i
PANDANGAN DUNIA DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG:
ANALISIS STRUKTURALISME GENETIK
SKRIPSI
oleh: Nafisah 12/335051/SA/16543
PROGAM STUDI SASTRA INDONESIA DEPARTEMEN BAHASA DAN SASTRA
FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS GADJAH MADA
▸ Baca selengkapnya: interpretasi pandangan pengarang dalam novel bekisar merah
(2)ii
THE WORLDVIEW OF THE NOVEL PUYA KE PUYA BY FAISAL ODDANG:
A STUDY OF GENETIC STRUCTURALISM
UNDERGRADUATED THESIS
by: Nafisah 12/335051/SA/16543
INDONESIAN LITERATURE STUDY PROGRAM LANGUAGE AND LITERATURE DEPARTMENT
FACULTY OF CULTURAL SCIENCE UNIVERSITAS GADJAH MADA
v
“Anjalai tumbuah di munggu, sugi-sugi di rumpun padi. Supayo pandai rajin
vi
vii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Swt. yang telah memberikan kemudahan sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan baik. Skripsi yang berjudul “Pandangan Dunia dalam Novel Puya ke
Puya karya Faisal Oddang: Analisis Strukturalisme Genetik” ini disusun sebagai
salah satu syarat memperoleh gelar sarjana S-1 pada Jurusan Sastra Indonesia, Departemen Bahasa dan Sastra, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan skripsi ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Pujiharto, M.Hum, selaku Ketua Jurusan Sastra Indonesia yang telah mengizinkan penulis untuk menulis skripsi ini, Bapak Dr. Aprinus Salam, M.Hum., selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah memberikan arahan dan masukannya dalam penulisan skripsi ini, dan Drs. Ariyanto, M.Hum., selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah membimbing penulis selama berkuliah di S1 UGM. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh dosen, staf, dan rekan-rekan Program Studi Sastra Indonesia UGM yang telah banyak membantu dan berbagi ilmu selama penulis menjalani perkuliahan.
viii
Farid, Atikah, dan Nazhifah yang selalu menumbuhkan semangat agar penulis dapat menjadi teladan yang baik bagi mereka, keluarga baru di kontrakan; Bu Parno, Pak Parno, Meilany Indriati, dan Devi Aprillia yang menemani hari-hari penulis menyelesaikan skripsi, dan Yayasan Karya Salemba Empat yang pernah memberikan bantuan finansial untuk kelancaran studi penulis. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan di SKM Bulaksumur, Rampoe UGM, khususnya Lana Nurani Nan Suci, Desra Israyana, Nun Afra Farhanggi, Sirajuddin Lathif, dan Yusuf Qardhawi Latua Silawane yang memberikan banyak pelajaran dan pengalaman berharga untuk penulis, KKN BTL-03 Subunit Pedak, SP2KM 2014, rekan bisnis di lapak Jagoan Buku Sastra; Achmad Muchtar dan Galih Pangestu Jati, dan rekan-rekan dari Raudhatul Jannah yang sama-sama sedang merantau di Yogyakarta.
Skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, kritik dan saran yang membangun penulis harapkan demi kebaikan dan kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini memberikan manfaat untuk pembaca dan ilmu pengetahuan secara umum.
Yogyakarta, 26 Desember 2016
ix DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERNYATAAN ... iv
HALAMAN MOTO ... v
HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI ... x
INTISARI ... xiii
ABSTRACT ... xiv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 4
1.3 Tujuan Penelitian ... 4
1.4 Tinjauan Pustaka ... 4
1.5 Landasan Teori ... 7
1.6 Metode Penelitian... 12
1.7 Sistematika Laporan Penyajian ... 14
x
2.1.1 Relasi antara Tokoh Hero dengan Kerabat-Kerabatnya ... 17
2.1.1.1 Relasi antara Tokoh Hero dengan Rante Ralla ... 17
2.1.1.2 Relasi antara Tokoh Hero dengan Tina Ralla ... 19
2.1.1.3 Relasi antara Tokoh Hero dengan Marthen Ralla ... 21
2.1.1.4 Relasi antara Tokoh Hero dengan Mori Ralla ... 23
2.1.2 Relasi antara Tokoh Hero dengan Orang-Orang Tambang ... 25
2.1.2.1 Relasi antara Tokoh Hero dengan Mr. Berth ... 25
2.1.2.2 Relasi antara Tokoh Hero dengan Kepala Desa ... 26
2.1.2.3 Relasi antara Tokoh Hero dengan Suroso Abdullah ... 29
2.1.2.4 Relasi antara Tokoh Hero dengan Malena ... 29
2.2 Relasi antara Tokoh Hero dengan Objek-Objek di Sekitarnya ... 33
2.2.1 Relasi antara Tokoh Hero dengan Kampung Kete’ ... 33
2.2.2 Relasi antara Tokoh Hero dengan Tambang Toraja Subur ... 34
2.2.3 Relasi antara Tokoh Hero dengan Makassar... 34
2.3 Relasi Oposisional dalam Struktur Novel Puya ke Puya ... 35
2.3.1 Oposisi Tuhan dengan Manusia ... 35
2.3.2 Oposisi Tradisionalisme dengan Modernisme ... 37
2.4 Struktur Sosial ... 40
2.5 Homologi antara Struktur Novel dengan Struktur Sosial ... 43
BAB III PANDANGAN DUNIA DALAM NOVEL PUYA KE PUYA ... 45
3.1 Humanisme ... 45
xi BAB IV
KELOMPOK SOSIAL PENGARANG ... 66 4.1 Biografi Faisal Oddang ... 66 4.2 Nilai-Nilai Religius di Lingkungan Masa Kecil Faisal Oddang ... 68 4.3 Ideologi Humanisme dalam Komunitas-Komunitas yang Diikuti
Faisal Oddang ... 71 4.4 Proses Kreatif Faisal Oddang ... 72
BAB V
KESIMPULAN ... 75
xii INTISARI
Penelitian ini bertujuan mengungkap pandangan dunia pengarang dalam novel Puya ke Puya. Puya ke Puya merupakan sebuah novel yang bercerita mengenai seorang hero problematik yang berjuang dalam dunianya yang terdegradasi di Toraja. Problematiknya sang hero ditunjukkan dari pertentangannya terhadap dua kubu besar di Toraja. Hadirnya hero problematik ini diduga sebagai sarana pengarang untuk menunjukkan keberpihakannya dan menyampaikan pandangan dunianya. Analisis novel ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan strukturalisme genetik Lucien Goldmann. Pandangan dunia menurut Goldmann merupakan mediasi antara struktur novel dengan struktur sosial. Goldmann mengukuhkan bahwa struktur novel berpusat pada relasi antartokoh dan tokoh dengan objek di sekelilingnya. Selain itu, kelompok sosial pengarang juga berpengaruh terhadap pandangan dunia yang dibawa pengarang dalam novel Puya ke Puya.
Strukturalisme genetik menurut Goldmann menganggap karya sastra sebagai sebuah struktur. Akan tetapi, struktur itu bukanlah sesuatu yang statis, melainkan produk dari proses sejarah yang berlangsung terus menerus. Terdapat enam konsep dasar yang membangun teori strukturalisme genetik yaitu fakta kemanusiaan, subjek kolektif, strukturasi, pandangan dunia, pemahaman, dan penjelasan. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode dialektik. Metode dialektik menurut Goldmann mengukuhkan perihal tidak pernah adanya titik awal yang secara mutlak sahih, tidak adanya persoalan yang secara final dan pasti terpecahkan. Oleh karena itu, dalam sudut pandang tersebut pikiran tidak pernah bergerak seperti garis lurus. Proses pencapaian pengetahuan dengan metode dialektik menjadi semacam gerak melingkar yang terus menerus, tanpa diketahui titik yang menjadi pangkal atau ujungnya.
Analisis terhadap struktur novel Puya ke Puya menunjukkan keberpihakan pengarang kepada modernisme, kesederhanaan, kanaah, cinta alam, seks normal, humanisme, amanah, dan kejujuran. Elemen-elemen ini juga berhomolog dengan struktur sosial pembangun novel Puya ke Puya. Elemen-elemen ini merujuk kepada satu ideologi yang merupakan pandangan dunia pengarang, yakni humanisme religius. Ideologi humanisme religius juga tergambar dari kelompok sosial pengarang. Nilai-nilai religiusitas didapat pengarang dari kehidupan masa kecilnya di Bugis, sedangkan ideologi humanisme bersentuhan dengan pengarang saat ia aktif di beberapa komunitas semasa kuliahnya dan selama proses kreatifnya menulis Puya ke Puya.
xiii ABSTRACT
This study aims to reveal the worldview of the author of the novel Puya ke
Puya. Puya ke Puya is a novel that tells the story about a problematic hero who
fought in a world that is degraded in Toraja. The problematic hero is shown on the opposition to two major camps in Toraja. The presence of problematic hero is suspected as the author means to show his hand and expressed his worldview. The analysis was conducted using the novel approach of genetic structuralism Lucien Goldmann. View of the world according to Goldmann is mediating between the structure of the novel with a social structure. Goldmann confirmed that the structure of the novel is centered on the relationships between characters and characters with the objects around him. In addition, social groups authors also affect the worldview that brought the author in the novel Puya ke Puya.
