• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN AKHIR HIBAH PENELITIAN KERJASAMA ANTAR PERGURUAN TINGGI (PEKERTI)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "LAPORAN AKHIR HIBAH PENELITIAN KERJASAMA ANTAR PERGURUAN TINGGI (PEKERTI)"

Copied!
113
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

LAPORAN AKHIR

HIBAH PENELITIAN KERJASAMA ANTAR PERGURUAN TINGGI (PEKERTI)

POTENSI MUTACIN STREPTOCOCCUS MUTANS SEBAGAI INHIBITOR COLLAGEN BINDING PROTEIN PADA SEL ENDOTEL KAITAN

DENGAN STROKE HAEMORAGIK DAN ENDOCARDITIS

KETUA DAN ANGGOTA

Ketua TPP : Drh. Basri, M.Si (0007037504)

Anggota TPP : Drh. Abdillah Imron Nasution, M.Si (0014047704) Ketua TPM : Prof. Drg. Boy M. Bachtiar, MS., Ph.D (0024055202)

Anggota TPM : Drg. Nurtami, Ph.D (0015067405)

Dibiayai oleh Universitas Syiah Kuala, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sesuai dengan Surat Perjanjian Penugasan Dalam Rangka Pelaksanaan Penelitian

Hibah Pekerti Tahun Anggaran 2014 Nomor :496.a /UN11/S/LK-BOPT/2014 Tanggal 26 Mei 2014

UNIVERSITAS SYIAH KUALA NOPEMBER 2014

(3)
(4)

3

RINGKASAN

Latar Belakang. Streptococcus mutans dilaporkan sebagai agen utama penyebab karies dan dapat bersifat bakterinemia dapat dapat menginfeksi endocardium jantung (endokarditis) dan pembuluh darah serebrum otok (stroke haemoragi). Selain itu S. mutans menghasilkan antibiotik mutacin yang dapat menghambat sejumlah golongan bateri streptococci, termasuk perlekatan protein Cnm S. mutans pada Collagen binding protein sel endothel pembuluh darah serembrum dan jantung, potensi tersebut memberikan informasi bahwa mutacin dapat mencegah perlekatan S. mutans pada sel endothel, sehingga dapat mencegah infeksi endocarditis dan infeks strok haemoragik. Tujuan penelitian mengevaluasi kemampuan S.

mutans menginfeksi jantung dan lapisannya serta otak dan pembuluh darah serembrum dan menguji kepekaaan rekatifitas mutacin terhadap sel endotel pada berbagai konsentrasi.

Metode Penelitian. Penelitian ini menggunakan metode kultur bakteri, histopatologi, spektrofotometer, dan ELISA, selain itu metode purifikasi mutacin dan kultur sel endothel.

Hasil Penelitian. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada pH 5 dan 6 dan suhu 40°C pertumbuhan sel bakteri S. mutans lebih rendah dibandingkan dengan pH 8 dan suhu 37°C berdasarkan absorbansi spektrofotometer pada hari ke 7, 14, 21, dan 30, secara histopatologi jantung dan katup jantung menunjukkan perubahan histopatologis berupa infiltrasi sel radang, hiperemi hemoragi, cloudy swelling dan nekrosis sel yang ditandai dengan piknosis mulai pada hari ke-7 hingga pada akhirnya jaringan menjadi lisis pada hari ke-30 hal yang sama juga terjadi pada endokardium, miokardium, epikardium dan katup jantung juga terjadi hipertrofi otot jantung dan infiltrasi sel fibroblas pada epikardium. Sedangkan pada otak secara histopatologis pada pembuluh darah serebrum menujukkan terjadi perubahan susunan sel endotel, nekrosis sel endotel dan destruksi tunika media, nekrosis sel endotel dan tunika intima dan media menjadi lisis selanjutnya pada hari ke-30 terlihat sel endotel hilang dan rupturnya pembuluh darah. Begitu juga pada otak serebrum terjadi hiperemi dan infiltrasi sel radang pada semua kelompok perlakuan dan pada fase infeksi hari ke 30 terjadi peningkatan hemoragi dan nekrosis sel dan ruptur pembuluh darah. Pada uji reaktifitas mutacin S.

mutans mampu bereaktifitas dengan sel endotel pada berbagai konsentrasi. Pembahasan.

Streptococcus mutans isolate darah lebih bagus pertumbuhan pada kondisi lingkungan alkalis, dibandingkan isolat labaoratorium, khususnya pada pH 8 dan pada suhu 37 0C dan 40 0C dan S. mutans sebagai penentu terjadinya infeksi pada jantung dan otak besar (serebrum) dengan intensitas yang meningkat seiring lama infeksi. Infeksi oleh S. mutans pada jantung dan pembuluh darah otak, dengan sasaran merusak sel endotel dan jaringan host, yang merupakan media untuk melakukan infeksi. Sedangkan mutacin S. mutans dapat bereaksi baik dengan sel endotel pembuluh darah otak dan jantung pada berbagai konsentrasi. Kesimpulan. Streptococcus mutans mampu menginfeksi jantung dan pembuluh darah otak, sekaligus mutacin S. mutans mampu berinteraksi dengan sel endotel pembuluh darah otak dan jantung.

Kata Kunci: Streptococcus mutans, mutacin, jantung, serebrum, dan sel endothel

(5)

4

PRAKATA

Bismillahirrahmanirrahim

Puji beserta syukur penulis panjatkan kepada sang Khalik Ilahi Rabbi yang telah memberikan penghidupan yang layak bagi umatNya. Atas kudrah dan IradahNyalah penulis telah diberikan kemampuan untuk menyelesaikan penelitian beserta laporannya dengan judul Potensi Mutacin Streptococcus Mutans Sebagai Inhibitor Collagen Binding Protein Pada Sel Endotel Kaitan dengan Stroke Haemoragik Dan Endocarditis. Laporan ini terdiri dari laporan hasil penelitian dan draf artikel ilmiah.

Laporan penelitian ini sejatinya telah memberikan kontribusinya dalam pengembangan ilmu pengetahuan khususnya pengetahuan tentang kedokteran gigi lebih spesifik sebagai upaya untuk penvegahan penyakit karies gigi. Selain itu, laporan penelitian ini dibuat sebagai bentuk tanggungjawab peneliti atas hibah dana penelitian yang telah dibiayai oleh Dibiayai oleh Universitas Syiah Kuala, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sesuai dengan Surat Perjanjian Penugasan Dalam Rangka Pelaksanaan Penelitian Hibah Pekerti Tahun Anggaran 2014 Nomor :496.a /UN11/S/LK-BOPT/2014 Tanggal 26 Mei 2014.

Penulis megucapkan terimaksih kepada semua pihak yang telah membantu terlaksananya penelitian dan penulisan laporan ini, terutama kepada tim peneliti serta keluarga yang telah berperan aktif untuk menyelesaikan laporan penelitian. Penulis sungguh mengharapkan masukan, saran serta kritikan untuk perbaikan di masa yang akan datang.

Akhirnya penulis mengharapkan kepada pembaca kiranya tulisan ini dapat bermanfaat baik sebagai referensi penelitian maupun untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan.

Amin.

Darussalam, November 2014 Penulis

(6)

5

DAFTAR ISI

HALAMA PENGESAHAN ... ii

A. LAPORAN HASIL PENELITIAN RINGKASAN ... iii

SUMMARY ... iv

PRAKATA ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL DAN SKEMA ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

BAB II. PERUMUSAN MASALAH ... 3

BAB III. TINJAUAN PUSTAKA... 5

BAB IV. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ... 25

BAB V. METODE PENELITIAN ... 26

BAB VI. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 33

BAB VII. SIMPULAN DAN SARAN ... 47

DAFTAR PUSTAKA ... 48

LAMPIRAN ... 51

B. DRAFT ARTIKEL ILM IAH

(7)

6

DAFTAR TABEL

Tabel 1.Nilai Reaktifitas konsentrasi Mutacin S.mutans terhadap sel endotel

berdasarkan uji anova ... 29

(8)

7

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.Model mekanisme bakteriocin dalam tanpa imunitas ... 7 Gambar 2. Grafik perbandingan pertumbuhan S. mutans ATCC 31987

Dengan isolate darah berdasarkan pH ... 16 Gambar 3. Grafik perbandingan pertumbuhan S. mutans ATCC 31987

Dengan isolate darah berdasarkan suhu ... 17 Gambar 4. Gambaran Histopatologis lapisan jantung ... 20 Gambar 5. Gambaran Histopatologis endocardium dan katup jantung... 23 Gambar 6. Gambaran histopatologi otak tikus setelah di infeksi dengan

S. mutans ... 25 Gambar 7. Gambaran histopatologi sel endotel pembuluh darah ... 27 Gambar 8. Derajat Reatifitas Mutacin S. mutans ... 15

(9)

8

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I. Hasil Penelitian ... 40

Lampiran II.Instrumen Penelitian ... 56

Lampiran III. Personalia Peneliti ... 58

Lampiran IV. Draf Publikasi ... 78

(10)

9

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Stroke haemoragik terjadi terjadi akibat aliran darah yang masuk ke otak terganggu karena penyumbatan pembuluh darah dalam otak sehingga mengakibatkan pembuluh darah pecah, dan suplai darah, makanan dan oksigen sel saraf dalam otak terganggu dan menyebabkan kelumpuhan pada anggota gerak, gangguan bicara bahkan sampai penurunan kesadaran. Hampir 70% kasus stroke hemoragik terjadi pada penderita hipertensi yang berakhir dengan kelumpuhan. Penyakit ini dilaporkan sebagai penyebab cacat nomor satu dan penyebab kematian nomor dua di dunia serta telah menjadi masalah kesehatan yang mendunia sehingg perlu penanganan secara serius (Adam, 2003). Berdasarkan data dari Yayasan Stroke Indonesia jumlah penderita Stroke di Indonesia terbanyak dan menduduki urutan pertama di Asia sedangkan organisasi stroke dunia mencatat hampir 85% orang sangat rentan terhadap resiko sehingga perlu upaya penanganan secara serius (Aliah, 2007).

