• Tidak ada hasil yang ditemukan

Refleksi Impact

N/A
N/A
rindaaul utamii

Academic year: 2022

Membagikan "Refleksi Impact"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/318116567

RESISTENSI ANTIBIOTIK DI INDONESIA- TAK USAH DULU BERMAIN UNDANG-UNDANG

Working Paper · September 2016

DOI: 10.13140/RG.2.2.21560.65281

CITATIONS

2

READS

16,555

1 author:

Ilma Asharina

Bandung Institute of Technology 2PUBLICATIONS   3CITATIONS   

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Ilma Asharina on 03 July 2017.

The user has requested enhancement of the downloaded file.

(2)

1 RESISTENSI ANTIBIOTIK DI INDONESIA- TAK USAH DULU BERMAIN

UNDANG-UNDANG

Topik: Perlukah Undang-Undang Antibiotik?

Tema: Darurat Antibiotik

Ilma Asharina

Institut Teknologi Bandung

“Antibiotik dapat dibeli tanpa resep di 64% negara Asia Tenggara”[7]. Hal tersebut secara tidak langsung dapat memicu terjadinya resistensi antibiotik. WHO mengeluarkan data bahwa setidaknya ada 2.049.442 kasus kesakitan karena resistensi antibiotik dan 23.000 diantaranya meninggal dunia[6]. Memang, tidak ada manusia yang dapat menghindari penyakit, terlebih lagi dari penyakit infeksi.

Antibiotik adalah segolongan senyawa, baik alami maupun sintetik, yang memiliki efek membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri[3].Antibiotik tidak efektif menangani infeksi akibat virus, fungi, atau nonbakteri lainnya, dan setiap antibiotik sangat beragam keefektifannya dalam melawan berbagai jenis bakteri. Antibiotik dapat diperoleh dengan resep dokter dan harus digunakan secara rasional, yakni tepat pengobatan, tepat dosis, tepat cara penggunaan, dan tepat lama penggunannya.

Pasien harus disiplin saat menjalani pengobatan dengan antibiotik. Antibiotik harus dikonsumsi sampai habis karena ketaatan pasien dalam mengonsumsi antibiotik sangat menentukan keberhasilan terapi. Kesalahan pengonsumsian antibiotik dapat memicu terjadinya resistensi antibiotik.

Resistensi antibiotik didefinisikan sebagai ketahanan bakteri terhadap antibakteri sehingga antibakteri tidak berefek pada dosis lazim yang digunakan[3,4]. Penyebab utama resistensi antibiotik adalah penggunaannya yang meluas dan irrasional. Resistensi diawali dengan penggunaan antibiotik yang tidak sampai habis sehingga menyebabkan bakteri tidak mati secara keseluruhan namun masih ada yang bertahan hidup. Bakteri yang masih bertahan hidup tersebut dapat menghasilkan bakteri baru yang resisten melalui tiga mekanisme, yakni transformasi, konjugasi dan transduksi. Beberapa bakteri resisten antibiotik sudah banyak ditemukan di seluruh dunia, di antaranya Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA), Vancomycin-Resistant Enterococci (VRE), Penicillin-Resistant Pneumococci, Klebsiella pneumoniae yang menghasilkan Extended-Spectrum Beta-Lactamase (ESBL),

(3)

2 Carbapenem-Resistant Acinetobacter baumannii dan Multiresistant Mycobacteriumtuberculosis[2].

Resistensi antibiotik merugikan berbagai pihak. Penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri resisten mengakibatkan bertambahnya waktu pasien menderita penyakit sehingga jika pasien berada di rumah sakit, maka biaya rawat inap tentu akan bertambah. Hal yang lebih merugikan adalah ketika pengobatan seorang pasien gagal, pasien akan menjadi karier sehingga resistensi dapat dengan mudah menyebar pada orang lain. Selain itu, resistensi antibiotik juga akan meningkatkan risiko kematian yang secara langsung berpengaruh pada menurunnya usia harapan hidup suatu negara. Dari data yang dilansir WHO, rata-rata usia harapan hidup bangsa-bangsa di Asia Tenggara hanya unggul bila dibandingkan dengan Afrika, yakni 70 berbanding 58[7].

