Mistisisme Upacara Tumpek Landep dalam Pemujaan
Sang Hyang Pasupati
Ni Luh Purnamasuari Prapnuwanti
STAHN Mpu Kuturan Singaraja
ABSTRAK
Upacara Tumpek Landep adalah upacara yang ditujukan kehadapan Sang Hyang Pasu- pati dan merupakan Pujawali Bhatara Siwa yang berfungsi melebur dan mralina. Upacara Tumpek Landep dilaksanakan pada Saniscara Kliwon wuku Landep yang dirayakan setiap 210 hari. Perayaan hari suci Tumpek Landep me- miliki ciri-ciri yang khas. Kata Landep dalam Tumpek Landep sering diidentikan sebagai sen- jata yang tajam, namun kenyataannya seka- rang benda yang tumpul pun diupacarai. Dahu- lu masyarakat mencari kemakmuran melalui alat-alat pertanian yang tajam untuk memper- mudah bercocok tanam, sehingga hasilnya da- pat dimanfaatkan untuk mencapai kemakmur- an.
Dimana pada kesempatan ini peneliti le- bih menekankan pada Mistisisme Upacara Tumpek Landep dalam Pemujaan Sang Hyang Pasupati. Dari hasil analisis, data yang diper- oleh oleh peneliti adalah sebagai berikut: 1) Upacara Tumpek Landep, 2) Mistisisme Tumpek Landep, dan 3) Pemujaan Sang Hyang Pasupati.
Kata Kunci: Mistisisme, Upacara Tumpek Landep, Sang Hyang Pasupati A. PENDAHULUAN
Mistisisme berasal dari kata mistik yang berasal dari Bahasa Yunani yakni mystikos yang artinya rahasia, tersembunyi, gelap atau terselubung dalam kekelaman (Jaiz, 1980:30).
Menurut Lorens Bagus mistisisme adalah “sua- tu pendekatan spiritual, dan nondeskurtif kepa- da persekutuan jiwa dengan Allah, atau apa saja yang dipandang sebagai realisasi sentral alam (Bagus, 2005:653). Mistisisme adalah se- suatu hal yang berhubungan dengan gaib, dan jalan untuk membuka alam gaib, yang tidak setiap orang mampu menempuhnya (Zaehner, 1994:5).
Mistisisme dapat diartikan sebagai sesua- tu hal yang berhubungan dengan gaib, dan jalan untuk mendekatkan atau menyatukan diri kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Penga- laman mistik merupakan pengalaman yang pe- nuh makna bagi kehidupan religius seseorang.
Persepsi yang lebih mendalam dan penerap- annya lebih besar dalam pengalamannya akan kenyataan. Pelaksanaan upacara keagamaan yang dilaksanakan oleh umat Hindi di Bali me- miliki mistisisme tersendiri salah satunya ada- lah pelasanaan upacara Tumpek Landep.
Melihat mistisisme yang terkandung da- lam Upacara Tumpek Landep, maka menarik kiranya Upacara Tumpek Landep diteliti secara mendalam. Sebab, di zaman modern seperti sekarang masih banyak masyarakat Hindu Bali yang melaksanakan Upacara Tumpek Landep telah beralih menjadi benda-benda tumpul se- perti motor, mobil, televisi, radio, komputer, mesin cuci, dan kulkas. Semua jenis benda-ben- da tersebut menjadi sarana untuk mencari kemakmuran. Hal ini menunjukkan bahwa per- ubahan mata pencaharian masyarakat dari bi- dang agraris menjadi swasta, industri, dan pari- wisata berdampak pula pada material yang diupacarai. Tentu ada suatu alasan yang kuat sehingga keberadaan Upacara Tumpek Landep mengalami perubahan terkait tatacara ke- hidupan keagamaan masyarakat Hindu Bali.
B. METODE PENULISAN
Metode penulisan dalam mendapatkan data terkait Mistisisme Upacara Tumpek Lan- dep dalam Pemujaan Sang Hyang Pasupati agar akurat serta tidak menyimpang dari jalur per- masalahan, maka penelitian ditempuh dengan teknik kepustakaan dan penelusuran dokumen.
