Abstrak
Pengalaman dalam keluarga merupakan peran kunci dalam perkembangan self-compassion (Neff & McGehee, 2010). Proses dalam keluarga seperti dukungan keluarga dan sikap orangtua akan berkontribusi menumbuhkan self-compassion (Hidayati, 2013). Pada kenyataannya, faktor ekonomi merupakan faktor utama yang menyebabkan banyak anak-anak harus ditempatkan di panti asuhan untuk dapat memenuhi kebutuhan materi.
Terdapat 76 remaja yang tinggal di panti asuhan dan 70 remaja yang tinggal dengan orangtua yang berpartisipasi dalam penelitian ini. Setiap responden mengisi kuisioner self-compassion yang dikonstruksi berdasarkan teori self-compassion dari Dr. Kristin Neff dan terdiri dari 43 item. Skor self-compassion dan komponen-komponen self-compassion dari kedua kelompok responden kemudian dibandingkan.
Berdasarkan hasil uji beda dengan menggunakan independen t-test, terdapat perbedaan compassion, responden yang tinggal dengan orangtua memiliki self-compassion yang lebih tinggi dibandingkan dengan responden yang tinggal di panti asuhan (0,013 < 0,05). Jika dilihat dari komponennya, terdapat perbedaan self-kindness, responden yang tinggal dengan orangtua memiliki self-kindness yang lebih tinggi (0,001 < 0,05). Sedangkan, tidak terdapat perbedaan pada komponen common humanity dan mindfulness antara kedua kelompok responden.
Kesimpulan yang diperoleh yaitu terdapat perbedaan self-compassion antar kedua kelompok responden dan jika dilihat dari komponennya, terdapat perbedaan self-kindness antar kedua kelompok responden. Artinya, keberadaan remaja di panti asuhan memiliki hubungan dengan self-compassion dan self-kindness. Sedangkan, pada komponen common humanity dan mindfulness tidak memiliki perbedaan antara kedua kelompok responden sehingga dapat diinterpretasikan bahwa kedua komponen tersebut tidak memiliki hubungan dengan keberadaan remaja di panti asuhan. Peneliti mengajukan saran bagi pihak panti asuhan dan orangtua untuk membantu responden mengembangkan self-compassion melalui pengasuhan yang diterapkan.
Abstract
Family experience is a key role in the development of self-compassion (Neff & McGehee, 2010). Process in the family such as family support and parental attitudes will contribute to foster self-compassion (Hidayati, 2013). In fact, economic factors are the main factors that cause many children placed in the orphanage.
There are 76 teenagers who live in orphanages and 70 adolescents who live with parents participated in this study. Each respondent completed self-compassion questionnaires that are constructed based on the theory of self-compassion from Dr. Kristin Neff and consists of 43 items. Scores of self-compassion and the components from both groups were compared.
Based on the results of independent t-test, there are differences in self-compassion, respondents who live with parents have more self-compassion than respondents living in the orphanage (0.013 <0.05). There are also differences in self-kindness, respondents who live with parents have more self-kindness (0.001 <0.05). Meanwhile, there is no difference in common humanity and mindfulness between the two groups of respondents.
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
LEMBAR PENGESAHAN ... ii
PERNYATAAN ORISINALITAS LAPORAN PENELITIAN ... iii
PERNYATAAN PUBLIKASI LAPORAN PENELITIAN ... iv
ABSTRAK ... v
ABSTRACT ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR GAMBAR ... xv
DAFTAR LAMPIRAN ... xvi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Identifikasi Masalah ... 7
1.3 Maksud dan Tujuan ... 7
1.3.1 Maksud ... 7
1.3.2 Tujuan ... 7
1.4 Kegunaan Penelitian ... 7
1.4.1 Kegunaan Teoritis ... 7
1.4.2 Kegunaan Praktis ... 8
xi
1.7 Hipotesis Penelitian ... 16
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Self-Compassion ... 18
2.1.1 Definisi Self-Compassion ... 18
2.1.2 Komponen Self-Compassion ... 20
2.1.2.1 Self-kindness ... 20
2.1.2.2 Common Humanity ... 21
2.1.2.3 Mindfulness ... 22
2.1.3 Korelasi Antar Komponen ... 22
2.1.4 Faktor yang Mempengaruhi Self-Compassion ... 24
2.1.4.1 The Role of Culture ... 24
2.1.4.2 Kepribadian ... 25
2.1.4.3 The Role of Parents ... 26
2.1.5 Manfaat Self-Compassion ... 29
2.2 Perkembangan Remaja ... 32
2.2.1 Perkembangan Kognitif ... 32
2.2.2 Perkembangan Identitas ... 33
2.2.3 Peers ... 35
2.2.4 Family ... 36
2.2.4.1 Adolescent Changes ... 36
2.2.4.2 Parents as Manager ... 38
2.2.4.3 Parent-Adolescent Conflict ... 39
2.3 Panti Asuhan ... 40
xii
2.3.2 Latar Belakang Penempatan Anak di Panti Asuhan ... 40
2.3.3 Karakteristik Panti Asuhan ... 42
2.3.4 Dampak Panti Asuhan Bagi Anak ... 43
2.3.5 The Importance of Family Care ... 43
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian ... 45
3.2 Bagan Rancangan Penelitian ... 46
3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 46
3.3.1 Variabel Penelitian ... 46
