PANDANGAN PROFETIK KUNTOWIJOYO DALAM
NOVEL
PASAR, MANTRA PEJINAK ULAR,
DAN
WASRIPIN DAN SATINAH
(Kajian Strukturalisme Genetik dan Nilai Pendidikan)
TESIS
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia
Oleh : Giyato S 840908012
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
ii
PANDANGAN PROFETIK KUNTOWIJOYO DALAM
NOVEL
PASAR, MANTRA PEJINAK ULAR,
DAN
WASRIPIN DAN SATINAH
(Kajian Strukturalisme Genetik dan Nilai Pendidikan)
Disusun oleh :
Giyato
S 840908012
Telah Disetujui oleh Tim Pembimbing
Dewan Pembimbing
Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal
Pembimbing I Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd. __________ ________ NIP 19440315 197804 1 001
Pembimbing II Dr. E. Nugraheni Eko Wardani, Hum. __________ ________ NIP 19700716 200212 2 001
Mengetahui,
Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia
PANDANGAN PROFETIK KUNTOWIJOYO DALAM
NOVEL
PASAR, MANTRA PEJINAK ULAR,
DAN
WASRIPIN DAN SATINAH
(Kajian Strukturalisme Genetik dan Nilai Pendidikan)
Disusun oleh :
Giyato
S 840908012
Telah Disetujui oleh Tim Penguji
Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal
Ketua Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd. _________ _______
Sekretaris Dr. Retno Winarni, M.Pd. _________ _______
Anggota Penguji Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd. _________ _______
Dr. Nugraheni Eko Wardani, M.Hum. _________ _______
Mengetahui, Ketua Program Studi
Direktur Program Pascasarjana Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Sebelas Maret Surakarta
iv
PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini
nama : Giyato
NIM : S 840908012
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul “ Pandangan Profetik Kuntowijoyo dalam Novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin
dan Satinah (Kajian Strukturalisme Genetik dan Nilai Pendidikan)” adalah betul-betul karya saya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya, dalam tesis ini diberi
tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.
Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya
bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya
peroleh dari tesis tersebut.
Surakarta, Januari 2010
Yang Membuat Pernyataan,
MOTO
Ver ba volant, scr ipta manent;
Kata-kata mudah sir na, namun tulisan mengabadikannya (Pepatah)
Bukan apa yang sudah, melainkan apalagikah? (Timur Sinar Suprabana)
vi
PERSEMBAHAN
Karya ini kupersembahkan untuk:
1. Kedua orang tuaku, Parto Wiyono dan Ginah,
serta kakakku Mbak Gentik sekeluarga yang
selalu mencurahkan cinta, kasih sayang, dan doa
untukku.
2. Istriku, Ita Nurdevi yang memberi semangat di
setiap langkahku. Mengingatkanku di saat aku
lalai dan menyemangatiku di saat aku malas.
3. Dixie Arunnisa Sarwanto, Tafiqoh Izza Tazkia,
Alif Ardhiansyah Budi Husada, dan Aryaditya
Nurwahid, keponakan-keponakanku yang lucu
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas rahmat dan
hidayah-Nya, tesis yang berjudul “ Pandangan Profetik Kuntowijoyo dalam Novel
Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah (Kajian Strukturalisme Genetik dan Nilai Pendidikan)” akhirnya dapat diselesaikan untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar Magister Pendidikan Bahasa Indonesia.
Banyak hambatan dalam penyelesaian penulisan tesis ini, namun berkat
bantuan dari berbagai pihak akhirnya semua hambatan dapat diatasi. Oleh karena
itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat:
1. Prof. Drs. Suranto, M.Sc., Ph.D. selaku Direktur Program Pascasarjana
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd., selaku Ketua Prodi Pendidikan Bahasa
Indonesia Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan arahan
dan persetujuan serta pengesahan laporan penyusunan tesis ini
3. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd. selaku Sekretaris Prodi Pendidikan Bahasa
Indonesia Universitas Sebelas Maret Surakarta
4. Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd., selaku Pembimbing I dan selaku
Pembimbing Akademik yang telah membimbing dan memberikan arahan
dengan sabar hingga tesis ini dapat terselesaikan.
5. Dr. E. Nugraheni Eko Wardani, M.Hum., selaku Pembimbing II yang dengan
viii
6. Bapak dan Ibu Dosen Pragram Pascasarjana Pendidikan Bahasa Indonesia
yang dengan tulus dan ikhlas memberikan ilmunya kepada peneliti sehingga
dapat menjadi bekal untuk penyusunan tesis.
7. Bapak dan Ibu, Papi dan Mami, kakak-kakak, dan istri tercinta yang telah
memberikan doa dan semangat untuk menyelesaikan laporan penyusunan
tesis ini.
8. Mahasiswa Program Pascasarjana Pendidikan Bahasa Indonesia yang telah
memberi semangat, keceriaan, dan motivasi dalam proses penelitian ini;
9. Saudara-saudara seperjuangan di Komunitas Tarbiyah, LP2R Bina Insan
Cendekia, Thulabiy Club, dan Komunitas Pembaca Karanganyar yang telah memicu dan memacu semangat dalam menempuh studi.
Peneliti menyadari bahwa laporan penyusunan tesis ini masih belum
sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat peneliti
harapkan guna kesempurnaan laporan penyusunan tesis ini dan demi menambah
wawasan pengetahuan peneliti.
Akhirnya, peneliti berharap semoga laporan penyusunan tesis ini dapat
bermanfaat bagi dunia kesusastraan, khususnya pengembangan kajian
strukturalisme genetik dan nilai-nilai pendidikan dalam novel.
Surakarta, Januari 2010
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL ... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii
PENGESAHAN TIM PENGUJI TESIS... iii
PERNYATAAN... iv
MOTTO... . v
PERSEMBAHAN... vi
KATA PENGANTAR... vii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR GAMBAR ... xiii
ABSTRAK... xiv
ABSTRACT... . xv
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 3
C. Tujuan Penelitian ... 4
D. Manfaat Penelitian ... 5
BAB II. LANDASAN TEORETIS ... 6
A. Landasan Teoretis ... 6
1. Hakikat Novel ... 6
a. Pengertian Novel ... 6
b. Jenis-jenis Novel... ... 8
c. Unsur-unsur Novel ... 10
2. Hakikat Strukturaisme Genetik ... 25
a. Pengertian Strukturaisme Genetik ... 34
x
d. Kuntowijoyo sebagai Pengarang ... 32
3. Hakikat Nilai Pendidikan dalam Novel ... 35
a. Pengertian Nilai………. ... 35
b. Nilai-nilai Pendidikan……….………. . 37
1) Nilai Pendidikan Agama ... 39
2) Nilai Pendidikan Moral ... 39
3) Nilai Pendidikan Adat/Budaya ... 41
4) Nilai Pendidikan Sosial ... 42
5) Nilai Pendidikan Kepahlawanan ... 43
c. Cara Mengukur Adanya Nilai Pendidikan dalam Novel ... 44
B. Penelitian Lain yang Relevan ... 50
C. Kerangka Berpikir ... 51
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 52
A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 52
B. Metode Penelitian ... 53
C. Pendekatan Penelitian ... 53
D. Sumber Data ... 53
E. Teknik Cuplikan ... 54
F. Prosedur Penelitian ... 54
G. Validitas Data ... 55
H. Analisis Data ... 56
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. ... 57
A. HASIL PENELITIAN 1. Deskripsi Pandangan Profetik Kuntowijoyo ... ... 57
2. Deskripsi Struktur Teks Novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah ... ... 73
4. Deskripsi Nilai-Nilai Pendidikan dalam Novel Pasar, Mantra Pejinak
Ular, dan Wasripin dan Satinah ... 162
B. PEMBAHASAN 1. Religius Profetik sebagai Pandangan Kuntowioyo... ... 167
2. Struktur Teks Novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah ... ... 179
3. Struktur Sosial Budaya Masyarakat dalam Novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah ... 182
4. Nilai-Nilai Pendidikan dalam Novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah ... 199
BAB V. SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN. ... 201
A. Simpulan... ... 201
B. Implikasi... 203
C. Saran... .. 209
DAFTAR PUSTAKA ... 210
xii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
Kerangka berpikir ... 51
xiv
ABSTRAK
Giyato. S 840908012. “ Pandangan Profetik Kuntowijoyo dalam Novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah (Kajian Strukturalisme Genetik dan Nilai Pendidikan)”. Tesis. Surakarta: Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, Program Pascasarjana. Universitas Sebelas Maret Surakarta, Januari 2010.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan : (1) pandangan dunia Kuntowijoyo dalam novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah; (2) struktur teks novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah; (3) struktur sosial budaya masyarakat dalam novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah; dan (4) nilai pendidikan novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah;.
