8 BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Penelitian Terdahulu
Ada beberapa hasil penelitian, pertama skripsi yang ditulis Nanang Setiawam (2013) dalam skripsinya yang berjudul Rehabilitasi Pekerja Seks Komersial Melalui Pelatihan Keterampilan di Lokalisasi Sunan Kuning Semarang, menurutnya Rehabilitasi sangat diperlukan dalam menanggulangi masalah para pekerja seks komersial, agar pekerja seks komersial dapat berkarya sesuai dengan harkat dan martabat wanita dan menjadi anggota masyarakat secara normatif, dengan ini diharapkan agar benar-benar dapat berkarya dari segi fisik, mental, dan sosial serta mempunyai bekal keterampilan, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya dengan baik. Selain tujuan tersebut ada beberapa tujuan salah satunya yaitu “tujuan Lokalisasi Sunan Kuning Kota Semarang mengadakan rehabilitasi kepada pekerja seks komersial adalah untuk memberikan berbagai pembinaan kepada anak-anak agar tidak selamanya menjalankan profesi yang dipandang menyimpang oleh masyarakat dan pembinaan dimaksudkan agar anak-anak mempunyai keterampilan yang kelak bisa digunakan untuk membiayai kebutuhannya, di samping itu tujuan dari Resosialisasi Argorejo adalah mengurangi penyakit IMS (Infeksi menular Seks) dan HIV/AIDS yang banyak terjangkit pada para pekerja seks komersial dan memberikan keterampilan kepada pekerja seks komersial sehingga dapat hidup mandiri serta dapat memulihkan harga diri dalam melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar di masyarakat, menciptakan jaringan kerja dengan instansi atau lembaga dan dunia usaha"
9 Kedua, jurnal yang di tulis Devi Agwin Puteri (2016) dalam jurnal nya yang berjudul Upaya Membangun Konsep Diri Pada Eks Pekerja Seks Komersial berpendapat bahwa banyak pandangan yang diberikan masyarakat terhadap para pekerja seks komersial. Sebagian besar merupakan pandangan yang negatif yang menolak keberadaan pekerja seks komersial dan berusaha untuk menghindari adanya fasilitas-fasilitas yang dapat mendukung keberadaan mereka, seperti penolakan terhadap gagasan pendirian lokalisasi di beberapa tempat. Pihak yang menolak keberadaan pekerja seks ini menganggap pekerjaan sebagai pekerja seks sebagai pekerjaan maksiat dan pekerjaan yang paling nista. Mereka memandang pekerja seks komersial sebagai biang dari penyakit, baik penyakit kelamin maupun penyakit sosial. Masyarakat cenderung menjauhi dan mengucilkan para PSK dari pergaulan di lingkungan mereka. Penangkapan atau razia yang dilakukan pemerintah saat PSK beraktivitas sebagai pelacur, membuat terjadinya perubahan psikologis terutama ketika menjalani pembinaan di balai rehabilitasi selama 3-6 bulan bulan pasca penangkapan atau razia. PSK menjadi orang yang berbeda dari sebelumnya dan mungkin mempunyai konsep diri yang baru. Tragedi penangkapan yang membawanya ke tempat rehabilitasi membawa seorang pelacur atau PSK mengalami perubahan dunia sosial dan kesadaran yang baru yang berbeda ketika sebelum berada dalam balai rehabilitasi. Perubahan tersebut membuat PSK melakukan introspeksi terhadap dirinya, sehingga mereka mempunyai konsep diri yang baru.
Ketiga, skripsi yang di tulis Muttaqin, M. (2010), Pola Penanganan Wanita Tuna Susila Oleh UPT Rehabilitasi Tuna Susila di Kediri (Doctoral dissertation, UIN Sunan Ampel Surabaya). Dari hasil penelitian nya ingin mengusulkan
10 bimbingan atau pelatihan wirausaha yang diharapkan dari pelatihan tersebut nantinya para klien setelah keluar dari panti rehabilitas sosial bisa bisa mengelolah usahanya sendiri, hal ini didasarkan dari hasil wawancara dengan beberapa klien bahwa mereka di samping keinginan untuk berumah tangga lagi mereka juga ingin punya usaha sendiri. Di samping itu juga harus adanya bentuk bantuan stimulan yang berupa finansial dari dinas kesejahteraan sosial atau pemerintah, sehingga bisa di jadikan modal untuk membuka usaha, karena selama ini bentuk bantuan stimulan yang diberikan kepada para wanita tuna susilahanya berupa alat-alat ketrampilan seperti mesin jahit, peralatan salon, dan alat-alat keterampilan lainnya. Pemerintah atau dinas kesejahteraan sosial untuk menangani permasalahan tidak hanya selasai dengan memberikan bantuan berupa finansial saja, dalam hal ini penulis juga mengusulkan untuk mengoptimalkan bantuan berupa finansial tersebut agar benar- benar digunakan untuk modal membuka usaha baru, maka perlu di bentuk sebuah badan yang khusus untuk memantau atau mengontrol kegiatan wanita tuna susila yang sudah menerima bantuan finansial tersebut agar di gunakan sesuai dengan yang diharapkan, di samping itu juga harus ada tindakan yang tegas dari pemerintah berupa sangsi pidana atau sangsi-sangsi yang lain bagi para wanita tuna susila yang tidak sungguh-sungguh dalam mengunakan bantuan yang sudah di berikan pemerintah.