Beberapa penelitian stroke melaporkan bahwa stroke dapat dipicu oleh faktor perlilaku dan medis termasuk infeksi mikroorganisme. Kejadian stroke tersebut sangat berhubungan dengan gangguan jantung, karena jantung selain berfungsi sebagai suplai aliran darah, juga sebagai pengontrol tekanan darah keseluruh tubuh sekaligus mensuplai oksigen tubub termasuk ke otak. Gangguan jantung seperti jantung koroner dan infeksi endocarditis terutama pada pasien dengan kelainan kongenital pada jantungnya (Arif, 2009).

Di negara berkembang insiden endokarditis dapat mencapai 1,6 – 4,3 diantara 100.000 penduduk. Angka kematian mencapai 20%-40%, meskipun diberikan antibiotik yang cukup.

Komplikasi neurologis endokarditis dapat berkisar 20%-40%, hal ini akan mempertinggi angka kematian (41%-86%), biasanya kematian tersebut terjadi secara mendadak (Alwi, 2007).

Endokarditis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi mikroorganisme berupa golongan jamur (Candida sp dan Aspergillus sp) maupun bakteri berupa Streptococcus viridans alpha hemolytic paling sering dan disusul dengan staphylococcus koagulase positif (Fauci, 2008). Streptococcus mutans dilaporkan berperan pada kasus stroke haemoragik (Nakano, 2011) dan juga berperan pada endocarditis (Abrances, 2011). Kejadian ini dipengaruhi oleh aktivitas faktor virulensi yang dimiliki S. mutans salah satunya adalah collagen binding protein atau protein Cnm memiliki berat molekul 120 kDa dengan

(11)

10

mengikat komponen extraceluler matrix (ECM) yang terdiri dari fibronectin, collagen, laminin, dan elastin (Nakano 2010, dan Nomura, 2006).

Selain itu, S. mutans juga memproduksi bacteriocin (mutacin) yang merupakan protein atau peptides anti microbial terhadap beberapa bakteri seperti Enterococcus faecalis, Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, Escherichia coli dan mycobacteria (Kamiya, 2008). Secara umum mutacin berfungsi sebagai bakteriosidal melalui jalur adhesin molekuler dengan menghambat pembentukan biofilm sebagai inisiasi pertama invasi mikrobial terhadap host (Kamiya, 2011) yang melibatkan protein ektraseluler seperti collagen binding protein sebagai unsur bioaktivator adhesin terhadap host, khusunya pada kejadian infeksi S. mutans baik pada infeksi karies gigi maupun perannya pada infeksi stroke hemoragik dan endocarditis.

Penelitian ini mengeksplorasi potensi S. mutans yang dapat menyebabkan stroke haemoragi dan endocarditis, sekaligus menguji kepekaan mutacin terhadap terhadap perlekatan S.

mutans pada sel endotel. Hasil penelitian ini dapat menjadi referensi upaya penentuan mutacin sebgai inhibitor perlekatan S. mutans pada sel endotel yang dapat mencegah terjadinya infeksi endocarditis dan stroke haemoragik.

(12)

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Streptoccus mutans

Streptococcus mutans dilaporkan sebagai floral normal rongga mulut yang memiliki sifat α-hemolitik dan oportunistik (Basri, 2010). Bakteri ini pertama kali diisolasi dari plak gigi oleh Clark pada tahun 1924 berbentuk kokus dengan formasi rantai panjang apabila ditanam pada medium BHI sedangkan pada media agar lainnya memperlihatkan rantai pendek dengan bentuk sel tidak beraturan selain tumbuh dalam suasana fakultatif anaerob, S. mutans juga dianggap sebagai oral mikrobiota patogen yang paling penting pada patogenesis karies gigi, karena kemampuannya membentuk polisakarida ekstraseluler dan memfermentasi karbohidrat menjadi asam laktat. (Basri, 2006). Streptococcus mutans terdiri dari serotipe c, e, f, dan k sedangkan. Keempat serotipe ini, yang paling sering dijumpai pada infeksi karies gigi adalah serotipe c (70%) dan e (20%) dan kurang dari 5% serotipe k (Nakano, 2004). S. mutans Serotipe k menurut Nakano (2004) berperan pada patogenesis stroke hemoragik (Nakano, 2011) dan endocarditis (Nakano, 2010).

Dengan demikian, S. mutans yang dikenal sebagai patogen untuk karies gigi tetapi juga sebagai bakteremia. Penelitian yang dilakukan oleh Eishi (1995) memperlihat S.

mutans berperan pada infeksi penyakit sistemik lainnya seperti endokarditis dan infeksi komplikasi intraserebral di pada beberapa penderita stroke hemoragik di Jepang. Indikasi S.

mutans serotipe k terlibat pada infeksi tersebut adalah ditemukan bakteri ini dalam darah penderita stroke hemoragik dan penderita endocarditis (Fujiwara, 2001). Hasil penelitian Nakano (2011) menunjukkan bahwa infeksi pada stroke hemoragik berhubungan erat dengan infeksi S. mutans dan dianggap sebagai faktor risiko potensial pada pendarahan otak dan virulensi S. mutans serotipe k sangat penting pada penyakit sistemik (Nakano, 2009).

Selain itu, S. mutans juga memproduksi mutacin (bakteriocin) untuk membantu kolonisasi pada proses pembentukan biofilm (Merritt, 2012). Sekaligus dapat menghambat pertumbuhan bakteri lainnya. Peran mutacin menjadi penting ketika proses infeksi terjadi, selain itu dilaporkan juga mutacin mampu menghambat beberapa protein binding yang dimiliki golongan bakteri streptoccus, termsuk S. mutans (Dramsi, 2010).

(13)

12

2.2. Mutacin

Streptococcus mutans dapat menghasilkan mutacin (bacteriocins) untuk mempertahankan dirinya dengan lingkungan sekitar. Terdapat dua mutacin S. mutans berdasarkan karakteristik yaitu lantibiotic secara umum bersifat spektrum luas dan non- lantibiotics secara umum jenis mutacin ini cendrung digunakan sebagai target atraktif bahan antimikrobial. Secara moleculer interaksi dari protein mutacin ini diperantarai oleh dua komponen protein ComCDE dari protein LytTR yang difasilitasi oleh sistem regulasi protein HdrRM dan BrsRM. Dua sistem ini berperan mengasilkan mutacin untuk menjaga kelangsungan hidup S. mutans dari pengaruh lingkunganya (Merrit, 2012).

Mutacins pertama kali dipelajari oleh Kelstrup dan Gibbons pada tahun 1969 dan kata 'mutacin' diciptakan oleh Hamada dan Ooshima pada tahun 1975. Mota-Meira (2000) dan Morency (2001) melaporkan bahwa bakteri penghasil mutacin dapat menghambat bakteri patogen yang berhubungan dengan makanan, seperti L. monocytogenes, B. cereus, C. perfringens, S. aureus dan Campylobacter jejuni. Mutacin juga dapat menghambat berbagai streptococus dan enterococci, termasuk beberapa strain resisten multi-obat (Kreth,2005) juga terhadap Helicobacter pylori dan Neisseria gonorrhoeae (Mota-Meira, 2005).

Mutacin B-Ny266 memiliki aktivitas penghambatan terhadap banyak nisin-A strain resisten (L. monocytogenes Scott A, Pediococcus acidilactici), strain yang resisten oksasilin (Enterococcus faecalis, S. aureus dan S. epidermidis) dan strain resisten vankomisin (N.

gonorrhoeae , E. faecalis) Mota-Meira (2000). Mutacins I dan III telah terbukti memiliki potensi lebih dari nisin untuk menghambat methicilin-resistant S. aureus (MRSA), vancomycin-resistant Enterococcus (VRE) dan S. epidermidis, memperlihatkan konsentrasi hambat minimum lebih rendah dari 10 mg / ml (Qi, 1999)). Mutacins I, II, III dan IV dapat menghambat kelompok A streptococcus (GAS) dan penisilin-tahan S.

pneumoniae dengan MIC bawah 1µg/ml (Qi, 2000).

Mutacins Lantibiotic menunjukkan aktivitas terhadap berbagai bakteri gram positif, sedangkan mutacins non-lantibiotic (NLM) terutama aktif terhadap bakteri terkait erat.

Sejauh ini, enam mutacins lantibiotic telah ditandai yang meliputi mutacin I, mutacin II, mutacin III/mutacin 1140 (Hilman, 1998), mutacin B-NY266, mutacin K8 (Robson, 2007) dan mutacin SMB (Yonezawa, 2005). Di sisi lain, mutacins non-lantibiotic terdapat dalam berbagai serotipe S. mutans.