Bentuk penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan metode content analysis atau analisis isi. Sumber data penelitian ini adalah novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo, karya-karya Kuntowijoyo yang lain, biografi penulis, komentar pengarang-pengarang lain, dan artikel dari buku , surat kabar, internet yang menunjang permasalahan penelitian. Teknik analisis cuplikan penelitian ini menggunakan purposive sampling. Validitas data penelitian ini menggunakan metode triangulasi teori. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis jalinan atau mengalir (flow model of analysis) yang meliputi tiga komponen, yaitu : (1) reduksi data (data reduction); (2) sajian data (data display); dan (3) penarikan simpulan (conclution drawing). Prosedur penelitian yang peneliti lakukan melalui tiga tahap mencakup: (1) tahap eksplorasi dan memperoleh gambaran umum, (2) tahap eksplorasi fokus, (3) tahap pengecekan dan keabsahan data.
ABSTRACT
Giyato. S840908012. The World Vision of Kuntowijoyo in Novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, and Wasripin dan Satinah (A Study of Genetic Structuralism and Education Value). Thesis: Indonesian Language Education Program, the Postgraduate of the University of Sebelas Maret.
The aim of this research is to describe : (1) the world vision of Kuntowijoyo in in novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, and Wasripin dan Satinah; (2) the Text Structure of novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, and Wasripin dan Satinah; (3) sociocultural structure of society in novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, and Wasripin dan Satinah; (4) education value of novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, and Wasripin dan Satinah.
The qualitative descriptive research was done using content analysis method. Data source of this research is novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, and Wasripin dan Satinah written by Kuntowijoyo, other literatures of Kuntowijoyo, Kuntowijoyo’s biography, comments from other authors, articles from books, newspapers, and internet which is supported to research problem. Sampling technique of this research was purposive sampling. Validity of research data was done using triangulation theory. The technique of data analyze in the research is using flow model of analyze that cover three components, that is: (1) data reduction; (2) data display; (3) conclusion drawing. Data analysis technique was done by dialectical model. The research was done in 3 steps, including : (1) exploration and general description, (2) focused exploration, (3) data validity checking.
Based on data analysis by genetic structuralism approach, concluded that : (1) Kuntowijoyo’s world vision comprises prophetical religious vision includes art, social, culture, politic, economy, education, and moral value; (2) text structure of novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, and Wasripin dan Satinah includes theme, plot, figure, background, and point of view; (3) sociocultural structure of society in novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, and Wasripin dan Satinah which includes creative process, sociocultural background of society (religiousness in Javanese society, Javanese art and culture, Javanese society’s myth, attitude and pleasure of Javanese society, language practice in society, life principal of Javanese society, social interaction in Javanese society, leadership inheritance, critic telling) characterization as figure realization of Javanese society; (4) education value in novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, and Wasripin dan Satinah comprises religion education value, moral, tradition, social, and heroic.
xvi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam pendidikan, nilai estetik dan puitik sastra selama ini diyakini
mampu memompa dan membangun karakter manusia. Bahkan mendiang Presiden
Amerika Serikat John F Kennedy begitu yakin bahwa sastra mampu meluruskan
arah kebijakan politik yang bengkok. Sehingga politikus yang mati tertembak ini
mengatakan, “Ketika Politik Bengkok, Sastra akan Meluruskannya”.
Begitu pentingnya sastra bagi kehidupan sehingga Seno Gumira Ajidarma
kemudian mengafirmasi pernyataan John F. Kennedy dengan membuat adagium
“Ketika Jurnalisme Dibungkam, maka Sastralah yang akan Berbicara”. Seno
Gumira Adjidharma tidak main-main dengan statement-nya, kumpulan Cerpen
“Saksi Mata” terbitan Bentang Budaya Yogyakarta adalah “saksinya”. Seluruh
cerpen dalam kumpulan ini merupakan “pembocoran” fakta peristiwa kekerasan
yang terjadi di Dili, Timor Lorosai saat itu. (Teguh Trianton, 2008: 3)
Keberadaan karya sastra di tengah-tengah masyarakat adalah hasil
imajinasi pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya.
Oleh karena itu, kehadiran karya sastra merupakan bagian dari kehidupan
masyarakat. Pengarang sebagai subjek individual mencoba menghasilkan
pandangan dunianya (world vision) kepada subjek kolektifnya. Signifikasi yang dielaborasikan subjek individual terhadap realitas sosial di sekitarnya
menunjukkan bahwa sastra berakar pada kultur dan masyarakat tertentu.
Keberadaan sastra yang demikian mengukuhkan sastra sebagai dokumentasi
sosiobudaya (Iswanto, 2001: 61).
Latar belakang sejarah, zaman, dan sosial masyarakat memiliki andil yang
signifikan terhadap karya sastra baik dalam segi isi maupun bentuk. Keberadaan
pengarang dalam lingkungan sosial masyarakat tertentu, ikut mempengaruhi karya
yang dibuatnya. Dengan demikian suatu masyarakat tertentu yang ditempati
pengarang akan dengan sendirinya mempengaruhi jenis sastra tertentu yang
dihasilkan pengarang.
Kecenderungan ini didasarkan pada pendapat bahwa tata kemasyarakatan
bersifat normatif. Hal ini berarti terdapat paksaan bagi masyarakat mematuhi
nilai-nilai yang berada di masyarakat. Hal ini merupakan faktor yang harus ikut
diperhatikan dan menentukan terhadap jenis tulisan pengarang, objek karya sastra,
pasar karya sastra, maksud penulisan, dan tujuan penulisan.
Karya sastra, khususnya novel, menampilkan latar belakang sosial budaya
masyarakat. Menurut Herman J. Waluyo (2002: 51) latar belakang yang
ditampilkan meliputi: tata cara kehidupan, adat-istiadat, kebiasaan, sikap, upacara
adat dan agama, konvensi-konvensi lokal, sopan santun, hubungan kekerabatan
dalam masyarakat, dalam cara berpikir, cara memandang sesuatu, dan
sebagainya. Latar belakang sosial budaya tersebut menjadi deskripsi
permasalahan yang diangkat dalam cerita novel.
Karya sastra selalu berkaitan dengan masyarakat dan sejarah yang
sifat-xviii
sifat sastra menuntut orang untuk melihat kenyataan sebagaimana adanya, bukan
melihat apa yang seharusnya terjadi, sehingga sastra yang baik merupakan
cermin realitas masyarakat zamannya. Oleh karena itu, muncullah pendekatan
sastra dengan cara pandang yang berbeda yaitu strukturalisme genetik.
Goldmann (dalam Suwardi Endraswara, 2003: 57) memberikan rumusan
penelitian strukturalisme genetik ke dalam tiga hal, yaitu: (1) penelitian terhadap
karya sastra yang dilihat sebagai suatu gagasan; (2) karya sastra yang diteliti
mengandung tegangan (tension) antara keragaman dan kesatuan dalam suatu
keseluruhan (a coherent whole); (3) jika kesatuan telah ditemukan, kemudian
dianalisis dalam hubungannya dengan latar belakang sosial.
Karya sastra yang dipilih sebagai objek kajian dengan pendekatan
strukturalisme genetik adalah novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo dengan alasan: (1) Kuntowijoyo seorang sastrawan besar pencetus sastra profetik, (2) novel-novel tersebut merupakan
cermin realitas masyarakat; dan (3) kajian strukturalisme genetik dan nilai
pendidikan terhadap ketiga karya sastra tersebut belum pernah dilakukan
Judul yang diambil dalam penelitian ini adalah “Pandangan Profetik
Kuntowijoyo dalam Novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan
Satinah (Kajian Strukturalisme Genetik dan Nilai Pendidikan)”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, rumusan masalah dalam
1. Bagaimana pandangan dunia pengarang yang melatarbelakangi novel Pasar,
Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo?
2. Bagaimana struktur teks novel Pasar, Mantra P ejinak Ular, dan Wasripin dan
Satinah karya Kuntowijoyo?
3. Bagaimana struktur sosial budaya masyarakat dalam novel Pasar, Mantra
Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo?
