• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

6 BAB II LANDASAN TEORI

2.1. Pengertian Sampah

Menurut UU No 18 Tahun 2008 Pasal 1 ayat 1, sampah secara umum dapat diartikan sebagai bahan buangan yang tidak disenangi dan tidak diinginkan orang, dimana sebagian besar merupakan bahan atau sisa yang sudah tidak dipergunakan lagi dan akan menimbulkan gangguan terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan. Sampah adalah sisa-sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat.

2.1.1. Jenis Sampah

Menurut Damanhuri (2010) jenis sampah dapat dikelompokkan berdasarkan cara penanganan dan pengolahannya, yaitu

a). Sampah yang mudah membusuk (putrescible): sampah rumah tangga, sayuran, buah-buahan, kotoran binatang, bangkai, dan lain-lain

b). Komponen bervolume besar dan mudah terbakar (bulky combustible):

kayu, kertas, kain plastik, karet, kulit dan lain-lain

c). Komponen bervolume besar dan sulit terbakar (bulky noncombustible):

logam, mineral, dan lain-lain

d). Komponen bervolume kecil dan mudah terbakar (small combustible) e). Komponen bervolume kecil dan sulit terbakar (small noncombustible) f). Wadah bekas: botol, drum dan lain-lain

g). Tabung bertekanan/gas

h). Serbuk dan abu: organik (misal pestisida), logam metalik, non metalik, bahan amunisi dan sebagainya

i). Lumpur, baik organik maupun non organik j). Puing bangunan

k). Kendaraan tak terpakai l). Sampah radioaktif.

(2)

Di Indonesia, penggolongan sampah yang sering digunakan adalah sebagai (a) sampah organik, atau sampah basah, yang terdiri atas daun-daunan, kayu, kertas, karton, tulang, sisa-sisa makanan ternak, sayur, buah, dan lain-lain, (b) sampah anorganik, atau sampah kering yang terdiri atas kaleng, plastik, besi dan logam- logam lainnya, gelas dan mika. Terkadang kertas dimasukkan dalam kelompok ini.

2.1.2. Sumber Sampah

Menurut Damanhuri (2010) sumber sampah dari perkotaan yang dikelola pemerintah Indonesia dapat dikategorikan sebagai berikut:

a). Sampah dari Rumah Tinggal

Sampah dari rumah tinggal ini merupakan sampah yang dihasilkan dari kegiatan atau lingkungan rumah tangga atau sering disebut dengan istilah sampah domestik. Dari sumber ini contoh sampah yang dihasilkan seperti sisa makanan, kain, kertas, daun, logam kaca, dan lain-lain. Selain itu juga dapat digolongkan sampah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) seperti: obat-obatan, baterai, oli bekas, dan lain-lain.

b). Sampah dari Daerah Komersial

Sumber sampah ini berasal dari pertokoan, pasar, hotel, perkantoran, dan lain-lain. Sampah yang dihasilkan seperti: kertas, kayu, sisa makanan, sayur, logam, makanan yang mudah membusuk, dan lain-lain.

c). Sampah dari Perkantoran/Institusi

Sampah ini bersumber pada perkantoran, lembaga pemasyarakatan, rumah sakit, dan lain-lain.

d). Sampah dari Jalan/Taman dan Tempat Umum

Sampah yang dihasilkan dari jalan/taman dan tempat umum seperti daun dari pohon, plastik, kertas, pasir/lumpur, dan lain-lain yang dihasilkan dari tempat seperti taman, drainase perkotaan, tempat wisata, dan lain- lain.

e). Sampah dari Industri dan Rumah Sakit yang Sejenis Sampah Kota Meliputi tempat seperti industri dan rumah sakit yang juga menghasilkan sampah domestik seperti sisa makanan, plastik, kertas, dan lain-lain.

(3)

Dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah sampah lain atau khusus tersebut tidak masuk bersama sistem pengelolaan sampah kota.

2.2. Timbulan Sampah

Menurut SNI 19-2454 Tahun 2002, timbulan sampah diartikan banyaknya sampah yang timbul dari masyarakat dalam satuan volume maupun berat per kapita per hari, atau perluas bangunan atau perpanjang jalan. Timbulan sampah ini merupakan sampah yang dihasilkan dari sumber sampah. Timbulan sampah sangat diperlukan untuk menentukan dan mendesain peralatan yang digunakan dalam transportasi sampah, fasilitas recovery material, dan fasilitas lokasi pembuangan akhir sampah.

Menurut Damanhuri (2010) jumlah timbulan sampah akan bervariasi dari hari ke hari antara satu daerah dengan daerah lainnya dan antara satu negara dengan negara lainnya. Perbedaan variasi ini terutama disebabkan oleh:

a). Jumlah penduduk dan tingkat pertumbuhan penduduk.

b). Tingkat hidup: Makin tinggi tingkat hidup masyarakat, maka semakin besar jumlah timbulan sampah yang dihasilkan.

c). Musim: Di negara barat, timbulan sampah akan mencapai angka minimum pada musim panas.

d). Cara hidup penduduk dan mobilitas penduduk.

e). Iklim: Di negara barat, debu hasil pembakaran alat pemanas akan bertambah pada musim dingin.

f). Cara penanganan makanan.

Menurut Damanhuri (2010), pada SNI 19-3964-1995 apabila survei belum tersedia atau tidak memungkinkan, maka dalam menghitung besaran sistem ini dimana besaran timbulan sampah tersebut didasarkan pada klasifikasi kota, dapat digunakan angka timbulan sampah sebagai berikut:

• Satuan timbulan sampah kota besar = 2 – 2,5 L/orang/hari, atau = 0,4 – 0,5 kg/orang/hari

• Satuan timbulan sampah kota sedang/kecil = 1,5 – 2 L/orang/hari, atau = 0,3 – 0,4 kg/orang/hari

(4)

Adapun besaran timbulan sampah yang dapat diklasifikasikan berdasarkan komponen – komponen sumber sampah yang tersaji pada Tabel 2.1.