(14)

13

2.3. Collagen Binding Protein Sebagai Potensial Stroke dan Endocarditis

Kemampuan infeksi S. mutans pada kasus stroke hemoragik dan endocarditis tidak terlepas dari faktor viruensi yang dimiliki S. mutans untuk menginvasi host. Nakano (2010) melaporkan bahwa protein 120-kDa (protein Cnm) dianggap molekul protein yang berperan penting pada kasus stroke hemoragik dan endocarditis selain itu protein 190-kDa (Nakano 2008). Protein Cnm ini mengikat kolagen tipe I host untuk selanjutnya menetap pada jaringan, berkoloni dan menginfeksi host yang pada akhirnya melemahkan aktivitas sel endotelium yang merupakan langkah penting pada infeksi endocarditis (Nomura, 2012).

Menurut Sato (2004) sekuen asam amino yang telah dideduksi oleh protein Cnm memperlihatkan kesamaan yang akurat dengan collagen-binding adhesins dan setelah dikonfirmasi ternyata protein Cnm termasuk dengan Cbp yang merupakan protein permukaan yang memfasilitasi S. mutans untuk melekat pada jaringan sel endotel dan kolagen host untuk. Nakano (2011) melaporkan bahwa Streptococcus mutans serotipe k mengekspresikan Cbp yang merupakan faktor risiko potensial pada stroke hemoragik, hasil ini juga diperjelas kembali oleh ia bahwa frekuensi S. mutans mengekpresikan Cbp pada pasien stroke hemoragik secara signifikan lebih tinggi dibanding dengan kontrol, dengan demikian secara langsung Cbp S. mutans terlibat dalam haemoragik stroke dan endocarditis.

2.4. Stroke Hemoragik dan Endocarditis

Stroke adalah gangguan fungsional otak fokal maupun global akut, lebih dari 24 jam, berasal dari gangguan aliran darah otak dan bukan disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak, tumor otak, stroke sekunder karena trauma maupun infeksi mikroorganisme seperti streptococcus mutans (Nakano 2011). Patogenesis stroke haemoragik terjadi akibat tekanan darah yang sangat tinggi dapat mengakibatkan terjadinya gangguan peredaran darah otak. Stroke haemoragik dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu, perdarahan subarachnoid dan perdarahan intraserebral (Sutrisno, 2007).

Perdarahan subaraknoi yaitu darah keluar dari dinding pembuluh darah menuju ke permukaan otak dan tersebar dengan cepat melalui aliran cairan otak ke dalam ruangan di sekitar otak. Perdarahan sering kali berasal dari rupturnya aneurisma di basal otak atau pada sirkulasi willisii. Perdarahan subaraknoid timbul spontan pada umumnya dan sekitar 10 % disebabkan karena tekanan darah yang naik danterjadi saat aktivitas. Sedangkan perdarahan intraserebral, adalah akibat rusaknya struktur vaskular yang sudah lemah akibat aneurisma yang disebabkan oleh kenaikan darah atau pecahnya pembuluh darah otak akibat tekanan darah, atau pecahnya pembuluh darah otak akibat tekanan darah yang melebihi toleransi (Aliah, 2007).

(15)

14

Endokarditis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme pada endokardium atau katub jantung. Infeksi endokarditidis biasanya terjadi pada jantung yang telah mengalami kerusakan yang didahului dengan endokarditis, biasanya berupa penyakit jantung bawaan, maupun penyakit jantung yang didapat seperti infeksi oleh bakteri yang disebut dengan endokariditis bakterial. Endokarditis paling banyak disebabkan oleh streptococcus mutans, Staphilococcus aureus E. faecalis dan jamur Candida albicans (Eisi,

1995; Nomura 2006)

2.5. Peran Streptococcus mutans Pada Stroke Hemoragik dan Endocarditis

Nakano (2010) melaoprkan bahwa S. mutans merupakan bakteri yang paling sering ditemukan dalam jaringan katup jantung dari penderita endocarditis. Selanjutnya Nakano (2011) juga melaporkan bahwa S. mutans juga berperan pada kasus stroke hemoragik.

Selain itu, S. mutans serotipe k berperan pada infeksi vaskular intraserebral, dengan demikian, S. mutans yang dikenal sebagai patogen pada karies gigi tetapi juga bersifat bakteremia karena terlibat pada patogenesis penyakit intraserebral (Fujiwara, 2001).

Streptococcus mutans selain sebagai penyebab utama karies gigi juga dilaporkan sebagai sumber infeksi endokarditis, kejadian ini diawali dengan trauma seluler (Banas, 2004). Kira-kira 20% kasus endokarditis disebabkan oleh S. mutans (Chia, 2000).

Streptococcus mutans disebut sebagai penyebab endokarditis, karena memiliki protein permukaan yang spesifik (Antigen I/II) dan protein Cbp terhadap reseptor matrik ektraseluler sel epitel rongga mulut. Fibrinogen, kolagen, dan fibronektin termasuk dalam matrik ekstraselluler (Well, 1993). Fibronektin (Fn), selain berperan dalam proses pembekuan darah, embriogenesis, perbaikan jaringan, juga secara umum berperan sebagai molekul adhesin pada dinding sel melalui interaksi antara reseptor fibronektin dengan reseptor permukaan dinding sel antigen lainnya (Ward, 2001)

Patogenesis endokarditis sampai terjadi bakteremia dan kolonisasi S. mutans pada katup jantung, diawali dengan terjadinya interaksi antara protein Cbp dengan fibronectin binding protein (Fbp-130). Fibronektin insoluble glycoprotein dimer mengikat S. mutans untuk melekat pada komponen matrik ekstraselluler. Selanjutnya S. mutans dibawa ke darah melalui perlekatan Fibronectin Soluble disulphide yang terdapat di dalam plasma darah.

Komponen plasma darah seperti integrin, kolagen fibrin, gelatin, dan heparin mengikat S.

mutans dalam darah dan melalui sistem sirkulasi darah, S. mutans dibawa ke katup jantung, menetap dan membentuk kolonisasi yang menyebabkan infeksi endokarditis.Sedangkan Gtf dan Gbp tidak memperantarai perlekatan S. mutans pada sel epitel rongga mulut, hal ini berhubungan dengan kemampuan reseptor Fbp-130 fibronektin mengenal antigen Gbp dan

(16)

15

Gtf. Gtf lebih berperan pada sintesis glukan dari sukrosa, sedangkan Gbp berperan dalam perlekatan S. mutans pada pelikel gigi.(Hiroshi, 1997; Beg, 2002)

2.6. Target Reseptor Bakteriocin (Mutacin)

Sejumlah penelitian melaporkan bahwa bakteriosin merupakan peptida aktif yang dapat menyebabkan gangguan permeabisasi dinding sel bakteri dan sampai membunuh bakteri. Sasaran reseptor dari kerja bakteriocin (mutacin) lantibiotics mampu mengganggu sintesis dinding sel melalui afinitas yang tinggi dengan mengikat molekul lipid II, sebuah molekul yang berperan peran penting dalam sintesis lapisan peptidoglikan Bonelli (2006), Breukink (2006). Ikatan molekul lipid II dapat membentuk pori-pori pada membran sitoplasma sel target. Mekanisme ini sangat penting dalam membunuh mikroorganisme seperti juga peptida lantibiotic lacticin 3147 (Wiedemann, 2006). Sedangkan mekanisme aksi lantibiotics dari streptococcu belum dilaporkan perannya dalam menghambat atau membunuh mikroorganisme patogen, namun beberapa lantibiotics, seperti mutacin I, 1140 dan B-Ny266, juga menggunakan lipid II sebagai molekul target (Chatterjee, 2005)

Gambar. 1. Model mekanisme bakteriocin dalam tanpa imunitas (A) dan dengan imunitas (B) dari classIIa bakteriosin. (A) bakteriosin (merah) sebagai target reseptor (oranye) sebagai target reseptor sel (1). kemudian mengikat komponen IIC (C) dan IID (D) dari mannose-PTS (2) dan menyebabkan membran sitoplasma sel (3) dan kematian akhirnya sel. (B) kekebalan sel sebagai penghasil nonbacteriocin (1), protein kekebalan (pink) terkait dengan protein reseptor. Ketika bakteriosin secara eksogen ditambahkan atau diproduksi oleh bakteri sendiri (2), protein kekebalan erat kaitan dengan reseptor untuk mencegah bakteriosin terikat pada reseptor dan mencegah pembentukan pori-pori dan membran sitoplasma tidak bocor (3). Dalam semua kasus, komponen IIAB sitoplasma (AB) berada dalam kontak dengan mitranya membran-terletak, tetapi tanpa terlibat langsung dalam fungsi reseptor atau dalam fungsi imunitas. (Gravesen, 2002).

(17)

16

2.7.Keterkaitan Usulan Penelitian dengan Penelitian Sebelumnya

Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan tentang pemanfaatan S. mutans sebagai agen infeksi yang menguntungkan. Penelitian sebelumnya oleh TPP menggunakan telah S. mutans sebagai injuser atau subjek untuk memproduksi IgY anti S. mutans sebagai penyebab karies gigi. Penelitian ini dilaksanakan juga di laboratorium TPM dan Laboratorium Mikrobiologi FKH IPB yang didanai melalui program RUUI 2006-2007.

Selanjutnya penelitian yang sama menggunakan S. mutans sebagai ukuran kontrol biologi perubahan pH rongga mulut untuk mencegah karies gigi dan infeksi oral candidiasis yang di danai DIPA Unsyiah tahun 2011. Penggunaan S. mutans sebagai subjek penelitian untuk kaitannya memproduksi antibodi anti karies gigi masih sejalan dengan penelitian yang pernah dilakukan TPM. Penelitian yang telah dilakukan tersebut, khususnya terkait dengan IgY anti S. mutans telah memproduksi IgY clone ComD S. mutans anti karies gigi dan dari penelitian tersebut TPM telah menghasilkan paten Caries DNA Vaccine pcDNA-ComD (Co inventor). Penelitian yang diusulkan melalui program Pekerti ini merupakan keterkaitan S.

mutans sebagai bakterinemia penyebab endocarditis dan stroke hemoragik disamping penyebab karies gigi. Ide dan gagasan penelitian ini memberikan temuan baru untuk mengeksplorasikan keberadaan S. mutans selain penyebab karies gigi juga menyebabkan endocarditis dan strok hemoragik.