4. Bagaimana nilai-nilai pendidikan dalam novel Pasar, Mantra Pejinak Ular,
dan Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan umum penelitian ini adalah
untuk mengetahui pandangan profetik Kuntowijoyo dan totalitas makna novel
Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah.
Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan pandangan dunia pengarang yang melatarbelakangi novel
Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo.
2. Mendeskripsikan struktur teks novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan
Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo.
3. Mendeskripsikan struktur sosial budaya masyarakat dalam novel Pasar,
Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo.
4. Mendeskripsikan nilai-nilai pendidikan dalam novel Pasar, Mantra Pejinak
xx
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat, baik secara teoretis maupun
praktis. Adapun manfaat tersebut sebagai berikut:
1. Manfaat Teoretis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah
penelitian ilmu sastra, khususnya pengkajian prosa fiksi (novel) dengan
pendekatan strukturalisme genetik.
2. Manfaat Praktis
Manfaat praktis penelitian ini yaitu:
a. Menambah pengetahuan pengkajian prosa fiksi para pembaca khusunya
pada novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah Karya
Kuntowijoyo.
b. Menjadi rujukan bagi para peneliti yang berniat menganalisis lebih lanjut
karya sastra khususnya melalui pendekatan strukturalisme genetik.
c. Menjadi pengalaman yang cukup berarti bagi peneliti dan hasilnya dapat
digunakan dalam usaha pembinaan apresiasi sastra di sekolah terutama
dengan penanaman nilai-nilai pendidikan
BAB II
LANDASAN TEORETIS, PENELITIAN YANG RELEVAN,
DAN KERANGKA BERPIKIR
A. Landasan Teoretis
1. Hakikat Novel a. Pengertian Novel
Bentuk novel dianggap sama dengan bentuk roman, walaupun
sebenarnya berbeda. Episode yang diceritakan dalam novel tidak sepanjang
yang terdapat pada roman. Novel hanya menceritakan episode yang dianggap
penting saja dari kehidupan tokoh utama, misalnya masa remaja hingga
berumah tangga, masa kanak-kanak hingga menikah, masa berumah tangga,
dan lain-lain. Isi, cara penceritaan, dan bahasa dalam novel juga lebih
beragam. Ada novel-novel yang romantis (misalnya karya N.H. Dini, Marga
T., Mira W., ataupun Pramoedya Ananta Toer), tetapi banyak pula yang
bersifat lebih dinamis dan tidak bertendensi mengharu-biru perasaan pembaca
(misalnya karya Ayu Utami, Putu Wijaya, serial “Lupus”, dan lain-lain).
Istilah tentang novel antara negara satu dengan negara lain beragam.
Dalam bahasa Jerman disebut Novelle. Sedangkan dalam bahasa Prancis disebut Nouvelle. Kedua istilah tersebut dipakai dalam pengertian yang sama
xxii
maksud kejadian yang memunculkan suatu konflik yang mengakibatkan
adanya perubahan nasib pelakunya.
Berdasarkan asalnya kata novel berasal dari kata Latin novellus yang berarti diturunkan pula dari kata novies yang berarti “baru”. Dikatakan “baru”
karena kalau dibandingkan dengan jenis-jenis sastra lainnya seperti puisi,
drama, dan lain-lain, maka novel muncul setelahnya. Menurut Robert Liddell
(dalam Henry Guntur Tarigan, 1993: 164) novel Inggris yang pertama kali
lahir adalah Famela pada tahun 1740.
Beberapa pendapat mengenai novel dikemukakan oleh para ahli sastra.
Namun sampai saat ini belum ada patokan yang dapat diterima oleh semua
pihak. Novel dalam arti umum berarti cerita berbentuk prosa dalam ukuran
yang luas yaitu cerita dengan plot dan tema yang kompleks, karakter yang
banyak dan setting cerita yang beragam. Novel merenungkan dan melukiskan
realitas yang dilihat, dirasakan dalam bentuk tertentu dengan pengaruh
tertentu atau ikatan yang dihubungkan dengan tercapainya gerak-gerik hasrat
manusia.
Goldmann (dalam Faruk, 2003: 29) mendefinisikan novel sebagai
cerita mengenai pencarian yang terdegradasi akan nilai-nilai yang otentik
dalam dunia yang terdegradasi pula. Lebih jauh ia mengungkapkan bahwa
novel merupakan suatu genre sastra yang bercirikan keterpecahan yang tidak
terdamaikan dalam hubungan antara sang hero dengan dunia.
Robert Stanton (2007: 90) berpendapat bahwa novel mampu
hubungan yang melibatkan banyak atau sedikit karakter, dan berbagai
peristiwa ruwet yang terjadi beberapa tahun silam secara lebih mendetail.
Itulah yang membedakan novel dengan dengan cerpen. Yang lebih menarik
lagi dari novel adalah kemampuannya menciptakan satu semesta yang lengkap
sekaligus rumit.
Sebagai karya yang kompleks, novel memiliki karakteristik yang
menjadi ciri novel tersebut. Herman J. Waluyo (2002: 37) mengungkapkan
bahwa di dalam novel terdapat perubahan nasib dari tokoh cerita, ada
beberapa episode dalam kehidupan tokoh utamanya, dan biasanya tokoh
utama tidak sampai mati.
Berdasarkan berbagai pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa
novel adalah karya sastra yang kompleks dan memiliki unsur pembangun
berupa unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik.
b. Jenis-jenis Novel
Novel dapat dibedakan dengan melihat karakteristik jenisnya. Herman
J. Waluyo (2002: 38-39) membedakan jenis novel menjadi dua, yaitu novel
serius dan novel pop. Novel serius adalah novel yang dipandang bernilai sastra
(tinggi), sedangkan novel pop adalah novel yang nilai sastranya diragukan
(rendah) karena tidak ada unsur kreativitasnya.
Sesuai dengan teori Lukacs, Goldmann (dalam Faruk, 2003: 31)
membagi novel menjadi tiga jenis, yaitu novel idealisme abstrak, novel
psikologi, dan novel pendidikan. Novel jenis pertama menampilkan sang hero
xxiv
dunia. Dalam novel jenis kedua sang hero cenderung pasif karena keluasan
kesadarannya tidak tertampung oleh dunia fantasi. Sedangkan dalam novel
jenis ketiga sang hero telah melepaskan pencariannya akan nilai-nilai yang
otentik.
Di pihak lain Goldmann (dalam Nyoman Kutha Ratna, 2003: 126),
yang memandang karya sastra dalam kapasitas sebagai manifestasi aktivitas
kultural, mengungkapkan bahwa novellah karya sastra yang berhasil
merekonstruksi struktur mental dan kesadaran sosial secara memadai, yaitu
dengan cara menyajikannya melalui tokoh-tokoh dan peristiwa. Penggunaan
tokoh-tokoh imajiner juga merupakan salah satu keunggulan novel dalam
usaha untuk merekonstruksi dan memahami gejala sosial, perilaku impersonal,
termasuk peristiwa-peristiwa historis (Nyoman Kutha Ratna, 2003: 127).
Kita harus membedah struktur yang dimiliki suatu karya sastra untuk
memahaminya, khususnya novel. A. Teeuw (dalam Herman J. Waluyo, 2002:
59-60) menyebutkan bahwa sebuah sistem sastra memiliki tiga aspek: pertama
eksterne strukturrelation, yaitu struktur yang terikat oleh sistem bahasa
pengarang terikat oleh bahasa yang dipakainya; kedua interne strukturrelation,
yaitu struktur dalam bagian-bagiannya saling menentukan dan saling
berkaitan; dan ketiga model dunia sekunder, yaitu model dunia yang dibangun
oleh pengarang, dunia fantasi atau dunia imajinasi.
Berdasarkan uraian A. Teeuw tersebut, Herman J. Waluyo (2002: 60)
memberikan pandangan pada karya sastra terdapat adanya faktor ekstinsik,
juga dalam faktor ekstrinsik, yaitu di luar faktor objektif karya sastra itu
sendiri.
Meskipun tidak menjadi bagian di dalam novel, unsur ekstrinsik cukup
berpengaruh terhadap totalitas bangunan cerita yang dihasilkan. Oleh karena
itu, sebenarnya banyak faktor yang menjadi unsur ekstrinsik novel. Wellek
dan Warren (1990: 75-130) menyebutkan adanya empat faktor ekstrinsik yang
saling berkaitan dengan makna karya sastra, yaitu biografi pengarang,
psikologis, sosial budaya masyarakat dan filosofis.
