• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji Coba Program Konseling Kelompok "Sumber-sumber Self Effifacy" pada Penyalahguna Napza di Panti Rehabilitasi "RC" (Dalam Rangka Meningkatkan Self Efficacy Menghadapi Situasi Pemicu Relapse).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Uji Coba Program Konseling Kelompok "Sumber-sumber Self Effifacy" pada Penyalahguna Napza di Panti Rehabilitasi "RC" (Dalam Rangka Meningkatkan Self Efficacy Menghadapi Situasi Pemicu Relapse)."

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh program konseling kelompok yang dapat digunakan untuk meningkatkan derajat self- efficacy pada penyalahguna NAPZA di Panti Rehabilitasi RC, yang terukur dari evaluasi proses konseling dan perubahan derajat self- efficacy anggota konseling kelompok.

Sampel penelitian ini berjumlah 4 orang residen (penyalahguna NAPZA yang mengikuti program rehabilitasi). Alat ukur yang digunakan adalah kuesioner self-

efficacy yang disusun peneliti berdasarkan indikator yang diturunkan dari teori

aspek-aspek self- efficacy Bandura. Validitas alat ukur menggunakan content validity atas penilaian expert.

Teknik analisa menggunakan statistik deskriptif , dengan menggambarkan perubahan yang terjadi menggunakan tabel dan grafik. Hasil yang didapat dari uji coba program konseling kelompok ini, seluruh anggota konseling memberikan tanggapan yang positif dan mendapatkan kesadaran dan pemahaman yang positif atas pentingnya self-

efficacy mereka. Derajat self efficacy semua anggota kelompok konseling mengalami

peningkatan.

Saran praktis bagi konselor adiksi dan pihak rehabilitasi RC dapat mempertimbangkan untuk menggunakan program “Sumber-Sumber Self Efficacy” ini sebagai salah satu sumber untuk mendapatkan gambaran mengenai pentingnya

self-efficacy bagi penyalahguna NAPZA dalam menghadapi situasi pemicu relapse, dan

sebagai informasi awal untuk merancang program rehabilitasi yang terkait dengan peningkatan keyakinan pada penyalahgunan NAPZA di panti rehabilitasi dalam menghadapi situasi pemicu relapse.

(2)

ABSTRACT

(3)

DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan………. i

Pernyataan Orisinalitas Laporan Penelitian……… ii

Pernyataan Publikasi Penelitian………. iii

Abstrak………. iv

Kata Pengantar……… v

Daftar Isi……….. ix

Daftar Tabel………. xiii

Daftar Bagan……… xiv

Daftar Lampiran……….. xv

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah... . 1

1.2. Identifikasi Masalah... . 16

1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian……….. 16

1.3.1. Maksud Penelitian……… 16

1.3.2. Tujuan Penelitian……… 16

1.4. Kegunaan Penelitian ……….. 17

1.4.1. Kegunaan Ilmiah... 17

1.4.2. Kegunaan Praktis………. 17

1.5. Metodologi Penelitian ……….. 18

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Self Efficacy……….... 19

2.1.1 Definisi Self Efficay……….. 19

2.1.2 Sumber-sumber Self Efficacy……….. 20

2.1.3 Proses-Proses yang mempengaruhi Self Efficacy... 25

2.1.4 Self efficacy dan Health Behavioral ……… 28

(4)

2.2. Penyalahgunan NAPZA………. 36

2.3 Relapse……… 37

2.3.1 Pendekatan Pada Situasi Relapse ………... 38

2.3.2 Situasi Beresiko Tinggi Pemicu Relapse…………. 41

2.4 Konseling Kelompok ………. 44

2.4.1 Fase Proses Kelompok……… 48

2.4.2 Karakteristik Personal Dari Seorang Pemimpin Konseling kelompok……… 52

2.4.3 Proses Kelompok dan Anggota Kelompok……… 55

2.4.4 Pengukuran Hasil Konseling ………. 57

2.4.5 Konseling Sebagai Suatu Intervensi……….. 60

2.4.6 Proses kognitif………. 64

2.5 Kerangka Pikir………. 65

2.6 Asumsi Penelitian……… 80

2.7 Hipotesis Penelitian……… 80

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian ……… 82

3.2 Variabel Penelitian ……… 83

3.2.1 Definisi Konseptual ……….. 83

3.2.1.1 Self Efficacy ……….. 83

3.2.1.2 Konseling Kelompok ……… 83

3.2.2 Definisi Operasional ………. 84

3.2.2.1 Self efficacy ……… 84

3.2.2.2 Konseling Kelompok ……… 85

3.3 Alat Ukur ……….. 87

3.3.1 Data Utama ……… 87

3.3.1.1 Prosedur Pengisian dan Sistem Penilaian 89 3.3.2 Data Penunjang ………. 90

3.3.3 Validitas Alat Ukur ……… 91

(5)

3.5 Subjek Penelitian ……….. 92

3.6 Pengolahan Data ……… 92

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian ……….. 94

4.1.1 Identitas dan Riwayat Pemakaian NAPZA Responden 94 4.1.2 Program Konseling Kelompok " Sumber-Sumber Self Efficacy "……….. 98