(18)

17

BAB III

TUJUAN DAN MANFAAT

3.1. Tujuan Penelitian

3.1.1. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi kemampuan S. mutans sebagai pemicu infeksi stroke haemoragik dan endocarditid, serta kemampuan mutacin S. mutans berinteraksi dengan sel endothel. Sedangkan tujuan khusus mengevaluasi berbagai kerusakan bagian jantung dan otak besar tikus model setelah diinfeksi dengan S.

mutans serta menguji kepekaaan rekatifitas mutacin terhadap sel endotel pada berbagai konsentrasi.

3.1.2. Tujuan tahun kedua, menguji efektifitas antibiotik mutacin yang dihasilkan oleh Streptococcus mutans secara spesifik menghambat aktivitas adhesin dan interaksi collagen binding protein pada sel endhothel untuk mencegah terjadinya stroke hemoragik dan endocarditis.

3.2. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah mendukung pemanfaatan bahan asal bakteri sebagai sumber atau bahan sediaan untuk farmakoterapi stroke dan endocarditis. Selain itu dapat dijadikan referensi pengembangan ilmu pengetahuan terutama untuk mendukung upaya pencegahan stroke dan endocarditis. Kaitan lainnya penelitian ini memberikan kontribusi dalam bentuk penyediaan bahan kits analisis untuk kepentingan penelitian selanjutnya terkait dan hubungannya dengan penyakit ini. Sedangkan kontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan, memberikan kontribusi terhadap upaya mencari solusi untuk penanganan dan penanggulangan penyakit stroke dan infeksi endocarditis. Selain itu, mengkaji potensi terkait penggunaan bakteri patogen yang berguna bagi pencegahan penyakit dengan pendekatan analisis molekuler dan seluler.

(19)

18

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1. Gambaran Penelitian

Penelitian ini menggunakan subjek bakteri Streptococcus mutans dan tikus model yang telah dilaksanakan dalam tahun 2014 di Laboratorium mikrobiologi dan patologi FKH dan laboratorium mikrobiologi FK Unsyiah, selanjutnya menggunakan laboratorium Oral Biologi FKG Universitas Indonesia selaku mitra kerjasama penelitian, untuk mendapatkan hasil penelitan, maka menggunakan beberapa pendekatan eksperimental laboratorium, dimana rincian masing-masing kegiatan penelitian setiap tahunnya sebagai berikut: tahun pertama mengevaluasi kemampuan S. mutans menginfeksi jantung dan otak sekaligus dan aktivitas mutacin S. mutans menghambat aktivitas seluler collagen binding protein (Cbp) pada sel endothel. Sedangkan pada tahun kedua menguji efektifitas antibiotik mutacin yang dihasilkan oleh Streptococcus mutans secara spesifik menghambat aktivitas adhesin dan interaksi collagen binding protein pada sel endhothel untuk mencegah terjadinya stroke hemoragik dan endocarditis.

4.2. Metode Penelitian

1. Kultur Bakteri Streptococcus mutans dan Sel Endothel-Kollagen

Streptococcus mutans isolat klinis yang dikoleksi dari penderita karies gigi, endocarditis, dan stroke haemorhagic dikultur pada media padat selektif TYS20B dan diinkubasi selama 12-72 jam pada suhu 370C dalam suasana mikroaerofilik. Satu koloni dari masing sampel yang dianalisis yang tumbuh pada media padat tersebut diambil dengan oase untuk selanjutnya dibiakkan dalam media cair TSB selama 24-72 jam pada suhu 370C, dalam suasana suasana mikroaerofilik. Pembuluh darah arteri coronary jantung dan pembuluh darah cerebral dibersihkan dengan larutan PBS dan diberi larutan Collagenase. Pemisahan larutan Collagenase dengan melakukan sentrifugasi 1000 rpm selama 8 menit. Bagian supernatan dibuang, kemudian menambahkan 4 ml medium kultur dan selanjutnya dipindahkan ke dalam plate well 24. Plate untuk selanjutnya dimasukkan ke dalam inkubator CO2 sampai mono-layer (membentuk cobblestone) kurang lebih 3-4 hari dan media diganti setiap 2 hari sekali. Setelah sel tersebut dikoleksi selanjutnya ditanam secara terpisah pada cawan kultur.

(20)

19

2. Ektraksi dan Preparasi Mutacin dari Streptococus mutans

Streptococcus mutans yang telah dikultur dalam TBS diambil 15 ml dan selanjutnya dengan pH 2 yang kedalamnya ditambah 4 N HCl 0,5 ml untuk menyerap mutacin yang diproduksi pada permukaan sel S. mutans (Nicolasa, 2004). Setelah itu, dipanaskan selama 10 menit pada suhu 70 0C untuk membunuh sel dan menghambat enzim protease.

The supernatants containing the antibacterial activity were obtained after centrifugation at 10,000 rpm selama 5 menit dan siap digunakan untuk uji mutacin. Tidak semua ektraksi ini dapat berhasil untuk ditentukan jika semua mutacin dapat dipindahkan dari sel, untuk memastikannya maka dilakukan pengujian pada triplicate. Satu koloni S.

mutans yang mengandung mutacin diinokulasikan pada media TSBYE dan diinkubasikan selama 24-48 jam pada suhu 37 0C. A 1% (v/v) dan ditambahkan kemudian dalam media tersebut 10 ml atau 100 ml fresh medium (Sesuai kebutuhan) selanjutnya dipersiapkan test optimalisasi produksi mutacin

Metode yang digunakan untuk menentukan ekpresi mutacin dari S. mutans dilakukan berdasarkan prinsip produksi mutacin berdasarkan Parrot (1989) yang dimodifikasi oleh Nicolasa(2004) dan Waterhouse (2006). Serial two-fold dilusi dari ektra sel free S.

mutans dibuat 100 µl dalam pengecer yang berbeda dalam 96-well Falcon microtitre plate (Fisher Scientific, Montre´al, QC, Canada). Aktifitas mutacin yang telah diekspresikan dinyatakan dalam satuan per ml (AU / ml), hasil yang sesuai dengan pengenceran terakhir menunjukkan zona hambatan terdeteksi terhadap S. mutans setelah 24 jam inkubasi pada 37 8C dalam kondisi aerobik.

3. Uji Interaksi Mutacin dengan Sel Endothel

Sel endothel dari pembuluh darah cerebelum dan arteri coronary yang telah dikultur dipersiapkan untuk diinteraksikan dengan mutacin S. mutans berdasarkan prinsip kerja Dorn (2000) yang dimodifikasi Nakano (2004). Uji proteksi antibiotik ini untuk menilai kapasitas interaksi mutacin S. mutans dengan sel endhotel. Dimana sebelumnya sel endhotel dikultur pada basal medium (EBM-2; Lonza) dilengkapi dengan EGM-2MV single-use aliquots (Lonza). Kemudian diinkubasi 37°C dengan 5% CO2. Selanjutnya dianalisi hasilnya pada panjang gelombang OD500. Atau kapasitas interaksi S. mutans dengan sel endothel dinilai dengan cytochalasin D (Sigma) seperti yang dijelaskan oleh Dorn (2000).

(21)

20

4. Uji Reaktivitas S. mutans Mutacin dengan Collagen Binding Protein Pada Sel Endothel

Uji rektivitas ini menggunakan prinsip kerja ELISA, dimana interaksi antara mutacin dengan collagen binding protein pada sel endtothel menjadi indikator untuk menghambat kerja S. mutans pada kasus stroke hemoragik dan endocarditis. Potensi reaktifitas mutacin dengan collagen binding protein (Cbp) pada sel endothel pembuluh darah akan diuji secara imunologis dengan metoda ELISA. Dilusi mutacin paling rendah yang memberikan OD tertinggi menyatakan reaktifitas mutacin terhadap protein Cbp tertinggi. Assay akan dilakukan 3 kali secara independent.

5. Pembuatan Suspensi Bakteri, Preparasi Kandang dan Perlakuan Hewan Coba Suspensi bakteri dibuat dengan cara mengambil 1 ose biakan S. mutans pada media TYS20B, kemudian dimasukkan ke dalam tabung yang berisi medium TSB 5 ml.

Selanjutnya dimasukkan ke dalam anaerobic jar lalu diinkubasi dalam inkubator selama 24 jam pada suhu 37ºC. Setelah diinkubasi kekeruhannya dibandingkan dengan kekeruhan Mc Farland 3. Bila kekeruhan S. mutans dalam media TSB sama dengan kekeruhan Mc Farland 3 maka jumlah S.mutans diperkirakan sebanyak 9 x 108 CFU/ml.

Apabila larutan berisi bakteri lebih keruh dibandingkan larutan Mc Farlan 3 maka larutan ditambahkan cairan TSB sampai kekeruhannya sama, jika larutan bakteri tidak sama keruh dengan larutan Mc Farland 3 maka ditambahkan larutan bakteri lagi sampai kekeruhannya sama.

