.27. Proses Desorpsi Mesin Pendingin ... 55

3.28. Proses Adsorpsi Mesin Pendingin ... 56

3.29. Mesin Pendingin Terpasang ... 57

3.30. Letak channel thermocouple ... 58

3.31. Kaca Penutup dibuka saat proses adsorpsi dimulai ... 59

3.32. Diagram alir penelitian ... 61

4.1. Grafik perbandingan intensitas radiasi aktual dengan teoritis pada hari pertama ... 69

4.2. Grafik perbandingan intensitas radiasi aktual dengan teoritis pada hari kedua ... 69

4.3. Grafik perbandingan intensitas radiasi aktual dengan teoritis pada hari ketiga... 70

4.4. Grafik Intensitas Radiasi Surya dan Temperatur Komponen Pengujian Hari Pertama ... 71

4.5. Grafik Intensitas Radiasi Surya dan Temperatur Komponen Pengujian Hari Kedua ... 71

4.6. Grafik Intensitas Radiasi Surya dan Temperatur Komponen Pengujian Hari Ketiga ... 72

(13)

4.7. Grafik Temperatur dan Tekanan Adsorber vs Waktu pada

Pengujian Hari Pertama ... 72 4.8. Grafik Temperatur dan Tekanan Adsorber vs Waktu pada

Pengujian Hari Kedua ... 73 4.9. Grafik Temperatur dan Tekanan Adsorber vs Waktu pada

Pengujian Hari Ketiga ... 74 4.10. Grafik Temperatur Kondensor vs Waktu pada Pengujian hari Pertama

... 75 4.11. Grafik Temperatur Kondensor vs Waktu pada Pengujian hari Kedua ... 76 4.12. Grafik Temperatur Kondensor vs Waktu pada Pengujian hari Ketiga ... 76 4.13. Grafik Temperatur dan Tekanan Evaporator vs Waktu pada

Pengujian Hari Pertama ... 77 4.14. Grafik Temperatur dan Tekanan Evaporator vs Waktu pada

Pengujian Hari Kedua ... 78 4.15. Grafik Temperatur dan Tekanan Evaporator vs Waktu pada

Pengujian Hari Ketiga ... 78 4.16. Grafik perubahan volume methanol saat proses adsorpsi pengujian

hari pertama ... 82

(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1. Sifat Adsorben Karbon Aktif ... 18

2.2. Sifat Adsorben Karbon Aktif ... 19

2.3. Sifat Metanol ... 23

2.4. Korelasi empiris bilangan Nusselt rata-rata yang terjadi pada Permukaan proses konveksi bebas ... 28

3.1. Spesifikasi Pyranometer ... 40

3.2. Konduktivitas Termal Bahan Insulasi ... 48

4.1. Proses Pemanasan Awal Kolektor ( 2 September 2016) ... 62

4.2. Proses Adsorpsi Siklus Pertama (2 September – 3 September 2016) 63 4.3. Proses Desorpsi Siklus Pertama ( 3 September 2016) ... 64

4.4. Proses Adsorpsi Siklus Kedua ( 3 September – 4 September 2016) 65 4.5. Proses Desorpsi Siklus Kedua ( 4 September 2016) ... 66

4.6. Proses Adsorpsi Siklus Ketiga ( 4 September – 5 September 2016) 67 4.7. Rekap data Temperatur Komponen dan Intensitas Radiasi ... 68

4.8. Volume methanol pada saat adsorpsi pengujian hari pertama .... 81

4.9. Data intensitas radiasi matahari kolektor 30o selama 60 menit .. 85

(15)

4.10. Perhitungan intensitas radiasi matahari kolektor 30o pengujian pertama ... 86 4.11. Data perhitungan panas yang diserap kolektor 30o pengujian

pertama ... 88 4.12. Rekapitulasi energi yang sampai (Qit) dan diserap (S) selama

pengujian ... 89 4.13. Qkonveksi total pengujian ... 96 4.14. Data insulasi evaporator ... 96

(16)

DAFTAR SIMBOL

Simbol Keterangan Satuan

Qs Kalor sensible J

M Massa zat Kg

Cp Panas jenis zat J/kgoC

Le Panas laten zat J/kg

ΔT Beda temperature oC

K Konduktivitas termal W/moC

A Luas bidang m2

Δx Tebal material M

qcond Laju perpindahan panas konduksi W

qconv Laju perpindahan panas konveksi W

Ts Temperatur permukaan oC

T Temperatur lingkungan oC

mr Massa refrigeran (metanol) Kg

Vr Volume refrigeran (metanol) Liter

xr Ketinggian permukaan methanol Cm

hsg Panas laten methanol kJ/kg

Tw Temperatur air oC

H Koefisien Konveksi W/m2.K

U Koefisien perpindahan panas menyeluruh W/m2oC

P Tekanan Psi

(17)

Nu Bilangan Nusselt

 Spesifik Volum Kg/m3

𝜇 Viskositas Dinamik N.s/m2

𝛽 Koefisien Ekspansi K-1

Pr Bilangan Prandtl Gr Bilangan Grashof

QT Laju Pindahan Panas dari Sisi Depan Evaporator W QR Laju Pindahan Panas dari Sisi Kiri & Kanan Evaporator W QB Laju Pindahan Panas dari Sisi Bawah Evaporator W QD Laju Pindahan Panas dari Sisi Depan Evaporator W QK Laju Pindahan Panas dari Sisi Belakang Evaporator W

qin Laju Panas Masuk ke Kondensor W

Ra Bilangan Rayleigh

∑ 𝑅𝑡ℎ Tahanan Termal Keseluruhan oC/W

QL Kapasitas Kalor Penguapan Metanol J

h Entalpi kJ/kg

s Entropi kJ/kg.K

Wc Kerja Kompresor W

𝑚̇ Laju Aliran Massa kg/s

𝜂 Efisiensi %

(18)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kebutuhan energi di Indonesia semakin meningkat seiring dengan pesatnya Perkembangan Teknologi dewasa ini. Salah satu energi yang sangat dibutuhkan saat ini adalah energi listrik, namun demikian pembangunan pembangkit listrik (power plant) itu sendiri tidak berimbang dengan penggunaan listrik tersebut. Indonesia merupakan negara beriklim tropis, dimana salah satu penggunaan energi listrik terbesar adalah pada sistem pendinginan ataupun pengkondisian udara. Disamping itu pesatnya pembangunan gedung-gedung komersial di kota-kota besar di Indonesia juga mempengaruhi besarnya kebutuhan energi listrik dalam hal pendinginan. Oleh karena itu, solusi yang marak dikembangkan saat ini adalah pemanfaatan energi surya. Indonesia memiliki potensi energi surya yang cukup besar mengingat letak geografisnya yang berada pada daerah tropis. Berdasarkan data penyinaran matahari yang dihimpun dari 18 lokasi di Indonesia, radiasi surya di Indonesia untuk Kawasan Barat Indonesia (KBI) mencapai 4,5 kWh/m 2 /hari dengan variasi bulanan sekitar 10%, sementara itu untuk Kawasan Timur Indonesia (KTI) sekitar 5,1 kWh/m 2 /hari dengan variasi bulanan sekitar 9%. Untuk memanfaatkan potensi energi surya tersebut, telah dikenal teknologi energi surya termal dan energi surya fotovoltaik. Energi surya termal pada umumnya digunakan untuk memasak, mengeringkan hasil pertanian dan memanaskan air. Sedangkan energi surya fotovoltaik digunakan untuk memenuhi kebutuhan listrik, pompa air, televisi, telekomunikasi, dan lemari pendingin dengan kapasitas total sekitar 6 MW.

Pengembangan energi surya fotovoltaik di Indonesia terutama ditujukan bagi penyediaan energi listrik di daerah perdesaan. Kondisi geografis Indonesia yang terdiri atas pulau-pulau yang kecil serta banyak yang terpencil menyebabkan sulit untuk dijangkau oleh jaringan listrik terpusat. Dengan demikian, energi surya dapat dimanfaatkan untuk penyedian listrik dalam rangka mempercepat rasio elektrifikasi desa [19].