4.1.2.1 Hasil Evaluasi Terhadap Proses Konseling Kelompok Per-Sesi ………. 98

4.1.2.2 Hasil Evaluasi Terhadap Keseluruhan Proses Konseling Kelompok ……….. 101

4.1.2.3 Hasil Evaluasi Terhadap Konselor untuk Setiap Sesi Konseling ………. 103

4.1.3 Self Efficacy Respoden ……….. 106

4.1.3.1 Hasil Perubahan Derajat Self Efficacy …… 106

4.1.3.1.1 Hasil Pengukuran Self Efficacy …… 107

4.1.3.1.2 Hasil Pengukuran Self Efficacy per-Situasi Pemicu Relaspe ………. 108

4.1.3.1.3 Hasil Pengukuran Aspek Self Efficacy 108

4.1.3.2 Perubahan pada Sumber Self Efficacy dan Situasi Pemicu Relapse ………. 109

4.2 Pembahasan ……….. 116

4.2.1 Gambaran Program Konseling Kelompok “Sumber-Sumber Self Efficacy”……… 117

4.2.2 Gambaran Self Efficacy Responden …………... 129

4.2.2.1 Konseli A ………. 129

4.2.2.1 Konseli B ………. 133

4.2.2.1 Konseli C ………. 137

(6)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan ……….. 143

5.2 Saran ………. 143

5.2.1 Saran Praktis ………. 143

5.2.1 Saran Teoritis ……… 144

Daftar Pustaka ……….. 146

(7)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 : Kisi-kisi Alat Ukur Self Efficacy 87

Tabel 3.2 : Sistem Penilaian 90

(8)

DAFTAR BAGAN

Bagan 2.1 : Model proses perubahan pada perilaku adiksi 31

Bagan 2.2 : Model Tentang Relapse 41

Bagan 2.3 : Skema Kerangka Pikir 81

[image:8.595.111.506.150.513.2]

Bagan 3.1 : Skema Penelitian 83

(9)

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN A : Kuesioner Self Efficacy

LAMPIRAN B : Panduan Pelaksanaan Konseling

LAMPIRAN C : Evaluasi Program Konseling Kelompok LAMPIRAN D : Lembar Kerja “Reminder Card”

(10)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Penyalahgunaan NAPZA merupakan penyakit endemik dalam masyarakat modern, penyakit kronik yang berulang kali kambuh dan merupakan proses gangguan mental adiktif, karena zat yang terkandung di dalam NAPZA menimbulkan adiksi atau ketagihan yang pada gilirannya mengakibatkan dependensi atau ketergantungan. Sampai saat ini angka korban penyalahgunaan NAPZA semakin hari semakin menunjukan peningkatan. Kondisi terakhir berdasarkan data dari BNN jumlah penyalahguna NAPZA pada tahun 2010 mencapai 3,6 juta orang. Sedangkan prevalensi penyalahguna NAPZA di Indonesia tahun 2013 menjadi 4,5 juta dan 2015 naik menjadi 2,8% penduduk Indonesia (setara dengan 5,1 – 5,6 juta jiwa).

Untuk Provinsi Jawa Barat, berdasarkan data dari Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat, bagian Pelayanan dan Rehabilitasi Anak Nakal dan Korban Narkoba, pengguna NAPZA pada 2008 sebanyak 2.006 orang, pada 2009 naik menjadi 3.254 orang, dan pada 2010 jadi berjumlah 4.310 orang. Sedangkan data pemetaan provinsi tertinggi penyalahgunaan NAPZA Provinsi Jawa Barat ada pada urutan ketiga setelah DKI Jakarta diurutan pertama dan Provinsi Kepulauan Riau diurutan kedua.

(11)

2

NAPZA setelah divonis pengadilan terbukti tidak mengedarkan atau memproduksi NAPZA, dalam hal ini mereka hanya sebatas pengguna saja, maka mereka berhak mengajukan untuk mendapatkan pelayanan rehabilitasi. Setelah vonis pengadilan diputuskan maka para penyalahguna NAPZA tersebut dapat diajukan untuk menjalani rehabilitasi baik secara medis maupun sosial, untuk memberikan kesempatan bagi para pengguna yang sudah terjerumus dalam penyalahgunaan NAPZA agar dapat terbebas dari kondisi tersebut dan dapat kembali melanjutkan hidupnya secara sehat dan normal.

Penyalahguna NAPZA yang sedang menjalani program rehabilitasi disebut dengan “residen” pada tahun 2010 berjumlah 3.477 orang. Untuk gambaran tentang fasilitas rehabilitasi yang ada di Indonesia sesuai data dari BNN pada tahun 2010, fasilitas rehabilitasi terdiri dari: milik pemerintah sebanyak 114 (101 aktif & 13 tidak), kapasitas 2.134; non pemerintah / masyarakat sebanyak 255 (141 aktif & 114 tidak) dengan kapasitas 4.046; lapassustik sebanyak 16, kapasitas 6.000.

Salah satu pusat rehabilitasi yang ada di Jawa-Barat yaitu panti rehabilitasi “RC”, dimana peneliti melakukan penilitian. Panti rehabilitasi RC adalah salah satu pusat rehabilitasi yang dikelola oleh swasta/LSM dan merupakan salah satu pusat rehabilitasi yang berada di kotamadya Bandung yang berdiri sejak tanggal 1 Juli 2003. Adapun tujuan akhir dari program rehabilitasi disana adalah untuk membantu residen pulih kembali, baik dari aspek biologis, psikososial maupun spiritual.

