• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRATEGI PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL (Studi Kasus Kabupaten Garut, Propinsi Jawa Barat) Oleh : ABDUL WAHID A

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STRATEGI PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL (Studi Kasus Kabupaten Garut, Propinsi Jawa Barat) Oleh : ABDUL WAHID A"

Copied!
153
0
0

Teks penuh

(1)

STRATEGI PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL (Studi Kasus Kabupaten Garut, Propinsi Jawa Barat)

Oleh : ABDUL WAHID

A14301021

PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2006

(2)

RINGKASAN

ABDUL WAHID. Strategi Pembangunan Daerah Tertinggal. Studi Kasus : Kabupaten Garut, Propinsi Jawa Barat. (Di bawah bimbingan TEUKU HANAFIAH dan EKA INTAN KUMALA PUTRI )

Konsekuensi logis dari penerapan asas desentralisasi adalah menuntut pemerintah daerah untuk siap menata keseluruhan perangkat organisasi dan manajemen, serta kemampuan untuk melakukan adaptasi terhadap perubahan lingkungan eksternal. Fleksibilitas terhadap perubahan lingkungan ini merupakan prasyarat bagi kemampuan pemerintah daerah untuk sukses dalam melaksanakan program-program pembangunan yang tepat sasaran maupun tepat guna.

Sebaliknya, ketidakmampuan beradaptasi dengan perubahan lingkungan yang ada akan menyebabkan pembangunan daerah menjadi tertinggal dan tidak akan mampu memenuhi harapan, serta kebutuhan rakyat. Untuk itu, diperlukan langkah nyata yang terpadu dan terarah dalam rangka pembangunan daerah tertinggal yang lebih difokuskan pada percepatan pembangunan di daerah dengan kondisi sosial, budaya, ekonomi, keuangan daerah, aks esibilitas, serta ketersediaan infrastruktur yang masih tertinggal dibandingkan dengan daerah lainnya.

Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan strategi yang harus disusun oleh stakeholders dalam pembangunan daerah tertinggal Kabupaten Garut. Perumusan strategi ini didukung dengan mengidentifikasi tingkat ketimpangan potensi fisik wilayah dan tingkat pemerataan pembangunan antar wilayah yang terjadi di Kabupaten Garut. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan (evaluasi) dalam menyus un rencana-rencana atau strategi pembangunan daerah tertinggal dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan suatu wilayah, serta dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan (referensi) untuk penelitian selanjutnya.

Pengumpulan data primer dan sekunder dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juli 2005. Analisis data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif.

Data diolah dengan menggunakan analisis sistem hirarki potensi fisik wilayah (HFP), sistem hirarki tingkat pemerataan pembangunan, metode skalogram, sistem limpitan sejajar dan strategis, serta analisis matriks IFE, EFE, SWOT, dan QSP.

Hasil analisis sistem hirarki potensi fisik wilayah tanpa bobot

menunjukkan bahwa perbedaan keadaan geografis tersebut telah menyediakan

potensi yang tinggi terjadinya ketimpangan antar wilayah, dimana wilayah-

wilayah kaya sebagaian besar berada di Garut Utara (SWP I) dan wilayah miskin

berada di Garut Selatan (SWP II dan SWP III) kecuali Kecamatan Karang tengah,

Kersamanah dan Cibiuk. Berdasarkan sistem hirarki potensi fisik wilayah dengan

bobot dapat disimpulkan bahwa ketimpangan antar wilayah masih terjadi sama

halnya dengan HFP tanpa bobot. Namun, ada beberapa wilayah yang mengalami

peningkatan kategori wilayah dari wilayah miskin pada HFP tanpa bobot menjadi

wilayah sedang atau kaya pada HFP dengan bobot, misalnya Kecamatan Talegong

dan Cibalong, dari wilayah sedang pada HFP tanpa bobot menjadi wilayah kaya

pada HFP dengan bobot, misalnya Kecamatan Bungbulang, Pakenjeng,

Pameungpeuk, dan Banjarwangi. Kecamatan-kecamatan yang mengalami

peningkatan kategori wilayah terjadi karena kecamatan-kecamatan tersebut

(3)

memiliki peringkat atas pada sektor penting, misalnya sektor pengairan, tanaman pangan, peternakan, perikanan, dan perkebunan.

Berdasarkan skor akhir dari analisis sistem hirarki tingkat pemerataan pembangunan menunjukkan bahwa tingkat pemerataan pembangunan tanpa dan dengan bobot tidak mengalami perubahan, kecuali Kecamatan Leuwigoong dan Cibatu. Kedua kecamatan tersebut dalam hirarki tingkat pemerataan pembangunan tanpa bobot termasuk kategori maju. Namun, setelah diberi bobot kedua kecamatan tersebut mengalami penurunan kategori menjadi sedang. Hal ini karena Kecamatan Leuwigoong memiliki peringkat rendah pada pemerataan prasarana jalan, sedangkan Kecamatan Cibatu memiliki peringkat rendah pada sektor tanaman pangan dan kesehatan.

Hasil analisa matriks EFE menunjukkan bahwa skor bobot faktor strategis eksternal diperoleh sebesar 2.547 artinya bahwa dalam pembangunan daerah tertinggal, menunjukkan Ka bupaten Garut sedang berusaha untuk memanfaatkan peluang eksternal dan menghindari ancaman. Elemen peluang peluang dan ancaman bagi pembangunan daerah tertinggal masing-masing bernilai skor bobot sebesar 1.673 dan 0.874. Sedangkan skor bobot faktor strategis internal sebesar 2.362 menunjukkan bahwa posisi Kabupaten Garut belum sepenuhnya mampu untuk mengatasi kelemahan dan menggunakan kekuatan untuk pembangunan daerah tertinggal, dengan skor bobot untuk faktor kekuatan dan kelemahan masing-masing bernilai skor bobot sebesar 1.649 dan 0.713.

Berdasarkan matriks SWOT, strategi yang dipilih dalam pembangunan daerah tertinggal antara lain : meningkatkan akses kerjasama yang baik antara pemerintah propinsi dengan kabupaten yang dituangkan dalam suatu kebijakan pembangunan, menciptakan atau meningkatkan kesempatan berusaha dan lapangan kerja dengan berkerjasama dengan pihak-pihak swasta sebagai upaya untuk mendorong tumbuhnya pusat kegiatan ekonomi baru dengan tetap memperhatikan produk andalan daerah, membangun da tabase dan menerapkan deteksi dini akan terjadinya bencana alam, meningkatkan dan memanfaatkan sumberdaya alam secara optimal, strategi pembangunan sarana dan prasarana sebagai upaya untuk meningkatkan pembangunan di wilayah-wilayah tertinggal dan terpencil agar dapat tumbuh dan berkembang lebih cepat, strategi peningkatan kualitas sumberdaya mamusia, memberdayakan masyarakat dan mengentaskan kemiskinan melalui pembangunan berbasis pedesaan serta meningkatkan kepastian hukum hak atas tanah kepada masyarakat secara adil dan transparan, meningkatkan efektivitas dan efisiensi manajemen pelayanan kesehatan- pendidikan, keterampilan dan kewirausahaan untuk kualitas IPM (Indeks Pembangunan Manusia) dan filterisasi arus global.

