• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI, PENELITIAN YANG RELEVAN DAN KERANGKA BERPIKIR. A. Kajian Teori

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II KAJIAN TEORI, PENELITIAN YANG RELEVAN DAN KERANGKA BERPIKIR. A. Kajian Teori"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN TEORI, PENELITIAN YANG RELEVAN DAN KERANGKA BERPIKIR

A. Kajian Teori

1. Multikultural

a. Pengertian Multikultural

Multikultural mengandung dua pengertian yakni multi yang berarti plural dan kultural yang berarti budaya. Maka multikultural mengandung dua makna yaitu kebutuhan terhadap pengakuan dan legitimasi keragaman budaya (Suprapto,2009:36).

J.S. Furnivall yang dikutip Azyumardi Azra dalam (Tilaar, 2014) mengatakan Multikulturalisme adalah konsep pembudayaan, karena pendidikan adalah proses pembudayaan, maka masyarakat multikultural dapat diciptakan melalui proses pendidikan Pendidikan dan pembudayaan merupakan suatu proses pembentukan karakter bangsa dan warganegara. Pendidikan multikultural adalah pendidikan yang berbasis multikulturalisme.

Multikultural menurut Mahfud (2011:98) adalah kesejajaran budaya, artinya masing-masing budaya manusia atau kelompok etnis harus diposisikan sejajar dan setara. Tidak ada yang lebih tinggi dan tidak ada yang lebih dominan, sebuah kebudayaan pada dasarnya mempunyai kearifan-kearifan tradisional yang berbeda- beda. Orang tidak tepat mengukur kebudayaan suatu kelompok masyarakat dengan ukuran kelompok masyarakat yang lain. Jika hal tersebut dilakukan, maka hasil pengukurannya tidak akan tepat, bahkan kecenderungan salah, akibatnya dapat memicu konflik antar kelompok masyarakat yang berbeda-beda. Kebudayaan masyarakat Jawa hanya tepat diukur dari masyarakat Jawa bukan masyarakat lainnya.

Sedangkan akar kata multikulturalisme adalah kebudayaan. Secara etimologis, multikulturalisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (budaya), dan isme (aliran/paham). Secara hakiki, dalam kata itu terkandung pengakuan akan martabat

(2)

manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaan masing-masing yang unik (Mahfud, 2006: 75).

Multikulturalisme sendiri adalah suatu paham atau situasi kondisi masyarakat yang tersusun dari banyaknya kebudayaan. Multikulturalisme sering merupakan perasaan nyaman yang dibentuk oleh pengetahuan. Pengetahuan dibangun oleh keterampilan yang mendukung suatu proses komunikasi yang efektif dengan setiap orang dari latar belakang kebudayaan yang berbeda (Mustofa, 2011:394).

Multikulturalisme atau keberagaman budaya ternyata bukanlah suatu pengertian yang mudah. Multikulturalisme mengandung dua pengertian yang sangat kompleks yaitu “multi” yang berarti plural, “kulturalisme” berisi pengertian kultur atau budaya (Tilaar, 2004: 82). Pluralisme berkaitan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Banyak negara yang menyatakan dirinya sebagai negara demokrasi akan tetapi tidak mengakui adanya pluralisme di dalam kehidupan sehingga terjadi pengucilan (segregasi).

Emile Durkheim dan Marcel Maus yang dikutip Naim (2011: 121) menjelaskan bahwa kultur atau budaya adalah sekelompok masyarakat yang menganut sekumpulan simbol-simbol yang mengikat di dalam sebuah masyarakat untuk diterapkan. Ungkapan Mohandas Karamchand Gandhi yang dikutip Tilaar (2004: 82) mengatakan bahwa betapa kuatnya dan pentingnya budaya sebagai alat pemersatu bangsa. Gandhi menyimpulkan bahwa budaya bisa dijadikan faktor pengikat suatu bangsa, menjadi bangsa yang besar.

Elizabeth B. Taylor dan L. H. Morgan dalam buku Naim (2011: 121) yang mengartikan kultur sebagai sebuah budaya yang universal bagi manusia dalam berbagai macam tingkatan yang dianut oleh seluruh anggota masyarakat. Seorang ahli Rymond Wiliams yang dikutip Tilaar (2004: 82) menyatakan bahwa “budaya”

merupakan salah satu istilah yang paling sulit di dalam kamus bahasa Inggris.

Pentingnya budaya di dalam kehidupan bermasyarakat menjadi masalah politik karena budaya merupakan alat perekat di dalam suatu komunitas.

(3)

J.S. Furnivall yang dikutip Azyumardi Azra dalam (Tilaar, 2012: 9) mengungkapkan bahwa masyarakat plural adalah masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih unsur atau tatanan-tatanan sosial yang hidup berdampingan, tetapi tidak bercampur dan menyatu dalam satu unit politik tunggal. Furnivall memandang masyarakat-masyarakat plural Asia Tenggara akan terjerumus ke dalam anarkis jika gagal menemukan formula federasi pluralisme yang memadai. Hal ini mulai terlihat di Indonesia yang mana bentrokan antar suku dan budaya kekerasan mulai sering muncul.

Furnivall dalam Wilodati (2010: 154) mengemukakan masyarakat majemuk adalah masyarakat yang terdiri dari berbagai ragam kelompok atau golongan yang memiliki kebudayaan sendiri-sendiri, berbeda pula dalam agama, budaya dan adat istiadat.

b. Pendidikan

Pendidikan adalah suatu proses pelatihan dan pengajaran, terutama diperuntukkan kepada anak-anak remaja, baik di sekolah-sekolah maupun di kampus- kampus, dengan tujuan memberikan pengetahuan dan mengembangkan keterampilan- keterampilan (Saidah, 2016 : 1).

Menurut Plato, Pendidikan adalah membimbing seseorang dari sekedar kepercayaan kepada ilmu pengetahuan yang benar. Pengetahuan yang benar berupa intelektualitas dan keabadian. Pendidikan yang sejati adalah universal dan abadi, seperti layaknya kebenaran. Seorang manusia dikatakan berpendidikan jika perilakunya mencerminkan konsep-konsep kebenaran dan kebaikan yang bersifat universal dan tak usang oleh waktu. Pada masa Plato, pendidikan sangat dianjurkan untuk negarawan dan pemimpin (Saidah, 2016 : 2).

Aristoteles berpendapat bahwa pendidikan adalah alat untuk membantu manusia mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan. Menurut Aristoteles, kebahagiaan adalah puncak kebaikan (ultimate goodness), di mana kebahagiaan merupakan tujuan utama tiap kehidupan manusia. Aristoteles yakin bahwa pendidikan mampu menjadi alat untuk mewujudkannya. Keyakinan ini didukung oleh analisis beberapa penelitian

(4)

yang menyatakan bahwa pendidikan berkorelasi positif dengan kebahagiaan manusia (Saidah, 2016 : 4).

John Locke mendeskripsikan bahwa pendidikan adalah sebuah proses membantu anak didik, yang dianggap kosong, yang dapat diisi sesuai keinginan pendidik, juga dianggap sebagai pribadi dewasa yang belum sempurna yang membutuhkan pertolongan untuk keluar dari ketidaktahuan. Tersirat bahwa praktik pendidikan merut John Locke bersifat satu arah, yaitu dari guru ke murid, dengan memposisikan guru sebagai sumber pengetahuan (Saidah, 2016 : 5).

Pestalozzi mengemukakan bahwa mendidik adalah membantu nature (potensi bawaan manusia) berkembang dengan sendirinya, dan cara pengajarannya tergantung pada pesan yang harus disampaikan dengan menyesuaikan pada kemampuan murid (U.H Saidah, 2016 : 5).

John Dewey menjelaskan bahwa pendidikan adalah sebuah kebutuhan hidup dan fungsi sosial, yang bertumpu pada masing-masing individu juga golongan atau masyarakat, dengan kemungkinan mengalami stagnan atau kemajuan yang bisa diukur dengan kriteria-kriteria tertentu, secara demokratis bisa dinilai dari kualitas masyarakat yang ada (Saidah, 2016 : 7).

