• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pandangan profetik kuntowijoyo dalam novel pasar, mantra pejinak ular, dan wasripin dan satinah 3890

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pandangan profetik kuntowijoyo dalam novel pasar, mantra pejinak ular, dan wasripin dan satinah 3890"

Copied!
234
0
0

Teks penuh

(1)

PANDANGAN PROFETIK KUNTOWIJOYO DALAM

NOVEL

PASAR, MANTRA PEJINAK ULAR,

DAN

WASRIPIN DAN SATINAH

(Kajian Strukturalisme Genetik dan Nilai Pendidikan)

TESIS

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia

Oleh : Giyato S 840908012

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(2)

ii

PANDANGAN PROFETIK KUNTOWIJOYO DALAM

NOVEL

PASAR, MANTRA PEJINAK ULAR,

DAN

WASRIPIN DAN SATINAH

(Kajian Strukturalisme Genetik dan Nilai Pendidikan)

Disusun oleh :

Giyato

S 840908012

Telah Disetujui oleh Tim Pembimbing

Dewan Pembimbing

Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal

Pembimbing I Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd. __________ ________ NIP 19440315 197804 1 001

Pembimbing II Dr. E. Nugraheni Eko Wardani, Hum. __________ ________ NIP 19700716 200212 2 001

Mengetahui,

Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia

(3)

PANDANGAN PROFETIK KUNTOWIJOYO DALAM

NOVEL

PASAR, MANTRA PEJINAK ULAR,

DAN

WASRIPIN DAN SATINAH

(Kajian Strukturalisme Genetik dan Nilai Pendidikan)

Disusun oleh :

Giyato

S 840908012

Telah Disetujui oleh Tim Penguji

Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal

Ketua Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd. _________ _______

Sekretaris Dr. Retno Winarni, M.Pd. _________ _______

Anggota Penguji Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd. _________ _______

Dr. Nugraheni Eko Wardani, M.Hum. _________ _______

Mengetahui, Ketua Program Studi

Direktur Program Pascasarjana Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Sebelas Maret Surakarta

(4)

iv

PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini

nama : Giyato

NIM : S 840908012

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul “ Pandangan Profetik Kuntowijoyo dalam Novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin

dan Satinah (Kajian Strukturalisme Genetik dan Nilai Pendidikan)” adalah betul-betul karya saya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya, dalam tesis ini diberi

tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.

Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya

bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya

peroleh dari tesis tersebut.

Surakarta, Januari 2010

Yang Membuat Pernyataan,

(5)

MOTO

Ver ba volant, scr ipta manent;

Kata-kata mudah sir na, namun tulisan mengabadikannya (Pepatah)

Bukan apa yang sudah, melainkan apalagikah? (Timur Sinar Suprabana)

(6)

vi

PERSEMBAHAN

Karya ini kupersembahkan untuk:

1. Kedua orang tuaku, Parto Wiyono dan Ginah,

serta kakakku Mbak Gentik sekeluarga yang

selalu mencurahkan cinta, kasih sayang, dan doa

untukku.

2. Istriku, Ita Nurdevi yang memberi semangat di

setiap langkahku. Mengingatkanku di saat aku

lalai dan menyemangatiku di saat aku malas.

3. Dixie Arunnisa Sarwanto, Tafiqoh Izza Tazkia,

Alif Ardhiansyah Budi Husada, dan Aryaditya

Nurwahid, keponakan-keponakanku yang lucu

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas rahmat dan

hidayah-Nya, tesis yang berjudul “ Pandangan Profetik Kuntowijoyo dalam Novel

Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah (Kajian Strukturalisme Genetik dan Nilai Pendidikan)” akhirnya dapat diselesaikan untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar Magister Pendidikan Bahasa Indonesia.

Banyak hambatan dalam penyelesaian penulisan tesis ini, namun berkat

bantuan dari berbagai pihak akhirnya semua hambatan dapat diatasi. Oleh karena

itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Prof. Drs. Suranto, M.Sc., Ph.D. selaku Direktur Program Pascasarjana

Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd., selaku Ketua Prodi Pendidikan Bahasa

Indonesia Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan arahan

dan persetujuan serta pengesahan laporan penyusunan tesis ini

3. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd. selaku Sekretaris Prodi Pendidikan Bahasa

Indonesia Universitas Sebelas Maret Surakarta

4. Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd., selaku Pembimbing I dan selaku

Pembimbing Akademik yang telah membimbing dan memberikan arahan

dengan sabar hingga tesis ini dapat terselesaikan.

5. Dr. E. Nugraheni Eko Wardani, M.Hum., selaku Pembimbing II yang dengan

(8)

viii

6. Bapak dan Ibu Dosen Pragram Pascasarjana Pendidikan Bahasa Indonesia

yang dengan tulus dan ikhlas memberikan ilmunya kepada peneliti sehingga

dapat menjadi bekal untuk penyusunan tesis.

7. Bapak dan Ibu, Papi dan Mami, kakak-kakak, dan istri tercinta yang telah

memberikan doa dan semangat untuk menyelesaikan laporan penyusunan

tesis ini.

8. Mahasiswa Program Pascasarjana Pendidikan Bahasa Indonesia yang telah

memberi semangat, keceriaan, dan motivasi dalam proses penelitian ini;

9. Saudara-saudara seperjuangan di Komunitas Tarbiyah, LP2R Bina Insan

Cendekia, Thulabiy Club, dan Komunitas Pembaca Karanganyar yang telah memicu dan memacu semangat dalam menempuh studi.

Peneliti menyadari bahwa laporan penyusunan tesis ini masih belum

sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat peneliti

harapkan guna kesempurnaan laporan penyusunan tesis ini dan demi menambah

wawasan pengetahuan peneliti.

Akhirnya, peneliti berharap semoga laporan penyusunan tesis ini dapat

bermanfaat bagi dunia kesusastraan, khususnya pengembangan kajian

strukturalisme genetik dan nilai-nilai pendidikan dalam novel.

Surakarta, Januari 2010

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii

PENGESAHAN TIM PENGUJI TESIS... iii

PERNYATAAN... iv

MOTTO... . v

PERSEMBAHAN... vi

KATA PENGANTAR... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

ABSTRAK... xiv

ABSTRACT... . xv

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 3

C. Tujuan Penelitian ... 4

D. Manfaat Penelitian ... 5

BAB II. LANDASAN TEORETIS ... 6

A. Landasan Teoretis ... 6

1. Hakikat Novel ... 6

a. Pengertian Novel ... 6

b. Jenis-jenis Novel... ... 8

c. Unsur-unsur Novel ... 10

2. Hakikat Strukturaisme Genetik ... 25

a. Pengertian Strukturaisme Genetik ... 34

(10)

x

d. Kuntowijoyo sebagai Pengarang ... 32

3. Hakikat Nilai Pendidikan dalam Novel ... 35

a. Pengertian Nilai………. ... 35

b. Nilai-nilai Pendidikan……….………. . 37

1) Nilai Pendidikan Agama ... 39

2) Nilai Pendidikan Moral ... 39

3) Nilai Pendidikan Adat/Budaya ... 41

4) Nilai Pendidikan Sosial ... 42

5) Nilai Pendidikan Kepahlawanan ... 43

c. Cara Mengukur Adanya Nilai Pendidikan dalam Novel ... 44

B. Penelitian Lain yang Relevan ... 50

C. Kerangka Berpikir ... 51

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 52

A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 52

B. Metode Penelitian ... 53

C. Pendekatan Penelitian ... 53

D. Sumber Data ... 53

E. Teknik Cuplikan ... 54

F. Prosedur Penelitian ... 54

G. Validitas Data ... 55

H. Analisis Data ... 56

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. ... 57

A. HASIL PENELITIAN 1. Deskripsi Pandangan Profetik Kuntowijoyo ... ... 57

2. Deskripsi Struktur Teks Novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah ... ... 73

(11)

4. Deskripsi Nilai-Nilai Pendidikan dalam Novel Pasar, Mantra Pejinak

Ular, dan Wasripin dan Satinah ... 162

B. PEMBAHASAN 1. Religius Profetik sebagai Pandangan Kuntowioyo... ... 167

2. Struktur Teks Novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah ... ... 179

3. Struktur Sosial Budaya Masyarakat dalam Novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah ... 182

4. Nilai-Nilai Pendidikan dalam Novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah ... 199

BAB V. SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN. ... 201

A. Simpulan... ... 201

B. Implikasi... 203

C. Saran... .. 209

DAFTAR PUSTAKA ... 210

(12)

xii

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

Kerangka berpikir ... 51

(14)

xiv

ABSTRAK

Giyato. S 840908012. “ Pandangan Profetik Kuntowijoyo dalam Novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah (Kajian Strukturalisme Genetik dan Nilai Pendidikan)”. Tesis. Surakarta: Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, Program Pascasarjana. Universitas Sebelas Maret Surakarta, Januari 2010.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan : (1) pandangan dunia Kuntowijoyo dalam novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah; (2) struktur teks novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah; (3) struktur sosial budaya masyarakat dalam novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah; dan (4) nilai pendidikan novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah;.