Keempat, dalam jurnal yang di tulis Uun Machsunah, Abu Bakar S, Ida Ri’aeni (2017) dalam jurnal penelitian nya yang berjudul Persepsi Dan Motif Pekerja Sosial Terhadap Program Pemberdayaan Perempuan PSK berpendapat bahwa penanganan permasalahan kesejahteraan sosial, khususnya penanganan masalah sosial wanita tuna susila tingkat kesulitannya semakin rumit. Hal ini
11 berkaitan dengan makin meningkatnya jumlah penyandang masalah tuna susila dan kompleknya aspek penyebab seseorang melakukan penyimpangan perilaku ketuna susilaan, seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan pembangunan khususnya di bidang industri serta IPTEK. Berdasarkan data Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat, Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS), tuna susila di Jawa Barat pada tahun 2009 tercatat 7.726 orang. Jumlah tersebut belum termasuk mereka yang melakukan praktek / perilaku yang menunjukkan ketuna susilaan secara terselubung. Sementara target pelayanan rehabilitasi tuna susila di Jawa Barat hanya sebanyak 220 orang untuk Balai Rehabilitasi Sosial Karya Wanita Cirebon dan 120 orang untuk Unit Rumah Rehabilitasi Sosial Karya Wanita Cibadak Sukabumi. Hasil penelitian didapatkan, bahwa persepsi pekerja sosial tentang program pemberdayaan sosial, adalah: (1) Program pembinaan fisik, mental, sosial, ketrampilan terhadap siswa/klien di pusat rehabilitasi adalah program yang membina seluruh aspek kebutuhan klien. Keseluruhan prog ram ini dianggap peksos sebagai program terbaik dengan kurikulum yang ideal. (2) Pekerja sosial memandang menjadi PSK adalah pilihan karena desakan ekonomi dan beragam alasan lain, karenanya peksos menyadari perlu memiliki empati tinggi dalam menjalani pekerjaan di pusat rehabilitasi. (3) Kendala dalam menjalankan program rehabilitasi siswa meliputi aspek internal dan eksternal klien, kondisi psikologis dari klien, penyakit yang diderita klien 29 Persepsi & Motif Pekerja Sosial Terhadap Program Pemberdayaan perempuan PSK karena menjalani kehidupan sebagai PSK, adanya keluarga dan aparat yang tidak mendukung berlangsungnya program rehabilitasi. Peksos pun menyadari pelayanan yang diberikan tidak selalu bisa memenuhi kebutuhan ideal klien. (4) Adanya bantuan fasilitas dasar setelah
12 siswa menjalani masa 3 bulan rehabilitasi, namun untuk monitoring dan evaluasi program tidak lagi menjadi tanggung jawab BRSKW melainkan dinas sosial terdekat dengan tempat tinggal klien. Identitas klien dirahasiakan agar bisa menjalani kembali kehidupan sosial yang normal.
Kelima, dalam jurnal yang di tulis oleh Hendra Setya Kurniawan, (2014) dalam skripsi nya yang berjudul Peran Balai Rehabilitasi Sosial Dalam Pembinaan Mental Dan Pelatihan Keterampilan Kerja Perempuan Mantan Pekerja Seks Komersial (Studi kasus di balai rehabilitasi sosial wanita utama surakarta) berpendapat bahwa Bimbingan mental dan pelatihan kerja yang dilakukan oleh Balai Rehabilitasi Sosial ”Wanita Utama” Surakarta sangat penting keberadaanya karena sebenarnya akar dari segala permasalahan pekerja seks komersial yaitu buruknya mental mereka dan juga lemahnya keterampilan yang dikuasai oleh para mantan pekerja seks komersial. Mental yang buruk sehingga mereka mudah sekali untuk terjun ke dunia prostitusi dengan perasaan tidak bersalah, sehingga menghalalkan segala cara untuk memperoleh uang dengan cara menjual diri mereka kepada laki-laki hidung belang. Lemahnya keterampilan dikuasai yang menyebabkan mereka mudah terpengaruh untuk bekerja ke tempat yang menurut mereka mudah dilakukan dan mendapatkan hasil yang instant. Mengingat hal tersebut pembinaan mental dan pelatihan keterampilan sangat penting peranannya dalam upaya pengentasan masalah pekerja seks komersial. Dalam hal pembinaan mental materi yang diberikan meliputi: pembinaan Agama Islam dan Kristen (kelompok/perorangan), bimbingan mental (kelompok/perorangan), budi pekerti (kelompok/perorangan), pembinaan karakter, dan ESQ. sedangkan dalam hal pembinaan keterampilan kerja di juruskan dalam tiga bidang keterampilan yaitu
13 keterampilan memasak/boga, jahit/tata busana, dan salon. Mengingat hal tersebut pembinaan mental dan pelatihan keterampilan sangat penting peranannya dalam upaya pengentasan masalah pekerja seks komersial karena mental yang buruk dididik menjadi baik sehingga tidak akan kembali bekerja sebagai PSK, dan pemberian bekal keterampilan yang dapat mereka gunakan dalam hal bekerja dan hidup secara normatif di masyarakat.
