• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Putusan No: 53/Pid.Sus-TPK/2018/PN/SBY) SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Putusan No: 53/Pid.Sus-TPK/2018/PN/SBY) SKRIPSI"

Copied!
147
0
0

Teks penuh

(1)

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh :

ARISYAH PUTRA NIM: 140200384

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)
(3)

memberikan rahmat serta hidayah-Nya dalam penulisan skripsi ini, sehingga penulisan skripsi ini dapat berjalan dengan lancar. Telah menjadi kewajiban dari setiap Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk dapat menyelesaikan suatu karya ilmiah sebagai syarat dalam menyelesaikan studi untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Skripsi ini berjudul Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan Pengadilan Negeri No. 53/Pid.Sus- TPK/2018/PN.SBY). Pada penyajiannya, penulis menyadari terdapat berbagai kekurangan dan kesalahan, yang disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan ilmiah yang dimiliki oleh penulis.

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui aturan serta penerapan hukum pidana terhadap tindak pidana korupsi yang dilakukan di Badan Pertanahan Nasional Kota Malang. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk kesempurnaan karya ilmiah ini.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari akan pentingnya orang- orang yang telah memberikan pemikiran dan dukungan secara moril maupun spritual sehingga skripsi ini dapat diselesaikan sesuai dengan yang diharapkan, karena adanya mereka segala bentuk halangan dan hambatan dalam penulisan skripsi ini menjadi mudah dan terarah. Untuk itu, penulis menyampaikan ucapan terimakasih, rasa hormat dan penghargaan yang besar kepada:

(4)

Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum, selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum, selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. M Hamdan, S.H., M.H, selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan juga selaku dosen pembimbing skripsi ke-I yang telah banyak membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

6. Ibu Liza Erwina, S.H., M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana, yang telah banyak membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

7. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum, selaku dosen pembimbing skripsi ke-II, yang telah menyediakan waktu untuk membimbing dan memberikan ilmunya untuk penyelesaian skripsi ini.

8. Bapak Muhammad Husni, S.H., M.Hum, selaku dosen pembimbing akademik penulis yang telah membimbing selama masa perkuliahan penulis.

9. Seluruh staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang selama ini telah mengajar dan mendidik penulis dalam proses perkuliahan.

(5)

11. Abang dan adik penulis, Abangda Isfa Maulizar, Almarhum Abangda Syahril, Adinda Ikhlassul Amal dan Adinda Rizki Nanda yang telah membantu, mendoakan dan memotivasi penulis.

12. Seluruh guru pada tiap jenjang pendidikan formal maupun non formal penulis yang telah mengajar dan mendidik penulis.

13. Keluarga Besar Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

14. Keluarga Besar Ikatan Mahasiswa Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

15. Kepengurusan Pemerintahan Mahasiswa Universitas Sumatera Utara Periode 2017-2018.

Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan perkembangan hukum di Indonesia.

Medan, 1 April 2019 Hormat saya,

Arisyah Putra (NIM. 140200384)

(6)

Mahmud Mulyadi

Tindak pidana korupsi selalu mendapatkan perhatian yang lebih dibandingkan dengan tindak pidana lain di berbagai belahan dunia. Fenomena ini dapat dimaklumi mengingat dampak negatif yang ditimbulkan oleh tindak pidana ini dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan. Korupsi merupakan masalah serius sehingga dapat membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat, membahayakan pembangunan sosial ekonomi dan juga politik, serta dapat merusak nilai-nilai demokrasi dan moralitas dikarenakan lambat laun perbuatan ini telah menjadi sebuah budaya dan ancaman terhadap cita-cita menuju masyarakat adil dan makmur. Karena maraknya tindak pidana korupsi di Indonesia maka pemerintah mengeluarkan produk hukum yang berbentuk undang- undang mulai dari UU PTPK 1971 sampai sekarang ini yang masih digunakan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001.

Permasalahan yang dibahas yaitu mengenai pengaturan tindak pidana korupsi menurut UU No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan mengenai pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana korupsi di Badan Pertanahan Nasional Kota Malang. Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini menggunakan metode pendekatan hukum normatif dengan teknik pengumpulan data yaitu penelitian kepustakaan yang menitik beratkan pada data skunder yaitu memaparkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan judul skripsi serta buku-buku, artikel, majalah, yang menjelaskan peraturan perundang- undangan dan dianalisis secara kualitatif.

Tindak pidana korupsi dalam Pasal 12A UU PTPK 2001 merupakan delik formil. Dalam Pasal 12A ditentukan hukuman terhadap pelaku tindak pidana korupsi ’’yang nilainya kurang dari Rp5.000.000,00,”. Sesuai hasil analisis pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi di Badan Pertanahan Nasional Kota Malang dalam putusan perkara No. 53/Pid.Sus- TPK/2018/PN.SBY oleh terdakwa Bekti Anistama Rianingtyas selaku Kepala Sub Seksi Penatagunaan Tanah dan Kawasan Tertentu, dalam putusan tersebut hakim tepat dalam menjatuhkan putusan yaitu pidana pokok penjara 1 (satu) tahun dan denda Rp15.000.000, dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan yang lebih ringan dari tuntutannya, hakim mempertimbangkan bahwa pelaku telah mengakui terus terang perbuatannya, terdakwa bersikap sopan, terdakwa juga belum pernah dihukum serta mempunyai tanggungan keluarga.

1 Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

2 Dosen Pembimbing I,

(7)

ABSTRAK ... iv

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 8

D. Keaslian Penulisan ... 9

E. Tinjauan Pustaka ... 10

1. a. Pengertian Tindak Pidana ... 10

b. Unsur-unsur Tindak Pidana ... 13

c. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana ... 19

2. a. Pengertian Korupsi ... 25

b. Pengertian Tindak Pidana Korupsi ... 26

F. Metode Penelitian ... 29

G. Sistematika Penulisan ... 32

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA KORUPSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999

TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA ... 35

A. Perkembangan Pengaturan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia ... 35

B. Perbuatan yang Termasuk Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ... 48

C. Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi ... 59

D. Sanksi Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi ... 76

E. Penyidikan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Korupsi ... 81

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Putusan Pengadilan Negeri No. 53/Pid.Sus-TPK/2018/PN-SBY)... 95

A. Posisi Kasus ... 95

1. Kronologi Kasus ... 95

(8)

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN... 134

A. Kesimpulan ... 134

B. Saran ... 135

DAFTAR PUSTAKA ... 137

(9)

A. LATAR BELAKANG

Sebuah fakta yang telah dimengerti hampir semua kalangan bahwa korupsi di Indonesia telah mencapai tahap yang sangat mengkhawatirkan. Pada tahun 2017, Transparency International (TI) yang berbasis di Berlin-Jerman meletakkan Indonesia sebagai negara terkorup nomor 96 (dari 180 negara di dunia). Skor yang diperoleh Indonesia dalam daftar indeks tersebut adalah 37, masih sama seperti skor yang didapat Indonesia di tahun sebelumnya1. Hasil serupa juga ditunjukkan oleh survei yang diadakan PERC (Political and Economy Risk Concultacy) terhadap 1000 pengusaha ekspatriat yang bekerja di 12 negara di Asia. Dengan skor 9,92, maka fakta bahwa Indonesia merupakan salah satu negara terkorup di Asia semakin sulit dibantah2. Jika dilihat dalam kenyataan sehari-hari korupsi hampir terjadi pada setiap tingkatan dan aspek kehidupan masyarakat.

Berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, Negara Indonesia mengatur segala aspek kehidupan masyarakat, dimana hukum mempunyai arti yang sangat penting dalam aspek kehidupan sebagai pedoman tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan manusia lain.3

1Indeks Persepsi Korupsi,

https://www.transparency.org/news/feature/corruption_perceptions_index_2017 diakses pada 23 September 2018, pukul 23.33 WIB.

2Pramono U. Thantowi, Membasmi Kanker Korupsi, PSAP Muhammadiyah: Jakarta, 2005, hal 1.

3Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, edisi ke-3, Liberty:

(10)

Hukum merupakan sarana untuk mengatur masyarakat sebagai sarana kontrol sosial, maka hukum bertugas untuk menjaga agar masyarakat dapat tetap berada dalam pola-pola tingkah laku yang diterima olehnya. Hukum bertugas untuk mengatur masyarakat yang dimaksudkan bahwa kehadiran hukum dalam masyarakat adalah untuk mengintegrasikan dan untuk mengkoordinasikan kepentingan-kepentingan orang dalam masyarakat. Sehingga diharapkan kepentingan-kepentingan yang satu dengan yang lain tidak saling berlawanan.

Untuk mencapai ini dapat dilakukan dengan membatasi dan melindungi kepentingan tersebut.4 Sebagai negara hukum yang menganut falsafah Pancasila dan berdasarkan UUD 1945, Indonesia memiliki cita-cita, ingin mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera secara menyeluruh bagi seluruh rakyat.

Tindak pidana korupsi selalu mendapatkan perhatian yang lebih dibandingkan dengan tindak pidana lain di berbagai belahan dunia. Fenomena ini dapat dimaklumi mengingat dampak negatif yang ditimbulkan oleh tindak pidana ini dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan. Korupsi merupakan masalah serius sehingga dapat membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat, membahayakan pembangunan sosial ekonomi dan juga politik, serta dapat merusak nilai–nilai demokrasi dan moralitas dikarenakan lambat laun perbuatan ini telah menjadi sebuah budaya dan ancaman terhadap cita-cita menuju masyarakat adil dan makmur.5

4 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Persada Media Grup: Jakarta, 2008, hal 36.

5 Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Sinar Grafika: Jakarta, 2008,

(11)

Menyadari kompleksnya permasalahan korupsi di tengah-tengah krisis multidimensional serta ancaman nyata yang pasti akan terjadi, maka tindak pidana korupsi dikategorikan sebagai salah satu kejahatan luar biasa (Extra Ordinary Crime) yang pada saat ini dipandang lebih berbahaya bagi masa depan suatu bangsa dibanding kejahatan luar biasa lainnya seperti penyalahgunaan narkotika dan terorisme. Selain itu dalam dunia internasional korupsi dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (Crimes Against Humanity), dengan demikian penanggulangan korupsi harus dilakukan dengan aspek yuridis yang luar biasa (Extra Ordinary Enforcement) dan tindakan-tindakan yang luar biasa pula (Extra Ordinary Measures).6

Salah satu agenda reformasi yang dicanangkan oleh para reformis adalah memberantas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Pada waktu digulirkannya reformasi ada suatu keyakinan bahwa peraturan perundangan yang dijadikan landasan-landasan untuk memberantas korupsi dipandang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masyarakat. Hal tersebut dapat dilihat dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme;

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijaksanaan Pemberantasaan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme dan butir c konsideran Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dinyatakan sebagai berikut :

(12)

“Bahwa Undang – Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat, karena itu perlu diganti dengan Undang – Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang baru sehingga diharapkan lebih efektif dalam mencegah dan memberantas tindakpidana korupsi”.

Tindak lanjut dari TAP MPR RI No. XI/MPR/1998, maka telah disahkan dan diundangkan beberapa peraturan perundang-undangan sebagai landasan hukum untuk melakukan pencegahan dan penindakan tindak pidana korupsi.

Upaya tersebut diawali dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaran Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi,dan Nepotisme. Konsideran Undang-Undang tersebut menjelaskan bahwa praktikkorupsi, kolusi dan nepotisme tidak hanya dilakukan antara Penyelenggara Negara melainkan juga antara Penyelenggara Negara dengan pihak lain. Hal tersebut dapat merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara serta membahayakan eksistensi Negara, sehingga diperlukan landasan hukum untukpencegahannya.7

Perbaikan di bidang legislasi juga diikuti dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagai penyempurnaan atas Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Konsideran Undang-Undang tersebut secara tegas menyebutkan bahwa tindak pidana korupsi sangat merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara dan menghambat pembangunan sosial, sehingga harus diberantas dalam rangka

7 Strategi Komisi Pemberantasan Korupsi,

http://www.kpk.go.id/modules/editor/doc/Strategic_plan_2008_to_2011_id.pdf, diakses pada 23

(13)

mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945.8

Tahun 2001, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 disempurnakan kembali dan diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

Penyempurnaan ini dimaksud untuk lebih menjamin kepastian hukum, menghindari keragaman penafsiran hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, serta perlakuan yang adil dalam memberantas tindak pidana korupsi.9

Korupsi di Indonesia terus menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi maupun jumlah kerugian keuangan negara.

Kualitas tindak pidana korupsi juga semakin sistematis dengan lingkup yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Berdasarkan data yang dirilis Indonesia Corruption Watch (ICW), jumlah kasus korupsi selama 2010-2012 yang menurun kembali meningkat signifikan pada 2013-2014. Pada tahun 2010, jumlah kasus yang diselidiki KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian mencapai 448 kasus. Pada tahun 2011 berjumlah 436 kasus dan tahun 2012 berjumlah 402 kasus, dan pada tahun 2013 meningkat signifikan menjadi 560 kasus. Pada tahun 2014, tercatat sebanyak 629 kasus korupsi dengan berbagai jenis seperti suap, penyalahgunaan wewenang, penyalahgunaan dana serta pemalsuan data.

Dari kasus-kasus korupsi yang terjadi selama tahun 2014, sebagian besar tersangka adalah pejabat/pegawai pemerintah daerah (Pemda) dan kementerian yakni 42,6 persen. Tersangka lain merupakan direktur/komisaris perusahaan

8 Ibid

(14)

swasta, anggota DPR/DPRD, kepala dinas, dan kepala daerah. Apabila dibandingkan dengan semester I-2013, peningkatan jumlah tersangka yang paling signifikan terjadi pada jabatan kepala daerah. Pada semester I-2013 jumlah kepala daerah yang menjadi tersangka korupsi sebanyak 11 orang, namun pada semester I-2014 jumlahnya naik lebih dari dua kali lipat menjadi 25 orang.10

Korupsi tidak terjadi hanya ditingkatan pusat melainkan juga terjadi di daerah-daerah. Korupsi juga tidak mengenal profesi. Salah satu permasalahan korupsi adalah kasus korupsi di kota Malang, Jawa Timur yang melibatkan Kepala Sub Seksi Penatagunaan Tanah dan Kawasan Tertentu pada Seksi Penataan Pertanahan pada Kantor Pertanahan Kota Malang yaitu Ibu Bekti Anistama Rianingtyas, S.H. yang melakukan tindak pidana korupsi “pemerasan”

secara bersama-sama.

