• Tidak ada hasil yang ditemukan

Optimalisasi Penyaluran Bantuan Sosial Tunai (BST) Di Kawasan 3T Pada Masa Pandemi Covid-19

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Optimalisasi Penyaluran Bantuan Sosial Tunai (BST) Di Kawasan 3T Pada Masa Pandemi Covid-19"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

*Edisi Khusus: Hasil Karya Magang di Rumah Rakyat*

Vol. 01, Ed. 18, Oktober 2021

Optimalisasi Penyaluran

Bantuan Sosial Tunai (BST) Di Kawasan 3T Pada Masa

Pandemi Covid-19

Hal. 1

Menilik Peraturan

Pemerintah No. 37 Tahun 2021 Tentang

Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan

Pekerjaan

Hal. 3

Tinjauan Realisasi Program Digitalisasi Sekolah

Hal. 5

(2)

Penanggung Jawab

Dr. Asep Ahmad Saefuloh, S.E., M.Si.

Pemimpin Redaksi Slamet Widodo

Redaktur

Marihot Nasution * Martha Carolina Savitri Wulandari * Mutiara Shinta Andini

Editor Marihot Nasution

Sekretariat

Husnul Latifah * Musbiyatun Memed Sobari * Hilda Piska Randini

Budget Issue Brief Kesejahteraan Rakyat ini diterbitkan oleh Pusat Kajian Anggaran, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI. Isi dan hasil penelitian dalam tulisan-tulisan di terbitan ini sepenuhnya tanggung jawab para penulis dan bukan merupakan pandangan

resmi Badan Keahlian DPR RI.

Optimalisasi Penyaluran Bantuan Sosial Tunai (BST) Di Kawasan 3T Pada Masa Pandemi Covid-19 ... 1 Menilik Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan ... 3 Tinjauan Realisasi Program Digitalisasi Sekolah ... 5

(3)

www.puskajianggaran.dpr.go.id puskajianggaran @puskajianggaran

Komisi VIII KESEJAHTERAAN RAKYAT

*Edisi Khusus: Hasil Karya Magang di Rumah Rakyat*

Kesejahteraan Rakyat Budget Issue Brief Vol 01, Ed. 18, Oktober 2021 ISSN 2775-7994 1

Pandemi Covid-19 telah memberi dampak yang sangat signifikan bagi sektor perekonomian. Angka kemiskinan yang sempat menurun pada kurun waktu sebelumnya kembali menunjukkan peningkatan yang cukup drastis. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada Maret 2020 tingkat kemiskinan di Indonesia menunjukkan peningkatan menjadi 9,78 persen, padahal pada September 2019 lalu angka kemiskinan ada pada 9,22 persen. Sejak Maret 2020 angka kemiskinan terus menunjukkan peningkatan sampai akhir tahun 2020, dan mulai menunjukkan penurunan pada Maret 2021 di angka 10,14 persen.

Tingkat Kemiskinan di Indonesia Tahun 2014-2021 (dalam persen terhadap populasi)

Sumber: BPS

Negara berkewajiban mengatasi masalah kemiskinan ini sebagaimana untuk melindungi segenap masyarakatnya terlebih lagi dalam keadaan khusus seperti Pandemi Covid-19 ini. Salah satu program pemerintah dalam mengatasi hal tersebut adalah dengan adanya Bantuan sosial (Bansos). Salah satu bentuk bansos yang dapat dirasakan langsung manfaatnya oleh masyarakat adalah Bantuan Sosial Tunai (BST). BST adalah bantuan berupa uang yang

• Pandemi Covid-19 telah memberi dampak yang sangat signifikan bagi sektor perekonomian. Angka kemiskinan yang sempat menurun pada kurun waktu

sebelumnya kembali

menunjukkan peningkatan yang cukup drastis.

• Bantuan Sosial Tunai disalurkan kepada 9 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM) dengan nilai bantuan Rp600.000 per KPM per bulan selama tiga bulan dan dimulai April, Mei dan Juni 2020.