Ki Hajar Dewantara mendefinisikan Pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, dan karakter), pikiran (intelek) dan tubuh anak, dalam rangka kesempurnaan hidup dan keselarasan dengan dunianya. (Saidah, 2016 : 9).

c. Pendidikan Multikultural

Tujuan Pendidikan multikultural yang muncul merupakan sebuah persamaan persepsi dari perbedaan pandangan terhadap kultur yang dimiliki oleh setiap orang yang berbeda. Sehingga dapat menghilangkan dan merubah stigma narsisme atau etnosentrisme bahkan primordialisme di seluruh lapisan masyarakat Indonesia.

Pendidikan multikultural memiliki posisi yang strategis dalam penanaman nilai-nilai nasionalisme terhadap diri setiap anak bangsa sejak dini di bangku pendidikan agar mampu bersikap toleran terhadap setiap sesama anak bangsa.

(5)

Yaqin menjelaskan pendidikan multikultural adalah strategi pendidikan yang diaplikasikan pada semua jenis mata pelajaran dengan cara menggunakan perbedaan- perbedaan kultural yang ada pada para siswa seperti perbedaan etnis, agama, bahasa, gender, klas sosial, ras, kemampuan, dan umur agar proses belajar menjadi efektif dan mudah. Pendidikan multikultural sekaligus juga untuk melatih dan membangun karakter siswa agar mampu bersikap demokratis, humanis, dan pluralis dalam lingkungan mereka (Yaqin, 2005: 25).

Menurut Andersen dan Cusher yang dikutip (Mahfud, 2006: 167) bahwa, pendidikan multikultural dapat diartikan sebagai pendidikan mengenai keragaman kebudayaan. Selanjutnya menurut Muhaemin el Ma’hady dikutip (Mahfud, 2006:

168) berpendapat bahwa secara sederhana pendidikan multikultural dapat didefinisikan sebagai pendidikan tentang keragaman kebudayaan dalam meresponi perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan (global).

Menurut Tobroni (2007) menyatakan bahwa pendidikan multikultural adalah pendidikan yang memberikan kesempatan pada semua siswanya tanpa memandang jenis kelamin, kelas sosial, etnis, ras, agama, dan budayanya. Pendidikan multikultural berorientasi pada aktivitas siswa, dan perilaku siswa banyak dipengaruhi oleh budayanya. Pendidikan multikultural berupaya membantu siswa mengembangkan semua potensi sebagai pelajar dan anggota masyarakat.

James Banks yang dikutip (Yaya & Rusdiana, 2015: 196). mendefinisikan pendidikan multikultural merupakan suatu rangkaian kepercayaan (set of beliefs) dan penjelasan yang mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis dalam bentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi, kesempatan pendidikan dari individu, kelompok ataupun Negara.

Azra yang dikutip (Yaya & Rusdiana, 2015: 197). mendefinisikan pendidikan multikultural sebagai pengganti dari pendidikan interkultural diharapkan dapat menumbuhkan sikap peduli dan mau mengerti atau adanya politik pengakuyan terhadap kebudayaan kelompok manusia, seperti toleransi, perbedaan etno – kultural

(6)

dan agama, diskriminasi, HAM, demokrasi dan pluralitas, kemanusiaan universal, serta subjek-subjek lain yang relevan.

Howard yang dikutip (Yaya & Rusdiana, 2015: 197). mendefinisikan pendidikan multikultural memberikan kompetensi multikultural, melalui pendidikan multikultural sejak dini anak diharapkan mampu menerima dan memahami perbedaaan budaya yang berdampak pada perbedaan usage (cara individu bertingkah laku), folkways (kebiasan yang ada di masyarakat), mores (tata kelakuan di masyarakat), dan customs ( adat istiadat suatu komunitas).

Musa Asya’rie yang dikutip (Yaya & Rusdiana, 2015: 197). mendefinisikan pendidikan multikultural bahwa pendidikan mulikultural bermakna sebagai proses pendidikan cara hidup menghormati, tulus, toleransi terhadap keragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural sehingga peserta didik kelak memiliki kekeknyalan dan kelenturan mental bangsa dalam menyikapi konflik sosial di masyarakat.

Hilda Hernandez yang dikutip (Mahfud, 2011: 176). Mengartikan pendidikan multikultural sebagai perspektif yang mengakui realitas politik, sosial daan ekonomi yang dialami oleh masing-masing individu dalam pertemuan manusia yang kompleks dan beragam secar kultur, dan merefleksikan pentingnya budaya, ras, seksualitas, dan gender, etnisitas agama, status sosial, ekonomi dan pengecualian-pengecualian dalam proses pendidikan.

H.A.R Tilaar yang dikutip (Mahfud, 2011: 178). Mengungkapkan dalam program pendidikan multikultural , fokus tidak lagi diarahkan semata-mata kepada kelompok rasial, agama dan kultural domain atau mainstream. Sejalan dengan itu, Suryana & Rusdiana mendefinisikan pendidikan multikultural sebagai ide, gerakan, pembaharuan pendidikan, dan proses pendidikan yang tujuan utamanya adalah untuk mengubah struktur lembaga pendidikan agar siswa laki-laki dan perempuan, siswa berkebutuhan khusus, dan siswa yang merupakan anggota dari kelompok ras, etnis, dan kultur yang bermacam-macam memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai prestasi akademis di sekolah (Suryana & Rusdiana, 2015: 196).

(7)

Arifudin (Jurnal 2007 ”Urgensi Implementasi Pendidikan Multikultural di Sekolah”) menyatakan bahwa ada beberapa pendekatan dalam proses pendidikan multikultural :

1) Perubahan paradigma dalam memandang pendidikan (education) dengan persekolahan (schooling) atau pendidikan multikultural dengan program- program sekolah formal. Pandangan yang lebih luas mengenai pendidikan sebagai transmisi kebudayaan membebaskan pendidik dari asumsi bahwa tanggung jawab primer dalam mengembangkan kompetensi kebudayaan di kalangan peserta didik. Hal ini semata-mata berada di tangan mereka dan justru seharusnya semakin banyak pihak yang bertanggung jawab karena program-program sekolah terkait dengan pembelajaran informal di luar sekolah.

2) Menghindari pandangan yang menyamakan kebudayaan dengan kelompok etnik, yang dimaksud adalah tidak perlu lagi mengasosiasikan kebudayaan semata-mata dengan kelompok-kelompok etnik sebagaimana yang terjadi selama ini. Secara tradisional, para pendidik mengasosiasikan kebudayaan hanya dengan kelompok-kelompok sosial yang relatif self sufficient daripada dengan sejumlah orang yang secara terus menerus dan berulang-ulang terlibat satu sama lain dalam satu atau lebih kegiatan. Dalam konteks pendidikan multikultural, pendekatan ini diharapkan dapat mengilhami para penyusun program-program pendidikan multikultural untuk menghilangkan kecenderungan memandang peserta didik secara stereotype menurut identitas etnik mereka, dan akan meningkatkan eksplorasi pemahaman yang lebih besar mengenai kesamaan dan perbedaan di kalangan peserta didik dari berbagai kelompok etnik.

3) Karena pengembangan kompetensi dalam suatu kebudayaan baru bisa membutuhkan interaksi inisiatif dengan orang-orang yang sudah memiliki kompetensi, bahkan dapat dilihat jelas bahwa upaya-upaya untuk mendukung sekolah-sekolah yang secara etnik adalah antithesis terhadap

(8)

tujuan pendidikan multikultural. Mempertahankan dan memperluas solidaritas kelompok adalah mengahambat sosialisasi ke dalam kebudayaan dan pendidikan multikultural tidak dapat disamakan secara logis.

4) Pendidikan multikultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kebudayaan yang akan diadopsi tersebut ditentukan oleh situasi yang ada di sekitarnya.

5) Pendidikan multikultural, baik dalam sekolah maupun luar sekolah maupun luar sekolah meningkatkan kesadaran tentang kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kesadaran seperti ini akan menjauhkan kita dari konsep dwi budaya atau dikotomi antara pribumi dan non-pribumi. Dikotomi semacam ini bersifat membatasi individu untuk sepenuhnya mengekspresikan diversitas kebudayaan. Pendekatan ini meningkatkan kesadaran akan multikulturalisme sebagai pengelam moral manusia. Kesadaran ini mengandung makna bahwa pendidikan multikultural berpotensi untuk menghindari dikotomi dan mengembangkan apresiasi yang lebih baik melalui kompetensi kebudayaan yang ada pada diri peserta didik.