(19)

Karena efisiensi konversi energinya masih lebih baik, maka pada penelitian ini difokuskan pada pemanfaatan energi surya secara termal. Hal ini sangat mendukung untuk dikembangkannya sebuah mesin pendingin khususnya mesin pendingin yang didukung oleh tenaga surya. Aplikasi mesin pendingin ini meliputi bidang yang sangat luas, antaranya untuk keperluan rumah tangga seperti pembuatan es, menyimpan bahan makanan dan minuman, sampai kepada industri kimia dan farmasi, pertanian, dan lain sebagainya. Macam-macam mesin pendingin dengan berbagai siklus juga dapat ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu jenis mesin pendingin yang sering digunakan adalah dengan mesin pendingin siklus kompresi uap, dimana siklus ini membutuhkan suatu zat pendingin yang disebut Refrigerant. Namun, pada penelitian ini digunakan mesin pendingin yang memanfaatkan proses adsorpsi pada suatu siklus yang digerakkan oleh tenaga surya, dimana siklus ini menggantikan prinsip siklus kompresi uap. Adsorpsi adalah suatu proses yang terjadi ketika suatu fluida (cairan maupun gas) terikat pada suatu padatan dan akhirnya membentuk suatu film (lapisan tipis) pada permukaan padatan tersebut. Berbeda dengan adsorpsi, dimana fluida terserap oleh fluida lainnya dengan membentuk suatu larutan [32].

Dari beberapa hal di atas menunjukkan bahwa pemanfaatan energi surya dapat dijadikan latarbelakang dalam penelitian ini. Dimana salah satu garis besar penelitian ini adalah menangkap radiasi enargi surya dalam bentuk termal dan memanfaatkannya untuk menghasilkan pendinginan (refrigerasi).

1.2.Tujuan Penelitian

a. Meningkatkan efektivitas mesin pendingin adsorpsi pada pengujian sebelumnya dengan memodifikasi komponen adsorber dan evaporator.

b. Mengghitung intensitas radiasi yang sampai pada komponen kolektor.

c. Mengetahui temperatur minimum air yang dapat dicapai.

d. Menghitung efisiensi mesin pendingin adsorpsi.

e. Menghitung nilai Coefficient Of Performance (COP) mesin pendigin.

(20)

1.3. Batasan Masalah

Agar penelitian ini lebih terarah maka peneliti membatasi masalah sebagai berikut:

a. Karbon aktif yang digunakan merupakan jenis karbon aktif butiran (granular) yang terbuat dari cangkang kelapa yang diarangkan sebanyak 18,5 kg.

b. Metanol yang digunakan adalah metanol jenis pro analis dengan kadar kemurnian 99 % sebanyak 5 liter

c. Media yang didinginkan adalah air dengan volume 4 liter

d. Kolektor yang digunakan adalah jenis pelat datar dengan luas 1 m2, tebal 5 cm dan sudut kolektor pada saat pengujian adalah 30o ke arah timur

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini antara lain adalah:

a. Menghasilkan mesin pendingin yang hemat energi dan ramah lingkungan b. Memenuhi kebutuhan akan alat pendingin di daerah yang belum terjangkau

aliran listrik

c. Sebagai wacana serta referensi dalam sistem refrigerasi yang dapat dikembangkan untuk penelitian yang lebih lanjut

1.5. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini dibagi menjadi beberapa bab dengan garis besar tiap bab sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan

Pada bab ini akan membahas latar belakang penulisan skripsi, perumusan masalah, batasan masalah, tujuan dan manfaat serta sistematika penulisan skripsi.

Bab II Tinjauan Pustaka

Pada bab ini membahas teori-teori yang dapat mendukung dan menjadi pedoman dalam penyusunan skripsi. Pada bab ini dibahas adsorben, adsorbat, serta prinsip kerja alat penguji kapasitas adsorpsi dan perpindahan panas.

(21)

Bab III Metodologi Penelitian

Pada bab ini penulis membahas tentang alat dan bahan yang digunakan dalam perancangan alat. Serta gambar alat-alat dan bahan yang digunakan.

Bab IV Hasil Pengujian dan Analisa

Pada bab ini penulis membahas tentang data pengujian dalam bentuk tabel dan dalam bentuk grafik dan dianalisa data yang didapat dari pengujian alat dan perhitungan teknik hasilnya.

Bab V Kesimpulan

Pada bab ini berisi tentang kesimpulan dari skripsi yang telah selesai dikerjakan dan saran-saran yang diperlukan untuk penyempurnaan hasil penelitian.

Daftar Pustaka

Daftar Pustaka berisikan literatur-literatur yang digunakan untuk menyusun laporan ini.

Lampiran

Lampiran berisikan data dari hasil penelitian yang didapatkan dan gambar selama proses pengerjaan alat perakitan/ pembuatan mesin pendingin dan saat pengujian.

(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Teori Umum Adsorpsi

Adsorpsi merupakan suatu proses penyerapan oleh padatan tertentu terhadap zat tertentu yang terjadi pada permukaan zat padat karena adanya gaya tarik atom atau molekul pada permukaan zat padat tanpa meresap kedalam. Bila gas atau uap bersentuhan dengan permukaan padatan yang bersih, maka gas atau uap tadi akan teradsorpsi pada permukaan padatan tersebut. Permukaan padatan disebut sebagai adsorben, sedangkan gas atau uap disebut sebagai adsorbat. Semua padatan dapat menyerap gas atau uap pada permukaan. Banyak gas yang teradsorpsi yang bergantung pada suhu dan tekanan gas serta luas permukaan padatan. Padatan yang paling efisien adalah padatan yang sangat porous seperti arang dan butiran padatan yang sangat halus[4]. Proses adsorpsi dapat terjadi karena adanya gaya tarik atom atau molekul pada permukaan padatan yang tidak seimbang. Adanya gaya ini, padatan cenderung menarik molekul-molekul lain yang bersentuhan dengan permukaan padatan, baik fasa gas atau fasa larutan kedalam permukaannya.

Akibatnya konsentrasi molekul pada permukaan menjadi lebih besar dari pada dalam fasa gas zat terlarut dalam larutan. Pada adsorpsi interaksi antara adsorben dengan adsorbat hanya terjadi pada permukaan adsorben[1].

Gambar 2.1. Ilustrasi Proses Adsorpsi

(23)

2.1.1. Jenis – Jenis Adsorpsi

Berdasarkan Interaksi molekular antara permukaan adsorben dengan adsorbat, adsorpsi dibagi menjadi 2 yaitu :

2.1.1.1. Adsorpsi Fisika

Adsorpsi Fisika terjadi karena adanya gaya Van der Waals. Pada adsorpsi fisika, gaya tarik menarik antara molekul fluida dengan molekul pada permukaan padatan (Intermolekuler) lebih kecil dari pada gaya tarik menarik antar molekul fluida tersebut sehingga gaya tarik menarik antara adsorbat dengan permukaan adsorben relatif lemah pada adsorpsi fisika, adsorbat tidak terikat kuat dengan permukaan adsorben sehingga adsorbat dapat bergerak dari suatu bagian permukaan ke permukaan lainnya dan pada permukaan yang ditinggalkan oleh adsorbat tersebut dapat digantikan oleh adsorbat lainnya. Keseimbangan antara permukaan padatan dengan molekul fluida biasanya cepat tercapai dan bersifat reversibel. Adsorpsi fisika memiliki kegunaan dalam hal penentuan luas permukaan dan ukuran pori.