Untuk memahami sebuah novel, harus dilakukan pembedahan
struktur yang dimiliki. Kenney (1966: 6-7) berpendapat,
“ To analyze a literary work is to identify the sparate parts that make it up (this correspondsroughly to the notion of tearing it to pieces), to determine the relationships among the parts, and to discover the relation of the parts, to the whole. The end of the analysis is always the understanding of the literary work as a unified and complex whole” .
Berpijak dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa novel dibagi
menjadi tiga jenis, yaitu novel idealisme abstrak, novel psikologi, dan
novel pendidikan.
c. Unsur-unsur Novel
Penelitian terhadap novel bertolak pada unsur yang terdapat di dalam
novel itu. Berkenaan dengan unsur intrinsik, Burhan Nurgiyantoro (2002: 23)
menyebutkan beberapa unsur, yaitu peristiwa, cerita, plot, penokohan, tema,
xxvi
Berikut ini dipaparkan beberapa unsur intrinsik novel yang berkaitan
erat dengan pengkajian novel melalui pendekatan strukturalisme genetik.
1) Tema
Tema sering dimaknai sebagai inti cerita novel. Semua cerita yang
dibangun berpusat dari satu tema. Definisi yang disampaikan Robert
Stanton (207: 147) memaknai tema sebagai makna yang dikandung oleh
sebuah cerita.
Tema adalah masalah hakiki manusia, seperti misalnya cinta kasih,
ketakutan, kebahagiaan, kesengsaraan, keterbatasan dan sebagainya
(Herman J. Waluyo, 2002: 142). Masalah hakiki manusia tersebut berasal
dari rasa kejiwaan manusia secara pribadi maupun sebagai manifestasi
interaksi dengan manusia lain. Karena itu, gagasan utama dari suatu novel
biasanya berisi pandangan tertentu atau perasaan tertentu mengenai
kehidupan.
Dalam karya sastra, tema senantiasa berkaitan dengan nilai-nilai
kehidupan dan pola tingkah laku. Tema yang banyak dijumpai pada karya
sastra yang bersifat didaktis adalah pertentangan antara nilai baik - buruk,
misalnya dalam bentuk kebohongan melawan kejujuran, kezaliman
melawan keadilan, korupsi melawan kerja keras, dan sebagainya.
Tema cerita kadang-kadang dinyatakan secara eksplisit oleh
pengarangnya, baik melalui dialog, pemaparan, maupun judul karya,
sehingga pembaca mudah memahami. Dari membaca judulnya saja,
lain-lain, dengan mudah pembaca dapat menebak temanya. Meskipun
demikian, harus disadari bahwa tidak semua judul menunjukkan tema
cerita. Ada pula judul-judul yang bersifat simbolik, misalnya Layar
Terkembang, Belenggu dan lain-lain. Dengan demikian, untuk menggali tema cerita tidak selalu mudah karena banyak pula yang bersifat implisit
(tersirat), sehingga seseorang perlu membaca lebih dahulu seluruh cerita
dengan tekun dan cermat.
Menurut Hartoko dan Rahmanto (dalam Burhan Nurgiyantara,
2009:68), tema merupakan gagasan dasar umum yang menopamg sebuah
karya sastra yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantis dan
yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan.
Tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita, maka ia bersifat
menjiwai seluruh bagian cerita itu. Namun, tema merupakan makna
keseluruhan yang didukung cerita, dengan sendirinya ia akan
”tersembunyi” di balik cerita yang mendukungnya.
Sayuti (Wiyatmi, 2006: 43) mengungkapkan fungsi tema, yaitu
untuk melayani visi atau responsi pengarang terhadap pengalaman dan
hubungan totalnya dengan jagad raya. Jadi, tema dapat berfungsi sebagai
penyatu unsur-unsur cerita dan juga sebagai penghubung visi pengarang
dengan kehidupan nyata.
Berkenaan dengan jenis tema, Burhan Nurgiyantoro (2002: 77-84)
menggolongkan tema tradisional yang menunjuk pada tema yang
xxviii
mengungkapkan adanya tema pokok atau tema mayor sebagai makna
pokok cerita yang menjadi dasar atau gagasan dasar umum karya, dan
tema tambahan atau tema minor.
Di samping itu Burhan Nurgiyantoro (200: 77-84) juga mengutip
tingkatan tema menurut Shipley, yaitu: (1) tema tingkat fisik, yaitu
manusia sebagai (atau dalam tingkatan kejiwaan) molekul; (2) tema
tingkat organik, yaitu manusia sebagai protoplasma; (3) tema tingkat
sosial, yaitu manusia sebagai makhluk sosial; dan (4) tema tingkat egoik,
yaitu manusia sebagai individu.
Namun Herman J Waluyo(2002:12) mengklasifikasikan tema
menjadi lima jenis, yaitu: (1) tema yang bersifat fisik; (2) tema organik;
(3) tema sosial; tema egoik(reaksi probadi); dan tema devine
(Ketuhanan). Tema yang bersifat fisik menyangkut inti cerita yang
bersangkut paut dengan kebutuhan fisik manusia. Tema yang bersifat
organik atau moral, menyangkut soal hubungan antara manusia. Tema
yang bersifat sosial berkaitan dengan problem kemasyarakatan. Tema
egoik atau reaksi individual, berkaitan dengan protes pribadi kepada
ketidakadilan, kekuasaan yang berlebihan, dan pertentangan individu.
Sedangkan tema divine (Ketuhanan) menyangkut renungan yang bersifat
religius hubungan manusia dengan sang khalik.
Bertolak dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tema
menyangkut masalah hakiki manusia dan dapat diklasifikasikan
2) Alur/Plot
a). Pengertian alur
Plot memegang peranan penting dalam cerita. Fungsi plot
memberikan penguatan dalam proses membangun cerita. Menurut
Herman J. Waluyo (2002: 146-147) plot memiliki fungsi untuk
membaca ke arah pemahaman cerita secara rinci dan menyediakan
tahap-tahap tertentu bagi penulis untuk melanjutkan cerita berikutnya.
William Kenney (1966: 13-14) menyatakan:
“ plot reveals event to us, not only in their temporal, but also in relationships. Plot makes us aware of events not merely as elements in temporal series, but also as an intricate pattern of cause and effect” . “ The structure of plot to recognize this much, however. Is only a beginning. We must consider in more specific terms the form this “ arrangement” we call plot is likely to take. For, underlying the evident diversity of fiction, we may discern certain recurring patterns” .
Foster (Budi Darma, 2004: 13) mengungkapkan bahwa plot
adalah rangkaian peristiwa yang diikat oleh hubungan sebab-akibat.
Jika rangkaian peristiwa itu tidak diikat oleh hubungan kausalitas
maka itu bukanlah plot.
Ada pula yang mengumpamakan alur sebagai sangkutan,
tempat menyangkutnya bagian-bagian cerita, sehingga terbentuklah
suatu bangun yang utuh. Dalam fungsinya yang demikian dapat
dibedakan peristiwa-peristiwa utama yang membentuk alur utama, dan
peristiwa-peristiwa pelengkap yang membentuk alur bawahan atau
xxx
Peristiwa yang dialami tokoh disusun sedemikian rupa menjadi
sebuah cerita, tetapi tidak berarti semua kejadian dalam hidup tokoh
ditampilkan secara lengkap. Peristiwa-peristiwa yang dijalin tersebut
sudah dipilih dengan memperhatikan kepentingannya dalam
membangun alur. Peristiwa yang tidak bermakna khas (signifikan)
ditinggalkan, sehingga sesungguhnya pengaluran selalu
memperhatikan hubungan kausalitas/sebab-akibat.