Sebanyak 24 ekor tikus putih galur wistar (Rattus norvegicus) berjenis kelamin jantan yang berusia 2-3 bulan dengan berat badan 150-250 gram yang diperoleh dari FKH Universitas Syiah Kuala diadaptasi selama seminggu untuk proses aklimatisasi sebelum penelitian dimulai. Selama perlakuan tikus dikandangkan dalam kandang individual dengan sekam padi yang menutupi lantai dan diberikan pakan standar berupa pelet dan air secara ad libitum. Ruangan tempat kandang tikus berada di tempat yang mudah dibersihkan dan disanitasi dengan kondisi standar, siklus gelap dan terang 12/12 jam.

Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 24 ekor tikus putih jantan galur wistar yang dikelompokkan dalam 2 kelompok yaitu kelompok perlakuan (K(p)) sebanyak 12 ekor tikus dan kelompok kontrol negatif (K(-)) sebanyak 12 ekor tikus. Kelompok K(-) diinjeksikan NaCl 0,9% dan kelompok K(p) disuntikkan S. mutans sebanyak 109 CFU/ml. Penyuntikan dilakukan pada vena ekor tikus. Dilatasi vena untuk memudahkan penyuntikan dapat dilakukan dengan menghangatkan ekor tikus dengan

(22)

21

menggunakan kapas yang dibasahi air hangat kemudian dioleskan pada ekor tikus.

Setelah dilatasi dilakukan penyuntikan melalui vena ekor tikus dengan respirasi terlebih dahulu.

Sampel darah diambil dari tikus putih galur wistar (Rattus norvegicus) yang diinfeksi dengan S. mutans. Sampel darah diambil melalui vena ekor tikus menggunaka spuit 3cc 25 G sebanyak 1 ml. Sampel darah ini dijadikan sebagai kelompok perlakuan dan pengambilan sampel darah dilakukan pada hari ke 7, 14, 21 dan 30.

6. Penentuan Infeksi Pada Endokardium dan Serebrum dan Kultur Streptococcus mutans Isolat Darah

Sampel darah yang akan dijadikan kelompok perlakuan diambil dari tikus putih galur wistar (Rattus norvegicus) yang terinfeksi oleh bakteri S. mutans. Tikus putih galur wistar (Rattus norvegicus) akan dilakukan pemeriksaan histopatologis jantung dan otak untuk memastikan bahwa tikus yang diambil sampel darahnya telah terinfeksi pada endokardium dan serebrum. Pemeriksaan dilakukan dengan cara melihat perubahan yang terjadi pada histopatologis endokardium dan serebrum pada hari ke-30.

Bakteri S. mutans isolat darah dibiakan dalam cawan petri berisi media selektif TYS20B. Bakteri S. mutans diambil menggunakan jarum ose kemudian digoreskan pada permukaan media dengan teknik goresan T. Kemudian dimasukkan ke dalam anaerobic jar untuk memperoleh suasana anaerob. Untuk mengetahui suasana telah anaerob digunakan indikator metilen blue dimana indikator ini akan berubah warna dari biru menjadi putih dalam waktu 1-2 jam lalu diinkubasikan dalam inkubator pada suhu 37ºC selama 2x24 jam. Selanjutnya dilakukan pewarnaan Gram terhadap bakteri S. mutans dengan melihat warna, bentuk, dan cirinya di bawah mikroskop.

7. Pembuatan Suspensi Streptococcus mutans Isolat Darah

Suspensi bakteri dibuat dengan cara mengambil 1 ose biakan S. mutans pada media TYS20B, kemudian dimasukkan ke dalam tabung yang berisi medium TSB 5 ml.

Selanjutnya dimasukkan ke dalam anaerobic jar lalu dinkubasikan dalam inkubator selama 24 jam pada suhu 37ºC, dan 40ºC serta pH 5, 6 dan 8. pH diatur terlebih dahulu dengan cara menambahkan NaOH dan HCL, apabila larutan terlalu basa maka ditambahkan HCL dan jika larutan terlalu asam maka ditambahkan NaOH kemudian nilai pH diukur, jika pH sudah mencapai nilai yang dinginkan dan diinkubasikan pada suhu 37ºC.

(23)

22

8. Perbandingan Pertumbuhan S. mutans Isolat Laboratorium (ATCC 31987) dengan Isolat Darah tikus Rattus norvegicus

Bakteri S. mutans isolat laboratorium (ATCC 31987) diinkubasikan dalam suhu 37 ºC dan 40 ºC serta pH 5, 6 dan 8 selama 24 jam. Selanjutnya bakteri S. mutans yang diperoleh dari isolat darah infeksi endokardium dan serebrum diinkubasikan dengan suhu dan pH yang sama dengan S. mutans isolat laboratorium yaitu 37 ºC dan 40 ºC serta pH 5, 6 dan 8 selama 24 jam. Setelah 24 jam masa inkubasi berdasarkan beberapa suhu dan pH tersebut bakteri kemudian dibandingkan jumlah pertumbuhannya. Jumlah bakteri akan dihitung menggunakan Spektrofotometer.

9. Pembuatan Preparat Histopatologis dan Pengamatan Hasil

Setiap tikus putih dari masing-masing kelompok perlakuan dan kontrol dieuthanasia dengan inhalasi eter 5%. Langkah pertama adalah kranium dibuka dan otak dikeluarkan lalu difiksasi menggunakan larutan neutral buffered formaline 10% selama 12 jam.

Selanjutnya dibuat sediaan histopatologis sesuai dengan prosedur teknik yang biasa dilakukan di Laboratorium Patologi FKH Unsyiah. Tahap selanjutnya adalah melakukan trimming organ dengan memotong organ dengan ukuran 1cm x 1cm x 1cm lalu dilakukan dehidrasi organ otak dalam larutan aseton sebanyak dua kali masing-masing dalam waktu 1,5 jam. Lalu dilakukan clearing dengan memasukkan otak ke dalam larutan xylol sebanyak 2 kali dalam waktu 1.5 jam. Kemudian dilakukan proses infiltrasi parafin dengan memasukkan organ ke dalam parafin cair sebanyak 2 kali dalam waktu 1,5 jam yang dilakukan di dalam oven pemanas dengan suhu 60 0C. Setelah itu, lakukan embedding/blok jaringan dengan menanam otak ke dalam blok parafin dan dibiarkan membeku kemudian diiris dengan ukuran 5µm dengan menggunakan mikrotom rotari.

Hasil irisan dibentangkan dalam air hangat dengan suhu 500 C lalu ditempelkan pada object glass yang telah diberi perekat albumin Mayers dan dikeringkan di atas hot plate selama ± 2 menit untuk menghilangkan sisa-sisa air serta dibiarkan pada suhu kamar selama ± 24 jam.

Langkah selanjutnya adalah pewarnaan hematxylin-eosin dengan merendam jaringan di dalam xylol sebanyak 2 kali masing-masing selama 2 menit, lalu di dalam alkohol absolut sebanyak 2 kali masing-masing selama 2 menit, alkohol 96% sebanyak 2 kali masing-masing selama 2 menit, alkohol 90% sebanyak 2 kali masing-masing selama 2 menit dan air selama 2 menit. Kemudian rendam kembali jaringan ke dalam hematoxylin dan bilas dengan air sampai menjadi bening. Lalu celup ke dalam acid alkohol sebanyak 2 kali, akuades sebanyak 3 kali, eosin selama 1-2 menit dan terakhir celup ke dalam air

(24)

23

sebanyak 3 kali. Selanjutnya rendam di dalam alkohol 96% sebanyak 2 kali masing- masing selama 1 menit, alkohol absolut sebanyak 2 kali masing-masing 1 menit dan xylol sebanyak 2 kali masing-masing selama 2 menit. Proses terakhir adalah jaringan ditutup dengan cover menggunakan balsem Kanada dan dibiarkan sampai perekat kering (± 12 jam) dan siap diamati di bawah mikroskop elektrik. Pengamatan histopatologis dilakukan dengan menggunakan mikroskop elektrik dengan pembesaran 400 kali.

Sasaran pembacaan preparat adalah melihat gambaran histopatologis otak tikus.

(25)

24

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Uji Pertumuhan S. mutans Isolat Darah Tikus (Rattus novergituss) Berdasarkan Suhu dan pH

Gambar 2. Grafik Perbandingan Pertumbuhan S. mutans ATCC 31987 dengan Isolat Darah Berdasarkan pH

Keterangan :

ATCC : S. mutans ATCC 31987

M1 : S. mutans isolat darah minggu pertama M2 : S. mutans minggu kedua

M3 : S. mutans minggu ketiga M4 : S. mutans minggu keempat

0.547

0.257 0.591

0.849

0.435 0.945

0.5690.577

0.017 0.467

0.976 1.105

0.753

0.102 0.591

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2

pH 5 pH 5 pH 5 pH 5 pH 5 pH 6 pH 6 pH 6 pH 6 pH 6 pH 8 pH 8 pH 8 pH 8 pH 8 ATCC M 1 M 2 M 3 M 4 ATCC M 1 M 2 M 3 M 4 ATCC M 1 M 2 M 3 M 4

(26)

25 Gambar 3. Grafik Perbandingan Pertumbuhan S. mutans ATCC 31987 dengan Isolat Darah Berdasarkan Suhu Keterangan :

ATCC : S. mutans ATCC 31987

M1 : S. mutans isolat darah minggu pertama M2 : S. mutans isolat darah minggu kedua M3 : S. mutans isolat darah minggu ketiga M4 : S. mutans isolat darah minggu keempat

Berdasarkan hasil analisis statistik menggunakan oneway-ANOVA menunjukkan bahwa perubahan beberapa tingkatan pH (5, 6 dan 8) pada setiap minggu memiliki perbedaan yang bermakna terhadap pertumbuhan koloni S. mutans ATCC 31987 dengan S.

mutans isolat darah tikus Rattus norvegicus (p≤0,05). Hasil uji T untuk pertumbuhan koloni S. mutans ATCC 31987 dengan S. muans isolat darah tikus Rattus norvegicus pada 2 tingkatan suhu yakni 37°C dan 40°C menunjukkan perbedaan yang bermakna pada minggu pertama dan minggu kedua penghitungan bakteri S. mutans (p≤0,05) sedangkan untuk minggu ketiga dan keempat hasil uji T penghitungan koloni S. mutans tidak memiliki perbedaan yang bermakna (p≥0,05).