Bentuk penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan metode content analysis atau analisis isi. Sumber data penelitian ini adalah novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo, karya-karya Kuntowijoyo yang lain, biografi penulis, komentar pengarang-pengarang lain, dan artikel dari buku , surat kabar, internet yang menunjang permasalahan penelitian. Teknik analisis cuplikan penelitian ini menggunakan purposive sampling. Validitas data penelitian ini menggunakan metode triangulasi teori. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis jalinan atau mengalir (flow model of analysis) yang meliputi tiga komponen, yaitu : (1) reduksi data (data reduction); (2) sajian data (data display); dan (3) penarikan simpulan (conclution drawing). Prosedur penelitian yang peneliti lakukan melalui tiga tahap mencakup: (1) tahap eksplorasi dan memperoleh gambaran umum, (2) tahap eksplorasi fokus, (3) tahap pengecekan dan keabsahan data.

(15)

ABSTRACT

Giyato. S840908012. The World Vision of Kuntowijoyo in Novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, and Wasripin dan Satinah (A Study of Genetic Structuralism and Education Value). Thesis: Indonesian Language Education Program, the Postgraduate of the University of Sebelas Maret.

The aim of this research is to describe : (1) the world vision of Kuntowijoyo in in novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, and Wasripin dan Satinah; (2) the Text Structure of novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, and Wasripin dan Satinah; (3) sociocultural structure of society in novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, and Wasripin dan Satinah; (4) education value of novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, and Wasripin dan Satinah.

The qualitative descriptive research was done using content analysis method. Data source of this research is novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, and Wasripin dan Satinah written by Kuntowijoyo, other literatures of Kuntowijoyo, Kuntowijoyo’s biography, comments from other authors, articles from books, newspapers, and internet which is supported to research problem. Sampling technique of this research was purposive sampling. Validity of research data was done using triangulation theory. The technique of data analyze in the research is using flow model of analyze that cover three components, that is: (1) data reduction; (2) data display; (3) conclusion drawing. Data analysis technique was done by dialectical model. The research was done in 3 steps, including : (1) exploration and general description, (2) focused exploration, (3) data validity checking.

Based on data analysis by genetic structuralism approach, concluded that : (1) Kuntowijoyo’s world vision comprises prophetical religious vision includes art, social, culture, politic, economy, education, and moral value; (2) text structure of novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, and Wasripin dan Satinah includes theme, plot, figure, background, and point of view; (3) sociocultural structure of society in novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, and Wasripin dan Satinah which includes creative process, sociocultural background of society (religiousness in Javanese society, Javanese art and culture, Javanese society’s myth, attitude and pleasure of Javanese society, language practice in society, life principal of Javanese society, social interaction in Javanese society, leadership inheritance, critic telling) characterization as figure realization of Javanese society; (4) education value in novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, and Wasripin dan Satinah comprises religion education value, moral, tradition, social, and heroic.

(16)

xvi

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam pendidikan, nilai estetik dan puitik sastra selama ini diyakini

mampu memompa dan membangun karakter manusia. Bahkan mendiang Presiden

Amerika Serikat John F Kennedy begitu yakin bahwa sastra mampu meluruskan

arah kebijakan politik yang bengkok. Sehingga politikus yang mati tertembak ini

mengatakan, “Ketika Politik Bengkok, Sastra akan Meluruskannya”.

Begitu pentingnya sastra bagi kehidupan sehingga Seno Gumira Ajidarma

kemudian mengafirmasi pernyataan John F. Kennedy dengan membuat adagium

“Ketika Jurnalisme Dibungkam, maka Sastralah yang akan Berbicara”. Seno

Gumira Adjidharma tidak main-main dengan statement-nya, kumpulan Cerpen

“Saksi Mata” terbitan Bentang Budaya Yogyakarta adalah “saksinya”. Seluruh

cerpen dalam kumpulan ini merupakan “pembocoran” fakta peristiwa kekerasan

yang terjadi di Dili, Timor Lorosai saat itu. (Teguh Trianton, 2008: 3)

Keberadaan karya sastra di tengah-tengah masyarakat adalah hasil

imajinasi pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya.

Oleh karena itu, kehadiran karya sastra merupakan bagian dari kehidupan

masyarakat. Pengarang sebagai subjek individual mencoba menghasilkan

pandangan dunianya (world vision) kepada subjek kolektifnya. Signifikasi yang dielaborasikan subjek individual terhadap realitas sosial di sekitarnya

(17)

menunjukkan bahwa sastra berakar pada kultur dan masyarakat tertentu.

Keberadaan sastra yang demikian mengukuhkan sastra sebagai dokumentasi

sosiobudaya (Iswanto, 2001: 61).

Latar belakang sejarah, zaman, dan sosial masyarakat memiliki andil yang

signifikan terhadap karya sastra baik dalam segi isi maupun bentuk. Keberadaan

pengarang dalam lingkungan sosial masyarakat tertentu, ikut mempengaruhi karya

yang dibuatnya. Dengan demikian suatu masyarakat tertentu yang ditempati

pengarang akan dengan sendirinya mempengaruhi jenis sastra tertentu yang

dihasilkan pengarang.

Kecenderungan ini didasarkan pada pendapat bahwa tata kemasyarakatan

bersifat normatif. Hal ini berarti terdapat paksaan bagi masyarakat mematuhi

nilai-nilai yang berada di masyarakat. Hal ini merupakan faktor yang harus ikut

diperhatikan dan menentukan terhadap jenis tulisan pengarang, objek karya sastra,

pasar karya sastra, maksud penulisan, dan tujuan penulisan.

Karya sastra, khususnya novel, menampilkan latar belakang sosial budaya

masyarakat. Menurut Herman J. Waluyo (2002: 51) latar belakang yang

ditampilkan meliputi: tata cara kehidupan, adat-istiadat, kebiasaan, sikap, upacara

adat dan agama, konvensi-konvensi lokal, sopan santun, hubungan kekerabatan

dalam masyarakat, dalam cara berpikir, cara memandang sesuatu, dan

sebagainya. Latar belakang sosial budaya tersebut menjadi deskripsi

permasalahan yang diangkat dalam cerita novel.

Karya sastra selalu berkaitan dengan masyarakat dan sejarah yang

(18)

sifat-xviii

sifat sastra menuntut orang untuk melihat kenyataan sebagaimana adanya, bukan

melihat apa yang seharusnya terjadi, sehingga sastra yang baik merupakan

cermin realitas masyarakat zamannya. Oleh karena itu, muncullah pendekatan

sastra dengan cara pandang yang berbeda yaitu strukturalisme genetik.

Goldmann (dalam Suwardi Endraswara, 2003: 57) memberikan rumusan

penelitian strukturalisme genetik ke dalam tiga hal, yaitu: (1) penelitian terhadap

karya sastra yang dilihat sebagai suatu gagasan; (2) karya sastra yang diteliti

mengandung tegangan (tension) antara keragaman dan kesatuan dalam suatu

keseluruhan (a coherent whole); (3) jika kesatuan telah ditemukan, kemudian

dianalisis dalam hubungannya dengan latar belakang sosial.

Karya sastra yang dipilih sebagai objek kajian dengan pendekatan

strukturalisme genetik adalah novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo dengan alasan: (1) Kuntowijoyo seorang sastrawan besar pencetus sastra profetik, (2) novel-novel tersebut merupakan

cermin realitas masyarakat; dan (3) kajian strukturalisme genetik dan nilai

pendidikan terhadap ketiga karya sastra tersebut belum pernah dilakukan

Judul yang diambil dalam penelitian ini adalah “Pandangan Profetik

Kuntowijoyo dalam Novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan

Satinah (Kajian Strukturalisme Genetik dan Nilai Pendidikan)”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, rumusan masalah dalam

(19)

1. Bagaimana pandangan dunia pengarang yang melatarbelakangi novel Pasar,

Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo?

2. Bagaimana struktur teks novel Pasar, Mantra P ejinak Ular, dan Wasripin dan

Satinah karya Kuntowijoyo?

3. Bagaimana struktur sosial budaya masyarakat dalam novel Pasar, Mantra

Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo?

4. Bagaimana nilai-nilai pendidikan dalam novel Pasar, Mantra Pejinak Ular,

dan Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan umum penelitian ini adalah

untuk mengetahui pandangan profetik Kuntowijoyo dan totalitas makna novel

Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah.

Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan pandangan dunia pengarang yang melatarbelakangi novel

Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo.

2. Mendeskripsikan struktur teks novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan

Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo.

3. Mendeskripsikan struktur sosial budaya masyarakat dalam novel Pasar,

Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo.

4. Mendeskripsikan nilai-nilai pendidikan dalam novel Pasar, Mantra Pejinak

(20)

xx

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat, baik secara teoretis maupun

praktis. Adapun manfaat tersebut sebagai berikut:

1. Manfaat Teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah

penelitian ilmu sastra, khususnya pengkajian prosa fiksi (novel) dengan

pendekatan strukturalisme genetik.

2. Manfaat Praktis

Manfaat praktis penelitian ini yaitu:

a. Menambah pengetahuan pengkajian prosa fiksi para pembaca khusunya

pada novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah Karya

Kuntowijoyo.

b. Menjadi rujukan bagi para peneliti yang berniat menganalisis lebih lanjut

karya sastra khususnya melalui pendekatan strukturalisme genetik.

c. Menjadi pengalaman yang cukup berarti bagi peneliti dan hasilnya dapat

digunakan dalam usaha pembinaan apresiasi sastra di sekolah terutama

dengan penanaman nilai-nilai pendidikan

(21)

BAB II

LANDASAN TEORETIS, PENELITIAN YANG RELEVAN,

DAN KERANGKA BERPIKIR

A. Landasan Teoretis

1. Hakikat Novel a. Pengertian Novel

Bentuk novel dianggap sama dengan bentuk roman, walaupun

sebenarnya berbeda. Episode yang diceritakan dalam novel tidak sepanjang

yang terdapat pada roman. Novel hanya menceritakan episode yang dianggap

penting saja dari kehidupan tokoh utama, misalnya masa remaja hingga

berumah tangga, masa kanak-kanak hingga menikah, masa berumah tangga,

dan lain-lain. Isi, cara penceritaan, dan bahasa dalam novel juga lebih

beragam. Ada novel-novel yang romantis (misalnya karya N.H. Dini, Marga

T., Mira W., ataupun Pramoedya Ananta Toer), tetapi banyak pula yang

bersifat lebih dinamis dan tidak bertendensi mengharu-biru perasaan pembaca

(misalnya karya Ayu Utami, Putu Wijaya, serial “Lupus”, dan lain-lain).

Istilah tentang novel antara negara satu dengan negara lain beragam.

Dalam bahasa Jerman disebut Novelle. Sedangkan dalam bahasa Prancis disebut Nouvelle. Kedua istilah tersebut dipakai dalam pengertian yang sama

(22)

xxii

maksud kejadian yang memunculkan suatu konflik yang mengakibatkan

adanya perubahan nasib pelakunya.

Berdasarkan asalnya kata novel berasal dari kata Latin novellus yang berarti diturunkan pula dari kata novies yang berarti “baru”. Dikatakan “baru”

karena kalau dibandingkan dengan jenis-jenis sastra lainnya seperti puisi,

drama, dan lain-lain, maka novel muncul setelahnya. Menurut Robert Liddell

(dalam Henry Guntur Tarigan, 1993: 164) novel Inggris yang pertama kali

lahir adalah Famela pada tahun 1740.

Beberapa pendapat mengenai novel dikemukakan oleh para ahli sastra.

Namun sampai saat ini belum ada patokan yang dapat diterima oleh semua

pihak. Novel dalam arti umum berarti cerita berbentuk prosa dalam ukuran

yang luas yaitu cerita dengan plot dan tema yang kompleks, karakter yang

banyak dan setting cerita yang beragam. Novel merenungkan dan melukiskan

realitas yang dilihat, dirasakan dalam bentuk tertentu dengan pengaruh

tertentu atau ikatan yang dihubungkan dengan tercapainya gerak-gerik hasrat

manusia.

Goldmann (dalam Faruk, 2003: 29) mendefinisikan novel sebagai

cerita mengenai pencarian yang terdegradasi akan nilai-nilai yang otentik

dalam dunia yang terdegradasi pula. Lebih jauh ia mengungkapkan bahwa

novel merupakan suatu genre sastra yang bercirikan keterpecahan yang tidak

terdamaikan dalam hubungan antara sang hero dengan dunia.

Robert Stanton (2007: 90) berpendapat bahwa novel mampu

(23)

hubungan yang melibatkan banyak atau sedikit karakter, dan berbagai

peristiwa ruwet yang terjadi beberapa tahun silam secara lebih mendetail.

Itulah yang membedakan novel dengan dengan cerpen. Yang lebih menarik

lagi dari novel adalah kemampuannya menciptakan satu semesta yang lengkap

sekaligus rumit.

Sebagai karya yang kompleks, novel memiliki karakteristik yang

menjadi ciri novel tersebut. Herman J. Waluyo (2002: 37) mengungkapkan

bahwa di dalam novel terdapat perubahan nasib dari tokoh cerita, ada

beberapa episode dalam kehidupan tokoh utamanya, dan biasanya tokoh

utama tidak sampai mati.

Berdasarkan berbagai pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa

novel adalah karya sastra yang kompleks dan memiliki unsur pembangun

berupa unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik.

b. Jenis-jenis Novel

Novel dapat dibedakan dengan melihat karakteristik jenisnya. Herman

J. Waluyo (2002: 38-39) membedakan jenis novel menjadi dua, yaitu novel

serius dan novel pop. Novel serius adalah novel yang dipandang bernilai sastra

(tinggi), sedangkan novel pop adalah novel yang nilai sastranya diragukan

(rendah) karena tidak ada unsur kreativitasnya.

Sesuai dengan teori Lukacs, Goldmann (dalam Faruk, 2003: 31)

membagi novel menjadi tiga jenis, yaitu novel idealisme abstrak, novel

psikologi, dan novel pendidikan. Novel jenis pertama menampilkan sang hero

(24)

xxiv

dunia. Dalam novel jenis kedua sang hero cenderung pasif karena keluasan

kesadarannya tidak tertampung oleh dunia fantasi. Sedangkan dalam novel

jenis ketiga sang hero telah melepaskan pencariannya akan nilai-nilai yang

otentik.

Di pihak lain Goldmann (dalam Nyoman Kutha Ratna, 2003: 126),

yang memandang karya sastra dalam kapasitas sebagai manifestasi aktivitas

kultural, mengungkapkan bahwa novellah karya sastra yang berhasil

merekonstruksi struktur mental dan kesadaran sosial secara memadai, yaitu

dengan cara menyajikannya melalui tokoh-tokoh dan peristiwa. Penggunaan

tokoh-tokoh imajiner juga merupakan salah satu keunggulan novel dalam

usaha untuk merekonstruksi dan memahami gejala sosial, perilaku impersonal,

termasuk peristiwa-peristiwa historis (Nyoman Kutha Ratna, 2003: 127).

Kita harus membedah struktur yang dimiliki suatu karya sastra untuk

memahaminya, khususnya novel. A. Teeuw (dalam Herman J. Waluyo, 2002:

59-60) menyebutkan bahwa sebuah sistem sastra memiliki tiga aspek: pertama

eksterne strukturrelation, yaitu struktur yang terikat oleh sistem bahasa

pengarang terikat oleh bahasa yang dipakainya; kedua interne strukturrelation,

yaitu struktur dalam bagian-bagiannya saling menentukan dan saling

berkaitan; dan ketiga model dunia sekunder, yaitu model dunia yang dibangun

oleh pengarang, dunia fantasi atau dunia imajinasi.

Berdasarkan uraian A. Teeuw tersebut, Herman J. Waluyo (2002: 60)

memberikan pandangan pada karya sastra terdapat adanya faktor ekstinsik,

(25)

juga dalam faktor ekstrinsik, yaitu di luar faktor objektif karya sastra itu

sendiri.

Meskipun tidak menjadi bagian di dalam novel, unsur ekstrinsik cukup

berpengaruh terhadap totalitas bangunan cerita yang dihasilkan. Oleh karena

itu, sebenarnya banyak faktor yang menjadi unsur ekstrinsik novel. Wellek

dan Warren (1990: 75-130) menyebutkan adanya empat faktor ekstrinsik yang

saling berkaitan dengan makna karya sastra, yaitu biografi pengarang,

psikologis, sosial budaya masyarakat dan filosofis.

Untuk memahami sebuah novel, harus dilakukan pembedahan

struktur yang dimiliki. Kenney (1966: 6-7) berpendapat,

“ To analyze a literary work is to identify the sparate parts that make it up (this correspondsroughly to the notion of tearing it to pieces), to determine the relationships among the parts, and to discover the relation of the parts, to the whole. The end of the analysis is always the understanding of the literary work as a unified and complex whole” .

