• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA POLA TIDUR DENGAN TEKANAN DARAH PADA MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA PADA TAHUN 2020 SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA POLA TIDUR DENGAN TEKANAN DARAH PADA MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA PADA TAHUN 2020 SKRIPSI"

Copied!
66
0
0

Teks penuh

(1)

PADA TAHUN 2020

SKRIPSI

Oleh:

NURIL HASANAH RAHMAN 170100127

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DAN PROFESI DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2021

(2)

HUBUNGAN ANTARA POLA TIDUR DENGAN TEKANAN DARAH PADA MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA PADA TAHUN 2020

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Oleh:

NURIL HASANAH RAHMAN 170100127

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DAN PROFESI DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2021

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

(4)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim,

Pertama saya panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT serta Nabi Muhammad SAW yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi yang berjudul “Hubungan antara Pola Tidur dengan Tekanan Darah pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara” ini dapat diselesaikan.

Rasa cinta dan terima kasih yang tidak terhingga kepada keluarga penulis khususnya kedua orangtua penulis, ayahanda DR. H. A Rahman, MM dan ibunda Hj. Maimunah Spd. Kakak penulis Tuti Khairani Rahman atas dukungan yang tiada henti, kasih sayang, dan doa sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Skripsi ini dapat diselesaikan atas dukungan dari banyak pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp.S(K) selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. dr. M. Aron Pase, M.Ked(PD), Sp.PD selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, pikiran, dan tenaga, serta memberikan arahan, masukan, dukungan, dan motiva si selama proses bimbingan skripsi ini.

3. Dra. Merina Panggabean, M.MedSc selaku ketua penguji dan dr. Reza Mahruzza Putra, Sp.OT selaku anggota penguji yang telah memberikan saran dan nasihat dalam penyempurnaan skripsi ini.

4. Seluruh dosen pengajar Fakultas Kedokteran USU yang telah memberikan ilmu selama proses perkuliahan dan seluruh pegawai FK USU yang telah membantu agar skripsi ini dapat terselesaikan.

5. Teman-teman penulis Handika Aprillianda, Ajeng Putri Maurin, Kaylin

Wijdani Albar, Nilfa Selviani Sambo, Nurfayza Magistrani, Galih Dwi

Shinta, Aura Benaya, Rizka Ayu, Franklin Steven Boy, Keni Yolani, Lisa

Yiha, Chairunnisa, Dirga Filannira, Tengku Nabila, Wudya Rofifah, Devi

(5)

iii

yang selalu bersama-sama berjuang dalam belajar, memberikan semangat, motivasi, serta ilmunya kepada penulis.

6. Yushari yang selalu mendengar keluh kesah penulis dan memberi berbagai semangat dan dukungan selama penyusunan skripsi ini.

7. Sahabat SMA penulis Rizka Pasaribu, Khairunnisa Luthfia, Faiqah Vebiyuriza, Ara Pasaribu, Adinda Nasution yang telah memberi semangat dan keceriaan kepada penulis.

8. Kakanda Lumongga Azma Chadisya yang selalu memberikan ilmu dan membantu selama penyusunan skripsi.

9. eman-teman sejawat FK USU lainnya yang selalu memberikan dukungan dalam mengejar impian kita.

10. Semua pihak yang telah memberikan bantuan secara langsung maupun tidak langsung, yang tidak mungkin penulis ucapkan satu persatu.

11. Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis memohan maaf atas kekurangan dan kesalahan selama proses penyusunan skripsi ini. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi dunia kesehatan.

Medan, 27 November 2019 Penulis

Nuril Hasanah Rahman

(6)

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ... i

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI... iv

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR SINGKATAN ... viii

ABSTRAK ... ix

ABSTRACT ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Hipotesis ... 3

1.4 Tujuan Penelitian... 3

1.4.1 Tujuan Umum ... 3

1.4.2 Tujuan Khusus ... 3

1.5 Manfaat Penelitian... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1 Hipertensi ... 4

2.1.1 Definisi Hipertensi ... 4

2.1.2 Etiologi Hipertensi ... 4

2.1.3 Klasifikasi hipertensi ... 5

2.1.4 Faktor Risiko Hipertensi ... 6

2.1.5 Patofisiologi Hipertensi ... 8

2.1.6 Diagnosis ... 8

2.1.7 Penatalaksaan... 11

2.2 Tidur ... 14

2.2.1 Definisi tidur ... 14

2.2.2 Fisiologi tidur ... 14

2.2.3 Mekanisme tidur ... 15

2.2.4 Irama sirkandian ... 16

2.2.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi tidur... 18

(7)

2.3 Hubungan Antara Pola Tidur Dengan Tekanan Darah ... 22

2.4 Kerangka Teori ... 24

2.5 Kerangka Konsep ... 25

BAB III METODE PENELITIAN ... 26

3.1 Rancangan Penelitian ... 26

3.2 Lokasi dan Subjek Penelitian ... 26

3.3 Kriteria Inklusi dan Eksklusi ... 27

3.3.1 Kriteria Inklusi ... 27

3.3.2 Kriteria Eksklusi ... 27

3.4 Alat Pengumpulan Data ... 27

3.5 Teknik Pengumpulan Data ... 27

3.6 Metode Pengolahan dan Analisis Data... 27

3.6.1 Pengolahan Data ... 27

3.6.2 Analisi Bivariat ... 288

3.7 Defenisi Operasional ... 28

3.7.1 Pola Tidur ... 28

3.7.2 Tekanan Darah ... 29

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 30

4.1 Analis Univariat ... 30

4.2 Analisis Bivariat ... 32

4.2.1 Hubungan antara Pola Tidur dengan Tekanan Darah ... 32

4.3 Pembahasan ... 33

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 35

5.1 KESIMPULAN ... 35

5.2 SARAN ... 35

DAFTAR PUSTAKA ... 37

Lampiran A. Biodata Peneliti ... 39

Lampiran B. Etichal Clearence Penelitian ... 41

Lampiran C. Surat Izin Penelitian ... 42

Lampiran D. Lampiran Penjelasan Penelitian ... 43

Lampiran E. Lembar Persetujuan Responden ... 44

Lampiran F. Kuesioner Penelitian ... 45

(8)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

Gambar 2.1.7 Penatalaksanaan ... 12

Gambar 2.3 Kerangka Teori ... 23

Gambar 2.4 Kerangka Konsep ... 25

(9)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

Tabel 2.1 Klasifikasi hipertensi ... 6 Tabel 4.1 Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin mahasiswa .. 31 Tabel 4.2 Karakteristik responden berdasarkan jenis stambuk mahasiswa . 32 Tabel 4.3 Karakteristik responden berdasarkan jenis pola tidur

mahasiswa ... 32 Tabel 4.4 Karakteristik responden berdasarkan jenis tekanan darah sistolik

mahasiswa ... 33 Tabel 4.5 Karakteristik responden berdasarkan jenis tekanan darah diastolik

mahasiswa ... 33 Tabel 4.6 Hasil uji chi square hubungan pola tidur dengan tekanan darah

sistolik ... 34 Tabel 4.6 Hasil uji chi square hubungan pola tidur dengan tekanan darah

diastolik ... 35

Tabel 4.8 Jadwal Penelitian ... 57

Tabel 4.2 Biaya Penelitian ... 58

(10)

DAFTAR SINGKATAN

FK USU : Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara WHO : World Health Organisation

NREM : Non- Rapid Eye Movement REM : Rapid Eye Movement EEG : Electroencephalogram NSC : Nucleus Supra-Chiasmatic GH : Growth Hormone

ACTH : Adrenal Corticotropin Hormone TSH : Thyroid Stimulating Hormone LH : Leuteinizing Hormone

PSQI : Pitsburg Sleep Quality Index

ICSD : International Classification of Sleep Disorder RLS : Restless Leg Syndrome

OSA : Obstructive Sleep Apnea

PLMD : Periodic Leg Movement Disorder TD : Tekanan Darah

ACEI : Converting Enzyme Inhibitor ARB : Angiotensin II Receptor blocker CCB : Calcium Channel Blocker AB : α blocker

BB : β Blocker

(11)

ABSTRAK

Latar Belakang: Hipertensi adalah suatu keadaan ketika tekanan darah di pembuluh darah meningkat secara kronis. Hal tersebut dapat terjadi karena jantung bekerja lebih keras memompa darah untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi tubuh.

Gangguan tidur juga dapat mempengaruhi tekanan darah pada seseorang individu.

Peningkatan tekanan darah dapat terjadi apabila seseorang itu kekurangan tidur dan jika hal ini berlanjutan dapat mendorong ke hipertensi. Banyak faktor yang mempengaruhi perubahan pola tidur pada remaja misalnya pubertas sebagai salah satu ciri yang dialami oleh remaja dan memberikan dampak terhadap munculnya masalah gangguan tidur. Masalah yang paling sering dialami para remaja yaitu tuntutan sekolah. Tujuan: Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya hubungan pola tidur dengan tekanan darah pada mahasiswa FK USU pada tahun 2020. Metode: cross sectional, dengan satu kali pengamatan pada rentang waktu tertentu. Pola tidur diukur dengan menggunakan kuesioner PSQI manakala, tekanan darah mahasiswa diukur dengan sphygmomanometer air raksa.