Memang, hubungan kausalitas ini tidak selalu segera tampak
dalam sebuah novel yang tersusun rapi karena kadang-kadang
tersembunyi di balik peristiwa yang meloncat-loncat, atau di dalam
ucapan maupun perilaku tokoh-tokohnya. Walaupun begitu pembaca
harus dapat menangkap hubungan kausalitas tersebut. Untuk itu
pengarang yang baik hanya menampilkan lakuan dan cakapan yang
bermakna bagi hubungan keseluruhan alur, sebab jika banyak digresi
(lanturan) dapat mengalihkan perhatian pembaca dari peristiwa utama
ke peristiwa pelengkap
Herman J. Waluyo (2008: 21) mengemukakan pengertian
tentang plot. Menurutnya plot mengandung indikator-indikator
sebagai berikut:
1). Plot adalah kerangka atau struktur crita yang merupakan
jalin-menjalinnya cerita dari awal hingga akhir;
2). Dalam plot terdapat hubungan kausalitas (sebab-akibat) dari
3). Jalinan cerita dalam plot erat kaitannya dengan perjalanan cerita
tokoh-tokohnya;
4). Konflik batin pelaku adalah sumber terjadinya plot yang
berkaitan dengan tempat dan waktu kejadian cerita;
5). Plot berkaitan dengan perkembangan konflik antara tokoh
antagonis dengan tokoh protagonis.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan definisi alur
adalah pengaturan urutan peristiwa pembentuk cerita yang
menunjukkan adanya hubungan kausalitas.
b). Penahapan Alur
Secara teoretis plot biasanya dikembangkan dalam urut-urutan
tertentu. Herman J. Waluyo (2002: 147-148) membedakan plot
menjadi tujuh tahapan: (1) exposition, yaitu paparan awal cerita; (2)
inciting moment, yaitu peristiwa mulai adanya problem-problem yang
ditampilkan oleh pengarang untuk dikembangkan atau ditingkatkan;
(3) rising action, yang penanjakan konflik; (4) complication, yaitu
konflik yang semakin ruwet; (5) klimaks, yaitu puncak dari seluruh cerita dan semua kisah atau peristiwa sebelumnya ditahan untuk dapat
menonjolkan saat klimaks cerita tersebut; (6) falling action, yaitu
konflik yang dibangun cerita itu menurun karena telah mencapai
xxxii
Bertolak dari pendapat di atas, tahapan alur adalah exposition,
inciting moment, rising action, complicatipn, klimaks, failing action, dan denovement
c) Jenis Plot
Alur atau plot memegang peranan penting dalam sebuah cerita
rekaan. Selain sebagai dasar bergeraknya cerita, alur yang jelas akan
mempermudah pemahaman pembaca terhadap cerita yang disajikan.Alur
berdasarkan kriteria urutan waktu dibedakan menjadi tiga, yaitu:
- Alur maju. Alur maju atau progresif dalam sebuah novel terjadi jika
cerita dimulai dari awal, tengah, dan akhir terjadinya peristiwa.
- Alur mundur, regresif atau flash back. Alur ini terjadi jika cerita
dimulai dari akhir cerita atau tengah cerita kemudian menuju awal
cerita.
- Alur campuran yaitu gabungan antara alur maju dan alur mundur.
Untuk mengetahui alur campuran maka harus meneliti secara
sintagmatik dan paradigmatik semua peristiwa untuk mengetahui kadar
progresif dan regresifnya (Burhan Nurgiyantoro, 1995:153-155).
Selain itu, Burhan Nurgiyantoro membagi alur berdasarkan
kepadatannya menjadi dua, yaitu:
- Alur padat yaitu cerita disajikan secara cepat, peristiwa terjadi
secara susulmenyusul dengan cepat dan terjalin erat, sehingga
apabila ada salah satu cerita dihilangkan maka cerita tersebut tidak
- Alur longgar yaitu alur yang peristiwa demi peristiwanya
berlangsung dengan lambat (Burhan Nurgiyantoro, 2002:159-160).
Plot dapat dikategorikan dalam beberapa jenis berdasakan
sudut tinjauan atau kriteria tertentu. Burhan Nurgiyantoro (2002:
153-163) mengemukakan pembedaan plot yang didasarkan pada
tinjauan dari kriteria urutan waktu, jumlah, kepedatan, dan isi.
Plot sebuah novel dikatakan progresif jka
peristiwa-peristiwa yang dikisahkanbersifat ideologis, peristiwa-peristiwa oertama
diikuti oleh (atau; menyebabkan) terjadinya peristiwa yang
kemuddian. Jika cerita tidak dimulai dari tahap awal, melainkan
mungkin dari tahap akhir baru kemudian tahap awal cerita
dikisahkan, maaka berplot sorot balik atau flash-back.
Istilah plot tunggal atau subplot digunakan pada menilik
plot berdasarkan kriteria jumlah. Karya fiksi yang berplot tunggal
biasanya mengembangkan sebuah cerita dengan menampilkan
seorang tokoh utama protagonis sebagai hero. Namun, sebuah
karya fiksi dapat saja memiliki lebih dari satu alur cerita yang
dikisahkan, atau terdapat lebih dari seorang tokoh yang dikisahkan
perjalanan hidup, permasalahan, dan konflik yang dihadapinya.
Alur semacam itu mmenandakan adanya subplot.
Plot berdasarkan kriteria kepadatan dibagi menjadi plot
padat atau rapat dan plot longar atau renggang. Novel yang berplot
xxxiv
dapat dipisahkan atau dihilangkan salah satunya . Sedangkan
dalam novel yang berplot longgar, antara peristiwa penting yang
satu dengan yang lain diselai oleh berbagai peristiwa tambahan
atau berbagai pelukisan tertentu seperti penyituasian latar dan
suasana.
Pembedaan plot berdasar kriteria isi dibagi menjadi tiga
golongan besaar, yaitu plot peruntungan, plot tokohan, dan plot
pemikiran. Plot peruntungan berhubungan dengan cerita yang yang
mengungkapkan nasib peruntungan yang menimpa tokoh. Plot
tokohan mengarah pada adanya sifat pementingan tokoh. Plot
pemikiran mengungkapkan sesuatu yang menjadi bahan pemikiran,
keinginan, dan perasaan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa jenis
plot antara lain plot maju, mundur, dan campuran. Selain itu juga
ada plot rapat dan renggang.
3) Tokoh dan Penokohan
a) Pengertian Tokoh dan Penokohan
Tokoh dan penokohan merupakan salah satu unsur penting
dalam cerita novel. Istilah “tokoh” digunakan untuk menunjuk pada
orangnya atau pelaku cerita. Sedangkan istilah “penokohan” untuk
melukiskan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan
bahwa novel-novel Indonesia adalah novel tokohan; segala persoalan
berasal, berpijak, dan berujung pada sang tokoh.
The characters of a book are the fictional figures who move through the plot. They are invented by the author and are made of words rather than of flesh and blood. Therefore they cannot be expected to have all the attributes of real human beings. Nevertheless, novelists do try to create fictional people whose situations affect the reader as the situations of real people would.
(
http://encarta.msn.com/encyclopedia_761560384_5/Novel.html)Pernyataan di atas senada dengan pendapat Herman J. Waluyo
(2002: 165) yang menyatakan bahwa penokohan berarti cara pandang
pengarang menampilkan tokoh-tokohnya, jenis-jenis tokoh, hubungan
tokoh dengan unsur cerita yang lain, watak tokoh-tokoh itu. Dengan
penggambaran watak-watak yang terdapat pada pelaku maka cerita
tersebut bertingkah laku seperti halnya manusia hidupdan mewakili
tipe-tipe manusia yang dikehendaki tema dan amanat.
Bertolak dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tokoh
dan penokohan adalah cara pandang pengarang menampilkan tokoh
dan penggambaran tokoh yang sesuai dengan kehidupan nyata.
b). Teknik Penokohan
Berkenaan dengan pengarang untuk menggambarkan watak
tokoh-tokohnya, Robert Humpre (dalam Herman J. Waluyo, 2002:
32) menyebutkan ada empat cara, yaitu: (1) teknik monolog interior
tak langsung; (2) teknik interior langsung; (3) teknik pengarang
xxxvi
Teknik monolog interior artinya cerita yang kehadirannya
tidak ditujukan kepada siapa pun, baik pembaca maupun tokoh lain.
Teknik pengarang serba tahu artinya pengarang menjelaskan semua
tentang diri tokoh-tokoh dan mencampuri segala tindakan
seolah-olah pada diri setiap tokoh, pengarang ada di dalamnya. Sedangkan
teknik solilukui atau percakapan batin artinya penggambaran watak
melalui percakapan tokoh itu sendiri.
Sedangkan Kenney (1966:34) menyebutkan ada lima teknik
penampilan watak tokoh cerita, yaitu: (1) secara diskursif yaitu
pengarang menyebutkan watak tokoh-tokohnya satu demi satu; (2)
secara dramatik artinya penampilan watak melalui dialog dan
tingkah laku (actino); (3) melalui tokoh lain yang berarti tokoh lain
menceritakan tokoh tersebut atau sebaliknya; (4) secara kontekstual
artinya penampilan watak tokoh dari konteks atau lingkungan atau
dunia yang dipilih oleh tokoh tersebut; (5) dengan metode
campuran(mixing methods) hádala metode penampilan watak
melalui pencampuran teknik-teknik yang sudah dikemukakan
terdahulu.