Genetic structuralism according to Goldmann regard literature as a structure. However, the structure is not something static, but rather the product of a historical process that is ongoing. There are six basic concepts that build a theory of genetic structuralism, namely the fact of humanity, collective subject, structuration, worldview, understanding, and explanation. The method used in this study is the dialectical method. The dialectical method according to Goldmann never confirmed regarding their starting point is absolutely valid, no problems in the final and definitely solved. Therefore, in view of the mind never moves like a straight line. The process of achieving knowledge with the dialectical method into a kind of continuous circular motion, unknown point into the base or tip.
Analysis of the structure of the novel Puya ke Puya authors shows partiality to modernism, simplicity, kanaah, love of nature, normal sex, humanism, trust, and honesty. These elements are also homologous with the social structure of the novel builders Puya ke Puya. These elements refer to an ideology which is the author's view of the world, namely the religious humanism. The ideology of religious humanism also envisaged social groups authors. The values obtained religiosity author of the life of his childhood in Bugis, whereas the ideology of humanism in contact with the author when he was active in several communities during lectures and during the process of creative writing Puya ke Puya.
1 BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Penelitian
Sastra dapat ditempatkan sebagai salah satu superstruktur yang menjadi kekuatan reproduktif dari struktur sosial yang berdasarkan pembagian dan relasi sosial secara ekonomis. Sastra merupakan institusi sosial yang secara langsung maupun tidak langsung terlibat dalam pertentangan antarkelas di dalam masyarakat, dapat sebagai kekuatan konservatif yang berusaha mempertahankan struktur sosial yang berlaku atau sebagai kekuatan progresif yang berusaha merombak struktur tersebut (Marx dalam Faruk, 2010:52—53).
Salah satu jenis karya sastra adalah novel. Menurut Goldmann (Faruk, 2010:74), novel merupakan suatu genre sastra yang bercirikan keterpecahan yang tidak terdamaikan dalam hubungan antara sang hero dengan dunia. Keterpecahan itulah yang menyebabkan dunia dan sang hero menjadi sama-sama terdegradasi dalam hubungannya dengan nilai-nilai otentik yang berupa totalitas. Keterpecahan itu pulalah yang membuat sang hero menjadi problematik.
Puya ke Puya, merupakan sebuah novel yang bercerita mengenai hero
problematik yang berjuang di dunianya yang terdegradasi di Toraja. Dalam novel
Puya ke Puya, nilai-nilai otentik yang menghasratkan totalitas, kesatuan harmonis
diberdaya oleh sebuah kekuatan besar dari luar, yang diwakilkan oleh orang-orang tambang, sebagai wujud kekuatan kapitalis. Meski pada akhirnya sang hero melaksanakan tradisi yang ditolaknya karena sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman tersebut, penerimaannya bukanlah sebuah penerimaan yang ikhlas, melainkan penerimaan yang dilakukan secara terpaksa karena keadaannya sudah terdesak. Dengan penerimaan yang demikian, sang hero masih problematik karena tetap hidup dalam dunia yang terdegradasi dan merindukan totalitas.
Puya ke Puya ditulis oleh Faisal Oddang. Sebelum menerbitkan Puya ke
Puya, cerpen Faisal Oddang yang berjudul “Di Tubuh Tarra, dalam Rahim Pohon” terpilih sebagai Cerpen Terbaik Kompas tahun 2014. Pada tahun yang sama, ia dinobatkan sebagai Tokoh Sastra Pilihan Tempo atas novelnya Puya ke Puya. Faisal Oddang lahir di Wajo, 18 September 1994. Ia menulis puisi, cerpen, esai, dan novel. Faisal pernah mendapatkan penghargaan ASEAN Young Writers Award 2014 dari pemerintah Thailand. Ia juga pernah diundang ke Ubud Writers and Readers Festival 2014, Makassar International Writers Festival 2015, Salihara International Literary Biennale 2015, dan pada tahun 2016, ia terpilih untuk mengikuti residensi penulis ke Leiden.
Karya-karyanya pernah dimuat di berbagai media di antaranya Kompas,
Berita Kata Kendari, Harian Fajar Makassar, Radar Banjarmasin, dan lain-lain.
3
Favorit Lomba Menulis Cerpen Nasional PT. Rohto, dan Juara 1 Lomba Puisi Nasional Bulan Bahasa UGM 2014.
Beberapa karya Faisal yang sudah terbit di antaranya Rain and Tears (Divapress, 2013), Antologi Puisi Merentang Pelukan (Motion, 2012), Antologi Puisi Wasiat Cinta (Nala Cipta Litera, 2013), Antologi Cerpen Dunia di Dalam Mata (Motion, 2013), Antologi Cerpen Cerita Horor Kota (Plotpoint, 2013), Antologi Cerpen Kisah dari Rumah Kambira (Smartwriting, 2013), dan
Pertanyaan kepada Kenangan (Gagasmedia, 2016).
Puya ke Puya merupakan pemenang keempat Sayembara Novel Dewan
Kesenian Jakarta 2014. Sayembara Novel yang diadakan oleh Dewan Kesenian Jakarta ini telah berlangsung sejak tahun 1974 dengan nama Sayembara Mengarang Roman. Setelah sempat vakum beberapa tahun, lalu diadakan lagi pada tahun 1997. Selanjutnya, sejak tahun 2006, sayembara ini diadakan dua tahun sekali, yakni setiap tahun genap.
Novel Puya ke Puya dipilih sebagai objek material penelitian untuk melihat pandangan dunia Faisal Oddang. Cerita-cerita mengenai perjuangan hero untuk menemukan nilai otentik yang tercitra dari relasi antartokoh dan tokoh dengan objek di sekelilingnya menjadi struktur penting untuk melihat pandangan dunia Faisal Oddang. Selain itu, pandangan dunia juga difungsikan sebagai mediasi untuk melihat struktur sosial yang membangun terciptanya Puya ke Puya.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut.
1. Struktur novel Puya ke Puya dan struktur sosial.
2. Pandangan dunia Faisal Oddang dalam novel Puya ke Puya. 3. Kelompok sosial pengarang.
3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan menjawab rumusan masalah yang telah diuraikan di atas sebagai berikut.
1. Menjelaskan struktur novel Puya ke Puya dan struktur sosialnya.
2. Mengetahui pandangan dunia Faisal Oddang dalam novel Puya ke Puya. 3. Menjelaskan kelompok sosial pengarang.
4. Tinjauan Pustaka
Berdasarkan tinjauan pustaka yang dilakukan penulis, penelitian terhadap novel Puya ke Puya pernah dilakukan oleh Betta Anugrah Setiani dari Universitas
Negeri Jakarta. Tesis yang berjudul “Resistensi terhadap Kapitalisme dalam Novel
Puya ke Puyakarya Faisal Oddang” ini diterbitkan pada tahun 2016. Penelitian ini
5
Adapun penelitian menggunakan teori strukturalisme genetik juga sudah pernah dilakukan sebagai berikut. Pertama, skripsi berjudul “Pandangan Dunia Seno Gumira Ajidarma dalam Novel Jazz, Parfum, dan Insiden: Analisis
Strukturalisme Genetik” ditulis oleh Yuliana Ratnasari (2015). Hasil penelitian ini
memperlihatkan relasi tokoh “Aku” dengan objek dan tokoh lain di sekitarnya berada dalam kondisi terdegradasi. Melalui relasi tersebut, ia menjalani totalitas hidup karena kondisi degradasi menjadi upayanya dalam menemukan nilai-nilai otentik berupa persamaan hak dan kebebasan. Nilai otentik tersebut merupakan substansi ideologi demokratisme yang diekspresikan pengarang. Pandangan demokratisme ini mendasari pemikiran Seno sebagai kelas menengah untuk memperjuangkan kebebasan berpendapat masyarakat yang terbelenggu.
Kedua, skripsi berjudul “Cerpen ‘Mudik Lebaran dan Rigenomics’ karya
Umar Kayam: Analisis Strukturalisme Genetik Lucien Goldmann” (2015) ditulis
oleh Raden Rara Saraswati Husadaningtyas. Dalam penelitian ini, diangkat tiga masalah yakni fakta kemanusiaan, pandangan dunia pengarang, dan subjek kolektif
dalam cerpen “Mudik Lebaran dan Rigenomics”. Penelitian ini menemukan tiga
adalah pandangan dunia pengarang. Pandangan dunia tersebut diusung oleh salah satu tokoh cerita dalam cerpen, yaitu Pak Ageng.
Ketiga, skripsi berjudul “Pandangan Dunia Natsume Sooseki dalam Novel
Sorekara: Analisis Strukturalisme Genetik” ditulis oleh Pristian Wulanita dari
Jurusan Sastra Jepang, Universitas Gadjah Mada (2012). Penelitian ini menjelaskan bahwa modernisasi yang terjadi di Jepang memberikan dampak kepada masyarakat. Modernisasi membawa nilai baru pada generasi muda, sedangkan generasi tua masih mempertahankan nilai lama. Nasionalisme kultural menurut Sooseki, perlu mengambil nilai positif barat khususnya dalam bidang sastra tanpa meninggalkan nilai asli Jepang.
Keempat, tesis berjudul “Pandangan Dunia dalam Novel Ketika Cinta Tak
Mau Pergikarya Nadhira Khalid: Kajian Strukturalisme Genetik” yang ditulis oleh
Nurul Wazni dari Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada. Tesis yang dikeluarkan pada tahun 2016 ini menunjukkan bahwa struktur novel Ketika Cinta
Tak Mau Pergi mencerminkan tokoh hero yang mengalami problematika cinta di
7
Berdasarkan tinjauan pustaka di atas, maka penelitian terhadap novel Puya
ke Puya untuk menemukan pandangan dunia pengarangnya dengan menggunakan
tinjauan strukturalisme genetik dapat dilakukan.