Kata kunci: Gangguan tidur, Hipertensi, Pola Tidur

(12)

ABSTRACT

Background: Background: Hypertension is a condition when blood pressure in blood vessels increases chronically. This can occur because the heart is working harder to pump blood to meet the body's oxygen and nutritional needs. Sleep disorders can also affect blood pressure in an individual. An increase in blood pressure can occur if a person is deprived of sleep and if this continues it can lead to hypertension. Many factors affect changes in sleep patterns in adolescents such as puberty as one of the characteristics experienced by adolescents and have an impact on the emergence of sleep disorders. The problem most often experienced by adolescents is the demands of the school. Objective: The general objective of this study was to determine the relationship between sleep patterns and blood pressure in USU FK students in 2020. Method: cross sectional, with one observation at a certain time span. Sleep patterns were measured using the PSQI questionnaire when, blood pressure was measured by a mercury sphygmomanometer.

Keyword: Hypertension, Sleep Disorders, Sleep Patterns

(13)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Menurut Joint National Commite 8 (JNC 8), hipertensi disebut juga sebagai silent killer. Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah ≥140/90 mmHg. Sekitar 970 orang diseluruh dunia memiliki tekanan darah yang tinggi. Diperkirakan pada tahun 2025, 1,56 miliar orang dewasa akan hidup dengan hipertensi. Lebih dari 90%

pasien dengan tekanan darah tinggi memiliki hipertensi primer dan kurang dari 10%

pasien dengan tekanan darah tinggi memiliki hipertensi sekunder (JNC 8, 2015).

Prevalensi hipertensi bervariasi di seluruh wilayah WHO dan kelompok pendapatan negara. Wilayah Afrika WHO memiliki prevalensi hipertensi tertinggi (27%) sedangkan Wilayah WHO di Amerika memiliki prevalensi hipertensi terendah (18%). Tinjauan tren saat ini menunjukkan bahwa jumlah orang dewasa dengan hipertensi meningkat dari 594 juta pada tahun 1975 menjadi 1,13 miliar pada tahun 2015, dengan peningkatan yang terlihat terutama di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. Peningkatan ini terutama disebabkan oleh peningkatan faktor risiko hipertensi pada populasi tersebut (WHO, 2019).

Hasil penelitian sporadis di 15 Kabupaten/ Kota di Indonesia, yang dilakukan oleh Felly PS, dkk (2011-2012) dari Badan Litbangkes Kemkes, memberikan fenomena 17,7% kematian disebabkan oleh stroke dan 10,0% kematian disebabkan oleh Ischaemic Heart Disease. Dua penyakit penyebab kematian teratas ini, faktornya adalah hipertensi (Kemenkes RI, 2015).

Hipertensi pada remaja masuk ke dalam sepuluh penyakit kronis tertinggi di Amerika. Publikasi terbaru dari National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) menunjukkan bahwa satu dari 10 anak usia 8-17 tahun mengalami prehipertensi dan hipertensi.

Berdasarkan data The Brazilian Study of Cardiovascular Risks in Adolescents

(ERICA) prevalensi hipertensi pada remaja usia 12-17 tahun sebesar 9,6%. Kejadian

hipertensi pada remaja juga ditemukan di Indonesia.

(14)

2

Berdasarkan pedoman JNC VII 2003 dalam laporan Riskesdas tahun 2013 didapatkan prevalensi hipertensi terbatas pada usia 15-17 tahun secara nasional sebesar 5,3% (laki-laki 6,0% dan perempuan 4,7%). Berdasarkan penelitian di Jakarta pada siswa SMA diperoleh sebanyak 15,5% remaja mengalami hipertensi. Begitu pula berdasarkan penelitian di Depok pada siswa SMA diperoleh 42,4% remaja mengalami hipertensi (Shaumi dan Achmad, 2019).

Gangguan tidur juga dapat mempengaruhi tekanan darah pada seseorang individu. Peningkatan tekanan darah dapat terjadi apabila seseorang itu kekurangan tidur dan jika hal ini berlanjutan dapat mendorong ke hipertensi.

Hipertensi adalah suatu keadaan ketika tekanan darah di pembuluh darah meningkat secara kronis. Hal tersebut dapat terjadi karena jantung bekerja lebih keras memompa darah untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi tubuh.

Jika dibiarkan, penyakit ini dapat mengganggu fungsi organ-organ lain, terutama organ-organ vital seperti jantung dan ginjal. Didefinisikan sebagai hipertensi jika pernah didiagnosis menderita hipertensi/penyakit tekanan darah tinggi oleh tenaga kesehatan (dokter/perawat/bidan) atau belum pernah didiagnosis menderita hipertensi tetapi saat diwawancara sedang minum obat medis untuk tekanan darah tinggi (minum obat sendiri). Kriteria hipertensi yang digunakan pada penetapan kasus merujuk pada kriteria diagnosis JNC VII 2003, yaitu hasil pengukuran tekanan darah sistolik ≥140 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥90 mmHg (Riskesdas, 2016).

Banyak faktor yang mempengaruhi perubahan pola tidur pada remaja misalnya pubertas sebagai salah satu ciri yang dialami oleh remaja dan memberikan dampak terhadap munculnya masalah gangguan tidur. Masalah yang paling sering dialami para remaja yaitu tuntutan sekolah, kegiatan sekolah, dan tugas sekolah yang dikerjakan di rumah yang menekan waktu untuk tidur yang menyebabkan remaja akan tidur lebih larut dan bangun lebih cepat (Saifudin, 2012).

Berdasarkan latar belakang dan epidemiologi yang telah dibahas, maka

penulis berpendapat bahwa perlu dilakukan penelitian mengenai ‘Hubungan

antara Pola Tidur dengan Tekanan Darah pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran

(15)

1.2 RUMUSAN MASALAH

Bagaimana hubungan pola tidur dengan tekanan darah pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (FK USU) pada tahun 2020?

1.3 HIPOTESIS

Hipotesis pada penelitian ini adalah “ada hubungan antara pola tidur dengan tekanan darah pada mahasiswa FK USU 2020”.

1.4 TUJUAN PENELITIAN 1.4.1 Tujuan umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya hubungan pola tidur dengan tekanan darah pada mahasiswa FK USU pada tahun 2020.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui gambaran pola tidur pada mahasiswa FK USU.

2. Mengetahui gambaran tekanan darah rata-rata pada mahasiswa FK USU.

1.5 MANFAAT PENELITIAN

Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat untuk:

1. Bagi pemerintah dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk membuat kebijakan dalam hal pencegahan dini terhadap penyakit hipertensi pada remaja dan dapat dijadikan bahan untuk penelitian lebih lanjut.

2. Bagi masyarakat dapat dijadikan sebagai bahan penambah pengetahuan bahwa ada pengaruh pola tidur terhadap peningkatan tekanan darah.

3. Bagi responden dapat dijadikan sebagai bahan penambah ilmu pengetahuan.

4. Bagi peneliti dapat dijadikan sebagai penambah latihan dalam membuat

suatu penelitian.

(16)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 HIPERTENSI 2.1.1 Definisi hipertensi

Definisi hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg pada dua kali pengukuran dengan selang waktu lima menit dalam keadaan cukup istirahat/tenang. Peningkatan tekanan darah yang berlangsung dalam jangka waktu lama (persisten) dapat menimbulkan kerusakan pada ginjal (gagal ginjal), jantung (penyakit jantung koroner) dan otak (menyebabkan stroke) bila tidak dideteksi secara dini dan mendapat pengobatan yang memadai. Banyak pasien hipertensi dengan tekanan darah tidak terkontrol dan jumlahnya terus meningkat. Oleh karena itu, partisipasi semua pihak, baik dokter dari berbagai bidang peminatan hipertensi, pemerintah, swasta maupun masyarakat diperlukan agar hipertensi dapat dikendalikan (Kemenkes RI, 2014).

Hipertensi merupakan manifestasi gangguan keseimbangan hemodinamik sistem kardiovaskular, yang mana patofisiologinnya adalah multi faktor, sehingga tidak bisa diterangkan dengan hanya satu mekanisme tunggal. Menurut Kaplan, hipertensi banyak menyangkut faktor genetik, lingkungan, dan pusat-pusat regulasi hemodinamik. (Yogiantoro, 2014)

2.1.2 Etiologi hipertensi

Adapun klasifikasi hipertensi terbagi menjadi : a. Hipertensi Primer/Hipertensi Esensial

Hipertensi yang penyebabnya tidak diketahui (idiopatik), walaupun

dikaitkan dengan kombinasi faktor gaya hidup seperti kurang bergerak

(inaktivitas) dan pola makan. Terjadi pada sekitar 90% penderita

hipertensi.