Hasil analisis matriks QSP menunjukkan bahwa strategi yang menjadi prioritas utama adalah meningkatkan akses kerjasama yang baik antara pemerintah propinsi dengan kabupaten yang dituangkan dalam suatu kebijakan pembangunan dengan nilai Total Attractiveness Score (TAS) sebesar 6.079.

Adapun nilai TAS terendah pada strategi membangun database dan menerapkan

deteksi dini akan terjadinya bencana alam dengan nilai TAS sebesar 4.642.

(4)

STRATEGI PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL

(Studi Kasus : Kabupaten Garut, Propinsi Jawa Barat)

Skripsi

Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh : Abdul Wahid

A14301021

PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2006

(5)

Judul Penelitian : Strategi Pembangunan Daerah Tertinggal (Studi Kasus Kabupaten Garut, Propinsi Jawa Barat)

Nama Mahasiswa : Abdul Wahid

NRP : A14301021

Menyetujui, Menyetujui,

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Ir. Teuku Hanafiah Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, MS NIP. 130 321 039 NIP.131 918 659

Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Supiandi Sabiham, M.Agr NIP. 130 422 698

Tanggal Lulus :

(6)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL

“STRATEGI PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL (STUDI KASUS : KABUPATEN GARUT, PROPINSI JAWA BARAT)” INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI TULISAN ILMIAH PADA SUATU PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN.

Bogor, Januari 2006

Abdul Wahid

A14301021

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Tangsi Manunggang-Padangsidimpuan, 9 Juli 1982 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Bapak Syawal dan Alm. Ibu Tarwiyah. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Labuhan Rasoki pada tahun 1995. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan di MTsN Padangsidimpuan dan lulus pada tahun 1998, setelah itu penulis melanjutkan pendidikan di SMUN 3 Padangsidimpuan dan lulus pada tahun 2001.

Pada tahun 2001, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur

Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada Program Studi Ekonomi Pertanian

dan Sumberdaya (EPS).

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah memberi rahmat dan hidayah-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi ini berjudul “Strategi Pembangunan Daerah Tertinggal (Studi Kasus : Kabupaten Garut, Propinsi Jawa Barat)” disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi tingkat ketimpangan potensi fisik dan tingkat pemerataan pembangunan antar wilayah, mengidentifikasi dan menganalisis seberapa besar kekuatan dan kelemahan yang dimiliki dan seberapa banyak peluang serta ancaman yang dihadapi Kabupaten Garut, serta merumuskan strategi apa yang sebaiknya disusun oleh stakeholders dalam pembangunan daerah tertinggal.

Penulis menyadari ba hwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.

Namun, skripsi ini diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak. Ucapan terimakasih Penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini.

Bogor, Januari 2006

Penulis

(9)

UCAPAN TERIMA KASIH

Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberi rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga karya tulis ini dapat terselesaikan.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. Papa dan Alm. Mama serta adikku yang bandel Andi dan Sutri juga Ibu Tuti

selaku orang tua angkatku atas doa, kasih sayang, pengertian, kesabaran dan dukungannya setiap saat.

2. Kakek dan Nenek serta Mamang-mamangku yang tersayang : Mang Jupri sekeluarga, Mang Bahrin, Mang Yok, Mang Kembar, Mang Awin serta Bi Sur yang selalu memberikan motivasi dan dukungan moril dan doa.

3. Ir. Teuku Hanafiah sebagai dosen pembimbing atas saran-saran, bimbingan dan kritikannya selama proses penelitian dan penulisan skripsi.

4. Dr. Ir. Eka Intan KP, MS yang telah bersedia menjadi dosen pendamping pada saat seminar dan ujian sidang.

5. Ir. Nindyantoro, MSp dan Dra. Yusalina, MSi selaku dosen penguji atas saran dan masukannya yang sangat berharga untuk penyempurnaan karya ilmiah ini.

6. Pemerintah Kabupaten Garut yang telah bersedia membantu dalam mencari

data umumnya dan beberapa pihak khususnya yang telah bersedia menjadi

responden untuk pengisian kuesioner, serta selalu mendukung demi kelancaran

penelitian ini.

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL... iii

DAFTAR GAMBAR... v

DAFTAR LAMPIRAN ... ... vi

I. PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah... 3

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian... 8

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1 Konsep Perwilayah dalam Pembangunan ... 9

2.2 Teori Kutub dan Pusat Pertumbuhan...11

2.3 Konsep Pembangunan Daerah Tertinggal...13

2.3.1 Pengertian Daerah Tertinggal...13

2.3.2 Kriteria Penentuan Daerah Tertinggal... 16

2.3.3 Kebijakan dan Strategi Pembangunan Daerah Tertinggal...20

2.3.4 Program-program Pembangunan Prioritas ...24

2.5 Konsep Manajemen Strategi... 27

2.6 Konsep Pertanian dalam Pembangunan Daerah Tertinggal... 30

III. KERANGKA PEMIKIRAN OPERASIONAL ... 36

IV. METODE PENELITIAN ... 43

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian... 43

4.2 Jenis dan Metode Pengumpulan Data ... 43

4.3 Metode Pengolahan dan Analisis Data... 46

4.3.1 Sistem Hirarki Potensi Fisik Wilayah... 46

4.3.2 Sistem Hirarki Tingkat Pemerataan Pembangunan... 47

4.3.3 Metode Skalogram... 49

4.3.4 Analisis Sistem Limpitan Sejajar dan Strategis ... 51

4.3.5 Analisis Matriks IFE dan EFE ... 52

4.3.6 Analisis Matriks SWOT... 56

4.3.7 Analisis Matriks QSP ... 58

V. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN ... 60

5.1 Kondisi Fisik ... 60

5.2 Pemerintahan dan Kependudukan... 62

5.4 Struktur Perekonomian... 66

5.5 Sarana dan Prasarana Sosial Ekonomi ... 72

(11)

VI. KETIMPANGAN ANTAR WILAYAH PEMBANGUNAN... 74

6.1 Ketimpangan Sumberdaya Pembangunan... 74

6.2 Ketimpangan Kegiatan Pembangunan... 78

6.3 Ketimpangan Sosial Ekonomi Wilayah ... 84

6.4 Wilayah-wilayah Prioritas Pembangunan... 89

VII. IDENTIFIKASI FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL... ...93

7.1 Faktor Strategis Internal... 93

7.2 Faktor Strategis Eksternal... ..97

VIII. PERUMUSAN ALTERNATIF STRATEGI ... 101

8.1 Analisis Matriks EFE dan IFE ... 101

8.1.1 Matriks Evaluasi Faktor Eksternal (EFE) ... 101

8.1.2 Matriks Evaluasi Faktor Internal (IFE) ... 103

8.2 Analisis Matriks SWOT... 104

8.3 Prioritas Strategi Berdasarkan Matriks QSP ... 110

IX. HUBUNGAN ANTARA PRIORITAS STRATEGI DENGAN TINGKAT KETIMPANGAN... 116

X. KESIMPULAN DAN SARAN ... 121

10.1 Kesimpulan... 121

10.2 Saran... 122

DAFTAR PUSTAKA ... 123

LAMPIRAN ...125

(12)