Hasil dari penelitian di atas , memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian yang akan di teliti. Persamaan lima penelitian ini dengan yang di lakukan oleh peneliti yaitu sama-sama melakukan penelitian yang berkaitan dengan wanita pekerja seks.
Sedangkan perbedaannya yaitu :
1. Pertama yang di lakukan oleh Nanang Setiawan terfokus kepada melakukan rehabilitasi WPS melalui keterampilan kerja di tempat lokalisasi.
2. Lalu penelitian yang kedua dari Devi Agwin Putri terfokus kepada psikologis WPS bagaimana cara agar membangun konsep diri pada eks WPS.
3. Penelitian yang ketiga dari Mutaqqin terfokus kepada pola penanganan WPS oleh UPT.
4. Penelitian yang keempat dari Uun Machsunah, Abu Bakar S, Ida Ri’aeni terfokus kepada persepsi WPS terhadap program pemberdayaan yang dilakukan oleh peksos
5. Penelitian yang terakhir dari Hendra Setya Kurniawan, Ngabiyanto, Eko Handoyo yaitu fokus kepada pembinaan mental dan pelatihan kerja WPS.
14 Sedangkan penelitian ini fokus kepada peran UPT terhadap WPS dan juga efektivitas dan tingkat keberhasilan UPT dalam meningkatkan kemampuan sosial dan ekonomi para warga binaan.
B. Peranan
1. Pengertian Peranan
Menurut pendapat dari Soerjono Soekanto (2002:243), yaitu peran merupakan aspek berfungsinya status, bilamana seseorang melakukan hak dan kewajibannya sesuai dengan statusnya, jadi ia akan menjalankan suatu peranan.
Maksud dari pengertian menurut ahli tersebut yaitu apabila seseorang melakukan hak dan kewajiban nya sesuai dengan kedudukan nya maka secara tidak langsung dia menjalankan fungsinya.
Sedangkan peran yang ideal ialah, sebagai peran yang diharapkan dilakukan oleh pemegang peranan tersebut. Misalnya UPT Rehabilitasi Sosial Bina Karya Wanita Kediri sebagai suatu lembaga pelayanan sosial diharapkan dapat berfungsi dalam kegiatan pelayanan sosial, pengembangan, penyaluran dan pembinaan lanjut berbasis praktek pekerjaan sosial yang mempunyai tujuan akhir kesejahteraan masyarakat, artinya peranan yang nyata. Peran sejatinya ialah merupakan bagian yang tetap dari status yang dimiliki oleh seseorang, sedangkan status ialah sekumpulan hak dan kewajiban yang dimiliki seseorang apabila seseorang melakukan hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebanding dengan statusnya, maka ia menjalankan suatu fungsi. Pada dasarnya peran juga dapat di simpulkan sebagai suatu hubungan perilaku tertentu yang ditimbulkan oleh suatu kedudukan tertentu. Perilaku seseorang juga dapat mempengaruhi bagaimana
15 peran itu harus dijalankan. Peran yang dimainkan pada dasarnya tidak ada perbedaan, baik yang dimainkan /diperankan pimpinan tingkat atas, menengah maupun bawah akan mempunyai peran yang sama. Peran adalah tindakan atau perilaku yang dilakukan oleh seseorang yang menduduki suatu tempat di dalam status sosial. Peran merupakan suatu norma yang di kaitkan dengan kedudukan atau tempat seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini adalah rentetan kaidah-kaidah yang dapat membimbing seseorang dalam kehidupan bermasyarakat.
Peran adalah suatu konsep perilaku apa yang dapat dilaksanakan oleh individu-individu dalam masyarakat sebagai organisasi. Peran juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu, yang sangat penting bagi struktur sosial masyarakat.
Peran adalah suatu rangkaian yang teratur yang ditimbulkan karena suatu jabatan. Manusia sebagai makhluk sosial memiliki kecenderungan untuk hidup berkelompok. Dalam menjalin kehidupan berkelompok tadi akan terjadi interaksi antara anggota masyarakat yang satu dengan anggota masyarakat yang lainnya.