2.1.1.2. Adsorpsi Kimia

Adsorpsi kimia terjadi karena adanya ikatan kimia yang terbentuk antara molekul adsorbat dengan permukaan adsorben. Ikatan kimia dapat berupa ikatan kovalen/ion. Ikatan yang terbentuk kuat sehingga spesi aslinya tidak dapat ditentukan. Karena kuatnya ikatan kimia yang terbentuk maka adsorbat tidak mudah terdesorpsi. Adsorpsi kimia diawali dengan adsorpsi fisik dimana adsorbat mendekat kepermukaan adsorben melalui gaya Van der Waals/ Ikatan Hidrogen kemudian melekat pada permukaan dengan membentuk ikatan kimia yang biasa merupakan ikatan kovalen[2].

2.1.2. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Daya Adsorpsi Adapun faktor- faktor yang mempengaruhi daya adsorpsi yaitu :

2.1.2.1. Jenis Adsorbat

• Ukuran molekul adsorbat, Ukuran molekul adsorbat yang sesuai merupakan hal yang penting agar proses adsorpsi dapat terjadi, karena

(24)

molekul-molekul yang dapat diadsorpsi adalah molekul-molekul yang diameternya lebih kecil atau sama dengan diameter pori adsorben.

• Kepolaran zat, Adsorpsi lebih kuat terjadi pada molekul yang lebih polar dibandingkan dengan molekul yang kurang polar pada kondisi diameter yang sama. Molekul-molekul yang lebih polar dapat menggantikan molekul-molekul yang kurang polar yang telah lebih dahulu teradsorpsi . Pada kondisi dengan diameter yang sama, maka molekul polar lebih dahulu diadsorpsi.

2.1.2.2. Temperatur

Saat molekul-molekul adsorbat menempel pada permukaan adsorben terjadi pembebasan sejumlah energi sehingga adsorpsi digolongkan bersifat eksoterm. Bila suhu rendah maka kemampuan adsorpsi meningkat sehingga adsorbat bertambah.

2.1.2.3. Tekanan Adsorbat

Pada adsorpsi fisika bila tekanan adsorbat meningkat jumlah molekul adsorbat akan bertambah namun, pada adsorpsi kimia jumlah molekul adsorbat akan berkurang bila tekanan adsorbat meningkat.

2.1.2.4. Karakteristik Adsorben

Ukuran pori dan luas permukaan adsorben merupakan karakteristik penting adsorben. Ukuran pori berhubungan dengan luas permukaan, semakin kecil ukuran pori adsorben maka luas permukaan semakin tinggi.

Sehingga jumlah molekul yang teradsorpsi akan bertambah. Selain itu kemurnian adsorben juga merupakan karakterisasi yang utama dimana pada fungsinya adsorben yang lebih murni yang lebih diinginkan karena kemampuan adsorpsi yang baik.

2.1.3. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Efisiensi Adsorpsi

• Temperatur, Oleh karena proses adsorpsi adalah proses yang eksotermis, maka adsorpsi akan berkurang pada temperatur lebih tinggi. Jika terdapat reaksi antara kontaminan yang teradsorpsi dan permukaan adsorben antara 2 atau lebih kontaminan kimia tersebut maka laju reaksinya akan meningkat pada temperatur yang lebih tinggi.

(25)

• Kelembapan, Uap air mudah diadsorpsi oleh jenis adsorben polar sehingga kelembapan yang tinggi dapat mempengaruhi dan mengurangi kemampuan adsorben tersebut untuk mengadsorpsi kontaminan.

• Laju Alir Pengambilan Sampel, Jika terlalu tinggi laju alir dapat mengurangi efisiensi adsorpsi

• Adanya Kontaminan Lain, Adanya kontaminan lain dapat mengurangi efisiensi adsorpsi karena adanya kompetisi antar kontaminan tersebut pada bagian adsorpsi. Reaksi antar senyawaan juga mungkin terjadi, sehingga diperoleh hasil konsentrasi yang lebih rendah yang seharusnya.

• Adsorpsi Zat Terlarut oleh Zat Padat, Penyerapan zat dari larutan, mirip dengan penyerapan gas oleh zat padat. Penyerapan bersifat selektif yang diserap hanya zat terlarut oleh pelarut. Bila didalam suatu larutan terdapat 2 buah zat ataupun lebih maka zat yang satu akan diserap lebih kuat dibanding zat yang lain. Zat yang dapat menurunkan tegangan permukaan maka lebih kuat diserap. Makin kompleks zat terlarut makin kuat diserap oleh adsorben.

Makin tinggi temperatur, maka makin kecil daya serap. Namun pengaruh temperatur tidak sebesar pada adsorpsi gas [5].

2.1.4. Isoterm Adsorpsi

Isoterm adsorpsi adalah hubungan kesetimbangan antara konsentrasi dalam fase fluida dan konsentrasi di dalam partikel adsorben pada suhu tertentu. Ada beberapa isoterm adsorpsi yang diketahui seperti model isoterm Langmuir, Freundlich dan juga model isoterm Brunauer, Emmet, dan Teller (BET).

2.2. Sistem Refrigerasi Adsorpsi

(26)

Siklus pendingin adsorpsi berlangsung dengan penyerapan refrigeran/adsorbat dalam fasa uap ke dalam adsorben pada tekanan rendah, kemudian refrigeran yang terserap pada adsorben didesorpsi dengan memberikan panas pada adsorben [9].

Gambar 2.2. Siklus Dasar Refrigerasi Adsorpsi [11]

Dari gambar 2.2. diatas, kondisi awal sistem berada pada tekanan dan temperatur rendah, adsorben memiliki konsentrasi refrigeran yang tinggi dan vessel lain terdapat refrigeran dalam bentuk gas (gambar a). Vessel yang terdapat adsorben dipanaskan yang mengakibatkan naiknya temperatur dan tekanan sistem sehingga kandungan adsorbat yang ada di dalam adsorben berkurang atau menguap. Proses berkurangnya kandungan adsorbat pada adsorben pada kasus ini disebut desorpsi.

Refrigeran yang terdesorpsi kemudian terkondensasi sebagai cairan di dalam labu kedua dengan dikeluarkannya panas ke lingkungan dimana tekanan dan temperatur sistem masih tinggi (gambar b). Pemanasan pada labu pertama dihentikan, lalu pada botol labu yang pertama terjadi perpindahan panas ke lingkungan sehingga tekanan sistem menjadi rendah. Tekanan sistem yang rendah

(27)

menyebabkan adsorbat cair pada botol labu yang kedua menguap dan terserap ke botol pertama yang berisi adsorben. Proses terserapnya adsorbat ke adsorben pada kasus ini disebut adsorpsi. Proses adsorpsi menghasilkan efek pendinginan yang terjadi pada botol labu kedua, dimana pada tekanan rendah panas dari lingkungan diserap untuk menguap adsorbat (d) sampai sistem kembali ke kondisi awal.

Siklus mesin pendingin adsorpsi dapat digambarkan pada diagram Clayperon berikut ini.

Gambar 2.3. Diagram Clayperon Ideal Sistem Pendingin Siklus Adsorpsi [3]

Proses yang terjadi dapat di uraikan sebagai berikut ini.

1. Proses Pemanasan (pemberian tekanan)

Proses pemanasan dimulai dari titik 1 dimana adsorben berada pada temperatur rendah Ta dan tekanan rendah Pe (tekanan evaporator). Adsorber akan menerima panas sehingga temperatur adsorber meningkat dan diikuti peningkatan tekanan evaporasi menjadi tekanan kondensasi. Selama proses ini tidak ada aliran refrigeran.

2. Proses Desorpsi

Proses desorpsi berlangsung pada waktu panas diberikan dari titik 2 ke 3 sehingga adsorber mengalami peningkatan temperatur yang menyebabkan timbulnya uap desorpsi. Sehingga, adsorbat yang berada pada adsorben dalam bentuk gas mengalir ke kondensor untuk mengalami proses kondensasi menjadi cair.

(28)

3. Proses Pendinginan (penurunan tekanan)

Proses pendinginan berlangsung dari titik 3 ke 4 yang berlangsung pada malam hari. Adsorber melepaskan panas dengan cara didinginkan sehingga suhu di adsorber turun dan diikuti oleh penurunan tekanan dari tekanan kondensasi ke tekanan evaporasi.