Nomor Halaman Teks

1. Pembagian Wilayah Pembangunan dan Fungsi Pengembangan Kabupaten

Garut ... 6

2. Jenis da n Metode Pengumpulan Data ... 45

3. Sektor Pembangunan yang Digunakan dalam Sistem Hirarki Potensi Fisik Wilayah Kabupaten Garut ... 46

4. Sektor yang Digunakan dalam Sistem Hirarki Tingkat Pemerataan Pembangunan Kabupaten Garut ... 48

5. Penilaian Bobot Faktor Strategis Internal... 53

6. Matriks IFE... 54

7. Penilaiang Bobot Faktor Strategis Eksternal... 55

8. Matriks EFE... 56

9. Matriks SWOT ... 57

10. Matriks QSP. ... 59

11. Pola Penggunaan Lahan di Kabupaten Garut Tahun 2003... 62

12. Kecamatan yang Melakukan Pemekaran di Kabupaten Garut ... 63

13. Perkembangan Jumlah Penduduk Kabupaten Garut Tahun 1999-2004. ... 63

14. Kepadatan Penyebarana Penduduk Geografis di Kabupaten Garut Tahun 2003... 65

15. Jumlah Penduduk Kabupaten Garut Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Tahun 2004 ... 66

16. Distribusi Prosentase PDRB Kabupaten Garut Tahun 1999-2003 Atas Dasar Harga Berlaku (Persen). ... 67

17. Porsentase Sentra dan Non Sentra Industri Kabupaten Garut Tahun 2003 ... 70

18. Potensi Komoditi Kegiatan Sektor Industri yang di Ekspor dari Kabupaten Garut Tahun 2003... 71

19. Kategori Wilayah Kabupaten Garut Berdasarkan Sistem Hirarki Potensi Fisik Tanpa dan Dengan Bobot Tahun 2003... 76

20. Kategori Wilayah Kabupaten Garut Berdasarkan Sistem Hirarki Tingkat

Pemerataan Pembangunan Tanpa dan Dengan Bobot Tahun 2003... 79

(13)

21. Penyebaran Sarana dan Prasarana Pembangunan Kabupate n Garut Tahun 2003. ... 86 22. Jenis dan Jumlah Fasilitas Pembangunan Utama Berdasarkan Peringkat di

Kabupaten Garut Tahun 2003 ... 87 23. Peringkat Wilayah Berdasarkan Hirarki Potensi Fisik, Hirarki Tingkat

Pemerataan Pembangunan, serta Ketersediaan Sarana dan Prasarana Pembangunan di Kabupaten Garut Tahun 2003... 88 24. Analisis Sistem Limpitan Sejajar Wilayah Pembangunan Kabupaten Garut

Tahun 2003... 91 25. Analisis Sistem Limpitan Strategis Wilayah Pembangunan Kabupaten

Garut Tahun 2003... 92 26. Matriks EFE Kabupaten Garut dalam Pembangunan Daerah Tertinggal ... 102 27. Matriks IFE Kabupaten Garut dalam Pembangunan Daerah Tertinggal... 104 28. Alternatif Strategi Pembangunan Daerah Tertinggal di Kabupaten Garut.... 105 29. Kecamatan dengan HPF Miskin, HTP Tertinggal, dan Memiliki Sarana-

Prasarana Terbata s... 118

(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Model Komprehensif Proses Manajemen Strategi... 29 2. Kerangka Pemikiran Operasional Strategi Pembangunan Wilayah

Tertinggal ... 42

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Hirarki Poten Fisik Wilayah Tanpa Bobot Kabupaten Garut... 125

2. Hirarki Potensi Fisik Wilayah Dengan Bobot Kabupaten Garut ... 127

3. Hirarki Tingkat Pemerataan Pembangunan Tanpa Bobot Kabupaten Garut . 129 4. Hirarki Tingkat Pemerataan Pembangunan Dengan Bobot Kabupaten Garut131 5. Analisis Skalogram Kabupaten Garut Tahun 2003 ... 133

6. Matriks Gabungan Penentuan Rating Faktor Eksternal... 135

7. Matriks Gabungan Penentuan Rating Faktor Internal... 136

8. Matriks Gabungan Penentuan Bobot Faktor Eksternal... 137

9. Matriks Gabungan Penentuan Bobot Faktor Internal... 138

10. Penentuan Prioritas Strategi Menurut Matriks QSP ... 139

11. Peta Sub Wilayah Pembangunan Kabupaten Garut Tahun 2003 ... 141

(16)

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Krisis ekonomi yang terjadi pertengahan tahun 1997 telah mengakibatkan penurunan kegiatan ekonomi di berbagai daerah, sehingga terjadi peningkatan pengangguran, kemiskinan, da n masalah-masalah sosial lain. Kondis i seperti ini pada akhirnya memicu berbagai bentuk unjuk rasa sebagai wujud ketidakpuasan terhadap pemerintah. Penurunan kegiatan ekonomi juga menyebabkan terjadinya kesenjangan pertumbuhan ekonomi antar daerah dan diperparah dengan menurunnya Pendapatan Asli Daerah (PAD), sehingga terjadi hambatan dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat oleh pemerintah daerah secara otonom.

Dalam rangka mengatasi dampak krisis ekonomi dan pengurangan kesenjangan pertumbuhan ekonomi antar daerah, maka lahirlah Undang-undang Otonomi Daerah (OTDA) sebagai langkah baru dalam membenahi penyelenggaraan pemerintahan daerah. Konsekuensi logis dari penerapan asas desentralisasi adalah menuntut pemerintah daerah untuk siap menata keseluruhan perangkat organisasi dan manajemen, serta kemampuan untuk melakukan adaptasi terhadap perubahan lingkungan eksternal agar mampu melaksanakan amanat yang diberikan rakyat. Tuntutan di atas pasti dihadapi oleh setiap pemerintah daerah, terutama di tingkat kabupaten yang merupakan ujung tombak pelaksanaan asas desentralisasi daerah otonom yang mandiri dan memiliki kewenangan penuh untuk mengatur rumah tangganya sendiri.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2004), jumlah kabupaten di

Indonesia ada sekitar 400 – 450 kabupaten. Namun, tidak semua daerah kabupaten

(17)

bisa tumbuh dan berkembang dengan pesat, ada beberapa daerah yang masih tertinggal. Menurut Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal Republik Indonesia (2004) penetapan kriteria daerah tertinggal dilakukan dengan menggunakan pendekatan berdasarkan pada perhitungan enam kriteria dasar yaitu (1) perekonomian masyarakat, (2) sumberdaya manusia, (3) prasarana dan sarana (infrastruktur), (4) kemampuan keuangan daerah (celah fiskal), (5) aksesibilitas dan karakteristik daerah, serta (6) berdasarkan kabupaten yang berada di daerah perbatasan antar negara dan gugusan pulau-pulau kecil, daerah rawan bencana, dan daerah rawan konflik. Kriteria tersebut diolah dengan menggunakan data Potensi Desa (PODES) 2003 dan Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2002. Berdasarkan pendekatan tersebut, maka ditetapkan 190 kabupaten yang dikategorikan kabupaten tertinggal di Indonesia, salah satunya adalah Kabupaten Garut Propinsi Jawa Barat.