• Bantuan sosial sendiri masih terdapat masalah pokok yaitu perihal ketidakakuratan data, namun terdapat pula masalah- masalah yang khusus terjadi pada daerah 3T, yaitu perihal mekanisme penyaluran dan juga akses.

HIGHLIGHTS

PUSAT KAJIAN ANGGARAN

Badan Keahlian Sekretariat Jenderal DPR RI Penanggung Jawab

Dr. Asep Ahmad Saefuloh, S.E Redaktur:

Slamet Widodo · Marihot Nasution · Martha Carolina · Mutiara Shinta Andini · Savitri Wulandari Penulis

Mutiara Shinta Andini · Alexander Agung · Amelia Sri Hardiani · Sulthan Thariq

Optimalisasi Penyaluran Bantuan Sosial Tunai (BST) Di

Kawasan 3T Pada Masa Pandemi Covid-19

(4)

www.puskajianggaran.dpr.go.id puskajianggaran @puskajianggaran

Kesejahteraan Rakyat Budget Issue Brief Vol 01, Ed. 18, Oktober 2021 ISSN 2775-7994 2

diberikan kepada keluarga miskin, masyarakat tidak mampu, dan kelompok rentan yang terkena dampak Covid-19, namun belum pernah menerima Bansos reguler yakni Program Keluarga Harapan (PKH) dan Program Sembako. Adanya BST sendiri merupakan mekanisme realisasi Keputusan Mensos No. 54/HUK/2020 tentang Pelaksanaan Bantuan Sosial Sembako dan Bantuan Sosial Tunai dalam Penanganan Dampak Covid-19.

BST disalurkan kepada 9 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM) dengan nilai bantuan Rp600.000 per KPM setiap bulannya dalam jangka waktu tiga bulan yang dimulai pada April, Mei dan Juni 2020.

Selanjutnya pada APBN TA 2021 penerima BST bertambah menjadi 10 juta KPM. Mekanisme BST disalurkan langsung ke rumah–rumah penerima manfaat melalui PT. Pos Indonesia bagi penerima yang tidak memiliki rekening di bank Himbara, seperti BNI, Mandiri, BRI dan BTN. Sedangkan bagi penerima yang memiliki rekening di bank jaringan Himbara langsung ditransfer. Total anggaran untuk program ini adalah Rp12 triliun.

Dalam penyaluran BST ini, pemerintah juga telah berupaya untuk memberi perhatian lebih ke kawasan 3T (terluar, terdepan dan tertinggal). Menteri Sosial Tri Rismaharini merespon serius kondisi masyarakat di wilayah 3T, yang kondisinya terkendala dalam menerima bantuan sosial. Karena pada proses penyaluran bantuan sosial sendiri masih terdapat masalah pokok yaitu perihal ketidakakuratan data serta terdapat pula masalah-masalah yang khusus terjadi pada daerah 3T seperti mekanisme penyaluran dan juga akses. Menteri Sosial menyatakan kesiapannya menandatangani peraturan untuk mempermudah mereka mendapatkan hak-haknya. Saat memeriksa kendala penyaluran bantuan, beberapa pendamping PKH menyatakan penyaluran bantuan ke KPM ditempuh dengan menumpang perahu kecil menyusuri sungai atau menyeberangi laut. Biaya yang dikeluarkan untuk keperluan itu, berkisar antara Rp200.000-Rp600.000. Menteri Sosial menyatakan, faktor biaya dan kondisi alam yang sulit, membuat KPM di kawasan 3T terlambat menerima bansos.