(12)

3

kondisi widrawal klien, gejala fisik dan medis-jika ada, mempersiapkan residen untuk memulai program dengan memperkenalkan aturan-aturan dan nilai-nilai yang dianut pada panti rehabilitasi RC. Tahap kedua yaitu: Primary A, tujuan yang diharapkan pada tahap ini untuk pengenalan diri klien dan menggali permasalahan pribadi untuk memahami diri sendiri (masalah & kebutuhan) dan kedisiplinan waktu (mematuhi jadwal kegiatan harian).

Tahap ketiga yaitu: Primary B, dengan tujuannya adalah mempersiapkan residen untuk kembali masuk pada lingkungan masyarakat, menjalin hubungan sosial, mempererat hubungan dengan keluarga dan/ atau pasangan. Tahap selanjutnya yaitu tahap keempat Re Entry, tujuan yang diharapkan pada tahap ini adalah untuk kembali beradaptasi dan berfungsi secara optimal di lingkungan sosial. Tahap yang terakhir, tahap kelima After Care, yaitu mengembalikan residen ke lingkungan sosial secara penuh.

Namun pada kenyataannya setelah menyelesaikan program rehabilitasi dan berhenti menggunakan NAPZA, tidak menjamin residen terlepas dari penggunaan NAPZA kembali. Menurut data dari panti rehabilitasi RC, residen yang telah menjalani program rehabilitasi dan abstinence, ketika kembali kelingkungan sosialnya, sebanyak 70%-80% nya gagal mempertahankan kondisi abstinence dan kembali menggunakan NAPZA atau relapse. Relapse adalah kondisi seseorang yang kembali menyalahgunakan NAPZA setelah beberapa waktu mengalami periode ‘bersih’ atau abstinence.

(13)

4

penyalahguna NAPZA relapse adalah antara 40% sampai 60% (National Institute on

Drug Abuse, 2009). Relapse dapat terjadi pada kecanduan terhadap alkohol, rokok,

heroin, dan zat-zat adiktif lainnya dan diperkirakan dapat mencapai 50% - 90% dari kasus kecanduan (Marlatt and Gordon, 1985). Sedanghan hasil penelitian dari Curry & McBride, 1994; Ossip-Klein, 1986 (dalam Sarafino, 2006) menyatakan perkiraan relapse terjadi bervariasi mulai dari 50% sampai 80 %, tergantung banyak faktor, meliputi metode yang digunakan untuk berhenti, seberapa parah tingkat penggunaannya, dan lingkungannya. Untuk Indonesia sendiri, angka kekambuhan pada proses rehabilitasi mencapai 80% (Hakim, 2006).

Tingginya angka relapse ini disebabkan sulitnya untuk benar-benar terbebas dari pengaruh pemakaian dikarenakan efek langsung dari kandungan NAPZA serta faktor lainnya yaitu situasi-situasi yang menyebabkan timbulnya keinginan untuk menggunakan NAPZA, baik yang berasal dari luar ataupun dari dalam diri penyalahguna NAPZA itu sendiri. Oleh karenanya menurut NIDA (2008) relapse merupakan proses dari pemulihan, ketergantungan pada penggunaan NAPZA digolongkan sama dengan penyakit kronis lainnya seperti penyakit diabetes, hypertension dan asthma yang akan kambuh bila dihadapkan oleh faktor pemicu kekambuhan dari penyakitnya.

(14)

5

kebosanan; 2) Negative Physical States: Kondisi fisik yang menimbulkan ketidaknyamanan; 3) Positive Emotional States: Kondisi emosi yang menimbulkan perasaan positif; 4) Testing Personal Control: Menguji pengendalian diri dalam penyalahgunaan NAPZA; 5) Urges and Temptations: Dorongan dan godaan untuk menggunakan kembali narkoba; 6) Interpersonal Conflict: Konflik-konflik interpersonal, seperti adu argumentasi, pertengkaran, atau hambatan dari orang lain; 7) Social Pressure: Tekanan yang dirasakan oleh individu, yang berasal dari rekan, teman atau orang lain baik secara langsung maupun tidak langsung untuk menyalahgunakan NAPZA kembali; 8) Positive Social Situation: Situasi-situasi sosial yang menyenangkan.

Penelitian yang dilakukan oleh Marlatt & Gordon (1985) yang mengembangkan model tentang relapse, menyatakan bahwa ketika individu dihadapkan pada situasi berisiko tinggi pemicu relapse tersebut, jika individu dapat memunculkan mekanisme

coping yang tepat dan juga mengembangkan outcome expectancies (harapan tentang

(15)

6

mengatakan self-efficacy adalah keyakinan yang dimiliki individu mengenai kemampuannya untuk menghasilkan suatu tampilan yang diinginkan dalam menghadapi situasi yang sangat mempengaruhi kehidupannya. Self-efficacy yang dimiliki seseorang menentukan individu itu merasa, berpikir, termotivasi dan bertindak. Self-efficacy yang kuat akan meningkatkan usaha seseorang untuk mencapai hasil yang diinginkan dan meningkatkan personal well being. Self-efficacy berperan sangat penting dalam fungsi manusia, karena dapat mempengaruhi perilaku tidak hanya secara langsung, tetapi juga pengaruhnya terhadap penentu tingkah laku lainnya seperti; tujuan, aspirasi, harapan akan hasil, kecederungan afektif, dan persepsi terhadap kesulitan-kesulitan maupun kesempatan-kesempatan yang ada di dalam lingkungan sosial Self-efficacy juga mempengaruhi serangkaian tindakan yang dipilih oleh seseorang, tantangan yang mereka tetapkan dan komitmen mereka untuk mencapainya, upaya yang mereka kerahkan, seberapa lama mereka bertahan ketika menghadapi berbagai kendala, kualitas dalam kehidupan emosional mereka, dan seberapa besar stress dan depresi yang mereka alami dalam upayanya menghadapi tugas-tugas dari lingkungan.