Upaya mencapai tingkat kesejahteraan merupakan wujud implementasi dari

pemerataan pembangunan khususnya daerah tertinggal. Oleh karena itu, perlu

strategi pembangunan daerah tertinggal sebagai langkah nyata yang terpadu dan

terarah pada daerah dengan kondisi sosial, budaya, ekonomi, keuangan daerah,

aksesibilitas, serta ketersediaan infrastruktur yang masih tertinggal. Kondisi

tersebut pada umumnya terdapat pada daerah yang secara geografis terisolir dan

terpencil atau jauh dari jangkauan fasilitas ibu kota kabupaten. Sebaliknya

diperlukan perhatian khusus pada daerah yang secara ekonomi memiliki potensi

untuk maju, namun mengalami ketertinggalan sebagai akibat terbatasnya

kemampuan memanfaatkan potensi, atau akibat terjadinya konflik sosial maupun

politik. Dalam kaitannya dengan percepatan pembangunan tersebut , maka perlu

suatu kesamaan persepsi dan visi antara berbagai elemen pemangku kepentingan

(18)

(stakeholders ) di daerah dengan pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal yang memiliki fungsi fasilitas, koordinasi, sinkronisasi dan akselerasi pembanguan daerah tertinggal.

Bertolak dari uraian diatas, maka upaya -upaya strategi pembangunan daerah-daerah tertinggal hendaknya dilakukan dengan memadukan prinsip -prinsip manajemen pembangunan modern de ngan kearifan lokal tradisional yang dimiliki masyarakat, juga nilai-nilai sosial budaya tertentu sebagai instrumen pembangunan daerah tertinggal, agar diperoleh suatu rumusan penyelesaian yang terpadu dan bersifat lintas sektoral dengan target-target yang lebih terarah dan terukur.

1.2 Perumusan Masalah

Masalah ketimpangan dan kesenjangan antar daerah merupakan masalah pokok dalam pencapaian pembangunan nasional. Oleh karena itu, kesadaran terhadap perencanaan pembangunan daerah tertinggal harus menjadi bagian dari perencanaan pembangunan yang terus berkembang. Konsep pembangunan daerah tertinggal secara mendasar mengandung prinsip pelaksanaan kebijakan desentralisasi dalam rangka peningkatan pelaksanaan pembangunan untuk mencapai sasaran nasional yang bertumpu pada trilogi pembangunan, yaitu pemerataan, pertumbuhan, dan stabilitas. Namun harus disadari bahwa pembangunan daerah tertinggal tidak hanya meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tetapi lebih merupakan suatu proses perbaikan tatanan sosial ekonomi, politik dan kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan (sustainable welfare).

Secara geografis perkembangan daerah tidak berlangsung merata. Hal ini

disebabkan letak penyebaran sumberdaya tidak merata seperti sumberdaya alam,

(19)

sumberdaya manusia, kegiatan sosial ekonomi, maupun komoditi geografis antar daerah. Persepsi kesenjangan dalam dimensi ekonomis-regional menunjukkan adanya ketidakseimbangan laju perekonomian antar daerah, pada akhirnya memunculkan daerah-daerah maju dan daerah-daerah tertinggal. Hal ini ditunjukkan oleh ketidakmerataan dan ketidakserasian pembangunan antar kawasan seperti halnya di Kabupaten Garut yakni adanya disparitas antar kawasan yang relatif telah maju dan berkembang dengan kawasan-kawasan yang tertinggal, contohnya kawasan Garut Utara lebih maju dibandingkan Garut Selatan.

Menurut Mahbubah (1995), faktor-faktor yang menyebabkan kesenjangan antara Garut Utara dengan Garut Selatan yaitu kepadatan penduduk yang lebih tinggi terdapat di Garut Utara serta kegiatan-kegiatan pembangunan dan sarana- prasarana pembangunan yang lebih terkonsentrasi di daerah ini. Di samping itu, Garut Utara mempunyai posisi lebih strategis karena memiliki hubungan lebih dekat dengan Kabupaten Bandung sebagai Ibukota Propinsi Jawa Barat, sehingga pusat pertumbuhan di daerah ini lebih pesat kemajuannya dibandingkan pusat pertumbuhan di wilayah Garut Selatan.

Sebaliknya sebagian besar di wilayah Garut Selatan memiliki tingkat aksesibilitas rendah serta sarana dan prasarana yang kurang memadai, sehingga fasilitas lainpun sulit dikembangkan. Keadaan ini berpengaruh terhadap sektor pertanian yang mempunyai peranan penting dalam perekonomian daerah, padahal luas areal wilayah Garut Selatan merupakan 60 persen dari luas keseluruhan Kabupaten Garut dan merupakan basis pertanian utama.

Menurut Perwilayahaan Pembangunan Kabupaten Garut (1999) , wilayah

Kabupaten Garut dibagi dalam tiga sub wilayah pembangunan yaitu wilayah

pembangunan I seluas 113.557 ha meliputi dua puluh empat kecamatan, wilayah

(20)

pembangunan II seluas 101.594 ha meliputi sembilan kecamatan, dan wilayah pembangunan III seluas 91.368 ha meliputi tujuh kecamatan. Adapun struktur pusat-pusat pelayanan sebagai berikut :

1. Sub Wilayah Pembangunan I

Sub wilayah pembangunan I dengan fungsi sebagai wilayah pengembangan kota-kota strategis dan maju serta didukung oleh fasilitas perkotaan. Pusat kegiatan pertumbuhan utama di Garut kota dan pusat pengembangan kedua di Kecamatan Cibatu. Wilayah pembangunan ini diutamakan untuk pengembangan kota dan desa, perluasan dan intensifikasi persawahan teknis dan tanaman perdagangan serta industri hasil pertanian dan peternakan besar.

2. Sub Wilayah Pembangunan II

Sub wilayah pembangunan II dengan fungsi sebagai wilayah pengembangan kota-kota agak maju dan cukup strategis yang didukung oleh potensi alam maupun kegiatannya. Pusat pengembangan utama di Kecamatan Cikajang dan pusat pengembangan kedua di Kecamatan Pameungpeuk. Wilayah pembangunan ini sebagai daerah produksi pertanian lahan kering, khususnya tanaman pangan dan perdagangan yang didukung oleh industri pengolahannya dan peternakan besar.

3. Sub Wilayah Pembangunan III

Sub wilayah pembangunan III dengan fungsi sebagai wilayah pengembangan

pertanian potensial dan wilayah ekonomi yang belum dikembangkan. Pusat

pengembangan utama di Kecamatan Bungbulang. Wilayah pembangunan ini

dikembangkan sebagai daerah produksi pertanian lahan kering khususnya

tanaman pangan dan perdagangan skala lokal serta sebagai daerah peternakan

(21)

besar. Tabel 1 menunjukkan pembagian wilayah pembangunan dan fungs i pengembangan Kabupaten Garut.

Tabel 1. Pembagian Wilayah Pembangunan dan Fungsi Pengembangan Kabupaten Garut Tahun 2004

Wilayah Pembangunan

Pusat pertumbuhan

Sub Pusat Pertumbuhan

Kecamatan yang tercakup

Fungsi Pengembangan

SWP I Kecamatan

Garut kota

Kecamatan Cibatu

Kec. Wanaraja, Karang pawitan, Garut kota, Leles, Samarang, Selaawi,Malangbong,Su kawening,Karang Tengah,Banyuresmi, Cibatu,Kersamanah, Leuwigoong, Bl.Limbangan, Kadungora,Pasirwangi, Taragong Kaler dan Kidul, Cisurupan, Cilawu

Bayongbong,Cigedug, Sukaresmi dan Cibiuk.