Pemerintah melakukan beberapa upaya diantaranya melakukan asesmen terlebih dahulu untuk memastikan pendekatan apa yang paling tepat agar penerima manfaat di kawasan 3T bisa mendapatkan haknya. Mungkin memang harus menggunakan pendekatan geografis bukan administratif. Khususnya untuk kawasan dengan wilayah kepulauan. Menteri Sosial meminta pihak bank dan pemerintah daerah jemput bola, untuk mempercepat penyaluran bansos. Caranya dengan mengumpulkan masyarakat ke satu titik di ruang terbuka. Peran pemerintah daerah setempat juga menjadi roda penting dalam penyaluran BST dari pusat hingga ke masyarakat. Disini peran pemerintah daerah menjadi kunci dari penyaluran bansos yang tepat sasaran. Hal ini sejalan dengan ketentuan dalam undang-undang (UU) yang memberikan kewenangan kepada pemda untuk melaksanakan pemutakhiran data kemiskinan. UU memberi kewenangan pemda menentukan siapa saja yang layak masuk dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dan siapa yang tidak. Menteri Sosial mempersilakan masyarakat mempelajari ketentuan dalam UU Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Penanganan Fakir Miskin. Sehingga pemda dan jajarannya sampai tingkat desa/kelurahan memiliki kewenangan penuh menentukan siapa yang layak menerima bantuan dan siapa yang tidak.

Adapun upaya yang dapat dilakukan untuk mengoptimalkan penyaluran BST ke daerah 3T yakni pemerintah pusat mulai lebih terfokus untuk membangun infrastruktur jalan di daerah, karena ini akan sangat berdampak pada efektivitas salah satu program pemerintah pusat yaitu bantuan sosial.

Selanjutnya, dari arahan Mensos bahwasanya pemerintah daerah dan desa harus benar-benar merealisasikan sistem jemput bola ke masyarakat. Sehingga dari awal proses pendataan hingga penyaluran dana BST ke tangan masyarakat dapat terlaksana sesuai target dan optimal.

(5)

www.puskajianggaran.dpr.go.id puskajianggaran @puskajianggaran

Kesejahteraan Rakyat Budget Issue Brief Vol 01, Ed 18, Oktober 2021 ISSN 2775-7994 1

Komisi IX KESEJAHTERAAN RAKYAT

*Edisi Khusus: Hasil Karya Magang di Rumah Rakyat*

Pandemi Covid-19 yang melanda dunia pada awal tahun 2020 menjadi persoalan tersendiri bagi negara-negara, mulai dari permasalahan kesehatan hingga ekonomi dengan tingginya tingkat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) per 31 Juli 2020, tercatat bahwa sebanyak 83.645 dari 2.146.667 pekerja terdampak Covid-19 terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)1. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada Februari 2021 memang mengalami penurunan sebesar 6,26 persen dibandingkan Agustus 2020 sebagai hasil dari upaya pemulihan ekonomi2. Akan tetapi, tren menurun tersebut tetap tidak bisa mengembalikan ke kondisi awal.

Tingkat Pengangguran Terbuka Berdasarkan Jenis Kelamin 2015- 2021

Sumber: BPS, berbagai tahun, data diolah

Hal ini tentunya perlu menjadi perhatian khusus. Oleh karena keadaan tersebut, sebagaimana Pasal 82 dan Pasal 185 huruf b UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, diaturlah mengenai Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) untuk memberikan jaminan sosial kepada pekerja/buruh yang mengalami PHK. Aturan mengenai JKP tersebut diterbitkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan. Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) adalah jaminan sosial yang diberikan kepada pekerja/buruh yang mengalami PHK, berupa manfaat uang tunai, akses informasi pasar kerja, dan pelatihan kerja3. Syarat untuk dapat menjadi anggota JKP adalah pekerja/buruh yang telah diikutsertakan dan baru didaftarkan oleh pengusaha dalam program jaminan sosial. Pekerja/buruh itu juga harus diikutsertakan pada program JKN, JKK, JHT, dan JKM. Untuk pekerja/buruh yang bekerja pada usaha besar dan usaha menengah

1 Marihot Nasution, (2020), Ketenagakerjaan Indonesia: Menghadapi Pandemi, Menjelang Bonus Demografi, dalam Analisis RUU Tentang APBN (hlm. 2).