Kasus korupsi tersebut berawal saat Notaris/PPAT Dinar Fatmawati Risantoro, S.H, M.Kn melakukan pengurusan IPPT (Ijin Penggunaan Perubahan Tanah) yang terletak di Kebonsari Kecamatan Sukun Kota Malang dengan luas 7.960 m dan 4.310 m pada kantor BPN Kota Malang. Bahwa biaya yang dikenakan secara resmi untuk mengurus 2 (dua) IPPT (Ijin Penggunaan Perubahan Tanah) tersebut terhadap objek tanah yang terletak di Kelurahan Kebonsari Kecamatan Sukun Kota Malang luas 7.960 m adalah Rp.668.400,- (enam ratus enam puluh delapan ribu empat ratus rupiah). Dan untuk pengurusan terhadap objek tanah yang terletak di Kelurahan Kebonsari Kecamatan Sukun Kota Malang

10http://intisari-online.com/mobile/read/kasus-korupsi-di-indonesia-meningkat-di-2013-

(15)

luas 4.310 m adalah Rp.522.400,- (lima ratus dua puluh dua ribu empat ratus rupiah).

Namun, oleh terdakwa Bekti Anistama Rianingtyas dan Agus Prasmono selaku Kepala Seksi Penatagunaan Tanah dan Kawasan Tertentu, mereka meminta komitmen fee untuk pengurusan IPPT atas 2 objek tanah yang diajukan oleh Notaris/PPAT Dinar Fatmawati Risantoro, S.H, M.Kn sebesar Rp.7.500.000,- (tujuh juta lima ratus ribu rupiah). Yang rencananya uang sebesar Rp.7.500.000,- tersebut, akan dibagi sesuai kesepakatan antara Agus Prasmono dengan Bekti Anistama Rianingtyas, masing-masing untuk Agus Prasmono sebesar Rp.

4.000.000,- (empat juta rupiah), dan untuk Bekti Anistama Rianingtyas sebesar Rp. 3.500.000,- (tiga juta lima ratus ribu rupiah).

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka penulis mencoba mengangkat kasus ini ke dalam sebuah bentuk skripsi dengan judul:

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI (STUDI PUTUSAN NOMOR 53/Pid.Sus- TPK/2018/PN.SBY).

Adapun kasus yang akan penulis teliti adalah kasus yang telah diputus oleh Pengadilan Negeri Surabaya atas nama terdakwa Bekti Anistama Rianingtyas yang melakukan tindak pidana korupsi pada saat ia menjabat Kepala Sub Seksi Penatagunaan Tanah dan Kawasan Tertentu pada Seksi Penataan Pertanahan pada Kantor Pertanahan Kota Malang.

(16)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaturan tindak pidana korupsi menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ?

2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi (Studi Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor : 53/Pid.Sus.TPK/2018/PN.SBY.) ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Berdasarkan ruang lingkup permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka yang menjadi tujuan penulisan skripsi ini yaitu :

1. Untuk mengetahui pengaturan tindak pidana korupsi di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

2. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi (Studi Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor:

53/Pid.Sus.K/2018/PN.SBY.)

Adapun manfaat yang ingin diperoleh dari penulisan skripsi ini antara lain:

a. Secara teoritis, dengan adanya penelitian ini diharapkan menjadi bahan informasi, referensi serta konstribusi pemikiran dan menambah wawasan dalam hukum pidana pada umumnya dan tentang pidana korupsi pada khususnya di kalangan mahasiswa sendiri atau lingkungan para akademis.

(17)

b. Secara praktis, penelitian ini diharapkan pula dapat bermanfaat nantinya bagi para penegak hukum dalam upaya pencegahan dan pemberantasan suatu tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh para Pegawai Negeri Sipil, sehingga terciptanya efek jera dan tercapainya cita-cita para reformis dalam mewujudkan negara hukum yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.

D. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi dengan judul “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor: 53/Pid.Sus.TPK/2018/PN.SBY.)” adalah kasus korupsi yang terjadi di Kota Malang Provinsi Jawa Timur yang dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil, penulis sendiri tertarik untuk mengangkat kasus ini karena ingin mengetahui lebih dalam tentang tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil.

Berdasarkan penelusuran penulis, judul dan permasalahan ini belum pernah ditulis dan diangkat menjadi karya ilmiah oleh siapapun sebelumnya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulisan karya ilmiah ini diperoleh berdasarkan literatur yang ada, baik dari perpustakaan, media massa cetak maupun eletronik dan ditambah pemikiran penulis, oleh karena itu penulisan skripsi ini adalah karya asli penulis dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

(18)

E. Tinjauan Kepustakaan

1.a. Pengertian Tindak Pidana

Menurut Moeljatno11, pada dasarnya tindak pidana merupakan suatu pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana adalah suatu pengertian yuridis seperti halnya untuk memberikan definisi atau pengertian terhadap istilah hukum, maka bukanlah hal yang mudah untuk memberikan definisi atau pengertian terhadap istilah tindak pidana. Pembahasan hukum pidana dimaksudkan untuk memahami pengertian pidana sebagai sanksi atas delik, sedangkan pemidanaan berkaitan dengan dasar-dasar pembenaran pengenaan pidana serta teori-teori tentang tujuan pemidanaan. Perlu disampaikan di sini bahwa, pidana adalah merupakan suatu istilah yuridis yang mempunyai arti khusus sebagai terjemahan dari bahasa Belanda ”straf” yang dapat diartikan sebagai ”hukuman”.

Tindak pidana adalah suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah

“perbuatan jahat” atau “kejahatan” (crime atau verbrechen atau misdaad) yang diartikan secara kriminologis dan psikologis. Mengenai isi dari pengertian tindak pidana tidak ada kesatuan pendapat di antara para sarjana. Sebagai gambaran umum pengertian kejahatan atau tindak pidana yang dikemukakan oleh Djoko Prakoso12 bahwa secara yuridis pengertian kejahatan atau tindak pidana adalah

“perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dan pelanggarannya dikenakan sanksi”, selanjutnya Djoko Prakoso menyatakan bahwa secara kriminologis kejahatan atau tindak pidana adalah “perbuatan yang melanggar norma-norma

11 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Bina Aksara: Jakarta, 1987, hal. 37.

12 Djoko Prakoso dan Agus Imunarso, Hak Asasi Tersangka dan Peranan Psikologi

(19)

yang berlaku dalam masyarakat dan mendapatkan reaksi negatif dari masyarakat, dan secara psikologis kejahatan atau tindak pidana adalah “perbuatan manusia yang abnormal yang bersifat melanggar hukum, yang disebabkan oleh faktor- faktor kejiwaan dari si pelaku perbuatan tersebut.

Pembentuk undang-undang telah menggunakan perkataan ”strafbaarfeit”

untuk mengganti istilah tindak pidana di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tanpa memberikan penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan perkataan strafbaarfeit, sehingga timbullah di dalam doktrin berbagai pendapat tentang apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan strafbaarfeit tersebut, seperti yang dikemukakan oleh Hamel dan Pompe.