Pertumbuhan S. mutans isolat darah dan ATCC 31987 pada beberapa suhu ditinjau berdasarkan absorbansi. Penghitungan jumlah S. mutans isolat darah berdasarkan suhu 37⁰C pada minggu kedua menunjukan nilai yang lebih baik dibandingkan S. mutans ATCC 31987. Streptococcus mutans diketahui tumbuh dengan baik pada suhu 18 ⁰C-40 ⁰C (Hidayati, 2010). Penghitungan koloni yang terhitung lebih baik pada suhu 37⁰C diakibatkan oleh suhu 37⁰C merupakan suhu yang umum digunakan untuk inkubasi bakteri (Sabir, 2005). Bakteri Gram-positif lain seperti Staphylococcus saprophyticus diketahui akan tumbuh dengan cepat pada suhu 37⁰C. Bakteri ini memiliki beberapa kesamaan dengan

0.558 0.503

0.616

0.109 0.379

0.051 0.039 0.096

0.059 0.38

0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7

Suhu 37º C

Suhu 37º C

Suhu 37º C

Suhu 37º C

Suhu 37º C

Suhu 40º C

Suhu 40º C

Suhu 40º C

Suhu 40º C

Suhu 40º C

ATCC M 1 M 2 M 3 M 4 ATCC M 1 M 2 M 3 M 4

(27)

26

bakteri Gram-positif S. mutans yaitu memfermentasi karbohidrat serta mengasilkan asam seperti asam laktat (Dewi, 2010). Pada suhu 37⁰C S. mutans isolat darah menunjukan nilai yang lebih baik daripada S. mutans ATCC 31987. Meskipun pada suhu 37⁰C larutan yang berisi S. mutans isolat darah memiliki nilai yang lebih tinggi pada beberapa minggu daripada suhu 40⁰C, namun S. mutans masih mampu hidup pada suhu tinggi dimana diketahui bahwa pada seseorang yang mengalami infeksi akan mengalami kenaikan suhu tubuh (Meregetthe, 2008).

Penghitungan koloni S. mutans ATCC 31987 dengan S. mutans isolat darah tikus Rattus Norvegicus pada dua variasi suhu yaitu 37⁰C dan 40⁰C menunjukkan perbedaan yang bermakna pada minggu pertama dan minggu kedua berdasarkan (p≤0,05). Penghitungan S.

mutans isolat darah dan S. mutans ATCC 31987 pada suhu 40⁰C tidak menunjukan nilai sebaik suhu 37⁰C pada setiap minggu berdasarkan absorbansi, namun pada minggu keempat suhu 40⁰C menunjukan nilai yang lebih baik dibandingkan dengan ATCC 31987 maupun dengan S. mutans isolat darah pada suhu 37⁰C. Kemampuan tumbuh S. mutans pada suhu tinggi disebabkan oleh kemampuan S. mutans mempertahankan diri terhadap berbagai perubahan yang terjadi di lingkungan tempat hidup bakteri tersebut. Perubahan suhu merupakan salah satu hal yang sering terjadi pada perubahan lingkungan, dilaporkan bahwa bakteri mampu merubah atau memodifikasi paling sedikit 10% dari suhu bakteri tersebut baik tinggi maupun rendah. Sebagian besar perubahan pada bakteri dipengaruhi oleh metabolisme, penyesuaian diri, struktur membran bakteri, dan virulensi pada masing-masing bakteri (Meregetthe, 2008).

Penghitungan koloni S. mutans ATCC 31987 dengan S. mutans isolat darah tikus Rattus norvegicus yang dikultur pada media TYS20B dan kemudian ditanamkan ke media cair 5 ml yang diatur pHnya menjadi 5, 6 dan 8, hasil yang didapat menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna (p≥0,05). Pada pH 5 pertumbuhan bakteri berdasarkan nilai absorbansi menunjukan bahwa pertumbuhan S. mutans isolat darah pada minggu ketiga lebih baik dibandingkan dengan ATCC 31987. Pertumbuhan S. mutans isolat darah pada pH 5 menunjukan peningkatan dari minggu pertama sampai minggu ketiga. Pertumbuhan S.

mutans baik pada pH rendah dikarenakan tiga sifat virulensi S. mutans yang banyak dilaporkan oleh peneliti yaitu mampu menyebabkan karies gigi melalui pembentukan biofilm pada gigi, memproduksi asam organik melalui metabolisme karbohidrat dan kemampuan tumbuh serta memproduksi asam dalam lingkungan dengan pH rendah (Palmer, 2013)

(28)

27

Streptococcus mutans mampu mengasamkan lingkungannya sampai pH 3,5 (Fozo, 2004). Streptococcus mutans merupakan bakteri yang sangat baik bertahan dalam banyak tingkatan pH dibandingkan Streptococci lain. Mengidentifikasi kemampuan bakteri yang bisa menghasilkan asam untuk bisa bertahan pada pH basa diketahui bahwa sitoplasma pada bakteri biasanya akan lebih basa dari lingkungan sekitar tempat bakteri hidup, untuk menyesuaikannya maka bakteri akan melepaskan proton (H+) dan mengasamkan sitoplasmanya (Cotter, 2003).

Pertumbuhan S. mutans isolat darah pada pH 6 tidak memiliki nilai yang lebih baik daripada S. mutans ATCC 31987. Pertumbuhan S. mutans isolat darah pada pH 8 menunjukan nilai yang sangat baik pada minggu pertama dibandingkan dengan S. mutans ATCC 31987. Pertumbuhan S. mutans isolat darah terus menurun sampai minggu ketiga.

Streptococcus mutans ternyata masih tetap mampu bertahan pada pH basa, Elizabeth (2004) menyebutkan bahwa pada pH 7 S. mutans masih tetap hidup. Streptococcus mutans yang tumbuh pada pH 7 memiliki pH intraselular 7,88 sedangkan pada S. mutans yang tumbuh pada pH 5,5 memiliki pH intraselular 6,22 (Hanh, 1999). Penelitian Elizabeth (2004) menyatakan bahwa pertumbuhan bakteri yang baik pada pH 8 bisa terjadi karena kemampuan bakteri untuk hidup dalam tekanan perubahan pH. Jose A. Lemos (2008) menyebutkan bahwa S. mutans akan tetap tumbuh baik pada pH yang berkisar 5 sampai 7 (Lemos, 2008). Kemampuan biofilm untuk menghasilkan senyawa basa bisa menetralkan suasana asam dan mencegah timbulnya mikroflora kariogenik. Pada kenaikan pH internal, diatur dengan memproduksi produksi NH3 dengan kombinasi proton dalam sitoplasma untuk memproduksi NH4+

(Cotter, 2003).

(29)

28

5.2. Profil Histopatologis Jantung Tikus Setelah di Infeksi dengan S. mutans 5.2.1. Gambaran Histopatologis Lapisan Jantung

Gambar 4. Gambaran histopatologi kelompok perlakuan hari ke-30. A. Endokardium : a. destruksi jaringan, (HE, 400x), b. infiltrasi sel-sel radang, c. lisis jaringan, d. nekrosis sel (HE, 1000x): B. Miokardium : a.

hemoragi, b. hiperemi (HE, 400x), c. lisis jaringan, d. infiltrasi sel radang, e. pembesaran ruang, f. hipertropi otot, g. nekrosis sel (HE, 1000x). C. Epikardium : a. hemoragi (HE, 1000x), b. destruksi jaringan (HE, 400x), c. sel fibroblast, d. lisis jaringan, e. nekrosis sel, f. infiltrasi sel-sel radang, (HE, 1000x).

Hasil pengamatan histopatologis lapisan jantung pada hari ke-30 (Gambar 4).

Menunjukkan kerusakan yang semakin menyebar ditandai dengan jumlah sel nekrosis meningkat, lisis jaringan dan terjadi destruksi jaringan endokardium. Miokardium jantung mengalami hemoragi, hiperemi, hipetrofi otot, nekrosis sel, lisis jaringan, pembesaran ruang dan infiltrasi sel-sel radang. Epikardium mengalami hemoragi, nekrosis sel, destruksi jaringan, lisis jaringan, infiltrasi sel-sel radang dan sel fibroblas.