Tabel 2. 1 Besaran Timbulan Sampah Berdasarkan Komponen – komponen Sumber Sampah No Komponen Sumber Sampah Satuan Volume (liter) Berat (kg)

1 Rumah permanen per orang/hari 2,25 – 2,50 0,350 – 0,400 2 Rumah semi permanen per orang/hari 2,00 – 2,50 0,300 – 0,350 3 Rumah non permanen per orang/hari 1,75 – 2,00 0,250 – 0,300

4 Kantor per pegawaihari 0,50 – 0,75 0,025 – 0,100

5 Toko/ruko per petugas/hari 2,50 – 3,00 0,150 – 0,350

6 Sekolah per murid/hari 0,10 – 0,15 0,010 – 0,020

7 Jalan arteri sekunder per meter/hari 0,10 – 0,15 0,020 – 0,100 8 Jalan kolektor sekunder per meter/hari 0,10 – 0,15 0,010 – 0,050

9 Jalan lokal per meter/hari 0,05 – 0.1 0,005 – 0,025

10 Pasar per meter2/hari 0,20 – 0,60 0,100 – 0,300

Sumber : SNI 19-3983-1995

2.2.1. Analisis Proyeksi Timbulan Sampah

Karena timbulan sampah dari sebuah kota sebagian besar berasal dari rumah tangga, maka untuk perhitungan secara cepat satuan timbulan sampah tersebut dapat dianggap sudah meliputi sampah yang ditimbulkan oleh setiap orang dalam berbagai kegiatan dan berbagai lokasi, baik saat di rumah, jalan, pasar, hotel, taman, kantor dan sebagainya. Namun semakin besar sebuah kota, maka semakin mengecil porsi sampah dari permukiman, dan semakin membesar porsi sampah non- permukiman, sehingga asumsi tersebut diatas perlu penyesuaian.

Dalam penentuan timbulan sampah ini hasil dari analisis tersebut dipengaruhi oleh jumlah penduduk. Hal tersebut dapat didasarkan pada jumlah sampah yang dihasilkan per-harinya. Sehingga untuk mendapatkan timbulan sampah yang diinginkan sesuai perencanaan, maka perlu dilakukan proyeksi jumlah penduduk untuk beberapa tahun kedepan sesuai daerah pelayanan TPA ini.

Menurut Dirjen Cipta Karya, Direktorat Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman (2016), terdapat ketentuan teknis dalam survei jumlah penduduk. Survei penduduk ini dapat dikategorikan wilayahnya sesuai jumlah penduduk seperti yang tersaji dalam Tabel 2.2 berikut ini

(5)

Tabel 2. 2 Kategori Wilayah

No Kategori Wilayah Jumlah Penduduk (jiwa) Jumlah Rumah (buah)

1 Kota Metropolitan > 1.000.000 > 200.000

2 Kota Besar 500.000 – 1.000.000 100.000 – 200.000

3 Kota Sedang 100.000 – 500.000 20.000 – 100.000

4 Kota Kecil 10.000 – 100.000 2.000 – 20.000

5 Desa 3.000 – 10.000 600 – 2.000

Sumber : Dirjen Cipta Karya, Direktorat Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman (2016)

Perhitungan pertambahan penduduk dapat menggunakan salah satu metode aritmatik, geometrik, dan least square. Untuk mengetahui metode mana yang mendekati kebenaran dalam perhitungan proyeksi jumlah penduduk, yaitu dengan perhitungan standar deviasi atau koefisien korelasi. Untuk koefisien korelasi perhitungan proyeksi jumlah penduduk, metode yang dipilih apabila hasilnya mendekati 1. Berikut formula untuk menghitung standar deviasi

𝑠 = √𝛴(𝑋 − 𝑋̅)2

𝑛 − 1 , 𝑎𝑝𝑎𝑏𝑖𝑙𝑎 𝑛 > 20 (2.1)

𝑠 = √𝛴(𝑋 − 𝑋̅)2

𝑛 , 𝑎𝑝𝑎𝑏𝑖𝑙𝑎 𝑛 = 20 (2.2) Dimana :

s = Standar deviasi

X = Variabel independen X (jumlah penduduk)

̅X = Rata – rata X n = Jumlah data

Berikut metode yang digunakan dalam perhitungan proyeksi pertumbuhan penduduk.

2.2.1.1. Metode Aritmatik

Metode ini digunakan dengan asumsi apabila pertambahan jumlah penduduk akan sama dalam setiap tahunnya (Badan Pusat Statistik, 2010). Proyeksi pertumbuhan penduduk metode aritmatik menggunakan formula :

(6)

𝑃𝑡 = 𝑃𝑜 (1 + 𝑟𝑡) (2.3) Dimana :

Pt = Jumlah penduduk pada tahun t Po = Jumlah penduduk pada tahun dasar r = Laju pertumbuhan penduduk

t = Periode waktu antara tahun dasar dan tahun t (dalam tahun)

2.2.1.2. Metode Geometrik

Metode geometrik memiliki asumsi dalam proyeksi penduduk apabila jumlah penduduk bertambah secara geometrik (Adioetomo dan Samosir, 2010).

Berikut persamaan yang digunakan dalam metode geometrik : 𝑃𝑛 = 𝑃𝑜 (1 + 𝑟)𝑛 (2.4) Dimana :

Pn = Jumlah penduduk pada tahun ke n Po = Jumlah penduduk pada tahun dasar r = Laju pertumbuhan penduduk n = Jumlah interval tahun

2.2.1.3. Metode Least Square

Metode ini dapat dikatakan metode yang objektif. Ektrapolasi (diperluas untuk masa lampau atau masa yang akan datang) dapat digunakan dari hasil persamaan yang didapat pada metode ini.

𝑃𝑛 = 𝑎 + 𝑏𝑥 (2.5) Dimana :

Pn = Jumlah penduduk pada tahun ke n x = Beda yang dihitung pada tahun dasar a = Konstanta

b = Koefisien arah regresi linear

(7)

Adapun nilai a dan b didapat menggunakan persamaan berikut ini 𝑎 = 𝛴𝑌 . 𝛴𝑋2− 𝛴𝑋 . 𝛴𝑌

𝑛 . 𝛴𝑋2 − (𝛴𝑋)2 (2.6) 𝑏 = 𝑛 . Σ𝑋. 𝑌 − Σ𝑋 . Σ𝑌

𝑛 . Σ𝑋2− (Σ𝑋)2 (2.7)

Apabila nilai konstanta b telah dihitung, maka untuk mencari nilai a dapat menggunakan formula di bawah ini (Permen PU, 2013) :

𝑎 = 𝑌̅ − 𝑏𝑋̅ (2.8)

Dimana nilai ̅Y dan ̅X merupakan rata – rata variabel Y dan X.

2.3. Proyeksi Ketersedian Lahan TPA

Dalam perencanaan TPA pada umumnya perlu direncanakan lahan untuk menampung sampah yang masuk TPA dimana sampah tersebut ditampung pada sel/zona sampah. Semakin besar penduduk suatu daerah dalam pelayanan TPA tersebut maka semakin besar kebutuhan lahan TPA yang digunakan.

Menurut Direktorat Jendral Cipta Karya, Direktorat Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman (2016), tampungan minimum suatu TPA yaitu 5 tahun operasi. Sehingga perlu metode untuk menampung lebih banyak sampah di suatu TPA. Metode tersebut seperti kepadatan sampah, dimensi lahan urug sampah, jenis lahan urug yang dipakai, dan lain – lain. Dalam operasional suatu TPA perlu diperhitungkan kebutuhan lahan jangka panjang minimal 20 tahun (Dirjen Cipta Karya, Direktorat Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman, 2016).