4. Proses Adsorpsi

Proses adsorpsi berlangsung dari titik 4 ke 1. Adsorber terus melepaskan panas sehingga adsorber mengalami penurunan temperatur dan tekanan yang menyebabkan timbulnya uap adsorpsi.

2.3. Studi Literatur Jurnal Internasional

Pada sistem refrigerasi dengan menggunakan konsep adsorpsi, sebuah adsorber termal menggantikan fungsi kompresor listrik dalam mesin kommpresi uap umumnya, dimana keseluruhan mesin pada dasarnya belum dimodifikasi.

Reaktor terdiri dari sebuah penutup transparan, isolasi sisi dan isolasi bagian bawah, dan selubung persegi yang berisi medium berpori yang memiliki kemampuan untuk mengadsorpsi dan desorpsi refrigeran. Sedangkan lemari pendingin dirancang untuk mendinginkan sejumlah volume air pada penelitian ini [3].

Sistem refrigerasi dengan menggunakan konsep siklus adsorpsi ini telah menarik minat para peneliti dan mengalami peningkatan sejak tahun 1990an. Pada siklus adsorpsi ini, medium yang digunakan sebagai pengadsorpsi (adsorbent) dapat dibagi menjadi dua bagian utama, yaitu adsorpsi fisik (physical adsorption) dan adsorpsi kimia (chemical adsorption). Adsorpsi fisik disebabkan oleh gaya Van de Walls antara molekul adsorben dan adsorbat [13]. Karena memiliki porositas yang tinggi, adsorben ini dapat menyerap adsorbat dan menempatkannya dalam celah - celahnya. Sementara adsorpsi kimia disebabkan oleh reaksi kimia antara adsorben dan adsorbat. Transfer elektron, pembentukan dan pemutusan ikatan kimia selalu terjadi pada adsorpsi kimia [14]. Adsorbent fisik yang umum digunakan pada refrigerasi adsorpsi adalah karbon aktif (activated carbon), karbon aktif fiber (activated carbon fiber), silica gel, dan zeloit [15]. Khusus untuk adsorben karbon aktif dibuat dari material yang banyak mengandung karbon antara lain dari kayu, batubara, limbah penyulingan minyak, dan cangkang kelapa.

(29)

Gambar 2.4. Komponen Siklus Adsorpsi

Sebagai langkah awal telah dilakukan studi literatur hasil - hasil penelitian tentang mesin pendingin siklus adsorpsi khususnya yang menggunakan pasangan karbon aktif dan metanol telah dipublikasikan secara international. Sistem mesin pendingin siklus adsorpsi terdiri dari kolektor yang sekaligus bertindak sebagai generator, kondensor, dan evaporator. Komponen dari siklus ini dapat dilihat pada gambar 1 dan gambar 2 yang menjelaskan prinsip kerja proses desorpsi dan adsorpsi. Di dalam kolektor ini dimuat karbon aktif yang massa optimumnya menurut adalah sebesar 20 – 26 kg/m2. Kolektor ini harus tertutup, tidak tembus udara luar dan memiliki pipa penghubung yang menjadi laluan refrigeran masuk dan keluar dari generator. Karbon aktif akan menyerap uap refrigeran, uap ini akan menempati celah - celah kosong di antara karbon aktif dengan fasa hampir cair. Karbon aktif yang mengandung metanol ini jika dipanaskan dengan menggunakan sinar matahari, maka temperatur dan tekanannya akan naik. Kondisi ini akan membuat uap refrigeran pada suhu dan tekanan tinggi akan terlepas dari adsorben dimana prosesnya disebut adsorpsi. Uap refrigeran ini akan mengaliri kondensor dan karena pendinginan uap akan berubah menjadi cair dan terakumalasi di evaporator. Proses ini akan berlangsung selama adanya energi panas dan sinar matahari. Pada malam hari atau jika adsorber ditutup, temperatur dan tekanan generator akan turun. Pada kondisi ini karbon aktif siap untuk menyerap metanol kembali. Kondisi ini akan

(30)

membuat metanol yang ada di evaporator menguap dan diserap oleh karbon aktif dan proses ini disebut adsorpsi.

Gambar 2.5. Prinsip kerja mesin pendingin siklus adsorpsi

Proses evaporasi metanol ini akan menyerap kalor dari air sebesar kalor latennya. Proses ini akan membuat air yang berada di evaporator akan berubah menjadi es. Pada hari berikutnya proses akan berulang kembali. Dengan menggunakan siklus adsorpsi, penelitian yang menggunakan pasangan karbon aktif dan metanol sebagai refrigeran yang digerakkan oleh energi matahari telah banyak dilakukan dan dilaporkan dalam beberapa jurnal ilmiah. Pons dan Guillminot [16]

merupakan pelopor penelitian di bidang ini, mereka melakukan perancangan dan pengujian mesin pembuat es yang digerakkan tenaga matahari. Kolektor yang digunakan adalah tipe plat datar dengan luas bidang penyerapan 6 m2 yang mengandung 130 kg karbon aktif dan metanol sebagai refrigeran sebanyak 18 kg.

Pada kondisi sinar matahari yang baik dan lokasi pengujian ada di daerah Orsay, Francis, mereka mengklaim dapat menghasilkan 30 – 35 kg es per hari. Li dkk [17]

melakukan pengujian performansi dan analisis mesin pembuat es dengan menggunakan solar kolektor tipe dua plat datar dengan metanol sebagai refrigeran.

Pengujian dilakukan di laboratorium dan sinar matahari disimulasikan dengan menggunakan lampu quartz. Dengan total radiasi dan lampu sebesar 28 - 30 MJ

(31)

dapat dihasilkan 7 – 10 kg es. Khattab [18], melakukan penelitian di cairo (300 latitute), juga menggunakan pasangan karbon aktif (produk lokal) dan metanol dan melakukan modifikasi pada kolektor. Hasil yang didapatkan adalah 6,9 kg es/m2 pada musim dingin dan 9,4 kg es/m2 pada musim panas. Li dkk melakukan pengembangan mesin pembuat es tanpa menggunakan katup. Kolektornya adalah tipe plat datar dengan luas 1 m2 dan mengandung 19 karbon aktif yang diproduksi di China. Dengan kapasitas penyinaran sebesar 18 – 22 MJ/m2 didapatkan es sebanyak 5 kg.

2.4. Pengaruh Sudut Kemiringan Kolektor Surya Pelat Datar.

Sudut kemiringan kolektor mempengaruhikinerja kolektor. Sudut kemiringan pada kolektor tetap (pada bidang atap atau dinding) perlu ditentukan dengan tepat untuk me maksimalkan intensitas matahari yang jatuh pada bidang kolektor serta mempertimbangkan aliran air hujan/salju yang mencair. Acuan sudut kemiringan kolektor bagi belahan bumi utara/selatan adalah Lintang Geografis Lokasi ± 10o -15o (AIA Research Corporation, Solar Dwelling Concepts). Acuan sudut kemiringan kolektor bagi jalur khatulistiwa (Indonesia) adalah kurang lebih

± 30o (Priatman, Pusat Riset Energi Surya).[38]

Menurut pengujian yang dilakukan Galih Renggani [40] Mahasiswa Teknik Mesin Universitas Pancasakti Tegal, membahas tentang variasi kemiringan kolektor surya pada solar water heater yang dilakukan di kota tegal dimana variasi kemiringan yang digunakan adalah sudut 10o, 15o, dan 20 o dimana kolektor yang digunakan merupakan tipe plat datar dengan penutup kaca. Data yang diperoleh dari pengujian tersebut diantara lain temperatur air masuk, temperatur air keluar, temperatur kolektor, serta temperatur kaca penutup. Dari pengujian yang dilakukan disimpulkan bahwa sudut kemiringan kolektor yang paling baik adalah sudut 15o, dimana effisiensi termal yang dihasilkan lebih besar dari sudut lainya yaitu sebesar 85,14 % pada pukul 12.00-13.00 WIB.