2 Kemenkeu RI, (21 Juli 2021), Konferensi Pers APBN KITA Juli 2021 [Video], diakses dari https://www.youtube.com/watch?v=4ZNOBWGgcOc

3 Pasal 1 angka 1 PP No. 37 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan.

• Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) per 31 Juli 2020, tercatat bahwa sebanyak 83.645 dari 2.146.667 pekerja terdampak Covid-19 terkena PHK.

Untuk menjawab persoalan meningkatnya pengangguran akibat PHK lahirlah Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang merupakan jaminan sosial kepada pekerja/buruh yang mengalami PHK.

• Program JKP masih belum mencakup pekerja informal, karena banyak pekerja informal yang belum

terdaftar dalam BPJS

Ketenagakerjaan.

• Program JKP masih bersifat diskriminatif terhadap pekerja disabilitas.

• Ada potensi pembebanan kondisi fiskal tahun 2022 dari adanya program ini

HIGHLIGHTS

PUSAT KAJIAN ANGGARAN

Badan Keahlian Sekretariat Jenderal DPR RI Penanggung Jawab

Dr. Asep Ahmad Saefuloh, S.E Redaktur:

Slamet Widodo · Marihot Nasution · Martha Carolina · Mutiara Shinta Andini · Savitri Wulandari Penulis

Marihot Nasution · Enrico Hosea Winnes · Rosa Atirah · Vivi Diah Respatie

Menilik Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2021 Tentang

Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan

(6)

2 Kesejahteraan Rakyat Budget Issue Brief Vol 01, Ed 18, Oktober 2021 ISSN 2775-7994 ditambahkan dengan program JP4. Pada Pasal 1 angka 2 PP No. 37 Tahun 2021 menjelaskan subjek pekerja/buruh yang termasuk adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Definisi ini dapat dibilang cukup luas, tetapi pada Pasal 1 angka 3 PP No. 37 Tahun 2021 menyatakan PHK adalah pengakhiran hubungan kerja karena sesuatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha. Hal ini berarti bahwa pekerja yang dimaksud adalah pekerja formal. Namun faktanya, masih banyak pekerja formal yang belum didaftarkan ke BPJS Ketenagakerjaan.

Berdasarkan data Kemnaker, pekerja formal aktif pada BPJS Ketenagakerjaan per Desember 2020 mencapai 19.963.696 peserta, sedangkan pekerja formal non-aktif mencapai 20.172.404. Begitu pula dengan pekerja informal yang mencapai hampir 80 persen juga ternyata belum banyak yang aktif pada BPJS Ketenagakerjaan.

Pekerja informal yang ternyata sudah mendaftarkan dan aktif pada BPJS Ketenagakerjaan per Desember 2020 baru mencapai 2.494.994 peserta.

Manfaat JKP diberikan kepada Peserta yang mengalami PHK baik untuk hubungan kerja berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu maupun perjanjian kerja waktu tertentu. Manfaat ini bisa diajukan setelah peserta memiliki masa iur paling sedikit 12 (dua belas) bulan dalam 24 (dua puluh empat) bulan dan telah membayar iuran paling singkat 6 (enam) bulan berturut-turut pada BPJS Ketenagakerjaan sebelum terjadi PHK.

Dalam analisis ini, terdapat tiga poin yang menjadi bahasan. Pertama, program JKP belum mencakup pekerja informal. Sebagaimana narasi di atas, pekerja yang termasuk hanyalah pekerja formal, sedangkan pekerja informal seperti freelancer, petani, juru parkir, dan lainnya tidak termasuk dalam program ini.