5. Landasan Teori
Penelitian ini menggunakan teori strukturalisme genetik Lucien Goldmann. Strukturalisme genetik menurut Goldmann menganggap karya sastra sebagai sebuah struktur. Akan tetapi, struktur itu bukanlah sesuatu yang statis, melainkan produk dari proses sejarah yang berlangsung terus menerus. Terdapat enam konsep dasar yang membangun teori strukturalisme genetik yaitu fakta kemanusiaan, subjek kolektif, strukturasi, pandangan dunia, pemahaman, dan penjelasan (Faruk, 2010:56).
Adapun tujuan yang menjadi arti dari fakta-fakta kemanusiaan itu sendiri tumbuh sebagai respons dari subjek kolektif ataupun individual terhadap situasi dan kondisi yang ada di sekitarnya, fakta-fakta itu merupakan hasil usaha manusia untuk mencapai keseimbangan yang lebih baik dalam hubungannya dengan dunia sekitarnya (Goldmann dalam Faruk, 2010:58).
Bagi strukturalisme genetik, karya sastra hidup dalam dan menjadi bagian dari proses asimilasi dan akomodasi yang terus menerus. Dalam menghadapi kendala di kehidupannya, seseorang tidak hanya berusaha melakukan asimilasi terhadap lingkungan sekitarnya, melainkan juga mengakomodasikan dirinya pada struktur lingkungan tersebut. Karya sastra pada dasarnya adalah aktivitas strukturasi yang dimotivasi oleh adanya keinginan dari subjek karya sastra untuk membangun keseimbangan dalam hubungan antara dirinya dengan lingkungan di sekitarnya (Faruk, 2010:61).
9
hasil aktivitas yang objeknya sekaligus alam semesta dan kelompok manusia (Faruk, 2010:62—63).
Goldmann (via Faruk, 2010:64—65) percaya pada adanya homologi antara struktur karya sastra dengan struktur masyarakat, sebab keduanya merupakan produk dari aktivitas strukturasi yang sama. Konsep homologi berbeda dengan refleksi. Dalam konsep refleksi, karya sastra dianggap sebagai cerminan masyarakat, berarti bangunan dunia imajiner yang tercitrakan di dalam karya sastra identik dengan dunia yang terdapat di dalam kenyataan. Akan tetapi, dengan konsep homologi, hubungan antara bangunan dunia imajiner di dalam karya sastra yang berbeda dengan bangunan dunia nyata, dapat ditemukan dan dipahami. Dalam konsep homologi, kesamaan antara bangunan dunia dalam karya sastra dengan dunia dalam kehidupan nyata bukanlah kesamaan yang substansial, melainkan struktural. Artinya, meskipun isi karya sastra berbeda dengan kehidupan, tetapi strukturnya sama.
Dalam strukturalisme genetik, konsep struktur karya sastranya berbeda
dengan struktur yang umum dikenal. Dalam esainya yang berjudul “The
Epistemology of Sociology” (via Faruk, 2010:71), Goldmann mengemukakan dua pendapat mengenai karya sastra pada umumnya. Pertama, bahwa karya sastra merupakan ekspresi pandangan dunia secara imajiner. Kedua, bahwa dalam usahanya mengekspresikan pandangan dunia itu, pengarang menciptakan semesta tokoh-tokoh, objek-objek, dan relasi-relasi secara imajiner.
Dari kedua pendapatnya itu jelas bahwa Goldman mempunyai konsep struktur yang bersifat tematik. Yang menjadi pusat perhatiannya adalah relasi antara tokoh dengan tokoh dan tokoh dengan objek yang ada di sekitarnya (Faruk, 2010:72).
Sifat tematik dari konsep struktur Goldmann tersebut tampak pula pada konsepnya mengenai novel. Novel menurut Goldmann adalah cerita mengenai pencarian yang terdegradasi akan nilai-nilai yang otentik dalam dunia yang juga terdegradasi. pencarian itu dilakukan oleh seorang hero yang problematik. Nilai-nilai otentik itu adalah totalitas yang secara tersirat muncul dalam novel. Nilai-Nilai-nilai otentik itu hanya dapat dilihat dari kecenderungan terdegradasinya dunia dan problematiknya sang hero. Nilai-nilai itu berbentuk konseptual dan abstrak, yang hanya ada dalam kesadaran pengarang (Faruk, 2010:73—74).
11
kekuatan ideologis yang beroperasi dalam berbagai lembaga sosial yang ada di dalam masyarakat, termasuk karya sastra (Faruk, 2012:164—165).
Selanjutnya, pandangan dunia menurut Goldmann (via Faruk, 2010:65— 66) adalah kompleks menyeluruh dari gagasan-gagasan, aspirasi-aspirasi, dan perasaan-perasaan yang menghubungkan secara bersama-sama anggota-anggota suatu kelompok sosial tertentu dan yang mempertentangkannya dengan kelompok-kelompok sosial yang lain. Dengan demikian, pandangan dunia, bagi strukturalisme-genetik, tidak hanya seperangkat gagasan abstrak dari suatu kelas mengenai kehidupan manusia dan dunia tempat manusia itu berada, melainkan juga merupakan semacam cara atau gaya hidup yang dapat mempersatukan anggota satu kelas dengan anggota yang lain dalam kelas yang sama dan membedakannya dari anggota-anggota dari kelas sosial yang lain.
Sebagai suatu kesadaran kolektif, pandangan dunia berkembang sebagai hasil dari situasi sosial dan ekonomik tertentu yang dihadapi oleh subjek kolektif yang memilikinya. Oleh karena merupakan produk interaksi antara subjek kolektif dengan situasi sekitarnya, pandangan dunia tidak lahir dengan tiba-tiba (Faruk, 2010:67).
demikian jarang disadari pemiliknya kecuali dalam momen-momen krisis dan sebagai ekspresi individual pada karya-karya kultural yang besar (Goldmann via Faruk, 2010:69).
Pandangan dunia itu adalah sebuah pandangan dengan koherensi menyeluruh, merupakan perspektif yang koheren dan terpadu mengenai manusia, hubungan antar-manusia, dan alam semesta secara keseluruhan. Koherensi dan keterpaduan tersebut tentu saja menjadi niscaya karena pandangan dunia tersebut dibangun dalam perspektif sebuah kelompok masyarakat yang berada pada posisi tertentu dalam struktur sosial secara keseluruhan, merupakan respons kelompok masyarakat terhadap lingkungan sosial yang juga tertentu.... Seluruh alam semesta, yang natural maupun supernatural, seluruh aktivitas manusia, dari aktivitas sosial, verbal, sampai dengan aktivitas fisikal, dibingkai oleh dua oposisi antara dua konsep dasar yaitu oposisi antara yang halus dengan yang kasar (Faruk, 2010:71).
6. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode dialektik yang dikemukakan Lucien Goldmann. Metode dialektik bermula dan berakhir pada teks sastra dengan mempertimbangkan koherensi strukturalnya. Metode dialektik
mengembangkan dua pasangan konsep yakni “keseluruhan-bagian” dan
“pemahaman-penjelasan”. Pemahaman mengenai teks sastra sebagai keseluruhan tersebut harus dilanjutkan dengan usaha menjelaskannya dengan menempatkannya dalam keseluruhan yang lebih besar. Yang dimaksud dengan pemahaman adalah usaha pendeskripsian struktur objek yang dipelajari, sedangkan penjelasan adalah usaha menggabungkannya ke dalam struktur yang lebih besar (Faruk, 2010:78— 79).
13
persoalan yang secara final dan pasti terpecahkan. Oleh karena itu, dalam sudut pandang tersebut pikiran tidak pernah bergerak seperti garis lurus. Setiap fakta atau gagasan individual mempunyai arti hanya jika ditempatkan dalam keseluruhan. Sebaliknya, keseluruhan hanya dapat dipahami dengan pengetahuan yang bertambah mengenai fakta-fakta parsial atau yang tidak menyeluruh yang membangun keseluruhan itu. Karena keseluruhan tidak dapat dipahami tanpa bagian dan bagian juga tidak dapat dimengerti tanpa keseluruhan, proses pencapaian pengetahuan dengan metode dialektik menjadi semacam gerak melingkar yang terus menerus, tanpa diketahui titik yang menjadi pangkal atau ujungnya.
Adapun langkah-langkah kerja yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Menentukan teks yang dipakai sebagai objek material penelitian, yaitu novel Puya ke Puya yang ditulis oleh Faisal Oddang dan diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia pada tahun 2015.
2. Melakukan pembacaan berulang untuk menemukan struktur teks berupa kutipan-kutipan yang memperlihatkan relasi antar tokoh, tokoh dengan objek di sekelilingnya, dan relasi-relasi oposisional lainnya yang tersirat dalam novel Puya ke Puya.
4. Mengumpulkan data-data sekunder dari sumber kepustakaan lain yang mendukung penelitian.
5. Menganalisis objek penelitian dengan menggunakan teori strukturalisme genetik dan metode dialektik yang terkandung dalam teori ini. Adapun langkah-langkah analisis data dapat dirumuskan sebagai berikut.
a. Menganalisis struktur teks novel Puya ke Puya dengan mengungkapkan relasi strukturnya sebagai sebuah kesatuan.
b. Mengungkapkan dan memformulasikan pandangan dunia pengarang dalam novel Puya ke Puya. Pandangan dunia dibangun berdasarkan pemahaman menyeluruh terhadap struktur teks dan struktur sosial yang membangun terciptanya novel Puya ke Puya.
c. Mencari kelompok sosial pengarang. d. Penarikan kesimpulan.