(17)

b. Hipertensi Sekunder/Hipertensi Non Esensial

Hipertensi yang diketahui penyebabnya. Pada sekitar 5-10% penderita hipertensi, penyebabnya adalah penyakit ginjal. Pada sekitar 1-2%, penyebabnya adalah kelainan hormonal atau pemakaian obat tertentu (misalnya pil KB) (Kemenkes RI, 2014).

Untuk sebagian besar pasien dengan tekanan darah tinggi, penyebabnya tidak diketahui. Ini diklasifikasikan sebagai hipertensi primer atau esensial. Sebagian kecil pasien memiliki penyebab spesifik darah tinggi yang diklasifikasikan sebagai hipertensi sekunder. Lebih dari 90% pasien dengan tekanan darah tinggi menderita primer. Hipertensi primer tidak dapat disembuhkan, tetapi dapat dikontrol dengan terapi yang sesuai (termasuk modifikasi gaya hidup dan obat- obatan). Faktor genetik dapat memainkan peran penting dalam pengembangan hipertensi primer. Tekanan darah tinggi cenderung berkembang secara bertahap selama bertahun-tahun. Kurang dari 10% pasien dengan tekanan darah tinggi hipertensi sekunder. Hipertensi sekunder disebabkan oleh yang mendasarinya kondisi medis atau obat-obatan. Mengontrol kondisi medis yang mendasarinya.

Penyebab sekunder paling umum, hipertensi dikaitkan dengan kerusakan ginjal seperti ginjal kronis (PGK) (JNC 8, 2015).

2.1.3 Klasifikasi hipertensi

Berdasarkan pedoman hipertensi American College of Cardiology (ACC)/American Heart Association (AHA) tahun 2017, tekanan darah diklasifikasikan menjadi normal, meningkat (elevated), hipertensi stadium 1 dan 2. Klasifikasi hipertensi stadium 1 diubah dari sebelumnya karena data risiko penyakit jantung dengan sistol/diastol, modifikasi gaya hidup untuk menurunkan tekanan darah, dan studi acak terkontrol mengenai pengobatan antihipertensi.

Risiko penyakit jantung meningkat progresif pada tekanan darah 130-139/85-89 mmHg dibandingkan dengan <120/80 mmHg.4 Indonesia sampai saat ini masih mengacu pada kriteria hipertensi dari Joint National Committee (JNC) VII.

Berdasarkan pedoman hipertensi JNC VII tahun 2003, tekanan darah

diklasifikasikan menjadi normal, prehipertensi, hipertensi stadium 1 dan 2

(Adrian dan Tommy, 2019).

(18)

6

Klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa (18 tahun dan lebih tua) didasarkan pada rata-rata dua atau lebih yang diukur dengan benar. Jika tekanan darah sistolik dan nilai tekanan darah diastolik jatuh ke dalam kategori yang berbeda, klasifikasi keseluruhan ditentukan berdasarkan pada lebih tinggi dari dua tekanan darah. Tekanan darahnya diklasifikasikan menjadi satu dari empat kategori: normal, prehipertensi, hipertensi tahap 1 dan hipertensi tahap 2.

Prehipertensi tidak dianggap penyakit, tetapi mengidentifikasi mereka yang cenderung berkembang ke tahap 1 atau tahap 2 hipertensi di masa depan (JNC 8, 2015).

Tabel 2.1.3 Klasifikasi Tekanan Darah pada Orang Dewasa Usia >18 tahun.

2.1.4 Faktor risiko hipertensi

Faktor resiko hipertensi adalah umur, jenis kelamin, riwayat keluarga, genetik (faktor resiko yang tidak dapat diubah/dikontrol), kebiasaan merokok, konsumsi garam, konsumsi lemak jenuh, penggunaan jelantah, kebiasaan konsumsi minuman beralkohol, obesitas, kurang aktifitas fisik, stres, penggunaan estrogen. Adapun klasifikasi hipertensi terbagi menjadi:

1. Berdasarkan penyebab

a. Hipertensi primer/hipertensi esensial

Hipertensi yang penyebabnya tidak diketahui (idiopatik), walaupun dikaitkan dengan kombinasi faktor gaya hidup seperti kurang bergerak (inaktivitas) dan pola makan. Terjadi pada sekitar 90% penderita hipertensi.

b. Hipertensi sekunder/hipertensi non esensial

Hipertensi yang diketahui penyebabnya. Pada sekitar 5-10% penderita hipertensi, penyebabnya adalah penyakit ginjal. Pada sekitar 1-2%, penyebabnya adalah kelainan hormonal atau pemakaian obat tertentu (misalnya pil KB).

Klasifikasi Tekanan Darah Sistolik (mmHg) Tekanan Darah Diastolik (mmHg)

Normal <120 <80

Prehipertensi 120-139 80-89

Stadium I HTN 140-159 90-99

Stadium 2 HTN >160 >100

(19)

2. Berdasarkan bentuk hipertensi

Hipertensi diastolik, hipertensi campuran (sistol dan diastol yang meninggi), hipertensi sistolik.

Terdapat jenis hipertensi yang lain:

1. Hipertensi pulmonal

Suatu penyakit yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah pada pembuluh darah arteri paru-paru yang menyebabkan sesak nafas, pusing dan pingsan pada saat melakukan aktivitas. Berdasar penyebabnya hipertensi pulmonal dapat menjadi penyakit berat yang ditandai dengan penurunan toleransi dalam melakukan aktivitas dan gagal jantung kanan. Hipertensi pulmonal primer sering didapatkan pada usia muda dan usia pertengahan, lebih sering didapatkan pada perempuan dengan perbandingan 2:1, angka kejadian pertahun sekitar 2-3 kasus per 1 juta penduduk, dengan mean survival sampai timbulnya gejala penyakit sekitar 2-3 tahun.

Kriteria diagnosis untuk hipertensi pulmonal merujuk pada National Institute of Health; bila tekanan sistolik arteri pulmonalis lebih dari 35 mmHg atau "mean"

tekanan arteri pulmonalis lebih dari 25 mmHg pada saat istirahat atau lebih 30 mmHg pada aktivitas dan tidak didapatkan adanya kelainan katup pada jantung kiri, penyakit miokardium, penyakit jantung kongenital dan tidak adanya kelainan paru.

2. Hipertensi pada kehamilan

Pada dasarnya terdapat 4 jenis hipertensi yang umumnya terdapat pada saat kehamilan, yaitu:

a. Preeklampsia-eklampsia atau disebut juga sebagai hipertensi yang diakibatkan kehamilan/keracunan kehamilan (selain tekanan darah yang meninggi, juga didapatkan kelainan pada air kencingnya). Preeklamsi adalah penyakit yang timbul dengan tanda-tanda hipertensi, edema, dan proteinuria yang timbul karena kehamilan.

b. Hipertensi kronik yaitu hipertensi yang sudah ada sejak sebelum ibu mengandung janin.

c. Preeklampsia pada hipertensi kronik, yang merupakan gabungan

preeklampsia dengan hipertensi kronik.

(20)

8

d. Hipertensi gestasional/hipertensi yang sesaat.

Penyebab hipertensi dalam kehamilan sebenarnya belum jelas. Ada yang mengatakan bahwa hal tersebut diakibatkan oleh kelainan pembuluh darah, ada yang mengatakan karena faktor diet, tetapi ada juga yang mengatakan disebabkan faktor keturunan, dan lain sebagainya (Kemenkes RI, 2014).

2.1.5 Patofisiologi hipertensi

Beberapa faktor yang mengontrol tekanan darah berkontribusi terhadap pengembangan hipertensi primer. Dua faktor utama termasuk masalah dalam mekanisme hormonal (hormon natriuretik, sistem renin angiotensin-aldosteron (raas)) atau gangguan pada elektrolit (natrium, klorida, kalium). hormon natriuretik menyebabkan peningkatan konsentrasi natrium dalam sel yang menyebabkan peningkatan tekanan darah. raa mengatur natrium, kalium, dan volume darah, yang pada akhirnya akan mengatur tekanan darah di arteri (pembuluh darah yang membawa darah menjauh dari jantung).

Dua hormon yang terlibat dalam sistem raas termasuk angiotensin dan aldosteron.

Angiotensin menyebabkan penyempitan pembuluh darah, meningkatkan pelepasan bahan kimia yang meningkatkan tekanan darah, dan meningkatkan produksi aldosteron.

Penyempitan pembuluh darah meningkatkan tekanan darah (lebih sedikit ruang, jumlah darah yang sama), yang juga memberi tekanan pada jantung. Aldosteron menyebabkan natrium dan air tetap ada dalam darah. Akibatnya, ada volume darah yang lebih besar, yang akan meningkatkan tekanan pada jantung dan meningkatkan tekanan darah.

Tekanan darah arteri adalah tekanan dalam pembuluh darah, khususnya dinding arteri diukur dalam milimeter air raksa (mmHg). Dua nilai tekanan darah arteri adalah tekanan darah sistolik dan tekanan darah diastolik. sistolik adalah nilai puncak (tertinggi) yang dicapai ketika jantung berkontraksi. Diastol tercapai saat jantung dalam keadaan diam (tekanan terendah) dan ruang jantung terisi dengan darah (JNC 8, 2015).