Studi pustaka untuk memdapatkan gambaran umun terkait objek yang akan diteliti. Studi pustaka adalah suatu upaya penggalian infor- masi sebanyak-banyaknya tentang objek yang akan diteliti dengan cara membaca berbagai literatur yang terkait dengan penelitian selan- jutnya dilaksanakan pengolahan data. Metode pengolahan data dilakukan dengan teknik des- kriptif kualitatif dan deskriptif komparatif.
C. PEMBAHASAN
1. Upacara Tumpek Landep
Upacara berasal dari dua kata yaitu upa dan cara. Upa artinya “dekat” atau “mendekat”, cara berasal dari urat kata “car” yang berarti
“harmonis”, “seimbang”, dan “selaras”. Upacara memiliki arti keharmonisan dan keselarasan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Upa- cara berhubungan dengan suatu aktivitas ke- agamaan yang mengandung unsur tempat pe- laksanaan, waktu, sarana upacara, pelaksana, dan pemimpin upacara (Wijayananda, 2004:49).
Upacara adalah segala sesuatu yang ada hu- bungannya dengan gerakan atau kegiatan, atau dalam kata lain upacara adalah gerakan (pe- laksanaan) daripada salah satu yajna (Surayin, 2002:10).
Upacara merupakan perwujudan rasa syukur umat manusia atas segala anugrah dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Perwujudan dari rasa syukur umat kehadapan Tuhan dapat di- wujudkan dalam berbagai bentuk, salah satu- nya dengan mempersembahkan sarana upaka- ra pada hari-hari tertentu. Pelaksanaan yadnya yang dilaksanakan merupakan penjabaran dari ajaran agama yang memiliki hakekat sebagai pembelajaran diri untuk menuju kualitas hidup yang lebih baik. Melalui yadnya yang dilaksa- nakan oleh umat Hindu dimaksudkan untuk mencapai moksa (kebahagiaan yang kekal dan abadi) serta menciptakan jagadhita berdasar- kan dharma (kebenaran).
Dalam Agastya Parwa yajña dikelompok- kan menjadi lima yang disebut dengan Panca Yajña, meliputi: Dewa Yajña adalah persembah- an yang tulus ikhlas kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Pitra Yajña adalah persem- bahan yang didasari kesucian yang dihaturkan kehadapan Pitara dan Pitari, Manusia Yajña adalah persembahan yang tulus ikhlas kepada sesama manusia, Rsi Yajña adalah persembah- an yang tulus ikhlas dihaturkan kepada orang suci Hindu, dan Bhuta Yajña adalah persem- bahan yang tulus ikhlas kepada para kepada para bhuta kala (Subagiasta, 2008:4).
Kata Tumpek berasal dari kata Tu dan Mpek. Tu artinya lahir dan Mpek artinya putus atau berakhir. Pengertian ini dikaitkan dengan hari jadinya yaitu pada setiap hari Sabtu/Sanis- cara, Kliwon dan wuku. Kedua jenis wawaran yaitu saptawara dengan hari Sabtu/Saniscara, pancawara dengan Kliwon dan wuku yang mengikutinya, semuanya sama-sama berakhir atau putus, kemudian setelah ketiganya diga- bungkan, merupakan hari suci untuk lingkung- an hidup manusia, yang patut dihormati dan diperingati sebab manusia tak dapat hidup sen- diri (Arwati, 2012:49).
Tumpek Landep berasal dari dua kata yaitu “tumpek” dan “landep”. Dimana “tumpek”
berarti sabtu bertepatan dengan kliwon dan me- nandai akhir periode 35 hari (Zoetmulder, 1995:
1292). Sedangkan kata “landep” berarti 1) nama wuku; 2) tajamnya, runcingnya (Zoetmulder, 1995: 559). Sehingga secara etimologi Tumpek Landep dapat diartikan hari suci yang bertepat- an dengan hari Sabtu Kliwon wuku Landep yang bertujuan memperingati segala hal yang tajam dan runcing.