7. Sistematika Laporan Penelitian
15 BAB II
STRUKTUR NOVEL PUYA KE PUYA DAN STRUKTUR SOSIAL
Strukturalisme genetik mengakui eksistensi karya sastra sebagai suatu struktur sehingga perlu dipahami secara struktural. Konsep struktur karya sastra yang dekat dengan konsep struktur menurut strukturalisme genetik adalah
strukturalisme Levi’Strauss. Konsep struktur menurut Levi’Strauss ini berpusat
pada konsep oposisi biner. Levi’Strauss melihat bangunan dunia sosial dan kultural
manusia sebagai sesuatu yang distrukturkan atas prinsip dasar binarisme, terbangun dari seperangkat satuan yang saling beroposisi satu sama lain. Di antara pasangan yang beroposisi itu dimungkinkan pula adanya satuan antara yang berada di antara keduanya sebagaimana telaah strukturalisme genetik terhadap karya-karya filsafat Pascal dan drama Racine yang memperlihatkan kecenderungan demikian (Faruk, 2012:163—164).
Sifat tematik dari konsep struktur Goldmann terlihat pula pada konsepnya mengenai novel. Goldmann mendefinisikan novel sebagai cerita mengenai pencarian yang terdegradasi akan nilai-nilai otentik dalam dunia yang juga terdegradasi. Pencarian ini dilakukan oleh seorang hero yang problematik (Faruk, 2010:73). Dalam novel Puya ke Puya, terdapat tokoh hero problematik bernama Allu yang sedang berjuang dalam dunianya yang terdegradasi di Toraja. Allu berusaha mencari nilai-nilai otentik melalui interaksi dengan manusia-manusia dan dunia di sekitarnya.
Relasi-relasi yang terjalin antara Allu dengan tokoh lain serta objek lain di sekitarnya ini, merupakan sarana pengarang untuk menyampaikan pandangan dunianya. Berikut adalah penjelasan relasi antara tokoh Allu dengan tokoh lain, serta objek-objek di sekelilingnya dan relasi-relasi oposisional yang terbentuk dalam novel Puya ke Puya.
2.1 Relasi antara Tokoh Hero dengan Tokoh Lain
17
mempersulit dirinya dan keluarganya. Oposisi yang kedua terjadi antara tokoh hero dengan orang-orang tambang. Tokoh hero bertentangan dengan orang tambang karena mereka ingin merebut tanah tongkonan-nya untuk dijadikan area pertambangan nikel. Sebagai pemilik lahan, tokoh hero tidak bersedia menjual
tongkonan-nya karena itu merupakan warisan turun temurun keluarganya. Untuk
mencapai keinginannya, akhirnya orang-orang tambang melakukan tipu muslihat terhadap tokoh hero.
2.1.1 Relasi antara Tokoh Hero dengan Kerabat-Kerabatnya
2.1.1.1 Relasi antara Tokoh Hero dengan Rante Ralla
Relasi yang terjalin antara tokoh hero dengan Rante Ralla merupakan relasi ayah dan anak. Rante Ralla merupakan seorang penuluan (petinggi) adat Toraja,
khususnya di Kampung Kete’. Posisi penuluan di Toraja lebih tinggi dari posisi pejabat desa. Pejabat desa juga segan terhadap Rante Ralla.
Di sisi lain, Allu merupakan anak muda yang berpikiran lebih modern dan praktis. Ia menolak pelaksanaan adat istiadat yang memberatkan dan sudah tidak relevan dengan zamannya. Allu menginginkan agar masyarakat Toraja lebih terbuka terhadap perkembangan zaman. Baginya, pelaksanaan ritual-ritual adat dengan cara yang mewah itu hanya memberatkan masyarakat Toraja, terlebih lagi bagi orang-orang yang berada di kelas ekonomi menengah ke bawah.
Pertentangan pendapat antara Allu dan Rante Ralla perihal pelaksanaan
rambu solo dapat dilihat dalam kutipan berikut.
Allu, kau mengerti aluk kan, Nak? Aku bertanya sambil mengusap
pundaknya. Kugunakan kata ‘aluk’ bukan ‘adat’ meski artinya sama, karena aku ingin mengingatkan bahwa segalanya akan kembali kepada kepercayaan yang mentradisi.
“Mengerti,” timpalnya. “Tapi saya juga tidak sepakat jika adat atau aluk, atau apalah namanya itu membebani. Bukankah adat tidak boleh kaku. Batu saja bisa dipahat, masa iya adat harus terus menjadi bongkahan batu,
Ambe?”
Aku paham isi kepala Allu. Namun dia tidak sepenuhnya mengerti apa yang tengah dipikirkannya.
“Baik, Nak.” Aku dengan tenang menjawabnya. “Aluk tidak boleh kaku, itu kalau kau melihatnya dari kacamatamu. Tapi kau harus mengerti, kau baru sempurna menilai kerbau kalau melihatnya dari banyak sisi. Kau lihatlah berat badan, bentuk tanduk, motif, dan banyak lagi. Jangan kau lihat
dari satu mata saja.”
Allu diam.
“O iya, Nak,” aku melanjutkan, “soal biaya, itu yang kau takutkan? Itu memang ada benarnya bila dilihat dari satu sisi.” Lagi dan lagi kutegaskan agar ia menilai tidak seperti menebang pohon dengan bilah
bambu. Sekalipun tajam, tajamnya bukan pada peruntukan. “Cobalah kau
19
Dari kutipan di atas, tampak bahwa pengarang berada pada posisi di tengah-tengah antara Allu dan Rante Ralla. Pengarang membenarkan bahwasanya pelaksanaan ritual adat memang memberatkan masyarakat Toraja sehingga disarankan agar adat tersebut tidak boleh kaku, tetapi di balik itu semua, ada nilai-nilai yang sebenarnya harus dipahami yakni nilai-nilai tentang kebersamaan, gotong royong, dan pelaksanaan tanggung jawab. Pertentangan antara Allu dan Rante Ralla dapat dilihat dalam bagan berikut.
Allu Rante Ralla
Modernisme Tradisionalisme
Sederhana Mewah
2.1.1.2 Relasi antara Tokoh Hero dengan Tina Ralla
Keputusan-keputusan yang diambil Allu sering kali membuat Tina kecewa. Pertama, keputusannya untuk menguburkan Rante Ralla di Makassar sesuai ajaran Kristen. Kedua, keputusannya untuk segera menikahi Malena seperti dalam kutipan berikut.
“Kau seharusnya mengerti aluk di usia kau yang sekarang, Allu,” Indo mengucapkan dengan bergumam. Saya tahu ia tidak ingin didengarkan oleh Ambe. Saya belum paham, adat macam apa yang saya tidak mengerti.
“Soal pernikahan, Allu. Soal pernikahan dan soal pemakaman,
sungguh kau seharusnya sudah mengerti. Di dalam sebuah tongkonan, tidak baik digelar rambu tuka—upacara kesenangan macam pernikahan sebelum digelar rambu solo sebagai upacara kesedihan. Itu jika masih ada mayat di dalam tongkonan. Dan tentu kau tahu sendiri, ambemu bahkan belum diputuskan rencana pemakamannya.” (Oddang, 2015:99).
Dalam kasus ini, Tina menentang Allu secara keras. Ia melarang Allu melaksanakan upacara perkawinan sebelum mengadakan upacara kematian Rante Ralla. Oleh karena itu, Allu mengalah. Ia menuruti permintaan Tina dengan akhirnya bersedia melaksanakan upacara rambu solo dengan tingkatan tertinggi. Untuk mencukupi biaya rambu solo dan upacara perkawinannya, Allu melakukan berbagai hal yang membuat Tina lagi-lagi marah. Allu diam-diam menjual
tongkonan yang selama ini juga dipertahankannya. Selain itu, Allu mencuri
21
kejahatan-kejahatan tersebut. Allu benar-benar merasa bersalah kepada ibunya atas apa-apa yang telah dilakukannya. Untuk menebus rasa bersalahnya itu, Allu akhirnya mengadakan perlawanan terhadap orang tambang.
Relasi-relasi yang terjalin antara tokoh hero dengan Tina di atas menunjukkan bahwa pengarang berusaha menyampaikan pandangannya tentang norma-norma yang seharusnya dipatuhi oleh manusia. Ketika keinginan seseorang tidak dapat diterima oleh lingkungannya, maka ia harus menyesuaikan diri dengan lingkungan. Selain itu, manusia yang berbuat keji seperti berbohong, mencuri, membunuh, dan sebagainya, pada akhirnya akan mendapatkan akibat dari perbuatannya sendiri. Sebagai hukuman teringan, ia akan dikucilkan, tidak dipercayai lagi, atau bahkan tidak diterima oleh masyarakat sekitarnya.
Allu Tina Ralla
Modernisme Tradisionalisme
2.1.1.3 Relasi antara Tokoh Hero dengan Marthen Ralla
Menurut tokoh hero, sejak kericuhan pembagian harta warisan keluarganya, Marthen adalah seseorang yang gila harta. Selain itu, Marthen juga beberapa kali ikut membujuk Allu agar mau menjual tanah tongkonan-nya kepada orang tambang. Allu heran melihat kelakuan pamannya itu. Ia bertanya-tanya kepada dirinya sendiri, tipu daya seperti apa, atau bayaran yang seberapa banyak yang diberikan oleh orang tambang sehingga Marthen juga ikut-ikutan mendesaknya untuk menjual tanah tongkonan kepada orang tambang.