James Bank menyatakan pendidikan multikultural juga merupakan gerakan pembaruan yang mencoba mengubah sekolah dan lembaga pendidikan lainnya sehingga siswa dari semua kelas sosial, gender, rasial, bahasa, dan kelompok budaya akan memiliki kesempatan yang sama untuk belajar. Pendidikan multikultural melibatkan perubahan total sekolah atau lingkungan pendidikan (Banks, 2010 : 4).

Parekh menjelaskan pendidikan multikultur mengurangi sifat etnis kebudayaan dan membuatnya menjadi modal manusia yang dimiliki bersama-sama. Pendidikan berkomitmen terhadap nilai dasar masyarakat liberal, memperluasnya untuk memasukkan yang lain serta membantu menciptakan kebudayaan yang plural dan lebih kaya. Pendidikan mendorong adanya dialog antar budaya, dan mempersiapkan para siswa untuk dapat berbincang-bincang dalam idiom budaya yang sangat beragam (Parekh, 2008 : 305).

(9)

Disimpulkan bahwa pendidikan multikultural merupakan pendidikan yang diberlakukan dengan maksud untuk menghindari stigma etnosentrisme dari setiap anak bangsa sejak dini serta sebagai cerminan kekayaan kultur yang dimiliki oleh negara Indonesia terhadap dunia (global).

d. Model – model Pendidikan Multikultural

Menurut Banks (dalam Suryana & Rusdiana, 2015 : 211) empat pendekatan yang mengintegrasikan materi pendidikan multikultural ke dalam kurikulum atau pembelajaran di sekolah yang jika dicermati relevan untuk diimplementasikan di Indonesia :

a. Pendekatan Kontribusi (The Contributions Approach)

Pendekatan ini paling sering dilakukan dalam pembelajaran dari gerakan kebangkitan etnis. Cirinya adalah dengan memasukkan pahlawan-pahlawan dari suku bangsa atau etnis dan benda-benda budaya ke dalam pelajaran yang sesuai. Model pendidikan multikultural di kelas dapat dilakukan dengan berikut :

a. Memperkenalkan beragam bentuk rumah dan baju adat dari etnis yang berbeda.

b. Mengajak siswa untuk mencicipi makanan yang berbeda dari berbagai daerah secara bergantian.

c. Mendengarkan lagu-lagu daerah lain.

d. Menunjukkan cara berpakaian yang berbeda, baik dari suku bangsa maupun dari negara lain.

e. Memperkenalkan tokoh-tokoh pejuang dari berbagai daerah dari dalam dan luar negeri.

f. Menunjukkan tempat dan cara ibadah yang berbeda.

g. Meminta siswa yang berbeda etnis untuk menceritakan tentang upacara perkawinan di keluarga luasnya.

(10)

h. Memperkenalkan beberapa kosa kata penting yang berasal dari suku bangsa atau Negara (ras) lain. Misalnya, matur nuwun dari Jawa, muliate dari Batak, thank you dari Inggris, kamsia dari Cina dan sebagainya.

i. Memperkenalkan panggilan untuk laki-laki dan perempuan, misalnya upik untuk Minangkabau, ujang untuk Sunda, koko untuk Cina dan sebagainya.

b. Pendekatan Aditif (Aditif Approach)

Pendekatan ini dilakukan dengan penambahan materi, konsep, tema, perspektif terhadap kurikulum tanpa mengubah struktur, tujuan, dan karakteristik dasarnya. Pendekatan ini sering dilengkapi dengan buku, modul atau bidang bahasan terhadap kurikulum tanpa mengubah secara substansif. Model pendidikan multikultural di kelas dapat dilakukan dengan berikut :

a. Melengkapi perpustakaan dengan buku-buku cerita rakyat dari berbagai daerah dan negara lain.

b. Membuat modul pendidikan multikultural untuk suplemen materi pelajaran yang lain, seperti modul pendidikan multikultural untuk suplemen pendidikan IPS.

c. Memutarkan CD tentang kehidupan di pedesaan, di perkotaan, dari daerah dan negara yang berbeda.

d. Meminta siswa memiliki teman korespondensi/e-mail/facebook atau sahabat dengan siswa yang berbeda daerah, negara, atau latar belakang lainnya.

e. Menceritakan pengetahuan dan pengalaman guru tentang materi di daerah lain. Misalnya, guru IPS menjelaskan sejarah bangsa.

f. Mengintegrasikan nilai-nilai multikultural dan menerepakannya di kelas.

c. Pendekatan Transformasi (The Transformation Approach)

Pendekatan ini mengubah asumsi dasar kurikulum dan menumbuhkan kompetensi dasar siswa dalam melihat konsep, isu, tema dan problem dari beberapa perspektif dan sudut pandang etnis. Perspektif berpusat pada aliran

(11)

utama yang mungkin dipaparkan dalam materi pelajaran. Siswa boleh melihat dari perspektif yang lain. Model pendidikan multikultural di kelas dapat dilakukan dengan berikut :

a. Jika membentuk kelompok diskusi, setiap kelompok seyogyanya terdiri atas siswa yang berbeda latar belakang, seperti kemampuan, jenis kelamin, perangai, status sosial ekonomi, agama agar dapat saling mempelajari kelebihan dan kekurangan masing-masing.

b. Siswa dibiasakan untuk berpendapat dan berargumentasi yang sesuai dengan jalan pikirannya. Guru tidak perlu khawatir akan terjadi konflik pendapat ataupun SARA.

c. Guru mengajak siswa untuk berpendapat tentang suatu kejadian atau isu yang aktual, misalnya tentang bom bunuh diri atau kemiskinan, lalu biarkan siswa berpendapat menurut pemikirannya masing-masing.

d. Membiasakan siswa saling membantu pada kegiatan keagamaan yang berbeda.

e. Membuat program sekolah yang mengajak siswa mengalami peristiwa langsung di lingkungan yang berbeda, seperti lifestyle. Pada saat liburan siswa diminta untuk tinggal di keluarga yang memiliki latar belakang yang berbeda dengan mereka, misalnya berbeda etnis, status sosial ekonomi, agama, bahkan jika mungkin rasa tau Negara.

f. Mengajak siswa untuk menolong keluarga yang kurang beruntung atau berkunjung ke tempat orang-orang yang malang dari berbagai latar belakang ras, etnis dan agama.

g. Melaitih siswa untuk menghargai dan memiliki yang hal-hal positif dari pihak lain.

h. Melatih siswa untuk mampu menerima perbedaan, kegagalan dan kesuksesan.

(12)

i. Memberikan tugas kepada siswa untuk mencari, memotret kehidupan nyata dari kegiatan tradisi dari etnis, agama, wilayah dan budaya yang berbeda.

d. Pendekatan Aksi Sosial (The Social Action Approach)

Pendekatan aksi sosial mencakup semua elemen dari pendekatan transformasi, tapi menambah komponen yang mempersyaratkan siswa membuat aksi yang berkaitan dengan konsep, isu, atau masalah yang dipelajari dalam unit. Aksi sosial ini lebih tepat dilakukan di perguruan tinggi, baik dilakukan di dalam kelas (proses belajar mengajar) maupun dalam organisasi kemahasiswaan. Model pendidikan multikultural di kelas dapat dilakukan dengan berikut :

a. Mengakaji kebijakan yang dianggap kurang efektif, kurang humanis, kurang adil, diskriminatif dan berbasis gender.

b. Melakukan protes dan demonstrasi kepada pihak yang dianggap bertanggung jawab terhadap ketidak adilan.

c. Memberikan dukungan nyata kepada pihak yang dirugikan.

d. Membuat jaringan kerja antar daerah dan negara untuk berbagai isu yang aktual.

e. Melakukan kegiatan bersama antar daerah dan bangsa untuk kemajuan bersama tanpa melihat latar belakang yang berbeda.

f. Menjalin persahabatan tanpa dibatasi perbedaan apapun.

g. Memiliki kemampuan untuk melakukan yang terbaik untuk pihak-pihak yang berbeda budaya, agama ataupun ras (Suryana dan Rusdiana, 2015:213-218).

e. Humanisme

Pendidikan bukan hanya sekedar mentransfer ilmu pengetahuan kepada peserta didik, tetepi mentransfer nilai. Nilai di dalamnya mengandung hal-hal yang di dambakan atau dicita-citakan, yang sifatnya normatif. Nilai sebagai konsep ukuran memungkinkan subjek melakukan penilaian atas objek yang dihadapi. Hal- hal yang berhubungan dengan penilaian sesungguhnya merupakan bagian yang tidak

(13)

terpisahkan dari kebudayaan. Faktor budaya berpengaruh dominan dalam proses penilaian (Ediyono 2015 : 93). Pendidikan merupakan kerja budaya yang menuntut peserta didik untuk selalu mengeembangkan potensi dan daya kreativitasnya agar tetap survive dalam hidupnya (Anany, 2010: 18). Praktik pendidikan dan pembelajaran hingga saat ini masih ada yang belum dikembangkan secara optimal, terdapat beberapa pelangggaran-pelanggaran nilai-nilai kemanusiaan yang dijunjung tinggi oleh humanisme.