3.3.2 Definisi Operasional ... 46
3.4 Alat Ukur Self-Compassion ... 47
3.4.1 Gambaran Alat Ukur ... 47
3.4.2 Cara Skoring ... 48
3.4.3 Data Sosiodemografi ... 49
3.4.4 Validitas dan Reabilitas Alat Ukur ... 49
3.4.4.1 Validitas Alat Ukur ... 49
3.4.4.2 Reabilitas Alat Ukur ... 50
3.5 Populasi dan Teknik Penarikan Sampel ... 50
3.5.1 Sasaran Populasi ... 50
3.5.2 Karateristik Sampel ... 50
3.5.3 Teknik Penarikan Sampel ... 51
3.6 Teknik Analisis Data ... 51
xiii
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Responden ... 52
4.1.1 Jenis Kelamin ... 52
4.1.2 Keberadaan Orangtua Remaja Panti Asuhan ... 52
4.1.3 Latar Belakang Tinggal di Panti Asuhan ... 53
4.2 Hasil Penelitian ... 53
4.2.1 Uji Beda Self-Compassion ... 53
4.2.2 Uji Beda Komponen Self-Compassion ... 54
4.3 Pembahasan ... 55
BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ... 62
5.2 Saran ... 62
5.2.1 Saran Teoritis ... 62
5.2.2 Saran Praktis ... 63
DAFTAR PUSTAKA ... 64
DAFTAR RUJUKAN ... 66
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 3.1 Gambaran Alat Ukur Self-Compassion ... 48
Tabel 3.2 Skor Pilihan Jawaban ... 49
Tabel 3.3 Data Pribadi Responden ... 49
Tabel 3.4 Karakteristik Sampel ... 50
Tabel 4.1 Gambaran Banyaknya Responden Berdasarkan Jenis Kelamin 52 Tabel 4.2 Gambaran Banyaknya Responden Berdasarkan Keberadaan Orang Tua ... 52
Tabel 4.3 Gambaran Banyaknya Responden Berdasarkan Latar Belakang Tinggal Di Panti Asuhan ... 53
Tabel 4.4 Hasil Uji Beda t-Test Self-Compassion ... 53
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran A Kuesioner ... L-1 Lampiran B Kisi-kisi Alat Ukur ... L-9
Lampiran C Data Input Skoring ... L-14 Lampiran D Hasil Perhitungan ... L-22
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Lingkungan keluarga merupakan basis awal kehidupan bagi setiap individu dan menjadi tempat pertama dan utama bagi anak untuk memeroleh hak
memertahankan kelangsungan hidup (survival), hak untuk tumbuh kembang secara wajar (developmental), hak untuk mendapatkan perlindungan (protection), dan hak untuk ikut berpartisipasi membangun masa depannya (participation). Keluarga
bertanggung jawab untuk mengasuh, membesarkan, membimbing dan melindungi anak (Davit Setyawan, 2014, Potret Kesenjangan Perlindungan Anak dari Regulasi
hingga Implementasi, http://www.kpai.go.id). Makmur Sunusi, Phd, Direktur
Jendral Pelayanan Sosial dan Rehabilitasi Sosial Depsos Rl mengatakan bahwa,
Indonesia telah mengakui secara jelas bahwa keluarga adalah lingkungan terbaik bagi anak-anak untuk tumbuh (Tata Sudrajat, 2008, Kurangnya ''Pengasuhan'' di
Panti Asuhan, http://www.kemsos.go.id).
Anak-anak pada umumnya tumbuh lebih baik bila diasuh oleh orangtua lengkap. Anak-anak dengan kedua orangtua yang tinggal serumah cenderung lebih
baik secara emosi dan akademik. Anak-anak dapat memeroleh perhatian yang lebih dari kedua orangtua, misalnya dalam hal pendampingan, bantuan untuk menyelesaikan tugas sekolah, dan kualitas kebersamaan. Ketika beranjak remaja,
remaja yang diasuh oleh kedua orangtuanya lebih sedikit mengalami kehamilan pranikah (Lestari, 2010). Peneliti lain menemukan bahwa remaja yang tinggal di keluarga yang utuh dengan orangtuanya memiliki prestasi akademik yang lebih baik,
2
menurunkan tekanan psikologis mereka (Amato & Keith, 1991; Falci, 2006, dalam
Rani & Kaur, 2015).
Pada kenyataannya, anak berbondong-bondong masuk ke panti tanpa memerhatikan hak anak untuk diasuh dalam lingkungan keluarganya, pada hal
semestinya panti menjadi pilihan terakhir dalam sistem pengasuhan anak (Davit Setyawan, 2014, Potret Kesenjangan Perlindungan Anak dari Regulasi hingga
Implementasi, http://www.kpai.go.id). Ada berbagai alasan anak masuk ke panti
asuhan antara lain; masalah ekonomi, kecacatan, bencana alam, mengalami kekerasan dan ditelantarkan oleh orangtua. Berdasarkan survey secara global, anak
yang ditempatkan di panti asuhan bukan anak yatim piatu melainkan masih memiliki salah satu bahkan kedua orangtua (Bunkers, 2014). UNICEF bersama dengan Pusat
Kajian Pelindungan Anak Universitas Indonesia pada tahun 2014, telah menemukenali bahwa kemiskinan sebagai salah satu risiko yang menjadi dasar
utama serta faktor pendorong anak-anak mendapatkan perawatan di institusi (Irwanto & Kusumaningrum, 2014).
Orangtua dan masyarakat seringkali memandang bahwa panti asuhan
bermanfaat untuk anak karena dapat memenuhi beberapa kebutuhan materi. Kebanyakan orangtua yang mengalami kesulitan ekonomi menempatkan anaknya di
panti asuhan, dengan tujuan untuk memastikan anak-anaknya mendapatkan pendidikan. Sekali anak-anak memasuki panti asuhan, mereka diharapkan untuk tinggal di sana sampai lulus dari SMA untuk mendapatkan pendidikan (Tata
Sudrajat, 2008, Kurangnya “Pengasuhan” di Panti Asuhan, http://www.kemsos.go.id/) dan masa remaja akhirnya dihabiskan di panti asuhan.