Hamel mengatakan bahwa: ”Strafbaarfeit adalah kelakuan orang (menselijke gedraging) yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan”.13 Sedangkan pendapat Pompe mengenai strafbaarfeit adalah sebagai berikut:

”Strafbaarfeit itu dapat dirumuskan sebagai suatu pelanggaran norma yang sengaja atau tidak sengaja dilakukan oleh pelaku”.14

Dikemukakan oleh Moeljatno bahwa istilah hukuman yang berasal dari kata ”straf” ini dan istilah ”dihukum” yang berasal dari perkataan ”wordt gestraft”, adalah merupakan istilah konvensional. Moeljatno tidak setuju dengan istilah-istilah itu dan menggunakan istilah-istilah yang inkonvensional, yaitu

”pidana” untuk menggantikan kata ”wordt gestraft”. Jika ”straf” diartikan

”hukuman” maka strafrecht seharusnya diartikan dengan hukuman-hukuman.

13 Moeljatno, 1987. Op. Cit., hal. 38.

14 Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Sinar Baru: Bandung, 1984, hal.

(20)

Selanjutnya dikatakan oleh Moeljotno bahwa ”dihukum” berarti ”diterapi hukuman” baik hukum pidana maupun hukum perdata. Hukuman adalah hasil atau akibat dari penerapan hukum tadi yang maknanya lebih luas daripada pidana, sebab mencakup juga keputusan hakim dalam lapangan hukum perdata.15 Menurut Sudarto16, bahwa ”penghukuman” berasal dari kata ”hukum”, sehingga dapat diartikan sebagai ”menetapkan hukum” atau ”memutuskan tentang hukum”

(berechten). Menetapkan hukum untuk suatu peristiwa tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja, akan tetapi juga hukum perdata.

Menurut Sudarto yang dimaksud dengan pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Sedangkan menurut Roeslan Saleh17, mengatakan bahwa pidana adalah reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara kepada pembuat delik itu. Sir Rupert Cross (dalam bukunya Muladi)18 mengatakan bahwa pidana berarti pengenaan penderitaan oleh negara kepada seseorang yang telah dipidana karena suatu kejahatan.

Dengan menyebut cara yang lain Hart mengatakan bahwa pidana harus : a. Mengandung penderitaan atau konsenkuensi-konsekuensi lain yang tidak

menyenangkan;

b. Dikenakan kepada seseorang yang benar-benar atau disangka benar melakukan tindak pidana;

15Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori - teori dan Kebijakan Hukum Pidana, Alumni:

Bandung, 2005, hal. 1.

16 Sudarto, Hukum Pidana 1 A - 1B, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman:

Purwokerto, 1990/1991, hal. 3

17 Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni: Bandung, 1985, hal. 22.

(21)

c. Dikenakan berhubung suatu tindak pidana yang melanggar ketentuan hukum;

d. Dilakukan dengan sengaja oleh selain pelaku tindak pidana;

e. Dijatuhkan dan dilaksanakan oleh penguasa sesuai dengan ketentuan suatu sistem hukum yang dilanggar oleh tindak pidana tersebut.

Sejalan dengan perumusan sebagaimana dikemukakan tersebut di atas Alf Ross mengatakan bahwa pidana adalah reaksi sosial yang :

a. Pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat yang lain yang tak menyenangkan;

b. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang);

c. Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang.19

b. Unsur-unsur Tindak Pidana

Untuk mengenakan pidana itu harus dipenuhi syarat-syarat tertentu.

Syarat-syarat tertentu ini lazimnya disebut dengan unsur-unsur tindak pidana. Jadi seseorang dapat dikenakan pidana apabila perbuatan yang dilakukan memenuhi syarat-syarat tindak pidana (strafbaarfeit). Menurut Sudarto20, pengertian unsur tindak pidana hendaknya dibedakan dari pengertian unsur-unsur tindak pidana sebagaimana tersebut dalam rumusan undang-undang. Pengertian yang pertama (unsur) ialah lebih luas dari pada kedua (unsur-unsur). Misalnya unsur-unsur

19 Ibid., hal. 23.

(22)

(dalam arti sempit) dari tindak pidana pencurian biasa, ialah yang tercantum dalam Pasal 362 KUHP.

Menurut Lamintang21, bahwa setiap tindak pidana dalam KUHP pada umumnya dapat dijabarkan unsur-unsurnya menjadi dua macam, yaitu unsur- unsur subyektif dan obyektif. Yang dimaksud dengan unsur-unsur ”subyektif”

adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Sedangkan yang dimaksud dengan unsur ”obyektif”

itu adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu keadaan-keadaan di mana tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.

Unsur-unsur subyektif dari suatu tindak pidana itu adalah : a. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (culpa/dolus);

b. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau pogging seperti dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP;

c. Macam- macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan – kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain; Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti misalnya terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP;

d. Perasaaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.

Unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana adalah :

(23)

a. Sifat melanggar hukum;

b. Kualitas si pelaku;

c. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.22

Berkaitan dengan pengertian unsur-unsur tindak pidana (strafbaarfeit) ada beberapa pendapat para sarjana mengenai pengertian unsur-unsur tindak pidana menurut aliran monistis dan menurut aliran dualistis. Para sarjana yang berpandangan aliran monistis, yaitu :

a. D. Simons, sebagai menganut pandangan monistis Simons mengatakan bahwa pengertian tindak pidana (strafbaarfeit) adalah ”Een strafbaar gestelde, onrechtmatige, met schuld verband staande handeling van een toerekeningsvatbaar persoon”.

Atas dasar pandangan tentang tindak pidana tersebut di atas, unsur-unsur tindak pidana menurut Simons23 adalah :

1) Perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan);

2) Diancam dengan pidana (strafbaar gesteld);

3) Melawan hukum (onrechtmatig);

4) Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staad);

5) Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsyatbaar persoon).

22 Ibid., hal. 184.

(24)

Dari unsur-unsur tindak pidana tersebut Simons membedakan adanya unsur obyektif dan unsur subyektif dari strafbaarfeit adalah :

1) Yang dimaksud dengan unsur subyektif ialah perbuatan orang;

2) Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu;

3) Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan-perbuatan itu seperti dalam Pasal 281 KUHP sifat ”openbaar” atau ”dimuka umum”

Selanjutnya unsur subyektif dari strafbaarfeit adalah : 1) Orangnya mampu bertanggung jawab;

2) Adanya kesalahan (dolus atau culpa). Perbuatan harus dilakukan dari perbuatan atau dengan keadaan-keadaan mana perbuatan itu dilakukan.24

b. Van Hamel, menyatakan Stafbaarfeit adalah “Een weterlijk omschre en mensschelijke gedraging onrechmatig, strafwardig en aan schuld te wijten.”

Jadi menurut Van Hamel25 unsur-unsur tindak pidana adalah : 1) Perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang;

2) Bersifat melawan hukum;

3) Dilakukan dengan kesalahan; dan 4) Patut dipidana.

c. E. Mezger, menyatakan tindak pidana adalah keseluruhan syarat untuk adanya pidana, dengan demikian unsur-unsurnya yaitu :

1) Perbuatan dalam arti yang luas dari manusia (aktif atau membiarkan);

24 Sudarto, 1990/1991. Loc. Cit

25 Ibid., hal. 33.

(25)

2) Sifat melawan hukum (baik bersifat obyektif maupun bersifat subyektif);

3) Dapat dipertanggungjawabkan kepada seseorang;

4) Diancam dengan pidana.

d. J. Baumman26, menyatakan bahwa unsur-unsur tindak pidana adalah perbuatan yang memenuhi rumusan delik :

1) Bersifat melawan hukum; dan 2) Dilakukan dengan kesalahan.