(16)

7

untuk membentuk intense dan aksi dari perilaku (Smet, 1994; Glanz, Lewis, Rimer, 1997). Penjares (2000) menemukan bahwa self-efficacy individu mempengaruhi performanya melalui pilihan perilaku dan tindakan yang diambilnya. Sedangkan bagaimana individu menghayati sumber-sumber self-efficacy nya mempengaruhi tinggi rendahnya derajat self-efficacy seseorang.

Pendapat lain yang mendukung fakta-fakta diatas yaitu dari Prochaska & DiClemente (1986) yang membuat model proses perubahan pada perilaku adiksi, menemukan bahwa diantara orang-orang yang berada pada tahap prekontemplasi (tahap dimana belum menyadari adanya permasalahan ataupun kebutuhan untuk melakukan perubahan) atau kontemplasi (sudah timbul kesadaran akan adanya masalah, namun masih dalam tahap keragu-raguan, masih menimbang-nimbang antara alasan untuk berubah ataupun tidak), adalah mereka yang termasuk dalam kategori tidak mau terlibat atau yang tidak bersemangat untuk melakukan perubahan, ternyata memiliki tingkat

self-efficacy yang paling rendah dan tingkat ‘ketergodaan' yang paling tinggi.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Fauziah; Naresh; Bahaman (2011) terhadap 400 orang penyalahgunan NAPZA yang sedang menjalankan rehabilitasi di pusat rehabilitasi Malaysia, mengemukakan bahwa relapse terjadi pada mereka yang memiliki

self-efficacy yang rendah sampai menengah yaitu yang ditemukan pada 86,3% dari total

(17)

8

secara langsung. Intervensi harus dibarengi pula dengan metode-metode tertentu untuk meningkatkan self-efficacy individu sehingga dapat tercipta self mastery dan performance

appraisal yang positif agar dapat memperkuat self-efficacy.

Hingga bisa dikatakan bahwa relapse pada penyalahguna NAPZA terjadi jika mereka menilai bahwa dirinya tidak dapat atau tidak memiliki kemampuan untuk menghadapi kondisi-kondisi yang berpotensi menimbulkan stress atau tekanan dalam hal ini situasi berisiko tinggi pemicu relapse.Residen yang meragukan kemampuannya cenderung menunda atau menghindari menghadapi situasi yang sulit, dalam hal ini situasi pemicu relapse. Mereka menurunkan usahanya dan cepat menyerah dalam menghadapi kesulitan.

Pada panti rehabilitasi RC, besarnya jumlah residen yang relapse diperkirakan berkisar 70% - 80% dari total residen yang telah mengikuti program rehabilitasi. Relapse pada sebagian besar residen di RC sudah terjadi berulang kali, dimana hampir 100% residen yang masuk ke RC saat ini, sebelumnya sudah pernah mencoba untuk berhenti menggunakan NAPZA baik dengan cara mencoba sendiri (cold turkey) atau dengan bantuan pihak lain. Seperti dengan cara mengikuti program pemulihan baik di Lapas, lembaga berbasis masyarakat serta panti yang berbasis agama baik yang dibawah naungan pesantren atau pun gereja, maupun panti rehabilitasi dibawah naungan rumah sakit/pemerintah.

(18)

9

seperti sulit menolak ajakan teman, menyukai perasaan yang diakibatkan dari pemakaian, kembali ke lingkungan/ kebiasaan lama karena merasa sudah mampu mengontrol pemakaian, mengalami masalah atau konflik di rumah, tempat kerja/sekolah dan pergaulan sosial. Selain itu juga karena ada tekanan sosial baik berbentuk bujukan, tawaran atau paksaan, tergoda karena adanya ketersediaan barang dan hal lainnya seperti kesulitan untuk mengatasi kebosanan dan kesepian.

Informasi yang didapat dari lima orang residen yang tengah menjalankan program rehabilitasi dan berada pada tahap akhir program, yang diperoleh peneliti dari hasil kuesioner yang diadaptasi dari Annis & Martin (1985) tentang situasi berisiko tinggi pemicu relapse, didapatkan bahwa situasi yang paling berpengaruh besar membuat mereka relapse yaitu pada residen pertama (A) Negative Emotional States dan Testing

Personal Control ; residen kedua (B) yaitu, Negative Emotional States dan Testing

Personal Control; residen ketiga (C) yaitu, Negative Emotional States dan Positive

Emotional States; residen keempat (D), Negative Emotional States dan Interpersonal

Conflict, dan residen kelima (E), Negative Emotional States dan Positive Emotional

States.