Herman J Waluyo (2002: 40) menggenapi beberapa cara
pengarang untuk menggambarkan watak tokoh-tokoh menjadi
tujuh, yaitu: (1) penggambaran secara langsung; (2) secara langsung
dengan diperindah; (3) melalui pernyataan oleh tokohnya sendiri;
sekitar pelaku; (6) melalui analisis psikis pelaku; (7) melalui
dialog-dialog pelakunya.
Apabila tokoh-tokoh dalam suatu cerita dilihat berdasarkan
perannya dibedakan menjadi tokoh utama dan tokoh tambahan. Selain itu,
jika dilihat dari fungsi penampilan tokoh dapat dibedakan ke dalam tokoh
protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis menampilkan sesuatu
sesuai dengan pandangan kita, harapan-harapan kita, dan pembaca. tokoh
antagonis adalah tokoh penyebab terjadinya konflik (Burhan Nurgiyantoro,
2002:178-179).
Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa teknik
penokohan terdiri atas teknik monolog interior tak langsung, teknik
interior langsung, teknik pengarang serba tahu, dan teknik solilokui.
4) Latar
a) Pengertian Latar
Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat
terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Ada empat bagian
penyusun setting menurut William Kenney(1966:40), yaitu:
(1) the actual geographical location, including topography scenery, even the details of a room’s interior; (2) the accupations and modes of day-to-day existence of the characters; (3) the time in which the action takes plece,e.g, historical period, season of the year; (4) the religious, moral, intellecctual, social, and emotional environment of the characters.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa latar membentuk
xxxviii
lingkungan tokoh memberi pengaruh terhadap perasaan tokoh cerita
tersebut.
b) Fungsi Latar
Latar disebut juga setting, memiliki fungsi yang penting karena
kedudukannya tersebut berpengaruh dalam cerita novel. Berkaitan
dengan ini, Kenney (1966:40) menyebutkan tiga fungsi latar, yaitu:
1. Membaca keseluruhan dari cerita. Setting ini mendasari waktu,
tempat watak pelaku, dan peristiwa yang terjadi.
2. Sebagai atmosfer atau kreasi yang lebih memberi kesan tidak hanya
sekadar memberi tekanan pada sesuatu. Penggambaran terhadap
sesuatu dapat ditambahkan dengan ilustrasi tertentu.
3. Sebagai unsur yang dominan yang mendukung plot dan perwatakan,
dapat dalam hal waktu dan tempat.
Selain ketiga fungsi tersebut Herman J Waluyo (2002: 35)
menambahkan dua fungsi lagi, yaitu: mempertegas watak pelaku dan
memberi tekanan pada tema cerita.
Bertolak dari pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa fungsi
latar sangat penting karena kedudukannya berpengaruh dalam cerita
novel.
c) Unsur Latar
Unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu: (1)
Latar tempat, yaitu lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam
peristiwa itu terjadi dan diceritakan dalam novel; dan (3) Latar sosial,
menyangkut status sosial seorang tokoh, penggambaran keadaan
masyarakat, kebiasaan hidup, pandangan hidup, adat-istiadat dan cara
berpikir dan bersikap, termasuk status sosial tokoh yang bersangkutan.
(Burhan Nurgiyantoro, 2002: 227–333).
5) Sudut Pandang
Abrams (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2002: 248) mendefinisikan
sudut pandang itu sendiri sebagai sarana untuk menyajikan tokoh,
tindakan, latar dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam
sebuah karya fiksi kepada pembaca. Sementara itu Booth (dalam Burhan
Nurgiyantoro, 2002: 249) mengemukakan bahwa sudut pandang adalah
teknik yang dipergunakan pengarang untuk menemukan dan
menyampaikan makna karya artistiknya untuk dapat sampai dan
berhubungan dengan pembaca.
Percy Lubbock (dalam Nyoman Kutha Ratna, 2003: 113)
mengatakan dalam pengertian ilmu sastra modern, sudut pandang
dianggap sebagai cara yang paling halus untuk memahami hubungan
antara penulis dengan struktur narativitas, yaitu dengan memanfaatkan
mediasi-mediasi variasi narator. Sudut pandang menyangkut tempat
berdirinya pengarang dalam sebuah cerita, sekaligus menentukan struktur
gramatikal naratif.
Usaha pembagian sudut pandang telah dilakukan oleh banyak
xl
memiliki pendapat yang sama, berkisar pada posisi pengarang sebagai
orang pertama, orang ketiga atau bahkan campuran. Sebagaimana
penggolongan yang dikemukakan Herman J. Waluyo (2002: 184-185),
yaitu (1) pengarang sebagai orang pertama dan menyatakan pelakunya
sebagai “aku” dan disebut teknik akuan; (2) pengarang sebagai orang
ketiga dan menyebut pelaku utama sebagai “dia”, dan disebut sebagai
teknik diaan; (3) teknik yang disebut omniscient narratif atau pengarang
serba tahu yang menceritakan segalanya atau memasuki berbagai peran
secara bebas; pengarang tidak memfokuskan kepada satu tokoh cerita di
dalam bercerita, tetapi semua tokoh mendapatkan penonjolan.
Shipley dalam Herman J. Waluyo (2002, 37) menyebutkan adanya
dua jenis sudut pandang, yaitu: internal point of view dan external point of
view. Iinternal point of view meliputi tokoh yang bercerita, pencerita menjadi salah satu pelaku, sudut pandang akuan, dan pencerita sebagai
tokoh sampingan bukan tokoh hero. Pengarang memakai tokoh ‘aku’
sebagai penutur cerita, sehingga seolah-olah kisah yang dituangkan adalah
pengalaman hidupnya sendiri. Tidak jarang pembaca salah duga dan
menganggap tokoh ‘aku’ dalam cerita sebagai gambararan pribadi
pengarang. Tentu saja ini menyesatkan dan tidak dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Point of view jenis ini terbagi dua, yaitu orang pertama mayor dan
orang pertama minor. Sudut pandang orang pertama mayor adalah cerita
pertama minor, tokoh utamanya orang ketiga (‘dia’, ‘ia’ atau nama orang).
Cerita dengan sudut pandang ini menghadirkan tokoh ‘aku’ atau ‘saya’
hanya sebagai penutur kisah yang menceritakan kehidupan tokoh utama.
External point of view meliputi gaya diam dan gaya penampilan
gagasan dari luar tokohnya. Tokoh utama cerita dengan point of view ini
adalah ‘dia’, ‘ia’, atau seseorang dengan nama tertentu. Di sini pengarang
bisa bertindak sebagai yang mahatahu (omniscient point of view), bisa pula
mendudukkan diri di luar cerita (objective point of view).
Pada cerita dengan sudut pandang omniscient, pengarang bertindak
sebagai pencipta segalanya. Karya sastra lama umumnya menggunakan
teknik point of view ini.
Berdasarkan pendapat di atas, sudut pandang adalah teknik yang
dipergunakan pengarang untuk menemukan dan menyampaikan makna
karya artistiknya untuk dapat sampai dan berhubungan dengan pembaca.
2. Hakikat Strukturalisme Genetika a. Pengertian Strukturalisme Genetik
Jamal T. Suryanata (1999: 8) menyatakan bahwa sifat-sifat sastra
menuntut orang untuk melihat kenyataan sebagaimana adanya, bukan melihat
apa yang seharusnya terjadi, sehingga sastra yang baik merupakan cermin
realitas masyarakat zamannya. Oleh karena itu, muncullah pendekatan sastra
dengan cara pandang yang berbeda yang dikenal dengan pendekatan
xlii
Pendekatan strukturalisme genetik merupakan salah satu bentuk
pendekatan sosiologi sastra yang dicetuskan oleh Lucien Goldmann.
Menurutnya, pendekatan ini terdiri dari tiga bagian, yaitu pandangan dunia
pengarang, stuktur teks, dan struktur sosial. Karya sastra dipandang sebagai
fakta kemanusiaan sehingga karya sastra tidak dapat dilepaskan dari ciri-ciri
dasar perilaku manusia.