Saya tahu ia tertohok, Paman Marthen tiba-tiba saja mematikan teleponnya. Saya tahu apa yang tengah diinginkannya. Ia ingin mengorbankan tongkonan kami, tanah kami, sejarah kami, dan warisan kami untuk dijadikan milik perusahaan tambang. Betapa saya tidak sampai berpikir tentang isi kepala Paman. Barangkali ia tidak membayangkan ketika alat berat kelak merobohkan tongkonan, meratakan tanah kami lalu membuat jalan untuk akses kendaraan-kendaraan penambang. Ah, dada saya sesak, saya membayangkan bagaimana Ambe berjuang. Uangnya
banyak, uangnya banyak. Kata-kata Paman berkelebat. Sialan sekali dia,
saya ingin merontokkan giginya yang sudah tidak sempurna dan rumpang di tengah itu. Seenaknya ingin menjual tongkonan kami. Sialan dia, saya ingin memukulnya demi Ambe (Oddang, 2015:37).
Setelah didesak berkali-kali, akhirnya Allu berani untuk membentak Marthen Ralla. Ia dengan lugas menyuruh Marthen Ralla untuk menyimpan uang pemberian orang tambang seperti terlihat dalam kutipan berikut.
“Ini urusan saya, tongkonan kami, sekarang saya yang memimpinnya. Tak usahlah kau campuri itu, Paman. Sekali lagi, simpanlah
uang bos kau itu, Paman. Cukup!”
23
Relasi yang terjalin antara tokoh hero dengan Marthen Ralla menunjukkan bahwa keserakahan manusia akan harta membuatnya luput terhadap tanggung jawab sosial yang diembannya. Jika sudah teperdaya oleh harta benda, manusia rela melakukan apa pun untuk mencapai keinginannya.
Allu Marthen Ralla
Modernisme Tradisionalisme
Kanaah Serakah
2.1.1.4 Relasi antara Tokoh Hero dengan Mori Ralla
Tokoh hero dan Mori Ralla memiliki hubungan sebagai tante dan kemenakan. Relasi yang terjadi antara tokoh hero dengan Mori Ralla, sama seperti relasinya dengan kerabat-kerabatnya yang lain, yakni relasi pertentangan. Mori Ralla mendukung kakaknya, Marthen Ralla, untuk menentang Allu saat rapat mengenai penyelenggaraan kematian Rante Ralla. Mori Ralla geram ketika Allu menolak keinginan kerabat-kerabatnya untuk menyelenggarakan rambu solo seperti dalam kutipan berikut.
“Jelas apanya?” Tante Mori sudah tampak geram, mukanya merah.
“Kau mau bikin malu keluarga?”
“Lebih malu mana ketika saya dan Indo berutang ke mana-mana
“Ini keinginan kami,” kata Tante Mori sambil menyebar pandangan
ke peserta rapat. Tak ada yang membantah, dan itu berarti: benar, keputusan peserta rapat selain saya adalah mengupacarakan Ambe selayaknya bangsawan dan pemimpin adat pada umumnya, mewah.
“Saya tidak ingin!” “Alasanmu?”
“Kebudayaan adalah produk manusia, manusia dan kebudayaan itu
dinamis sesuai ruang dan waktu, dan relevansi dengan zaman sangat penting sebagai acuan untuk mempertahankan sebuah tradisi yang merupakan bagian dari kebudayaan itu. Acuan untuk tetap melakukannya atau tidak, dan saya pikir zaman sudah tidak relevan dengan yang kalian pertahankan.” (Oddang, 2015:19—20).
Kutipan di atas menunjukkan bahwa untuk menyampaikan pandangan yang berbeda dengan nilai-nilai yang sudah tertanam di masyarakat, dibutuhkan keberanian. Logika-logika rasional yang mendukung penjelasan atas pandangan tersebut, juga perlu dipaparkan agar masyarakat dapat memahami pandangan baru tersebut. Akan tetapi, pada prakteknya, masyarakat tradisional sulit untuk menerima perubahan, apalagi terkait tradisi yang sudah turun temurun dilakukan.
Allu Mori Ralla
Modernisme Tradisionalisme
25
2.1.2 Relasi antara Tokoh Hero dengan Orang-Orang Tambang
Orang-orang tambang dalam novel Puya ke Puya digambarkan sebagai pengusaha rakus yang mengeksploitasi bumi Toraja dan melakukan berbagai cara untuk memperluas area pertambangannya. Orang-orang tambang melakukan tipu daya terhadap masyarakat Toraja, juga kepada Allu. Kepada masyarakat Toraja, sebelum dibangunnya perusahaan tambang di sana, orang-orang tambang menjanjikan akan memberikan pekerjaan yang layak kepada masyarakat sehingga pendapatan mereka tidak berpangku kepada sektor pariwisata saja. Akan tetapi, pada kenyataannya, setelah perusahaan tambang dibangun, masyarakat hanya diberikan posisi pekerja kelas bawah, bahkan ada yang tidak mendapatkan pekerjaan seperti dalam kutipan berikut.
... bumi kami dikeruk, dikeluarkan isinya, dijual lalu membuat kaya orang-orang asing itu. Sedangkan kami, orang Toraja, apa yang kami dapatkan? Ya, ada, sebenarnya ada. Sebagian warga yang pernah dijanjikan benar-benar mendapatkannya, ada yang menjadi supir truk, menjadi buruh angkut, menjadi tukang cuci mesin, dan menjadi pelayan, ada juga yang tidak menjadi apa pun (Oddang, 2015:37).
2.1.2.1 Relasi antara Tokoh Hero dengan Mr. Berth
Setelah terjebak oleh keharusan melaksanakan rambu solo sebelum menikahi Malena, Allu akhirnya bersedia membantu Mr. Berth untuk mencuri mayat-mayat bayi di makam passiliran. Uang hasil pencurian mayat bayi itu digunakan Allu untuk mencukupi biaya pernikahannya dengan Malena. Mayat bayi yang dicuri Allu, dijadikan oleh Mr. Berth sebagai tumbal untuk perusahaan tambangnya. Perusahaan tambang sering mendapat kesialan seperti longsor dan mesin meledak yang menyebabkan korban jiwa. Hal ini membuat perusahaan rugi besar karena selain harus membenahi infrastruktur bangunan, juga harus membiayai pemakaman korban. Untuk itu, Pak Soso, sesuai kepercayaannya, menyuruh Mr. Berth mengubur bayi di area tambang sebagai tumbal untuk menyucikan tanah tambang agar perusahaan mereka tidak ditimpa kesialan lagi.
Allu Mr. Berth
Seks normal Homoseksual
2.1.2.2 Relasi antara Tokoh Hero dengan Kepala Desa
27
kemajuan kampung mereka sehingga tidak bergantung kepada sektor pariwisata saja. Akan tetapi, misi buruk Kepala Desa ini diketahui oleh Rante Ralla sehingga ia menolak untuk mendukungnya, begitu juga Allu. Penolakan ini berujung kepada kematian Rante Ralla.
Setelah Rante terbunuh, kepala desa kembali mendatangi Allu dan memperkenalkan Pak Soso dan Mr. Berth. Karena gagal membujuk Allu untuk menjual tongkonannya lewat Marthen Ralla, ia akhirnya menggunakan wewenangnya sebagai pejabat desa. Kepala desa meminta Allu menunjukkan surat-surat tanah miliknya. Hal ini ditentang Allu karena ia tidak memiliki surat-surat tanah1. Ia tidak terima dan memutarbalikkan keadaan, ia menuntut kepala desa untuk menunjukkan surat tanah miliknya juga. Allu juga mengatakan keberatannya dan bertanya secara lugas berapa bayaran yang ia terima dari orang tambang sehingga melakukan perbuatan yang melanggar etika seperti bertamu ke rumah orang pagi-pagi sekali, memaksa meminta surat tanah padahal ia sendiri juga tidak memilikinya, dan usaha-usaha paksaan lainnya yang berujung kepada keinginannya agar Allu menjual tongkonan kepada orang tambang. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut.
“Bapak ini lucu, ya....” Saya menyusulnya dengan kekehan kecil.
Wajah Pak Kades memerah, sama merahnya dengan wajah Paman Marthen.
Mirip lobster rebus, makanan kesukaan saya dengan Malena, anak Pak
Kades, mantan pacar yang masih saya gilai sampai sekarang. “Kita buka
-bukaan saja, berapa uang yang Bapak terima dari perusahaan tambang?” “Jaga bicara kau, Allu.”
Paman Marthen geram, wajahnya seperti ingin menerjang saya. Diam, saya hanya diam dan tidak mengacuhkannya. Sialan.
“Jangan sembarang bicara,” kata Pak Kades dengan wajah yang
bertambah merah—kini lobster rebusnya kelebat matang.
“Saya tak bodoh, Pak. Ah, sudahlah. Kalau memang tujuan Bapak ke sini hanya untuk mengecek kelengkapan surat tanah saya, terus buat apa
membawa dua orang tambang?”
Pak Kades diam. Paman Marthen diam. Dua orang tambang itu juga diam. Saya menggeleng-geleng ke arah mereka.