Kematian atau terpisahnya dari orangtua memiliki dampak besar dalam
3
fungsi psikologisnya (Peterson dan Zill, 1986; Emery, 1988; Amato & Booth, 1996,
dalam Kaur & Rani, 2015). Peneliti menemukan bahwa remaja yang tinggal di panti asuhan dipandang sebagai lebih rentan terhadap berbagai masalah psikologis, emosional dan perilaku, misalnya isolasi sosial, masalah penyesuaian, kenakalan,
agresi, gangguan kepribadian, depresi, stres, dan lain-lain (Goodyer et al, 1985;. Larson & Ham, 1993;. Liu et al, 2000a, dalam Kaur & Rani, 2015).
Di sisi lain, remaja sedang menghadapi masa transisi dari masa anak-anak menuju dewasa yang melibatkan berbagai perubahan di berbagai aspek kehidupannya. Salah satunya, remaja mengalami perubahan kemampuan berpikir.
Seiring dengan berkembangnya kemampuan berpikirnya, meningkat juga kemampuan introspeksi diri dan refleksi diri pada remaja (Keating, 1990, dalam
Neff, 2003). Kemampuan tersebut membuat remaja juga secara terus-menerus melakukan evaluasi diri dan membandingkan dirinya dengan orang lain untuk
menetapkan identitas dirinya. (Brown & Lohr, 1987; Harter, 1990, dalam Neff, 2003).
Evaluasi dan perbandingan diri dengan orang lain ini, akan membuat remaja
kehilangan keyakinan pada diri, meragukan potensi diri, dan menjadi putus asa. Cara menghindari hal tersebut yaitu berhenti menghakimi diri, mengevaluasi diri, berhenti memberikan label “baik” atau “buruk” pada diri dan menerima diri dengan hati yang
terbuka. Individu perlu memerlakukan diri dengan kebaikan, kepedulian, dan
compassion seperti memerlakukan teman atau bahkan orang asing. Compassion bisa
ditunjukkan pada diri ketika mengalami penderitaan dan mengalami keadaan kehidupan yang sulit. Compassion yang ditunjukkan pada diri sendiri disebut
self-compassion (Neff, 2011). Self-compasion adalah keterbukaan pada diri sendiri untuk
4
ketidaksempurnaan diri serta menyadari bahwa hal tersebut sebagai bagian dari
kondisi manusia umumnya.
Self-compassion terdiri atas tiga komponen. Pertama, self-kindness berkaitan
dengan kemampuan individu untuk peduli dan memahami diri sendiri, bukan
menghakimi diri sendiri ketika menghadapi kesulitan maupun kegagalan. Kedua, common humanity berbicara tentang kemampuan untuk membingkai pengalaman
individu sebagai pengalaman manusia pada umumnya. Ketiga, mindfulness berkaitan dengan kemampuan individu untuk menyadari secara jelas, menerima, dan menghadapi kenyataan terhadap apa yang dialami sehingga tidak mengabaikan
ataupun merenungkan aspek-aspek yang tidak disukai baik di dalam diri ataupun di dalam kehidupannya. Konstruk dari self-compassion menyediakan alternatif model
berpikir mengenai pandangan diri yang dapat meningkatkan ketahanan di kalangan remaja (Neff & McGehee, 2010). Selain itu, self-compassion dapat memberikan
kekuatan psikologis pada remaja yang tinggal di panti asuhan seperti self-esteem, perilaku prososial, dan emosi yang positif (Michael et al., 2009; Kristin & Pittman, 2010; Michele & Silvia, 2011; Yasin & Iqbal, 2013; Audrey et al., 2014, dalam Rani
& Kaur, 2015).
Neff (2011) menyatakan bahwa orangtua berperan dalam
menumbuhkembangkan self-compassion. Individu yang merasakan kehangatan, dukungan dari orangtua, dan merasakan orangtua mereka sebagai figur yang memahami dan compassionate akan cenderung menunjukkan self-compassion saat
5
sebagai refleksi internal dari hubungan antara orangtua-anak (Neff & McGehee,
2010).
Selain itu, salah satu cara yang efektif untuk membantu remaja mengembangkan self-compassion yaitu dengan menunjukkan self-compassion di
hadapan remaja (Neff, 2011). Orangtua dapat menjadi figur model bagi anak dalam memerlakukan diri dengan self-compassion terutama ketika sedang menghadapi
kegagalan maupun kesulitan. Perilaku orangtua yang sering mengkritik diri sendiri saat menghadapi kegagalan atau kesulitan, akan menjadi contoh bagi individu untuk melakukan hal tersebut saat mengalami kegagalan.
Remaja yang tinggal di panti asuhan, memiliki keterbatasan untuk berhubungan dengan orangtuanya. Akan tetapi, pengasuh di panti asuhan berperan
menggantikan figur orangtua bagi remaja yang tinggal di panti asuhan. Berdasarkan gabungan berbagai survey, ditemukan pengasuh cenderung tidak tetap atau berubah
terus-menerus karena adanya turn over yang tinggi, pengasuh tidak dapat secara konsisten ditugaskan di kelompok yang sama, dan pengasuh dapat mengambil cuti panjang (IJzendoorn et al., 2014).
Hasil survey tersebut sejalan dengan hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan pengasuh di panti asuhan, diperoleh keterangan adanya kebijakan dari pihak
panti asuhan yang memindahtugaskan pengasuh panti asuhan dari satu asrama ke asrama lain yang ada di bawah naungan yayasan berdasarkan kebutuhan masing-masing asrama dalam kurun waktu yang tidak menentu. Selain itu, pengasuh di panti
asuhan bekerja berdasarkan pembagian shift yaitu shift pagi, siang, dan malam, sehingga dalam sehari di asrama terjadi tiga kali pergantian pengasuh.