Sesuai pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa Tumpek Landep merupakan hari per- ingatan turunnya manifestasi Sang Hyang Widhi Wasa ke dunia dengan prabhawa Sang Hyang Pasupati yang bertepatan dengan hari Sabtu Kliwon wuku Landep yang bertujuan memperingati segala hal yang tajam dan run- cing. Hal tersebut ditekankan akan memper- tajam pemahaman, wawasan dan pengetahuan untuk mendekatkan diri kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
2. Mistisisme Tumpek Landep
Emosi keagamaan merupakan dasar se- mua aktivitas manusia yang bersangkutan de- ngan religi. Emosi keagamaan menyebabkan suatu benda, suatu tindakan, serta gagasan mendapat suatu nilai dan dianggap keramat, selain emosi keagamaan terdapat pula kompo- nen religi lainnya yaitu: sistem keyakinan, sis- tem ritus, umat agama, peralatan ritus dan upa- cara (Koentjaraningrat, 2009:295-297).
Menurut Ball (dalam Endraswara, 2012:
162), menyatakan terdapat dua paham religi yaitu 1) religi sebagai bagian hidup kesusilaan manusia dan memiliki nilai susila yang tinggi.
2) religi sebagai tergolong dalam alam hidup manusia. Religi kedua ini menghendaki tiga ke- benaran utama, yaitu: mempercayai bahwa Tu- han ada, percaya kepada hukum kesusilaan ilmiah, dan pada roh yang abadi.
Unsur pokok religi adalah emosi ke- agamaan adalah pangkal dan pusat dari aktiv- itas-aktivitas keagamaan, mulai dari individu sampai pada suatu komunitas. Dari situ mun- cullah sistem kepercayaan, dan untuk lebih mengekspresikan rasa cinta kepada kepercaya- annya itu, manusia membuat suatu upacara atau semacam ritual-ritual, dari dalam upacara itu sendiri dapat muncul emosi keagamaan. Be- gitu pula dengan komunitas keagamaan yang memiliki hubungan resiprositas dengan sistem kepercayaan, karena religi merupakan penjel- maan dari paham kolektif masing-masing indi- vidu, artinya religi tak ada artinya tanpa ada- nya umat yang menganutnya dan komunitas keagamaan itu sendiri membutuhkan religi se- bagai tempat memola perilaku dan tempat ber- lindung.
Upacara Tumpek Landep yang jatuh setiap 20 hari sekali tepatnya pada setiap hari Sanis- cara Kliwon Wuku Landep. Hari raya ini sebagai simbol hari turunnya Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi-Nya sebagai Sang
Hyang Pasupati yaitu Dewa yang berkuasa atas segala jenis senjata atau alat-alat yang terbuat dari logam. Untuk itu maka pada hari raya Tumpek Landep ini, segala jenis senjata di- upacarai dengan cara menghaturkan berbagai sarana upacara. Semua tujuan upacara itu dihaturkan kepada manifestasi Tuhan Yang Maha Kuasa yang menguasai semua senjata atau peralatan seraya memohon kepada Sang Hyang Pasupati agar semua peralatan itu ber- tuah (Donder, 2009: 283)
Upacara Tumpek Landep merupakan sim- bol hari turunnya Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi-Nya sebagai Sang Hyang Pasupati yaitu Dewa yang berkuasa atas segala jenis senjata atau alat-alat yang terbuat dari logam. Pemberian banten pada benda-benda tersebut memiliki makna agar Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi-Nya sebagai Sang Hyang Pasupati berkenan memberikan anugerah terhadap benda-benda tersebut agar mempermuda jalan hidup pemiliknya saat di- gunakan. Selain itu Tumpek Landep juga ber- makna pemujaan dan rasa syukur kepada Sang Hyang Pasupati atas segala ciptaa-Nya. Manu- sia menggunakan ketajaman Jnana (pikiran/
idep, logika dan ilmu pengetahuannya) sehing- ga berhasilah mengolah logam-logam yang di- pergunakan untuk melancarkan usahanya da- lam menunjang kehidupan sehari-hari, sehing- ga pada upacara Tumpek Landep dikatagorikan sebagai sarwa sanjata-senjatanya yang berasal dari logam.