Arthur Combs dalam Frank G. Goble, menuturkan bahwa pendekatan humanistik adalah pandangan psikologis yang melihat individu sebagai “fincionating organism’ yang masing-masing berusaha membangun konsepnya (Goble, 1987 : 120). Sanusi (Jurnal 2013” Pembelajaran dengan Pendekatan Humanistik”) menyatakan bahwa Pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang lebih bermanusiawi (semakin”penuh” sebagai manusia), berguna dan berpengaruh di dalam masyarakatnya, yang bertanggung jawab dan bersifat pro aktif dan kooperatif. Masyarakat membutuhkan pribadi yang handal dalam bidang akademis, keterampilan atau keahlian dan sekaligus memiliki watak atau keutamaan yang luhur, yaitu pribadi yang cerdas, berkeahlian namun tetap humanis.

2. Primordialisme

Menurut Nazzarudin Sjamsudin dalam bukunya “Dinamika Sistem Politik Indonesia” mengatakan bahwa primordialisme adalah perasaan-perasaan yang mengikat seseorang dikarenakan oleh hal-hal yang dimilikinya sejak dilahirkan.

Individu umumnya tidak berada pada posisi untuk memilih sendiri faktor-faktor primordialnya. Dilahirkan dalam suatu kondisi tertentu, dan harus menerima kondisi itu, biasanya untuk seumur hidupnya. Semua yang tergolong dalam kondisi ini adalah faktor-faktor seperti daerah atau tempat kelahiran, suku, ikatan darah, ras, agama dan rasa (Nazzaruddin, 1993: 41)

Clifford Geertz dalam bukunya The Interpretation of Culture menyatakan bahwa ikatan primordial adalah sebagai perasaan yang lahir dari yang dianggap ada

(14)

dalam kehidupan sosial, sebagian besar dari hubungan langsung dan hubungan keluarga, tetapi juga meliputi keanggotaan dalam lingkungan keagamaan tertentu, bahasa dan dialek serta kebiasaan-kebiasaan sosial.

Keguncangan yang menimpa banyak negara modern yang disebabkan keinginan untuk menjadi masyarakat primordial dari pada menjadi masyarakat kebangsaan, serta kesadaran akan manfaat praktis dari pola integrasi sosial yang lebih luas, telah memperkuat kecenderungan mengajukan alasan-alasan ikatan hubungan darah, bahasa, agama dan sebagainya sebagai masyarakat akhir, tetapi dalam masyarakat yang mengalami proses modernisasi ikatan-ikatan primordial masih didengungkan sebagai landasan penciptaan kesatuan-kesatuan politik, tradisi politik kebangsaan masih lemah, sedangkan persyaratan teknis akan pemerintah yang mengusahakan kemakmuran sangat kurang dipahami.

Keguncangan primordial biasanya ada beberapa sebab yang seringkali timbul bersama dan berlawanan tujuan, secara deskriptif, masalah-masalah yang timbul adalah sebagai berikut :

a. Agama (Religion)

Kasus yang terkemuka akibat keterkaitan agama ini adalah partisi India.

Tetapi Libanon, orang Karen dan Araken Islam di Birma, orang Batak Toba, Ambon dan Minahasa di Indonesia, orang Moro di Filipina, orang sikh di Punjab, India semua ini contoh-contoh terkenal tentang kekuatan ikatan keagamaan dalam menghambat ataupun menggagalkan perasaan kebangsan yang lebih luas.

b. Ras (Race)

Ras mirip dengan kesukuan dalam arti bahwa melihat teori etno-biologis.

Tetapi keduanya sesungguhnya amat berbeda. Ciri utama yang menjadi pembeda adalah bentuk-bentuk fisik yang feno-tipis terutama warna kulit, bentuk muka, tinggi badan, bentuk rambut. Masalah-masalah perkauman (communalism) di Malaya sebagian besar timbul dari perbedaan ini sekalipun kedua pihak berasal dari jenis feno-tipis Mongoloid yang sama.

(15)

c. Hubungan darah (Assumed Blood Tie)

Dalam hal iniadalah kekeluargaan, karena hubungan yang wujud, akibat biologis (keluarga besar garis keturunan dan sebagainya) terlalu terbatas untuk dianggap cukup berarti, oleh karena itu pengenalan lebih bersifat hubungan kekeluargaan yang lebih sosiologis seperti kesukuan.

d. Daerah (Region)

Hal ini menjadi faktor di hampir setiap pelosok dunia, kedaerahan dengan sendirinya menjadi masalah serius di daerah-daerah geografis yang heterogen.

Ketegangan antara Pakistan Barat dan Pakistan Timur (Bangladesh) terlibat masalah perbedaan dalam bahasa dan kultur, tetapi faktor geografi jusru paling menentukan, ini diakibatkan karena secara teritorial Negara itu tidak bersambungan.

e. Bahasa (Language)

Linguisme, karena sesuatu hal yang belum dapat diterangkan secara memuaskan, sehingga hal ini bermasalah di India dan di Malaya dan secara sporadis juga terjadi di beberapa tempat di dunia, namun karena bahasa seringkali dipandang sebagai poros esensi konflik-konflik nasional, ada baiknya ditegaskan dalam hal ini bahwa linguisme bukan suatu akibat yang pasti lahir dari keanekaragaman bahasa.

Perbedaan-perbedaan bahasa tidak selalu menjurus pada perpecahan, akan tetapi menjadi masalah sosial yang besar, walaupun sering timbul kebingungan tentang penggunaan bahasa. Konflik-konflik primordial bisa saja terjadi dalam masyarakat yang tidak mengenal perbedaan bahasa yang menyolok, seperti di Libanon.

f. Adat Istiadat (Custom)

Perbedaan-perbedaan dalam bentuk kebiasaan sering merupakan dasar dari salah satu segi perpecahan nasional. Gejala ini terutama berperan penting dalam hal satu kelompok yang secara intelektual dan kesenian merasa dirinya pembawa peradaban di tengah-tengah penduduk lain yang dianggap kasar dan berpedoman pada golongan yang unggul. Tetapi perlu dicatat bahwa golongan yang amat berbeda satu dari yang lain dapat menjelankan gaya hidup umum yang sama (Clifford, 1973:

257-261).

(16)

3. Pembelajaran Sejarah a. Pembelajaran

Pembelajaran merupakan terjemahan dari kata “instruction” yang dalam bahasa yunani disebut instructus atau “intruere” yang berarti menyampaikan pikiran, dengan demikian arti instruksional adalah menyampaikan pikiran atau ide yang telah diolah secara bermakna melalui pembelajaran (Warsita, 2008: 265).

Pembelajaran berasal dari istilah belajar. Diungkapkan oleh Cronbach bahwa learning is shown by change in behavior as a result of experience (belajar sebagai suatu aktivitas yang ditunjukkan oleh perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman) (Yudrik, 2011:388). Artinya tujuan kegiatan belajar adalahperubahan tingkah laku, baik yang menyangkut pengetahuan, keterampilan maupun sikap bahkan meliputi segenap aspek organisme atau pribadi (Djamarah dan Zain, 1996:11). Belajar adalah proses melihat, mengamati, memahami sesuatu yang dipelajari (Sudjana, 1996:6). Terdapat tiga hal pola pokok yang membentuk tingkah laku seseorang yaitu: 1) tingkah laku baru merupakan kemampuan aktual dan potensial, 2) kemampuan itu bertingkah laku dalam waktu yang lama, 3) kemampuan baru diperolah melalui usaha. Dengan kata lain, belajar merupakan respon dari seseorang terhadap sesuatu yang dipelajarinya dan pada akhirnya membentuk tingkah laku seseorang (Sudjana, 1991:5).