2.1.6 Diagnosis

Pada umumnya hipertensi tidak mempunyai keluhan. Hipertensi adalah the

sillent killer. Penderita baru mempunyai keluhan setelah mengalami komplikasi

di Target Organ Damage.

(21)

Secara sistematik anamnesa dapat dilaksanakan sebagai berikut : A. Anamnesis

Anamnesis meliputi:

1) Lama menderita hipertensi dan derajat tekanan darah 2) Indikasi adanya hipertensi sekunder

- Keluarga dengan riwayat penyakit ginjal (ginjal polikistik)

- Adanya penyakit ginjal, infeksi saluran kemih, hematuri, pemakaian obat-obat analgesik dan obat/bahan lain

- Episode berkeringet, sakit kepala, kecemasan, palpitasi 3) Faktor-faktor risiko:

- Riwayat hipertensi atau kardiovaskuler pada pasien atau keluarga pasien

- Riwayat diabetes mellitus pada pasien atau keluarganya - Kebiasaan merokok

- Pola makan

- Kegemukan, intensitas olahraga 4) Gejala kerusakan organ

- Otak dan mata : sakit kepala,vertigo,gangguan penglihatan,transient ischemic attacks, defisit sensoris atau motoris

- Jantung : palpitasi, nyeri dada, sesak, bengkak kaki, tidur dengan bantal tinggi (lebih dari 2 bantal)

- Ginjal : haus poliuria, nokturia, hematuri, hipertensi yang disertai kulit pucat anemis

- Arteri perifer : eksremitas dingin, klaudikasio intermitten 5) Pengobatan anti hipertensi sebelumnya

6) Faktor-faktor pribadi, keluarga dan lingkungan B. Pemeriksaan Fisik

Pengukuran tekanan darah dilakukan penderita yang dalam keadaan

nyaman dan relaks,dan dengan tidak tertutup/tertekan pakaian.

(22)

10

Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada saat melakukan pengukuran TD adalah:

1. Untuk mengukur TD terdapat 3 jenis sphygmomanometer, yaitu manometer aneroid (kurang akurat bila digunakan berulang-ulang).

manometer elektronik (juga kurang akurat) dan manometer merkuri/air raksa (ingat merkuri dapat mencemari lingkungan). Gunakan manset dengan ukuran inflatable bag; (karet yang ada dibagian dalam manset) yang sesuai, yaitu lebar ± 40% dari lingkar lengan (rata-rata pada orang dewasa 12-14 cm) dan panjang untuk melingkupi lengan.

2. Pasang manset pada lengan atas dengan pusat inflatable bag diatas arteri brakhialis (pada sisi dalam lengan atas) dan sisi bawah manset ± 2,5 cm diatas fossa antecubiti.

3. Posisi lengan penderita sedikit fleksi pada siku, lengan harus disangga (dengan bantal, meja atau benda lain yang stabil), pastikan bahwa manset setingi jantung. Cari arteri brakhialis, biasanya sedikit medial dari tendon bisep.

4. Lakukan pemeriksaan palpasi tekanan darah sistolik yaitu ibu jari atau jari-jari lain diletakkan di atas arteri brakhialis, manset dipompa/dikembangkan sampai ± 30 mmHg di atas tingkat di mana pulsasi mulai tidak teraba, kemudian manset pelan-pelan dikendurkan dan akan didapatkan TDS yaitu saat pulsasi mulai teraba kembali.

5. Selanjutnya stetoskop (bagian bell) diletakkan di atas arteri brakhialis,manset di pompa kembali sampai ± 30 mmHg di atas harga palpasi TDS, kemudian manset dikendurkan pelan-pelan (kecepatan 2-3 mmHg/detik), tentukan TDS (mulai terdengar suar) dan tekanan darah diastolik atau TDD (suara mulai menghilang).

6. Pengukuran TD harus dilakukan pada lengan (arteri brakhialis) kanan dan kiri, setidaknya pernah dilakukan walaupun sekali saja. Normal antara kanan dan kiri terdapat perbedaan 5-10 mmHg. Bila ada perbedaan > 10-15 mmHg perlu dicurigai adannya kompresi atau obstruksi arteri pada sisi yang TD-nya lebih rendah.

7. Pada penderita yang mendapat obat antihipertensi dan riwayat pingsan

(23)

TD diukur pada posisi tidur, duduk, dan berdiri (kecuali ada kontraindikasi). Normal dari posisi horisontal ke posisi berdiri akan menyebabkan TDS sedikit menurun atau tidak berubah dan TDD sedikit meningkat. Bila saat berdiri TDS turun dan 20 mmHg, apalagi disertai adannya keluhan, menunjukkan adanya hipotensi ortostatik (postural).

TDD juga bisa turun. Penyebabnya adalah obat, hipovolemia, terlalu lama tirah baring dan gangguan sistem saraf autonom perifer.

C. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang pasien hipertensi terdiri dari : tes darah rutin, glukosa darah (sebaiknya puasa), kolesterol total serum, kolesterol LDL dan HDL serum, trigliserida serum (puasa), asam urat serum, kreatinin serum, kalium serum, hemoglobin dan hematokrit, urinalisis (uji carik celup serta sedimen urin), elektrokardiogram. Beberapa pedoman penanganan hipertensi menganjurkan tes lain seperti : ekokardiogram, USG karotis (dan femoral), C-reactive protein, mikroalbuminuria atau perbandingan albumin/kreatinin urin, proteinuria kuantitatif (jika uji carik positif), funduskopi (pada hipertensi berat). Evaluasi pasien hipertensi juga diperlukan untuk menentukan adanya penyakit penyerta sistemik, yaitu : aterosklerosis (melalui pemeriksaan profil lemak), diabetes (terutama pemeriksaan gula darah), fungsi ginjal (dengan pemeriksaan proteinuria, kreatinin serum, serta memperkirakan laju filtrasi glomerulus) (Yogiantoro,2014).

2.1.7 Penatalaksaan a. Terapi Farmakologis

WHO memberi rekomendasi diuretik dosis kecil sebagai pilihan pertama untuk pengobatan hipertensi dengan alasan sangat cost effective.

(Yogiantoro, 2014).

(24)

12

Gambar 2.1.7. Algoritma pengobatan hipertensi menurut guidelline JNC7

Belum mencapai tekanan darah target (<140/90 mmHg)

(1<130/80 mmHg untuk pasien dengan diabetes atau penyakit ginjal kronik) Perubahan Gaya Hidup

Pilihan Obat Awal

Dengan indikasi yang berarti Terapi indikasi yang berarti

Belum mencapai tekanan darah target

target

Optimalisasikan dosis atau berikan obat tambahan hingga TD target tercapai, konsultasi ke dokter spesialis.

Hipertensi Stadium 1 (TD sistolik 140-159 atau

TD diastolik 90-99 mmHG) diuretik tiazid diberikan untuk sebagian

besar kasus pengunaan ACI, AR3, BB,CCB, dapat dipertimbangkan

atau diberikan dalam bentuk kombinasin

Hipertensi Stadium 2 (TD sistolik ≥ 160 atau

TD Diastolik ≥ 100 mmHg). Kombinasi dua

obat dipakai untuk sebagian besar kasus (biasanya diuretic tipe

tiazid, atau ARB atau CCB

Obat-obat untuk indikasi yang berarti (diuretic, ACI,ARB,BB,CCB) bila

perlu.

(25)

Menurut European Society of Hypertension 2013, kombinasi obat hipertensi yang dianjurkan meliputi kombinasi tiazid diuretic efektif dengan ARB, Ca antagonis atau ACEI. ARB efektif dikombinasi dengan tiazid, Ca antagonis dan tidak direkomendasikan di kombinasikan dengan ACEI. Kemudian Ca antagonis efektif dikombinasikan dengan ARB, tiazid diuretic atau ACEI. ACEI efektif dikombinasikan dengan tiazid diuretic, Ca antagonis dan tidak direkomendasikan di kombinasikan dengan ARB (Lisiswanti dan Yulanda, 2017).

b. Terapi Non Farmakologis

Penatalaksanaan hipertensi dapat dilakukan dengan menggunakan obat- obatan ataupun dengan cara modifikasi gaya hidup. Modifikasi gaya hidup dapat dilakukan dengan membatasi asupan garam tidak lebih dari ¼ -½ sendok teh (6 gram/hari), menurunkan berat badan, menghindari minuman berkafein, rokok, dan minuman beralkohol. Olah raga juga dianjurkan bagi penderita hipertensi, dapat berupa jalan, lari, jogging, bersepeda selama 20-25 me nit dengan frekuensi 3-5 x per minggu. Penting juga untuk cukup istirahat (6-8 jam) dan mengendalikan stress. Untuk pemilihan serta penggunaan obat-obatan hipertensi disarankan untuk berkonsultasi dengan dokter dan keluarga anda.

Ada pun makanan yang harus dihindari atau dibatasi oleh pen de rita hipertensi adalah:

1) Makanan yang berkadar lemak jenuh tinggi (otak, ginjal, paru, minyak kelapa).