“Kasihan ya kita ini, Pak. Bisa-bisa saja saling menghancurkan karena kepentingan orang lain, karena uang. Kasihan ya, kasihan sekali. Duh, kasihan betul. Memang begini cara kerja kapitalisme, Pak. Tapi tak
usahlah saya ceramah, nanti dikira sok pintar lagi.” (Oddang, 2015:57—58). Relasi yang terjalin antara Allu dengan kepala desa menyampaikan bahwa pengarang menunjukkan keburukan-keburukan kapitalisme lewat perilaku orang-orang tambang. Kapitalisme rela melakukan penindasan terhadap orang-orang lain untuk mencapai tujuannya. Budak kapitalisme digambarkan sebagai manusia yang tidak beretika demi meraih uang dan keinginannya.
Allu Kepala Desa
Humanisme Kapitalisme
Amanah Khianat
29
2.1.2.3 Relasi antara Tokoh Hero dengan Suroso Abdullah
Suroso Abdullah, atau biasa dipanggil Pak Soso pada awalnya menjalin relasi dengan Rante Ralla, ayah tokoh hero. Akan tetapi, karena Rante Ralla sudah mati terbunuh oleh orang-orang tambang, ia kemudian menghasut Allu untuk menjual tanahnya kepada orang tambang.
Pak Soso juga merupakan suami Malena—mantan kekasih Allu yang ikut menipunya. Bersama Malena, Kepala Desa (ayah Malena), mereka membantu orang tambang untuk menjebak Allu agar mau menjual tanah tongkonannya untuk dijadikan area pertambangan.
Allu Suroso Abdullah
Jujur Dusta
2.1.2.4 Relasi antara Tokoh Hero dengan Malena
Malena, ia rela melakukan apa saja. Allu juga tidak menyadari bahwa Malena sedang berusaha menggiringnya ke sebuah jurang yang menyesatkannya.
Malena berpura-pura masih mencintai Allu—padahal ia sudah menikah dengan Pak Soso. Ia meminta Allu untuk segera menikahinya, tanpa pacaran terlebih dahulu. Rasa cinta Allu yang menggebu-gebu kepada Malena ini membuatnya gegabah untuk ingin segera menikahi Malena. Ia bahkan tidak meminta pertimbangan Tina, ibunya. Ia dengan mendadak hanya menyampaikan bahwa dalam waktu dekat akan menikahi Malena. Keinginan Allu ini ditentang oleh Tina. Sebab, di Toraja, diharamkan mengadakan upacara kesenangan ketika ada mayat yang masih terbujur di tongkonan. Allu akhirnya setuju untuk mengadakan
rambu solo terlebih dahulu sebelum menikahi Malena. Dengan begitu, ia sudah
masuk ke dalam perangkat pertama orang tambang.
Upacara rambu solo dan rambu tuka2 membutuhkan biaya yang besar. Di
sinilah orang-orang tambang mulai menjalankan misinya. Mereka membujuk Allu untuk menjual tongkonan-nya agar ia bisa membiayai upacara kematian ayahnya. Selain itu, mereka juga menyuruh Allu mencuri mayat bayi di makam passiliran. Karena terpedaya oleh cintanya terhadap Malena, Allu akhirnya merelakan
tongkonan-nya dijual dan ia juga mencuri mayat-mayat bayi di makam passiliran
seperti terlihat dalam kutipan berikut.
Saya harus melakukannya. Tidak ada jalan lain selain ini. Lagipula Mr. Berth berjanji akan menjaga semuanya, merahasiakannya dari siapa pun. Sisa satu mayat bayi lagi dan saya akan mendapatkan cukup uang untuk
31
biaya pernikahan dengan Malena—lantas soal pemakaman Ambe, sudah tentu saya akan mengandalkan uang hasil menjual tanah warisan.
....
Setelah mendiamkan mayat bayi itu beberapa saat di dalam lumbung, saya membawanya hari ini ke penambangan untuk saya serahkan ke Mr. Berth. Saya berangkat sendiri saat dini hari masih gelap untuk menghindari kecurigaan orang kampung. Saya tidak ingin dihukum secara adat lalu dihukum oleh negara jika saya ketahuan. Saya menuju tempat transaksi dengan harapan saya segera menikahi Malena. Semua butuh risiko, termasuk cinta, dan demi Malena, telah saya tempuh semuanya. Sungguh hal itu telah saya inginkan sejak SMA. Saya benar-benar tidak ingin kehilangannya lagi. Saya mencintainya. Untuk satu mayat bayi saya mendapat uang lima puluh juta, dan saya berencana menyerahkan tiga mayat. Sisa satu mayat lagi dan tugas saya selesai. Saya tidak akan berurusan dengan mereka lagi kecuali dalam urusan tanah yang akan saya jual itu. (Oddang, 2015:109—110).
Setelah semua biaya tercukupi, Allu melaksanakan rambu solo. Ketika upacara rambu solo selesai dilaksanakan, ia buru-buru mengajak Malena menikah. Di situlah Malena mengakui tipu muslihatnya kepada Allu. Allu marah dan berniat membalaskan dendamnya kepada Malena dan orang-orang tambang. Allu merasa gagal mempertahankan tanah warisan keluarganya. Ia merasa bersalah kepada ayah dan ibunya. Ia juga merasa bersalah kepada mayat-mayat bayi yang dicurinya yang kemudian dijadikan tumbal oleh perusahaan tambang seperti dalam kutipan berikut.
Untuk menebus kesalahannya terhadap mayat-mayat bayi tersebut, Allu meletakkan kembali mayat-mayat tersebut di makam passiliran. Ia beruntung masih dapat menyelamatkan mayat tersebut karena Pak Soso masih menunggu purnama untuk menjalankan ritual penguburan ketiga mayat bayi tersebut. Kemudian, untuk membalaskan dendamnya, Allu menggerakkan masyarakat Toraja untuk membakar area tambang. Allu juga memerkosa Malena dengan kejam dan menyuruh sepupu-sepupunya untuk ikut bergiliran memerkosa Malena seperti dalam kutipan berikut.
Saya semakin bersemangat, apalagi setelah saya tahu bahwa ternyata dia telah menikah diam-diam dengan Pak Soso—yang umurnya lebih cocok dijadikan kakek, dendam saya semakin tersulut. Saya merogoh selangkangannya. Memasukkan gagang parang berkali-kali, sebelum saya setubuhi. Malena hanya mampu menangis.
“Silakan pakai. Terserah kalian mau diapakan,” kata saya pada Leba
dan warga yang lain sesaat setelah jatuh di atas tubuh Malena yang lengket dan berkeringat. Tak perlu menunggu lama, Leba menggantikan posisi saya. (Oddang, 2015:208).
Dari relasi antara Allu dan Malena ditunjukkan bahwa kapitalis melakukan berbagai cara untuk melanggengkan kejayaannya. Ia memperdayai orang-orang yang mau dijadikan budaknya. Selain itu, sifat ketergesaan juga dapat berdampak buruk. Diperlukan analisis yang tajam dan pertimbangan yang matang sebelum mengambil keputusan. Pengarang juga menyampaikan pandangan bahwa perilaku keji seperti penipuan, pengkhianatan, dan kebencian hanya akan berdampak buruk terhadap kelangsungan hidup bermasyarakat.
Allu Malena
33
2.2 Relasi antara Tokoh Hero dengan Objek-Objek di Sekitarnya
Dalam strukturalisme genetik, relasi tokoh hero dengan objek-objek yang ada di sekitarnya juga merupakan struktur yang penting. Salah satu objek yang berarti dalam novel Puya ke Puya adalah latar tempat di mana Allu menjalankan kehidupannya, yakni Kampung Kete’, Tambang Toraja Subur, dan Makassar.
2.2.1 Relasi antara Tokoh Hero dengan Kampung Kete’
Kampung Kete’ merupakan tempat tinggal tokoh hero. Di sana, ia tinggal di
tongkonan milik ayahnya yang merupakan warisan turun temurun dari leluhurnya.
Sebagai anak dari penuluan adat Kampung Kete’, masyarakat Kampung Kete’ juga hormat kepada Allu. Pada mulanya, Kampung Kete’ hanya ramai jika ada
pelaksanaan upacara rambu solo. Akan tetapi, sejak tahun 2010, banyak
orang-orang yang datang ke Kampung Kete’ baik itu dari Makassar, pulau Jawa, dan juga
ada pendatang dari mancanegara.
Pembangunan perusahaan tambang di Kampung Kete’ berujung pada
kehancuran Kampung Kete’. Konflik-konflik yang terjadi antara masyarakat
Kampung Kete’ dengan orang-orang tambang, membuat mereka berani membakar area pertambangan dan hal ini dibalaskan oleh orang tambang sehingga Kampung
Kete’ hangus terbakar.
2.2.2 Relasi antara Tokoh Hero dengan Tambang Toraja Subur
passiliran. Di sinilah tokoh hero bertemu dengan Mr. Berth dan Pak Soso. Pada
akhirnya, Tambang Toraja Subur dihanguskan oleh masyarakat Kampung Kete’
berkat hasutan kerabat-kerabat tokoh hero untuk membalaskan dendam Rante Ralla yang mati terbunuh karena diracun oleh orang-orang tambang.
2.2.3 Relasi antara Tokoh Hero dengan Makassar
Makassar merupakan kota tempat tokoh hero menuntut ilmu. Dari Toraja ke Makassar, dibutuhkan waktu sekitar delapan jam perjalanan darat. Setelah kematian ayahnya, ia ingin menguburkannya di Makassar karena lebih murah dan praktis. Ia juga ingin membawa ibunya untuk tinggal di Makassar. Ia jengah terhadap ritual-ritual adat di Toraja sehingga menginginkan kehidupan yang lebih bebas di Makassar. Baginya, kehidupan di kota jauh lebih baik dibanding tinggal di lingkungan tradisional, lingkungan yang masyarakatnya masih memegang teguh adat, sejarah, dan selalu mengatasnamakan masa lalu seperti yang terlihat dalam kutipan berikut.