The first basic principle of genetic structuralism is that human facts must be related to the behavior of a subject in order to be understood. Human facts are the result of human behavior and can be very precisely defined. Man transforms the world arround him in order to archive a better balance between himself (as subject) and the world. (Goldmann, 1981: 40)
Goldmann, dengan pendekatan strukturalisme genetik,
mengembangkan konsep tentang pandangan dunia. Sebagaimana dikatakan
Faruk (2003: 43) bahwa teori strukturalisme genetik Goldmann mengukuhkan
adanya hubungan antara sastra dengan masyarakat melalui pandangan dunia
atau ideologi yang diekspresikannya.
Atas dasar hal-hal di atas, Goldmann (dalam Suwardi Endraswara,
2003: 57) memberikan rumusan penelitian strukturalisme genetik ke dalam
tiga hal, yaitu: (1) penelitian terhadap karya sastra seharusnya dilihat sebagai
suatu gagasan; (2) karya sastra yang diteliti mestinya karya sastra yang
bernilai sastra, yaitu karya yang mengandung tegangan (tension) antara
keragaman dan kesatuan dalam suatu keseluruhan (a coherent whole); (3) jika
kesatuan telah ditemukan, kemudian dianalisis dalam hubungannya dengan
latar belakang sosial.
Pandangan mengenai sastra adalah ungkapan perasaan masyarakat
(literature is an expression of society) memberikan asumsi bahwa sastra sebagai cermin masyarakat. George Lukacs (dalam Sangidu, 2004: 44)
mengungkapkan teorinya tentang sastra sebagai pencerminan masyarakat. Ia
menyatakan bahwa seni (sastra) yang sejati tidak hanya merekam kenyataan
bagaikan sebuah tustel foto, tetapi melukiskan kenyataan dalam
keseluruhannya. Maksud mencerminkan berarti menyusun sebuah struktur
mental. Sebuah novel tidak hanya mencerminkan realitas, tetapi lebih dari itu,
lebih lengkap, lebih hidup dan lebih dinamik yang mungkin melampaui
pemahaman umum.
Karya sastra, khususnya novel, menampilkan latar belakang sosial
budaya masyarakat. Menurut Herman J. Waluyo (2002: 51) latar belakang
yang ditampilkan meliputi: tata cara kehidupan, adat-istiadat, kebiasaan, sikap,
upacara adat dan agama, konvensi-konvensi lokal, sopan santun, hubungan
kekerabatan dalam masyarakat, dalam cara berpikir, cara memandang sesuatu,
dan sebagainya. Latar belakang sosial budaya tersebut menjadi deskripsi
permasalahan yang diangkat dalam cerita novel.
Uraian dalam karya sastra tentang latar belakang sosial budaya dan
kenyataan berhubungan erat dengan warna lokal. Cerita rekaan akan
senantiasa menampilkan warna lokal agar ceritanya kuat dan meyakinkan.
Warna lokal dapat berupa keadaan alam, jalan, perumahan, paparan tentang
kesenian, upacara adat, dan dialog (cakapan) yang diwarnai dengan dialek.
xliv
Konteks karya sastra yang cenderung memantulkan keadaan
masyarakat menjadikan karya sastra sebagai saksi yang zaman (Suwardi
Endraswara, 2003: 89). Dalam kaitan ini sebenarnya karya sastra, melalui
kreatif pengarang, ingin berupaya untuk mendokumetnasikan zaman sekaligus
alat sebagai alat komunikasi dengan pemacanya (masyarakat itu sendiri).
Sastra yang ditulis pada suatu kurun tertentu pada umumnya berkaitan dengan
norma-norma dan adat-istiadat zaman itu (Luxemburg dalam Sangidu, 2004:
40).
c. Pandangan Dunia Pengarang
Menurut Lucien Goldmann pandangan dunia pengarang merupakan
istilah yang paling tepat dan cocok bagi kompleks menyeluruh dari
gagasan-gagasan, aspirasi-aspirasi, dan perasaan-perasaan yang menghubungkan secara
bersama-sama anggota-anggota suatu kelompok sosial yang lain. Sebagai
suatu kesadaran kolektif, pandangan dunia berkembang sebagai hasil situasi
sosial dan ekonomi tertentu yang dihadapi oleh subjek kolektif yang
memilikinya.
World views are historical and social facts. They are totalities of ways of thinking, feeling, and acting which in given conditions are imposed on men finding themselves in a similar economic and social situation, that is, imposed on certain social groups. Through these latter, it is clear that new world views do not appear all at once. (Goldmann: 1981: 112)
Dari pandangan ini tampak bahwa pandangan dunia merupakan sebuah
sintesis akumulatif kehidupan yang sangat abstrak. “ia” akan menggerakkan
Pengarang sebagai subjek individual mencoba menghasilkan
pandangan dunianya (vision du monde) kepada subjek kolektifnya. Signifikansi yang dielaborasikan subjek individual terhadap realitas sosial di
sekitarnya menunjukkan sebuah karya sastra berakar pada kultur tertentu dan
masyarakat tertentu (Iswanto, 2001: 59).
Pandangan dunia yang ditampilkan pengarang lewat problematic hero
merupakan struktur global yang bermakna. Pandangan dunia ini akan
semata-mata fakta empiris yang bersifat langsung, tetapi merupakan suatu gagasan,
aspirasi dan perasaan yang dapat mempersatukan suatu kelompok sosial
masyarakat. Pandangan dunia ini tidak memiliki eksistensi objektif, tetapi
merupakan ekspresi teoretis dari kondisi dan kepentingan suatu golongan
masyarakat tertentu (Iswanto, 2001: 61).
Pandangan dunia itu merupakan kesadaran yang munkgin yang tidak
setiap orang dapat memahaminya. Dalam hal ini kesadaran yang mungkin
dibedakan dari kesadaran yang nyata. Kesadaran yang nyata adalah kesadaran
yang dimiliki oleh individu-individu yang ada dalam masyarakat.
Individu-individu itu menjadi anggota berbagai pengelompokkan dalam masyarakat,
seperti keluarga, kelompok sekerja, dan sebagainya. Ditambah dengan
kompleksnya kenyataan masyarakat, individu-individu itu jarang sekali
mempunyai kemampuan untuk menyadari secara lengkap dan menyeluruh
mengenai makna dan arah keseluruhan dari aspirasi-aspirasi,
xlvi
Dalam esainya yang berjudul “ The Epistemology of Sociology”
Godlmann (1981: 55-74) mengemukakan pendapat mengenai karya sastra
pada umumnya yakni (1) karya sastra merupakan ekspresi pandangan dunia
secara imajiner, dan (2) dalam usahanya mengekspresikan pandangan dubia
pengarangnya itu pengarang menciptakan semesta tokoh-tokoh, objek-objek,
dan relasi-relasi secara imajiner. Selanjutnya Goldmann mengemukakan
bahwa pandangan dunia merupakan perspektif yang koheren dan terpadu
mengenai hubungan manusia dengan sesamanya dengan alam semesta.
Hal ini menunjukkan bahwa pandangan dunia adalah sebuah kesadaran
hakiki masyarakat dalam menghadapi kehidupan. Namun, dalam karya sastra,
hal ini amat berbeda dengan kedaan nyata. Kesadaran tentang pandangan
dunia ini adalah kesadaran mungkin, atau kesadaran yang telah ditafsirkan.
Oleh karena itu, boleh dikatakan bahwa karyawa sastra sebenarnya merupakan
ekspresi pandangan dunia yang imajiner.
Secara garis besar, ciri-ciri genetis karya seni, khususnya karya sastra,
yang melekat pada struktur sosial, dapat ditunjukkan dengan adanya sejumlah
persamaan, antara lain: (1) sama-sama dicirikan oleh adanya totalitas dan
unsur, (2) persamaan dalam eksplorasi tokoh-tokoh dan peristiwa, (3)
persamaan dalam penggunaan simbol-simbol sebagai alat, (4) persamaan
tujuan, yaitu transedensi dan transformasi, dan (5) persamaan hakikat, yaitu
abstraksi dari rekonstruksi ide-ide, sastra dalam bentuk rekonstruksi naratif,
struktur sosial dalam bentuk rekonstruksi perilaku. Di sinilah analisis sosiologi
menunjukkan fungsi-fungsi pandangan dunia sebagai mediasi, sehingga
memungkinkan terjadinya dialog antardisiplin (Nyoman Kutha Ratna, 2003:
233)
d. Kuntowijoyo sebagai Sastrawan Pencetus Sastra Profetik
Kuntowijoyo telah melahirkan karya-karya luar biasa, baik dalam
kajian keislaman, sejarah, mau pun cerita pendek dan novel. Lebih dari 50
judul buku ia hasilkan selama masa sakitnya, 1992-2005. Belum lagi
kolomnya di berbagai media. Karya sastranya, antara lain Hampir Sebuah Subversi (1999) Pasar (2000), Fabel Mengusir Matahari (2000), dan
Wasripin dan Satinah (2003).