Pengolahan hasil pertanian di Kec.Garut kota,

Karangpawitan, Samarang, Cibatu,

Bayongbong dan Cilawu

Peternakan di Kec.Cisurupan

SWP II Kecamatan Cikajang

Kecamatan Pameungpeuk

Kec.Cikajang, Singajaya,Cihurip, Peundeuy, Cibalong, Cikelet, Cisompet, Banjarwangi dan Pameungpeuk

Produksi pertanian lahan kering.

Perikanan laut di Kec.Cibalong, Pameungpeuk dan Cikelet.

Peternakan di Kec.Cikajang, Banjarwangi, Singajaya dan Peundeuy SWP III Kecamatan

Bungbulang

Kec.Talegong, Cisewu,Caringin, Bungbulang,Mekarmukt i, Pakenjeng dan Pamulihan

Produksi pertanian lahan kering,

Perkebunan, Konservasi alam, peternakan

Sumber : Rencana Umum Tata Ruang Daerah (RUTRD) Kabupaten Garut, 1999.

Kabupaten Garut merupakan wilayah yang dinamis, secara topografi mempunyai ketinggian tempat bervariasi antar wilayah, yang paling rendah yaitu sejajar dengan permukaan laut hingga wilayah yang tertinggi di puncak gunung.

Akibat pengaruh adanya daerah penggunungan, daerah aliran sungai dan da erah

(22)

dataran rendah pantai, maka tingkat kehidupan sosial, ekonomi, budaya maupun potensi serta permasalahannya juga bervariasi.

Adanya keragaman wilayah pada masing-masing sub wilayah pembangunan tersebut, menimbulkan perbedaan dalam peluang untuk tumbuh dan mendorong terciptanya aglomerasi sehingga timbul ketidakseimbangan antar wilayah. Pada jangka panjang kondisi seperti ini dapat merugikan masyarakat dan menimbulkan masalah-masalah baru, seperti munculnya daerah-daerah tertinggal yang pada akhirnya aka n menterpurukkan perekonomian daerah itu sendiri. Untuk itu, pemerintah daerah setempat perlu memberikan perhatian dan prioritas yang tinggi untuk mengatasi berbagai masalah yang terjadi. Hal ini dapat dilakukan dengan langkah-langkah strategis khususnya pembangunan daerah tertinggal di Kabupten Garut , dengan mencermati berbagai aspek spesifik setempat serta menggunakan konsep-konsep manajemen strategis sebagai bahan pertimbangan dalam penyusunan strategi pembangunan daerah tertinggal.

Berdasarkan uraian di atas, maka ada beberapa masalah yang akan ditelaah dalam penelitian ini antara lain yaitu :

1. Bagaimana tingkat ketimpangan potensi fisik dan tingkat pemerataan pembangunan antar wilayah yang terjadi di Kabupaten Garut ?

2. Bagaimana kondisi lingkungan eksternal sebagai faktor peluang dan ancaman dan lingkungan internal sebagai faktor kekuatan dan kelemahan yang dihadapi Kabupaten Garut ?

3. Strategi apa saja yang harus disusun oleh stakeholders dalam pembangunan

daerah tertinggal tersebut ?

(23)

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah :

1. Mengidentifikasi tingkat ketimpangan potensi fisik dan tingkat pemerataan pembangunan antar wilayah yang terjadi di Kabupaten Garut.

2. Mengidentifikasi dan menganalisis seberapa besar kekuatan dan kelemahan yang dimiliki dan seberapa banyak peluang serta ancaman yang dihadapi Kabupaten Garut.

3. Merumuskan strategi apa yang sebaiknya disusun oleh stakeholders dalam pembangunan daerah tertinggal.

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan (evaluasi ) dalam menyusun rencana -rencana atau strategi pembangunan daerah tertinggal, dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan suatu wilayah.

Selain itu dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan (referensi) untuk

penelitian selanjutnya.

(24)

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Perwilayahan dalam Pembangunan

Pembangunan wilayah pada hakekatnya adalah pelaksanaan pembangunan nasional di suatu wilayah/region yang disesuaikan dengan kemampuan fisik dan sosial region tersebut, serta tetap menghormati peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, istilah wilayah merupakan hal yang penting untuk didefinisikan secara tegas, baik dalam perencanaannya maupun proses implementasinya. Menurut Friedman dalam Hanafiah (1988) menyatakan bahwa perencanaan wilayah adalah merupakan proses memformulasikan tujuan-tujuan sosial dan pengaturan ruang untuk kegiatan-kegiatan dalam rangka mencapai tujuan sosial tersebut. Ruang merupakan dasar yang penting bagi seorang perencana wilayah dalam membuat rencana sektoral nasional dan program- program pembangunan wilayah, serta merencanakan lokasi kegiatan tertentu disuatu wilayah atau di suatu lokasi tingkat lokal.

Menurut Hanafiah (1988) penentuan batas-batas wilayah didasarkan pada

beberapa kriteria yaitu : (1) Homogenitas : wilayah dapat diberi batas berdasarkan

beberapa persamaan unsur tertentu, seperti unsur ekonomi wilayah yaitu

pendapatan perkapita, kelompok industri maju, tingkat pengangguran dan

sebagainya, (2) Nodalitas : menitikberatkan pada pe rbedaan struktur tata ruang di

dalam wilayah dimana terdapat sifat ketergantungan fungsional, dan (3)

Administrasi atau Unit Program : penentuan wilayah didasarkan atas perlakuan

kebijaksanaan yang seragam, seperti sistem dan tingkat pajak yang sama dan la in

sebagainya. Wilayah seperti ini disebut wilayah perencanaan atau wilayah

program.

(25)

Selanjutnya ditambahkan bahwa selain pengelompokkan wilayah atas kriteria di atas, terdapat berbagai wilayah sebagai berikut :

1. Wilayah yang terlalu maju : terutama kota -kota besar dimana terdapat batas pertumbuhan atau polarisasi, upaya dalam menghadapi masalah “diseconomies of scale ” .

2. Wilayah netral : yang dicirikan dengan tingkat pendapatan dan kesempatan kerja yang tinggi, tidak ada kesesakan dan tekanan ongkos sosial. Wilayah ini merupakan kota satelit bagi wilayah yang terlalu atau merupakan kota atau permukiman melingkar bagi kota metropolitan.

3. Wilayah sedang : merupakan wilayah dengan ciri-ciri campuran pola distribusi pendapatan dan kesempatan kerja yang relatif ba ik dan gambaran kombinasi antar daerah maju dan kurang maju, dimana terdapat juga pengangguran dan kelompok masyarakat miskin.

4. Wilayah kurang berkembang atau kurang maju : wilayah dengan tingkat pertumbuhannya jauh di bawah tingkat pertumbuhan nasional dan tidak ada tanda -tanda untuk dapat mengejar pertumbuhan dan pembangunan nasional, industri kecil dan lain-lain.

5. Wilayah tidak berkembang : tidak maju atau wilayah miskin yaitu wilayah dimana industri modern tidak pernah dapat berkembang dalam berbagai skala.

Umumnya ditandai dengan daerah pertanian dengan usahatani subsisten dan

kecil, berpenduduk jarang dan tersebar dan tidak terdapat kota atau konsentrasi

pemukiman yang relatif besar.

(26)

2.2 Teori Kutub Pertumbuhan dan Pusat Pertumbuhan

Berdasarkan perumusan permasalahan di atas, masalah pembangunan daerah Kabupaten Garut timbul oleh adanya fenomena regional inequality yaitu adanya perbedaan di dalam tingkat pertumbuha n dan perkembangan antar daerah.