Ada rasa muak yang Allu pendam. Dalam! Karena itu, ia ingin mengajak keluarganya pindah ke Makassar. Tinggal di kota jauh. Baginya, lebih baik daripada di lingkungan masyarakat tradisional. Di kota, kejahatan-kejahatan “jauh lebih jujur”. Kejahatan tidak pernah bersembunyi. Pembunuhan! Korupsi. Pemerkosaan. Semua kejahatan di kota jauh lebih baik daripada kejahatan masyarakat tradisional. Kejahatan yang bersembunyi di balik topeng bernama adat. Hingga sebuah kejahatan tidak disebut lagi kejahatan. Kejahatan disebut tradisi. Dan licik sekali hidup macam itu, begitu menurut Allu (Oddang, 2015:106).
2.3 Relasi Oposisional dalam Struktur Novel Puya ke Puya
35
Di dalam novel Puya ke Puya, tuhan direpresentasikan lewat tokoh Puang Matua. Puang Matua berada di atas langit, ia dipuja oleh masyarakat Toraja. Selain itu, ia berkuasa atas apa-apa yang terjadi di Tana Toraja. Puang Mata menginginkan agar masyarakat Toraja hidup rukun dan damai. Sementara, di dunia, masyarakat Toraja berlomba-lomba menjalankan tradisi adat dengan sebaik-baiknya dengan tujuan menyenangkan hati Puang Matua seperti dalam kutipan berikut.
Jalan ke surga hanya mampu ditempuh dengan kerbau. Kerbau belang adalah sebaik-baiknya kerbau bagi Tuhan. Kami penganut aluk
todolo percaya itu. Termasuk keluarga Ralla. Kerbau untuk perayaan
kematian tak melulu harus tedong boga—yang banyak lurik di badannya, belang, dan ratusan juta rupiah harganya itu. Selain nilai religius, nilai gengsi menyembelih kerbau belang juga diutamakan. Padahal masih ada kerbau pudu yang berwarna hitam biasa. Atau kerbau bulan yang mirip kulit Si Jangkung Beruban. Namun jenis itu ditabukan dalam upacara adat. Pada akhirnya, semua akan kembali memilih kerbau belang, jika uang cukup. Selain untuk membuat Tuhan senang, juga agar dibicarakan tamu. Dijunjung, dan ya, demi kehormatan keluarga besar. Kau mengerti? Jangan mengangguk saja!
Harus kerbau belang. Kerabat Ralla sepakat. Tidak boleh setengah-setengah. Tidak ada yang mau masuk ke surga juga hanya setengah-setengah. Tidak ada yang mau pujian tamu hanya setengah (Oddang, 2015:14).
Saya diam, saya tidak ingin menanggapi Paman Marthen yang kelihatan sangat ambisius. Saya tahu semua itu bukan karena surga untuk Ambe tetapi gengsi untuk dia, atau untuk mereka.
...
“Saya kuliah sastra, bukan kuliah gengsi, dan seharusnya Paman,
atau siapa pun orang Toraja berpikir seperti saya. Kalau tidak bisa, ya
kenapa dipaksa, toh yang jelas Tuhan tidak pernah marah soal itu.”
(Oddang, 2015:20—21).
Akan tetapi, selain dijadikan ‘tumbal’ atas keputusan-keputusan yang mereka buat, Tuhan di satu sisi juga menggerakkan manusia untuk berbuat kebaikan. Puang Matua adalah dewa tertinggi dalam kepercayaan aluk todolo. Puang Matua menginginkan agar masyarakat di dunia hidup damai dan rukun. Puang Matua marah besar ketika terjadi perselisihan atau pertumpahan darah di Tana Toraja. Puang Matua mengirimkan tanda-tanda sebagai bentuk peringatannya atas kesalahan-kesalahan yang dilakukan manusia. Puang Matua dapat dikatakan sebagai representasi yang mumpuni atas Tuhan sebab selain menginginkan kebaikan dunia, ia juga berkuasa atas apa-apa yang terjadi di dunia.
Tuhan Manusia
Menjaga alam semesta Merusak alam
2.3.2 Oposisi Tradisionalisme dengan Modernisme
37
suatu ritual sakral yang menghabiskan banyak dana. Ada serentetan kegiatan yang harus dilaksanakan dalam upacara tersebut, dan kesemuanya membutuhkan dana yang tidak sedikit. Misalnya saja, untuk pembuatan tau-tau3 keluarga harus menanggung makan orang-orang yang membantu mengangkut batunya dari atas gunung, belum lagi upah pemahatannya. Keluarga juga harus menyediakan
lantang4 untuk handai tolan dan kerabat yang datang dari daerah lain. Selain itu,
sebagai pengeluaran terbesar, keluarga harus menyiapkan sedikitnya 24 ekor kerbau5 dan ratusan babi yang menghabiskan biaya ratusan juta rupiah.
Di sisi lain, modernisme yang ditawarkan dalam Puya ke Puya adalah sisi-sisi modernisme yang murah dan praktis. Secara sederhana, modernisme direpresentasikan lewat ajaran Kristen dalam penyelenggaraan kematian. Tidak dibutuhkan dana yang besar ketika mayat diselenggarakan sesuai ajaran Kristen seperti dalam kutipan berikut.
Saya sudah bulat tekad bersama Indo; Ambe pernah membeli sekapling tanah di Makassar, dan kami akan menguburkannya di sana— tanpa ada aturan adat yang mengikat, kendati tetap kami akan mengikuti aturan Kristen. Dan saya pikir itulah yang paling tepat untuk kami lakukan saat ini. Kami yang saya maksud adalah saya dan Indo serta kerabat. Saya ingin bertahan, biarlah dengan dalih biaya yang tidak cukup, biarlah saya tepiskan dulu gengsi, toh ini buat kebaikan kami juga. Saya tidak ingin merayakan dengan mewah lalu selepas upacara saya hidup di emperan toko.
3 Miniatur tubuh jenazah yang akan disimpan sebagai wujud pengultusan dirinya dan nantinya akan diarak bersama dengan mayat sebelum dilaksanakan Aluk Palao atau Aluk Rante
4 Pondok-pondok sementara yang dibangun khusus mengelilingi arena upacara dan menjadi tempat tinggal sementara bagi para pelayat selama upacara berlangsung
Calon sarjana sastra seperti saya tidak mampu berbuat banyak. (Oddang, 2015:18).
Tradisional Modern
Hedon/ mewah Sederhana
Berikut rekapitulasi oposisi biner yang terdapat dalam novel Puya kePuya.
A B
Modernisme Tradisionalisme
Sederhana Mewah/Hedonis
Kanaah Serakah
Seks normal Homoseksual
Humanisme Kapitalisme
Amanah Khianat
Jujur Dusta
Tulus Khianat
Menjaga alam Merusak alam
39
Dari bagan di atas, terlihat oposisi yang terdapat dalam novel Puya ke Puya. Kolom pertama menunjukkan pandangan tokoh hero dalam memperjuangkan nilai-nilai yang dianggapnya benar. Selanjutnya, kolom kedua merupakan reaksi dari tokoh lain ketika menjalin relasi dengan tokoh hero. Dari oposisi tersebut, dapat dilihat bahwa tokoh hero menentang tradisi Toraja yang hedonis karena dirasanya memberatkan manusia. Ia membela masyarakat yang terpaksa menyiksa dirinya sendiri untuk memenuhi pelaksanaan tradisi Toraja. Hal ini juga dialami sendiri oleh tokoh hero sehingga ia paham betul apa yang dirasa oleh masyarakat kelas menengah bawah saat dituntut melaksanakan tradisi adat Toraja.
Pembelaan tokoh hero terhadap nilai-nilai kemanusiaan juga tampak pada perjuangannya melawan praktik kapitalisme yang buruk di Tanah Toraja. Eksploitasi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang dilakukan oleh orang-orang tambang di Tanah Toraja, membuat tokoh hero geram. Ditambah lagi, ia menjadi salah satu korban keburukan budak-budak kapitalisme yang menghalalkan segala cara untuk mencapai keinginannya, meski dengan melakukan tipu muslihat sekali pun. Kejadian ini membuat tokoh hero menggerakkan masyarakat Toraja untuk mengusir orang tambang dari kampung mereka agar hak-hak asasi mereka tidak terlindas lagi oleh kepentingan orang tambang.
menunjukkan bahwa manusia sadar akan keberadaan Tuhan dan posisinya sebagai makhluk Tuhan yang berkewajiban untuk melakukan kebaikan di dunia.
2.4 Struktur Sosial
Toraja memiliki formula yang baku untuk setiap jenis pemakaman sesuai dengan kedudukan sosial almarhum. Hal ini tidak memperhitungkan kemampuan keluarga yang ditinggalkan. Keluhan-keluhan atas kondisi seperti ini sudah sering disampaikan oleh masyarakat Toraja baik secara lisan maupun dalam bentuk buku. Salah satu buku antropologi yang memuat protes anak Toraja kota terhadap praktik adat yang membelenggunya, ditulis oleh Tina Saroengallo berjudul Ayah Anak Beda Warna: Anak Toraja Kota Menggugat.