Novelnya, yang pernah menjadi cerita bersambung di harian Kompas,
Mantra Pejinak Ular, ditetapkan sebagai satu di antara tiga pemenang Hadiah Sastra Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera), 2001. Tiga kali berturut-turut
Cerpen-cerpennya menjadi Cerpen Terbaik Kompas, yiatu “Laki-laki yang
Kawin dengan Peri” (1995), “Pistol Perdamaian” (1996), dan “Anjing-anjing
yang Menyerbu Kuburan” (1997). Hingga ia pernah menelepon redaksi
Kompas untuk meminta agar dirinya tidak lagi dimenangkan, seandai memang layak untuk menang lagi.
Penghargaan Kebudayaan diterima dari ICMI (1995), Satyalencana
Kebudayaan RI (1997), ASEAN Award on Culture and Information (1997),
Mizan Award (1998), Kalyanakretya Utama untuk Teknologi Sastra dari
xlviii
Memang, ia mudah lelah. Mengikuti pertemuan atau membaca 2 jam
sudah sangat melelahkan baginya. Sewaktu masih bugar, ia membaca 8 jam
dalam sehari. Sebelum sakit, konon 200 halaman buku dilalapnya tiap hari,
kebanyakan pada pagi hari sebelum dan sesudah shubuh, serta malam hari
menjelang tidur.Tapi, tetap, dengan keadaan sakit pun, hasilnya begitu
optimal.
Bila kita membaca dengan cermat karya-karya Kuntowijoyo—
Kumpulan Cerpen Dilarang Mencintai Bunga-bunga, Mantra Penjinak Ular, Wasripin dan Satinah, dll— maka setidaknya dapatlah kita memiliki sebuah
gambaran tentang sikap pengarang terhadap karya yang dihasilkannya. Dalam
sastra, misalnya, Kuntowijoyo memetakan dua macam sastra yang
bertentangan; pertama, sastra universal humanistik-emansipatoris-liberasi.
Kedua, sastra religius-transendental-spiritual. Melihat peta semacam ini, maka
sastra yang dipilih dan dicita-citakan oleh Kuntowijoyo adalah jenis sastra
(Islam) profetik, yang menggabungkan keduanya.
Karena itu, Kuntowijoyo menyatakan, kekuasaan Tuhan itu berbeda
dengan kekuasaan manusia. Kekuasaan Tuhan itu membebaskan, ikatan yang
membebaskan. Menurut Kuntowijoyo, itu “sebuah kebenaran paradoksal”.
Iman, transendensi, ruh selalu menjadi perhatian Kuntowijoyo. Kesadaran itu
dipeluknya dengan kuat, berdasarkan ayat suci, ia meyakini perjanjian dengan
Tuhan di alam azali bahwa sebelum manusia lahir ke dunia telah menyatakan
beriman kepada Allah. Karena itu, kelahiran ke dunia untuk tetap memelihara
Bagaimanapun, maklumat tentang ”Sastra Profetik” Kuntowijoyo
benar-benar memiliki ruh, yang seolah-olah mewakilinya untuk membenarkan
bahwa karya-karya yang dihasilkan oleh Kuntowijoyo. Di dalamnya terdapat
strukturisasi pengalaman yang cukup tinggi, beserta strukturisasi imajinasi
yang melebihi kognisi pengalamannya. Kuntowijoyo (2005: 80) menegaskan
idealismenya tentang sastra, “Keinginan saya dengan sastra adalah sastra
sebagai ibadah dan sastra yang murni. “Sastra ibadah” saya adalah ekspresi
dari penghayatan nilai-nilai agama saya, dan sastra murni adalah ekspresi
tangkapan saya atas realitas, “objektif” dan universal.”
Penulis novel Pasar dan Khotbah di Atas Bukit ini terus berkarya sampai detik-detik terakhir hayatnya. Ia masih sempat memberi kata
pengantar kumpulan puisi Taufik, Malu Aku Jadi Orang Indonesia. Kuntowijoyo meninggalkan dua naskah yang belum sempat diedit, yaitu
Pengalaman Sejarah (Historical Experience) dan Sejarah Eropa Barat
(pengembangan skripsinya pada 1969), serta ide tulisan untuk
Muhammadiyah dalam rangka muktamarnya. Kunto sudah meninggal pada
hari Selasa, 22 Februari 2005. Tapi ide dan semangatnya masih hidup. (Ekky,
2009: 4)
Kuntowijoyo sebagai pencetus maklumat sastra profetik tentu
mempunyai pandangan yang khas. Sastra profetik adalah sastra demokratis. Ia
tidak otoriter dengan memilih satu premis, tema, teknik, dan gaya (style), baik
yang bersifat pribadi maupun baku. Dahulu, di negeri-negeri yang terpengaruh
l
mematikan aliran lain. Keinginan sastra profetik hanya sebatas bidang etika,
itu pun dengan sukarela, tidak memaksa. (Kuntowijoyo, 2005: 10)
Etika tersebut disebut profetik karena ingin meniru perbuatan nabi, Sang
Prophet. Kuntowijoyo terinspirasi kutipan ungkapan sufi dalam buku
Muhammad Iqbal, sang sufi mengagumi peristiwa Isra’-Miroj. Meskipun Nabi
Muhammad telah mencapai tempat paling tinggi yang menjadi dambaan ahli
mistik, tapi kembali ke dunia juga untuk menunaikan tugas-tugas
kerasulannya.
Menurut Kuntowijoyo (2005: 10-11) konsep etika profetik ditemukan
dalam Al-Quran surat Al-Imron ayat 110. ”Kamu adalah umat terbaik yang
dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, danmencegah
kemungkaran, dan beriman kepada Allah.”
Etika profetik berisi tiga hal yaitu humanisasi (’amar ma’ruf), Liberasi (nahi munkar), dan transendensi (tu’minunna billaah). Liberalisme memilih
humanisasi, Marxisme memilih liberasi, dan kebanyakan agama memilih
transendensi. Etika profetik menginginkan ketiga-tiganya.
Keikutsertaan Kuntowijoyo dalam Muhammadiyah juga mempengaruhi
pemikirannya. Apa yang disampaikannya senada dengan khitah perjuangan
Muhammadiyah. Muhammadiyah dikenal sebagai organisasi yang telah
menghembuskan jiwa pembaruan islam, menentang bid’ah dan khurafat.
(Sabili, 2003: 134)
Sesuai dengan khittahnya, Muhammadiyah sebagai persyarikatan
mungkar dalam masyarakat, dengan maksud yang terutama ialah membentuk
keluarga dan masyarakat sejahtera sesuai dengan Dakwah Jamaah.
Muhammadiyah sebagai gerakan, dalam mengikuti perkembangan dan
perubahan itu, senantiasa mempunyai kepentingan untuk melaksanakan amar
ma'ruf nahi-mungkar, serta menyelenggarakan gerakan dan amal usaha yang
sesuai dengan lapangan yang dipilihnya ialah masyarakat, sebagai usaha
Muhammadiyah untuk mencapai tujuannya: "menegakkan dan menjunjung
tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat utama, adil dan makmur
yang diridlai Allah SWT.” (www.muhammadiyah-online.com)
Menurut Suminto A. Sayuti, (2005: 5) Etika profetik yang digagas
Kuntowijoyo merupakan perwujudan strukturalisme transendental. Dalam
kaidah sastra profetik harus ada kesadaran bahwa sastra dimaknai sebagai
ibadah. Kuntowijoyo pun menyatakan idealismenya dalam bersastra, “Inilah
cara bagi saya untuk mengabdi pada Tuhan dan tanah air.”
Menurut Moh. Wan Anwar (2005: 29) persoalan manusia dan
kehidupan masyarakat modern ditampilkan Kuntowijoyo dalam atmosfer
budaya Jawa dan pemikiran Islam. Hantu, takhayul, jin, peri, firasat,
kepercayaan orang-orang Jawa yang irasional dan emosional dihayati
Kuntowijoyo dalam perspektif Islam. Ia menghadapkan dua wawasan tersebut,
tanpa membenturkannya.
Sastra Profetik memiliki kaidah-kaidah yang memberi dasar