Tumbuhnya interaksi di antara mereka ada saling ketergantungan. Dalam kehidupan bermasyarakat itu kemudian muncul apa yang dinamakan peran.
Peran merupakan aspek yang dinamis dari kedudukan seseorang, apabila seseorang melaksanakan hak-hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka orang yang bersangkutan menjalankan suatu peranan. Untuk memberikan pemahaman yang lebih jelas ada baiknya terlebih dahulu kita pahami tentang pengertian peran, (Miftah Thoha, 1997).
Menurut Miftachul Huda (2009:205). Dalam proses konseling individual, Pekerja Sosial dapat menjalankan peran sebagai enabler (membantu orang agar
16 mampu), Broker (pialang sosial),pengacara, pendidik, memberdayakan, aktifis, dan sebagainya.
a. Enabler
Dalam peran ini, pekerja sosial membantu klien untuk memenuhi kebutuhanya mengidentifikasi masalah,mengeksplorasi solusi-solusi yang strategis, memilih dan menerapkan strategi, dan mengembangkan kapasitasnya sehingga masalahanya dapat teratasi secara efektif. Pekerja sosial hanya berperan memuluskan proses penyelesaian masalah, sebab prinsipnya, yang menyelesaikan masalah adalah klien sendiri, pekerja sosial hanya berperan membantunya untuk menyelesaikan masalah.
b. Broker
Tidak semua orang memiliki hubungan yang baik dengan sumber-sumber pelayanan sosial. Baik karena pengetahuanya yang minim maupun keahlianya yang terbatas. Pekerja sosial dapat berperan sebagai broker (pialang sosial) yang menghubungkan seseorang (klien) dengan system sumber yang dibutuhkan. Hal ini perlu silakukan karena tidak semua klien mengetahui kesumber pelayanan sosial mana dia harus pergi utnuk memenuhi kebutuhanya.
c. Advokat
Peran peran ini dipinjam dari dalam dunia hukum. Hak- hak klien sebagai warga Negara acap kali terabaikan karena faktor-faktor tertentu. Sebagaimana halnya pengacara (advocate), pekerja social dapat berperan membela kepentingan klien agar hak-hak yang semestinya diperoleh dapat terpenuhi.
d. Pendidik
Salah satu masalah yang sering di hadapi klien adalah adanya keterbatasan pengetahuan maupun skill dalam bidang tertentu yang mengakibatkan klien berada
17 dalam status kelompok masyarakat yang kurang beruntung (disadvantage group).
Pekerja sosial dapat berperan sebagai pendidikuntuk menutupi kekurangan klien dalam hal pengetahuan ataupun keterampilanya. Pekerja sosial bertindak sebagai pendidik sehingga dapat meningkakan keberfungsian sosial klien.
e. Memberdayakan
Adanya kekuatan maupun potensi pada diri klien menjadi prinsip utama dalam proses penyembuhan sosial. karena itu, pekerja sosial dapat berperan untuk memberdayakan klien terhadap potensi maupun kekuatan yang dimilikinya. Proses penyelesaian masalah terhadap individu tidak selalu melibatkan pekerja sosial, tetapi lebih banyak diperankan dirinya sendiri. Karena itu, pekerja sosial harus memberdayakan klien agar dapat menyelesaikan masalah sendiri secara berkelanjutan (sustainable).
f. Aktifis
Aktifis seringkali peran menjadi aktifis dapat dilakukan oleh pekerja sosial.
Jadi pada dasarnya aktifis pergerakan sosial adalah seseorang pekerja sosial yang bekerja untuk menjunjung tinggi keadilan sosial ataupun persamaan hak adalah bagian dari profesi pekerjaan sosial
Dari beberapa pengertian di atas, penulis menyimpulkan bahwa peran adalah suatu sikap atau perilaku yang diharapkan oleh banyak orang atau sekelompok orang terhadap seseorang yang memiliki status atau kedudukan
18 tertentu. Berdasarkan hal-hal di atas dapat di simpulkan bahwa apabila di kaitkan dengan UPT Rehabilitasi Sosial Bina Karya Wanita Kediri maka peran tidak selalu sebagai hak dan kewajiban individu, melainkan tugas dan kuasa dari UPT.
C. Konsep Wanita Pekerja Seksual, Rehabilitasi Sosial, dan Pelayanan Sosial 1. Pengertian Wanita Pekerja Seksual
Pelacuran atau prostitusi merupakan salah satu bentuk penyakit masyarakat yang harus di hentikan penyebarannya, karena perbuatan yang sangat hina dan bisa mengundang berbagai macam penyakit kelamin. Mudji Sutrisno (2005:341) mengatakan bahwa, pelacuran berasal dari bahasa latin pro-situere atau pro-stauree, yang membuat diri berbuat zina, melakukan persundalan, pencabulan. Sedangkan prositue ialah pelacuran (lacur) atau sundal. Menurut pendapat (Kartini Kartono, 2011:207) di kenal pula dengan istilah wanita tuna susila (WTS) atau pekerja seks komersial.