Dari pendapat para sarjana yang beraliran monistis tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak adanya pemisahan antara criminal act dan criminal responsibility. Lebih lanjut mengenai unsur-unsur tindak pidana menurut pendapat para sarjana yang berpandangan dualistis adalah sebagai berikut :

a. H.B. Vos, menyebutkan Strafbaarfeit hanya berunsurkan : 1) Kelakuan manusia;

2) Diancam pidana dengan undang-undang.

b. W.P.J. Pompe, menyatakan : menurut hukum positif strafbaarfeit adalah tidak lain dari feit, yang diancam pidana dalam ketentuan undang-undang, jadi perbuatan itu adalah perbuatan yang bersifat melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan dan diancam pidana.

c. Moeljatno, memberikan arti tentang strafbaarfeit, yaitu sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana, barangsiapa melanggar larangan tersebut.

Untuk adanya perbuatan pidana harus ada unsur-unsur :

(26)

1) Perbuatan (manusia);

2) Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (ini merupakan syarat formil); dan

3) Syarat formil itu harus ada karena keberadaan asas legalitas yang tersimpul dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Syarat meteriil pun harus ada pula, karena perbuatan itu harus pula betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tidak patut dilakukan, oleh karena itu bertentangan dengan atau menghambat tercapainya tata dalam pergaulan masyarakat yang dicita-citakan oleh masyarakat.

Dengan demikian pandangan sarjana yang beraliran dualistis ini ada pemisahan antara criminal act dan criminal responsibility.27

Menurut Sudarto28, baik aliran monistis maupun dualistis, tidak mempunyai perbedaan yang prinsipil dalam menentukan adanya pidana. Apabila orang menganut pendirian yang satu, hendaknya memegang pendirian itu secara konsekuen, agar tidak terjadi kekacauan pengertian. Bagi orang yang berpandangan monistis, seseorang yang melakukan tindak pidana sudah dapat dipidana, sedangkan bagi yang berpandangan dualistis, sama sekali belum mencukupi syarat untuk dipidana karena masih harus disertai syarat pertanggungjawaban pidana yang harus ada pada si pembuat atau pelaku pidana.

Jadi menurut pandangan dualistis semua syarat yang diperlukan untuk pengenaan pidana harus lengkap adanya.

27 Ibid., hal. 27.

(27)

c. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana mengandung asas kesalahan (asas culpabilitas), yang didasarkan pada keseimbangan monodualistik bahwa asas kesalahan yang didasarkan pada nilai keadilan harus disejajarkan berpasangan dengan asas legalitas yang didasarkan pada nilai kepastian. Walaupun konsep berprinsip bahwa pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan, namun dalam beberapa hal tidak menutup kemungkinan adanya pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability) dan pertanggungjawaban yang ketat (strict liability). Masalah kesesatan (error) baik kesesatan mengenai keadaannya (error facti) maupun kesesatan mengenai hukumnya sesuai dengan konsep alasan pemaaf sehingga pelaku tidak dipidana kecuali kesesatannya itu patut dipersalahkan.29

Pertanggungjawaban pidana diterapkan dengan pemidanaan, yang bertujuan untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat menyelesaikan konflik yang ditimbulkan tindak pidana memulihkan keseimbangan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang baik dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

Kesalahan tersebut terdiri dari dua jenis yaitu kesengajaan (opzet) dan kelalaian (culpa). Sesuai teori hukum pidana Indonesia, kesengajaan terdiri dari tiga macam, yaitu sebagai berikut:

29Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana

(28)

a. Kesengajaan yang bersifat tujuan bahwa dengan kesengajaan yang bersifat tujuan, si pelaku dapat dipertanggungjawabkan dan mudah dapat dimengerti oleh khalayak ramai. Apabila kesengajaan seperti ini ada pada suatu tindak pidana, si pelaku pantas dikenakan hukuman pidana. Karena dengan adanya kesengajaan yang bersifat tujuan ini, berarti si pelaku benar-benar menghendaki mencapai suatu akibat yang menjadi pokok alasan diadakannya ancaman hukuman ini. Kesengajaan secara keinsyafan kepastian kesengajaan ini ada apabila si pelaku, dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delik, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu.

b. Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan kesengajaan ini yang terang- terang tidak disertai bayangan suatu kepastian akan terjadi akibat yang bersangkutan, melainkan hanya dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu. Selanjutnya mengenai kealpaan karena merupakan bentuk dari kesalahan yang menghasilkan dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan seseorang yang dilakukannya.30

Kelalaian (culpa) terletak antara sengaja dan kebetulan, bagaimanapun juga culpa dipandang lebih ringan dibanding dengan sengaja, oleh karena itu delik culpa, culpa itu merupakan delik semu (quasideliet) sehingga diadakan pengurangan pidana. Delik culpa mengandung dua macam, yaitu delik kelalaian yang menimbulkan akibat dan yang tidak menimbulkan akibat, tapi yang diancam dengan pidana ialah perbuatan ketidakhati-hatian itu sendiri, perbedaan antara

30 Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggung Jawaban dalam Hukum Pidana, Bina

(29)

keduanya sangat mudah dipahami yaitu kelalaian yang menimbulkan akibat dengan terjadinya akibat itu maka diciptalah delik kelalaian, bagi yang tidak perlu menimbulkan akibat dengan kelalaian itu sendiri sudah diancam dengan pidana.31

Syarat-syarat elemen yang harus ada dalam delik kealpaan yaitu:

1) Tidak mengadakan praduga-praduga sebagaimana diharuskan oleh hukum, adapun hal ini menunjuk kepada terdakwa berpikir bahwa akibat tidak akan terjadi karena perbuatannya, padahal pandangan itu kemudian tidak benar. Kekeliruan terletak pada salah pikir/pandang yang seharusnya disingkirkan. Terdakwa sama sekali tidak punya pikiran bahwa akibat yang dilarang mungkin timbul karena perbuatannya. Kekeliruan terletak pada tidak mempunyai pikiran sama sekali bahwa akibat mungkin akan timbul hal mana sikap berbahaya

2) Tidak mengadakan penghati-hatian sebagaimana diharuskan oleh hukum, mengenai hal ini menunjuk pada tidak mengadakan penelitian kebijaksanaan, kemahiran/usaha pencegah yang ternyata dalam keadaan yang tertentu/dalam caranya melakukan perbuatan.32

Pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) adalah suatu mekanisme untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak. Untuk dapat dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam undang-undang.