2) Makanan yang diolah dengan menggunakan garam natrium (biscuit, crackers, keripik dan makanan kering yang asin).

3) Makanan dan minuman dalam kaleng (sarden, sosis, korned, sayuran serta buah-buahan dalam kaleng, soft drink).

4) Makanan yang diawetkan (dendeng, asinan sayur/buah, abon, ikan asin, pindang, udang kering, telur asin, selai kacang).

5) Susu full cream, mentega, margarine, keju mayonnaise, serta sumber

protein hewani yang tinggi kolesterol seperti daging merah

(sapi/kambing), kuning telur, kulit ayam).

(26)

14

6) Bumbu-bumbu seperti kecap, maggi, terasi, saus tomat, saus sambal, tauco serta bumbu penyedap lain yang pada umumnya mengandunggaram natrium.

7) Alkohol dan makanan yang mengandung alkohol seperti durian, tape. Di Indonesia terdapat pergeseran pol a makan, yang mengarah pad a makanan cepat saji dan yang diawetkan yang kita ketahui mengandung garam tinggi, lemak jenuh, dan rendah serat mulai menjamurterutama di kota-kota besardi Indonesia. Dengan mengetahui gejala dan faktor risiko terjadinya hipertensi diharapkan penderita dapat melakukan pencegahan dan penatalaksanaan dengan modifikasi diet/gaya hidup ataupun obat- obatan sehingga komplikasi yang terjadi dapat dihindarkan (Kemenkes RI, 2014).

2.2 TIDUR

2.2.1 Definisi tidur

Tidur adalah suatu keadaan berulang, teratur, mudah reversibel yang ditandai dengan keadaan relatif tidak bergerak dan tingginya peningkatan ambang respon terhadap stimulus eksternal dibandingkan dengan keadaan terjaga (Sadock, 2010). Waktu tidurnya kurang dari 3 jam dalam 24 jam dapat menyebabkan seseorang mudah marah dan cakupan perhatiannya berkurang. Kurang tidur dalam waktu lama menyebabkan kesulitan berkonsentrasi, kemunduran performa umum, mudah terpengaruh dan bisa terjadi halusinasi (Puri K, 2011).

2.2.2 Fisiologi tidur

Tidur merupakan salah satu cara untuk melepaskan kelelahan jasmani dan

kelelahan mental. Dengan tidur semua keluhan hilang atau berkurang dan akan

kembali mendapatkan tenaga serta semangat untuk menyelesaikan persoalan yang

dihadapi. Semua makhluk hidup mempunyai irama kehidupan yang sesuai

dengan beredarnya waktu dalam siklus 24 jam. Irama yang seiring dengan rotasi

bola dunia disebut sebagai irama sirkadian. Pusat kontrol irama sirkadian terletak

pada bagian ventral anterior hypothalamus. Bagian susunan saraf pusat yang

mengadakan kegiatan sinkronisasi terletak pada substansia ventrikulo retikularis

(27)

Bagian susunan saraf pusat yang menghilangkan sinkronisasi/desinkronisasi terdapat pada bagian rostral medulo oblogata disebut sebagai pusat penggugah atau aurosal state (Japardi, I., 2002). Perubahan dalam tidur diatur oleh reticular activating system (RAS) dan bulbar synchronizing regional (BSR) yang terletak pada batang otak. RAS merupakan sistem yang mengatur seluruh kegiatan susunan saraf pusat termasuk kewaspadaan dan tidur. RAS ini terletak dalan mesenfalon dan di bagian 13 atas pons. Selain itu RAS memberi rangsangan visual, nyeri, pendengaran, dan perabaan serta dapat menerima stimulasi dari korteks sendiri termasuk rangsangan emosi dan proses pikir. Ketika dalam keadaan sadar, neuron dalam RAS akan melepaskan katekolamin seperti norepineprin. Demikian juga pada saat tidur, diakibatkan oleh adanya pelepasan serum serotonin dari sel khusus yag berada di pons dan batang otak tengah, yaitu BSR (Potter dan Perry, 2010 dalam Kananda, 2019).

2.2.3 Mekanisme tidur

Terdapat dua jenis tidur, yakni tidur gelombang lambat atau NREM dan tidur paradoksal atau REM. Tidur NREM secara umum meliputi 80% dari seluruh waktu tidur, sedangkan tidur REM lebih kurang 20%. Menurut Hobson dan Mc.

Carley tidur NREM dan REM merupakan siklus yang berlangsung selama periode tidur. Tidur NREM disebabkan menurunnya aktivitas neuron monoaminergik (noradrenergik dan serotonergik) yang aktif pada waktu bangun dan menekan aktivitas neuron kolinergik. Tidur REM disebabkan inaktivitas neuron monoaminergik sehingga memicu aktivitas neuron kolinergik (neuron retikuler pons) (Rachman, 2007 dalam Magfirah, 2016).

a. Non Rapid Eye Movement (NREM)

1. Seorang yang baru tertidur memasuki stadium 1 yang ditandai oleh

aktivitas elektroensefalogram (EEG) frekuensi tinggi amplitudo rendah

dengan keadaan seseorang baru saja terlena. Seluruh otot menjadi

lemas, kelopak mata menutupi mata, dan kedua bola mata bergerak

bolak-balik ke kedua sisi. EEG tahap tidur pertama ini,

memperlihatkan penurunan voltase dengan gelombang-gelombang alfa

yang makin menurun frekuensinya.

(28)

16

2. Stadium dua ditandai oleh munculnya kumparan tidur (sleep spindel).

Terjadi letupan-letupan gelombang mirip alfa (10- 14 Hz, 50 μV) yang berfrekuensi 14-18 siklus per detik. Dalam tahap kedua ini kedua bola mata berhenti bergerak, tetapi tonus otot masih terpelihara.

3. Stadium 3 ditandai dengan pola yang timbul berupa gelombang dengan frekuensi yang lebih rendah dibandingkan dengan stadium dua dan amplitudo meningkat. EEG memperlihatkan gelombang dasar yang lambat (1-2 siklus per detik)dengan sekali-kali timbulnya sleep spindles. Keadaan fisik pada tahap ketiga ini adalah lemah lunglai, karena tonus otot sangat rendah.

4. Stadium empat dengan perlambatan maksimum dengan gelombang- gelombang besar. Pada tahap tidur keempat hanya gelombang lambat saja tanpa sleep spindles. Keadaan fisik pada tahap keempat ini adalah lemah lunglai, karena tonus otot sangat rendah.

b. Rapid Eye Movement (REM)

REM ditandai dengan gerakan mata yang cepat dan tibatiba, peningkatan aktivitas saraf otonom dan mimpi. Pada tidur REM terdapat fluktuasi luas dari tekanan darah, denyut nadi dan 22 frekuensi nafas. Keadaan ini disertai dengan penurunan tonus otot dan peningkatan aktivitas otot involunter. REM disebut juga aktivitas otak yang tinggi dalam tubuh yang lumpuh atau tidur paradoks.

REM tidak berdiri sendiri, selalu disuperimposisikan pada tidur gelombang lambat. Pada tidur yang normal, masa tidur REM berlangsung 5-20 menit, rata-rata timbul setiap 90 menit dengan periode pertama terjadi 80-100 menit setelah seseorang tertidur. Tidur REM menghasilkan pola EEG yang menyerupai tidur NREM tingkat I dengan gelombang beta, disertai mimpi aktif, tonus otot sangat rendah, frekuensi jantung dan nafas tidak teratur (ciri dalam keadaan mimpi), terjadi gerakan otot yang tidak teratur (pada mata menyebabkan gerakan bola mata yang cepat atau 'rapid eye movement'), dan lebih sulit dibangunkan daripada tidur gelombang lambat (Rachman, 2007 dalam Magfirah, 2016).

\

(29)

2.2.4 Irama sirkandian

Fungsi sistem waktu sirkadian adalah untuk mengkoordinasikan mekanisme humoral, fisiologis, dan tingkah laku tidur-bangun. Regulasi ini dimodulasi oleh 2 faktor yang saling bertolak belakang, yaitu: dorongan homeostatik untuk tidur yang meningkatkan kecenderungan untuk mengantuk dan irama sirkadian yang mempromosikan status terjaga. Faktor sirkadian berarti variasi fisiologis dalam hal tidur-bangun (waktu, durasi, dan karakteristik lain) menurut siklus tertentu selama sehari.

Pada pagi hari setelah bangun pagi, dorongan homeostatik untuk tidur menjadi sangat rendah bahkan nol, aktivitas SCN (suprachiasmatic nucleus) menurun seperti yang terlihat dalam rekaman intracerebral firing rate. Dorongan homeostatik secara gradual meningkat sepanjang hari dihambat dengan meningkatnya aktivitas SCN. Pada saat aktivitas SCN menurun, dorongan homeostatik untuk memulai onset tidur. Saat pagi, dorongan homeostatik mulai menurun dibatasi oleh pengaruh circadian arousal yang menyebabkan kita terbangun. Terdapat dua periode yang sangat rentan untuk mengantuk yaitu pukul 2 dini hari hingga pukul 6 pagi dan pukul 2 siang hingga pukul 6 sore. Periode yang pertama jauh lebih kuat daripada yang kedua. Cahaya memengaruhi tubuh untuk memproduksi berbagai substansiyang erat kaitannya dengan dengan pola sirkadian tubuh seperti kortisol, serotonin, dan terutama melatonin.