Dari hasil wawancara selanjutnya didapati bahwa cara yang dipilih oleh kelima residen dalam menghadapi situasi pemicu relapse tersebut, pada residen A, dengan menghindar, mengurung diri dan tidur atau menggunakan NAPZA yang bukan drugs of

choise nya seperti alkohol dan ganja. Residen B dengan mengisolasi diri, menghindar

(19)

10

Residen C dengan menghindar dan menyendiri. Sedangkan residen D mengalihkan diri dengan perempuan dan untuk residen E dengan cara mengurung diri, mengalihkan dengan bermain games bahkan mencoba untuk bunuh diri. Bisa dikatakan kelima residen ini (100%) menggunakna cara menghindar dari situasi yang dihadapinya atau mengalihkan diri kepada sesuatu hal.

Namun cara yang dipilih ini, diakui mereka biasanya hanya bersifat sementara. Ketika situasi tersebut tidak terselesaikan dan dirasakan semakin sulit atau menekan, dengan cepat mereka kehilangan semangat untuk mengerahkan usaha nya lebih besar. Hingga akhirnya mereka kembali memilih menggunakan NAPZA walaupun diawali dengan NAPZA yang bukan jenis pemakaian utama mereka, seperti alkohol dan ganja, dengan pemikiran bahwa jika NAPZA yang bukan yang biasa mereka pergunakan, masih bisa mereka kontrol ataupun tidak akan menyebabkan ketergantungan.

Kegagalan untuk mengatasi hal ini juga yang membuat komitmen mereka untuk

abstinence menurun. Ketika mereka merasa gagal untuk mengatasi situasi pemicu

relapse, semua residen mengatakan menjadi frustasi dan tertekan. Hal ini membuat

(20)

11

Kegagalan dalam mempertahankan kondisi abstinence ini, semakin membuat mereka berpikir, bahwa mereka memang tidak mampu untuk mempertahankan komitmen mereka untuk tetap sober/sehat. Selain itu banyaknya kegagalan sesama penyalahguna NAPZA juga membuat mereka sulit mendapatkan role model yang dapat ditiru atau memotivasi mereka untuk pulih, mereka menjadi berpikir bahwa sesuatu yang sulit untuk tetap bertahan dengan kondisi abstinence. Selain itu lamanya jangka waktu pemakaian NAPZA membuat mereka meyakini labeling negatif/stigma yang diberikan terhadap mereka, seperti “sekali junkies akan tetap menjadi junkies”, “junkies adalah harga mati”, sedangkan pujian mereka yakini sebagai “superficial” saja. Hingga mereka semakin meyakini bahwa situasi-situasi yang selama ini memicu pemakaian NAPZA mereka memang sulit untuk diatasi dan yang bisa mengatasinya hanya dengan menggunakan NAPZA saja.

(21)

12

mempengaruhi emosi (menjadi bad mood), kesal, marah, menjadi merasa tambah terbebani (konseli D)

Berdasarkan informasi diatas, rendahnya derajat keyakinan mereka tersebut terjadi dikarenakan persepsi dan interpretasi yang merupakan proses pemikiran mereka yang tidak tepat terhadap sumber-sumber yang mempengaruhi keyakinan tersebut, yang berakibat pada rendahnya derajat keyakinan mereka. Self-efficacy merupakan kemampuan yang tidak terbentuk dengan sendirinya, melainkan berdasarkan pemaknaan dan penghayatan seseorang akan sumber-sumber informasi pembentuk self-efficacy (Bandura, 2002).

Penghayatan mereka yang negatif terhadap penyebab kegagalan dan hambatan dalam mempertahankan kondisi abstinace dikarenakan ketidakmampuan diri mereka ini, semakin melemahkan keyakinan dirinya. Kegagalan berulang-ulang yang mereka alami ini semakin membuat mereka tidak yakin untuk mencobanya kembali, mereka meragukan apakah mereka mampu melakukannya, khawatir jika hasilnya tidak sesuai harapan mereka atau bahkan bisa membuat keadaan mereka menjadi semakin buruk. Mereka meyakini bahwa mereka tidak akan mampu untuk menghadapi situasi pemicu relapse. Hingga harapan positif pada NAPZA semakin berkembang yang pada akhirnya menguatkan persepsi mereka akan kenikmatan atau efek positif dari NAPZA, bahwa hanya NAPZA yang bisa membantu mereka menghadapi situasi pemicu relapse.

(22)

13

dan lebih nyaman karena bisa menghilangkan perasaan sedih, kesepian dan marahnya. Residen B memiliki pemikiran putaw dan alkohol bisa membuatnya menjadi tenang, nyaman, merasa tidak punya masalah dan percaya diri, sedangkan residen C merasa putaw dan sabu, mampu membuatnya lebih fokus dan enerjik ketika melakukan pekerjaannya serta membuatnya lebih percaya diri dan berani. Untuk residen D, ia merasa bahwa putaw membuatnya lebih kreatif, lebih yakin dan positif dalam menilai dirinya dan putaw mampu menghilangkan perasaan sedihnya. Residen E memiliki pemikiran bahwa putaw bisa menghilangkan rasa jenuh, bosan, kesepian, marah, frustasi dan sedih, ia merasa dengan putaw ia bisa mendapatkan ketenangan diri.

Keraguan pada kemampuan diri sendiri dan harapan positif pada NAPZA ini berdampak pada respon yang dimunculkan, yaitu serangkaian tindakan atau strategi

coping yang dihasilkan menjadi tidak efektif. Mereka lebih memilih mengatasinya

dengan NAPZA dibandingkan harus mengatasinya dengan kemampuan diri sendiri.