Adapun perhitungan awal kebutuhan lahan TPA yang ada dibawah ini : 𝐿 = 𝑉 . 300

𝑇 . 0,7 . 1,15 (2.9) Dimana :

L = Luas lahan yang dibutuhkan setiap tahun (m2) V = Volume sampah yang dipadatkan (m3)

Dimana nilai V = A . E (A = volume sampah, E = tingkat kepadatan sampah (kg/m3)

T = Ketinggian timbunan yang direncanakan (m)

(8)

Sementara itu untuk kebutuhan luas lahan tanah pada TPA dapat menggunakan pendekatan berikut ini :

𝐻 = 𝐿 . 𝐼 . 𝐽 (2.10) Dimana :

H = Luas total lahan (m2) L = Luas lahan setahun I = Umur lahan (tahun)

J = Rasio luas lahan total dengan luas lahan efektif

2.4. Air Lindi

Menurut Tchobanoglous (1993) air lindi atau leachate dapat didefinisikan berupa cairan yang terserap melalui limbah padat akibat sampah itu sendiri maupun pengaruh luar dan telah tersuspensi.

Sementara itu menurut Damanhuri (2010) lindi atau leachate dapat didefinisikan berupa cairan yang muncul akibat pengaruh dari eksternal dari timbunan sampah. Lebih jelasnya cairan dari timbunan sampah tersebut membawa materi terlarut atas hasil dekomposisi sampah.

2.4.1. Mekanisme Pembentukan Air Lindi

Menurut Vesilind, Worrell, dan Reinhart (2002) lindi yang dihasilkan dapat diperkirakan menggunakan data empiris atau menggunakan neraca air dimana neraca air dipengaruhi atas keseimbangan dari curah hujan, evapotranspirasi, limpasan permukaan, dan kelembaban tanah. Sebuah studi menemukan bahwa pada tempat pembuangan sampah di daerah basah, lindi yang dihasilkan sebesar 11.200 – 14.000 liter/ha/hari pada fase aktif, 4.700 liter/ha/hari saat ditutup sementara dan 930 liter/ha/hari saat ditutup pada fase akhir, sedangkan pada tempat pembuangan sampah di daerah kering hanya menghasilkan 9 hingga 60 liter/ha/hari. Berdasarkan studi tersebut dapat dikatakan bahwa kondisi iklim secara signifikan mempengaruhi produksi lindi.

Penggunaan neraca air harus terdapat data spesifik lokasi untuk mengetahui volume airnya, seperti yang tersaji pada Gambar 2.1. Sebagian kecil air dari

(9)

presipitasi (bergantung pada karakteristik limpasan serta jenis dan kondisi tanah) akan meresap melalui lapisan tanah penutup, dan sebagian kecil air menguap melalui evapotranspirasi. Apabila perkolasi yang terjadi melebihi evapotranspirasi dalam waktu yang cukup lama, air yang tertampung pada tanah (kapasitas lapang) akan terlampaui. Kapasitas lapang atau field capacity sendiri merupakan kelembaban maksimum yang dapat ditahan oleh tanah (atau bahan lain seperti sampah) tanpa adanya perkolasi ke bawah terus menerus akibat gravitasi.

Gambar 2. 1 Skema Komponen Neraca Air pada TPA (Vesilind, Worrell dan Reinhart, 2002)

Tanah di atas penampungan sampah yang tidak terdapat tumbuhan, pada akhirnya mencapai kapasitas lapangnya sehingga kelebihan air yang ada dapat menggantikan kelembaban yang ada dalam tanah. Apabila di atas tanah penampungan sampah tersebut terdapat tanaman, air tersebut dapat diekstrak oleh tumbuhan dan melepaskannya melalui evapotranspirasi, sehingga tidak terjadinya kapasitas lapang.

Lapisan campuran tanah dan sampah pada TPA yang dipadatkan juga memiliki kapasitas lapang atau kemampuan menahan kelembapan. Apabila lapisan campuran tersebut melebihi kapasitas lapangnya, cairan yaitu lindi akan turun

(10)

menuju lapisan di bawahnya. Campuran tersebut jika tidak melampaui kapasitas lapangnya, air yang terkumpul tidak akan turun ke lapisan yang lebih dalam.

Saat timbunan sampah pada sel telah tertutup sempurna, sedangkan kapasitas lapang dari timbunan tanah dan sampah tersebut berlebih maka air akan merembes melalui tanah dan sampah. Kemudian air lindi tersebut akan terkumpul pada saluran dalam sistem pengolahan lindi. Neraca air merupakan cara untuk menghitung seberapa banyak kapasitas lapangan terlampaui, sehingga dapat digunakan juga untuk menghitung produksi lindi pada lokasi TPA tersebut.

Beberapa estimasi yang ditemukan dapat digunakan untuk pengembangan perhitungan yang diperlukan. Misalnya dalam perkiraan tanah dan lereng yang berbeda diperlukan koefisien limpasan permukaan. Curah hujan dapat diambil dari stasiun cuaca pada daerah terdekat. Evapotranspirasi dapat juga diambil dari stasiun cuaca atau dapat dihitung dengan menggunakan metode neraca air, dimana metode tersebut memperhitungkan bahwa evapotranspirasi berkurang saat kelembapan tanah turun.

2.4.2. Komposisi Lindi

Menurut Tchobanoglous (1993) pada saat air merembes melalui limbah padat yang telah mengalami dekomposisi, baik bahan biologis maupun bahan kimia akan larut pada cairan tersebut. Komposisi lindi dapat bervariasi terutama pada komposisi bahan kimia. Komposisi kimia dari lindi dapat sangat bervariasi bergantung pada usia TPA dan kejadian sebelumnya. Usia dari TPA menandakan bahwa umur sampah yang ada pada lokasi tersebut berbeda. Selain itu faktor ekternal seperti cuaca dan iklim dapat mempengaruhi komposisi dari lindi ini.

Akibatnya komposisi lindi pada sel yang lama dan sel yang baru maupun TPA baru dengan TPA yang lama akan berbeda. Selanjutnya lindi yang dihasilkan dan terkumpul setiap saat merupakan campuran dari lindi yang berasal dari limbah padat dengan umur yang berbeda. Sebagai contoh tipikal komposisi lindi dari limbah padat yang baru dan lama tersaji dalam Tabel 2.3 di bawah ini.