Disamping itu, dilakukan pengujian oleh Unggul Dwi Setiady [39]

Mahasiswa Teknik Mesin Institut Teknologi Sepuluh Nopember yang membahas tentang pengaruh sudut kemiringan kolektor terhadap effisiensi termal, dengan menguji pemanas air kolektor surya pelat datar dimana variasi kemiringan yang digunakan sebesar 10o, 20o, dan 30o dan menggunakan tipe kolektor surya yang

(32)

sama, yaitu plat datar. Parameter yang diukur antara lain Intensitas cahaya, Kecepatan angin, Temperatur udara luar, Temperatur antar kaca penutup, Temperatur dalam kolektor,Temperatur permukaan kaca satu,Temperatur permukaan kaca dua, Temperatur permukaan pipa tembaga, Temperatur permukaan pelat absorber (Tsp), Temperatur air masuk kolektor, Temperatur air keluar kolektor, Temperatur triplek. Dari hasil penelitian yang didapatkan, temperatur air keluar yang paling tinggi terjadi pada kolektor dengan kemiringan 30o yaitu sebesar 42,8 ºC dengan intensitas matahari rata-rata 764,71 W/m2 untuk 1 kaca penutup, sedangkan untuk 2 kaca penutup temperatur sebesar 44,8 ºC dengan intensitas matahari rata-rata 790,85 W/m2. Dari semua sudut kemiringan, efisiensi rata – rata solar kolektor satu kaca penutup 51,98%, dan untuk efisiensi rata – rata solar kolektor dua kaca penutup 56,21%. Sehingga efisiensi rata – rata solar kolektor dua kaca penutup 4,23% lebih baik dibandingkan efisiensi rata – rata solar kolektor satu kaca penutup.

Sementara itu, untuk penelitian terhadap mesin pendingin yang terdahulu dilakukan oleh Jagardo Damanik [7] dan juga Piter Harefa [37] Mahasiswa Teknik Mesin Universitas Sumatera Utara, dengan menggunakan mesin pendingin adsorpsi yang sama dan variasi sudut kemiringan kolektor berbeda yaitu Jagardo dengan sudut 0o dan Piter dengan sudut 30o. Dari hasil penelitian yang dilakukan, mesin pendingin adsorpsi dengan sudut 0o berhasil menurunkan temperatur air sebesar 15,4 oC dari temperatur awal 25,6 oC dengan COP aktual sebesar 0,103, sementara itu mesin pendingin adsorpsi dengan sufut 30o berhasil menurunkan temperatur air sebesar 17,1 oC dari temperatur awal 27 oC dengan COP aktual 0,175.

2.5. Adsorben

Adsorben merupakan bahan yang sangat berpori dan adsorpsi berlangsung terutama pada dinding-dinding pori atau pada letak-letak tertentu di dalam partikelnya. Karena pori-porinya biasa kecil maka luas permukaan dalam mencapai beberapa orde besaran lebih besar dari permukaan luar dan bisa sampai 2000 m2/gr.

Dalam kebanyakan hal komponen yang diadsorpsi melekat sedemikian kuat sehingga memungkinkan pemisahan komponen itu secara menyeluruh dari fluida tanpa terlalu banyak adsorpsi terhadap komponen lain.

2.5.1. Jenis – jenis Adsorben

(33)

2.5.1.1. Adsorben Tidak Berpori (Non-Porous Sorbent)

Adsorben tidak berpori dapat diperoleh dengan cara presipitasi deposit kristalin seperti BaSO4 atau penghalusan padatan kristal. Luas permukaan spesifiknya kecil tidak lebih dari 10 m2 /g dan umumnya antara 0,1 s/d 1 m2/g. Adsorben yang tidak berpori seperti filter karet (rubber filters) dan karbon hitam bergrafit (graphitized Carbon Black) adalah jenis adsorben tidak berpori yang telah mengalami perlakuan khusus sehingga luas permukaannya dapat mencapai ratusan m2/g.

2.5.1.2. Adsorben Berpori( Porous Sorbents)

Luas permukaan spesifik dsorben berpori berkisar antara 100 s/d 1000 m2/g. Biasanya digunakan sebagai penyangga katalis, dehidrator, dan penyeleksi komponen. Adsorben ini umumnya benbentuk granular.

Klasifikasi pori menurut International Union of Pure and Applied Chemistry (IUPAC) adalah : • Pori-pori berdiameter kecil (Mikropores d < 2 nm ) • Pori-pori berdiameter sedang ( Mikropores 2 < d <50 nm) • Pori-pori berdiameter besar ( Makropores d > 50 nm )

2.5.2. Kriteria Adsorben untuk Menjadi Adsorben Komersil

Kriteria yang harus dipenuhi suatu adsorben untuk menjadi adsorben komersial adalah :

1. Memiliki permukaan yang besar/unit massanya sehingga kapasitas adsorpsinya akan semakin besar pula

2. Secara alamiah dapat berinteraksi dengan adsorbat pasangan 3. Ketahanan struktur fisik yang tinggi

4. Mudah diperoleh, harga tidak mahal, tidak korosif dan tidak beracun

5. Tidak ada perubahan volume yang berarti selama proses adsorpsi Mudah dan ekonomis untuk diregenerasi

Beberapa jenis adsorben berpori yang telah digunakan secara komersial antara lain karbon aktif, zeolit, silika gel, alumina aktif. Seperti pada gambar di bawah ini :

(34)

Gambar 2.6. Jenis-jenis adsorben [30]

2.6. Karbon Aktif Sebagai Adsorben

Karbon aktif secara komersial diketahui pertama kali karena penggunaannya sebagai topeng uap pada perang dunia I. Penerapan secara komersil arang kayu digunakan dalam sebuah pabrik gula di Inggris [22]. Karbon aktif merupakan adsorben terbaik dalam sistem adsorpsi. Ini dikarenakan arang aktif memiliki luas permukaan yang besar dan daya adsorpsi yang tinggi sehingga pemanfaatannya dapat optimal. Karbon aktif yang baik harus memiliki luas permukaan yang besar sehingga daya adsorpsinya juga besar. Luas permukaan karbon aktif umumnya berkisar antara 300–3000 m2/g dan ini terkait dengan struktur pori pada karbon aktif tersebut. Karbon aktif adalah material berpori dengan kandungan karbon 87%-97% dan sisanya berupa hidrogen, oksigen, sulfur, dan material lain. Karbon aktif merupakan karbon yang telah diaktivasi sehingga terjadi pengembangan struktur pori yang bergantung pada metode aktivasi yang digunakan. Struktur pori menyebabkan ukuran molekul teradsorpsi terbatas, sedangkan bila ukuran partikel tidak masalah, kuantitas bahan yang diserap dibatasi oleh luas permukaan karbon aktif [22]. Perbedaan antara arang dan arang aktif adalah pada bagian permukaannya. Bagian permukaan arang masih ditutupi oleh deposit hidrokarbon yang menghalangi keaktifannya, sementara bagian permukaan arang aktif relatif bebas dari deposit dan permukaannya lebih luas serta pori–pori

(35)

yang terbuka sehingga dapat melakukan penyerapan. Kemampuan adsorpsi arang aktif tidak hanya bergantung pada luas permukaannya saja tetapi juga struktur dalam pori-pori arang aktif, karakteristik permukan dan keberadaan grup fungsional pada permukaan pori [26].

Gambar 2.7. Karbon Aktif

Karbon aktif yang digunakan dalam penelitian ini terbuat dari cangkang kelapa. Adapun sifat dari adsorben karbon aktif yang digunakan adalah sebagai berikut.