Keadaan tersebut disebabkan adanya perbedaan tingkat pendapatan dan kemakmuran, kurangnya perhatian badan-badan perancang serta badan-badan pelaksana pemerintah terhadap usaha -usaha untuk mengendalikan, mengarahkan dan menangani dengan sungguh-sungguh pergerakan penduduk dalam hubungannya dengan pengaturan pola urbanisasi ke kota-kota sebagai pusat pemukiman yang potensial.

Teori kutub pertumbuhan dan pusat pertumbuhan diperkenalkan oleh Perreoux (1955) dalam Hanafiah (1988) yaitu menekan pada pengertian kutub pertumbuhan dalam ruang ekonomi. Abstraksinya mengena i ruang dibedakan atas tiga tipe yaitu : (1) Ruang sebagai yang diidentifikasikan dalam suatu rencana diagram cetak-biru (blue-print), (2) Ruang sebagai medan kekuatan, dan (3) Ruang sebagai suatu keadaan yang homogen.

Selanjutnya Perreoux (1955) mengartikan kutub sebagai vektor dalam ruang ekonomi, yakni sebagai medan kekuatan ruang ekonomi mengandung pusat-pusat dan kutub-kutub yang mempunyai kekuatan sentrifugal yang memancar ke sekeliling dan mempunyai kekuatan sentripetal yang menarik sekitarnya ke pusat-pusat tersebut.

Menurut Glasson (1977) dari berbagai teori mengenai kutub pertumbuhan

dan pusat pertumbuhan. Konsep-konsep ekonomi dasar dan perkembangan

geografiknya dapat didefenisikan sebagai berikut :

(27)

1. Konsep “Leading Industries” (Industrie Motrice) dan perusahaan-perusahaan propulsip : menyatakan pada pusat kutub pertumbuhan terdapat perusahaan- perusahaan propulsip yang besar, yang termasuk dalam “Leading Industries”

yang mendominasi unti-unit ekonomi lainnya. Lokasi geografis pada titik-titik fokal tertentu dalam suatu daerah mungkin terjadi disebabkan oleh beberapa faktor yaitu lokasi sumberdaya alam, lokasi kemanfaatan-kemanfaatan buatan manusia (komunikasi atau tempat-tempat sentral yang berlandaskan kegiatan jasa yang sudah ada, dimana terdapat keuntungan-keuntungan karena prasarana dan penawaran tenaga kerja). Namun dalam kenyataannya, titik-titik pertumbuhan itu seringkali dicangkokkan pada kerangka tempat-tempat sentral yang ada.

2. Konsep Polarisasi : menyatakan bahwa pertumbuhan yang cepat dari “leading industries” (Propulsive growth) mendorong polarisasi dari unit-unti ekonomi

lainnya kedalam kutub pertumbuhan. Implisit dalam proses polarisasi ini adalah berbagai macam keuntungan aglomerasi ( keuntungan internal dan eksternal dari skala). Polarisasi ekonomi akan menimbulkan polarisasi geografik dengan mengalirnya sumberdaya dan konsentrasi ekonomi pada pusat-pusat yang jumlahnya terbatas di dalam suatu daerah. Bahkan kendatipun raison d’etre semula dari lokasi seperti itu sudah tidak ada lagi, namun lokasi tersebut seringkali tetap berkembang dengan baik disebabkan karena adanya keuntungan-keuntungan aglomerasi.

3. Konsep “Spread Effects” : menyatakan bahwa pada waktunya, kwalitas

propulsip dinamik dari kutub pertumbuhan akan memancar keluar dan

memasuki ruang di sekitarnya.

(28)

Berdasarkan pengalaman negara-negara berkembang yang pernah menerapkan teori kutub pertumbuhan dan pusat pertumbuhan dan mempunyai peranan utama dalam pembangunan ekonomi. Menurut Hanafiah (1988), maka kutub pertumbuhan dan pusat pertumbuhan mempunyai fungsi antara lain sebagai : (1) pusat pelayanan secara umum maupun secara khusus, seperti pelayanan kesehatan, pendidikan dan sebagainya, (2) pusat inovasi dan promosi, sehingga kutub pertumbuhan dan pusat pertumbuhan harus mempunya i kegiatan pemrosesan dan pengolahan dasar dan mendasar guna memenuhi kebutuhan wilayah dan nasional, dan juga harus menciptakan lapangan kerja bagi tenaga kerja yang terdorong keluar akibat revolusi hijau, dan (3) pusat interaksi sosial, sebagai pusat difusi inovasi dan informasi, dan juga harus berfungsi sebagai tempat pelayanan penyuluhan, pendidikan serta tempat pertemuan berbagai kelompok masyarakat.

2.3 Konsep Pembangunan Daerah Tertinggal 2.3.1 Pengertian Daerah Tertinggal

Menurut Kementerian Nega ra Pembangunan Daerah Tertinggal Republik

Indonesia (2004) daerah tertinggal adalah daerah kabupaten yang relatif kurang

berkembang dibandingkan daerah lain dalam skala nasional, dan berpenduduk

yang relatif tertinggal. Dalam konsep Badan Perencanaan Pemba ngunan Nasional

(2004) wilayah tertinggal pada umumnya dicirikan dengan letak geografisnya

relatif terpencil, atau wilayah-wilayah yang miskin sumberdaya alam, atau rawan

bencana alam. Wilayah tertinggal merupakan suatu wilayah dalam suatu daerah

yang secara fisik, sosial, dan ekonomi masyarakatnya mencerminkan

keterlambatan pertumbuhan dibandingkan dengan daerah lain.

(29)

Selanjutnya, wilayah tertinggal dalam kerangka penataan ruang nasional didefenisikan sebagai wilayah budidaya yang secara ekonomi jauh tertinggal dari rata-rata nasional, baik akibat kondisi geografis, maupun kondisi sosial beserta infrastrukturnya. Pengertian yang lebih umum menyebutkan bahwa wilayah tertinggal merupakan wilayah pedesaan yang mempunyai masalah khusus atau keterbatasan sarana dan prasarana, sumberdaya manusia, dan keterbatasan aksesibilitasnya ke pusat-pusat pemukiman lainnya. Hal inilah yang menyebabkan kemiskinan serta kondisinya relatif tertinggal dari pedesaan lainnya dalam mengikuti dan memanfaatkan hasil pembangunan nasional dan daerah.

Pada hakekatnya pelaksanaan program pembangunan daerah tertinggal sering menghadapi persoalan yaitu adanya tumpangtindih kegiatan dengan program penanggulangan kemiskinan. Secara umum, memang beberapa kegiatan program pembangunan daerah tertinggal pada dasarnya sama dengan program penanggulangan kemiskinan yaitu sama-sama bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayah yang terisolir, tertinggal, terpencil dan miskin. Namun, dalam program pembangunan wilayah tertinggal tar getnya lebih luas mengingat bukan hanya manusia atau masyarakat saja yang perlu dibenahi, melainkan pengembangan aspek spasial yaitu wilayah yang memiliki fungsi tertentu agar wilayah dengan fungsi tertentu atau wilayah tersebut berkembang dan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi daerah.