Remaja tidak dapat secara konsisten berinteraksi dan membangun hubungan
6
mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan pengasuhan secara individual dan
konsisten dari pengasuh yang sama serta, remaja memiliki beberapa figur pengasuh. Berbeda halnya jika remaja berada di tengah keluarganya, dalam hal ini orangtua dapat berinteraksi secara konsisten dengan anak dan anak juga memiliki figur
pengasuh yang menetap. Keluarga dapat menyediakan suatu hubungan yang konsisten dan jangka panjang dengan orangtua. Orangtua juga dapat memberikan
perhatian individual kepada remaja (Bunkers, Cox, Gesiriech, & Olson, 2014). Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pengasuh di panti asuhan kurang dapat menggantikan figur orangtua. Sedangkan, orangtua memiliki
peran penting dalam perkembangan self-compassion individu. Berdasarkan fenomena tersebut, peneliti tertarik untuk membandingkan self-compassion remaja
yang tinggal di panti asuhan dengan remaja yang tinggal dengan orangtuanya. Peneliti ingin mengetahui perbedaan self-compassion kedua kelompok remaja ini.
1.2 Identifikasi Masalah
Penelitian ini ingin mengetahui apakah terdapat perbedaan self-compassion
pada remaja yang tinggal di Panti Asuhan dan yang tinggal bersama orangtua.
1.3 Maksud dan Tujuan
1.3.1 Maksud
Untuk mengetahui perbedaan self-compassion pada remaja yang tinggal di
Panti Asuhan dan yang tinggal bersama orangtua. 1.3.2 Tujuan
Untuk mengetahui perbedaan komponen-komponen self-compassion pada
7
1.4 Kegunaan Penelitian
1.4.1 Kegunaan Teoretis
Untuk memperkaya penelitian self-compassion pada remaja
Untuk memberikan informasi terutama bagi bidang psikologi perkembangan dan
positive psychology mengenai self-compassion pada remaja yang tinggal di Panti
Asuhan dan yang tinggal bersama keluarga.
Sebagai acuan atau referensi bagi peneliti lainnya yang tertarik melakukan
penelitian mengenai self-compassion.
1.4.2 Kegunaan Praktis
Memberikan informasi kepada pihak Panti Asuhan mengenai self-compassion
pada remaja yang tinggal di sana dan bagaimana perbedaannya dengan remaja
yang tinggal dengan orangtua sehingga, diharapkan pihak Panti Asuhan dan orangtua dapat menggunakan informasi ini dalam memberikan pengasuhan untuk membantu remaja untuk lebih toleran terhadap dirinya, mau menerima diri apa
adanya, bukan mengkritik diri sendiri, memandang dirinya sebagai orang yang paling malang, paling gagal, atau membesar-besarkan masalah.
1.5 Kerangka Pemikiran
Keluarga merupakan unit sosial penting dalam masyarakat. Berbagai
penelitian selama bertahun-tahun dalam berbagai budaya dan konteks secara konsisten menunjukkan pengasuhan dalam keluarga memiliki dampak yang positif
8
kenyataannya, kebanyakan orangtua yang mengalami kesulitan ekonomi
menempatkan anaknya di panti asuhan untuk memenuhi kebutuhan materi misalnya makanan, tempat tinggal, dan pendidikan (Bunkers, Cox, Gesiriech, & Olson, 2014). Adanya tujuan orangtua untuk memastikan anak mendapatkan pendidikan, akhirnya
membuat anak ditempatkan di panti asuhan sepanjang usia anak menempuh pendidikan dan masa remaja pun dihabiskan di panti asuhan.
Pada masa remaja, individu mengalami perubahan kemampuan berpikir, biologis, emosional, dan sosial. Perubahan kemampuan berpikir memiliki pengaruh dramatis pada cara remaja memersepsikan, memahami, dan menafsirkan pengalaman
sehari-harinya (Bluth & Blanton, 2014). Remaja secara terus-menerus melakukan evaluasi diri dan membandingkan dirinya dengan orang lain untuk menetapkan
identitas dan menempatkan diri dalam hirarki sosial (Brown & Lohr, 1987; Harter, 1990, dalam Neff, 2003). Hal tersebut memberikan tekanan kuat pada sebagian besar
remaja misalnya stress yang disebabkan academic performance, kebutuhan untuk menjadi populer dan diterima teman sebaya, body image, sexual attractiveness, artinya evaluasi diri seringkali tidak menguntungkan (Harter, 1993; Simmons,
Rosenberg & Rosenberg, 1973; Steinberg, 1999, dalam Neff & McGehee, 2010). Individu perlu menerima dirinya dengan lapang dada, memerlakukan diri dengan
kebaikan, kepedulian, dan compassion. Compassion yang ditunjukkan pada diri sendiri disebut self-compassion (Neff, 2011).
Neff & McGehee menyatakan bahwa proses dalam keluarga (seperti
dukungan keluarga dan sikap orangtua) akan berkontribusi menumbuhkan
self-compassion (Hidayati, 2013). Individu yang merasakan kehangatan, dukungan dari
orangtua, dan merasakan orangtua mereka sebagai figur yang memahami dan
9
2003). Neff (2011) juga menyebutkan bahwa salah satu cara yang efektif untuk
membantu remaja mengembangkan compassion yaitu dengan menunjukkan
self-compassion di hadapan remaja dalam kehidupan sehari-hari.
Remaja yang tinggal di panti asuhan akan menjadikan pengasuh sebagai figur
pengganti orangtua yang dapat memberikan kasih sayang dan sekaligus menjadi figur model dalam memerlakukan diri dengan self-compassion. Adanya beberapa
pengasuh di panti asuhan dan adanya pergantian pengasuh karena pergantian shift maupun kebijakan pengelola panti untuk memindahkan pengasuh dari satu asrama ke asrama lain, membuat penghuni panti asuhan tidak dapat secara konsisten
berinterkasi dengan pengasuh. Sedangkan, remaja yang tinggal dengan orangtua memiliki figur menetap yang dapat memberikan kasih sayang dan panutan dalam
memerlakukan diri ketika mengalami kesulitan dan kegagalan. Hal ini memungkinkan remaja yang tinggal dengan orangtua lebih mudah dalam
memerlakukan dirinya dengan self-compasssion seperti yang mereka lihat dari orangtua.