Kortisol adalah hormon penanda stres yang produksinya mengikuti irama sirkadian. Kortisol meningkat saat pagi hari dan menurun di malam hari. Namun dengan adanya perubahan fungsi sumbu hipotalamus hipofise adrenal berpengaruh terhadap produksi kortisol. Pada beberapa keadaan gangguan sumbu hipotalamus hipofise adrenal, produksi kortisol diurnal cenderung tidak mengalami peningkatan namun terjadi lonjakan kadar kortisol pada malam harinya, sedangkan pada deprivasi tidur juga terjadi perubahan kadar kortisol.

Kadar kortisol meningkat secara perlahan sepanjang paruh kedua tidur dengan

kenaikan tajam sebelum waktu bangun fisiologis.

(30)

18

Beberapa sitokin dihasilkan secara konsisten mengikuti irama diurnal dengan kadar puncak sepanjang malam terutama saat dini hari, saat dimana kadar kortisol berada dalam titik terendah dan melatonin dalam kadar tertinggi. Interleukin (IL)- 6 merupakan sitokin proinflamasi yang kadarnya meningkat pada orang-orang dengan kualitas tidur yang buruk. Kualitas tidur yang buruk dapat menyebabkan aktivitas inflamasi melalui reaktivasi stres. Gangguan fungsi sumbuhipotalamus hipofise menyebabkan peningkatan kadar IL-6. Deprivasi tidur yang terjadi selama 36 jam meningkatkan kadar IL-6. Peningkatan kadar sitokin ini diduga berhubungan dengan kondisi mengantuk dan kelelahan pasca-deprivasi tidur (Suliani dan Utami, 2016).

2.2.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi tidur a. Cahaya

Menurut Timby (2009), keadaan mengantuk dan tidur berhubungan dengan irama sirkandian dalam pengaturan siang dan malam. Keadaan terbangun berkaitan dengan cahaya matahari atau kondisi yang terang.

Menurut Djik (2009), cahaya yang mempengaruhi tidur dan aktivitas otak selama terbangun, sedangkan, irama sirkadian, dan homeostasis mempengaruhi regulasi tidur manusia.

Menurut Pengayoman (2008), cahaya mempengaruhi produksi melatonin.

Melatonin adalah hormon dalam setiap organisme dengan tingkat berbeda tergantung siklus hidup dan paparan cahaya. Melatonin dihasilkan oleh kelenjar pineal di otak manusia. Melatonin berperan besar dalam membantu kualitas tidur. Mengatasi penyimpangan-penyimpangan, depresi, dan system kekebalan yang rendah. Peneletian menunjukkan bahwa hormon ini membantu seseorang untuk tidur lebih nyenyak, mengurangi jumlah bangun mendadak di malam hari serta meningkatkan kualitas tidur (Indarwati, 2012 dalam Magfirah, 2016).

b. Aktivitas Fisik

Aktivitas dan latihan fisik dapat meningkatkan kelelahan dan kebutuhan

untuk tidur. Latihan fisik yang melelahkan sebelum tidur membuat tubuh

mendingin dan meningkatkan relaksasi. Individu yang mengalami

kelelahan menengah biasanya memperoleh tidur yang tenang terutama

setelah bekerja atau melakukan aktivitas yang menyenangkan (Potter dan

(31)

c. Lingkungan

Lingkungan tempat seseorang tidur berpengaruh terhadap kemampuan seseorang untuk tidur dan tetap tidur. Lingkungan yang tidak mendukung seperti terpapar banyak suara menyebabkan seseorang kesulitan untuk memulai tidur. Lingkungan yang tidak nyaman seperti lembab juga dapat mempengaruhi tidur (Potter & Perry, 2006 dalam Magfirah, 2016).

d. Umur

Menurut Pemi (2009), umur menjadi salah satu faktor mempengaruhi tidur dan kebutuhan tidur seseorang. Kebutuhan tidur berkurang dengan pertambahan usia. Kebutuhan tidur anak-anak berbeda dengan kebutuhan tidur dewasa. Kebutuhan tidur dewasa juga akan berbeda dengan kebutuhan lansia (Indarwati, 2012 dalam Magfirah, 2016).

e. Pola Tidur

Kebiasaan tidur pada siang hari mempengaruhi kualitas tidur seseorang di malam hari Pola-pola tidur siang berlebihan dapat mempengaruhi keterjagaan, kualitas tidur, penampilan kerja, kecelakaan saat mengemudi, dan masalah perilaku emosional (Potter & Perry, 2006 dalam Magfirah, 2016).

f. Stress Emosional

Kecemasan tentang masalah pribadi atau situasi dapat mengganggu tidur seseorang. Kecemasan menyebabkan seseorang menjadi terjaga. Keadaan terjaga terus menerus inilah yang dapat mengakibatkan gangguan tidur (Magfirah, 2016).

2.2.6 Cara pengukuran

Beberapa peneliti telah melakukan pengukuran kualitas tidur. Busyee et al.

(1989) melakukan pengukuran kualitas tidur dengan menggunakan instrumen

Pittsburgh Sleep Quality Index (PQSI). PQSI merupakan instrumen efektif yang

digunakan untuk mengukur kualitas tidur dan pola tidur. Instrumen PQSI dibuat

berdasarkan pengukuran pola tidur responden dengan rentang tidur satu bulan

terakhir.

(32)

20

Penilaian PQSI menjadi kualitas tidur baik dan buruk yang mencakup 7 ranah, yaitu kualitas tidur subjektif, latensi tidur, durasi tidur, efisiensi tidur, gangguan tidur, penggunaan obat tidur, dan disfungsi tidur di siang hari. Jawaban dari masingmasing soal memiliki skor 0-3 dan setiap jenis pertanyaan memiliki cara perhitungan berbeda-beda. Pada akhir penjumlahan skor dari seluruh pertanyaan dan hasilnya diklasifikasikan menjadi dua kategori. Jika skor akhir 5 dikategorikan ke dalam kualitas tidur buruk (Busyee et al.,1989).

2.2.7 Gangguan tidur a. Insomnia

Menurut DeWit (2009), Insomnia adalah gangguan tidur yang kesulitan untuk tidur atau mempertahankan tidur pada malam hari). Ini akan menjadi gangguan jangka pendek jika berakhir hanya dalam waktu beberapa malam, namun akan menjadi kronik jika sampai berbulan-bulan atau semakin lama.

Insomnia sementara dapat disebabkan oleh stress, perasaan yang terlalu gembira, atau perubahan pola tidur selama melakukan perjalanan. Pola tidur akan kembali normal ketika rutinitas kegiatan kembali seperti biasanya. Insomnia kronik mungkin disebabkan karena medikasi, perilaku atau masalah psikologi (Agustin, 2012 dalam Magfirah, 2016).

b. Hiperinsomnia

Menurut Harkreader et al (2007), hipersomnia kebalikan dari insomnia, yaitu terjadi kelebihan waktu tidur, terutama pada siang hari (Kozier, 2004 dalam Indarwati, 2012). Hipersomnia dapat disebabkan karena kondisi media, seperti adanya kerusakan pada sistem saraf pusat, gangguan metabolik (asidosis diabetik dan hipotiroidisme). Seseorang tertidur selama 8-12 jam dan mengalami kesulitan untuk bangun di pagi hari (kadang- kadang dikenal sebagai tidur dengan keadaan mabuk) (Agustin, 2012 dalam Magfirah, 2016).

c. Gangguan Irama Sirkadian

Menurut Craven dan Hirnle (2000), gangguan tidur irama sirkadian terjadi

karena tidak tepatnya jadwal tidur seseorang dengan pola normal tidur

sirkadiannya (Harkreader, Hogan, & Thobaben, 2007 dalam Agustin,

(33)

Seperti seseorang tidak dapat tidur ketika orang tersebut berharap untuk tidur, ingin tidur, ataupun pada saat membutuhkan tidur. Sebaliknya, seseorang mengantuk di saat waktu yang tidak diinginkan (Agustin, 2012 dalam Magfirah, 2016).

d. Sleep Apnea

Menurut SzentkiráLyi et al (2009), sleep apnea adalah kondisi dimana seseorang akan berhenti napasnya dalam periode singkat selama tidur. Ada tiga tipe sleep apnea: obstruktif, sentral dan mixedcomplex. Apnea obstruktif disebabkan oleh jaringan halus yang berelaksasi, dimana membuat sebagian sampai seluruhnya tersumbat di saluran napas. Sindrom sleep apnea obstruktif merupakan faktor resiko terjadinya hipertensi dan penyakit kardiovaskuler lainnya. SzentkiráLyi et al, berpendapat bahwa kondisi somatik lainnya seperti sindrom metabolik, diabetes dan penyakit ginjal kronik juga dikaitkan dengan sleep apnea obstruktif. Apnea sentral terjadi karena kegagalan otak untuk berkomunikasi dengan otot respiratori.