31 Ibid. hal. 48

(30)

Dilihat dari sudut terjadinya tindakan yang dilarang, seseorang akan dipertanggungjawabkan atas tindakan-tindakan tersebut, apabila tindakan tersebut melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan hukum untuk pidana yang dilakukannya. Dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab maka hanya seseorang yang mampu bertanggungjawab yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Tindak pidana jika tidak ada kesalahan adalah merupakan asas pertanggungjawaban pidana, oleh sebab itu dalam hal dipidananya seseorang yang melakukan perbuatan sebagaimana yang telah diancamkan, ini tergantung dari soal apakah dalam melakukan perbuatan ini dia mempunyai kesalahan.33

Berdasarkan hal tersebut maka pertanggungjawaban pidana atau kesalahan menurut hukum pidana, terdiri atas tiga syarat, yaitu:

a. Kemampuan bertanggungjawab atau dapat dipertanggungjawabkan dari si pembuat.

b. Adanya perbuatan melawan hukum yaitu suatu sikap psikis pelaku yang terkait dengan kelakuannya yaitu disengaja dan kurang hati-hati atau lalai c. Tidak ada alasan pembenar atau alasan yang menghapuskan

pertanggungjawaban pidana bagi si pembuat.34

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dianalisis bahwa kemampuan bertanggungjawab merupakan unsur kesalahan, maka untuk membuktikan adanya kesalahan unsur tadi harus dibuktikan lagi. Mengingat hal ini sukar untuk dibuktikan dan memerlukan waktu yang cukup lama, maka unsur kemampuan

33Moeljatno, Perbuatan Pidana dan PertanggungJawaban dalam Hukum Pidana, Bina Aksara: Jakarta, 1993, hal. 49

(31)

bertanggungjawab dianggap diam-diam selalu ada karena pada umumnya setiap orang normal batinnya dan mampu bertanggungjawab, kecuali kalau ada tanda- tanda yang menunjukkan bahwa terdakwa mungkin jiwanya tidak normal. Dalam hal ini, hakim memerintahkan pemeriksaan yang khusus terhadap keadaan jiwa terdakwa sekalipun tidak diminta oleh pihak terdakwa. Jika hasilnya masih meragukan hakim, itu berarti bahwa kemampuan bertanggungjawab tidak berhenti, sehingga kesalahan tidak ada dan pidana tidak dapat dijatuhkan berdasarkan asas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan.

Masalah kemampuan bertanggungjawab ini terdapat dalam Pasal 44 ayat (1) KUHP yang berbunyi: “Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena cacat, tidak dipidana”. Menurut Moeljatno35, bila tidak dipertanggungjawabkan itu disebabkan hal lain, misalnya jiwanya tidak normal dikarenakan dia masih muda, maka Pasal tersebut tidak dapat dikenakan. Apabila hakim akan menjalankan Pasal 44 KUHP, maka sebelumnya harus memperhatikan apakah telah dipenuhi dua syarat yaitu:

a. Syarat psikiatris yaitu pada terdakwa harus ada kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal, yaitu keadaan kegilaan (idiote), yang mungkin ada sejak kelahiran atau karena suatu penyakit jiwa dan keadaan ini harus terus menerus.

b. Syarat psikologis ialah gangguan jiwa itu harus pada waktu si pelaku melakukan perbuatan pidana, oleh sebab itu suatu gangguan jiwa yang

35 Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana, Bina

(32)

timbul sesudah peristiwa tersebut, dengan sendirinya tidak dapat menjadi sebab terdakwa tidak dapat dikenai hukuman.

Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, adalah merupakan faktor akal (intelektual factor) yaitu dapat membedakan perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan tersebut adalah merupakan faktor perasaan (volitional factor) yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak. Sebagai konsekuensi dari dua hal tadi maka tentunya orang yang tidak mampu menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan, dia tidak mempunyai kesalahan kalau melakukan tindak pidana, orang demikian itu tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dinyatakan bahwa pertanggungjawaban pidana mengandung makna bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang, maka orang tersebut patut mempertanggungjawabkan perbuatan sesuai dengan kesalahannya. Dengan kata lain orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang telah dilakukan orang tersebut.

(33)

2. a. Pengertian Korupsi

Kata korupsi berasal dari kata latin corruption dari kata kerja corumpere yang memiliki arti busuk, rusak, menyogok, menggoyahkan, memutarbalikkan.

Secara harafiah, korupsi berarti kebusukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang memfitnah. Pengertian korupsi dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (W.J.S Poerwadarminta) adalah sebagai perbuatan curang, dapat disuap dan tidak bermoral.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia36, Korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan uang negara atau perusahaan atau sebagainya untuk kepentingan pribadi atau orang lain. Sedangkan di dunia internasional pengertian korupsi berdasarkan Black Law Dictionary yang mempunyai arti bahwa suatu perbuatan yang dilakukan dengan sebuah maksud untuk mendapatkan beberapa keuntungan yang bertentangan dengan tugas resmi dan kebenaran-kebenaran lainnya.

Pasal 435 KUHP menjelaskan korupsi berarti busuk, buruk, bejat, dan dapat disogok, atau disuap pokoknya merupakan perbuatan yang buruk.37 Perbuatan korupsi dalam istilah kriminologi digolongkan ke dalam kejahatan White Coller Crime. Dalam praktek undang-undang yang bersangkutan, korupsi adalah tindak pidana memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung ataupun tidak secara langsung merugikan keuangan negara dan perekonomian negara.

36 Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka: Jakarta, 1991.

(34)

b. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Kata korupsi berasal dari kata latin corruption atau corrupt. Kemudian muncul dalam berbagai bahasa Eropa seperti Perancis yaitu corruption. Bahasa Belanda corruptie dan muncul pula dalam pembendaharaan bahasa Indonesia dengan istilah korupsi.

Arti secara harafiah korupsi adalah kebusukan, keburukan, kejahatan, ketidakjujuran, dapat disuap, penyimpangan dari kesucian, kata-kata yang bernuansa menghina atau memfitnah, penyuapan, dalam bahasa Indonesia kata korupsi adalah perbuatan buruk, seperti penggelapan uang penerimaan, uang sogok dan sebagainya. Kemudian arti kata korupsi telah diterima dalam pembendaharaan bahasa Indonesia dalam kamus besar Indonesia yaitu kecurangan dalam melakukan kewajiban sebagai pejabat.38

Tindak pidana koropsi merupakan tindak pidana khusus karena dilakukan orang yang khusus maksudnya subyek dan pelakunya khusus dan perbuatannya yang khusus akibat yang ditimbulkan oleh adanya tindak pidana korupsi harus ditangani serius dan khusus untuk itu perlu dikembangkan peraturan-peraturan khusus sehingga dapat menjangkau semua perbuatan pidana yang merupakan tindak pidana korupsi karena hukum pidana umumnya tidak sanggup untuk menjangkaunya.

Tindak pidana menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 meliputi perbuatan cukup luas cakupannya. Sumber perumusan tindak pidana korupsi

38 Hamzah Ahmad dan Anando Santoso, Kamus Pintar Bahasa Indonesia, Fajar Mulia:

(35)

dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 dapat digolongkan dalam dua golongan :

1) Perumusan yang dibuat sendiri oleh pembuat Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001

2) Pasal KUHP yang ditarik kedalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Adapun mengenai pengertian tindak pidana korupsi menurut Undang- undang Nomor 20 Tahun 2001, yaitu :

1) Setiap orang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal 2 ayat (1)).

2) Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal 3).

3) Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan dan wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut (Pasal 13).

4) Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi (Pasal 15).

5) Setiap orang di luar wilayah Republik Indonesia yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana korupsi (Pasal 16).

(36)

Memperhatikan Pasal 2 ayat (1) di atas maka akan ditemukan unsur-unsur sebagai berikut :

a. Melawan hukum.

b. Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.

c. Dapat merugikan keuangan negara dan perekonomian Negara.

Penjelasan umum Undang-undang Nomor 20 tahun 2001, unsur melawan hukum mencakup perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan dan norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat maka perbuatan tersebut dapat dipidana.