Berdasarkan fakta-fakta diatas, kondisi penyalahgunan NAPZA di panti rehabilitasi RC memperlihatkan usaha yang belum optimal dan belum mampu bertahan dalam jangka panjang saat dihadapkan dengan usaha mencegah relapse. Mereka cenderung menghindari situasi pemicu relapse yang seharusnya mereka hadapi atau perbaiki. Mereka juga tidak memiliki komitmen yang kuat, cepat menyerah dan tidak mampu bertahan ketika menemukan kesulitan atau hambatan, serta mudah menjadi

stress. . Hingga ketika harus menghadapi situasi pemicu relapse, mereka tidak mampu

(23)

14

Sedangkan penyebab rendahnya derajat self-efficacy pada residen di panti rehabilitasi RC berdasarkan paparan diatas, dikarenakan proses kognitif yang tidak tepat dalam mengolah informasi pada sumber-sumber self-efficacy. Dimana Bandura (2002) menyatakan betapa pentingnya proses kognitif dalam menentukan tingkah laku manusia. Jika proses kognitif tidak akurat dengan kenyataan maka akan menghasilkan tingkah laku yang maladaptive. Pada residen di RC, kesalahan mempersepsi dan menginterpretasi informasi pada peristiwa-peristiwa dalam kehidupan mereka yang terkait dengan penyalahgunaan NAPZA seperti pengalaman kegagalan dan keberhasilan menghadapi situsai pemicu relapse, penghayan pada kegagalan dan keberhasilan sesama penyalahguna dan dukungan dari lingkungan, serta penghayatan pada kondisi fisik dan emosi mereka, menyebabkan keyakinan mereka menjadi rendah.

Melihat kondisi residen dengan permasalahan seperti yang dikemungkakan diatas, perlu segera dilakukan suatu upaya pembenahan yang dapat mengatasi sumber permasalahan yang dihadapi oleh residen di panti rehabilitasi RC yaitu keyakinan diri yang rendah. Hal ini dilakukan dengan mengubah pemahaman atau penilaian residen terhadap sumber-sumber self-efficacy. Bila telah berubah, diharapkan akan meningkatkan

self-efficacy nya. Dalam lingkup yang luas, mereka akan yakin pada kemampuan dirinya

(24)

15

Adapun tujuan ini dapat dicapai melalui konseling. Sedangkan konseling yang akan dilaksanakan adalah dalam bentuk kelompok karena masing-masing anggota dalam kelompok dapat mengamati tingkah laku sesama anggota serta saling memberikan

feedback yang dapat berfungsi membantu individu untuk meningkatkan pemahaman

tentang diri atau memungkinkan residen insight atau menyadari permasalahannya lebih besar dari pada dilakukan secara individu. Segala proses yang terjadi dalam kelompok dapat membantu membangun pemahaman diri yang baru dengan perspektif yang lebih baik. Hal ini juga didasarkan pada pemikiran bahwa interaksi kelompok memiliki pengaruh positif untuk kehidupan individual karena konseling kelompok dapat dijadikan media terapeutik (Capuzzi, 1992).

Selain itu juga grup atau kelompok adalah bentuk perawatan utama (modalitas) yang digunakan di pusat-pusat pengobatan ketergantungan NAPZA di Amerika saat ini. Seiring waktu, konseling dalam bentuk kelompok lebih unggul dari individual karena keberhasilan mereka secara klinis dan dari efektivitas biaya. Banyak literatur tentang contoh keefektifan klinik dari kerja kelompok (Capuzzy, 1992).

(25)

16

Berdasarkan uraian diatas, peneliti bermaksud menguji cobakan apakah program konseling kelompok “Sumber-Sumber Self Efficacy” dapat meningkatkan derajat

self-efficacy menghadapi situasi pemicu relapse pada residen di panti rehabilitasi RC.

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, permasalahan yang akan diteliti adalah apakah pemberian program konseling kelompok “Sumber-Sumber Self Efficacy” dapat meningkatnya derajat self-efficacy menghadapi situasi pemicu relapse pada residen di panti rehabilitasi RC yang memiliki self-efficacy rendah.

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian

1.3.1 Maksud Penelitian

Maksud penelitian ini adalah untuk melakukan uji coba program konseling kelompok “Sumber-Sumber Self Efficacy” guna meningkatkan derajat self-efficacy menghadapi situasi pemicu relapse pada penyalahguna NAPZA di panti rehabilitasi RC.

1.3.2 Tujuan Penelitian

Untuk menguji cobakan program konseling kelompok “Sumber-Sumber Self

Efficacy” sehingga diperoleh program konseling kelompok yang dapat digunakan untuk

menumbuhkan kesadaran dan pemahaman pada residen tentang pentingnya self-efficacy hingga dapat mengubah derajat self-efficacy melalui pengolahan pada sumber-sumber

(26)

17

1.4 Kegunaan Penelitian

1.4.1 Kegunaan Ilmiah

a. Penelitian ini diharapkan dapat memperdalam dan memperkaya pengetahuan Psikologi Klinis.

b. Memberikan bahan masukan atau pertimbangan bagi peneliti lain jika ingin melakukan penelitian yang serupa maupun mendorong melakukan penelitian pada bidang self-efficacy untuk penyalahguna NAPZA.