Apnea mixed-complex merupakan kombinasi dari apnea obstruktif dan apnea sentral (Agustin, 2012 dalam Magfirah, 2016).

e. Narkolepsi

Narkolepsi adalah disfungsi mekanisme yang mengatur keadaan bangun dan tidur (Potter and Perry, 2005 dalam Agustin, 2012). Narkolepsi terjadi secara tiba-tiba ketika seseorang sedang dalam keadaan terjaga, dapat terjadi secara berulang dan tidak terkontrol. Periode tidur singkat ini bisa terjadi setiap waktu dan durasinya dari beberapa detik sampai lebih dari 30 menit. Sebagai contoh, seseorang dapat jatuh tertidur saat sedang membaca buku, menonton televisi, maupun menyetir.

Narkolepsi terjadi pada wanita dan pria di berbagai usia, meskipun gejala ini dirasakan pertama kali pada saat remaja atau dewasa muda (Harkreader et al, 2007 dalam Agustin, 2012). Narkolepsi merupakan gangguan tidur yang dikarakteristikan oleh abnormalnya pengaturan tidur rapid eye movement (REM) (Agustin, 2012 dalam Magfirah, 2016).

f. Deprivasi Tidur

Deprivasi tidur meliputi kurangnya tidur pada waktu tertentu atau waktu

tidur yang kurang optimal. Deprivasi tidur dapat disebabkan oleh penyakit,

(34)

22

stress emosional, obat-obatan, gangguan lingkungan dan keanekaragaman waktu tidur yang 30 terkait dengan waktu kerja. Seseorang yang bekerja dengan jadwal kerja yang panjang dan rotasi jam kerja cenderung mengalami deprivasi tidur. Deprivasi tidur melibatkan penurunan kuantitas dan kualitas tidur serta ketidakkonsistenan waktu tidur. Apabila pola tidur mengalami gangguan maka terjadi perubahan siklus tidur normal. Deprivasi tidur mengakibatkan daya ingat yang melemah, sulit membuat keputusan dan gangguan emosional seperti respon interpersonal yang memburuk dan meningkatnya sikap agresif (Gryglewska, 2010).

g. Parasomnia

Menurut Potter and Perry (2006), parasomnia sebagai suatu aktivitas yang normal di saat seseorang terjaga tetapi akan menjadi abnormal jika aktivitas tersebut muncul di saat seseorang sedang tertidur. Masalah tidur ini lebih banyak terjadi pada anak-anak daripada orang dewasa, aktivitas tersebut meliputi somnambulisme (berjalan dalam tidur), terjaga malam, mimpi buruk, enuresis nocturnal (mengompol), dan menggeratakkan gigi.

(Indarwati, 2012 dalam Magfirah, 2016)

2.3 HUBUNGAN ANTARA POLA TIDUR DENGAN TEKANAN DARAH

Pola tidur menjadi salah satu faktor risiko dari kejadian hipertensi. Pola tidur yang tidak adekuat dan kualitas tidur yang buruk dapat mengakibatkan gangguan keseimbangan fisiologis dan psikologis dalam diri seseorang. Selain itu, durasi tidur pendek dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan hipertensi karena peningkatan tekanan darah 24 jam dan denyut jantung, peningkatan sistem saraf simpatik, dan peningkatan retensi garam. Selanjutnya akan menyebabkan adaptasi struktural sistem kardiovaskular sehingga tekanan darah menjadi tinggi.

Kondisi yang dialami oleh individu dapat mempengaruhi pola tidurnya, beberapa faktor yang mempengaruhi pola tidur yaitu stres, lingkungan fisik, diet, obat- obatan, latihan fisik, penyakit, dan gaya hidup.

Perubahan umur juga bisa berpengaruh terhadap pola tidur seseorang,

sebenarnya yang terjadi bukan perubahan jumlah total tidur, tetapi kualitas tidur

(35)

cenderung memendek. Selain itu, berdasarkan beberapa penelitian yang dilakukan pada orang dewasa, kurang tidur sebagai salah satu faktor risiko dari hipertensi berupa waktu tidur yang lebih singkat dapat menyebabkan gangguan metabolisme dan endokrin yang dapat menyebabkan gangguan kardiovaskular.

Tidur gelombang lambat yaitu kondisi tidur nyenyak (stadium 3 dan 4 atau N3 tidur) yang juga sering disebut “deep sleep” yang ditandai dengan “vagal tone”

yaitu aktivitas pada saraf parasimpatik meningkat dan “sympathetic vagal”

berkurang yaitu penurunan aktivitas pada saraf simpatik, dan akibatnya terjadi penurunan denyut jantung dan tekanan darah. Selain itu, penekanan tidur tidur nyenyak pada manusia memberikan dukungan untuk peran tidur nyenyak di homeostasis glukosa dan fluktuasi nokturnal tekanan darah. Hal tersebut menunjukkan proporsi tidur nyenyak yang rendah dikaitkan dengan kemungkinan kejadian hipertensi.

Hubungan antara tidur dengan hipertensi terjadi akibat aktivitas simpatik pada pembuluh darah sehingga seseorang akan mengalami perubahan curah jantung yang tidak signifikan pada malam hari. Penurunan pada resistansi pembuluh darah perifer menyebabkan penurunan nokturnal normal pada tekanan arteri. Aktivitas saraf simpati saat tidur meningkat secara signifikan dan sangat bervariasi selama REM dibandingkan dengan waktu bangun tidur. Tekanan darah mendekati tingkat terjaga selama komponen pada tahap REM terlewati, dan sensitivitas baru meningkat selama tidur. Namun, kondisi demikian lebih efektif untuk meningkatkan penjagaan pada tekanan darah selama episode REM terjadi pada akhir periode tidur dari pada malam sebelumnya.

Hal ini berkaitan dengan pola tidur. Tidur yang tidak normal terlibat dalam

patogenensis prehypertension non dipping dan kemudian pada gangguan

hipertensi pada kualitas tidur menyebabkan hipertensi. Beberapa penelitian yang

telah dilakukan ada yang bersifat subjektif maupun objektif, tetapi keduanya

memberikan hasil positif bahwa terdapat hubungan antara pola tidur dan risiko

hipertensi (Martini dkk, 2018).

(36)

24

2.4 KERANGKA TEORI

Gambar 2.3 Menunjukkan kerangka konsep penelitian.

TIDUR

Gangguan Tidur

Faktor Eksternal : Lingkungan Cahaya

Faktor Internal:

Stress Pola tidur Irama sirkadian tidak

teratur

Peningkatan Tekanan Darah

HIPERTENSI

Hal-hal yang mempengaruhi tekanan darah :

- Merokok,

- Konsumsi garam berlebihan, - Konsumsi lemak jenuh

berlebihan,

- Kebiasaan konsumsi minuman beralkohol,

- Obesitas,

- Kurang aktifitas fisik, - Stres.

(37)

2.5 KERANGKA KONSEP

Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran tentang bagaimana hubungan antara pola tidur dan tekanan darah pada mahasiswa kedokteran USU pada tahun 2020.

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 2.4 Menunjukkan kerangka konsep penelitian

POLA TIDUR TEKANAN DARAH

(38)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 RANCANGAN PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan studi penelitian analitik observasional dengan desain penelitian cross sectional study (studi potong lintang), dimana penelitian akan menggambarkan hubungan antara pola tidur dengan tekanan darah pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

3.2 LOKASI DAN SUBJEK PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di bulan Juli sampai November 2020 pada mahasiswa FK USU. Populasi penelitian ini adalah seluruh mahasiswa FK USU yang aktif menjalani reguler perkuliahan. Subjek penelitian ini adalah mahasiswa dari stambuk 2017, 2018, 2019. Teknik pengambilan sampel yang telah digunakan adalah teknik concecutive sampling, dimana sampel akan diambil sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan oleh peneliti (Kananda, 2019).

Dengan menggunakan rumus korelasi untuk menentukan besar sampel.