Darurat antibiotik sudah berlangsung hampir satu dekade belakangan ini. Puncaknya pada tanggal 7 April 2011 lalu bertepatan dengan peringatan hari Kesehatan Dunia dimana WHO secara resmi memperkenalkan program Combating Antibiotic Resistance[7] kepada seluruh negara dan organisasi kesehatan di dunia. Namun demikian, tidak semua negara memberi respon positif menyambut pembuatan rencana strategis perlawanan dunia terhadap resistensi antibiotik ini.

Di sisi lain, WHO mengatakan bahwa setiap negara bertanggung jawab untuk mengendalikan resistensi antibiotik yang terjadi[5]. WHO menyarankan agar negara membentuk suatu peraturan yang dapat mengikat warganya, tenaga kesehatannya dan industri kefarmasiannya dalam rangka mengentaskan permasalahan resistensi antibiotik ini.

Pertanyaannya, sejauh apa peraturan tersebut dibutuhkan di negara Indonesia?

Negara Indonesia merupakan negara hukum. Sebagai negara hukum, segala aspek kehidupan dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan dan pemerintahan harus sesuai dengan sistem hukum nasional yang berdasarkan pada Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Hingga saat ini, bentuk tanggung jawab pemerintah Indonesia terhadap upaya mengendalikan resistensi antiniotik telah dilakukan dalam bentuk Permenkes RI Nomor 2046/MENKES/PER/2011 tentang Pedoman Umum Penggunaan Antibotik. Permenkes dibuat untuk mengoptimalkan penggunaan antibiotik secara bijak (prudent use of antibiotics)[2]. Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik diharapkan dapat digunakan sebagai acuan nasional dalam menyusun kebijakan dan pedoman antibiotik bagi rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya, baik milik pemerintah maupun swasta.

(4)

3 Pada kenyataannya, belum semua tenaga kesehatan dan masyarakat mengamalkan apa yang telah tertulis dalam Permenkes No. 2406. Sebanyak 40-60% peresepan antibiotik di Indonesia tidak tepat indikasi[2], dimana pasien sebenarnya tidak mengalami infeksi akibat bakteri. Padahal, dalam Permenkes tersebut pada Bab VI tentang “Program Antimicrobial Stewardship Pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan” poin strategi pendukung, disebutkan bahwa streamlining atau deskalasi seharusnya dilakukan saat menegakkan diagnosis pasien. Namun pada kenyataannya, tenaga ahli, alat, dan laboratorium mikrobiologi belum tersedia di semua fasilitas pelayanan kesehatan, biaya yang cukup tinggi untuk pengecekan pun tidak disubsidi, menjadikan program Antimicrobial Stewardship masih sebatas cita-cita idealis Menteri Kesehatan.

Apa yang salah dengan Permenkes No. 2406? Apakah negara perlu membuat Undang-Undang antibiotik? Sejatinya diperlukan banyak pertimbangan dan studi dalam merancang sebuah Undang-Undang.

Sistem hukum nasional mengenal hirarki atau tata urutan perundang-undangan. Salah satunya Undang-Undang (UU), merupakan suatu peraturan yang dibentuk oleh DPR dan disetujui oleh presiden. Rencana Undang-Undang yang berasal dari DPR, presiden, atau DPD harus disertai naskah akademik sebagai acuan dalam penyusunan RUU.

Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat. Jika Indonesia berniat untuk membuat UU antibiotik, maka pembuatan naskah akademik harus dilakukan sebagai bahan pertimbangan seberapa penting UU tersebut dapat disetujui. Apabila naskah akademik selesai dibuat, dilanjutkan dengan penyusunan draft Rancangan Undang- Undang. RUU dapat berasal dari DPD, DPR atau dari presiden sekalipun. Jika RUU selesai disusun, maka dilakukan proses pengkajian naskah akademik dan RUU oleh DPR bersama presiden atau menteri serta mitra kerja komisi yang bersangkutan.