Pelacuran merupakan pekerjaan yang sangat lama usianya, selama usia kehidupan manusia itu sendiri (Kartini Kartono, 2011:208). Hampir semua negara di dunia pelacuran itu sangat di larang keberadaannya bahkan siapa saja yang oknum maupun berkelompok melanggar akan di kenakan hukuman dari pemerintah di negara tersebut, dan juga sebagian besar masyarakat menganggap perbuatan tersebut sangatlah hina. Pelacuran sangatlah susah untuk di musnahkan dari muka bumi ini, selama masih ada transaksi antara pengguna dan penyedia jasa. Sehingga menimbulkan masalah pelacuran sebagai patologis yaitu sejak adanya penataan relasi seks dan di berlakukannya norma-norma perkawinan (Kartini Kartono, 2011:208).
19 Menurut Perkins dan Bennet dalam Koendjoro (2004: 30) , mendefinisikan bahwa pelacuran ialah transaksi bisnis yang disetujui oleh kedua belah pihak yang terlibat sebagai sesuatu yang bersifat kontrak jangka pendek yang memungkinkan satu orang atau lebih untuk mendapatkan kepuasan seks dengan metode yang beraneka ragam.
Lalu menurut Kartini Kartono (2011:216) dalam bukunya patologi sosial bahwa pekerja seks komersial merupakan peristiwa penjualan diri baik perempuan maupun laki-laki dengan jalan memperjualbelikan badan, kehormatan dan kepribadian kepada banyak orang untuk memuaskan nafsu-nafsu seks dengan imbalan pembayaran. Dari definisi tersebut ialah yang di maksud dengan pekerjaan seks komersial merupakan sebuah peristiwa antara lebih satu orang yang menyepakati suatu transaksi antara wanita tuna susila dengan pengguna jasa wanita tersebut. Dalam melakukan hal ini antara kedua belah pihak saling mendapatkan keuntungan, pekerja seks komersial mendapatkan keuntungan secara materi dam pengguna jasa mendapatkan keuntungan secara biologis, dari melalui hubungan seks yang mereka lakukan.
Lebih lanjut Helen Buckingham dalam buku yang di terjemahkan oleh Sutrisno (2005:343), mengatakan bahwa wanita menghargai dirinya sendiri dan menolong sendiri dengan bekerja untuk dirinya sendiri, nampak pada profesinya sebagai pelacur. Sebagai pelacur merupakan tempat untuk pertama kalinya seorang perempuan memperoleh penghasilan yang modalnya adalah tubuhnya sendiri, menjual dirinya dalam kedudukan ekonomi yang sulit.
Dari pendapat-pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa pelacuran merupakan pekerjaan yang sangat sulit dihilangkan dari muka bumi ini selama
20 masih ada transaksi antara kedua belah pihak dan juga pelacuran merupakan sebuah usaha memperjualbelikan kegiatan seks antara kedua belah pihak di luar nikah dengan imbalan barang maupun materi, sedangkan pelacur ialah dapat diartikan sebagai wanita atau pria yang melakukan kegiatan seks di luar nikah dengan imbalan barang maupun materi.
2. Pengertian Rehabilitasi sosial
Rehabilitasi ialah pengembalian kemampuan yang dimilikinya seperti sedia kala.
Oleh karena sesuatu hal banyak orang yang harus kehilangan kemampuannya. Jadi keahlian yang hilang inilah harus di kembalikan , supaya kondisinya kembali seperti semula sebelum musibah itu terjadi (Tarmansyah 2003:21).
Pengertian tersebut dapat di jelaskan bahwa rehabilitasi sosial merupakan proses untuk memulihkan atau mengembalikan kondisi penyandang masalah tersebut melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dan dapat diterima dalam keluarga/masyarakat dan lingkungan sosialnya.
Rehabilitasi Sosial dapat dilihat dari rumusan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2009 Pasal 7 ayat 2 menjelaskan tentang rehabilitasi sosial :
1) Rehabilitasi sosial dimaksudkan untuk memulihkan dan mengembangkan kemampuan seseorang yang mengalami disfungsi sosial agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar.
2) Rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan secara persuasif, motivatif, koersif, baik dalam keluarga, masyarakat maupun panti sosial.