(11)

Tabel 2. 3 Data Komposisi Lindi pada TPA Baru dan TPA Lama

Parameter Baru/Kurang dari 2 Tahun Lama/Lebih dari 10 Tahun (mg/L) Kisaran (mg/L) Tipikal (mg/L)

BOD 2.000 – 30.000 10.000 100 – 200

COD 3.000 – 60.000 18.000 100 – 500

TSS 200 – 2.000 500 100 – 400

TOC 1.500 – 20.000 6.000 80 – 160

pH 4,5 – 7,5 6 6,6 – 7,5

Nitrat 5 – 40 25 5 – 10

Alkali 1.000 – 10.000 3.000 200 – 1.000

Magnesium 50 – 1.500 250 50 – 200

Sulfat 50 – 1.000 300 20 – 50

Total besi 50 – 1.200 60 20 – 200

Sumber : Tchobanoglous, Theisen, Vigil, (1993)

Sesuai dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (2016), baku mutu lindi dapat ditetapkan masing – masing daerah sesuai kondisi dan kebutuhan. Dalam hal ini penetapan baku mutu lindi atas kajian ilmiah masing – masing pemerintah daerah. Kajian ilmiah yang dimaksud meliputi ketersediaan teknologi terbaik, karakteristik lingkungan, karakteristik sampah dan rekomendasi baku mutu lindi terbaru. Sesuai dengan peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia No. 59 tahun 2016, baku mutu lindi ditetapkan sebagai berikut yang tersaji pada tabel di bawah ini

Tabel 2. 4 Baku Mutu Lindi

Parameter Kadar Paling Tinggi

Nilai Satuan

pH 6 – 9 -

BOD 150 mg/L

COD 300 mg/L

TSS 100 mg/L

N Total 60 mg/L

Merkuri 0,005 mg/L

Kadmium 0,1 mg/L

Sumber : Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia, 2016

2.4.3. Perhitungan Debit Lindi

Menurut Direktorat Jendral Cipta Karya, Direktorat Pengembang Penyehatan Lingkungan Permukiman (2016) lindi yang timbul dapat diperkirakan dengan metode Water Balance atau metode Neraca Air. Metode ini didasari oleh asumsi bahwa lindi hanya dihasilkan dari curah hujan yang berhasil meresap masuk ke dalam timbulan sampah (perkolasi). Faktor-faktor yang berpengaruh dalam metode ini adalah:

(12)

1. Air dari atas, yaitu hujan yang jatuh ke permukaan lapisan sanitary landfill sehingga terjadi infiltrasi ke dalam landfill. Besarnya infiltrasi tergantung pada koefisien pengaliran pada tanah penutup.

2. Air dari sampah, yaitu air dari kelembaban sampah yang berasal dari absorbsi kandungan air dalam udara atau dari hujan.

3. Air lapisan penutup, yaitu kelembaban lapisan penutup yang tergantung terhadap jenis, sumber bahan penutup dan musim tiap tahunnya.

4. Air yang terpakai selama proses dekomposisi bahan – bahan organik dalam sampah.

5. Air yang keluar dari bawah permukaan lindi yang dihasilkan oleh sanitary landfill.

6. Air yang hilang akibat penguapan gas landfill.

Dalam perencanaan pengolahan lindi perhitungan debit lindi dapat menggunakan persamaan di bawah ini, khususnya pada TPA yang menggunakan tipe Sanitary Landfill (Damanhuri, 1993 dalam Dirjen Cipta Karya, Direktorat Pengembangan Penyehatan Lingkungan Pemukiman, 2018). Berikut persamaan yang dapat digunakan dalam perhitungan debit lindi :

𝐿 = 𝑃 − (𝐸 + 𝑇 + 𝑅𝑜) (2.11) Dimana :

L = Lindi (mm/hari)

P = Presipitasi dari hujan tahunan (mm/hari) E = Evaporasi (mm/hari)

T = Transpirasi (mm/hari)

𝑄 = 𝐿 . 𝐴 (2.12) Dimana :

Q = Debit lindi (m3/hari) A = Luas area (m2) L = Lindi (mm/hari)

Selain itu terdapat pendekatan lain dalam menentukan debit lindi yang ada.

Hal ini dilakukan menggunakan curah hujan tahunan dan perhitungan aliran permukaan. Curah hujan yang dipakai yaitu curah hujan rata – rata tahunan dan

(13)

lebih baik menggunakan data curah hujan kurun waktu 10 tahun. Hasil penelitian secara empiris, curah hujan terbagi menjadi dua, yaitu 60% akan terinfiltrasi dan 40% akan menjadi aliran permukaan atau run off.

2.4.4. Metode Neraca Air

Menurut Damanhuri (2008) lindi yang timbul setelah pengoperasian selesai, dapat diperkirakan dengan menggunakan suatu metode yang disebut Metode Neraca Air (Water Balance Method). Metode ini didasari oleh asumsi bahwa lindi hanya dihasilkan dari curah hujan yang berhasil meresap masuk ke dalam timbunan sampah (perkolasi). Beberapa sumber lain seperti hasil dekomposisi sampah, infiltrasi muka air tanah, dan aliran air permukaan lainnya dapat diabaikan. Faktor- faktor yang berpengaruh terhadap kuantitas perkolasi dalam Metode Neraca Air ini adalah presipitasi, evapotranspirasi, surface run-off, dan soil moisture storage.

Gambar 2. 2 Neraca Air Sumber : Damanhuri (2010)

Neraca air digunakan dengan menggunakan massa air yang memasuki suatu satuan luas dari lapisan tertentu timbunan selama kenaikan waktu tertentu ke kadar air tersebut pada akhir kenaikan waktu sebelumnya, dan pengurangan massa air yang hilang dari lapisan selama penambahan waktu saat ini untuk lapisan tertentu pada timbunan sampah. Untuk mengetahui apakah terdapat lindi yang terbentuk, dapat membandingkan kapasitas lapang timbunan dengan jumlah air yang ada saat itu. Jika kapasitas lapang dari timbunan sampah tersebut lebih kecil dari jumlah air yang ada, maka lindi akan terbentuk.

(14)

Umumnya, jumlah lindi merupakan jumlah air dari pengaruh eksternal yang masuk ke timbunan. Ketika terdapat pengolahan limbah cair pada pembuangan limbah padat atau sampah untuk peningkatan produksi gas metan, fasilitas pengendalian lindi harus disediakan. Dalam beberapa kasus, fasilitas pengolahan lindi memang diperlukan (Tchobanoglous, 1993). Metode neraca menggunakan persamaan sebagai berikut :

PERC = P – (RO) – (AET) – (ΔST) (2.13)

I = P – (R/O) (2.14)

APWL = Σ NEG (I – PET) (2.15)

AET = (PET) + {(I – PET) – (ΔST)} (2.16) Dimana :

PERC = Perkolasi, air yang keluar dari sistem menuju lapisan di bawahnya, akhirnya menjadi lindi

P = Presipitasi rata – rata bulanan dari data tahunan

RO = Limpasan permukaan (runoff) rata – rata bulanan dihitung dari presipitasi serta koefisien limpasan