1.4.2 Kegunaan Praktis

Secara praktis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:

a. Penyalahguna NAPZA dalam upaya membantu mereka untuk menambah pengetahuan, sikap dan keterampilan untuk meningkatkan derajat keyakinan dalam menghadapi situasi pemicu relapse.

b. Keluarga atau pasangan yang mendampingi penyalahguna NAPZA untuk lebih memahami keadaan pasangan atau anggota keluarganya yang menjadi penyalahguna NAPZA dan terutama agar mereka juga mengetahui apa yang bisa dilakukan untuk membantu penyalahguna NAPZA dalam proses pemulihannya. c. Panti rehabilitasi, aktivis dan LSM atau pihak-pihak yang bergerak dalam

(27)

18

1.5 Metodologi Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk menguji coba penerapan program konseling kelompok “Sumber-Sumber Self Efficacy”, dengan mengubah proses kognitif pada sumber-sumber self-efficacy, dalam rangka meningkatkan derajat self-efficacy menghadapi situasi pemicu relapse pada residen di panti rehabilitasi RC. Penelitian ini menggunakan metode Experimental dengan One-Group Befor-After (Pre Test-Post Test)

Design untuk menjelaskan perbedaan dua kondisi sebelum dan sesudah intervensi

dilakukan (Graziano & Laurin, 2000).

(28)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Seluruh anggota konseling kelompok “Sumber-Sumber Self Efficacy” pada penyalahguna NAPZA, menghayati bahwa secara keseluruhan konseling kelompok ini, bermanfaat, menarik dan mereka juga mengakui adanya perubahan kearah yanag positif, hingga seluruh konseli menginginkan adanya konseling lanjutan. Penghayatan yang positif ini membantu anggota konseling untuk menemukan insight atas perlunya mengolah sumber-sumber

self-efficacy secara benar, akurat dan realistis sehingga memungkinkan terjadinya

peningkatan pada derajat self-efficacy setelah mengikuti program konseling kelompok “Sumber-Sumber Self Efficacy” pada penyalahguna NAPZA. 2. Setelah mengikuti program konseling kelompok “Sumber-Sumber Self

Efficacy” untuk penyalahguna NAPZA, seluruh anggota kelompok

menunjukkan adanya peningkatan derajat self-efficacy. Hal ini menandakan bahwa program konseling yang telah disusun dapat meningkatkan derajat

self-efficacy penyalahguna NAPZA dalam menghadapi situasi pemicu relapse.

5.2 SARAN

5.1.1 Saran Praktis

(29)

144

rangkaian pilihan dibuat, meningkatkan besarnya usaha yang dikerahkan, meningkatkan daya tahan dalam menghadapi hambatan dan kegagalan dan meningkatkan kemampuan mengolah penghayatan perasaan dalam menghadapi situasi pemicu relapse.

2. Bagi keluarga / kerabat dari penyalahguna NAPZA dapat menggunakan pengetahuan mengenai hal-hal yang bisa dilakukan untuk meingkatkan keyakinan penyalahguna NAPZA dalam menghadapi situasi pemicu relapse.

3. Bagi konselor adiksi dan pihak rehabilitasi RC dapat mempertimbangkan untuk menggunakan program “Sumber-Sumber Self Efficacy” ini sebagai salah satu sumber untuk mendapatkan gambaran mengenai pentingnya self-efficacy bagi penyalahguna NAPZA dalam menghadapi situasi pemicu relapse dan sebagai informasi awal untuk merancang program rehabilitasi yang terkait dengan peningkatan keyakinan pada penyalahgunan NAPZA di panti rehabilitasi dalam menghadapi situasi pemicu relapse.

4. Bagi Psikolog dan Konselor, dapat menggunakan program konseling kelompok “Sumber-Sumber Self Efficacy” ini sebagai salah satu langkah awal dalam membuat model intervensi yang dapat digunakan untuk meningkatkan derajat

Self-efficacy pada penyalahguna NAPZA sampai kepada tahap perilaku.

5.2.2 Saran Teoritis

(30)

145

selanjutnya disarankan untuk melakukan penelitian lanjutan hingga bisa mencapai perubahan sampai ke tahap prilaku.

2. Penelitian selanjutnya disarankan untuk meneliti efektifitas program konseling kelompok “Sumber-Sumber Self Efficacy” pada penyalahgunan NAPZA dengan beberapa pusat rehabilitasi lain.

3. Berdasarkankan hasil evaluasi proses konseling, untuk selanjutnya disarankan mendatangkan nara sumber dari sesama mantan penyalahguna NAPZA disetiap sesi konseling agar anggota kelompok lebih banyak mendapat masukan dan belajar dari pengalaman sesama penyalahguna NAPZA yang sudah pulih.

4. Penelitian ini hanya mengkaji pada aspek psikologis, disarankan untuk penelitian selanjutnya melengkapi pembahasan dari segi biososial dengan melibatkan nara sumber dari bidang medis serta mengkaji lebih jauh pengaruh lingkungan sosial, baik mikro maupun makro pada proses pemulihan.