21 3) Rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan
dalam bentuk:
a) Motivasi dan diagnosis psikososial;
b) Perawatan dan pengasuhan;
c) Pelatihan vokasional dan pembinaan kewirausahaan;
d) Bimbingan mental spiritual;
e) Bimbingan fisik;
f) Bimbingan sosial dan konseling psikososial;
g) Pelayanan aksesibilitas;
h) Bantuan dan asistensi sosial i) bimbingan resosialisasi;
j) bimbingan lanjut; dan/atau k) rujukan.
a. Langkah-langkah Tahap Rehabilitasi
Dalam melakukan tahap rehabilitasi perlu adanya langkah-langkah sehingga dalam melaksanakan kegiatan tersebut tidak menyalahi aturan ataupun prosedur langkah-langkah dalam pelaksanaan rehabilitasi menurut (Soetomo 2008:53) yaitu sebagai berikut :
a) Tahap identifikasi
Permasalahan sosial merupakan fenomena yang muncul dalam kehidupan bermasyarakat, wujudnya yaitu merupakan masalah lama dan mengalami perkembangan. Bukan hanya masalah yang lama tetapi bisa berupa permasalahan yang baru muncul akibat dari perkembangan dan perubahan kehidupan sosial, ekonomi dan budaya. Permasalahan sosial dianggap tidak
22 diinginkan oleh siapa pun karena dapat membuat kerugian baik secara fisik ataupun nonfisik pada individu, kelompok dan masyarakat. Secara menyeluruh kondisi seperti ini dianggap bertentangan dengan nilai, norma dan standar sosial.
b) Tahap diagnosis
Setelah masalah sosial teridentifikasi maka membuat munculnya respons dari masyarakat yaitu berupa tindakan bersama untuk menyelesaikan maslah tersebut. Supaya penyelesaian masalah tersebut bisa maksimal dan dibutuhkan pengenalan berupa sifat eskalasi dan latar belakang.
c) Tahap treatment
Selain dua tahapan diatas diperlukan juga tahap treatment yaitu sebagai upaya menghilangkan masalah sosial, akan tetapi dalam berbagai hal banyak juga berupa usaha untuk mengurangi atau membatasi berkembangnya masalah.
b. Pendukung dalam Pelayanan Rehabilitasi Sosial
Selain tiga tahapan tersebut perlu adanya faktor pendukung dalam proses rehabilitasi sosial menurut Departemen Sosial RI tahun 1997 yaitu :
a) Subjek pelaksana rehabilitasi adalah pejabat pemerintah yang mempunyai amanat dan kapasitas untuk melakukan hal tersebut. Pejabat pemerintah tenaga administrasi, tenaga operasional, tenaga fungsional, dan pihak lain yang diajak bekerja sama saling menguntungkan.
b) Objek rehabilitasi sosial.
23 c) Metode pelaksanaan rehabilitasi. Hal ini mencakup teknis dari tahapan-
tahapan.
Dari penjelasan tersebut diketahui bahwa faktor yang pendukung dalam proses rehabilitasi sosial yaitu yang pertama pemerintah di mana merekalah yang menyediakan fasilitas pelayanan sosial berupa tenaga administrasi, operasional dan tenaga fungsional yang saling bekerja sama untuk bisa memberikan pelayan yang terbaik. Selain itu objek itu sendiri yaitu WPS dan yang terakhir metode yang di laksanakan untuk rehabilitasi sosial agar mendapatkan hasil yang di inginkan.
c. Model Pelayanan Rehabilitasi Sosial
Dalam merehabilitasi bukan hanya faktor pendukung saja yang dibutuhkan akan tetapi perlu adanya model pelayanan rehabilitasi sosial menurut Ichwan muis dijabarkan dalam tiga model yaitu :
a) Institusional Based Rehabilitation (IBR) yaitu di mana suatu sistem pelayanan rehabilitasi sosial menempatkan penyandang masalah dalam suatu lembaga tertentu . sistem inilah yang paling sering digunakan oleh pemerintah. Pemerintah membangun sarana-sarana sosial sebagai tempat penampungan penyandang masalah sosial untuk memberikan layanan- layanan atau rehabilitasi sosial. Termasuk juga dalam hal ini menjadi pelaksana teknis di bidang rehabilitasi sosial dengan di dukung berbagai sarana-sarana yang memadai yang di butuhkan oleh penyandang masalah, termasuk tempat yang layak sebagai Center utama dari institusi sistem pelayanan rehabilitasi sosial.
24 b) Extra Institusional Base Rehabilitation yaitu sebuah sistem pelayanan dengan menempatkan penyandang masalah sosial kepada keluarga atau masyarakat. Perlakuan ini biasa di terapkan oleh pekerja sosial sebagai bagian dari tahap-tahap rehabilitasi sosial. Tetapi sistem tersebut di terapkan apabila setelah klien memasuki bagian Monitoring dan bimbingan lanjut.
Fungsi yang bisa di rasakan oleh pekerja sosial dengan sistem extra institusional based rehabilitasi di aplikasi sebagai saran indikator kualitas keberhasilan dalam pelayanan sosial.
c) Community Based Rehabilitation (CBD) ialah sesuatu model penanganan yang di aplikasikan kepada masyarakat dengan cara yaitu memotivasi masyarakat dengan menggunakan sumber daya dan potensi yang dimilikinya.