Self-compasion berbicara tentang kemampuan individu untuk terbuka pada
diri sendiri menerima kesulitan, permasalahan dalam kehidupan sehari-hari dan ketidaksempurnaan diri serta menyadari bahwa hal tersebut sebagai bagian dari
kondisi manusia umumnya. Dengan self-compassion, remaja yang tinggal di panti asuhan akan secara terbuka menerima kesulitannya yang sedang dihadapi misalnya kesulitan menyesuaikan diri dengan teman baru di panti asuhan maupun di sekolah.
Remaja yang tinggal di panti asuhan akan memaklumi bahwa dirinya memerlukan waktu untuk dapat menyesuaikan diri dan diterima oleh temannya. Remaja yang tinggal di panti asuhan kemudian memandang hal tersebut dapat saja dialami oleh
10
kurang bisa bergaul dengan teman atau bahkan merasa bahwa tidak ada yang mau
berteman dengannya. Mereka dapat secara sadar menerima dan memahami hal tersebut sebagai hal yang wajar dialami oleh seseorang.
Begitu pula jika hal tersebut terjadi pada remaja yang tinggal dengan
orangtua, mereka yang dapat memerlakukan dirinya dengan self-compassion akan menerima kesulitan menyesuaikan diri saat berada di kelas baru. Mereka dapat lebih
melihat bahwa hal tersebut adalah hal yang wajar dialami seseorang ketika berada di lingkungan yang baru karena memerlukan waktu untuk berkenalan dengan teman baru dan menyesuaikan diri. Remaja yang tinggal dengan orangtua secara sadar akan
melihat bahwa kesulitan dalam menempatkan diri di lingkungan baru merupakan hal yang tidak bisa dihindari sehingga mereka akan berusaha mencari cara untuk
mengatasi hal tersebut misalnya dengan mencoba memulai berkenalan dengan teman.
Self-compassion memiliki tiga komponen utama yaitu self-kindness, common
humanity, dan mindfulness (Neff 2003b, 2011). Self-kindness adalah kemampuan
individu untuk peduli dan memahami diri sendiri, bukan mengkritik secara kejam
dan menghakimi diri sendiri atas keadaaan yang terjadi. Dengan self-kindness, individu akan memberi kelembutan dan pengertian atas kelemahan maupun
kekurangan diri serta, menggunakan bahasa yang lembut dan mendukung untuk dirinya sendiri (Neff, 2011).
Remaja yang tinggal di panti asuhan yang mampu memerlakukan dirinya
dengan kebaikan, akan bersikap lembut dan berusaha memahami dirinya ketika mengalami kesulitan dalam mengerjakan tugas di sekolah dan mencapai standar nilai yang harus dicapai meskipun sudah berusaha dengan keras. Remaja yang tinggal di
11
dialami. Selain itu, remaja yang tinggal di panti asuhan memaklumi terkadang
lingkungan eksternal dalam kehidupan tidak sesuai dengan harapan dan terkadang menjadi suatu hambatan bagi dirinya untuk mencapai tujuan. Dalam hal ini, lingkungan kurang mendukungnya untuk belajar karena keterbatasan dalam
menggunakan sarana dan situasi ruang belajar panti asuhan yang kurang kondusif. Sama halnya dengan remaja yang tinggal di panti asuhan, dengan
self-kindness, remaja yang tinggal dengan orangtua akan memerlakukan dirinya dengan
sikap peduli dan memahami dirinya. Saat remaja gagal mendapatkan nilai sesuai harapan maupun sesuai standar meskipun sudah berusaha dengan menambah jam
belajarnya, dapat mentoleransi pengalaman tersebut dan secara aktif menghibur dirinya serta mampu menyemangati diri mereka. Remaja tidak akan menyalahkan
dirinya karena gagal mencapai standar nilai dan tidak akan memaksakan dirinya untuk mendapatkan nilai yang sempurna. Remaja akan menyadari bahwa dirinya
memiliki kekurangan dalam mata pelajaran tertentu sehingga tidak dapat mencapai nilai standar namun, dirinya masih memiliki kemampuan yang lebih baik di mata pelajaran lainnya atau bahkan memiliki kelebihan di bidang non akademis.
Kedua kelompok remaja yang cenderung mengkritik dan menghakimi diri sendiri, akan menyalahkan dirinya ketika tidak dapat mencapai standar nilai. Selain
itu, akan larut pada rasa kecewa dan merasa dirinya tak mampu karena melihat remaja lain dapat lebih baik dari dirinya. Hal ini dapat membuat remaja kehilangan semangat belajarnya.
Komponen kedua dari self-compassion yaitu common humanity, yang merupakan kemampuan individu untuk melihat pengalaman seseorang sebagai pengalaman manusia pada umumnya daripada melihatnya secara terpisah dan
12
sebagai pengalaman yang dialami merupakan hal yang wajar dialami. Remaja yang
tinggal di panti asuhan tidak akan merasa sendirian karena merasa sebagai satu-satunya remaja yang harus terpisah dari kedua orangtuanya karena masalah ekonomi atau masalah keluarga. Mereka dapat melihat pengalaman tersebut juga dialami oleh
teman lain di panti asuhan. Jika remaja yang tinggal di panti asuhan dapat melihat temannya di panti asuhan mengalami hal yang sama, mereka akan menyadari bahwa
masalah ekonomi, masalah keluarga, maupun kondisinya yang harus terpisah dengan orangtua adalah hal yang wajar dialami oleh remaja.