Berpijak dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa novel dibagi

menjadi tiga jenis, yaitu novel idealisme abstrak, novel psikologi, dan

novel pendidikan.

c. Unsur-unsur Novel

Penelitian terhadap novel bertolak pada unsur yang terdapat di dalam

novel itu. Berkenaan dengan unsur intrinsik, Burhan Nurgiyantoro (2002: 23)

menyebutkan beberapa unsur, yaitu peristiwa, cerita, plot, penokohan, tema,

(26)

xxvi

Berikut ini dipaparkan beberapa unsur intrinsik novel yang berkaitan

erat dengan pengkajian novel melalui pendekatan strukturalisme genetik.

1) Tema

Tema sering dimaknai sebagai inti cerita novel. Semua cerita yang

dibangun berpusat dari satu tema. Definisi yang disampaikan Robert

Stanton (207: 147) memaknai tema sebagai makna yang dikandung oleh

sebuah cerita.

Tema adalah masalah hakiki manusia, seperti misalnya cinta kasih,

ketakutan, kebahagiaan, kesengsaraan, keterbatasan dan sebagainya

(Herman J. Waluyo, 2002: 142). Masalah hakiki manusia tersebut berasal

dari rasa kejiwaan manusia secara pribadi maupun sebagai manifestasi

interaksi dengan manusia lain. Karena itu, gagasan utama dari suatu novel

biasanya berisi pandangan tertentu atau perasaan tertentu mengenai

kehidupan.

Dalam karya sastra, tema senantiasa berkaitan dengan nilai-nilai

kehidupan dan pola tingkah laku. Tema yang banyak dijumpai pada karya

sastra yang bersifat didaktis adalah pertentangan antara nilai baik - buruk,

misalnya dalam bentuk kebohongan melawan kejujuran, kezaliman

melawan keadilan, korupsi melawan kerja keras, dan sebagainya.

Tema cerita kadang-kadang dinyatakan secara eksplisit oleh

pengarangnya, baik melalui dialog, pemaparan, maupun judul karya,

sehingga pembaca mudah memahami. Dari membaca judulnya saja,

(27)

lain-lain, dengan mudah pembaca dapat menebak temanya. Meskipun

demikian, harus disadari bahwa tidak semua judul menunjukkan tema

cerita. Ada pula judul-judul yang bersifat simbolik, misalnya Layar

Terkembang, Belenggu dan lain-lain. Dengan demikian, untuk menggali tema cerita tidak selalu mudah karena banyak pula yang bersifat implisit

(tersirat), sehingga seseorang perlu membaca lebih dahulu seluruh cerita

dengan tekun dan cermat.

Menurut Hartoko dan Rahmanto (dalam Burhan Nurgiyantara,

2009:68), tema merupakan gagasan dasar umum yang menopamg sebuah

karya sastra yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantis dan

yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan.

Tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita, maka ia bersifat

menjiwai seluruh bagian cerita itu. Namun, tema merupakan makna

keseluruhan yang didukung cerita, dengan sendirinya ia akan

”tersembunyi” di balik cerita yang mendukungnya.

Sayuti (Wiyatmi, 2006: 43) mengungkapkan fungsi tema, yaitu

untuk melayani visi atau responsi pengarang terhadap pengalaman dan

hubungan totalnya dengan jagad raya. Jadi, tema dapat berfungsi sebagai

penyatu unsur-unsur cerita dan juga sebagai penghubung visi pengarang

dengan kehidupan nyata.

Berkenaan dengan jenis tema, Burhan Nurgiyantoro (2002: 77-84)

menggolongkan tema tradisional yang menunjuk pada tema yang

(28)

xxviii

mengungkapkan adanya tema pokok atau tema mayor sebagai makna

pokok cerita yang menjadi dasar atau gagasan dasar umum karya, dan

tema tambahan atau tema minor.

Di samping itu Burhan Nurgiyantoro (200: 77-84) juga mengutip

tingkatan tema menurut Shipley, yaitu: (1) tema tingkat fisik, yaitu

manusia sebagai (atau dalam tingkatan kejiwaan) molekul; (2) tema

tingkat organik, yaitu manusia sebagai protoplasma; (3) tema tingkat

sosial, yaitu manusia sebagai makhluk sosial; dan (4) tema tingkat egoik,

yaitu manusia sebagai individu.

Namun Herman J Waluyo(2002:12) mengklasifikasikan tema

menjadi lima jenis, yaitu: (1) tema yang bersifat fisik; (2) tema organik;

(3) tema sosial; tema egoik(reaksi probadi); dan tema devine

(Ketuhanan). Tema yang bersifat fisik menyangkut inti cerita yang

bersangkut paut dengan kebutuhan fisik manusia. Tema yang bersifat

organik atau moral, menyangkut soal hubungan antara manusia. Tema

yang bersifat sosial berkaitan dengan problem kemasyarakatan. Tema

egoik atau reaksi individual, berkaitan dengan protes pribadi kepada

ketidakadilan, kekuasaan yang berlebihan, dan pertentangan individu.

Sedangkan tema divine (Ketuhanan) menyangkut renungan yang bersifat

religius hubungan manusia dengan sang khalik.

Bertolak dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tema

menyangkut masalah hakiki manusia dan dapat diklasifikasikan

(29)

2) Alur/Plot

a). Pengertian alur

Plot memegang peranan penting dalam cerita. Fungsi plot

memberikan penguatan dalam proses membangun cerita. Menurut

Herman J. Waluyo (2002: 146-147) plot memiliki fungsi untuk

membaca ke arah pemahaman cerita secara rinci dan menyediakan

tahap-tahap tertentu bagi penulis untuk melanjutkan cerita berikutnya.

William Kenney (1966: 13-14) menyatakan:

“ plot reveals event to us, not only in their temporal, but also in relationships. Plot makes us aware of events not merely as elements in temporal series, but also as an intricate pattern of cause and effect” . “ The structure of plot to recognize this much, however. Is only a beginning. We must consider in more specific terms the form this “ arrangement” we call plot is likely to take. For, underlying the evident diversity of fiction, we may discern certain recurring patterns” .

Foster (Budi Darma, 2004: 13) mengungkapkan bahwa plot

adalah rangkaian peristiwa yang diikat oleh hubungan sebab-akibat.

Jika rangkaian peristiwa itu tidak diikat oleh hubungan kausalitas

maka itu bukanlah plot.

Ada pula yang mengumpamakan alur sebagai sangkutan,

tempat menyangkutnya bagian-bagian cerita, sehingga terbentuklah

suatu bangun yang utuh. Dalam fungsinya yang demikian dapat

dibedakan peristiwa-peristiwa utama yang membentuk alur utama, dan

peristiwa-peristiwa pelengkap yang membentuk alur bawahan atau

(30)

xxx

Peristiwa yang dialami tokoh disusun sedemikian rupa menjadi

sebuah cerita, tetapi tidak berarti semua kejadian dalam hidup tokoh

ditampilkan secara lengkap. Peristiwa-peristiwa yang dijalin tersebut

sudah dipilih dengan memperhatikan kepentingannya dalam

membangun alur. Peristiwa yang tidak bermakna khas (signifikan)

ditinggalkan, sehingga sesungguhnya pengaluran selalu

memperhatikan hubungan kausalitas/sebab-akibat.

Memang, hubungan kausalitas ini tidak selalu segera tampak

dalam sebuah novel yang tersusun rapi karena kadang-kadang

tersembunyi di balik peristiwa yang meloncat-loncat, atau di dalam

ucapan maupun perilaku tokoh-tokohnya. Walaupun begitu pembaca

harus dapat menangkap hubungan kausalitas tersebut. Untuk itu

pengarang yang baik hanya menampilkan lakuan dan cakapan yang

bermakna bagi hubungan keseluruhan alur, sebab jika banyak digresi

(lanturan) dapat mengalihkan perhatian pembaca dari peristiwa utama

ke peristiwa pelengkap

Herman J. Waluyo (2008: 21) mengemukakan pengertian

tentang plot. Menurutnya plot mengandung indikator-indikator

sebagai berikut:

1). Plot adalah kerangka atau struktur crita yang merupakan

jalin-menjalinnya cerita dari awal hingga akhir;

2). Dalam plot terdapat hubungan kausalitas (sebab-akibat) dari

(31)

3). Jalinan cerita dalam plot erat kaitannya dengan perjalanan cerita

tokoh-tokohnya;

4). Konflik batin pelaku adalah sumber terjadinya plot yang

berkaitan dengan tempat dan waktu kejadian cerita;

5). Plot berkaitan dengan perkembangan konflik antara tokoh

antagonis dengan tokoh protagonis.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan definisi alur

adalah pengaturan urutan peristiwa pembentuk cerita yang

menunjukkan adanya hubungan kausalitas.