Berdasarkan Keputusan DPR RI No.3/DPR RI/IV/2014-2015 Tentang Penetapan Kembali Mitra Kerja Komisi-Komisi DPR RI Masa Keanggotaan Tahun 2014-2019, isu-isu terkait kesehatan di Indonesia secara hukum ditangani oleh Komisi IX DPR RI[9]. Komisi IX bekerja sama dengan di antaranya Kementerian Kesehatan, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, Badan Pengawas Obat dan Makanan, dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Bidang Kesehatan, yang pada dasarnya, semua lembaga memiliki cita-cita yang sama untuk memperbaiki sistem serta meningkatkan kesehatan nasional.

(5)

4 Hingga saat ini, belum ada naskah akademik ataupun RUU terkait antibiotik yang diajukan oleh DPR maupun dalam program legislasi nasional atau prolegnas. Meskipun dalam keadaan tertentu, DPR atau presiden dapat mengajukan RUU di luar prolegnas dengan catatan untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, bencana alam, atau keadaan tertentu yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu RUU. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah permasalahan antibiotik sudah dapat dikatakan keadaan luar biasa, dan/atau urgensi nasional?

Sebenarnya, apabila isi Permenkes No. 2406 sudah dijalankan dengan bijak oleh semua pihak, maka pembuatan UU tidaklah diperlukan. UU lahir saat suatu masalah yang tidak ada pengaturannya dapat membuat kacau suatu negara. Maka dari itu, dibuat peraturan yang dapat mengatur seharusnya itu seperti apa, dan bagi mereka yang melanggar peraturan, akan diberi sanksi agar jera dan ketertiban yang ingin dicapai dapat terpenuhi.

Masalah resistensi antibiotik bukanlah masalah yang sepele, bahkan dunia telah mengakuinya. Tetapi permasalahan ini jangan sampai menjadikan kita ceroboh dalam mengambil langkah. Pembuatan UU tidak semudah yang dibayangkan, sebab dapat dipastikan dari awal proses penyusunan naskah akademik serta RUU, akan menyita pikiran, waktu, dan biaya yang tidak sedikit.

Untuk itu, agar tidak terlarut dalam masalah UU antibiotik, akan lebih arif dan bijaksana jika kita memanfaatkan serta mengoptimalkan aturan yang sudah ada, yakni Permenkes No. 2406 Tahun 2011. Kolaborasikan program dalam Permenkes dengan strategi manajemen resistensi antibiotik dunia[5,8]. Langkah-langkah yang dapat dilakukan, di antaranya:

1) Mengoptimalkan Antimicrobial Stewardship Program

Diawali dengan pengarahan terpusat secara berkala kepada Komite Terapi Antibotik RS, dokter spesialis infeksi serta dokter umum, farmasis klinik, dan mikrobiologi medik untuk mempelajari dan memahami isi program Antimicrobial Stewardship. Selanjutnya pihak pemerintah mulai menata sistem seperti pemberian alat dan penyediaan tenaga kesehatan untuk mendukung program ini.

2) Memperbaiki sistem peresepan antibiotik

Dilakukan pendekatan oleh IDI dan dokter spesialis infeksi kepada dokter-dokter lainnya, untuk tidak meresepkan antibiotik jika kondisi pasien belum dapat dipastikan mengalami infeksi bakteri. Selain itu, para dokter juga harus diingatkan kembali tentang bahaya resistensi antibiotik. Farmasis klinik juga dapat berperan untuk mengawasi antibiotik yang diresepkan, apabila peresepan antibiotik dirasa irrasional, maka farmasis dapat

(6)

5 mengajukan rekomendasi obat atau regimen yang kurang tepat tersebut pada dokter. Disini lah hubungan interprofesi tenaga kesehatan dapat terlihat, satu sama lain harus saling menghargai dan saling mendengarkan.

3) Mencegah terjadinya infeksi bakteri

Preventif Infection and Control adalah program yang sudah lama dilaksanakan di negara-negara Eropa dan Amerika. Pencegahan infeksi bakteri dapat dilakukan secara langsung dengan cara meningkatkan daya tahan tubuh dengan mengonsumsi pangan dengan gizi seimbang, disertai berolahraga. Sedangkan secara tidak langsung dengan selalu menjaga kebersihan lingkungan, menghindari konsumsi daging atau sayur yang terkontaminasi antibiotik pada saat proses hulu dengan selalu mencuci bersih dan memasak hingga matang bahan-bahan pangan tersebut.