Begitu juga remaja yang tinggal dengan orangtua, saat memiliki masalah
dengan keluarganya, berdebat dengan orangtua atau bertengkar dengan adik/kakak, remaja tinggal dengan orangtua dapat melihat adik/kakak maupun teman di sekolah
juga pernah berada dalam masalah yang sama. Selain itu, remaja yang tinggal dengan orangtua dapat juga melihat baik kakak/adik maupun orangtuanya juga berada dalam
situasi yang kurang menyenangkan seperti dirinya saat muncul masalah dalam keluarga. Remaja yang tinggal dengan orangtua akan lebih baik dalam memandang apa yang sedang dialami dibandingkan remaja yang tinggal di panti asuhan. Remaja
yang tinggal dengan orangtua dapat membingkai pengalamannya sebagai hal yang dialami oleh manusia pada umumnya. Sedangkan, jika kedua kelompok remaja
menganggap bahwa permasalahan yang mereka hadapi hanya mereka yang mengalaminya, membuat mereka merasa berbeda dengan remaja lainnya. Remaja yang tinggal di panti asuhan maupun yang tinggal dengan orangtuanya akan
meyakini bahwa mereka adalah satu-satunya remaja yang paling tidak bahagia dan beruntung.
Mindfulness adalah kemampuan individu untuk menyadari secara jelas dan
13
merenungkan aspek-aspek yang tidak disukai baik di dalam diri ataupun di dalam
kehidupannya. (Neff, 2011). Mindfulness melibatkan kesadaran, perhatian, dan penerimaan saat ini (Shapiro, Astin, Bishop, & Cordova, 2005; Shapiro, Brown, & Biegel, 2007; dalam Barnard & Curry, 2011).
Dengan mindfulness, remaja panti menunjukkan kecenderungan untuk menerima kenyataan bahwa dirinya harus tinggal di panti asuhan tanpa kehadiran
orangtua mereka. Mereka tidak melebih-lebihkan kenyataan tersebut bahwa dirinya harus tinggal di panti asuhan dan orangtua mereka tidak dapat selalu hadir dalam hidupnya. Remaja panti secara sadar akan berusaha memerbaiki kondisinya yang
harus diterima dengan mengimbangi perasaan negatif seperti merasa tidak dipedulikan oleh orangtua karena mereka dititipkan di panti asuhan dengan
pemikiran yang lebih positif misalnya orangtua mereka menginginkan mereka mendapatkan kehidupan yang lebih baik walaupun harus berpisah atau mereka juga
dapat menganggap pengalaman mereka harus berpisah dengan orangtua dapat membuatnya untuk belajar lebih mandiri dan bertanggung jawab. Mereka meyakini bahwa orangtua mereka tetap peduli dan menyayangi mereka walaupun tidak selalu
hadir.
Begitu juga pada remaja yang tinggal dengan orangtua, ketika mereka tidak
mampu memenuhi tuntutan yang diberikan orangtua misalnya tuntutan untuk lebih mandiri, bertanggung jawab, maupun tuntutan untuk mencapai standar nilai tertentu. Remaja yang tinggal dengan orangtua akan menerima kenyataan tersebut tanpa
melebih-lebihkannya. Mereka akan berusaha memerbaiki diri agar bisa memenuhi tuntutan dan harapan orangtuanya. Remaja yang tinggal dengan orangtuanya juga akan mengimbangi pemikiran negatif dengan pemikiran positif seperti yang
14
remaja yang kurang bisa menerima kenyataan bahwa dirinya harus menghadapi
kesulitan terntentu, remaja akan merenungkan hal-hal yang tidak disukai dari hidupnya. Remaja akan menyalahkan keadaan akan apa yang terjadi pada dirinya.
Dalam penelitian ini self-compassion dari kedua kelompok remaja tersebut
akan dibandingkan. Jika terdapat perbedaan signifikan dari self-compassion-nya, maka keberadaan remaja di panti asuhan memiliki hubungan dengan
self-compassion. Sebaliknya, jika tidak terdapat perbedaan maka, dapat dikatakan bahwa keberadaan remaja di panti asuhan tidak memiliki hubungan dengan self-compassion. Adapun faktor-faktor yang memengaruhi self-compassion yaitu kepribadian, budaya,
dan attachment tidak diukur dalam penelitian ini karena peneliti hanya berfokus untuk meneliti perbedaan self-compassion pada remaja yang tinggal di panti asuhan
dan remaja yang tinggal dengan orangtua.
Gambar 1.1 Bagan Kerangka Pemikiran
1.6 Asumsi Penelitian
Self-compassion akan tumbuh dan berkembang mengikuti keadaan kehidupan
remaja
Terdapat perbedaan self-compassion antara remaja yang tinggal di panti asuhan
dan remaja yang tinggal dengan orangtua
15
Remaja yang diasuh oleh kedua orangtuanya memiliki dampak positif bagi
perkembangan self-compassion- nya
Keberadaan remaja di panti asuhan akan memberikan pengaruh negatif terhadap
perkembangan self-compassion-nya
Ketidakhadiran orangtua dalam kehidupan remaja yang tinggal di panti asuhan
akan menyebabkan komponen-komponen self-compassion-nya tidak dapat
berkembang secara optimal.
1.7 Hipotesis Penelitian
H0 : Tidak terdapat perbedaan self-compassion antara remaja yang tinggal di panti asuhan dan remaja yang tinggal dengan orangtua
H1 : Terdapat perbedaan self-compassion antara remaja yang tinggal di panti asuhan dan remaja yang tinggal dengan orangtua
H0 : Tidak terdapat perbedaan self-kindness antara remaja yang tinggal di panti
asuhan dan remaja yang tinggal dengan orangtua
H1 : Terdapat perbedaan self-kindness antara remaja yang tinggal di panti asuhan dan remaja yang tinggal dengan orangtua
H0 : Tidak terdapat perbedaan mindfulness antara remaja yang tinggal di panti asuhan dan remaja yang tinggal dengan orangtua
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat ditarik simpulan bahwa: 1. Terdapat perbedaan self-compassion antara remaja yang tinggal di panti asuhan
dan remaja yang tinggal dengan orangtua, sehingga keberadaan remaja di panti asuhan dapat dikatakan memiliki hubungan dengan self-compassion.