Tabel 2.1. Sifat Adsorben Karbon Aktif [7]

No Sifat Adsorben Karbon Aktif Nilai Sifat Karbon Aktif

1 Massa Jenis 352,407 – 544,629 m3/Kg

2 Pore Volume 0,56 – 1,20 cm3/g

3 Diameter Rata-rata Pori 15-25 Å 4 Temperatur Regenerasi 100 140 oC

5 Ukuran Karbon Aktif 3 mm

2.6.1. Penggunaan Karbon Aktif

Karbon aktif terbagi atas 2 tipe yaitu karbon aktif sebagai pemucat dan karbon aktif sebagai penyerap uap. Karena hal tersebut maka karbon aktif banyak digunakan oleh kalangan industri. Adapun penggunaan karbon aktif secara umum dapat dilihat pada tabel berikut.

(36)

Tabel 2.2. Penggunaan Karbon Aktif [7]

No PEMAKAI KEGUNAAN JENIS/

MESH 1 Industri obat dan

makanan

Menyaring, penghilang bau dan

rasa 8x30,325

2 Minuman keras dan ringan

Penghilang warna dan bau pada

minuman 4x8, 4x12

3 Kimia perminyakan Penyulingan bahan mentah 4x8, 4x12, 4 Pembersih air Penghilang warna, bau,

penghilang resin 8x30

5 Budi daya udang

Pemurnian, penghilangan ammonia, netrite phenol dan logam berat

4x8, 4x12

6 Industri gula

Penghilang zat-zat warna, menyerap, proses penyaringan menjadi lebih sempurna

4x8, 4x12

7 Pelarut yang

digunakan kembali

Penarikan kembali sebagai pelarut

4x8, 4x12, 8x30

8 Pemurnian gas Menghilangkan sulfur, gas

beracun, bau busuk asap 4x8, 4x12 9 Katalisator Reaksi katalisator pengangkut

vinil chloride, vinil acetat 4x8, 4x30 10 Pengolahan pupuk Pemurnian, penghilangan bau 8x30

2.6.2. Jenis – jenis Karbon Aktif

Ukuran diameter pori untuk karbon fase cair umumnya mendekati atau lebih besar dari 30Å sedangkan untuk karbon fase gas umumnya diameter pori berukuran 10 sampai 25Å. Efektifitas karbon aktif biasanya ditentukan dengan test kimia yang sesuai dimana test tersebut dapat menyerap di bawah kondisi standar. Untuk fase gas biasanya digunakan CCl4 sedangkan untuk

(37)

fase cair digunakan adsorpsi iodin. Berdasarkan penggunaannya, karbon aktif terbagi menjadi 2 jenis yaitu :

2.6.2.1. Karbon Aktif untuk Fasa Cair

Karbon aktif untuk fasa cair biasanya berbentuk serbuk. Karbon aktif fasa cair biasanya berbentuk serbuk. Karbon aktif fasa cair biasanya dibuat dari bahan yang memiliki berat jenis rendah seperti kayu, batu bara, lignit, dan bahan yang mengandung lignin seperti limbah hasil pertanian. Karbon aktif jenis banyak digunakan untuk pemurnian larutan dan penghilangan rasa dan bau pada zat cair misalnya untuk penghilangan polutan berbahaya seperti gas amonia dan logam berbahaya pada proses pengolahan air.

2.6.2.2. Karbon Aktif untuk Fasa Uap

Karbon aktif untuk fasa uap biasanya berbentuk butiran/granula.

Karbon aktif jenis ini biasanya dibuat dari bahan yang memiliki berat jenis lebih besar seperti tempurung kelapa, batubara, cangkang kemiri, residu minyak bumi, karbon aktif jenis ini digunakan dalam adsorpsi gas dan uap misalnya adsorpsi emisi gas hasil pembakaran bahan bakar pada kendaraan seperti CO dan NOx. Pernyataan mengenai bahan baku yang digunakan dalam pembuatan karbon aktif untuk masing-masing jenis yang disebutkan bukan merupakan suatu keharusan, karena ada karbon aktif untuk fasa cair yang dibuat dari bahan yang mempunyai densitas besar seperti tulang, kemudian dibuat dalam bentuk granula dan digunakan sebagai pemucat larutan gula. Begitu pula dengan karbon aktif yang digunakan untuk fasa uap dapat diperoleh dari bahan yang memiliki densitas kecil, seperti serbuk gergaji.

2.6.2.3.Aktivasi Karbon Aktif

Proses aktivasi dilakukan untuk meningkatkan luas permukaan dan daya adsorpsi karbon aktif. Pada proses ini terjadi pelepasan hidrokarbon, tar, dan senyawa organik yang melekat pada karbon tersebut. Proses aktifasi terdapat 2 jenis yaitu :

1. Aktivasi Fisika Pada aktivasi secara fisika, karbon dipanaskan pada suhu sekitar 8001000 oC dan dialirkan gas pengoksida seperti uap air air,

(38)

oksigen/CO2. Gas pengoksida akan bereaksi dengan karbon dan melepaskan karbon monoksida dan hidrogen untuk gas pengoksida berupa uap air. Senyawasenyawa produk samping pun akan terlepas pada proses ini sehingga akan memperluas pori dan meningkatkan daya adsorpsi.

Klasifikasi karbon dengan uap air dan CO2 terjadi melalui reaksi bersifat endotermis berikut ini (Marsh, 2006).

C + H2O → CO + H2 ( 117 kj/mol) C + CO2 → 2 CO ( 159 kj / mol )

Sedangkan aktivasi fisika dengan oksigen melalui reaksi bersifat eksotermis berikut ini :

C + O2 → CO2 ( -406 kj / mol )

Proses aktivasi fisika terjadi pengurangan massa karbon dalam jumlah yang besar karena adanya pembentukan struktur karbon. Namun pada aktivasi fisika seringkali terjadi kelebihan oksida eksternal sewaktu gas pengoksida berdifusi pada karbon sehingga terjadi pengurangan ukuran adsorben. Selain itu, reaksi sulit dikontrol.

2. Aktivasi kimia, Proses aktivasi dilakukan dengan mempergunakan bahan kimia sebagai aktivating agent. Aktivasi arang ini dilakukan dengan merendam arang kedalam larutan kimia seperti NaCl, ZnCl2, KOH, KCl, dll. Sehingga bahan kimia akan meresap dan membuka permukaan arang yang semula tertutup oleh deposit tar.

Proses aktivasi karbon atau arang dipanaskan dengan suhu tinggi didalam sistem tertutup tanpa udara sambil dialiri gas inert. Saat ini terjadi proses lanjutan pemecahan atau peruraian sisa deposit tar dan senyawa hidrokarbon sisa karbonisasi keluar dari permukaan karbon sebagai akibat gas suhu tinggi dan adanya aliran gas inert, sehingga akan dihasilkan karbon dengan luas permukaan yang cukup luas atau disebut dengan arang aktif.

2.6.3. Pemilihan Karbon Aktif

(39)

Pada saat pemilihan karbon aktif yang dipakai untuk aplikasi, ada beberapa spesifikasi yang perlu diperhatikan [36] :

1. Kekerasan karbon aktif

Penggunaaan karbon aktif sebagai penyaringan air, maka kekerasan karbon aktif, atau kuatnya karbon aktif terhadap abrasi sangat berpengaruh pada hasil penyaringan.

2. Densitas karbon aktif

Densitas karbon aktif yang paling bagus adalah yang paling rendah, dimana dengan semakin kecil nilai densitas karbon aktif tersebut maka semakin banyak dan semakin rapat karbon aktif yang dipakai untuk memenuhi satu wadah dibandingkan dengan karbon aktif yang memiliki densitas yang tinggi.

3. Kadar iodine

Kadar iodine adalah suatu nilai yang sangat penting dilihat pada saat pemilihan untuk aplikasi adsorbsi, kadar iodine menunjukan seberapa besar pori-pori berukuran mikro yang terdapat dalam karbon aktif tersebut, atau total permukaan dalam karbon aktif. Untuk aplikasi adsorbsi ini penulis menggunakan karbon aktif dengan nilai iodine menengah.