b). Penahapan Alur

Secara teoretis plot biasanya dikembangkan dalam urut-urutan

tertentu. Herman J. Waluyo (2002: 147-148) membedakan plot

menjadi tujuh tahapan: (1) exposition, yaitu paparan awal cerita; (2)

inciting moment, yaitu peristiwa mulai adanya problem-problem yang

ditampilkan oleh pengarang untuk dikembangkan atau ditingkatkan;

(3) rising action, yang penanjakan konflik; (4) complication, yaitu

konflik yang semakin ruwet; (5) klimaks, yaitu puncak dari seluruh cerita dan semua kisah atau peristiwa sebelumnya ditahan untuk dapat

menonjolkan saat klimaks cerita tersebut; (6) falling action, yaitu

konflik yang dibangun cerita itu menurun karena telah mencapai

(32)

xxxii

Bertolak dari pendapat di atas, tahapan alur adalah exposition,

inciting moment, rising action, complicatipn, klimaks, failing action, dan denovement

c) Jenis Plot

Alur atau plot memegang peranan penting dalam sebuah cerita

rekaan. Selain sebagai dasar bergeraknya cerita, alur yang jelas akan

mempermudah pemahaman pembaca terhadap cerita yang disajikan.Alur

berdasarkan kriteria urutan waktu dibedakan menjadi tiga, yaitu:

- Alur maju. Alur maju atau progresif dalam sebuah novel terjadi jika

cerita dimulai dari awal, tengah, dan akhir terjadinya peristiwa.

- Alur mundur, regresif atau flash back. Alur ini terjadi jika cerita

dimulai dari akhir cerita atau tengah cerita kemudian menuju awal

cerita.

- Alur campuran yaitu gabungan antara alur maju dan alur mundur.

Untuk mengetahui alur campuran maka harus meneliti secara

sintagmatik dan paradigmatik semua peristiwa untuk mengetahui kadar

progresif dan regresifnya (Burhan Nurgiyantoro, 1995:153-155).

Selain itu, Burhan Nurgiyantoro membagi alur berdasarkan

kepadatannya menjadi dua, yaitu:

- Alur padat yaitu cerita disajikan secara cepat, peristiwa terjadi

secara susulmenyusul dengan cepat dan terjalin erat, sehingga

apabila ada salah satu cerita dihilangkan maka cerita tersebut tidak

(33)

- Alur longgar yaitu alur yang peristiwa demi peristiwanya

berlangsung dengan lambat (Burhan Nurgiyantoro, 2002:159-160).

Plot dapat dikategorikan dalam beberapa jenis berdasakan

sudut tinjauan atau kriteria tertentu. Burhan Nurgiyantoro (2002:

153-163) mengemukakan pembedaan plot yang didasarkan pada

tinjauan dari kriteria urutan waktu, jumlah, kepedatan, dan isi.

Plot sebuah novel dikatakan progresif jka

peristiwa-peristiwa yang dikisahkanbersifat ideologis, peristiwa-peristiwa oertama

diikuti oleh (atau; menyebabkan) terjadinya peristiwa yang

kemuddian. Jika cerita tidak dimulai dari tahap awal, melainkan

mungkin dari tahap akhir baru kemudian tahap awal cerita

dikisahkan, maaka berplot sorot balik atau flash-back.

Istilah plot tunggal atau subplot digunakan pada menilik

plot berdasarkan kriteria jumlah. Karya fiksi yang berplot tunggal

biasanya mengembangkan sebuah cerita dengan menampilkan

seorang tokoh utama protagonis sebagai hero. Namun, sebuah

karya fiksi dapat saja memiliki lebih dari satu alur cerita yang

dikisahkan, atau terdapat lebih dari seorang tokoh yang dikisahkan

perjalanan hidup, permasalahan, dan konflik yang dihadapinya.

Alur semacam itu mmenandakan adanya subplot.

Plot berdasarkan kriteria kepadatan dibagi menjadi plot

padat atau rapat dan plot longar atau renggang. Novel yang berplot

(34)

xxxiv

dapat dipisahkan atau dihilangkan salah satunya . Sedangkan

dalam novel yang berplot longgar, antara peristiwa penting yang

satu dengan yang lain diselai oleh berbagai peristiwa tambahan

atau berbagai pelukisan tertentu seperti penyituasian latar dan

suasana.

Pembedaan plot berdasar kriteria isi dibagi menjadi tiga

golongan besaar, yaitu plot peruntungan, plot tokohan, dan plot

pemikiran. Plot peruntungan berhubungan dengan cerita yang yang

mengungkapkan nasib peruntungan yang menimpa tokoh. Plot

tokohan mengarah pada adanya sifat pementingan tokoh. Plot

pemikiran mengungkapkan sesuatu yang menjadi bahan pemikiran,

keinginan, dan perasaan.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa jenis

plot antara lain plot maju, mundur, dan campuran. Selain itu juga

ada plot rapat dan renggang.

3) Tokoh dan Penokohan

a) Pengertian Tokoh dan Penokohan

Tokoh dan penokohan merupakan salah satu unsur penting

dalam cerita novel. Istilah “tokoh” digunakan untuk menunjuk pada

orangnya atau pelaku cerita. Sedangkan istilah “penokohan” untuk

melukiskan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan

(35)

bahwa novel-novel Indonesia adalah novel tokohan; segala persoalan

berasal, berpijak, dan berujung pada sang tokoh.

The characters of a book are the fictional figures who move through the plot. They are invented by the author and are made of words rather than of flesh and blood. Therefore they cannot be expected to have all the attributes of real human beings. Nevertheless, novelists do try to create fictional people whose situations affect the reader as the situations of real people would.

(

http://encarta.msn.com/encyclopedia_761560384_5/Novel.html)

Pernyataan di atas senada dengan pendapat Herman J. Waluyo

(2002: 165) yang menyatakan bahwa penokohan berarti cara pandang

pengarang menampilkan tokoh-tokohnya, jenis-jenis tokoh, hubungan

tokoh dengan unsur cerita yang lain, watak tokoh-tokoh itu. Dengan

penggambaran watak-watak yang terdapat pada pelaku maka cerita

tersebut bertingkah laku seperti halnya manusia hidupdan mewakili

tipe-tipe manusia yang dikehendaki tema dan amanat.

Bertolak dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tokoh

dan penokohan adalah cara pandang pengarang menampilkan tokoh

dan penggambaran tokoh yang sesuai dengan kehidupan nyata.

b). Teknik Penokohan

Berkenaan dengan pengarang untuk menggambarkan watak

tokoh-tokohnya, Robert Humpre (dalam Herman J. Waluyo, 2002:

32) menyebutkan ada empat cara, yaitu: (1) teknik monolog interior

tak langsung; (2) teknik interior langsung; (3) teknik pengarang

(36)

xxxvi

Teknik monolog interior artinya cerita yang kehadirannya

tidak ditujukan kepada siapa pun, baik pembaca maupun tokoh lain.

Teknik pengarang serba tahu artinya pengarang menjelaskan semua

tentang diri tokoh-tokoh dan mencampuri segala tindakan

seolah-olah pada diri setiap tokoh, pengarang ada di dalamnya. Sedangkan

teknik solilukui atau percakapan batin artinya penggambaran watak

melalui percakapan tokoh itu sendiri.

Sedangkan Kenney (1966:34) menyebutkan ada lima teknik

penampilan watak tokoh cerita, yaitu: (1) secara diskursif yaitu

pengarang menyebutkan watak tokoh-tokohnya satu demi satu; (2)

secara dramatik artinya penampilan watak melalui dialog dan

tingkah laku (actino); (3) melalui tokoh lain yang berarti tokoh lain

menceritakan tokoh tersebut atau sebaliknya; (4) secara kontekstual

artinya penampilan watak tokoh dari konteks atau lingkungan atau

dunia yang dipilih oleh tokoh tersebut; (5) dengan metode

campuran(mixing methods) hádala metode penampilan watak

melalui pencampuran teknik-teknik yang sudah dikemukakan

terdahulu.

Herman J Waluyo (2002: 40) menggenapi beberapa cara

pengarang untuk menggambarkan watak tokoh-tokoh menjadi

tujuh, yaitu: (1) penggambaran secara langsung; (2) secara langsung

dengan diperindah; (3) melalui pernyataan oleh tokohnya sendiri;

(37)

sekitar pelaku; (6) melalui analisis psikis pelaku; (7) melalui

dialog-dialog pelakunya.