3. Pemujaan Sang Hyang Pasupati
Peringatan Tumpek Landep ini mengan- dung makna bahwa manusia harus selalu sadar untuk mengasah ketajaman batinnya. Diharap- kan dengan ketajaman batin tersebut akan terbangun sifat dan sikap hidup yang peka ter- hadap berbagai persoalan kemanusiaan. Ke- pekaan terhadap masalah sosial akan menye- babkan keperdulian terhadap masalah-masalah sosial seperti masalah kebodohan, kemiskinan, dan sebagainya.
Ketajaman pikiran diartikan sebagai se- buah penghanyatan agar dapat berjalan pada jalan yang benar. Pelaksanaan upacara ini juga sebagai ungkapan terima kasih karena jasa Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang telah memberi- kan alat-alat yang digunakan untuk kehidupan manusia. Di sini penajaman pikiran perlu di- lakukan untuk meluruskan fungsi dan keguna- an alat-alat yang digunakan untuk kehidupan
tersebut jika ada yang melenceng dari jalur penggunaannya.
Dalam Lontar Sundarigama menjelaskan tentang banten-banten yang dipersembahkan pada saat upacara Tumpek Landep yaitu sebagai berikut:
Kunang ring wara landĕp, saniścara kli- won, pujawalin bhatara śiwa, mwah yoga- nira sanghyang paśupati, pujawalinira bhatara śiwa, tumĕng putih kuning adan- an, iwak sata putih, sarupane wĕnang, gĕ- rang, trasi bang, sĕdah who, aturakna ri sanggar. Yoganira sanghyang paśupati, sasayut paśupati 1, sasayut jayeng pĕrang 1, sasayut kusuma yudha 1, suci 1, daksina 1, peras ajuman 1, canang wangi, tadah pa- witra, rĕrĕsik, astawakna ring sarwa dewa lalandĕp ing apĕrang, kalinganya rikang wwang, apaśupati landĕp ing idĕp, sa- mangkana, lĕkasakna sarwa mantra wiśe- sa, danu dhara, uncarakna ring bhusana ning papĕrangan kunag, minta kasidyan ring Sang Hyang Paśupati (dalam Suarka, 2008:21).
Terjemahan:
Pada wuku landĕp, yakni pada hari Sabtu Kliwon Landĕp merupakan hari suci Bha- tara Śiwa dan hari suci Sanghyang Paśu- pati. Sesajen untuk persembahan kepada Bhatara Śiwa terdiri atas tumpeng putih kuning, daging ayam putih, ikat teri, terasi merah, sĕdahan who dipersembah- kan di Sanggar. Sesajen untuk persem- bahan kepada Shangyang Paśupati terdiri atas 1 sasayut paśupati, 1 sasayut jayeng pĕrang, 1 sasayut kusuma yudha, 1 suci, 1 daksina, 1 peras ajuman, canang wangi, tadah pawitra (air suci), rĕrĕsik, diper- sembahkan kepada para dewa penguasa senjata tajam yang digunakan di medan perang. Maknanya adalah menajaman ba- tin dan pikiran. Karena itu, pada hari itu umat wajib merapalkan mantra-mantra mujarab, terutama mantra danurdhara, dirapalkan untuk mendoakan kekuatan busana perang, mohon keberasilan ke- pada Sang Hyang Paśupati (dalam Suarka, 2008:35-36).
Penggunaan Sesayut Pasupati pada upaca- ra Tumpek Landep adalah mengingat bahwa benda-benda tersebut merupakan alat untuk mempertahankan diri dan alat sakral sebagai
tanda bahwa seseorang memiliki kekuasaan serta wibawa dalam teritorial tertentu dan ha- nya dimiliki oleh para pembesar di zaman ter- sebut, maka tujuan untuk menghaturkan ban- ten ini adalah sebagai kedigjayaan (Adnyana, 2012:61).
Lastini (2015:81) menjelaskan Banten Se- sayut Pasupati di bawa oleh Jro Mangku, di mana peralatan kehidupan yang membantu manusia sudah berjejer di sertai dengan upa- karanya. Banten Sesayut Pasupati ini diayabkan pada mobil dan sepeda motor masyarakat di sisi lain Pamangku dan Serati memercikan tirtha dan mengoleskan minyak yang terdapat pada Banten Pasupati.