Bakteri S. mutans melakukan invasi dalam sirkulasi darah dengan mengeluarkan eksotoksin berupa peptidoglikan yang dapat menginduksi peradangan dengan tujuan untuk mengeliminasi bakteri. Proses peradangan menimbulkan perubahan vaskular berupa hiperemi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Robbin (2007) bahwa peradangan akan mengalami vasokontriksi dan vasodilatasi yang menyebabkan peningkatan aliran darah dan

(30)

29

penyumbatan lokal (hiperemi). Selanjutnya mikrovaskulatur menjadi lebih permeabel yang mengakibatkan masuknya cairan kaya protein ke dalam jaringan ekstravaskuler sehingga sel darah merah menjadi lebih terkonsentrasi dengan baik, terjadi peningkatan viskositas darah dan memperlambat sirkulasi. Secara mikroskopik memperlihatkan dilatasi pembuluh darah yang dipadati eritrosit. Neutrofil keluar dari aliran darah dan berakumulasi di sepanjang endotel dan bermigrasi melewati dinding pembuluh darah menuju jaringan. Toksin S.

mutans menyebabkan kerusakan sel endotel sehingga memicu kebocoran vaskular (hemoragi) yang dapat berlangsung beberapa jam atau berhari-hari. Hemoragi merupakan keadaan darah keluar dari sistem kardiovaskular, disertai penimbunan dalam jaringan atau keluarnya darah dari tubuh (Ayu, 2014, Robbi, 2007)

Bakteri S. mutans dalam aliran darah akan menyebabkan kebocoran pembuluh darah sehingga menstimulasi faktor pembekuan. Fibrinogen selain merupakan faktor penting dalam pembekuan darah juga berikatan dengan S. mutans. Hal ini sesuai dengan penelitian Philip (2004) bahwa S. mutans masuk dalam aliran darah akan menyebabkan kerusakan pada sel endotel. Kemudian matriks ekstraseluler seperti fibrin, fibronektin dan kolagen terpapar dan terjadi agregasi platelet untuk proses pembekuan darah. namun fibrin, platelet S. mutans dan sel-sel inflamasi akan membentuk suatu massa yang disebut vegetasi (Prince, 2005)

Lapisan jantung kelompok perlakuan menunjukkan infiltrasi sel-sel radang yang berfungsi sebagai imunitas alami untuk mengeliminasi S. mutans. Bakteri ini berada dalam aliran darah akan mengeluarkan eksotoksin yang mengaktifkan TFN-α dan IL-1 yang akan meningkatkan neutrofil dan sel-sel radang untuk memfagosit bakteri. Sel-sel radang yang berperan pada endokarditis berupa komplemen, neutrofil, monosit dan makrofag. Namun sel-sel radang ini tidak terlalu dominan, hal ini dapat dilihat pada lapisan jantung tikus kelompok perlakuan gambar 5.2. Keadaan ini sejalan dengan pernyataan Philip (2004) bahwa S. mutans merupakan bakteri Gram-positif yang resisten terhadap komplemen. Selain itu S. mutans mempunyai kapsul pada dinding sel sehingga mencegah fagositosis oleh makrofag pejamu (Damjanov, 1998, Moreiion, 2004)

Infeksi S. mutans dapat menyebabkan nekrosis sel lapisan jantung tikus putih baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara tidak langsung eksotoksin merusak pembuluh darah sehingga terjadi obstruksi suplai darah yang mengakibatkan terjadinya nekrosis. Hal ini sesuai dengan pernyataan Alan (2000) bahwa bakteri dalam tubuh akan menghindari fagosit, berproliferasi dan menyebabkan nekrosis sel. Nekrosis sel ditandai dengan inti sel menyusut, memiliki batas yang tidak beraturan dan berwarna gelap, proses ini disebut piknotik. Kemudian sel akan mengalami karioreksis yang ditandai dengan inti sel

(31)

30

hancur dan membentuk fragmen-fragmen yang tersebar dalam sel. Akhirnya, pada beberapa keadaan inti sel menghilang (kariolisis). Nekrosis akan menyebabkan hilangnya fungsi daerah yang mati. Selain itu, beberapa daerah nekrotik dapat menjadi fokus infeksi yang merupakan medium pembiakan yang sangat baik bagi pertumbuhan mikroorganisme (Junquiera, 2007, Sandritter, 2003)

Infeksi S. mutans menyebabkan kelompok perlakuan PII, PIII, PIV mengalami nekrosis, kerusakan jaringan dan lisis jaringan semakin meningkat seiring berjalan waktu seperti yang terlihat pada gambar 5.5. Hal ini dikarenakan bakteri menetap dan menyebabkan infeksi kronis yang dapat menyebabkan destruksi dan lisis jaringan. Infeksi akan menstimulasi respon inflamasi untuk menghancurkan antingen namun jaringan sekitar juga mengalami destruksi. Alan (2000) mengemukakan eksotoksin bakteri Gram-positif menyebabkan kerusakan jaringan. Gambaran histopatologis miokardium yang mengalami destruksi jaringan memperlihatkan hilangnya garis melintang. Jika suatu daerah mengalami nekrosis akan menstimulasi respon peradangan pada jaringan yang berdekatan. Sehingga jaringan ini akan mengalami nekrosis dan lisis (Gambar 4) (Steven, 2004).

Gambaran histopatologis lapisan jantung menunjukkan adanya hipertropi otot jantung yang ditandai dengan penambahan ukuran sel, keadaan ini terjadi karena peningkatan fungsional organ (Gambar 4). Hal ini sesuai dengan yang dikemukanan Silvia (2006) bahwa endokarditis dapat menyebabkan inkopetensi katup sehingga memaksa jantung untuk memompa darah lebih banyak untuk menggantikan aliran balik ke atrium.

Sehingga menyebabkan peningkatan tekanan kerja miokardium, pembesaran ruang dan hipertrofi otot jantung. Endokarditis menyebabkan peradangan pada miokardium, dimana infeksi menyebar secara langsung dari katup jantung. Respon peradangan menyebabkan edema interstisium sehingga memisahkan sel-sel miokardium dan sebagian lagi mengalami nekrosis (Gani, 2006).

Epikardium yang mengalami infiltrasi sel fibroblas, dimana sel ini berfungsi dalam proses perbaikan jaringan untuk pembentukan protein struktural yang berperan dalam pembentukan jaringan. Hal ini sejalan dengan yang dikemukan oleh Ivan (1998) bahwa infeksi pada lapisan epikardium menyebabkan kerusakan sel mesotel dan dilapisi oleh eksudat yang kaya dengan fibrin, terdapat infiltrasi sel radang dan pembentukan jaringan fibrosa (Kusyanti, 2010).

(32)

31

5.2.1. Gambaran Histopatologis Endocardium dan Katup Jantung

Gambar 5. Gambaran histopatologis katup jantung tikus A: a: infiltrasi sel radang (HE, 400x); B: a: inti sel karioreksis, b: inti sel piknotik, c: kariolisis, d: jaringan lisis (HE, 1000x)

Hasil pengamatan histopatologis katup jantung tikus pada kelompok perlakuan yang dieuthanasia pada hari ke-30 menunjukkan adanya infiltrasi sel radang, inti sel karioreksis, inti sel kariolisis, inti sel piknotik dan lisis jaringan. Perubahan histopatologis endokardium dan katup jantung tikus putih setelah diinjeksi S. mutans meliputi hiperemi, hemoragi, infiltrasi sel radang, cloudy swelling, nekrosis sel serta lisis jaringan. Pada penelitian ini, perubahan tersebut diamati pada hari ke-7, ke-14, ke-21, ke-30. Hiperemi terlihat pada hari ke-7 pada lapisan endokardium. Hiperemi terjadi pada fase peradangan akut. Pertama jejas yang terbentuk akan menyebabkan dilatasi arteri lokal yang didahului vasokonstriksi singkat, hal ini menyebabkan darah terbendung. Terbendungnya aliran arah disebabkan oleh beberapa hal. Bila hyperemia terjadi, venula dan kapiler bertambah permeabel mengakibatkan keluarnya cairan plasma ke dalam jaringan hiperemi yang terus meningkat menyebabkan perubahan tekanan intravaskular sehingga darah di dalam pembuluh merembes ke jaringan dan membentuk hemoragi (Robbins, 2010). Hemoragi terlihat pada hari ke-14 dan ke-30 pada lapisan endokardium, hemoragi disebabkan oleh rupturnya pembuluh darah sehingga perdarahan masuk ke dalam jaringan (Steve, 2000)

Pada lapisan endokardium, infiltrasi sel radang terlihat pada hari ke-14, ke-21 dan pada katup jantung terlihat pada hari ke-30. Hal ini diasumsikan akibat toksin yang dihasilkan oleh S. mutans dapat memicu respon inflamasi berupa sitokin. Pada penelitian Shun dkk (2005) menyatakan bahwa tikus salah satu protein permukaan yang dimiliki S.

mutans adalah glukosiltransferase (Gtfs) yang diketahui dapat menginduksi produksi sitokin, seperti interleukin 6 (IL-6) dari monosit, IL-6 terlihat 72 jam stetelah infeksi dan tidak hanya ditemukan pada infeksi akut saja, tetapi juga pada tahap kronis dari endokarditis, S. mutans juga dilaporkan dapat menginduksi produksi kemokin IL-8 dan

(33)

32

monocyte chemoattractant protein (MCP-1) yang ikut berperan pada rekrutmen sel-sel inflamatori (Shu, 2005, Purwanto, 2014).

Degenerasi Cloudy swelling (bengkak keruh) terlihat di lapisan endokardium dan katup jantung pada hari ke-7 sampai hari ke-30. Degenerasi CS terjadi akibat gangguan metabolit yang mempertahankan lingkungan ion dari sel. Bila mekanisme regulasi ini gagal, maka natrium dan air mengalir ke dalam sel dan kalium meninggalkan sel, akibatnya mitokondria membengkak dan sitoplasma tampak terisi dengan granula protein yang halus (Sandritter, 1998). Pada hari ke-30 di katup tidak terlihat lagi degenerasi CS karena banyak jaringan yang telah lisis.