Apabila tokoh-tokoh dalam suatu cerita dilihat berdasarkan

perannya dibedakan menjadi tokoh utama dan tokoh tambahan. Selain itu,

jika dilihat dari fungsi penampilan tokoh dapat dibedakan ke dalam tokoh

protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis menampilkan sesuatu

sesuai dengan pandangan kita, harapan-harapan kita, dan pembaca. tokoh

antagonis adalah tokoh penyebab terjadinya konflik (Burhan Nurgiyantoro,

2002:178-179).

Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa teknik

penokohan terdiri atas teknik monolog interior tak langsung, teknik

interior langsung, teknik pengarang serba tahu, dan teknik solilokui.

4) Latar

a) Pengertian Latar

Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat

terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Ada empat bagian

penyusun setting menurut William Kenney(1966:40), yaitu:

(1) the actual geographical location, including topography scenery, even the details of a room’s interior; (2) the accupations and modes of day-to-day existence of the characters; (3) the time in which the action takes plece,e.g, historical period, season of the year; (4) the religious, moral, intellecctual, social, and emotional environment of the characters.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa latar membentuk

(38)

xxxviii

lingkungan tokoh memberi pengaruh terhadap perasaan tokoh cerita

tersebut.

b) Fungsi Latar

Latar disebut juga setting, memiliki fungsi yang penting karena

kedudukannya tersebut berpengaruh dalam cerita novel. Berkaitan

dengan ini, Kenney (1966:40) menyebutkan tiga fungsi latar, yaitu:

1. Membaca keseluruhan dari cerita. Setting ini mendasari waktu,

tempat watak pelaku, dan peristiwa yang terjadi.

2. Sebagai atmosfer atau kreasi yang lebih memberi kesan tidak hanya

sekadar memberi tekanan pada sesuatu. Penggambaran terhadap

sesuatu dapat ditambahkan dengan ilustrasi tertentu.

3. Sebagai unsur yang dominan yang mendukung plot dan perwatakan,

dapat dalam hal waktu dan tempat.

Selain ketiga fungsi tersebut Herman J Waluyo (2002: 35)

menambahkan dua fungsi lagi, yaitu: mempertegas watak pelaku dan

memberi tekanan pada tema cerita.

Bertolak dari pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa fungsi

latar sangat penting karena kedudukannya berpengaruh dalam cerita

novel.

c) Unsur Latar

Unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu: (1)

Latar tempat, yaitu lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam

(39)

peristiwa itu terjadi dan diceritakan dalam novel; dan (3) Latar sosial,

menyangkut status sosial seorang tokoh, penggambaran keadaan

masyarakat, kebiasaan hidup, pandangan hidup, adat-istiadat dan cara

berpikir dan bersikap, termasuk status sosial tokoh yang bersangkutan.

(Burhan Nurgiyantoro, 2002: 227–333).

5) Sudut Pandang

Abrams (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2002: 248) mendefinisikan

sudut pandang itu sendiri sebagai sarana untuk menyajikan tokoh,

tindakan, latar dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam

sebuah karya fiksi kepada pembaca. Sementara itu Booth (dalam Burhan

Nurgiyantoro, 2002: 249) mengemukakan bahwa sudut pandang adalah

teknik yang dipergunakan pengarang untuk menemukan dan

menyampaikan makna karya artistiknya untuk dapat sampai dan

berhubungan dengan pembaca.

Percy Lubbock (dalam Nyoman Kutha Ratna, 2003: 113)

mengatakan dalam pengertian ilmu sastra modern, sudut pandang

dianggap sebagai cara yang paling halus untuk memahami hubungan

antara penulis dengan struktur narativitas, yaitu dengan memanfaatkan

mediasi-mediasi variasi narator. Sudut pandang menyangkut tempat

berdirinya pengarang dalam sebuah cerita, sekaligus menentukan struktur

gramatikal naratif.

Usaha pembagian sudut pandang telah dilakukan oleh banyak

(40)

xl

memiliki pendapat yang sama, berkisar pada posisi pengarang sebagai

orang pertama, orang ketiga atau bahkan campuran. Sebagaimana

penggolongan yang dikemukakan Herman J. Waluyo (2002: 184-185),

yaitu (1) pengarang sebagai orang pertama dan menyatakan pelakunya

sebagai “aku” dan disebut teknik akuan; (2) pengarang sebagai orang

ketiga dan menyebut pelaku utama sebagai “dia”, dan disebut sebagai

teknik diaan; (3) teknik yang disebut omniscient narratif atau pengarang

serba tahu yang menceritakan segalanya atau memasuki berbagai peran

secara bebas; pengarang tidak memfokuskan kepada satu tokoh cerita di

dalam bercerita, tetapi semua tokoh mendapatkan penonjolan.

Shipley dalam Herman J. Waluyo (2002, 37) menyebutkan adanya

dua jenis sudut pandang, yaitu: internal point of view dan external point of

view. Iinternal point of view meliputi tokoh yang bercerita, pencerita menjadi salah satu pelaku, sudut pandang akuan, dan pencerita sebagai

tokoh sampingan bukan tokoh hero. Pengarang memakai tokoh ‘aku’

sebagai penutur cerita, sehingga seolah-olah kisah yang dituangkan adalah

pengalaman hidupnya sendiri. Tidak jarang pembaca salah duga dan

menganggap tokoh ‘aku’ dalam cerita sebagai gambararan pribadi

pengarang. Tentu saja ini menyesatkan dan tidak dapat

dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Point of view jenis ini terbagi dua, yaitu orang pertama mayor dan

orang pertama minor. Sudut pandang orang pertama mayor adalah cerita

(41)

pertama minor, tokoh utamanya orang ketiga (‘dia’, ‘ia’ atau nama orang).

Cerita dengan sudut pandang ini menghadirkan tokoh ‘aku’ atau ‘saya’

hanya sebagai penutur kisah yang menceritakan kehidupan tokoh utama.

External point of view meliputi gaya diam dan gaya penampilan

gagasan dari luar tokohnya. Tokoh utama cerita dengan point of view ini

adalah ‘dia’, ‘ia’, atau seseorang dengan nama tertentu. Di sini pengarang

bisa bertindak sebagai yang mahatahu (omniscient point of view), bisa pula

mendudukkan diri di luar cerita (objective point of view).

Pada cerita dengan sudut pandang omniscient, pengarang bertindak

sebagai pencipta segalanya. Karya sastra lama umumnya menggunakan

teknik point of view ini.

Berdasarkan pendapat di atas, sudut pandang adalah teknik yang

dipergunakan pengarang untuk menemukan dan menyampaikan makna

karya artistiknya untuk dapat sampai dan berhubungan dengan pembaca.

2. Hakikat Strukturalisme Genetika a. Pengertian Strukturalisme Genetik

Jamal T. Suryanata (1999: 8) menyatakan bahwa sifat-sifat sastra

menuntut orang untuk melihat kenyataan sebagaimana adanya, bukan melihat

apa yang seharusnya terjadi, sehingga sastra yang baik merupakan cermin

realitas masyarakat zamannya. Oleh karena itu, muncullah pendekatan sastra

dengan cara pandang yang berbeda yang dikenal dengan pendekatan

(42)

xlii

Pendekatan strukturalisme genetik merupakan salah satu bentuk

pendekatan sosiologi sastra yang dicetuskan oleh Lucien Goldmann.

Menurutnya, pendekatan ini terdiri dari tiga bagian, yaitu pandangan dunia

pengarang, stuktur teks, dan struktur sosial. Karya sastra dipandang sebagai

fakta kemanusiaan sehingga karya sastra tidak dapat dilepaskan dari ciri-ciri

dasar perilaku manusia.

The first basic principle of genetic structuralism is that human facts must be related to the behavior of a subject in order to be understood. Human facts are the result of human behavior and can be very precisely defined. Man transforms the world arround him in order to archive a better balance between himself (as subject) and the world. (Goldmann, 1981: 40)

Goldmann, dengan pendekatan strukturalisme genetik,

mengembangkan konsep tentang pandangan dunia. Sebagaimana dikatakan

Faruk (2003: 43) bahwa teori strukturalisme genetik Goldmann mengukuhkan

adanya hubungan antara sastra dengan masyarakat melalui pandangan dunia

atau ideologi yang diekspresikannya.

Atas dasar hal-hal di atas, Goldmann (dalam Suwardi Endraswara,

2003: 57) memberikan rumusan penelitian strukturalisme genetik ke dalam

tiga hal, yaitu: (1) penelitian terhadap karya sastra seharusnya dilihat sebagai

suatu gagasan; (2) karya sastra yang diteliti mestinya karya sastra yang

bernilai sastra, yaitu karya yang mengandung tegangan (tension) antara

keragaman dan kesatuan dalam suatu keseluruhan (a coherent whole); (3) jika

kesatuan telah ditemukan, kemudian dianalisis dalam hubungannya dengan

latar belakang sosial.