Jumlah sampel didapatkan sebanyak 88 orang sebagai subjek penelitian lewat perhitungan sampel, yakni;

N 1 + Nℯ

2

763

1 + 763 (0.10

2

)

= 88,41 orang atau 88 orang Keterangan:

n = Jumlah sampel N = Jumlah Populasi

ℯ = Batas toleransi kesalahan (error) (Masturah, I., T Nauri, A., 2018).

n =

(39)

3.3 KRITERIA INKLUSI DAN EKSKLUSI 3.3.1 Kriteria Inklusi

1. Mahasiswa preklinik FK USU angkatan 2017,2018 dan 2019.

2. Bersedia menjadi subjek penelitian dengan menandatangani lembar persetujuan setelah penjelasan (informed consent).

3.3.2 Kriteria Eksklusi 1. Mahasiswa sakit.

2. Mahasiswa dengan penyakit kardiovaskular dan penyakit ginjal.

3. Mahasiswa yang konsumsi obat anti hipertensi.

4. Mahasiswa dengan kebiasaan minum kopi dan alkohol (setiap hari).

5. Peserta mengundurkan diri.

3.4 ALAT PENGUMPULAN DATA

Kuesioner Pitsburg Sleep Quality Index (PSQI) dan sphygmomanometer air raksa merupakan alat yang digunakan untuk mengumpulkan data mahasiswa. Kuesioner digunakan untuk menilai pola tidur mahasiswa,

3.5 TEKNIK PENGUMPULAN DATA

Data kualitas tidur pada mahasiswa diperoleh secara langsung oleh peneliti melalui lembar kuesioner (PSQI) untuk penilaian. Sedangkan penilaian tentang tekanan darah diukur dengan menggunakan sphygmomanometer air raksa dan stetoskop pada mahasiswa. Tata cara pemeriksaan darah dilakukan sebelum responden mengisi kuesioner dan tekanan darah diukur sebanyak satu kali.

3.6 METODE PENGOLAHAN DAN ANALISIS DATA 3.6.1 Pengolahan Data

Data yang terkumpul dilakukan editing, coding, entry data, cleaning dan saving

ke dalam komputer. Pengolahan, analisis, serta penyajian data dengan menggunakan

program komputer SPSS (Statistical Product and Service Solution). Metode yang

dilakukan adalah dengan menggunakan metode chi-square.

(40)

28

3.6.2 Analisi Bivariat

Analisis bivariat adalah analisis yang digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat dengan menggunakan uji statistik uji chi square.

3.7 DEFENISI OPERASIONAL 3.7.1 Pola Tidur

a. Definisi Operasional : Terganggunya Ritme jadwal tidur dan bangun seseorang dalam jangka waktu tertentu sesuai aktivitas. Perubahan pola tidur ini dilihat dari segi kualitas dan kuantitas tidur. Kualitas tidur adalah nyenyak atau tidaknya tidur seseorang.

Kuantitas tidur adalah lamanya seseorang tidur selama 24 jam.

b. Alat ukur : Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI)

c. Cara ukur : Subjek diminta mengisi kuisioner berisi 18 pertanyaan yang dikelompokkan kedalam 7 komponen pertanyaan.

d. Hasil pengukuran : Setiap jawaban dari 7 komponen pertanyaan kuisioner nantinya akan diinterpretasikan ke dalam skala jawaban 0-3 lalu dijumlahkan.

Total skor jawaban akan mengindikasikan kualitas tidur seseorang.

 Total skor ≤5 mengindikasikan pola tidur baik.

 Total skor >5 mengindikasikan pola tidur buruk

e. Skala Pengukuran : Ordinal

(41)

3.7.2 Tekanan Darah

a. Definisi Operasional : Nilai tekanan darah pada mahasiswa fakultas kedokteran Universitas Sumatera utara, dilakukan pada posisi duduk

b. Alat ukur : Stetoskop dan sphygmomanometer

c. Cara ukur : Menggunakan stetoskop dan sphygmoma nometer, pasang manset di lengan atas dengan pusat inflatable bag diatas arteri brakhialis, Selanjutnya stetoskop (bagian bell) diletakkan di atas arteri brakhialis, manset di pompa kembali sampai ± 30 mmHg di atas harga palpasi tekanan darah sistolik, manset dikendurkan pelan-pelan (kecepatan 2-3 mmHg/detik), tentukan tekanan darah sistolik (mulai terdengar suara) dan tekanan darah diastolik atau tekanan darah diastolik (suara mulai menghilang).

d. Hasil pengukuran : Nilai tekanan darah sistolik dan diastolik

e. Skala Pengukuran : Rasio

(42)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif dengan menggunakan desain cross-sectional. Penelitian ini dilakukan dari bulan Juli hingga November 2019 secara Online. Populasi yang terpilih adalah mahasiswa FK USU yaitu stambuk 2017, 2018, 2019. Pada penelitian ini sebanyak 88 mahasiswa telah terpilih untuk menjadi responden setelah dipastikan bahwa mereka memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang ditetapkan. Data dimana sampel akan diambil sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan oleh peneliti. Seterusnya, pengambilan data tekanan darah dan kualitas tidur dilakukan secara online. Hasil penelitian ini sebagai berikut;

4.1 ANALIS UNIVARIAT

Analisis univariat digunakan untuk mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian. Hasil analisis univariat pada penelitian ini mendeskripsikan tentang gambaran karakteristik responden yang meliputi umur, jenis kelamin, kategori mahasiswa, kualitas tidur, tekanan darah sistolik dan diastolik.

a. Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin mahasiswa.

Tabel 4.1: Menunjukkan karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin mahasiswa Jenis Kelamin Frekuensi Persentase (100%)

Laki-laki 36 40,9

Perempuan 52 59,1

Total 88 100

Tabel 4.1 menunjukkan bahwa mayoritas responden pada penelitian ini berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 52 orang atau 59,1 %, manakala responden lakilaki adalah sebanyak 36 orang atau 40,9 %

b. Karakteristik responden berdasarkan stambuk.

Tabel 4.2: Menunjukkan karakteristik responden berdasarkan stambuk mahasiswa Stambuk Frekuensi Persentase (100%)

2017 47 53,4

2018 25 28,4

2019 16 18,2

(43)

Tabel 4.2 menunjukkan bahwa stambuk 2017 sebanyak 47 orang atau 53,4 % dimana responden dengan usia maksimum 21 tahun, stambuk 2018 sebanyak 25 orang atau 28,4 % dimana responden dengan usia maksimum 20 tahun, selain itu, stambuk 2019 sebanyak 16 orang atau 18,2 % dimana responden dengan usia maksimum 19 tahun.

c. Distribusi responden berdasarkan pola tidur

Tabel 4.3: Menunjukkan distribusi responden berdasarkan pola tidur Pola Tidur

(kategori)

Pola Tidur

(Skor) Frekuensi Persentase (100%)

Baik ≤ 5 9 10,2

Buruk > 5 79 89,8

Total 88 100

Pada tabel 4.3 dapat dilihat, bahwa dalam penelitian ini didapatkan responden dengan pola tidur yang baik atau nilai skor ≤5 adalah sebanyak 9 orang atau 10,2 %. Didapatkan, 79 orang responden atau 89,8 % mengalami pola tidur yang buruk atau dengan nilai skor >5.

d. Distribusi responden berdasarkan tekanan darah sistolik

Tabel 4.4: Menunjukkan distribusi responden berdasarkan tekanan darah sistolik Tekanan darah

sistolik (mmHg)

Tekanan darah

sistolik (kategori) Frekuensi Persentase (100%)

< 120 Normal 35 39,8

120-139 Pre-Hipertensi 51 58,0

140-159 Hipertensi 2 2,3

Total 88 100

Berdasarkan tabel 4.4, mayoritas responden mahasiswa FK USU, mengalami

peningkatan pada tekanan darah sistol dengan kategori pre-hipertensi yaitu

sebanyak 51 orang atau 58,0 % dan sebagian, memiliki tekanan darah normal

yaitu sebanyak 35 orang atau 39,8 % dan sebagian kecil, yang memiliki tekanan

darah hipertensi yaitu sebanyak 2 orang atau 2,3 %.

Gambar

Gambar 2.1.7. Algoritma pengobatan hipertensi menurut guidelline JNC7
Gambar 2.3 Menunjukkan kerangka konsep penelitian.

Referensi

Dokumen terkait

Jadi, dapat disimpulkan bahwa hipertensi adalah peningkatan tekanan darah yang menetap dengan kriteria tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan/atau tekanan darah

Distribusi sebaran data tekanan darah perempuan premenopause memiliki nilai rata-rata sistolik 129,0 mmHg dan diastolik 82,8 mmHg, sedangkan nilai median sistolik 130,0

Hipertensi sendiri adalah penyakit yang terjadi akibat peningkatan tekanan darah,. dimana tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan diastolik

peningkatan tekanan darah yang abnormal dengan sistolik lebih dari 140 mmHg dan.. diastolik lebih dari

dengan teori (Prawihardjo, 2012) bahwa hipertensi kronik adalah tekanan darah sistolik &gt;140 mmHg atau tekanan darah diastolik &gt;90 mmHg yang timbul sebelum

Hipertensi merupakan kondisi dimana tekanan darah sistolik sama atau lebih tinggi dari 140 mmHg dan tekanan diastolik lebih tinggi dari 90 mmHg, yang terjadi

Peningkatan tekanan sistolik sebesar 30 mmHg dan diastolik 15 mmHg selama kehamilan, walaupun tekanan darah &lt; 140/90 mmHg, dahulu pernah menjadi salah satu kriteria

Pengertian Hipertensi Tekanan darah tinggi atau dikenal dengan istilah hipertensi didefinisikan sebagai elevasi persistem dari tekanan darah sistolik TDS pada level 140 mmHg atau lebih