AET = Aktual evapotranspirasi, menyatakan banyaknya air yang hilang secara nyata dari bulan ke bulan

ΔST = Perubahan simpanan air dalam tanah dari bulan ke bulan, yang terkait dengan soil moisture storage

ST = Soil moisture storage, merupakan banyaknya air yang tersimpan dalam tanah pada saat kesimbangan

I = infiltrasi, jumlah air terinfiltrasi ke dalam tanah

APWL = Accumulated potential water loss, merupakan nilai negatif dari (I – PET) yang merupakan kehilangan air secara kumulasi I – PET = Nilai infiltrasi dikurang potensi evapotranspirasi, nilai negatif

menyatakan banyaknya infiltrasi air yang gagal untuk dipasok pada tanah, sedang nilai positif adalah kelebihan air selama periode tertentu untuk mengisi tanah

PET = Potensial evapotranspirasi, dihitung berdasarkan atas nilai rata – rata bulanan dari data tahunan

(15)

2.5. Analisis Hidrologi

Analisis hidrologi sangat diperlukan untuk menganalisis debit hujan maksimum rancangan. Analisis debit hujan maksimum rancangan sangat tergantung pada ketersediaan data penunjangnya. Pengukuran debit diturunkan dari data hujan secara teoritis berdasarkan metode-metode yang ladzim digunakan (Soemarto, 1987). Analisis hidrologi dalam penelitian ini digunakan untuk perencanaan bangunan pelengkap di sekitar sel atau zona pembuangan sampah yaitu saluran drainase.

2.5.1. Analisis Curah Hujan

Hujan rencana merupakan hujan terbesar yang mungkin terjadi dalam suatu daerah pada periode ulang tertentu Hujan rencana merupakan dasar untuk menghitung rencana ukuran suatu bangunan. Jatuhnya hujan di suatu daerah, baik menurut waktu maupun pembagian geografisnya tidak tetap, melainkan berubah- ubah. Pada musim penghujan pun dari hari ke hari, dari jam ke jam hujannya tidak sama. Demikian pula dari tahun ke tahun banyaknya hujan tidak sama dan juga hujan maksimum dalam suatu hari untuk berbagai tahun tidak sama.

2.5.1.1. Distribusi Gumbell

Menurut Gumbel (1941) dalam Soemarto (1995), jika probabilitas kumulatifnya P, pada sembarang nilai di antara n buah nilai Xn akan lebih kecil dari nilai X tertentu (dengan waktu balik Tr), maka digunakan teori nilai ekstrim.

Penggunaan nilai ekstrim ini untuk menunjukkan bahwa dalam deret nilai – nilai ekstrim X1, X2, X3, .... Xn, dengan sampel – sampel yang sama besar, dan X merupakan variabel berdistribusi eksponensial. Rumus – rumus dalam distribusi Gumbell ini dijelaskan dibawah ini :

(16)

𝑅𝑇 = 𝑋 + (𝑆 . 𝐾) (2.17) Dimana :

RT = Variat yang diekstrapolasikan, yaitu besarnya curah hujan rencana untuk periode ulang T tahun

X = Harga rata – rata sampel

S = Penyimpangan baku sampel / standar deviasi

K = Faktor frekuensi yang merupakan fungsi dari waktu ulang dan tipe distribusi frekuensi

R = Total curah hujan daerah

𝑆 = √∑ 𝑅2 (𝐾 . ∑ 𝑅)

𝑛 − 1 (2.18)

Faktor frekuensi K untuk harga – harga ekstrim Gumbell ditulis dengan rumus sebagai berikut :

𝐶𝑠 = 𝑌𝑇− 𝑌𝑛

𝑆𝑛 (2.19) Dimana :

YT = Reduce Variat

Yn = Reduce Mean yang tergantung dari besarnya sampel n

Sn = Reduce Mean Deviation yang tergantung dari besarnya sampel n Dari rumus diatas diperoleh :

𝑋𝑇 = 𝑋 + 𝑆 .𝑌𝑇− 𝑌𝑛 𝑆𝑛

= 𝑋 + (𝑌𝑛− 𝑆) 𝑆𝑛 + 𝑌𝑇

𝑆𝑛 . 𝑆 Jika dimasukkan 𝑆𝑛

𝑆 = 𝑎 dan 𝑋 + 𝑌𝑛 . 𝑆

𝑆𝑛 = 𝑏

(17)

Maka :

𝑋𝑇 = 𝑏 + 1

𝑎 𝑌𝑇 (2.20) Dimana :

XT = Hujan dengan kala ulang T tahun YT = Reduce variate

2.5.1.2. Distribusi Log Pearson Type III

Dalam perhitungan distribusi ini ada beberapa parameter statistik yang diperlukan yaitu mean atau nilai tengah, standar deviasi, dan koefisien kepencengan. Cara perhitungan distribusi Log Pearson tipe III ini secara garis besar dijelaskan berikut ini

1) Mengubah data hujan tahunan sebanyak n buah X1, X2, X3, .... Xn

menjadi logX1, logX2, logX3, .... logXn

2) Perhitungan nilai tengah, menggunakan rumus : log 𝑋 = ∑𝑛𝑖=1𝑙𝑜𝑔𝑋𝑖

𝑛 (2.21) 3) Perhitungan standar deviasi, menggunakan rumus :

𝑆1 = √∑𝑛𝑖=1(𝑙𝑜𝑔𝑋𝑖− 𝑙𝑜𝑔𝑋)2

𝑛 − 1 (2.22) 4) Perhitungan koefisien kemencengan, menggunakan rumus :

𝐶𝑠 = ∑𝑛𝑖=1(𝑙𝑜𝑔𝑋𝑖− 𝑙𝑜𝑔𝑋)2

(𝑛 − 1)(𝑛 − 2)𝑆12 (2.23)

5) Perhitungan logaritma curah hujan kala ulang tertentu, menggunakan rumus :

𝑙𝑜𝑔𝑄 = 𝑙𝑜𝑔𝑋 + 𝐺 𝑆1 (2.23)

6) Ubah atau cari anti log dari logQ untuk mendapatkan curah hujan kala ulang tertentu

(18)

2.6. Pengolahan Air Lindi

Dari segi komponen, kandungan pada lindi tidak berbeda dengan air buangan domestik. Namun zat organik yang terkandung pada lindi dari timbunan sampah domestik sangat tinggi konsentrasinya. Hal ini ditunjukkan dari sangat tingginya kadar BOD pada lindi yaitu sekitar 2000 - 30.000. Sistem pengolahan lindi dibagi menjadi dua tingkat, yaitu pengolahan sekunder dan pengolahan tersier.

Untuk pengolahan sekunder akan diuraikan gambaran singkat tentang unit kolam stabilisasi (fakultatif dan anaerob) dan kolam aerasi. Adapun pengolahan tersier akan diuraikan gambaran singkat tentang land treatment dan intermitten sand filter.