Banten sesayut pasupati yang digunakan pada saat upacara Tumpek Landep ditujukan kepada Sang Hyang Pasupati agar yang di- harapkan oleh umat dapat terkabul dan juga untuk memohon keselamatan di dalam me- manfaatkan alat-alat yang digunakan pada ke- hidupan. Permohonan yang ditujukan kepada Sang Hyang Pasupati yang diucapkan dengan Mantra Weda atau sesonteng yang dilengkapi dengan Banten Pasupati. Pasupati merupakan permohonan untuk menghidupkan benda-ben- da sacral dengan menggunakan Upacara Pasu- pati untuk dapat memberi kekuatan magis pada benda.
D. PENUTUP
Emosi keagamaan merupakan dasar se- mua aktivitas manusia yang bersangkutan dengan religi. Religi sebagai bagian hidup ke- susilaan manusia dan memiliki nilai susila yang tinggi, serta religi sebagai tergolong dalam alam hidup manusia. Upacara Tumpek Landep yang jatuh setiap 20 hari sekali tepatnya pada setiap hari Saniscara Kliwon Wuku Landep.
Hari raya ini sebagai simbol hari turunnya Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi- Nya sebagai Sang Hyang Pasupati.
Ketajaman pikiran diartikan sebagai se- buah penghanyatan agar dapat berjalan pada jalan yang benar. Pelaksanaan upacara ini juga sebagai ungkapan terima kasih karena jasa Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang telah memberi- kan alat-alat yang digunakan untuk kehidupan manusia. Dimana hal tersebutkan dalam Lontar Sundarigama. Manusia harus selalu sadar un- tuk mengasah ketajaman batinnya. Diharapkan dengan ketajaman batin tersebut akan terba- ngun sifat dan sikap hidup.
Pasupati adalah proses sakralisasi terha- dap benda-benda bertuah sebagai permohonan yang ditujukan kepada Sanghyang Pasupati yang diucapkan dengan mantra weda yang di- lengkapi dengan banten pasupati. Pasupati me- rupakan permohonan untuk menghidupkan benda-benda sakral dengan menggunakan upa- cara pasupati untuk dapat memberi kekuatan magis pada benda.
DAFTAR PUSTAKA
Adnyana, I Nyoman Mide. 2012. Arti dan Fungsi Banten sebagai Sarana Persembahyangan.
Denpasar: Pustaka Bali Post.
Arwati, Ni Made Sri. 2012. Banten Sarahina Lan Napkala. Denpasar: -
Bagus, Lorens. 2005. Kamus Filsafat. Gramedia Cet. IV.
Donder, I Ketut & I Ketut Wisarja. 2009. Teologi Sosial Persoalan Agama dan Kemanusiaan Perspektif Hindu. Yogyakarta: IMPULSE.
Endraswara, Suwardi. 2012. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta:
Gajah Mada University Press.
Jaiz, Amien. 1980. Masalah Mistik Tsaswuf dan Kebatinan. Bandung: PT Alma’arif.
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Lastini, Ni Nyoman Ari. 2015. Upacara Tumpek Landep Massal di Desa Pakraman Tengkudak Kecamatan Penebel Kabupaten Tabanan (Skripsi). Denpasar: Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar.
Suarka, I Nyoman. 2008. Makna Hari Suci Agama Hindu Menurut Lontar Sundarigama. Denpasar: Cakra Press.
Subagiasta, I Ketut. 2008. Pengantar Acara Agama Hindu. Surabaya: Paramita.
Surayin, Ida Ayu Putu. 2004. Melangkah Ke Arah Persiapan Upakara-Upakara Yajña.
Surabaya: Paramita.
Wijayananda, Ida Pandita Mpu Jaya. 2003.
Tetandingan Lan Sorohan Bebantenan.
Surabaya: Paramita.
Zaehner, R.C. 1994. Mistisisme Hindu Muslim.
Yogyakarta: LKiS Yogyakarta.
Zoetmulder, P.J., dkk. 1995. Kamus Jawa Kuna Indonesia. Jakarta: Granmedia Pustaka Utama.