Berdasarkan data Kemnaker per 31 Juli 2021, terdapat sebanyak 630.905 pekerja informal kehilangan pekerjaan dan bangkrut. Selain itu, data dari BPS mencatat bahwa pekerja informal pada Februari 2021 (78,14 juta orang) naik sebesar 2,98 persen jika dibandingkan Agustus 2020 (77,68 juta orang)5. Bahkan pekerja formal yang sudah pasti mendapatkan manfaat program JKP saja masih terdapat sekitar 50,26 persen yang tidak aktif. Dalam hal ini, pekerja formal dalam BPJS Ketenagakerjaan saja belum terkelola dengan baik, ditambah lagi dengan cakupan program JKP yang belum mencakup informal. Hal tersebut membuat program JKP ini belum bisa dimanfaatkan semua orang. Kedua, program JKP dinilai bersifat diskriminatif terhadap pekerja disabilitas dan bertentangan dengan hak asasi pekerja disabilitas. Hal ini dilihat dari cakupan program JKP yang mengecualikan PHK karena pengunduran diri, cacat total tetap, pensiun, meninggal dunia, dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang masa kerjanya selesai sesuai dengan jangka waktu kontrak kerjanya6. Ketiga, program JKP dinilai berpotensi membebani kondisi fiskal tahun 2022. Hal tersebut timbul dari rekomposisi iuran program JKK & JKM yang tidak tercapai sesuai dengan target pada akhir semester I 2021 dan banyaknya peserta program yang di-PHK sebagai dampak pandemi.

Pada dasarnya, dana JKP berasal dari iuran sebesar 0,46 persen dari upah setiap bulannya (0,22 persen disebut dana program yang bersumber dari iuran yang dibayarkan oleh pemerintah pusat dan 0,24 persen dari rekomposisi iuran program 0,14 persen JKK dan 0,10 persen JKM)7 yang kemudian dibayarkan ke BPJS Ketenagakerjaan. Hal tersebut tentunya akan mengancam ketahanan dana program JKP 2022. Hal ini juga berdampak pada proyeksi pada tahun 2023, perlu adanya intervensi dari APBN untuk menyehatkan dana program JKP.

Berdasarkan uraian yang telah disampaikan, terdapat tiga rekomendasi bagi program JKP ini. Pertama, JKP diharapkan dapat mengikutsertakan pekerja informal yang sering luput dari perlindungan ketenagakerjaan.

Faktanya, jumlah pekerja informal di Indonesia mencapai 59,62 persen dari jumlah total penduduk yang bekerja8. Kedua, program JKP diharapkan dapat mempertimbangkan para peserta disabilitas yang terkena PHK.

Ketiga, perlunya untuk memastikan terlebih dahulu strategi dari pemulihan ekonomi akan terealisasi dengan baik sebelum diterapkannya program JKP. Bila tidak kunjung terjadi, dikhawatirkan akan meningkatkan risiko fiskal dan mengancam APBN 2022.

4Pasal 4 PP No. 37 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan.

5Badan Pusat Statistik, (5 Mei 2021), Keadaan Ketenagakerjaan Indonesia Februari 2021, hlm. 5.

6Pasal 20 ayat 1 PP No. 37 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan.

7Pasal 11 PP No. 37 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan.

8Badan Pusat Statistik, Op. cit, hlm. 4

(7)

www.puskajianggaran.dpr.go.id puskajianggaran @puskajianggaran

Kesejahteraan Rakyat Budget Issue Brief Vol 01, Ed 18, Oktober 2021 ISSN 2775-7994 1

Komisi X KESEJAHTERAAN RAKYAT

*Edisi Khusus: Hasil Karya Magang di Rumah Rakyat*

Sebagai bentuk kemerdekaan pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud)1 mengembangkan program digitalisasi sekolah sejak 2019. Adaptasi digitalisasi sekolah ini juga sejalan dengan arahan dari Presiden Joko Widodo untuk mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) unggul untuk menghadapi era revolusi industri 4.0. Digitalisasi Sekolah sendiri merupakan sebuah terobosan yang memanfaatkan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) untuk kemajuan proses belajar mengajar dengan teknologi, mulai dari metode pembelajaran, kurikulum bahkan juga mencakup sistem administrasi pendidikan secara merata dan optimal. Dalam mengimplementasikan program digitalisasi sekolah ini, banyak aspek yang juga perlu diperhatikan sehingga program ini bisa berjalan secara optimal.