(43)

Pandangan mengenai sastra adalah ungkapan perasaan masyarakat

(literature is an expression of society) memberikan asumsi bahwa sastra sebagai cermin masyarakat. George Lukacs (dalam Sangidu, 2004: 44)

mengungkapkan teorinya tentang sastra sebagai pencerminan masyarakat. Ia

menyatakan bahwa seni (sastra) yang sejati tidak hanya merekam kenyataan

bagaikan sebuah tustel foto, tetapi melukiskan kenyataan dalam

keseluruhannya. Maksud mencerminkan berarti menyusun sebuah struktur

mental. Sebuah novel tidak hanya mencerminkan realitas, tetapi lebih dari itu,

lebih lengkap, lebih hidup dan lebih dinamik yang mungkin melampaui

pemahaman umum.

Karya sastra, khususnya novel, menampilkan latar belakang sosial

budaya masyarakat. Menurut Herman J. Waluyo (2002: 51) latar belakang

yang ditampilkan meliputi: tata cara kehidupan, adat-istiadat, kebiasaan, sikap,

upacara adat dan agama, konvensi-konvensi lokal, sopan santun, hubungan

kekerabatan dalam masyarakat, dalam cara berpikir, cara memandang sesuatu,

dan sebagainya. Latar belakang sosial budaya tersebut menjadi deskripsi

permasalahan yang diangkat dalam cerita novel.

Uraian dalam karya sastra tentang latar belakang sosial budaya dan

kenyataan berhubungan erat dengan warna lokal. Cerita rekaan akan

senantiasa menampilkan warna lokal agar ceritanya kuat dan meyakinkan.

Warna lokal dapat berupa keadaan alam, jalan, perumahan, paparan tentang

kesenian, upacara adat, dan dialog (cakapan) yang diwarnai dengan dialek.

(44)

xliv

Konteks karya sastra yang cenderung memantulkan keadaan

masyarakat menjadikan karya sastra sebagai saksi yang zaman (Suwardi

Endraswara, 2003: 89). Dalam kaitan ini sebenarnya karya sastra, melalui

kreatif pengarang, ingin berupaya untuk mendokumetnasikan zaman sekaligus

alat sebagai alat komunikasi dengan pemacanya (masyarakat itu sendiri).

Sastra yang ditulis pada suatu kurun tertentu pada umumnya berkaitan dengan

norma-norma dan adat-istiadat zaman itu (Luxemburg dalam Sangidu, 2004:

40).

c. Pandangan Dunia Pengarang

Menurut Lucien Goldmann pandangan dunia pengarang merupakan

istilah yang paling tepat dan cocok bagi kompleks menyeluruh dari

gagasan-gagasan, aspirasi-aspirasi, dan perasaan-perasaan yang menghubungkan secara

bersama-sama anggota-anggota suatu kelompok sosial yang lain. Sebagai

suatu kesadaran kolektif, pandangan dunia berkembang sebagai hasil situasi

sosial dan ekonomi tertentu yang dihadapi oleh subjek kolektif yang

memilikinya.

World views are historical and social facts. They are totalities of ways of thinking, feeling, and acting which in given conditions are imposed on men finding themselves in a similar economic and social situation, that is, imposed on certain social groups. Through these latter, it is clear that new world views do not appear all at once. (Goldmann: 1981: 112)

Dari pandangan ini tampak bahwa pandangan dunia merupakan sebuah

sintesis akumulatif kehidupan yang sangat abstrak. “ia” akan menggerakkan

(45)

Pengarang sebagai subjek individual mencoba menghasilkan

pandangan dunianya (vision du monde) kepada subjek kolektifnya. Signifikansi yang dielaborasikan subjek individual terhadap realitas sosial di

sekitarnya menunjukkan sebuah karya sastra berakar pada kultur tertentu dan

masyarakat tertentu (Iswanto, 2001: 59).

Pandangan dunia yang ditampilkan pengarang lewat problematic hero

merupakan struktur global yang bermakna. Pandangan dunia ini akan

semata-mata fakta empiris yang bersifat langsung, tetapi merupakan suatu gagasan,

aspirasi dan perasaan yang dapat mempersatukan suatu kelompok sosial

masyarakat. Pandangan dunia ini tidak memiliki eksistensi objektif, tetapi

merupakan ekspresi teoretis dari kondisi dan kepentingan suatu golongan

masyarakat tertentu (Iswanto, 2001: 61).

Pandangan dunia itu merupakan kesadaran yang munkgin yang tidak

setiap orang dapat memahaminya. Dalam hal ini kesadaran yang mungkin

dibedakan dari kesadaran yang nyata. Kesadaran yang nyata adalah kesadaran

yang dimiliki oleh individu-individu yang ada dalam masyarakat.

Individu-individu itu menjadi anggota berbagai pengelompokkan dalam masyarakat,

seperti keluarga, kelompok sekerja, dan sebagainya. Ditambah dengan

kompleksnya kenyataan masyarakat, individu-individu itu jarang sekali

mempunyai kemampuan untuk menyadari secara lengkap dan menyeluruh

mengenai makna dan arah keseluruhan dari aspirasi-aspirasi,

(46)

xlvi

Dalam esainya yang berjudul “ The Epistemology of Sociology”

Godlmann (1981: 55-74) mengemukakan pendapat mengenai karya sastra

pada umumnya yakni (1) karya sastra merupakan ekspresi pandangan dunia

secara imajiner, dan (2) dalam usahanya mengekspresikan pandangan dubia

pengarangnya itu pengarang menciptakan semesta tokoh-tokoh, objek-objek,

dan relasi-relasi secara imajiner. Selanjutnya Goldmann mengemukakan

bahwa pandangan dunia merupakan perspektif yang koheren dan terpadu

mengenai hubungan manusia dengan sesamanya dengan alam semesta.

Hal ini menunjukkan bahwa pandangan dunia adalah sebuah kesadaran

hakiki masyarakat dalam menghadapi kehidupan. Namun, dalam karya sastra,

hal ini amat berbeda dengan kedaan nyata. Kesadaran tentang pandangan

dunia ini adalah kesadaran mungkin, atau kesadaran yang telah ditafsirkan.

Oleh karena itu, boleh dikatakan bahwa karyawa sastra sebenarnya merupakan

ekspresi pandangan dunia yang imajiner.

Secara garis besar, ciri-ciri genetis karya seni, khususnya karya sastra,

yang melekat pada struktur sosial, dapat ditunjukkan dengan adanya sejumlah

persamaan, antara lain: (1) sama-sama dicirikan oleh adanya totalitas dan

unsur, (2) persamaan dalam eksplorasi tokoh-tokoh dan peristiwa, (3)

persamaan dalam penggunaan simbol-simbol sebagai alat, (4) persamaan

tujuan, yaitu transedensi dan transformasi, dan (5) persamaan hakikat, yaitu

abstraksi dari rekonstruksi ide-ide, sastra dalam bentuk rekonstruksi naratif,

struktur sosial dalam bentuk rekonstruksi perilaku. Di sinilah analisis sosiologi

(47)

menunjukkan fungsi-fungsi pandangan dunia sebagai mediasi, sehingga

memungkinkan terjadinya dialog antardisiplin (Nyoman Kutha Ratna, 2003:

233)

d. Kuntowijoyo sebagai Sastrawan Pencetus Sastra Profetik

Kuntowijoyo telah melahirkan karya-karya luar biasa, baik dalam

kajian keislaman, sejarah, mau pun cerita pendek dan novel. Lebih dari 50

judul buku ia hasilkan selama masa sakitnya, 1992-2005. Belum lagi

kolomnya di berbagai media. Karya sastranya, antara lain Hampir Sebuah Subversi (1999) Pasar (2000), Fabel Mengusir Matahari (2000), dan

Wasripin dan Satinah (2003).

Novelnya, yang pernah menjadi cerita bersambung di harian Kompas,

Mantra Pejinak Ular, ditetapkan sebagai satu di antara tiga pemenang Hadiah Sastra Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera), 2001. Tiga kali berturut-turut

Cerpen-cerpennya menjadi Cerpen Terbaik Kompas, yiatu “Laki-laki yang

Kawin dengan Peri” (1995), “Pistol Perdamaian” (1996), dan “Anjing-anjing

yang Menyerbu Kuburan” (1997). Hingga ia pernah menelepon redaksi

Kompas untuk meminta agar dirinya tidak lagi dimenangkan, seandai memang layak untuk menang lagi.