Adapun yang dimaksud dengan perbuatan memperkaya diri sendiri adalah perbuatan yang dilakukan untuk menjadi lebih kaya lagi dengan cara yang tidak benar. Perbuatan ini dapat dilakukan dengan bermacam-macam cara, perbuatan yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 disebutkan bahwa untuk memperkaya diri sendiri tersebut tidak hanya di peruntukkan bagi orang lain suatu korporasi. Tindak pidana korupsi dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 dibedakan menjadi :

a. Tindak pidana korupsi murni, yaitu perbuatan-perbuatan yang merupakan murni perbuatan korupsi, perbuatan-perbuatan tersebut dalam Bab II Pasal 2 sampai Pasal 20 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999.

b. Tindak pidana korupsi tidak murni, yaitu perbuatan-perbuatan yang berkaitan dengan setiap orang yang mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung, penyidik, penuntut,

(37)

dan pemeriksa di sidang pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa maupun para saksi dalam perkara korupsi.

Perbuatan tersebut diatur dalam Bab II Pasal 21 sampai dengan Pasal 2 dan 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999. Pasal 3 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 mempunyai unsur-unsur sebagai berikut :

a. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.

b. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya.

c. Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Pengertian tindak pidana korupsi menurut Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 apabila dilihat dari sumbernya dapat dibagi menjadi dua, yaitu :

1) Bersumber dari perumusan- perumusan undang-undang tindak pidana korupsi yaitu pada Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai Pasal 16.

2) Bersumber dari pasal-pasal KUHP yang ditarik menjadi Undang- undang tindak pidana korupsi yaitu Pasal 209, Pasal 210, Pasal 387, Pasal 388, Pasal 415 sampai dengan Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425, dan Pasal 435 KUHP.

F. Metode Penelitian

Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis, dan konsisten untuk memperoleh gambaran data keterangan suatu objek yang diteliti.

(38)

Metode penelitan yang dilakukan penulis dalam mengadakan penelitian sehubungan dengan penyusunan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma. Sistem norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundangan, putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin (ajaran).

Penelitian hukum normatif mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitan terhadap sistematika hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum, penelitian sejarah hokum, dan penelitian perbandingan hukum.

2. Jenis Data dan Sumber Data

Penelitian ini difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif.Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data skunder yang diperolehdari:

a. Bahan Hukum Primer :

Bahan hukum primer dalam tulisan ini terdiri atas peraturan perundang- undangan, yurisprudensi atau putusan pengadilan, dan perjanjian internasional (traktat). Dalam penelitian ini, adapun jenis bahan hukum primer yang digunakan adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor

(39)

31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Serta peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan masalahyang dibahas dalam penulisan ini.

b. Bahan Hukum Sekunder :

Dalam penulisan skripsi ini penulis juga menggunakan bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang berkaitan erat dengan bahan hukum primer dan dapat digunakan untuk menganalisis dan memahami bahan hukum primer yang ada. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang dapat memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, yang dapat berupa rancangan perundang-undangan, hasil penelitian, buku-buku teks, jurnal ilmiah, surat kabar (koran), pamflet, brosur, dan berita internet.

c. Bahan Hukum Tersier :

Bahan Hukum Tersier merupakan bahan hukum yang dapat menjelaskan dengan baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder, yang berupa kamus, ensiklopedia, dan lain-lain.

3. Metode Pengumpul Data

Dalam menulis skripsi ini metode yang dipakai dalam pengumpulan data adalah dengan cara penelitian kepustakaan (Library Research). Studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelahaan terhadap

(40)

buku-buku literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang akan dipecahkan.

4. Analisis Penulisan

Berdasarkan sifat penelitian ini yang menggunakan metode penelitian bersifat deskriptif analitis, analisis data yang dipergunakan adalah pendekatan kualitatif terhadap data primer dan data skunder. Deskriptif tersebut meliputi isi dan struktur hukum positif, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan oleh penulis untuk menentukan isi atau makna dari aturan hukum yang dijadikan rujukan dalam menyelesaikan permasalahan hukum yang menjadi objek kajian. Pada bagian pertama bab ini dikemukakan bagaimana perkembangan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia.

G. Sistematika Penulisan

Pembahasan dan penyajian suatu penelitian harus teratur agar tercipta karya ilmiah yang baik. Skripsi ini dibagi dalam beberapa bab yang saling berkaitan satu sama lain, karena isi dari skripsi ini berhubungan antara bab yang satu dengan bab yang lain.

Skripsi ini dibagi dalam 4 (empat) bab yang disusun secara sistematis untukmenguraikan masalah yang akan dibahas dengan urutan sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini dikemukakan tentang Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

(41)

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA KORUPSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI.

Pada bagian pertama bab ini dikemukakan bagaimana perkembangan pengaturan tindak pidana korupsi di Indonesia. Pada bagian kedua bab ini dikemukakan apa saja perbuatan yang termasuk tindak pidana korupsi menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pada bagian ketiga bab ini akan dikemukakan tentang pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana korupsi. Pada bagian keempat bab ini akan dikemukakan bagaimana perumusan sanksi pidana dalam tindak pidana korupsi. Pada bagian kelima bab ini akan dikemukakan tentang bagaimana penyelidikan, penuntutan, dan peradilan tindak pidana korupsi.

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI

(Studi Putusan Pengadilan Negeri No. 53/Pid.Sus-TPK/2018/PN.SBY.) Pada bagian pertama bab ini akan dikemukakan tentang bagaimana kronologi kasus, dakwaan, tuntutan, fakta hukum, pertimbangan hakim, dan putusan. Pada bagian kedua bab ini akan dibahas tentang bagaimana analisis kasus dari putusan Pengadilan Negeri No. 53/Pid.SusTPK/2018/PN.SBY.

(42)

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab terakhir ini akan dikemukakan kesimpulan pembahasan dari bab pertama hingga bab terakhir penulisan yang merupakan ringkasan dari substansi penulisan skripsi ini. Paling akhir adalah saran dari penulis dalam kaitannya dengan masalah yang dibahas.

(43)

A. Perkembangan Pengaturan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Tindak Pidana Korupsi merupakan salah satu bagian dari hukum pidana khusus di samping mempunyai spesifikasi tertentu yang berbeda dengan hukum pidana umum, seperti adanya penyimpangan hukum acara serta apabila ditinjau dari materi yang diatur. Karena itu, tindak pidana korupsi secara langsungmaupun tidak langsung dimaksudkan menekan seminimal mungkin terjadinya kebocoran dan penyimpangan terhadap keuangan dan perekonomian negara. Tindak pidana korupsi semakin variatif sedangkan di lain pihak perkembangan hukum relatif tertinggal dengan perkembangan masyarakat. Berdasarkan hal tersebut, secara kronologis dapatlah disebutkan 8 (delapan) fase perkembangan peraturan yang mengatur mengenai tindak pidana korupsi diIndonesia, yaitu:39

1. Fase Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia (KUHP) untuk menanggulangi korupsi;

2. Fase Keputusan Presiden No. 40 Tahun 1957 jo Regeling op the Staat van Orlog en van Beleg (Stb. 39-582 jo 40-79 Tahun 1939) tentang Keadaan Darurat Perang;

3. Fase Keputusan Presiden No. 225 Tahun 1957 jo Undang-Undang No. 47 Tahun 1957 jo Undang-Undang No. 79 Tahun 1957 tentang Keadaan Bahaya;