Dalam mencapai tujuan tersebut, pemerintah telah menyusun sejumlah prioritas di bidang pendidikan dengan alokasi anggaran Rp541,7 triliun atau 20,0 persen dari APBN. Beberapa hal yang menjadi prioritas di bidang pendidikan terfokus pada reformasi pendidikan di tahun 2022 antara lain penyediaan platform pembelajaran berbasis teknologi, dan penyediaan pelengkapan sarana prasarana pendidikan. Berdasarkan data dari Kemendikbud-Ristek dan Kementerian Perindustrian sendiri, Belanja produk teknologi informasi dan komunikasi (TIK) di sektor pendidikan difokuskan untuk penyediaan infrastruktur kelas dan sekolah di masa depan antara lain dengan mengalokasikan anggaran sebesar Rp17 triliun untuk penyediaan produk TIK lokal (laptop) bagi sekolah hingga tahun 2024 mendatang.

Tantangan terbesar dalam upaya melakukan inovasi dari sistem pendidikan konvensional menjadi sistem yang berbasis digital utamanya datang dari kemampuan atau penetrasi digital dari pengguna dan fasilitas pendukungnya. Berdasarkan survei oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, penetrasi pengguna

1 Kini dikenal sebagai Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek)

Teknologi informasi dan komunikasi yang terus berkembang harus dapat diaplikasikan untuk mencapai tujuan bernegara, salah satunya melalui digitalisasi sekolah.

Upaya digitalisasi sekolah merupakan prioritas yang perlu ditangani Pemerintah untuk menghadapi tantangan Revolusi Industri 4.0 dan meningkatkan kualitas SDM Indonesia secara lebih cepat.

Pemerataan sarana prasarana pendukung pendidikan digital dan kebijakan terkait menjadi tantangan terbesar.

Alokasi anggaran ke fungsi Pendidikan dengan besaran minimal 20 persen harusnya dapat lebih diefektifkan.

Kebijakan pendukung upaya digitalisasi sekolah yang dilakukan oleh Pemerintah berupa pengadaan sarana prasarana pendukung dan sosialisasi sekolah digital kepada siswa dan tenaga didik.

HIGHLIGHTS

PUSAT KAJIAN ANGGARAN

Badan Keahlian Sekretariat Jenderal DPR RI Penanggung Jawab

Dr. Asep Ahmad Saefuloh, S.E Redaktur:

Slamet Widodo · Marihot Nasution · Martha Carolina · Mutiara Shinta Andini · Savitri Wulandari Penulis

Savitri Wulandari · Aldo Marfah · Rifki Dian Ananda · Muhammad Nazil Alfayed Prabu Negara · Firda Amalia Salsabila

Tinjauan Realisasi Program Digitalisasi Sekolah

(8)

2 Kesejahteraan Rakyat Budget Issue Brief Vol 01, Ed 18, Oktober 2021 ISSN 2775-7994

internet di Indonesia telah mencapai 73,7 persen dan mayoritas dari mereka terpusat di Pulau Jawa (55,7 persen) dan Sumatera (22,4 persen). Melihat data tersebut, maka tantangan terbesar yang harus ditangani pemerintah ketika hendak mengimplementasikan program digitalisasi sekolah adalah memastikan sarana prasarana yang diperlukan dapat didistribusikan secara merata ke seluruh penjuru Indonesia. Tidak hanya masalah kesenjangan di tiap daerah, terdapat realita bahwa tenaga didik yang berusia lanjut sulit beradaptasi dengan sistem digital. Selama pandemi dan pengaplikasian Pendidikan Jarah Jauh (PJJ), permasalahan ini terlihat secara empiris pada banyaknya tenaga didik yang mengalami kesulitan dalam mengoperasikan platform dan perangkat teknologi yang diperlukan.