Menurut Dirjen Cipta Karya, Direktorat Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman (2016), pengolahan lindi dapat dilakukan dengan cara resirkulasi atau dengan pengolahan secara biologi. Dalam pengolahan secara biologis, lindi akan dikumpulkan pada beberapa kolam penampungan, yaitu mulai dari kolam anaerob, fakultatif, maturasi, dan wetland. Adapun kriteria teknis pengolahan lindi seperti yang tersaji dalam Tabel 2.5.

Tabel 2. 5 Kriteria Teknis Pengolahan Lindi

No Kriteria Proses Pengolahan

Anaerobik Fakultatif Maturasi Wetland 1 Fungsi Menghilangkan

BOD yang relatif tinggi (>1000 mg/L), sedimentasi,

stabilisasi influen

Removal BOD

Menghilangkan mikroorganisme pathogen, nutrien

Menghilangkan BOD dan nutrien

2 Kedalaman (m)

2,5 – 5 1 – 2 1 – 1,5 0,1 – 0,6*

0,3 – 0,8**

3 Removal BOD (%)

50 – 80 70 – 80 60 – 80 -

4 Waktu Detensi (hari)

20 – 50 5 – 30 7 – 20 4 – 15

5 Organik Loading Rate (kg/ Ha hari)

224 – 560 56 – 135 ≤ 17 < 67

6 pH 6,5 – 7,2 6,5 – 8,5 6,5 – 10,5 -

7 Bahan Pasangan batu Pasangan

batu

Pasangan batu Tanah dengan permeabilitas rendah***

*Kedalaman air untuk tipe FWS (Free Water Flow System), **kedalaman air untuk tipe SFS (Subsurface Flow System), ***Tumbuhan yang bisa digunakan, A. microphylia, enceng gondok, cattail, rumput gajah

Sumber : Dirjen Cipta Karya, Direktorat Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman (2016)

(19)

2.6.1. Saluran Pengumpul Lindi

Dalam Dirjen Cipta Karya, Direktorat Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman (2016), saluran pengumpul lindi terbagi menjadi dua yaitu saluran primer dan sekunder. Berikut kriteria dari masing – masing saluran tersebut

a) Saluran pengumpul primer

Menggunakan pipa HDPE berlubang. Saluran primer ini dapat dihubungkan dengan hilir dari saluran sekunder oleh bak kontrol. Dalam hal ini pipa tersebut dapat difungsikan sebagai ventilasi yang dapat juga dikombinasikan dengan pengumpul gas vertikal. Pipa primer yang menuju ke bak pengumpul lindi tidak berlubang.

b) Saluran pengumpul sekunder

− Menggunakan pipa HDPE

− Kemiringan minimal sebesar 2% dari dasar lahan

− Dipasang memanjang ditengah blok/zona penimbun Adapun syarat pengaliran dari lindi ini sebagai berikut :

− Gravitasi

− Kecepatan pengaliran berkisar antara 0,6 hingga 3 m/detik

− Kedalaman air dalam saluran / pipa (d/D) maksimal 80% (d = tinggi air dan D = diameter pipa)

(20)

Gambar 2. 3 Pola Penyaluran Saluran Pengumpul Lindi

Sumber : Dirjen Cipta Karya, Direktorat Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman (2018)

2.6.2. Alternatif Pengolahan Lindi

Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum RI Nomor 03 Tahun 2013, lindi memiliki beberapa alternatif dalam pengolahannya. Berikut lima alternatif pengolahan lindi dibawah ini :

a). Alternatif 1 : Kolam Anaerobik, kolam Fakultatif, kolam Maturasi, dan Biofilter

b). Alternatif 2 : Kolam Anaerobik, kolam Fakultatif, kolam Maturasi, dan Landtreatment/Wetland

c). Alternatif 3 : Anaerobic Baffed Reactor (ABR) dengan Aerated Lagoon d). Alternatif 4 : Proses koagulasi – flokulasi, sedimentasi, kolam

Anaerobik atau ABR

e). Alternatif 5 : Proses koagulasi – flokulasi, sedimentasi I, Aerated Lagoon, sedimentasi II

Pemilihan alternatif pengolahan lindi ini dapat dilihat melalui banyaknya zat yang tergantung pada air lindi di TPA tersebut. Pemilihan alternatif tersebut juga melihat bagaimana zat atau kandungan dalam lindi yang akan dikurangi atau dihilangkan.

Berikut detail dari masing – masing alternatif pengolahan lindi dibawah ini :

(21)

Tabel 2. 6 Alternatif 1 Pengolahan Lindi

No. Kriteria Proses Pengolahan

Anaerobik Fakultatif Maturasi Biofilter

1. Fungsi

Penyisihan BOD yang relatif tinggi (>

1000 mg/L), sedimentasi, stabilisasi

influen

Penyisihan BOD

Penyisihan mikroorganisme pathogen, nutrien

Menyaring effluen sebelum dibuang ke

badan air

2. Kedalaman

(m) 2,5 – 5 1 – 2 1 – 1,5 2

3. Penyisihan

BOD (%) 50 – 85 70 – 80 60 – 89 75

4. Waktu

Detensi (hari) 20 – 50 5 – 30 7 – 20 3 – 5

5.

Beban Organik (kg/Ha hari)

224 – 560 56 – 135 ≤ 17 < 80

6. pH 6,5 – 7,2 6,5 – 8,5 6,5 – 10,5 -

7. Material Pasangan batu Pasangan

batu Pasangan batu Batu, Kerikil, Ijuk, Pasir Sumber : Kementerian Pekerjaan Umum (2013)

Tabel 2. 7 Alternatif 2 Pengolahan Lindi

No. Kriteria Proses Pengolahan

Anaerobik Fakultatif Maturasi Wetland

1. Fungsi

Penyisihan BOD yang relatif tinggi

(> 1000 mg/L), sedimentasi,

stabilisasi influen

Penyisihan BOD

Penyisihan mikroorganisme

pathogen, nutrien

Penyisihan BOD, menghilangkan

nutrien

2. Kedalaman (m) 2,5 – 5 1 – 2 1 – 1,5 0,1 – 0,6*

0,3 – 0,8**

3. Penyisihan BOD

(%) 50 – 85 70 – 80 60 – 89 -

4. Waktu Detensi

(hari) 20 – 50 5 – 30 7 – 20 4 – 15

5. Beban Organik

(kg/Ha hari) 224 – 560 56 – 135 ≤ 17 < 67

6. pH 6,5 – 7,2 6,5 – 8,5 6,5 – 10,5 -

7. Material Pasangan

batu

Pasangan

batu Pasangan batu

Tanah permeabilitas

rendah***

Sumber : Kementerian Pekerjaan Umum (2013)