Menurut Saroengallo, tradisi Toraja yang sudah dilakukan secara turun temurun perlu dikaji ulang. Mengikuti adat menimbulkan tuntutan biaya yang sangat besar dan kondisi ekonomi beberapa masyarakatnya tidak mendukung untuk pelaksanaan upacara-upacara adat semacam itu.
Toraja berasal dari kata Bugis to riaja. To berarti orang, riaja berarti dari
atas, sebagai lawan sebutan to luu atau orang laut atau orang pesisir. Toraja baru
41
orang gunung asli, di lembah anak-anak sungai besar Sa’dan. Bahkan Tana Toraja
yang terkenal dengan kopi torabika alias “Toraja arabika”, sejak paruh tahun 1800-an, sudah terkenal sebagai komoditas pedagang Arab dari Palopo, atau saudagar Bugis yang banyak kawin-mawin dengan perempuan Toraja (Saroengallo, 2008:xix).
Masyarakat Toraja masih banyak yang memegang teguh sistem religi asli:
aluk todolo. Pertentangan terhadap tradisi aluk todolo karena sudah tidak sesuai
dengan perkembangan zaman ini, bukan merupakan hal yang baru di Toraja. Berbagai catatan lama, khususnya berita zending dan misionaris pada abad ke-19, sudah mengulas betapa pesta kematian itu sungguh hal-hal di luar pandangan nalar pengamat asing Barat. Puluhan kerbau gagah dibantai, ratusan babi gemuk disembelih, tidak terhitung beratus-ratus ayam sebagai lauk dan berpikul-pikul beras pulen Toraja serta berember-ember tuak aren atau ballo’ menjadi santapan dan hidangan tamu dan kerabat, serta warga kampung yang hajatan itu (Saroengallo, 2008:xxiii). Tata cara pelaksanaan adat seperti ini, menunjukkan bahwa adat Toraja identik dengan hedonisme sehingga membuat masyarakatnya menentang pelaksanaan adat yang hedonis tersebut, khususnya bagi masyarakat yang berada pada kelas ekonomi menengah ke bawah.
Masyarakat Toraja juga mementingkan nilai gengsi. Status seseorang itu apakah sebagai to kapua atau “orang besar”, atau to sugi alias “orang kaya” menurut kajian Toby Alice Volkman dalam buku Feasts of Honor: Ritual Change in The
Torajan Highlands (1985), sangat ditentukan dari kemeriahan dan kebesaran
Pemertahanan nilai gengsi ini membuat masyarakat Toraja rela berkorban untuk hal-hal yang tidak rasional menurut pandangan awam. Salah satu bentuk protes terhadap hal ini dilayangkan oleh Saroengallo (2008:2—3). Ia menyayangkan dana yang sangat besar harus dihabiskan untuk upacara pemakaman. Menurutnya, yang lebih penting adalah mereka yang masih hidup. Bukan malah mengharuskan anak-anak yang kehilangan sumber nafkahnya untuk menghabiskan begitu banyak dana dalam upacara pemakaman.
Penuluan adat Toraja merupakan seseorang yang peduli terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Ia merasa bertanggung jawab terhadap masyarakat pimpinannya. Ia rela menjual harta bendanya untuk membantu meringankan beban masyarakat yang hendak melaksanakan upacara. Ia bahkan nyaris tidak memedulikan kondisi ekonominya yang terkadang juga serba kekurangan seperti dalam kutipan berikut.
Paling tidak itulah yang saya kakak-beradik sering rasakan. Setiap kali mendengar ayah saya baru menyelesaikan sebuah transaksi besar, pasti tidak lama kemudian beliau pergi ke Tana Toraja. Sepulang dari sana, saya akan mendengar cerita tentang upacara adat yang baru beliau hadiri. Ketika salah seorang saudara kandungnya meninggal, ayah saya pasti akan menjual sebidang tanah miliknya. Tentu saja tidak perlu melalui perantara atau makelar tetapi langsung kepada pembeli. Saya akan mendengar berita beliau menjual sebidang tanah, pergi ke Tana Toraja dan pulang ke Jakarta setelah lebih satu bulan. Bila saya sempat ke rumahnya setelah perjalanan itu, pasti saya dengar cerita beliau sudah dalam keadaan bangkrut lagi (Saroengallo, 2008:39).
Repotnya lagi, beliau tidak hanya membantu saudara-saudaranya
dalam membayar ‘kewajiban’ tetapi juga menjadi penyandang dana utama
dalam beberapa upacara, baik kematian maupun upacara naik rumah atau
43
Dari penjelasan di atas, maka dapat ditemukan struktur sosial masyarakat Toraja sebagai berikut.
Modernisme Tradisionalisme
Sederhana Hedonis
Rasional Irasional
Humanisme Kapitalisme
Amanah Khianat
Jujur Dusta
Tulus Khianat
2.5 Homologi antara Struktur Novel dengan Struktur Sosial
kapitalisme di Toraja yang mengeksploitasi sumber daya alam dan sumber daya manusia di Toraja.
45 BAB III
PANDANGAN DUNIA DALAM NOVEL PUYA KE PUYA
Elemen-elemen yang ditemukan dalam struktur teks Puya ke Puya dan struktur sosial pembangun novel Puya ke Puya, dimediasi oleh pandangan dunia pengarang. Elemen-elemen tersebut adalah modernisme, sederhana, rasional, humanisme, amanah, jujur, dan tulus. Elemen ini merujuk pada satu ideologi yakni humanisme religius.
3.1 Humanisme
Humanisme akan lebih mudah dipahami jika ditinjau dari dua sisi, yakni sisi historis dan sisi aliran-aliran dalam filsafat (Abidin, 2000:25). Dari sisi yang pertama, humanisme berarti suatu gerakan intelektual dan kesusastraan yang pertama kali muncul di Italia pada paruh kedua abad ke-14 masehi. Gerakan ini dikatakan sebagai motor penggerak kebudayaan modern, khususnya kebudayaan Eropa. Tokoh-tokoh yang dianggap sebagai pelopor gerakan ini adalah Dante, Petrarca, Boccaceu, dan Michelangelo. Humanisme juga diartikan sebagai paham dalam filsafat yang menjunjung tinggi nilai dan martabat manusia sedemikian rupa sehingga manusia menempati posisi yang sangat sentral dan penting, baik dalam perenungan teoretis-filsafati, maupun dalam praktis kehidupan sehari-hari (Abidin, 2000:26).
ke-16 M. Gerakan yang berawal di Italia ini, dan kemudian menyebar ke segenap penjuru Eropa, dimaksudkan untuk membangunkan umat manusia dari tidur panjang abad pertengahan, yang dikuasai oleh dogma-dogma agamis-gerejani. Abad pertengahan adalah abad di mana otonomi, kreativitas, dan kemerdekaan berpikir manusia dibelenggu oleh kekuasaan gereja. Abad ini sering juga disebut
Abad Kegelapan karena cahaya akal budi manusia tertutup kabut dogma-dogma
gereja. Kuasa manusia dipatahkan oleh pandangan gereja yang menyatakan bahwa hidup manusia telah digariskan oleh kekuatan-kekuatan itu. Pikiran-pikiran manusia yang menyimpang dari dogma-dogma tersebut adalah pikiran-pikiran sesat dan karenanya harus dicegah dan dikendalikan (Abidin, 2000:26).
Dalam zaman seperti itulah, gerakan humanisme muncul. Gerakan kaum humanis ini bertujuan untuk melepaskan diri dari belenggu kekuasaan gereja dan membebaskan akal budi dari kungkungannya yang mengikat. Melalui pendidikan liberal, mereka mengajarkan bahwa manusia pada prinsipnya adalah makhluk bebas dan berkuasa penuh atas eksistensinya sendiri dan masa depannya. Maka, dalam batas-batas tertentu, kekuatan-kekuatan dari luar yang membelenggu kebebasan manusia harus segera dipatahkan (Abidin, 2000:26).
47
tergugah untuk menjadi manusia, menjadi makhluk bebas yang tidak terkungkung oleh kekuatan-kekuatan dari luar dirinya. Mereka percaya bahwa hanya dengan seni liberal manusia dapat dibangunkan dari tidurnya yang sangat panjang pada Abad Pertengahan. Model pendidikan ini adalah model pendidikan yang didorong oleh semangat zaman antik (Yunani Kuno), yang ditandai oleh adanya kehidupan demokratis, yang pada abad pertengahan dianggap sebagai semangat kaum kafir. Pada zaman antik, klaim atas otonomi manusia dijunjung tinggi, dan dalam batas-batas tertentu, manusia mempunyai kewenangan sendiri dalam keterlibatannya dengan alam dan dalam penentuan arah sejarah manusia (Abidin, 2000:27).
Kendati kebebasan merupakan tema terpenting dari humanisme, tetapi kebebasan yang diperjuangkannya bukan kebebasan yang absolut, atau kebebasan sebagai antitesis dari determinisme abad pertengahan. Kebebasan yang mereka perjuangkan adalah kebebasan yang berkarakter manusiawi: kebebasan manusia dalam batas-batas alam, sejarah, dan masyarakat. Maka, dalam konsep kebebasan tersebut, aliran seperti naturalisme pun mendapatkan tempat yang layak di dalam semangat mereka. Keluhuran jiwa manusia sebagai sumber yang memancarkan kebebasan, tidak dapat dipisahkan dari mortalitas tubuh sebagai bagian dari ruang (alam) dan waktu (sejarah) yang fana (Abidin, 2000:27).