Jadi metode ini di gunakan untuk pelayanan-pelayanan sosial suatu komunitas dalam masyarakat yang membutuhkan pelayanan sosial. Untuk itu maka pekerja sosial harus bisa memotivasi masyarakat agar bisa bangkit dalam menumbuhkan potensi yang ada di dalam masyarakat itu sendiri sehingga masyarakat mendapatkan manfaat tersebut.
3. Konsep Pelayanan Sosial a. Pengertian Pelayanan Sosial
Pelayanan sosial ialah kegiatan yang terorganisir dan tindakan nyata atau aktivitas yang individu, kelompok, masyarakat, dan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atau menaggulangi permasalahan masyarakat, sehingga terwujud kesejahteraan sosial yang diharapkan.
25 Menurut pendapat Romanyshyn pelayanan sosial ialah suatu usaha untuk meningkatkan, mempertahankan, mengendalikan keberfungsian sosial seseorang dan juga keluarga dan melalui sumber-sumber sosial penunjang dan tahap yang menguatkan individu dalam menghadapi tuntutan kehidupan sosial yang norma ( Adi Fachrudin 2012:015).
Dapat di simpulkan bahwa pelayanan sosial merupakan kegiatan terorganisir yang tindakan nyata dari individu maupun perintah agar bisa mengatasi permasalahan yang ada di dalam masyarakat dan juga suatu tindakan yang untuk mempertahankan atau meningkatkan suatu keberfungsian sosial seseorang.
b. Jenis Pelayanan Sosial
Secara keseluruhan lembaga pelayanan sosial merupakan wujud dari organisasi pelayanan manusia sehingga terdapat berbagai jenis pelayanan sosial yang diberikan kepada klien (Dwi Sukoco 200 :106). Berikut ini jenis-jenis pelayanan sosial:
a) Pelayanan hunian sementara
Pelayanan ini bertujuan untuk memberikan tempat tinggal sementara kepada klien dengan ini klien bisa menginap sementara dan juga tempat menyimpan barang-barang klien agar aman dan terlindungi.
b) Pelayanan konsumsi
Pelayanan ini klien mendapatkan asupan dan kebutuhan nutrisi yang dibutuhkan oleh klien agar kesehatan mereka bisa terjaga dengan baik.
c) Pelayanan konsultasi
26 Pelayanan ini merupakan bimbingan untuk meningkatkan interaksi sosialnya terhadap orang lain, menjalankan fungsi sosialnya dan juga mampu menyelesaikan masalahnya sendiri.
d) Pelayanan kesehatan
Pelayanan ini merupakan aspek yang sangat penting bagi kesehatan klien.
Pelayanan ini berupa pengontrolan dan pengecekan kesehatan klien oleh tim medis
e) Pelayanan keterampilan
Pelayanan ini merupakan pemberian berbagai macam keterampilan agar kelak apabila klien telah keluar dari lembaga mempunyai keterampilan yang cukup agar bisa bertahan hidup di lingkungan masyarakat. Keterampilan tersebut yang di berikan oleh lembaga ialah yaitu berupa tata boga, menjahit, tata rias, salon dan kerajinan tangan.
f) Pelayanan keagamaan
Pelayanan ini berupa bimbingan mental spiritual agar kondisi iman klien bisa meningkat.
g) Pelayanan hiburan
Pelayanan ini merupakan aspek yang penting karena klien mengalami kejenuhan di dalam lembaga sehingga perlu adanya hiburan dan juga supaya klien merasa gembira dan tidak tertekan di dalam lembaga.
c. Tahapan Pelayanan Sosial
Dalam melakukan tahapan pelayanan sosial diperlukan berbagai tahapan yaitu :
a) Tahapan pendekatan awal
27 Hal yang perlu dilakukan sebelum melangkah lebih jauh perlu dilakukan tahapan pendekatan awal yaitu di mana perlu adanya percobaan awal, mengkonsultasikan, kepada pihak yang terlibat, membuat sosialisasi program pelayanan, mengidentifikasi calon penerima pelayanan, membuat kesepakatan, motivasi dan juga memeriksa fasilitas sarana dan prasarana pelayanan.
b) Tahapan mengungkap dan memahami masalah klien
Ialah proses kegiatan di mana perlu mengumpulkan data dari klien serta menganalisisnya, mengungkap permasalahannya dan memahami permasalahan yang dialami oleh klien
c) Tahapan perencanaan pemecahan masalah
Ialah suatu kegiatan dalam pengumpulan analisa data klien untuk mengetahui permasalahan yang di alami oleh klien sehingga mudah dalam menyelesaikan permasalahan tersebut.
d) Tahapan pelaksanaan penyelesaian masalah
Ialah sebelum perumusan masalah perlu proses penerapan rencana.