5. Penelitian ini menggunakan desain experiment, pretest – posttest one group

design, yang memiliki kontrol lemah, maka disarankan untuk melakukan

(31)

146

DAFTARA PUSTAKA

Azwar, Saifuddin. 2008. Dasar Dasar Psikometri. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. Bandura, Albert. 2002. Self Efficacy. The Exercise Of Control. New York: W.H

Freeman and Company

______________. 1977. Social Learning Theories. USA: Prentice _ Hall, Inc

______________. 1997. Self Efficacy in Changing Societies. USA: Cambridge University Press

Brammer, Lawrence, M.2003. The Helping Relationship Progress and Skills. 8th. edt.USA: Pearson Education. Inc

Campbell, Donald T. & Stanley, Julian C. 1963. Experimental and quasi

Experimental Design for Research. Chicago: Publishing Company

Caplin. J.P. 2004. Kamus Lengkap PSIKOLOGI. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Capuzzi, Dave & Gross R. Douglas. 1992. Introduction to Group Counseling. USA: Love Publishing Company

Corey, Gerald. 2009. Teori dan Praktek Konseling & Psikoterapi. Diterjemahkan oleh Koswara, E: PT. Refika Aditama. Bandung

Davidson, Gerald C. 2004. Abnormal Psychology 9-ed. New York : John Wiley & Sons.

Gunarsa D. Singgih. 1992. Konseling dan Psikoterapi. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia.

Graziano, Anthony M. 1997. Research Methods – A Process of Inquiry. New York: A Pears Education Company.

Jarvis, Tracey J. 2001. Treatment Approaches for Alcohol and Drug Dependence. An

Introductory Guide: Wiley, John & Sons. England

Latipun. 2003. Psikologi Konseling. Cetakan ke-3. Malang: Universitas Muhammadyah Malang.

McLeod, John. 2010. Pengantar Konseling; Teori dan Studi Kasus. Diterjemahkan oleh Anwar K. A.: Kencana. Jakarta

(32)

147

Paterson, Cecil Holden. 1986. Theories Of counceling and Psychotherapy, 4 th-ed. New York : Harper & Row, Publisher.

Sarafino, E.P. 1990. Health Psychology: Biopsychosocial Interaction, 2nd edition. Singapore: John Wiley & Sons.

(33)

148

DAFTAR RUJUKAN

Beck Institute for Cognitive Behavior Therapy: http://www.beckinstitute.org/

Carrol, K, M. : Therapy Manuals For Drug Addiction. Rockville-Maryland : National Institute on Drug Abuse. (http://www.drugabuse.com)

Hagman T. Brett. 2004. Coping And Self-Efficacy As Predictors Of Substance Use

During The First Few Critical Months Following Substance Abuse

Treatment Completion. Tesis: Carolina. Department of Psychology

University of North Carolina at Wilmington

Larimer, Palmer, and Marlatt. 1999. Relapse Prevention, An Overview of Marlatt’s,

Cognitive-Behavioral Model. Alcohol Research & Health. Vol. 23, No. 2.

Modul: Relapse Prevention Training. Bandung : Rumah Cemara. National Institute on Drug Abuse: http://www.drugabuse.gov/

Relapse Prevention and Coping Skills. Melalui:

http://www.addictionsandrecovery.org/

Hagman T. Brett. 2004. Thesis. Coping And Self-Efficacy As Predictors Of Substance

Use During The First Few Critical Months Following Substance Abuse

Treatment Completion. Carolina :Department Of Psychology University

Of North Carolina at Wilmington. Tesis tidak dipublikasikan.

Yosephin, 2010. Peran Dukungan Sosial dan Strategi Coping Terhadap Self

Efficacy Menghadapi Situasi Pemicu Relapse Pada Penyalahguna

Narkoba di Kota Bandung (Studi mengenai kontribusi dukungan sosial

dan coping terhadap self efficacy menghadapi situasi berisiko tinggi yang

dapat memicu relapse dengan menggunakan Structural Equation

Modeling pada penyalahguna narkoba dewasa muda di Kota Bandung).

Gambar

Grafik 4.1 :

Referensi

Dokumen terkait

Telah dilakukan Penelitian Pengaruh Medan Elektromagnetik Terhadap Kesehatan Masyarakat Di Sekitar Menara Pemancar Telepon Seluler (BTS) di Jakarta dan Bandung, Disain

Write a procedure CountCycles(f) that will take as input a list of length n that is the second line of the 2-line form of a permutation and will output the number of cycles that

Untuk mendapatkan citra yang disisipi watermark dengan PSNR lebih besar dari 35 dB dan nilai NC lebih besar dari 0.8 pada Ɵw = 0.02 , umumnya penyisipan

Difinisi ini menjadi lebih membingungkan lagi kalau dikatakan kabupaten itu adalah bagian dari struktur pemerintahan masa kolonial, karena masa kolonial tidak

Jumlah peminum alkohol yang semakin bertambah membuat penulis tertarik untuk meneliti mengenai pengaruh konsumsi alkohol 40% terhadap hati berdasarkan

Penjelasan (Aanwejzing), Panitia memberikan Penjelasan secara rinci kepada peserta lelang tentang pekerjaan yang akan dilaksanakan sesuai Dokumen

Budaya suap dan rente dalam birokrasi sebagai bentuk korupsi tampaknya masih dengan mudah ditemukan dalam banyak praktik penyelenggaraan pelayanan publik. Ini terjadi karena

ANALISIS KEMITRAAN ANTARA PT PERTANI (PERSERO) DENGAN PETANI PENANGKAR BENIE PAD1. DI KAIIUPATEN