(22)

Tabel 2. 8 Alternatif 3 Pengolahan Lindi

No. Kriteria Proses Pengolahan

ABR Aerated Lagoon Pemisah Padatan

1. Fungsi

Penyisihan BOD yang relatif tinggi

(> 1000 mg/L), sedimentasi padatan, stabilisasi

influen

Penyisihan BOD Penyisihan solid

2. Kedalaman (m) 2 – 4 1,8 – 6 3 – 5

3. Penyisihan BOD (%) 70 – 85 80 – 95 -

4. Waktu Detensi (hari) 1 – 2 3 – 10 0,06 – 0,125

5. Beban Organik

(kg/m3 hari) 4 – 14 0,32 – 0,64 0,5 – 5 kg/m2 jam

6. pH 16,8 – 38,4 - 8 – 16

7. Material Beton bertulang –

bata Pasangan batu Pasangan batu Sumber : Kementerian Pekerjaan Umum (2013)

Tabel 2. 9 Alternatif 4 Pengolahan Lindi No. Kriteria

Proses Pengolahan Koagulasi –

Flokulasi Sedimentasi Anaerobik ABR

1. Fungsi Pembentukan

flok padatan

Penyisihan flok padatan

Penyisihan BOD yang relatif tinggi

(> 1000 mg/L), sedimentasi

padatan, stabilisasi

influen

Penyisihan BOD yang relatif tinggi

(> 1000 mg/L), sedimentasi

padatan, stabilisasi

influen

2. Kedalaman (m) - 3 – 5 m 2,5 – 5 m 2 – 4 m

3. Penyisihan BOD

(%) - - 50 – 85 70 – 85

4. Waktu Detensi 0,5 jam 1,5 – 3 jam 20 – 50 hari 1 – 2 hari 5. Beban Organik

(kg/Ha hari) - - 224 – 560 4 – 14 kg/m3

hari

6. Beban Hidrolik - 8 – 16 m3/m2

hari - 16,8 – 38,4

m3/m2 hari

7. pH - - 6,5 – 7,2 6,5 – 7,2

8. Dosis koagulan (mg/L)

300 – 4500 Kapur (CaOH) 100 – 5000 Tawas (Al2(SO4)3) 0,2 ml/L Polimer kationik 1%

- -

Sumber : Kementerian Pekerjaan Umum (2013)

(23)

Tabel 2. 10 Alternatif 5 Pengolahan Lindi

No. Kriteria

Proses Pengolahan Koagulasi –

Flokulasi Aerated Lagoon Sedimentasi I/II

1. Fungsi Pembentukan flok

padatan

Penyisihan

BOD Penyisihan solid

2. Kedalaman (m) - 1,8 – 6 3 – 5

3. Penyisihan BOD (%) - 80 – 95 -

4. Waktu Detensi (jam) 0,5 3 – 10 1,5 – 3 jam

5. Beban Organik (kg/m3 hari) - 0,32 – 0,64 0,5 – 5 kg/m2 jam

6. Beban Hidrolik (nf/m3 hari) - - 8 – 16

7. pH - 6,5 – 8 -

8. Material Beton/Baja Pasangan batu Pasangan batu

9. Dosis koagulan (mg/L)

300 – 4500 Kapur (CaOH) 100 – 5000 Tawas (Al2(SO4)3) 0,2 ml/L lindi Polimer kationik 1%

- Sumber : Kementerian Pekerjaan Umum (2013)

2.6.3. Kolam Penampungan

Kolam penampungan lindi ini mengumpulkan lindi dari tangkapan pipa – pipa pengumpul primer. Adapun kriteria teknis dari kolam penampung lindi ini yaitu kolam penampungan harus kedap air dan tahan asam. Selain itu harus disesuaikan dengan kebutuhan juga (Dirjen Cipta Karya, Direktorat Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman, 2016). Dalam pengolahan lindi perhitungan kolam – kolam penampungan dapat menggunakan pendekatan empiris. Umumnya pengolahan lindi ini terdiri dari beberapa kolam/unit seperti anaerobik, fakultatif, maturasi, dan wetland. Penentuan luasan masing – masing kolam tersebut dapat menggunakan pendekatan berikut yang tersaji pada Tabel 2.11.

Tabel 2. 11 Pendekatan Luas Masing – masing Unit Pengolah Lindi Unit Operasi

Bangunan Pengolah Lindi

Luas

Formula Satuan

Anaerobik 1,232 x 10-1 x CH x LUPS

m2 Fakultatif 1,643 x 10-1 x CH x LUPS

Aerobik 1,643 x 10-1 x CH x LUPS

Adsorbtion/Wetland 3,583 x 10-2 x CH x LUPS

Total 4,876 x 10-1 x CH x LUPS

Sumber : Dirjen Cipta Karya, Direktorat Pengembangan Penyehatan Lingkungan Pemukiman (2018)

(24)

2.6.3.1. Kolam Anaerobik

Apabila sistem pengolahan material organik yang ada dalam kondisi tidak terdapat oksigen maka proses anaerobik sedang berlangsung. Menurut Mara (1997) dalam Thomas dan Santoso (2019) kolam anaerobik memiliki kedalaman 2 – 5 meter yang biasa menerima limbah dengan kadar beban organik tinggi. Kondisi kadar beban organik tinggi biasanya lebih dari 100 g BOD/m3 hari ekivalen dengan lebih 3000 kg/hari untuk kedalaman 3 meter. Kolam ini memiliki fungsi untuk mengolah cairan yang masih mengandung BOD cukup tinggi.

Proses anaerobik dapat mendegradasi secara biologis beban organik yang tinggi, lumpur hasil pengolahan sedikit, penghasil gas metan, dan kebutuhan energi rendah, sehingga proses ini merupakan tahap penting dalam pengolahan air limbah.

Proses ini memerlukan perhatian khusus karena pertumbuhan mikroorganisme yang relatif lambat. Lambatnya pertumbuhan mikroorganisme ini dikhawatirkan ikut terbawa aliran efluen sehingga dapat menurunkan proses penyisihan polutan.

Sesuai dengan Peraturan Menteri PU No 03 Tahun 2013 terdapat kriteria perencanaan kolam anaerobik secara umum meliputi waktu detensi, kedalaman kolam dan material kolam. Waktu detensi dari kolam anaerobik yaitu 20 – 50 hari dengan kedalaman 2,5 – 5 m perencanaan. Sedangkan material kolam yang direkomendasikan menggunakan pasangan batu.

2.6.3.2. Kolam Fakultatif

Kolam fakultatif memiliki dua jenis yaitu primer dan sekunder. Kolam primer memiliki fungsi mengolah air limbah yang belum diolah sedangkan kolam sekunder mengolah air limbah yang sebelumnya telah melalui proses pengolahan.