2. Jika dilihat dari komponen-komponen self-compassion yaitu self-kindness,
common humanity, dan mindfulness, self-kindness antara remaja yang tinggal di
panti asuhan dan remaja yang tinggal dengan orangtua yang memiliki perbedaan.
Ini artinya, keberadaan remaja di panti asuhan memiliki hubungan dengan
self-kindness.
3. Common humanity dan mindfulness antara antara remaja yang tinggal di panti
asuhan dan remaja yang tinggal dengan orangtua tidak memiliki perbedaan sehingga, keberadaan remaja di panti asuhan tidak memiliki hubungan dengan
common humanty dan mindfulness.
5.2 Saran
5.2.1 Saran Teoretis
Dengan adanya keterbatasan dalam penelitian ini, penulis menyarankan
63
peneliti juga menyarankan untuk menambah jumlah sampel penelitian untuk
memperkuat hasil penelitian.
5.2.2 Saran Praktis
1. Bagi pihak panti asuhan dan orangtua, hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan
untuk membantu responden mengembangkan self-compassion melalui
pengasuhan yang diterapkan dan dengan mengenalkannya pada remaja.
2. Bagi pengasuh di panti asuhan, pengasuh dapat mengajarkan remaja untuk lebih
dapat memaklumi kekurangan dan kegagalan yang dialami, memahami dan
menerima dirinya sehingga tidak menyalahkan dirinya ketika sedang menghadapi kegagalan atau kesulitan.
3. Bagi remaja yang tinggal di panti asuhan maupun yang tinggal dengan orangtua,
hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan evaluasi untuk menerapkan
self-compassion saat menghadapi kesulitan maupun permasalahan. Mengingat
STUDI DIFERENSIAL MENGENAI SELF-COMPASSION
PADA REMAJA YANG TINGGAL DI PANTI ASUHAN DAN
REMAJA YANG TINGGAL DENGAN ORANGTUA
(
Penelitian T
erhadap Remaja Panti Asuhan “X”
..
Dan Remaja Di Cianjur
)SKRIPSI
Diajukan untuk menempuh sidang sarjana di Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha
Oleh:
MARIA NATHANIA PUTRI SARASWATI
NRP: 1130065
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA
BANDUNG
PERNYATAAN ORISINALITAS LAPORAN PENELITIAN
Dengan ini, saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Maria Nathania Putri Saraswati NRP : 1130065
Fakultas : Psikologi
Menyatakan bahwa laporan penelitian ini adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan bukan duplikasi dari orang lain.
Apabila pada masa mendatang diketahui bahwa pernyataan ini tidak benar adanya, saya bersedia menerima sanksi yang diberikan dengan segala konsekuensi sesuai dengan peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No. 17 Tahun 2010.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya
Bandung, Juni 2016
MARIA NATHANIA PUTRI S. NRP: 1130065
PERNYATAAN PUBLIKASI LAPORAN PENELITIAN
Dengan ini, saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Maria Nathania Putri Saraswati NRP : 1130065
Fakultas : Psikologi
menyatakan bahwa:
1. Demi pengembangan ilmu pengetahuan menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Kristen Maranatha Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif (Non-Exlusive
Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul: “Studi Diferensial
Mengenai Self-Compassion Pada Remaja yang Tinggal di Panti Asuhan dan Remaja yang Tinggal Dengan Orangtua (Penelitian Terhadap Remaja Panti
Asuhan “X” dan Remaja di Cianjur)”.
2. Universitas Kristen Maranatha Bandung berhak menyimpan, mengalihmediakan/ mengalihformatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), mendistribusikannya dan menampilkan/ mempublikasikannya dalam bentuk
softcopy untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya selama
tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/ pencipta.
3. Saya bersedia menanggung secara pribadi, tanpa melibatkan Universitas Kristen Maranatha Bandung, segala bentuk tuntutan hukum yang timbul atas pelanggaran Hak Cipta dalam karya ilmiah saya ini.
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kepada Tuhan Yesus atas berkat, bimbingan dan penyertaan-Nya penulis dapat menyelesaikan Skripsi di Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha Bandung. Selama menyusun skripsi dengan judul “Studi Diferensial
Mengenai Self-Compassion Pada Remaja yang Tinggal di Panti Asuhan dan Remaja yang Tinggal Bersama Orangtua” peneliti banyak menemukan kesulitan, baik dalam
persiapan, penyusunan, maupun penyelesaiannya, tetapi berkat bantuan dari berbagai pihak, akhirnya kesulitan-kesulitan ini dapat diatasi. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini peneliti ingin megucapkan terimakasih kepada:
1. Dr. Irene Prameswari Edwina, M.Si., Psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Kristen Maranatha.
2. Dr. Ria Wardani, M.Si., Psikolog, selaku dosen pembimbing, yang telah
meluangkan waktunya untuk membimbing dengan sabar, memberikan saran dan kritik yang membangun untuk penelitian ini, dan membukakan wawasan yang baru.
3. Iman Setiadi Arif, M.Psi., Psikolog selaku dosen pembimbing pendamping, yang
telah meluangkan waktunya untuk membimbing dan memberikan saran yang
membangun bagi peneliti.