Menurut Bappenas (2004) wilayah tertinggal secara umum dapat dilihat dan

ditentukan berdasarkan letak geografisnya yang secara garis besarnya dapat dibagi

menjadi dua kategori yaitu wilayah tertinggal di pedalaman dan wilayah tertinggal

di pulau-pulau terpencil.

(30)

1. Kondisi wilayah tertinggal di pedalaman

a) Kondisi sumberdaya alam sangat rendah (kesuburan tanahnya yang rendah, rawan longsor, rawan banjir, terbatasnya sumberdaya air, daerah dengan topografi yang terjal, tanah berawa-rawa/gambut).

b) Semberdaya alamnya mempunyai potensi , namun daerah tersebut belum berkembang/terbelakang. Kondisi geografis pada umumnya di daerah yang tidak terjangkau, sehingga walaupun lokasinya relatif dekat, namun tidak tersedia akses dari wilayah tersebut ke wilayah pusat pertumbuhan.

Penguasaan dan penerapan tekonologi yang relatif rendah dikarenakan kurangnya pembinaan dan keterbatasan dukungan prasarana teknologi itu sendiri.

c) Ketersedian atau keterbatasan prasarana dan sarana komunikasi, transportas i, air bersih, air irigasi, kesehatan, pendidikan dan lainnya menyebabkan wilayah tertinggal tersebut makin sulit untuk berkembang.

d) Tingginya kesenjangan ekonomi antar daerah (misalnya antara pantai/pesisir dengan pedalaman). Struktur sosial ekonomi masyarakat terbagi dalam beberapa tingkatan misalnya masyarakat tradisional, semi modern dan masyarakat modern.

e) Rendahnya akses ke pusat-pusat pertumbuhan lokal misalnya ibukota kecamatan. Biaya transportasi menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan nilai jual komoditi.

f) Rendahnya kualitas sumberdaya manusia, baik aparatur maupun

masyarakat.

(31)

g) Kualitas dan jumlah rumah penduduk belum layak. Sebaran kampung penduduk yang terpencar dan pada daerah dengan topografi berat, menyebabkan daerah tersebut sulit dijangkau.

h) Masih belum mengenal uang sebagai alat jual beli barang. Di masyarakat yang sudah mengenal uang, proses pemupukan modal dari masyarakat sendiri belum berlangsung dengan baik.

2. Kondisi wilayah tertinggal di pulau-pulau terpencil

a) Kondisi masyarakat pulau-pulau kecil di wilayah terpencil masih sangat marjinal, sehingga dapat dimanfaatkan oleh pihak yang mempunyai kepentingan.

b) Terdapat 88 pulau kecil yang bertitik dasar dan berbatasan langsung dengan 10 negara tetangga.

c) Terbatasnya sarana dan prasarana untuk melakukan pembinaan, pengawasan dan pengolahan, khususnya terhadap pulau-pulau yang terpencil sulit dijangkau dan tidak berpenghuni.

d) Kondisi pulau di perbatasan umumnya pulau-pulau yang sangat kecil sehingga sangat rentan terhadap kerusakan baik oleh alam maupun akibat kegiatan manusia.

e) Adat istiadat, budaya dan agama masyarakat pulau-pulau kecil yang spesifik dan pada umumnya bertentangan dengan adat, budaya yang dibawa oleh pendatang/wisatawan, sehingga akan menghambat proses pembaharuan.

2.3.2 Kriteria Penentuan Daerah Tertinggal

Pemilihan lokasi daerah tertinggal bukan ditentukan dari tingkat propinsi

ataupun pemerintah pusat, tapi ada hal-hal yang menjadi indikator dari pemerintah

(32)

dalam menetapkan suatu daerah termasuk dalam kategori daerah tertinggal.

Menurut Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal Republik Indonesia (2004) penetapan kriteria daerah tertinggal dilakukan dengan menggunakan pendekatan berdasarkan pada perhitungan enam kriteria daerah dasar yaitu : (1) perekonomian masyarakat, (2) sumberdaya manusia, (3) prasarana dan sarana (infrastruktur), (4) kemampuan keuangan daerah, (5) aksesibilitas dan karakteristik daerah, dan (6) berdasarkan kabupaten yang berada di daerah perbatasan antar Negara dan gugusan pulau-pulau kecil, daerah rawan bencana dan daerah rawan konflik.

Bappenas (2004) menyebutkan bahwa faktor penyebab suatu daerah dikategorikan sebagai daerah tertinggal yaitu antara lain :

1. Geografis : secara geografis wilayah tertinggal relatif sulit dijangkau akibat letaknya yang jauh di pedalaman, perbukitan/pegunungan, kepulauan, pesisir dan pantai pulau-pulau terpencil, ataupun karena faktor geomorfologis lainnya sehingga sulit dijangkau oleh perkembangan jaringan, baik transportasi maupun media komunikasi.

2. Sumberdaya alam : beberapa wilayah tertinggal terjadi akibat rendah/miskinnya potensi sumberdaya alam seperti daerah kritis minus atau lingkungan sekitarnya merupakan wilayah yang dilindungi atau tidak bisa dieksploitasi, sehingga masyarakat sulit mendapatkan mata pencaharian yang memadai.

3. Sumberdaya manusia : pada umumnya masyarakat di wilayah tertinggal

mempunyai tingkat pendidikan, pengetahuan, dan keterampilan yang

sederhana, serta pada umumnya terikat atau masih memegang teguh nilai-nilai

tradisional dan sulit menerima nilai-nilai baru. Di samping itu, kelembagaan

(33)

adat pada sebagian masyarakat pedalaman belum berkembang. Dalam kondisi demikian, walaupun daerah tersebut memiliki sumberdaya alam yang potensial namun tidak diolah dengan baik atau dimanfaatkan oleh dan untuk kepentingan pihak tertentu.

4. Kebijakan pembangunan : suatu wilayah dapat tertinggal karena beberapa faktor kebijakan, seperti keterbatasan kemampuan keuangan pemerintah, kesalahan prioritas penanganan dan strategi atau pendekatan, tidak diakomodasikannya kelembagaan masyarakat adat dalam perencanaan dan penanganan pembangunan sehingga mengakibatkan penanganan wilayah tertinggal selama ini salah sasaran atau tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat.

Seperti yang sudah diutarakan sebelumnya, bahwa daerah tertinggal sangat kompleks dengan permasalahan-permasalahan, hal inilah yang menjadi tantangan bagi stakeholders dalam upaya penanganan pembangunan daerah tertinggal.

Namun, sekelumit permasalahan yang dihadapi khususnya pada daerah tertinggal juga berbeda anta ra daerah yang satu dengan daerah lainnya. Sehingga membutuhkan pendekatan-pendekatan khusus pada daerah yang dimaksud, agar dalam membuat suatu strategi pembangunan daerah tertinggal dapat dirumuskan langkah-langkah yang strategis sehingga pencapaian target bisa lebih tepat pada sasaran.