Kolam sekunder ini biasanya menyalurkan air limbah berasal dari kolam anaerobik.

Kolam ini berfungsi untuk menurunkan beban BOD permukaan rendah yang berkisar 100 – 400 kg BOD/ha hari. Alga memiliki peranan penting dalam hal menurunkan kadar BOD melalui proses fotosintesis yang menghasilkan oksigen.

Alga akan tumbuh secara alami pada permukaan kolam.

Sesuai dengan Peraturan Menteri PU No 03 Tahun 2013 terdapat kriteria perencanaan kolam fakultatif secara umum meliputi waktu detensi, kedalaman

(25)

kolam dan material kolam. Waktu detensi dari kolam fakultatif yaitu 5 hingga 30 hari dengan kedalaman 1 – 2 m perencanaan. Sedangkan material kolam yang direkomendasikan menggunakan pasangan batu.

2.6.3.3. Kolam Aerobik

Kolam ini memiliki kedalaman yang relatif dangkal yaitu berkisar antar 0,3 hingga 0,6 m sehingga memungkinkan cahaya masuk hingga dasar kolam. Hal tersebut berguna agar DO tersebar di seluruh kolam, dengan demikian kinerja ganggang akan terangsang sehingga terjadinya anaerobik dapat dicegah. DO yang dihasilkan berasal dari proses fotosintesis ganggang atau alga serta oksigen pada permukaan kolam.

Bakteri aerobik pada kolam ini memanfaatkan dan menstabilkan kandungan organik dalam air limbah guna memperoleh nutrisi. Penggunaan kolam ini biasanya terbatas pada daerah yang memiliki iklim hangat dan cerah, dimana tingkat penghapusan BOD diperlukan tapi ketersediaan lahan tidak terbatas (Thomas dan Santoso, 2019).

2.6.3.4. Kolam Maturasi

Kolam maturasi atau pematangan pengolahannya menyerupai kolam aerobik. Disebut menyerupai proses aerobik karena zat organik telah berkurang setelah proses pada kolam anaerobik dan kolam fakultatif. Kolam maturasi memiliki bertanggung jawab dalam mengurangi efluen yang terakhir dari kolam fakultatif. Fungsi utama dari kolam maturasi yaitu penghilang bakteri dan mengalirkan lindi secara gravitasi keseluruh sistem. Kolam maturasi memiliki periode atau waktu tinggal selama 7 – 20 hari dengan kedalaman kolam 1 – 1,5 meter (Thomas dan Santoso, 2019).

Sesuai dengan Peraturan Menteri PU No 03 Tahun 2013 terdapat kriteria perencanaan kolam maturasi secara umum meliputi waktu detensi, kedalaman kolam dan material kolam. Waktu detensi dari kolam maturasi yaitu 7 – 20 hari dengan kedalaman 1 – 1,5 m perencanaan. Sedangkan material kolam yang direkomendasikan menggunakan pasangan batu.

(26)

2.6.3.5. Kolam Biofilter

Dalam Thomas dan Santoso (2019), pengolahan lindi dengan kolam biofilter ini dapat dilakukan secara anaerob, aerob maupun keduanya. Tentunya untuk proses aerob diperlukannya oksigen yang terlarut selama prosesnya. Kolam pengolahan ini merupakan proses terakhir sebelum lindi dibuang ke sungai.

Sesuai dengan Peraturan Menteri PU No 03 Tahun 2013 terdapat kriteria perencanaan kolam biofilter secara umum meliputi waktu detensi, kedalaman kolam dan material kolam. Waktu detensi dari kolam biofilter yaitu 3 – 5 hari dengan kedalaman 2 m perencanaan. Adapaun lapisan penyaring lindi yang dibutuhkan dalam kolam yaitu lapisan batu, kerikil, ijuk dan pasir.

2.6.3.6. Kolam Wetland/Adsorpsi

Wetland disini merupakan tempat penampungan berupa rawa buatan untuk air limbah domestik maupun lindi. Selain itu wetland ini juga digunakan untuk reklamasi lahan penambangan atau gangguan lingkungan lainnya. Wetland dapat mengurangi sedimen dan polutan seperti logam berat yang berupa biofilter.

Penggunaan tumbuhan tertentu yang dapat berperan sebagaimana fungsi dari kolam ini dan merupakan tumbuhan lokal dengan biaya yang minimal.

Wetland dirancang memiliki kemiringan dasar berkisar 1 – 4% agar lindi dapat mengalir dengan mudah. Bentuknya dapat berupa aliran bebas (free flowing) atau aliran bawah tanah (sub-surface flow). Untuk aliran bawah tanah dapat menggunakan lapisan kerikil atau batu belah dan di atasnya diberi lapisan pasir sebagai media tanaman tumbuh (Thomas dan Santoso, 2019).

Sesuai dengan Peraturan Menteri PU No 03 Tahun 2013 terdapat kriteria perencanaan wetland secara umum meliputi waktu detensi, kedalaman kolam dan material kolam. Waktu detensi dari wetland yaitu 4 – 15 hari dengan kedalaman 0,1 – 0,8 m perencanaan. Tanaman yang dapat digunakan dalam pengolahan ini yaitu : A. microphylia, enceng gondok, cattail, rumput gajah.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan diperoleh dari hasil nilai R Square sebesar 0,961 yang artinya 96,1% perubahan pada variabel dependen (pendapatan) dapat dijelaskan oleh variabel

Perlu perbaikan perbaikan :: Langkah-langkah tidak dilakukan dengan benar dan atau tidak sesuai Langkah-langkah tidak dilakukan dengan benar dan atau tidak sesuai urutannya atau

2. Kongres Pemuda Kedua adalah kongres pergerakan pemuda Indonesia yang melahirkan keputusan yang memuat ikrar untuk mewujudkan cita-cita berdirinya negara Indonesia, yang

Lazizaa Rahmat Semesta, bentuk tanggung jawab yang dilakukan oleh perusahaan secara umum untuk menjaga trust dari para investor adalah “memberikan yang terbaik dari sisi

Langkah pengerjaannya adalah pembuatan database di MySQL, migrasi dari data yang sebagian ada di Microsoft Excel ke MySQL, menyiapkan web server apache, membuat

Hormon estrogen adalah hormon seks yang di produksi oleh rahim untuk merangsang pertumbuhan organ seks seperti payudara dan rambut pubik serta mengatur sirkulasi manstrubasi.

Sosialisasi pemilahan Sosialisasi pemilahan sampah medis dan non sampah medis dan non medis medis Dilakukan Dilakukan penyuluhan / penyuluhan / pelatihan tentang pelatihan

Oleh karena itu bagi lembaga pendidikan yang mengembangkan pendidikan vokasi tidak perlu minder dan kemudian mengubah menjadi pendidikan akademik, karena akan