2.7. Metanol Sebagai Adsorbat

Untuk terjadinya suatu proses pendinginan diperlukan suatu bahan yang mudah menguap ataupun berubah dari gas menjadi cair atau sebaliknya. Adapun sifat metanol dapat dilihat seperti tabel berikut ini

Tabel 2.3. Sifat Metanol [7]

No Sifat Metanol Nilai Sifat Metanol

1 Massa Jenis (cair) 787 Kg/m3

2 Titik Lebur -97.7 oC

3 Titik Didih 64,5 oC

4 Klasifikasi EU Flamamable (F), Toxic

(T)

5 Panas Laten Penguapan (Le) 1100 kJ/kg

(40)

Metanol merupakan bentuk alkohol paling sederhana. Pada keadaan atmosfer metanol berbentuk cairan yang ringan, mudah menguap, tidak berwarna, mudah terbakar, dan beracun dengan bau yang khas (berbau lebih ringan daripada etanol).

Metanol digunakan sebagai bahan pendingin anti beku, pelarut, bahan bakar dan sebagai bahan additif bagi etanol industri. Metanol diproduksi secara alami oleh metabolisme anaerobik oleh bakteri. Hasil proses tersebut adalah uap metanol (dalam jumlah kecil) di udara. Setelah beberapa hari, uap metanol tersebut akan teroksidasi oleh oksigen dengan bantuan sinar matahari menjadi karbon dioksida dan air. [31]

Gambar 2.8. Methanol Pro Analisys 2.8.Kalor (Q)

Kalor adalah energi yang berpindah yang mengakibatkan perubahan temperatur [12]. Pada abad ke-19 berkembang teori bahwa kalor merupakan fluida ringan yang dapat mengalir dari suhu tinggi ke suhu rendah, jika suatu benda mengandung banyak kalor, maka suhu benda itu tinggi (panas). Sebaliknya, jika benda itu mengandung sedikit kalor, maka dikatakan benda itu bersuhu rendah (dingin). Kuantitas energi kalor (Q) dihitung dalam satuan joules (J). Laju aliran kalor dihitung dalam satuan joule per detik (J/s) atau watt (W). Laju aliran energi ini juga disebut daya, yaitu laju dalam melakukan usaha.

2.8.1. Kalor Laten

(41)

Suatu bahan biasanya mengalami perubahan temperatur bila terjadi perpindahan kalor antara bahan dengan lingkungannya. Pada suatu situasi tertentu, aliran kalor ini tidak merubah temperaturnya. Hal ini terjadi bila bahan mengalami perubahan fasa. Misalnya padat menjadi cair, cair menjadi uap dan perubahan struktur kristal (zat padat) [12]. Energi yang diperlukan disebut kalor transformasi.

Kalor yang diperlukan untuk merubah fasa dari bahan bermassa m adalah:

QL = Le m...(2.1.) dimana :

QL = Kalor laten (J)

Le = Kapasitas kalor spesifik laten (J/kg) m = Massa zat (kg)

2.8.2. Kalor Sensibel

Tingkat panas atau intensitas panas dapat diukur ketika panas tersebut merubah temperatur dari suatu substansi. Perubahan intensitas panas dapat diukur dengan termometer. Ketika perubahan temperatur didapatkan, maka dapat diketahui bahwa intensitas panas telah berubah dan disebut sebagai kalor sensible.

Dengan kata lain, kalor sensibel adalah kalor yang diberikan atau yang dilepaskan oleh suatu jenis fluida sehingga temperaturnya naik atau turun tanpa menyebabkan perubahan fasa fluida tersebut [12].

Qs = m Cp ΔT...(2.2.)

dimana:

Qs = Kalor sensible (J)

Cp = Kapasitas kalor spesifik sensibel (J/kg.K) ΔT = Beda temperatur (K)

2.8.3. Perpindahan Kalor

Panas hanya akan berpindah jika ada perbedaan temperatur, yaitu dari sistem yang bertemperatur tinggi ke sistem bertemperatur rendah. Perbedaan temperatur ini mutlak diperlukan sebagai syarat terjadinya perpindahan panas.

Selama ada perbedaan temperatur antara dua sistem maka akan terjadi perpindahan

(42)

panas. Mekanisme perpindahan panas yang terjadi dapat dikategorikan atas 3 jenis yaitu: konduksi, konveksi dan radiasi.

1. Konduksi

Konduksi adalah proses perpindahan panas yang mengalir melalui suatu bahan padat dari daerah yang bersuhu lebih tinggi ke daerah yang bersuhu lebih rendah di dalam suatu medium (padat, cair atau gas). Peristiwa ini menyangkut pertukaran energi pada tingat molekuler. Pegamatan gejala fisika dan serentetan pemikiran telah menghasilkan laju aliran kalor untuk konduksi. Kepadatan aliran (flux) energi perpindahan kalor secara konduksi disebuah batangan padat, sebanding dengan beda suhu dan luas penampang serta berbanding terbalik dengan panjangnya [20].

Pengamatan dibuktikan dengan serentetan percobaan sederhana. Fourter telah memberikan sebuah model matematika untuk proses ini. Dalam hal satu dimensi, model matematikanya yaitu :

𝑞 = −𝑘. 𝐴.𝑑𝑇

𝑑𝑥...(2.3.) dimana :

q = Laju perpindahan panas (W)

A = Luas penampang dimana panas mengalir (m2)

𝑑𝑇

𝑑𝑥 = Gradien suhu pada penampang, atau laju perubahan suhu T terhadap jarak dalam arah aliran panas x (K)

k = Konduktivitas termal bahan (W/m.K)

Daya hantar termal merupakan suatu karakteristik dari bahan dan perbandingan K/l disebut hantaran (konduktivitas) yang ditentukan oleh struktur molekul bahan.

Semakin rapat dan tersusun rapinya molekul-molekul yang umumnya terdapat pada logam akan memindahkan energi yang semakin cepat dibandingkan dengan susunan yang acak dan jarang yang pada umumnya terdapat terdapat pada bahan bukan logam.

Bahan yang mempunyai konduktifitas termal yang tinggi dinamakan konduktor, sedangkan bahan yang konduktifitas termal rendah disebut isolator.

Nilai angka konduktifitas termal menunjukan beberapa cepat kalor mengalir dalam bahan tertentu.

(43)

Gambar 2.9. Perpindahan panas pada kolektor surya

Peristiwa perpindahan konduksi pada mesin pendingin tenaga surya terjadi pada sisi-sisi kolektor yang diisolasi oleh rockwool, styrofoam,busa hitam dan kayu.

Energi panas hilang (Qloss) dan berpindah dari ruang dalam kolektor menuju temperatur yang lebih dingin (temperatur lingkungan).

2. Konveksi

Perpindahan kalor konveksi bergantung pada konduksi antara permukaan benda padat dengan fluida terdekat yang bergerak. Persamaan laju perpindahan panas secara konveksi secara umum:

𝑞 = ℎ𝐴(∆𝑇)...(2.4.) dimana:

q = Laju perpindahan panas konveksi (W) h = koefisien pindahan panas konveksi (W/m2K) A = luas penampang (m2)

ΔT = perubahan suhu (K)

- Konveksi Alami (Natural Convection)

Konveksi jenis ini terjadi karena proses pemanasan yang menyebabkan fluida berubah densitasnya (kerapatannya) dan bergerak naik. Gerakan fluida dalam konveksi bebas terjadi karena gaya buoyancy (apung) yang dialaminya apabila kerapatan fluida di dekat permukaan perpindahan kalor berkurang sebagai akibat proses pemanasan.[21] Bilangan Grashof merupakan perbandingan antara gaya buoyancy terhadap gaya viskositas fluida.