Telah dilakukan tahap perencanaan baik dari segi anggaran hingga perencanaan fasilitas dan infrastruktur untuk alat-alat TIK yang hendak dibeli oleh Kemendikbud-Ristek yang antara lain adalah laptop, access point, konektor, layar proyektor, dan speaker aktif, hingga internet router. Dengan adanya pengadaan sarana prasarana ini, sekolah-sekolah di Indonesia diharapkan bisa menuju ke arah yang lebih baik. Produk dalam negeri yang dikembangkan oleh sejumlah perguruan tinggi ini didistribusikan ke sekolah-sekolah di Indonesia. Selain itu, pemerintah melalui Kemendikbud juga beberapa kali telah mengalokasikan anggaran untuk subsidi kuota internet kepada mahasiswa dan pelajar di seluruh Indonesia. Untuk kebijakan itu sendiri, pemerintah telah mengeluarkan Rp13,2 triliun selama 2020 dan 2021.

Pemerataan dan pengadaan sarana prasarana, serta mempersiapkan tenaga didik dalam menggunakan perangkat digital ke seluruh daerah di Indonesia menjadi fokus utama yang harus dihadapi oleh pemerintah pusat dengan berkoordinasi bersama pemerintah daerah. Berbagai kebijakan pengadaan sarana pendukung program digitalisasi sekolah yang telah diambil oleh Kemendikbud merupakan langkah mendasar yang sesuai untuk menanggapi permasalahan ini. Namun, perlu dipastikan bahwa kebijakan tersebut harus berjalan dengan tepat sasaran sesuai dengan kebutuhan dan masalah di masing-masing daerah. Kemudian, beberapa kebijakan digitalisasi sekolah seperti pengadaan bantuan subsidi kuota internet yang tidak efektif harus dikaji ulang karena belum seharusnya menjadi prioritas. Anggaran pendidikan yang minimal besarannya telah diatur sebesar 20 persen dari APBN seharusnya dapat mempercepat jalannya program digitalisasi sekolah ini dan sudah menjadi tanggung jawab bersama seluruh elemen masyarakat untuk memastikan program ini berjalan dengan baik sebagai upaya meningkatkan kualitas SDM Indonesia.

Sumber: Kementerian Keuangan, 2021

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Implementasi Program Bantuan Sosial Tunai (BST) Pada Masa Pandemi Covid-19 di Kelurahan Pajalesang

Proses politik penentuan anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBN tahun 2005-2009 di Indonesia = The political process of minimal establishing the 20 percent education budget

Dalam hal ini, penulis mengangkat judul “Optimalisasi Pelaksanaan Bantuan Sosial Terhadap Peningkatan Kesejahteraan Sosial Masyarakat Pada Masa Pandemi Covid 19”

Berdasarkan hasil wawancara serta pengamatan yang peneliti lakukan, jika dikaitkan dengan perspektif derajat dimana pemimpin dihadapkan dengan ketidakpastian, berdasarkan

Merekomendasikan kebijakan kepada Kementerian Sosial RI tentang peningkatan pelayanan penyaluran PKH tahap IV pada masa pandemi covid-19 dan solusi peningkatan

Salah satu program Kampus Merdeka adalah Kampus Mengajar yang akan dibahas pada penelitian ini sebagai upaya pemerataan pendidikan di wilayah 3T pada masa

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas pelaksanaan program Kementerian Sosial RI dengan menggunakan 4 indikator teori Budiani

Penelitian berkenaan yang berjudul Evaluasi Kebijakan Penyaluran Bantuan Langsung Tunai Dana Desa Pada Masa Pandemi Covid-19 di Desa Kertanegla Kecamatan