Pembelajaran menurut Winkel dikutip dalam Siregar dan Nara adalah seperangkat tindakan yang dirancang untuk mendukung proses belajar siswa, dengan memperhitungkan kejadian-kejadian ekstrim yang berperanan terhadap rangkaian kejadian-kejadian intern yang berlangsung dialami siswa (Siregar dan Nara, 2011: 12) Dalam proses pembelajaran, tugas guru yang paling utama adalah mengkondisikan lingkungan belajar agar menunjang terjadinya perubahan bagi siswa.

Perubahan perilaku harus dipandang dalam arti yang luas, yaitu meliputi pengamatan, pengenalan, perbuatan, keterampilan, minat, penghargaan, sikap dan sebagainya. Jadi belajar tidak hanya mengenai bidang intelektual saja akan tetapi seluruh pribadi anak yang menyangkut aspek kognitif, aspek afektif, maupun aspek psikomotorik

(17)

(Nasution, 2006:59).

b. Sejarah

Sejarah adalah sebuah perjalanan manusia, bukan hanya rentetan peristiwa secara kronologis, melainkan gambaran mengenai berbagai hubungan yang antara manusia, peristiwa saat dan tempat. Manusia menggunakan sejarah untuk memahami masa lampau, dan mencoba memahami masa kini atas dasar peristiwa atau perkembangan di masa lampau.

Kartodirjo (1993:14-15) menyatakan bahwa sejarah dalam arti subyektif adalah suatu konstruk, ialah bangunan yang disusun penulis sebagai suatu rangkaian cerita.

Uraian atau cerita itu merupakan suatu kesatuan atau unit yang mencakup fakta-fakta terangkaikan untuk menggambarkan suatu gejala sejarah, baik proses maupun struktur. Kesatuan ini menunjukkan sifat koherensi artinya berbagai unsur bertalian satu sama lain. Sejarah dalam arti obyektif mertujuk kepada kejadian atau peristiwa itu sendiri ialah proses sejarah dalam aktualisasinya. Kejadian itu sama sekali tidak dapat diulang atau berulang lagi. Keseluruhan proses itu berlangsung terlepas dari subyek pengamat atau pencerita. Pembelajaran sejarah ialah pembelajaran yang menyangkut manusia, peristiwa, waktu dan tempat yang saling berkaitan satu sama lain. Sejarah merupakan suatu proses perjuangan manusia dalam mencapai gambaran tentang segala aktifitasnya yang disusun secara ilmiah dengan memperhatikan urutan waktu, diberi tafsiran dan analisa kritis, sehingga mudah dimengerti dan dipahami.

Sejarah dapat memberikan gambaran dan tindakan maupun perbuatan manusia dengan segala perubahannya (Susanto, 2014:7).

Sejarah dalam arti objektif menunjuk kepada kejadian atau peristiwa itu sendiri, adalah peristiwa sejarah dalam kenyataannya. Kejadian itu sekali terjadi tidak dapat diulang atau terulang lagi. Bagi orang yang berkesempatan mengalami suatu kejadian yang sebenarnya hanya dapat mengamati dan mengikuti sebagian dari totalitas kejadian itu, jadi tidak mungkin mempunyai gambaran umum seketika itu.

Keseluruhan proses berlangsung terlepas dari subjek manapun juga, jadi maksudnya adalah objektif dalam arti tidak memuat unsur-unsur subjek (pengamat atau

(18)

pencerita) sejalan dengan hal tersebut Sartono menyimpulkan bahwa sejarah merupakan cerita tentang pengalaman kolektif suatu komunitas atau nation di masa lampau (Kartodirjo, 1992:15 dan 498) senada dengan itu, Pranoto menyatakan bahwa sejarah merupakan ilmu pengetahuan dari subjek yang definit diisyaratkan oleh metode yang bebas dan teratur atau proses dan diatur dalam ketentuan yang dapat diterima. Selanjutnya, sejarah dapat diberi definisi yang membedakan dengan batasan ilmu sosial dan ilmu lain (Pranoto, 2010:2).

c. Pembelajaran Sejarah

Dalam pengertian lebih mendalam, pembelajaran sejarah dapat diartikan sebagai suatu proses pentransferan nilai-nilai luhur dari peristiwa-peristiwa masa lampau kepada siswa melalui kegiatan belajar-mengajar (pembelajaran sejarah).

Peristiwa masa lampau tersebut mencakup hal-hal yang dipikirkan, dikatakan, dikerjakan, dirasakan, dan dialami oleh setiap manusia. Dengan arti lain lapangan sejarah juga meliputi segala pengalaman yang dimiliki manusia, sehingga lukisan sejarah merupakan pengungkapan fakta mengenai apa, siapa, kapan, di mana, serta bagaimana sesuatu itu bisa terjadi (Kuntowijoyo,1995:19).

Pembelajaran sejarah tidak semata-mata berfungsi untuk memberikan pengetahuan sejarah dalam bentuk kumpulan informasi fakta sejarah, tetapi juga bertujuan untuk membangkitkan kesadaran siswa akan nilai-nilai dari suatu yaitu usaha memperoleh kemerdekaan. Dalam hal ini fungsi pembelajaran sejarah adalah agar generasi selanjutnya dapat mengambil hikmah dan pelajaran dari peristiwa sejarah yang terjadi di masa lampau.

Pembelajaran sejarah normatif yang sesuai dengan pendidikan sangat terkait dengan pendidikan nilai dan penanaman nilai-nilai perjuangan, serta pembinaan moral dan karakter bangsa. Hal ini sesuai dengan tujuan pembelajaran sejarah sebagai sarana pemupukan rasa nasionalisme dan semangat kebangsaan. Sejarah juga mengajarkan moralitas, mana yang baik dan mana pula yang harus dikerjakan serta mana yang tidak baik dan harus ditinggalkan. Sesuai dangan pembahasan tentang makna pembelajaran tersebut Isjoni (2007:59) mengatakan bahwa pembelajaran

(19)

tidak hanya penguasaan prinsip-prinsip, tetapi juga pengembangan sikap positif terhadap belajar dan pemecahan masalah.

Widja (2002:3-4) menyatakan bahwa dalam pembelajaran sejarah sebaiknya tidak lagi terlalu menekankan pengajaran hafalan fakta serta afektif doktriner tetapi lebih syarat dengan latihan berfikir historis kritis analitis. Siswa dibiasakan untuk melihat atau menerima gambaran sejarah dengan logika historis kritis, sehingga tidak harus selalu dituntut oleh guru dalam memaknai barbagai peristiwa sejarah yang dipelajarinya. Dalam pembelajaran sejarah semestinya mengembangkan situasi serta kondisi belajar yang kondusif untuk mengembangkan semangat dalam pembelajaran.

Sehingga melalui pembelajaran sejarah siswa bisa menyadari kemampuan masing- masing.

Mengenal diri sendiri merupakan mengenal apa yang bisa dilakukan, karena seseorang tidak mengetahui apa yang bisa diperbuat sampai mau berusaha untuk mencobanya. Oleh karena itu, kunci untuk mengetahui apa yang bisa diperbuat seseorang adalah dari apa yang telah diperbuat. Demikian nilai dari sejarah mengajarkan apa yang manusia telah kerjakan dan apa sebenarnya manusia itu.

d. Tujuan Pembelajaran Sejarah

Susanto mengatakan bahwa dalam standar isi, tujuan pembelajaran sejarah ditetapkan sebagai berikut :

1. Membangun kesadaran peserta didik tentang pentingnya waktu dan tempat yang merupakan sebuah proses dari masa lampau, masa kini dan masa depan.

2. Melatih daya krotos peserta didik untuk memahami fakta sejarah secara benar dengan didasarkan pada pendekatan ilmu dan metodologi keilmuan.

3. Menumbuhkan apresiasi dan penghargaan peserta didik terhadap peninggalan sejarah sebagai bukti peradaban bangsa Indonesia di masa lampau.

4. Menumbuhkan pemahaman peserta didik terhadap proses terbentuknya bangsa Indonesia melalui sejarah yang panjang dan masih berproses hingga

(20)

masa kini dan masa yang akan datang.

5. Menumbuhkan kesadaran dalam diri peserta didik sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang memiliki rasa bangga dan cinta tanah air yang dapat diimplementasikan dalam berbagai bidang kehidupan baik nasional maupun internasional (Susanto, 2014: 57-58).