4) Meningkatkan kesadaran masyarakat untuk bijak menggunakan antibiotik Kegiatan-kegiatan seperti kampanye dan penyuluhan langsung ke tempat tinggal serta ke berbagai instansi, dilakukan secara jelas namun dengan pembawaan yang santai, akan meningkatkan ketertarikan dan ketaatan masyarakat mengenai hal yang disampaikan.

Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa resistensi antibiotik sedang mengancam kesehatan masyarakat dunia, terutama di Indonesia yang belum memiliki aturan mengikat terkait penggunaan antibiotik. Namun demikian, belum terlambat untuk memperbaiki keadaan saat ini, salah satu caranya adalah dengan mengoptimalkan Permenkes No. 2406 Tahun 2011 dan manajemen strategis melawan resistensi antibiotik, diantaranya dengan mengoptimalkan Antimicrobial Stewardship Program, memperbaiki sistem peresepan antibiotik, mencegah terjadinya infeksi bakteri, dan meningkatkan kesadaran masyarakat untuk bijak menggunakan antibiotik. Walau tanpa Undang-Undang, cita-cita mewujudkan Indonesia sehat dapat diwujudkan. Sejatinya, sebaik dan sekuat apapun Undang-Undang, jika tidak diimbangi dengan pembenahan holistik sistem dan kesadaran masyarakat, Undang- Undang tersebut tidaklah berarti.

(7)

6 DAFTAR PUSTAKA

[1]

Clookson, Clive. 2016. US-UK Partnership to Tackle Antibiotic Resistance. [Online]

www.ft.com/content/8af200f0-54b4-11e6-9664e0bdc13c3bef diakses pada Jumat 9 September pukul 15.00 WIB.

[2]

Menteri Kesehatan RI. 2011. PERMENKES RI NO 2406. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Halaman 4-5, 62-64

[3] Tjay, Tan Hoan, Rahardja, Kirana. 2007. Obat-obat Penting. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Halaman 55-56.

[4] Ventola, C. Lee. 2015. The Antibiotic Resistance Crisis, Part 1 Causes and Threats.

Journal of Pharmacy and Therapeutic. 40(4): 277–283.

[5] Ventola, C. Lee. 2015. The Antibiotic Resistance Crisis, Part 2 Management Strategies and New Agents. Journal of Pharmacy and Therapeutic. 40(5):344-348.

[6] WHO. 2013. Antibiotic Resistance Threats in the United States. USA: US Department of Health and Human Services. USA: World Health Organization Halaman 13.

[7] WHO. 2015. Worldwide Situatuon Analysis Response to Antimicrobial Resistance. USA:

World Health Organization. Halaman 2, 20, 29.

[8]

WHO. 2015. Global Action Plan On Antimicrobial Resistance. USA: World Health Organization. Halaman 10-11

[9]

www.dpr.go.id/akd/index/id/Tentang-Komisi-IX diakses pada Jumat, 9 September 2016 pukul 19.00 WIB.

View publication stats

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil simulasi perhitungan persen refleksi cahaya oleh permukaan sel surya silikon yang diberi lapisan anti refleksi ZnO dapat disimpulkan bahwa persen refleksi

Melalui kegiatan diskusi dan literasi peserta didik dapat memecahkan penyelesaian masalah terkait konsep transformasi refleksi pada garis

Memecahkan masalah kontekstual yang berkaitan konsep transformasi geometri refleksi pada

Lebar refleksi siswa dan guru dalam pembelajaran

refleksi kemampuan metode pembelajaran

Dokumen ini berisi refleksi tentang pembelajaran fisika di semester

Refleksi emosi membantu klien memahami dan mengontrol

LEMBAR REFLEKSI PESERTA DIDIK LEMBAR REFLEKSI PESERTA DIDIK Nama: Kelas: Hari ini aku merasa Aktivitas kesukaanku hari ini adalah Hal baru yang aku pelajari hari ini adalah Esok