Nekrosis sel sudah mulai terlihat pada hari ke-7, 14, 21, 30 pada lapisan endokardium dan katup jantung. Nekrosis (kematian sel) terjadi akibat jejas saat individu masih hidup. Nekrosis bias akut tanpa tahapan kemunduran sel, bila terjadi gangguan fungsi mendadak baik akibat trauma maupun perdarahan. Secara mikroskopik jaringan nekrotik seluruhnya berwarna kemerahan dan tidak mengambil zat warna hematoksilin. Perubahan yang terjadi saat nekrosis tampak pada intinya, yaitu: hilangnya gambaran kromatin, inti menjadi keriput karena tidak vesikuler lagi, inti tampak lebih padat yang berwarna gelap hitam (piknotik), inti terbagi atas fragmen-fragmen atau robek disebut karioreksis, inti tidak lagi mengambil warna banyak sehingga pucat dan tidak nyata (kariolisis). Akhirnya seluruh jaringan menjadi satu masa amorf, granuler tanpa inti atau meninggalkan bayangan- bayangan kerangka sel dan akhirnya menghilang, Faktor yang dapat mempengaruhi kecepatan lisis sel dibagi atas pengaruh eksterna dan interna. Pengaruh eksterna meliputi mikroorganisme, suhu sekitar, kelembaban udara, sedangkan pengaruh interna meliputi umur setelah inti sel lisis, maka daerah tersebut akan mengaami kekurangan nutrisi sehingga akan terjadi lisis jaringan seperti yang terlihat pada hari ke-30 dilapisan endokardium dan katup jantung (Khrisanti, 2010).

Dari hasil penelitian ini menunjukkan aktivitas S. mutans dapat merusak endokardium dan katup jantung apabila telah masuk kedalam aliran darah, yang dimulai dengan adanya peradangan akut, ditandai dengan infiltrasi sel radang dan adanya hiperemi, karena imun tidak dapat memfagosit S. mutans secara menyeluruh sehingga infeksi berlanjut ke tahap kronis dengan ditandai adanya hemoragi, degenerasi sel, nekrosis sampai terjadinya lisis jaringan.

(34)

33

5.3. Profil Histopatologis Otak Tikus Setelah di Infeksi dengan S. mutans

5.3.1. Gambaran Histopatologis Serebrum Tikus Galur Wistar Setelah Diinfeksi Dengan Streptococcus Mutans

Gambar 6. Gambaran Histopatologis Serebrum Kelompok Perlakuan Hari Ke-30. (A) a. Jaringan nekrosis; b.

Hiperemi pembuluh arteri; c. Hemoragi; d. Infiltrasi sel radang (HE, 400x). (B) a. Nekrosis jaringan; b.

Infiltrasi sel radang (HE, 400x). (C) a. Infiltrasi sel radang; b. Pembuluh arteri ruptur (HE, 400x)

Gambaran histopatologis serebrum tikus putih setelah diinjeksi S. mutans menunjukkan adanya hiperemi, infiltrasi sel radang, hemoragi, nekrosis sel dan jaringan serta ruptur pembuluh darah. Hiperemi dan infiltrasi sel radang terlihat pada semua kelompok perlakuan. Hal ini disebabkan karena meningkatnya jumlah darah dalam kapiler yang mana merupakan respon inflamasi terhadap infeksi yang disebabkan oleh S. mutans (Fedi, 2005). Ketika masuk ke dalam darah, S. mutans akan mengeluarkan eksotoksin berupa peptidoglikan yang akan menginisiasi pelepasan mediator inflamasi seperti sitokin, histamin dan serotonin (Sudiono, 2003, Myhre, 2004). Zat-zat ini akan tersebar di dalam jaringan dan menyebabkan terjadinya perubahan vaskular dimana pembuluh darah akan mengalami vasokontriksi sementara (beberapa detik) lalu terjadi vasodilatasi arteri yang mengakibatkan peningkatan aliran darah. Melebarnya pembuluh darah ini merupakan penyebab timbulnya warna kemerahan (eritema) (Kumar, 2004).

Dilatasi pembuluh darah juga akan menimbulkan perubahan pada sel endotel sehingga permeabilitas dinding pembuluh darah meningkat. Cairan plasma keluar ke jaringan sehingga tekanan hidrostatik darah menjadi lebih tinggi dan menyebabkan sel darah merah menjadi lebih lengket dan menggumpal. Akibatnya viskositas darah merah meningkat dan memperlambat sirkulasi (Sudiono 2003; Kumar, 2004).

Gambaran histopatologis hemoragi dan nekrosis terlihat pada kelompok PII, PIII dan PIV, yang mana kerusakan tersebut meningkat setiap minggunya. Hemoragi ditandai dengan adanya darah yang masuk ke jaringan. Hal tersebut terjadi karena tekanan hidrostatik darah meningkat dan porositas kapiler bertambah besar sehingga menyebabkan sel darah merah keluar dari pembuluh darah (Sudiono, 20003). Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan Plumb

(35)

34

(1994) bahwa hemoragi dapat disebabkan oleh trauma atau meningkatnya porositas pembuluh darah yang disebabkan oleh infeksi bakteri, virus atau toksin (cit. Plumb, 1994) (Asniatih, 2013).

Nekrosis dapat ditandai dengan pengerutan inti (piknosis), fragmentasi inti (karioreksis) dan penghancuran inti (kariolisis) (Kevin, 2010; Thomas, 1998). Pertama, sel yang nekrosis akan menunjukkan pengerutan inti, dimana inti sel menjadi kecil dan padat.

Selanjutnya inti sel yang mengalami piknosis akan terbagi menjadi beberapa potongan kecil (karioreksis) dan berlanjut dengan hilangnya inti sel (kariolisis) (Steve, 2000). Nekrosis sel dapat terjadi karena adanya kerusakan pada arteri yang bertugas memperdarahi daerah tertentu. Kerusakan tersebut dapat menyebabkan suplai nutrisi terhambat sehingga metabolisme sel pada daerah tersebut akan terganggu dan menyebabkan sel menjadi nekrosis (Janqueira, 2007). Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Prince dan Wilson (2006) bahwa nekrosis merupakan sel-sel yang mempunyai aktivitas yang sangat rendah dan akhirnya mengalami kematian sel sehingga menyebabkan hilangnya fungsi pada daerah yang mengalami nekrosis (Prince, 2006).

Gambaran histopatologis kelompok PIV menunjukkan pembuluh arteri telah ruptur dan jaringan yang nekrosis semakin luas. Rupturnya pembuluh arteri dapat disebabkan oleh melemahnya lapisan tunika intima akibat infeksi yang terus terjadi sehingga dinding arteri akan terus melebar dan melemah (Janqueira, 2007). Selain itu hal ini dapat juga disebabkan karena S. mutans memiliki protein permukaan berupa collagen binding protein yang akan menggantikan platelet dalam mengikat kolagen yang terekspos karena cedera sehingga tidak terjadi proses hemostasis dan perdarahan terus berlanjut. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Nakano (2011) dimana tikus model stroke hemoragik yang diinfeksi S. mutans menunjukkan hemisfer ipsilateral serebrum mengalami perdarahan yang lebih parah dibandingkan pada kelompok kontrol akibat aktivitas collagen binding protein S. mutans.

Ruptur pembuluh darah pada kelompok PIV belum menyebabkan stroke pada tikus perlakuan, dimana secara histopatologis, walaupun sudah terdapat ruptur pembuluh darah, hemoragi dan nekrosis jaringan, kerusakan yang disebabkan oleh infeksi S. mutans pada serebrum belum terlalu luas. Keadaan klinis tikus pada kelompok PIV juga belum menunjukkan tanda-tanda adanya gejala stroke hemoragik seperti kelumpuhan maupun hilang kesadaran. Parmet (2004) melaporkan bahwa gejala klinis stroke hemoragik adalah kehilangan kesadaran, paralisis pada lengan, kaki atau seluruh anggota tubuh, gangguan pengelihatan dan kesulitan berbicara.

Apabila terdapat tanda-tanda klinis yang menunjukkan stroke hemoragik, maka diperlukan pemeriksaan CT scan atau MRI. CT scan stroke hemoragik akan menunjukkan

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tingkat kemampuan siswa kelas XI SMA Surya Murni Pematangsiantar dalam mengembangkan kemampuan menulis

Pesaing dari Durian Sanggaran adalah durian-durian impor dan durian-durian lokal yang berasal dari Kecamatan Matesih dan daerah lain selain Kecamatan Matesih. Wilayah

Faktor tanaman dapat mempengaruhi masa kerja ketika panen, ketika tanamannya baik dan sehat waktu yang dibutuhkan cukup cepat. Jika tanamannya kurang baik

pola hidup, perilaku, dan pandangan hidup (Harmaningrini, 2017:15-22). Rumusan masalah yang akan dipaparkan dalam penelitian ini ialah, bagaimanakah nilai religiositas

Kegiatan hibah akreditasi yang dapat diusulkan oleh program studi merupakan kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan mutu program studi yang berkaitan dengan

Pembelajaran E-Learning melalui pemanfaatan teknologi komputer dan atau internet dapat terselenggara dengan menghubungkan pembelajar dengan sumber belajarnya

Standar ini memberi panduan bagi petugas kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan gigi dan mulut di fasilitas pelayanan kesehatan dalam melaksanakan Pencegahan

Subjek AS mempunyai kriteria sebelum mencari pasangan hidupnya. Kriteria-kriteria yang ditentukan harus disesuaikan dengan diri AS. Bibit bebet bobot yang dilihat