Agung & Wahyuni mengatakan pengajaran sejarah bertujuan agar siswa memperoleh kemampuan berpikir historis dan pemahaman sejarah. Pengajaran sejarah juga bertujuan aar siswa menyadari adanya keragaman pengalaman hidup pada masing-masing masyarakat dan adanya cara pandang yang berbeda, dan tujuan lainnya adalah sebagai berikut :

1. Mendorong siswa berpikir kritis-analitis dalam memanfaatkan pengetahuan tentang masa lampau yang memahami kehidupan masa kini dan yang akan datang.

2. Memahami bahwa sejarah merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari.

3. Mengembangkan kemampuan intelektual dan keterampilan untuk memahami proses perubahan dan keberlanjutan masyarakat (Agung &

Wahyuni, 2013: 56).

Menurut Muhammad Ali bahwa tujuan pembelajaran sejarah di sekolah antara lain khususnya sejarah nasional adalah untuk : 1) membangkitkan, mengembangkan dan memelihara semangat kebangsaan 2) membangkitkan hasrat untuk mewujudkan cita-cita kebangsaan di segala bidang 3) membangkitkan hasrat untuk mempelajari sejarah kebangsaan sebagai bagian dari sejarah nasional 4) menyadarkan siswa tentang cita-cita dan perjuangan nasional untuk mewujudkan cita-cita bangsa dan negara (Ernawati, 2008:39), sesuai dengan jenjang pendidikan siswa maka tujuan pembelajaran sejarah terutama sejarah nasional harus diarahkan untuk membangkitkan perhatian pada sejarah, menanamkan bahwa bangsa ini terbentuk atas upaya bersama para pendahulu dan meneruskan cita-cita untuk kemajuan bangsa.

Fungsi dan tujuan sejarah akan tercapai apabila siswa mampu memahami dan menghayati secara mendalam peristiwa sejarah yang ada dan serta mampu mengambil

(21)

makna dan nilai-nilai dari peristiwa sejarah tersebut, dalam proses pembelajaran harus mampu menghadirkan peristiwa masa lalu kehadapan siswa (Kartodirdjo, 1992:59).

Siswa diharapkan untuk mengkaji secara mendalam akan pentingnya peristiwa sejarah dan secara tidak langsung akan menumbuhkan kesadaran sejarah siswa.

Untuk itu diperlukan strategi guru sejarah dalam melakukan inovasi pembelajaran dengan menggunakan metode yang bervariatif dan tentunya sesuai konteks yang ada.

Lebih lanjut mengenai tujuan pendidikan sejarah khususnya ditingkat SMA, menurut Said Hamid Hasan bahwa tujuannya pada pemahaman yang mendalam terhadap peristiwa yang dianggap penting untuk membangun kemampuan berfikir kritis, kemampuan belajar, rasa ingin tahu dari kepedualian sosial dan semangat kebangsaan (Kochlar, 2008:52).

4. Pembelajaran Sejarah di SMA dalam Kurikulum 2013 a. Kurikulum

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 19 Tahun 2005 Pasal 1 mendefinisikan kurikulum sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.

Kurikulum dikembangan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan dengan prinsip diversifikasi, dengan tujuan untuk memungkinkan penyesuaian program pendidikan pada satuan pendidikan dengan prinsip diversifikasi, dengan tujuan untuk memungkinkan penyesuaian program pendidikan pada satuan pendidikan dengan kondisi dan kekhasan potensi yang ada di daerah. Penyusunan kurikulum harus memperhatikan beberapa hal berikut :

1. Peningkatan iman dan taqwa.

2. Peningkatan akhlak mulia.

3. Peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik.

4. Keragaman potensi daerah dan lingkungan.

5. Tuntutan pembangunan daerah dan nasional.

(22)

6. Tuntutan dunia kerja.

7. Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.

8. Agama

9. Dinamika perkembangan global.

10. Persatuan nasional dan nilai kebangsaan.

Kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan dasar dan menengah dikembangkan oleh pemerintah, di dalamnya wajib memuat :

1. Pendidikan agama, dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia.

2. Pendidikan kewarganegaraan, dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air.

3. Bahasa, mencakup bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing, dengan pertimbangan :

a. Bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional b. Bahasa Daerah merupakan bahasa ibu peserta didik.

c. Bahasa Asing terutama bahasa inggris merupakan bahasa internasional yang sangat penting kegunaanya dalam pergaulan global.

4. Matematika, mencakup berhitung, ilmu ukur, dan aljabar yang dimaksudkan untuk mengembangkan logika dan kemampuan berpikir peserta didik.

5. Ilmu pengetahuan alam, meliputi fisika, biologi, dan kimia yang dimaksudkan untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman, dan kemampuan analisis peserta didik terhadap lingkungan alam dan sekitarnya.

6. Ilmu pengetahuan sosial, meliputi ilmu bumi, sejarah, ekonomi, kesehatan, dan sebagainya yang dimaksud untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman, dan kemampuan analisis peserta didik terhadap kondisi sosial masyarakat.

7. Seni dan budaya, dimaksudkan untuk membentuk karakter peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa seni dan pemahaman budaya.

8. Pendidikan jasmani dan olahraga, dimaksudkan untuk membentuk karakter

(23)

peserta didik agar sehat jasmani dan rohani, dan menumbuhkan rasa sportivitas.

9. Ketrampilan atau kejuruan, dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki keterampilan.

10. Muatan lokal, dimaksudkan untuk membentuk pemahaman terhadap potensi di daerah tempat tinggalnya.

Untuk kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan oleh perguruan tinggi masing-masing untuk setiap program studi, di mana di dalamnya wajib memuat pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, dan bahasa (Saidah, 2016 : 216-218).

b. Pembelajaran Sejarah tingkat SMA dalam Kurikulum 2013.

Pembelajaran sejarah pada tingkat SMA sangat penting, karena membentuk peserta didik dengan pembentukan karakter terutama pada Kurikulum 2013 yang mengutamakan pembentukan karakter dari peserta didik. Selain itu, dalam Kurikulum 2013 fungsi dan tujuan pembelajaran sejarah sangat jelas yakni membentuk watak manusia Indonesia agar memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Sejalan fungsi dan tujuan pada Kurikulum 2013 tersebut maka salah satunya dari pembelajaran sejarah diharapkan akan membentuk manusia yang toleran dan sadar akan rasa keberagaman dan multikultural dengan mengedepankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai menyatukan berbagai keberagaman tersebut.

Agung berpendapat bahwa Kurikulum 2013 dirancang dengan karakteristik sebagai berikut :

1. Mengembangkan keseimbangan antara pengembangan sikap spiritual dan sosial, rasa ingin tahu, kreativitas, kerja sama dengan kemampuan intelektual dan psikomotor.

2. Sekolah merupakan bagian dari masyarakat yang memberikan pengalaman belajar terencana dimana peserta didik menerapkan apa yang akan dipelajari di sekolah ke masyarakat dan memanfaatkan masyarakat sebagai sumber belajar.

3. Mengembangkan sikap, pengetahuan, dan keterampilan serta menerapkan

(24)

dalam berbagai situasi di sekolah dan masyarakat.

4. Memberi waktu yang cukup leluasa untuk mengembangkan berbagai sikap, pengetahuan dan keterampilan.

5. Kompetensi dinyatakan dalam bentuk kompetensi inti kelas yang dirinci lebih lanjut dalam kompetensi dasar mata pelajaran.

6. Kompetensi inti kelas menjadi unsur pengorganisasian (organizing elements) kompetensi dasar, dimana semua kompetensi dasar dan proses pembelajaran dikembangkan untuk mencapai kompetensi yang dinyatakan dalam kompetensi inti.

7. Kompetensi dasar dikembangkan didasarkan pada prinsip akumulatif, saling memperkuat (reinforcement) dan memperkaya (enriched) antar mata pelajaran dan jenjang pendidikan (organisasi horizontal dan vertikal) (Agung , 2015)

5. Implementasi Pendidikan Multikultural a. Pengertian Implementasi

Makna implementasi menurut Daniel A. Mazmanian dan Paul Sabatier (1979) sebagaimana dikutip dalam buku Solihin Abdul Wahab (2008: 65), mengatakan bahwa: Implementasi adalah memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi kebijaksanaan yakni kejadian-kejadian dan kegiatan - kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman kebijaksanaan Negara yang mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikan maupun untuk menimbulkan akibat atau dampak yang nyata pada masyarakat dengan suatu kejadian.