4. Ka Yan, M.Psi., Psikolog dan Tery Setiawan, M.Si., Psikolog selaku dosen
yang mengajar Metodologi Penulisan Lanjutan dan Usulan Penelitian yang telah
viii
5. Pihak Panti Asuhan “X” khususnya Romo Haryo, Bu Ning, Bu Yayu, dan
Bapak/Ibu Pengasuh yang telah memberi ijin dan membantu peneliti dalam melakukan survey awal dan pengambilan data
6. Adik-adik yang bersedia menjadi responden dalam penelitian ini.
7. Tata Usaha Fakultas Psikologi yang membantu peneliti untuk melengkapi
administrasi dalam penyusunan skripsi.
8. Orangtua peneliti, yang selalu mendukung dengan doa-doanya, menyemangati
penulis, menemani peneliti melakukan survey awal dan pengambilan data. 9. Indra Adi Darma, yang selalu menemani, mendukung, memberikan semangat,
dan mendengarkan keluh kesah peneliti dalam menyelesaikan penelitian ini. 10. Rina, Rahel, Chike dan Niko yang selalu menyemangati, menghibur peneliti,
dan juga membantu dalam pengambilan data
11. Hilda, Siska, Sharleen, dan teman-teman satu dosen pembimbing lainnya yang
sama-sama berjuang menyelesaikan skripsi, menyemangati, dan juga memberikan masukan kepada peneliti.
12. Magdalena, Grace, Lusiana, Galuh, Anzell, Imel, Selyna, Dewi, dan Sera yang
bersama-sama berjuang dari awal perkuliahan hingga saat ini. Terima kasih karena selalu menghibur, memberi semangat, dan bantuan dalam menyelesaikan
penelitian ini.
13. Lily, Zelda, dan Iren yang sama-sama sedang meyusun penelitian dan
memberikan semangat kepada peneliti.
14. Teman-teman Fakultas Psikologi angkatan 2011 yang tidak bisa disebutkan satu
per satu, terima kasih atas bantuan, saran, dan dorongannya kepada penulis. 15. Semua pihak yang memberikan dukungan dan membantu penulis selama
ix
Dalam menyusun penelitian ini, peneliti menyadari sepenuhnya bahwa
penelitian ini memiliki kekurangan mengingat adanya keterbatasan dari peneliti. Oleh karena itu, peneliti terbuka akan kritik dan saran yang membangun. Akhir kata peneliti berharap penelitian ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan pihak-pihak yang
memerlukannya.
Bandung, Mei 2016
DAFTAR PUSTAKA
Barnard, Laura & John F. Curry. (2011). Sel-Compassion: Conceptualizations, Corelates, & Interventions. Review of General Psychology, Vol 15, No.4, 289-303.
Bluth, Karen & Priscilla W. Blanton. (2013). Mindfulness and Self-Compassion: Exploring Pathways to Adolescent Emotional Wellbeing. Journal of Child and
Family Studies, Vol 22 , No. 7.
Bluth, Karen & Priscilla W. Blanton. (2014). The Influence of Self-Compassion on Emotional Wellbeing Among Early and Older Adolescent Males and Females.
Journal of Positive Psychology, 1-12.
Bunkers, Kelley, Amanda Cox, Sarah Gesiriech, & Kerry Olson. (2014). Children,
Orphanages, and Families: A Summary of Research to Help Guide Faith-Based Action. Faith to Action Initiative.
Graziano, Anthony M. & Michael L. Raulin. (2010). Research Methods A Proses of
Inquiry. Singapore: Allyn and Bacon.
Hidayati, Farida. (2013). Self-Compassion: Sebuah Alternatif Konsep Transpersonal Tentang Sehat Spiritual Menuju Diri Yang Utuh. Spiritualitas dan Psikologi
Kesehatan, 48-65.
Ijzendoorn, Marinus H., Jesus Palacios, Edmund J. S. Sonuga-Barke, Megan R. Gunnar, Panayiota Vorria, Robert B. McCall, ... Femmie Juffer. (2014).
Children in Institutional Care: Delayed Development and Resilience, 76, 8-30.
Irwanto & Santi Kusumaningrum. (2014). Understanding Vulnerability: A Study on
Situations That Affect Family Separation and The Lives of Childrren in and out of Family Care. Pusat Kajian Perlindungan Anak Universitas Indonesia.
Lestari, Sri. 2012. Psikologi Keluarga. Jakarta : Kencana
Missiliana. (2014). Self–Compassion dan Compassion For Others Pada Mahasiswa
Fakultas Psikologi UK.Maranatha. Bandung: Universitas Kristen Maranatha.
Neff, Kristin. (2003b). Self-Compassion: An alternative Conceptualization of A Healthy Attitude Toward Oneself. Self and Identity, 2, 85-101.
Neff, Kristin. (2003c). Self-Compassion scale (long). Retrieved from http://www.self-compassion.org/selfcompassion-scales-for-researchers.html.
Neff, Kristin & Pittman McGehee. (2010). Self-Compassion and Psychological Resilience Among Adolescents and Young Adults. Self-Identity, 225-240.
65
Neff, Kristin. (2011). Self-Compassion, Self-Esteem, and Well Being. Social and
Personality Psychology Compass, 1-12.
Neff, Kristin. (2011). Self-Compassion: Stop Beating Yourself Up and Leave
Insecurity Behind. Texas : Harper Collins Publishers.
Rani, Chandni & Sukhminder Kaur. (2015). Exploring Psychological Health of
Orphan Adolescents: A Comparative Analysis, Volume III, 27-47.
Santrock, John. 2012. Adolescent. New York: McGraw-Hill.
Sugiyono. 2013. Statistika untuk Penelitian. Bandung : Alfabeta.
DAFTAR RUJUKAN
Setyawan, Davit. (2014). Potret Kesenjangan Perlindungan Anak dari Regulasi
hingga Implementasi.(Online). (http://www.kpai.go.id/artikel/potret-kesenjangan-perlindungan-anak-dari-regulasi-hingga-implementasi/, diakses 10 Maret 2015).