Kegiatan yang di lakukan ialah melakukan pemeliharaan, memberi motivasi dan pendampingan dalam bimbingan psikososial, keterampilan bimbingan sosial, resosialisasi dan advokasi.
e) Tahapan bimbingan
Tahapan pelayanan ini di berikan kepada klien agar kebutuhan mental, jiwa dan raga klien bisa terpenuhi. Bimbingan ini adalah terdiri dari advokasi, fisik, keterampilan, psikososial, sosial dan meresosialisasikan.
f) Tahapan bimbingan dan pembinaan lanjut
28 Tahapan pelayanan bimbingan dan pembinaan lanjut merupakan aspek penting dari pelayanan sehingga klien dapat melaksanakan kehidupan yang normal dari lingkungan sosialnya.
g) Tahapan evaluasi
Tahapan ini perlu adanya karena bisa mengetahui efektivitas dan efisiensi pencapaian tugas dalam menyelesaikan permasalahan klien.
h) Tahapan terminal
Tahapan kegiatan ini ialah suatu proses pemutusan hubungan pelayanan antara lembaga dan klien.
i) Tahapan rujukan
Kegiatan ini merupakan tahapan yang paling akhir agar bisa membuat rancangan, mensupervisi, mengevaluasi dan menyusun laporan kegiatan rujukan penerima program pelayanan kesejahteraan sosial (buku saku peksos 2004:03).
Menurut definisi-definisi di atas dapat di simpulkan bahwa pelacuran itu usianya di muka bumi ini sangatlah lama sehingga sangat sulit di hilangkan sebab masih banyak oknum-oknum yang masih bergelut di dunia tersebut dan selain itu juga apa bila para pengguna masih banyak yang mencarinya maka para WTS tersebut masih tetap ada hingga waktu yang tidak dapat di prediksikan.
D. Meningkatkan Kemampuan Sosial dan Ekonomi
Dalam meningkatkan kemampuan sosial dan ekonomi WPS perlu adanya strategi agar bisa meningkatkan kemampuan yang ada, sehingga WPS tersebut bisa
29 terlepas dari jeratan prostitusi. Berikut ini adalah beberapa bimbingan yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan sosial dan ekonomi WPS.
a) Bimbingan Fisik
Kegiatan bimbingan fisik ini untuk praktisi cara hidup sehat, secara teratur dan disiplin agar kondisi badan atau fisik selalu dalam keadaan sehat dan selain itu juga pemberian pelayanan tempat tinggal, makanan bergizi, olah raga, senam kebugaran, pengecekan kesehatan, pengobatan, dan sejenisnya agar penerima pelayanan dapat melaksanakan aktivitas keseharian, memenuhi kebutuhan, dan atau memecahkan masalahnya b) Bimbingan Keterampilan
Pemberian pelayanan keahlian dalam bidang perbengkelan, pertukangan, las, salon kecantikan, perkebunan, pertanian, komputer, internet, dan sejenisnya agar penerima pelayanan dapat memperoleh pekerjaan, memenuhi kebutuhan, dan atau memecahkan masalahnya.
c) Bimbingan Psikososial
Pemberian pelayanan konseling agar penerima pelayanan mampu mengatasi kesulitan dan memecahkan masalah sosial-psikologis yang dihadapi.
d) Bimbingan Sosial
Pemberian pelayanan sosialisasi, rehabilitasi sosial, perlindungan, pendampingan, aksesibilitas, dan sejenisnya agar penerima pelayanan dapat menjalin interaksi sosial yang baik dengan orang di lingkungan panti, keluarga, kelompok, organisasi, dan masyarakat luas, sehingga dapat melaksanakan aktivitas sehari-hari, memenuhi kebutuhan, dan atau memecahkan masalahnya.
30 e) Bimbingan Resosialisasi
Kegiatan mempersiapkan penerima pelayanan agar mau dan mampu bersosialisasi, menyesuaikan diri, dan beradaptasi dengan keluarga maupun lingkungan sosial, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.
f) Bimbingan Pengembangan Masyarakat
Kegiatan pemberian informasi, pengetahuan, sikap, dan keterampilan kepada warga masyarakat agar mau dan mampu berinteraksi sosial dengan harmonis, memenuhi kebutuhan, dan mengatasi permasalahan yang dihadapi.
g) Bimbingan Advokasi
Pemberian pelayanan pembelaan dan perlindungan kepada penerima pelayanan melalui pemberian bantuan sosial, asuransi sosial, pemeliharaan penghasilan, pembelaan perkara, pencegahan penyalahgunaan, dan sejenisnya.
Kegiatan ini merupakan aspek yang sangat penting karena membantu aspek ekonomi dan sosial mereka. Pelatihan ini di berikan sebagai modal mereka keluar dan ingin membuka usaha kecil mandiri sesuai dengan jenis dan keterampilan masing-masing. (http://peksosjatim.blogspot.co.id/2011/07/buku-saku-pejabat- fungsional-pekerja.html)