Menurut Van Meter dan Van Horn (dalam Wahab, 2008: 65) Implementasi adalah tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu atau pejabat- pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan.

Menurut Friedrich (dalam Wahab 2008: 3) Kebijakan adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau

(25)

pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan- hambatan tertentu seraya mencari peluang-peluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan.

Secara sederhana implementasi bisa diartikan pelaksanaan atau penerapan.

Browne dan Wildavsky (dalam Nurdin dan Usman, 2003:7) mengemukakan bahwa implementasi adalah perluasan aktivitas yang saling menyesuaikan.

b. Implementasi Pendidikan Multikultural

Zamroni (dalam Suryana & Rusdiana 2015: 258) berpendapat pendidikan multikultural diusulkan untuk dapat dijadikan instrument rekayasa sosial melalui pendidikan formal. Artinya, institusi sekolah berperan dalam menanamkan kesadaran hidup dalam masyarakat multikultural serta mengembangkan sikap tenggang rasa dan toleransi untuk mewujudkan kebutuhan serta kemampuan bekerja sama dengan segala perbedaan yang ada.

Suryana & Rusdiana mengemukakan pendidikan multikultural dapat diberlakukan sebagai alat bantu untuk menjadikan warga masyarakat lebih toleran, bersifat inklusif, memiliki jiwa kesetaraan dalam hidup bermasyarakat, dan senantiasa berpendirian. Masyarakat secara keseluruhan akan lebih baik ketika warga masyarakat memberikan kontribusi sesuai dengan kemampuan dan kesempatan yang dimiliki bagi masyarakat sebagai keutuhan (Suryana & Rusdiana 2015: 257).

Gay (dalam Suryana & Rusdiana 2015: 257) menyatakan agar pembelajaran perlu memberikan kesempatan kepada siswa untuk mempelajari kultur masyarakat agar dapat berperan dalam meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan bagi warganya.

B. Penelitian yang Relevan

Pemaparan hasil-hasil penelitian terdahulu diperlukan untuk mendukung materi dalam penelitian ini, berikut ini akan dikemukakan beberapa hasil penelitian yang berhubungan dengan variabel-variabel yang diteliti adalah :

1. Penelitian Tutuk Ningsih dengan judul “Implementasi Pendidikan Multikultural pada Pembelajaran Pendidikan Moral”, disimpulkan bahwa

(26)

ada empat pola pembelajaran yang perlu diperhatikan di sekolah, yaitu: (1).

penyusunan program, (2). strategi pembelajaran, (3). proses pembelajaran, (4). valuasi pembelajaran

.

Keempat pola tersebut, perbedaan antar individu dapat dikembangkan sebagai suatu kekuatan kelompok dan peserta didik terbiasa hidup dengan berbagai keragaman budaya, sosial, ekonomi, intelektual dan aspirasi politik.

2. Penelitian Moses kollo dengan judul “Integrasi Pendidikan Multikultural dalam Pembelajaran Sejarah (Studi Kasus pada SMA Kristen Mercusuar Kupang)”, disimpulkan bahwa pelaksanaan pembelajaran sejarah sudah mengintegrasikan pendidikan multikultural yakni guru dalam pembelajaran selalu memberikan perlakuan yang sama terhadap siswa serta guru selalu menghimbau agar siswa saling berbaur dan menerima antar sesama siswa dari berbagai latar belakang agama, suku, etnis, bahasa, dan adat istiadat.

Namun dalam integrasi pendidikan multikultural tersebut kurang maksimal.

3. Penelitian Rizki Agung Novariyanto dengan judul “Model Pembelajaran Sejarah Berbasis Multikultural untuk Menguatkan Nilai Nasionalisme (Studi Kasus Mahasiswa Sejarah Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi)” yang menyimpulkan bahwa Ada pengaruh penerapan model pembelajaran sejarah berbasis multikultural dalam penguatan nilai nasionalisme dalam diri mahasiswa sejarah. Berkaitan dengan ketuntasan belajar, model pembelajaran sejarah berbasis multikultural sangat efektif dalam meningkatkan prestasi belajar mahasiswa sejarah.

4. Penelitian Aulia Fitriany dengan Judul Analisis Nilai-Nilai Multikultural dalam Pendidikan Sejarah ( Studi Kasus di Madrasah Aliyah Pondok Pesantren Darut Taqwa Purwosari Pasuruan), disimpulkan bahwa dalam pembelajaran sejarah pada Madrasah Aliyah Pondok Pesantren Darut Taqwa menggunakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, dan meimplementasikan nilai-nilai multikultural terhadap pembelajaran sejarah.

(27)

5. Jurnal yang ditulis oleh Abdullah Aly dengan judul Studi Deskriptif Tentang Nilai-Nilai Multikultural Dalam Pendidikan di Pondok Pesantren Modern Islam Assalaam yang menjelaskan pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang tertua dan berpengaruh di Indonesia, berdasarkan studi deskriptif dalam artikel ini, ternyata telah mengenal dan mengajarkan nilai-nilai multikultural inti diatas kepada para santri. Nilai- nilai ini bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits Nabi, yang diolah dan ditulis oleh para ulama Indonesia pada masa lalu dalam bentuk kitab- kitab kuning, dan menjadi kurikulum pendidikan di sebagain besar pesantren di Indonesia.

6. Jurnal yang ditulis oleh Andik Wahyu Muqoyyidin dengan judul Membangun kesadaran inklusif multikultural untuk deradikalisasi pendidikan Islam yang menyatakan masih banyaknya aksi terorisme di bumi Indonesia merupakan bukti konkrit penggunaan pendekatan keamanan saja tidak cukup efektif untuk membasmi terorisme dan radikalisme Islam hingga akar-akarnya. Berbagai pendekatan penanganan terorisme dan radikalisme Islam lainnya harus pula senantiasa diupayakan. Salah satunya adalah dengan program deradikalisasi melalui pendidikan Islam bernuansa inklusif multikultural. Dalam hal ini perlu memperhatikan faktor kurikulum, pendidik, dan strategi pembelajaran yang digunakan pendidik.

7. Jurnal yang ditulis oleh Wasino dengan judul Indonesia: Dari Pluralisme To Multikulturalisme yang menjelaskan karena kurang pemahaman multikultural, masalah hubungan yang seperti ras, etnis, agama, dan di antara kelompok-kelompok di masyarakat Indonesia sering ditunjukkan oleh hubungan yang kurang harmonis berdasarkan ikatan primordial primer.

Hal ini sering membuat sikap intoleransi dan konflik sosial. Perlu untuk meningkatkan pemahaman multikultural dan kesadaran. Pada tingkat makro, itu harus menjadi keinginan politik dari pemerintah dan negara untuk menerapkan multikulturalisme. Pada tingkat mikro, harus sosialisasi

(28)

pemahaman multikultural dan kesadaran seluruh masyarakat Indonesia, di daerah, termasuk melalui pendidikan formal.

8. Jurnal yang ditulis oleh Akhmad Arif Musadad dengan judul Model Manajemen Pembelajaran Sejarah Terintegrasi Pendidikan Multikultural Untuk Membangun Wawasan Kebangsaan yang menunjukkan dengan hasil penelitian bahwa wawasan kebangsaan di kalangan siswa relatif rendah, guru kurang mampu mengelola pembelajaran sejarah, hal itu teridentifikasi dari rendahnya kemampuan merencanakan, mengorganisasikan, dan mengevaluasi pembelajaran, guru sangat membutuhkan model manajemen pembelajaran sejarah terintegrasi pendidikan multikultural dan model manajemen pembelajaran sejarah terintegrasi pendidikan multikultural terdiri atas langkah-langkah perencanaan pembelajaran, pengorganisasian pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran

9. Jurnal internasional yang ditulis Teresa A. Wasonga dalam jurnalnya yang berjudul Multikultural pengetahuan pendidikan, sikap dan kesiapan untuk keragaman yang disimpulkan bahwa kelas dalam pendidikan multikultural secara signifikan meningkatkan pengetahuan tentang keragaman, sikap terhadap multikulturalisme, dan tingkat kesiapan untuk mengajar anak-anak dari berbagai latar belakang. Tidak ada hubungan antara pengetahuan dan sikap multikultural serta antara sikap dan kesiapan untuk mengajar anak- anak dari berbagai latar belakang.