39 Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Normatif, Teoritis, Praktik, dan

(44)

4. Fase Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 24 Tahun 1960 Tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi;

5. Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 (LNRI) 1971-19;TLNRI 2985) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

6. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 (LNRI 1999-40; TLNRI 387) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

7. Fase Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001.

Berikut akan dibahas ke delapan fase tersebut tersebut:

1. Fase Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) untuk Menanggulangi Korupsi

Apabila melihat sejenak sejarah perkembangan bangsa kita, sebenarnya hampir sejalan dengan perkembangan hukumnya karena sejak diproklamasikan kemerdekaan, maka pemerintah Indonesia telah berupaya semaksimal mungkin untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi. Hal ini terbukti dengan diundang-undangkannya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) secara nasional yang dikenal dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946. Dalam undang-undang tersebut masalah korupsi telah pula diatur secara tegas, yaitu dalam Buku II XXVIII KUHP walaupun dalam rumusan tersebut belum dikenal sebagai rumusan tindak pidana korupsi. Sedangkan istilah suap atau menyogok

(45)

sudah dikenal dalam Bab VIII KHUP tentang Kejahatan Terhadap Kekuasaan UmumPasal 209 dan 210 KUHP.40

Rumusan tentang tindak pidana korupsi yang terdapat di dalam KUHP, dapat dikelompokkan atas 4 (empat) kelompok tindak pidana yaitu:

a. Kelompok tindak pidana penyuapan; yang terdiri dari Pasal 209, 210, 418, 429, dan Pasal 420 KUHP;

b. Kelompok tindak pidana penggelapan; yang terdiri dari Pasal 415, 416, danPasal 417 KUHP;

c. Kelompok tindak pidana kerakusan; yang terdiri dari Pasal 423 dan Pasal 425KUHP;

d. Kelompok tindak pidana yang berkaitan dengan pemborongan, leveransir danrekanan; yang terdiri dari Pasal 387,388, dan Pasal 435 KUHP.

Dengan demikian, secara keseluruhan di dalam KUHP terdapat 13 pasal yang mengatur dan membuat rumusan tindak pidana, yang kemudian dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi. Menurut perhitungan Andi Hamzah, pasal-pasal KUHP yang memuat rumusan delik korupsi persentasenya mencapai 74% dari semua rumusan delik korupsi yang terdapat di dalam Undang- Undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Perhitungan yang dilakukan oleh Andi Hamzah ini bertitik tolak dari pasal-pasal KUHP yang diambil alih pengaturannya oleh Undang-Undang No. 3 Tahun 1971, baik yang ditarik secara mutlak sebagai tindak pidana korupsi (13 pasal), maupun

40 Edy Yunara, Korupsi dan Pertanggungjawaban Korporasi Berikut Studi Kasus, Citra Aditya Bakti: Bandung,hal 13.

(46)

yang ditarik kaitannya dengan tindak pidana yang dilakukan dalam rangka penyelesaian perkara tindak pidana korupsi (6 pasal).41

2. Fase Keputusan Presiden No. 40 Tahun 1957 jo Regeling op de Staat van Oorlog en van Beleg (Stb. 39-582 jo 40-79 Tahun 1939) tentang Keadaan Darurat Perang

Perkembangan fase kedua ini dikenal munculnya peraturan-peraturan mengenai korupsi, yaitu:

a. Prt/PM-06/1957 tanggal 9 April 1957 tentang Pemberantasan Korupsi.

Dalam peraturan mulai diperkenalkan batasan korupsi sebagai “tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapapun juga, baik untuk kepentingan diri sendiri, untuk kepentingan orang lain atau untuk kepentingan suatu badan yang langsung ataupun tidak langsung menyebabkan kerugian bagi keuangan perekonomian negara” dan tiap perbuatan yang dilakukan oleh seorang pejabat yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah ataupun dari suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, yang dengan mempergunakan kesempatan atau kewenangan atau kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh jabatan, langsung atau tidak langsung membawa keuntungan material baginya”.

Namun karena melihat faktanya (ipso facto) dan menurut hukum (ipso jure) terdapat kekurangefektifan dalam peraturantersebut.

b. Prt/PM-08/1957 tanggal 27 Mei 1957 tentang Penilikan Terhadap Harta Benda. Penilikan harta benda dilakukan oleh 3 orang yang terdiri dari

41 Elwi Danil, Korupsi: Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya, PT Raja

(47)

anggota-anggota Staf Anggota Penguasa Militer atau orang lain yang ditunjuk oleh Penguasa Militer yang merupakan Pembantu Penguasa Militer dalam Penilikan harta benda yang selanjutnya disebut Penilik Pembantu Harta Benda, Penilik ini tidak boleh termasuk orang yang pernah melakukan korupsi, disangka atau sepatutnya harus disangka melakukan korupsi. Akan tetapi, peraturan ini tidak begitu lama kemudian diganti dengan PeraturanPenguasa Militer Prt/ PM-11/1975.

c. Prt/PM-11/1957 tanggal 1 Juli 1957 tentang Penyitaan dan Perampasan Barang-Barang. Dalam konsideran butir a ditentukan perlunya diadakan aturan tentang kekuasaan Penguasa Militer untuk menyita dan merampas harta benda yang asalnya diperoleh dengan perbuatan melawan hukum42 dan dalam Pasal 2 disebutkan bahwa ketentuan tersebut dibuat guna memberi dasar kepada kewenangan Penguasa Militer untuk dapat menyita dan merampas barang-barang yang dengan sengaja atau karena kelalaian tidak diterangkan oleh pemiliknya/pengurusnya, harta benda yang terang siapa pemiliknya dan harta benda orang yang kekayaannya oleh Penilik atau Penilik Pembantu Harta Benda dianggap diperoleh secara mendadak danmencurigakan.43

42 Dalam ketentuan Pasal 1 Peraturan Penguasa Militer Prt/PM-11/1957 tanggal 1 Juli 1957 yang dimaksudkan dengan perbuatan melawan hukum adalah tiap perbuatan atau kelalaian yang a. Mengganngu hak orang lain, b. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat, c.

Bertentangan dengan kesusilaan, dan d. Bertentangan dengan ketelitian, keseksamaan atau kecermatan yang harus diperhatikan dalam pergaualan masyarakat terhadap tubuh atau harta benda orang lain.

Referensi

Dokumen terkait

Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana pemalsuan bilyet deposito dalam perkara Putusan Nomor: 1343/Pid/Sus/204/PN-Tjk adalah terdakwa melakukan perbuatan

Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan “setiap orang” menurut Pasal 1 ayat (3) UU RI No. Unsur ini menunjuk kepada pelaku dari suatu tindak pidana untuk

Bentuk pertama suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi menurut hukum nasional (Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah

Adapun konstruksi delik dari pasal 2 ayat (1) UU No.31 Tahun 1999 sebagaimana dirubah dengan UU No.20 Tahun 2001 yaitu :(1) secara melawan hukum, (2) melakukan perbuatan

Bahwa alasan-alasan Mahkamah Agung RI adalah, bahwa apabila penjelasan ketentuan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan

31 Tahun 1999 Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang-undang No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan

- Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi pasal 2 ayat (1) yang berbunyi “setiap orang yang secara melawan hukum melakukan

Dalam pasal 12 B ayat 1 Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, mengatakan bahwa setiap