Penghargaan Kebudayaan diterima dari ICMI (1995), Satyalencana

Kebudayaan RI (1997), ASEAN Award on Culture and Information (1997),

Mizan Award (1998), Kalyanakretya Utama untuk Teknologi Sastra dari

(48)

xlviii

Memang, ia mudah lelah. Mengikuti pertemuan atau membaca 2 jam

sudah sangat melelahkan baginya. Sewaktu masih bugar, ia membaca 8 jam

dalam sehari. Sebelum sakit, konon 200 halaman buku dilalapnya tiap hari,

kebanyakan pada pagi hari sebelum dan sesudah shubuh, serta malam hari

menjelang tidur.Tapi, tetap, dengan keadaan sakit pun, hasilnya begitu

optimal.

Bila kita membaca dengan cermat karya-karya Kuntowijoyo—

Kumpulan Cerpen Dilarang Mencintai Bunga-bunga, Mantra Penjinak Ular, Wasripin dan Satinah, dll— maka setidaknya dapatlah kita memiliki sebuah

gambaran tentang sikap pengarang terhadap karya yang dihasilkannya. Dalam

sastra, misalnya, Kuntowijoyo memetakan dua macam sastra yang

bertentangan; pertama, sastra universal humanistik-emansipatoris-liberasi.

Kedua, sastra religius-transendental-spiritual. Melihat peta semacam ini, maka

sastra yang dipilih dan dicita-citakan oleh Kuntowijoyo adalah jenis sastra

(Islam) profetik, yang menggabungkan keduanya.

Karena itu, Kuntowijoyo menyatakan, kekuasaan Tuhan itu berbeda

dengan kekuasaan manusia. Kekuasaan Tuhan itu membebaskan, ikatan yang

membebaskan. Menurut Kuntowijoyo, itu “sebuah kebenaran paradoksal”.

Iman, transendensi, ruh selalu menjadi perhatian Kuntowijoyo. Kesadaran itu

dipeluknya dengan kuat, berdasarkan ayat suci, ia meyakini perjanjian dengan

Tuhan di alam azali bahwa sebelum manusia lahir ke dunia telah menyatakan

beriman kepada Allah. Karena itu, kelahiran ke dunia untuk tetap memelihara

(49)

Bagaimanapun, maklumat tentang ”Sastra Profetik” Kuntowijoyo

benar-benar memiliki ruh, yang seolah-olah mewakilinya untuk membenarkan

bahwa karya-karya yang dihasilkan oleh Kuntowijoyo. Di dalamnya terdapat

strukturisasi pengalaman yang cukup tinggi, beserta strukturisasi imajinasi

yang melebihi kognisi pengalamannya. Kuntowijoyo (2005: 80) menegaskan

idealismenya tentang sastra, “Keinginan saya dengan sastra adalah sastra

sebagai ibadah dan sastra yang murni. “Sastra ibadah” saya adalah ekspresi

dari penghayatan nilai-nilai agama saya, dan sastra murni adalah ekspresi

tangkapan saya atas realitas, “objektif” dan universal.”

Penulis novel Pasar dan Khotbah di Atas Bukit ini terus berkarya sampai detik-detik terakhir hayatnya. Ia masih sempat memberi kata

pengantar kumpulan puisi Taufik, Malu Aku Jadi Orang Indonesia. Kuntowijoyo meninggalkan dua naskah yang belum sempat diedit, yaitu

Pengalaman Sejarah (Historical Experience) dan Sejarah Eropa Barat

(pengembangan skripsinya pada 1969), serta ide tulisan untuk

Muhammadiyah dalam rangka muktamarnya. Kunto sudah meninggal pada

hari Selasa, 22 Februari 2005. Tapi ide dan semangatnya masih hidup. (Ekky,

2009: 4)

Kuntowijoyo sebagai pencetus maklumat sastra profetik tentu

mempunyai pandangan yang khas. Sastra profetik adalah sastra demokratis. Ia

tidak otoriter dengan memilih satu premis, tema, teknik, dan gaya (style), baik

yang bersifat pribadi maupun baku. Dahulu, di negeri-negeri yang terpengaruh

(50)

l

mematikan aliran lain. Keinginan sastra profetik hanya sebatas bidang etika,

itu pun dengan sukarela, tidak memaksa. (Kuntowijoyo, 2005: 10)

Etika tersebut disebut profetik karena ingin meniru perbuatan nabi, Sang

Prophet. Kuntowijoyo terinspirasi kutipan ungkapan sufi dalam buku

Muhammad Iqbal, sang sufi mengagumi peristiwa Isra’-Miroj. Meskipun Nabi

Muhammad telah mencapai tempat paling tinggi yang menjadi dambaan ahli

mistik, tapi kembali ke dunia juga untuk menunaikan tugas-tugas

kerasulannya.

Menurut Kuntowijoyo (2005: 10-11) konsep etika profetik ditemukan

dalam Al-Quran surat Al-Imron ayat 110. ”Kamu adalah umat terbaik yang

dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, danmencegah

kemungkaran, dan beriman kepada Allah.”

Etika profetik berisi tiga hal yaitu humanisasi (’amar ma’ruf), Liberasi (nahi munkar), dan transendensi (tu’minunna billaah). Liberalisme memilih

humanisasi, Marxisme memilih liberasi, dan kebanyakan agama memilih

transendensi. Etika profetik menginginkan ketiga-tiganya.

Keikutsertaan Kuntowijoyo dalam Muhammadiyah juga mempengaruhi

pemikirannya. Apa yang disampaikannya senada dengan khitah perjuangan

Muhammadiyah. Muhammadiyah dikenal sebagai organisasi yang telah

menghembuskan jiwa pembaruan islam, menentang bid’ah dan khurafat.

(Sabili, 2003: 134)

Sesuai dengan khittahnya, Muhammadiyah sebagai persyarikatan

(51)

mungkar dalam masyarakat, dengan maksud yang terutama ialah membentuk

keluarga dan masyarakat sejahtera sesuai dengan Dakwah Jamaah.

Muhammadiyah sebagai gerakan, dalam mengikuti perkembangan dan

perubahan itu, senantiasa mempunyai kepentingan untuk melaksanakan amar

ma'ruf nahi-mungkar, serta menyelenggarakan gerakan dan amal usaha yang

sesuai dengan lapangan yang dipilihnya ialah masyarakat, sebagai usaha

Muhammadiyah untuk mencapai tujuannya: "menegakkan dan menjunjung

tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat utama, adil dan makmur

yang diridlai Allah SWT.” (www.muhammadiyah-online.com)

Menurut Suminto A. Sayuti, (2005: 5) Etika profetik yang digagas

Kuntowijoyo merupakan perwujudan strukturalisme transendental. Dalam

kaidah sastra profetik harus ada kesadaran bahwa sastra dimaknai sebagai

ibadah. Kuntowijoyo pun menyatakan idealismenya dalam bersastra, “Inilah

cara bagi saya untuk mengabdi pada Tuhan dan tanah air.”

Menurut Moh. Wan Anwar (2005: 29) persoalan manusia dan

kehidupan masyarakat modern ditampilkan Kuntowijoyo dalam atmosfer

budaya Jawa dan pemikiran Islam. Hantu, takhayul, jin, peri, firasat,

kepercayaan orang-orang Jawa yang irasional dan emosional dihayati

Kuntowijoyo dalam perspektif Islam. Ia menghadapkan dua wawasan tersebut,

tanpa membenturkannya.

Sastra Profetik memiliki kaidah-kaidah yang memberi dasar

Gambar

Gambar 1. Bagan Kerangka Berpikir
Tabel 1.  Waktu dan Jenis Kegiatan Penelitian
Gambar 2.  Bagan Model Interaktif  Miles & Huberman (Sutopo, 2006: 70)

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan sebagai sebuah karya seni, musik gerejawi memiliki arti sebagai sebuah nada dalam bentuk vocal (suara manusia), atau juga bunyi dari sebuah instrument

Penerapan Model Mind Mapping Berbantuan Media Grafis untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif Pada Siswa Kelas IV SDN Jambean 01 Pada Tema Indahnya Keragaman

PENGARUH PENDEKATAN PEMBELAJARAN SAINTIFIK TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA: (Studi pada Siswa Kompetensi Keahlian Administrasi Perkantoran di SMK Negeri 11

Gambaran tingkat kemampuan berpikir kritis siswa di SMK Negeri 11 Bandung, yang terdiri dari lima dimensi yaitu memberikan penjelasan sederhana, membangun

Akan dicari tahu mengenai hasil dari penerapan sistem Thin Client dalam sistem perusahaan apakah membantu dari segi operasional sehari-hari dan juga support yang baik di

[r]

Untuk peserta, mereka harus lebih banyak membaca teks teks yang tertulis dengan bahasa Inggris, yang mana hal ini dapat membantu mereka lebih mudah memilih kata- kata

the market for labor thrives, and so on with the second and third increment” (Tenaga kerja adalah sumber utama pendapatan, jika bilangan buruh meningkat, nilai yang