10. Jurnal Internasional yang ditulis Stanley C. Treent and Alfredo J. Artiles yang berjudul “ Multicultural Teacher Education in Special And Bilingual Education: Eksploring Multiple Measurement Strategies To Assess Teacher Learning” . Remedial and Special Education. Dalam penelitian tersebut berfokus pada dampak yang dihasilkan dari sebuah pendidikan multikultural yang diajarkan di Michigan State University (MSU) dan University of California Los Angles (UCLA).

11. Jurnal internasional yang ditulis Jeena Min Shim yang berjudul :

(29)

Multicultural education as an emotional situation: practice encountering the unexpected in teacher education. Dalam penelitian tersebut program pendidikan guru, kursus mengajar yang multikultural berorientasi, ada banyak kali lain ketika penulis menjadi sangat rentan terhadap murid- muridnya 'komentar dan pertanyaan.

12. Jurnal internasional yang ditulis Robsan Margo Egne yang berjudul Representation of the Ethiopian Multicultural Society in Secondary Teacher Education Curricula. Dalam penelitian tersebut mengatakan Masalah pendidikan multi etnis dan multikultural yang tinggi pada agenda di seluruh dunia, terutama dalam sistem pendidikan guru dari negara-negara yang ditandai dengan keragaman.

13. Jurnal internasional yang ditulis oleh Sidney C. Li dengan judul Advancing Multicultural Education: New Historicism in the High School English Classroom Dalam penelitian tersebut mengatakan kurikulum multikultural yang lebih ketat untuk siswa akan membayar dividen dalam memperkuat kemampuan intelektual dan sosial dari siswa global dan warga.

14. Jurnal internasional yang ditulis MA Dana Likeschová, Ph.D. a, Assoc.

Prof. Alena Ticha, M.Sc., Ph.D. b dengan judul Multicultural education, creativity and innovation at universities in the Czech Republic. Dalam penelitian tersebut mengatakan Republik Ceko merasa sangat kuat kebutuhan akses sistematis untuk membangun sistem pendidikan pada semua tingkatan. Pada saat yang sama perlu untuk mempertimbangkan tingkat yang diperlukan pendidikan tentang pengetahuan teoritis ditambah keterampilan praktis.

15. Jurnal internasional yang ditulis Tatiana Voronchenkoa, Tatiana Klimenkob dan Irina Kostinab dengan judul Learning To Live In A Global World:

Project-Based Learning In Multicultural Student Groups As A Pedagogy Of Tolerance Strategy yang mengatakan Toleransi yang diajarkan melalui pembelajaran berbasis proyek mendefinisikan pilihan lebih lanjut dari

(30)

strategi kerjasama, menghormati contoh perbedaan pendapat, memahami fenomena sosial yang berbeda. Dengan demikian, pembelajaran berbasis proyek menghasilkan kompetensi profesional tidak hanya, tetapi budaya toleran terhadap orang yang akan siap untuk secara positif mengubah masyarakat dunia.

16.Jurnal internasional yang ditulis oleh Kim Fong Poon-McBrayera dengan judul A Call for Multicultural Special Education in Hong Kong: Insights from a Case Study menjelaskan guru Hong Kong telah ditemukan untuk memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam aspek-aspek ini, isu persiapan guru untuk lingkungan CLD belum ditangani. Untuk saat ini, pendidikan khusus bilingual atau multikultural pada dasarnya tidak pernah terjadi di Hong Kong. Dengan demikian, menyerukan kebijakan mengintegrasikan pendidikan guru khusus dan multikultural seperti yang dilakukan di banyak negara Barat.

17.Jurnal internasional yang ditulis oleh Hasan Jashari dengan judul Multicultural education and the treatment of others in schoolbooks yang menjelaskan isu-isu yang harus dilakukan dengan pendidikan multikultural di Makedonia dan tantangan organisasi di bawah kondisi demokrasi dan hubungan antaretnis rumit. Makedonia, sebagai negara multietnis dan multi- agama, setelah tahun 1991 mencoba untuk memperkaya pendidikan generasi muda dengan paradigma baru dari masyarakat demokratis. Salah satu fitur tersebut adalah keragaman, rasa hormat dari perbedaan dan masuknya orang lain dalam proses yang berbeda.

18.Jurnal internasional yang ditulis oleh Shalva Tabatadze dengan judul Teachers’ approaches to multicultural education in Georgian classrooms

yang berisi mengeksplorasi strategi pendidikan multikultural yang digunakan oleh guru sekolah dasar di Georgia. Desain / metodologi / pendekatan. Dalam wawancara mendalam dengan 65 guru sekolah dasar.

Wawancara dianalisis dengan menggunakan kerangka teoritis pendekatan

(31)

pendidikan multikultural yang didefinisikan oleh James Banks.

19. Dari kedelapan belas penelitian yang relevan tersebut, belum terdapat penelitian yang membahas tentang implementasi pendidikan multikultural dalam pembelajaran sejarah tingkat sekolah menengah atas khususnya Kota Surakarta. Maka pada kesempatan ini peneliti membahas tentang implementasi pendidikan multikultural dalam pembelajaran sejarah di SMA Negeri 3 Surakarta. Tahapan kajian mulai dari pemahaman guru, latar belakang sosiokultural siswa, perencanaan, implementasi dan dampak implementasi pendidikan multikultural dalam pembelajaran sejarah di SMA Negeri 3 Surakarta.

B. Kerangka Berpikir

Kerangka berpikir ini mempunyai fungsi penting untuk digunakan peneliti sebagai pedoman saat melakukan penelitian dan pengumpulan data, selain itu bertujuan untuk memudahkan peneliti untuk melakukan kegiatan yang sistematis.

Sejalan dengan hal tersebut kerangka berfikir juga memberikan gambaran mengenai keterkaitan antar variabel yang diteliti serta dapat memberikan sebuah gambaran yang berkesinambungan.

(32)

Gambar 1. Skema Kerangka Berpikir

Keterangan :

Mengacu pada kerangka berpikir diatas maka dapat dijelaskan bahwa dalam penelitian ini peneliti mengamati Kurikulum 2013, kemudian peneliti melihat pendidikan multikultural yang mengintegrasikan dengan pembelajaran sejarah, selanjutnya peneliti akan melihat implementasi pendidikan multikultural. Kemudian peneliti akan mengamati Implementasi pendidikan multikultural dalam pembelajaran sejarah di SMA Negeri 3 Surakarta.

Pendidikan Multikultural

Pembelajaran Sejarah

Implementasi Pendidikan Multikultural

Implementasi Pendidikan Multikultural dalam Pembelajaran Sejarah di SMA Negeri 3 Surakarta

Kurikulum 2013

Referensi

Dokumen terkait

Pelaksanaan penempatan pegawai sudah dilaksanakan dengan baik namun masih perlu diperhatikan persyaratan kese- suaian antara minat, bakat, pengetahuan, keterampilan

Pembelajaran aktif adalah belajar yang meliputi berbagai cara untuk siswa aktif sejak awal melalui aktivitas-aktivitas yang membangun kerja kelompok dan dalam

Setiap rumah tangga (keluarga) menempati bilik (ruangan) yang di sekat-sekat dari rumah Panjang yang besar tersebut, di samping itu pada umumnya suku Dayak juga

Dalam penerapan model Make a Match proses pembelajaran mempunyai keunggulan dan dipastikan dapat meningkatkan hasil belajar, keunggulanya; siswa bekerjasama dalam

Masyarakat Aceh menganggap bahwa syair yang didendangkan dan dikaitkan dengan ajaran agama merupakan sebuah panutan yang harus dipatuhi dan dijalankan dalam

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk memahami resiliensi ekonomi rumah tangga petani dalam pengelolaan Ume Talang di Desa Lebung Gajah Kecamatan Tulung

Tahap mengumpulkan data yang perlu dilaksanakan, yaitu membuat rencana atau scenario dalam penelitian, menentukan latar atau tempat untuk melakukan penelitian,

Hasil analisis penelitian menunjukkan bahwa persepsi kemudahan berpengaruh negatif terhadap niat dalam melakukan pembayaran menggunakan metode Go-Pay pada aplikasi