(44)

𝐺𝑟𝐿 =𝑔𝛽(𝑇𝑆−𝑇)𝐿3𝐶

𝑣2 ...(2.5) dimana:

g adalah percepatan gravitasi (m/s2); 𝛽 adalah koefisien ekspansi volume, 1/K (𝛽=1𝑇 untuk gas ideal); Ts adalah temperatur permukaan (oC); 𝑇 adalah temperatur fluida yang bergerak di sekitar permukaan (oC); Lc adalah karateristik panjang dari bentuk geometri (m); 𝜈 adalah viskositas kinematik (m2/s).

Tabel 2.4. Korelasi empiris bilangan Nusselt rata-rata yang terjadi pada permukaan proses konveksi bebas[21].

(45)

3. Radiasi

Radiasi adalah proses perpindahan panas tanpa melalui media. Bila energi radiasi mengenai permukaan suatu bahan, maka sebagian akan dipantulkan (refleksi) , sebagian lagi akan diserap (absorbsi) dan sebagian lagi akan diteruskan (transmisi). Kebanyakan benda padat tidak bisa mentransmisikan radiasi thermal sehingga penerapan transmisivitas dianggap nol [23].

Energi yang diradiasikan dari suatu permukaan ditentukan dalam bentuk daya pancar (emissive power) yang secara termodinamika dapat dibuktikan bahwa daya pancar tersebut sebanding dengan pangkat empat dari temperatur absolutnya.

Untuk radiator ideal, biasanya berupa benda hitam (black body).

Persamaan untuk mencari perpindahan panas radiasi adalah sebagai berikut:

𝑞𝑟𝑎𝑑 = 𝜀 𝐴 𝜎(𝑇𝑠4− 𝑇𝑠𝑢𝑟4 )...(2.6.)

(46)

dimana :

qrad = laju perpindahan panas radiasi (W) ε = emisivitas bahan

A = luas permukaan (m2)

𝜎 = kontanta Stefan – Boltzmann (5,67 x 10-8 W/m2K4) Ts = suhu permukaan (K)

Tsur = suhu lingkungan (K)

Penggunaan energi surya meliputi pengaturan kedudukan permukaan pengumpul (kolektor) pada berbagai sudut dengan bidang horizontal. Sementara pengukuran radiasi pada permukaan horizontal di banyak tempat sudah dilaksanakan,pemanasan pada permukaan miring harus dihitung. Lapisan luar matahari yang disebut fotosfer memancarkan suatu spektrum radiasi yang kontiniu.

1. Luas permukaan benda yang bertemperatur, yang akan menentukan besar kecil jumlah pancaran yang akan dapat dilepaskan.

2. Sifat permukaan yang berhubungan dengan kemudahan memancarkan atau menyerap panas.

3. Kedudukan masing-masing permukaan satu terhadap yang lain akan menentukan besar fraksi pancaran yang dapat diterima oleh permukaan lain.

Ketika radiasi sampai ke permukaan, sebagian dari energi itu akan diserap, sebagian lagi ditransmisikan, dan sisanya direfleksikan [21]. Energi radiasi yang diserap disebut dengan absorbtivitas (α ), yang ditransmisikan disebut dengan transimitas (η) dan energi radiasi yang dipantulkan disebut reflektivitas ( 𝜌).

𝑎𝑏𝑠𝑜𝑟𝑏𝑠𝑣𝑖𝑡𝑎𝑠 = 𝛼 = 𝑅𝑎𝑑𝑖𝑎𝑠𝑖 𝐴𝑏𝑠𝑜𝑟𝑏𝑠𝑖

𝐼𝑛𝑐𝑖𝑑𝑒𝑛𝑡 𝑅𝑎𝑑𝑖𝑎𝑡𝑖𝑜𝑛 0 ≤ 𝛼 ≤ 1 𝑡𝑟𝑎𝑛𝑠𝑚𝑖𝑡𝑎𝑠 = 𝜏 = 𝑅𝑎𝑑𝑖𝑎𝑠𝑖 𝑇𝑟𝑎𝑛𝑠𝑚𝑖𝑡𝑎𝑠

𝐼𝑛𝑐𝑖𝑑𝑒𝑛𝑡 𝑅𝑎𝑑𝑖𝑎𝑡𝑖𝑜𝑛 0 ≤ 𝜏 ≤ 1 𝑟𝑒𝑓𝑙𝑒𝑐𝑡𝑖𝑣𝑖𝑡𝑎𝑠 = 𝜌 =𝑅𝑎𝑑𝑖𝑎𝑠𝑖 𝑅𝑒𝑓𝑙𝑒𝑐𝑡𝑖𝑣𝑖𝑡𝑎𝑠

𝐼𝑛𝑐𝑖𝑑𝑒𝑛𝑡 𝑅𝑎𝑑𝑖𝑎𝑡𝑖𝑜𝑛 0 ≤ 𝜌 ≤ 1

(47)

2.9. Intensitas Radiasi

Intensitas radiasi matahari merupakan jumlah energi radiasi matahari yang diterima oleh suatu permukaan per satuan luas dan per satuan waktu [8]. Total energi radiasi matahari dapat dihitung dengan persamaan berikut [9] :

𝑄𝑟𝑎𝑑 = ∫𝑡𝑠𝑠𝑡𝑠𝑟𝐼𝑑𝑡 [𝑊/𝑚2]...(2.7.) dimana: tsr dan tss adalah waktu terbit dan terbenam matahari; I adalah intensitas radiasi matahari (W/m2); dt adalah lama waktu penyinaran.

Sedangkan Qit dapat dihitung dengan menggunakan rumus di bawah ini [24]:

= 2

1

Idt A

Qit ...(2.8.)

dimana:

A = luas penampang dari pelat absorber (m2) I = intensitas radiasi matahari (W/m2)

Intensitas radiasi matahari yang diterima bidang datar (horizontal) dan bidang miring (tilt) berbeda, ditunjukkan pada gambar 2.10. :

Gambar 2.10. Bidang horizontal (a), dan bidang yang dimiringkan (b)[6]

Perbandingannya dapat dinyatakan dengan persamaan berikut:

𝑅𝑏 = 𝐺𝑏,𝑇

𝐺𝑏 = 𝐺𝑏𝑛.𝑐𝑜𝑠𝜃

𝐺𝑏𝑛.𝐶𝑜𝑠𝜃𝑧 ...(2.9.) dimana : Rb adalah rasio intensitas radiasi pada bidang miring dengan bidang horizontal; Gb,T adalah intensitas radiasi pada bidang miring (W/m2); Gbn adalah

Gambar

Gambar 2.2. Siklus Dasar Refrigerasi Adsorpsi [11]
Gambar 2.3. Diagram Clayperon Ideal Sistem Pendingin Siklus Adsorpsi [3]
Gambar 2.6. Jenis-jenis adsorben [30]
Gambar 2.9. Perpindahan panas pada kolektor surya
+7

Referensi

Dokumen terkait

No. Gedung Adpel) Kemayoran Jakarta Pusat, melalui sistem E-Procurement di http://www.lpse.depkeu.go.id/eproc/app , Panitia Pengadaan Barang dan Jasa untuk Pekerjaan

[r]

Pada hari ini, Senin tanggal 24 (Dua Puluh Empat) bulan September tahun 2012 (dua ribu dua belas), dimulai pukul 09.00 WIB (10.00 WITA), sampai dengan pukul 13.00 WIB (14.00 WITA)

[r]

[r]

Berdasarkan Berita Acara Pembukaan Dokumen Penawaran Nomor: 03/BAPD/PAN/09/2012 tanggal 17 September 2012, jumlah calon penyedia barang/jasa yang mendaftar sebanyak

Penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan penelitian antara lain dilakukan oleh Siswoko (2014)dengan judul: &#34; Pengaruh Budaya Organisasi, Kepuasan Kerja dan

Adapun fungsi khususnya adalah bentuk menarik perhatian, memperjelas ide, mengilustrasikan atau menghiasi fakta yang mungkin akan cepat dilupakan atau diabaikan jika tidak