Menurut Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal Republik

Indonesia (2004) , secara agregat permasalahan yang dihadapi daerah tertinggal

adalah sebagai berikut :

(34)

a. Kualitas SDM di daerah tertinggal relatif lebih rendah di bawah rata-rata nasional akibat terbatasnya akses masyarakat terhadap pendidikan, kesehatan dan lapangan kerja.

b. Tersebar dan terisolirnya wilayah-wilayah tertinggal akibat keterpencilan dan kelangkaan sarana dan prasarana wilayah.

c. Terbatasnya akses permodalan, pasar, informasi dan teknologi bagi upaya pengembangan ekonomi lokal.

d. Terdapat gangguan keamanan dan bencana yang menyebabkan kondisi daerah tidak kondusif untuk berkembang.

e. Daerah perbatasan antar Negara selama ini orientasi pembangunannya bukan sebagai beranda depan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan lebih menekankan aspek keamanan (security approach), sehingga terjadi kesenjangan yang sangat lebar dengan daerah perbatasan Negara tetangga.

f. Komunitas Adat Terpencil (KAT) memiliki akses yang sangat terbatas kepada pelayanan sosial, ekonomi, dan politik serta terisolir dari wilayah di sekitarnya.

Menurut Wanggai (2004) persoalan-persoalan yang dihadapi dalam

kawasan tertinggal antara lain : rendahnya kualitas ekonomi masyarakat,

kesenjangan sos ial ekonomi antar penduduk, kesenjangan antar wilayah dan antar

desa-kota, rendahnya aksesibilitas wilayah, rendahnya kualitas sumberdaya

manusia, potensi sumberdaya alam yang belum dimanfaatkan secara optimal,

isolasi wilayah, rendahnya kehadiran investor , dan rendahnya keterkaitan antar

sektor, antar wilayah dan antar usaha ekonomi.

(35)

2.3.3 Kebijakan dan Strategi Pembangunan Daerah Tertinggal

Melihat persoalan-persoalan tersebut, menurut Bappenas (2004) untuk mewujudkan keberhasilan pencapaian tujuan dan sasaran program, penyelesaian wilayah tertinggal perlu menggunakan prinsip-prinsip pengembangan yaitu sebagai berikut : (a) berorientasi pada masyarakat (people centered) : masyarakat di wilayah tertinggal adalah pelaku sekaligus pihak yang mendapatkan manfaat dari kegiatan yang dilaksanakan, (b) berwawasan lingkungan (environmentally sound) : berkembangnya kebutuhan ekonomi yang dipengaruhi oleh perubahan

sosial ekonomi dan modernisasi dapat mendorong terciptanya kegiatan merusak lingkungan seperti pengrusakan hutan lindung dan terumbu karang, (c) sesuai dengan adat istiadat dan budaya setempat (culturally appropriate ) : pengembangan kegiatan yang berorientasi pada kondisi dan kebutuhan masyarakat perlu memperhatikan adat istiadat dan budaya yang telah berkembang sebagai suatu kearifan tradisional (traditional wisdom) dalam kehidupan masyarakat setempat, dan memperkaya khasanah budaya bangsa, (d) sesuai kebutuhan masyarakat (socially accepted) : kegiatan pengembangan wilayah tertinggal harus berdasarkan kebutuhan daerah dan masyarakat penerima manfaat dan bukan berdasarkan asas pemerataan dimana setiap daerah berhak atas bantuan pendanaan dari pemerintah, dan (e) tidak diskriminatif (non discriminative) ; prinsip ini digunakan agar kegiatan penanganan wilayah

tertinggal tidak bias pada kepentingan pihak tertentu, yang pada akhirnya dapat mengganggu pencapaian tujuan dan sasaran program.

Seperti yang tersirat dalam defenisi wilayah tertinggal, ternyata karakteristik

wilayah dan masyarakat wilayah tertinggal menunjukkan perbedaan yang cukup

berarti dengan wilayah lain di Indonesia, maka pendekatan

(36)

penanggulangan/pengentasan kemiskinan di wilayah tertinggal tidak hanya terfokus pada aspek ekonomi tetapi sifatnya harus lebih menyeluruh dan merata pada semua aspek pe mbangunan.

Perlu menjadi catatan bagi pemerintah daerah bahwa proses implementasi kebijakan itu sesungguhnya tidak hanya menyangkut perilaku badan administratif yang bertanggung jawab untuk melaksanakan program dan menimbulkan ketaatan pada diri kelompok sasaran, melainkan pula menyangkut jaringan kekuatan- kekuatan politik, ekonomi dan sosial yang langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi perilaku semua pihak yang terlibat dan yang pada akhirnya berpengaruh terhadap dampak, baik negatif maupun yang positif (Wahab,1990 dalam Hidayat,2004). Oleh karena itu, untuk mencapai keberhasilan implentasi kebijakan diperlukan kesamaan pandangan tujuan yang hendak dicapai dan komitmen semua pihak untuk memberikan dukungan.

Menurut Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal Republik Indonesia (2004) untuk mempercepat pembangunan daerah tertinggal ditetapkan kebijakan umum berupa : (1) pemihakan, (2) percepatan, dan (3) pemberdayaan masyarakat di daerah tertinggal. Kebijakan tersebut diterjemahkan dalam kebijaka n operasional, seperti di bawah ini :

1. Meningkatkan kualitas SDM melalui pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat sesuai dengan standar pelayanan minimum di daerah tertinggal sehingga setara dengan rata-rata masyarakat Indonesia lainnya.

2. Meningkatkan ketersedia an sarana dan prasarana ekonomi antara lain melalui

skim USO (Universal Service Obligation) untuk telekomunikasi, keperintisan

untuk transportasi, dan listrik masuk desa.

(37)

3. Meningkatkan akses masyarakat kepada sumber-sumber permodalan, pasar, informasi dan teknologi.

4. Mencegah dan mengurangi risiko gangguan keamanan dan bencana melalui pengembangan sistem deteksi dini.

5. Merehabilitasi kerusakan fisik, serta pemulihan sosial budaya, dan ekonomi akibat bencana alam dan konflik.

6. Mengubah orientasi pembangunan daerah perbatasan dari pendekatan yang lebih menekankan kepada keamanan kepada pendekatan yang lebih menekankan kepada kesejahteraan dan menjadikannya beranda depan negara sebagai pusat pertumbuhan ekonomi.

7. Memberdayakan Komunitas Adat Terpencil (KAT) melalui peningkatan akses kepada pelayanan sosial, ekonomi, dan politik serta wilayah di sekitarnya.

Dalam konsep Bappenas (2004) kebijakan-kebijakan untuk pembangunan daerah tertinggal antara lain :

a. Meningkatkan kemampuan KAT dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dalam berbagai aspek kehidupannya agar mampu menanggapi perubahan sosial budaya dan lingkungan hidupnya.

b. Meningkatkan dan memeratakan pelayanan sosial yang lebih adil, dalam arti bahwa setiap KAT berhak untuk memperoleh pelayanan sosial yang sebaik- baiknya.

c. Meningkatkan dan memantapkan partisipasi sosial masyarakat dalam

pelayanan sosial dengan melibatkan semua unsur dan komponen masyarakat

atas dasar swadaya dan kesetiakawanan sosial sehingga merupakan bentuk

usaha -usaha kesejahteraan sosial yang melembaga dan berkesinambungan.

(38)

d. Semua tempat terpencil dan terisolir, wilayah pulau-pulau kecil dan wilayah perbatasan harus dapat terhubung dengan wilayah-wilayah lain agar penduduk dapat berinteraksi sehingga terwujud kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Setelah ada suatu kebijakan maka perlu perumusan strategi, hal ini dimaksudkan agar setiap strategi pembangunan daerah tertinggal yang akan dibuat sesuai dengan kebutuhan dan kondisi masing-masing daerah. Dengan demikian, antara kebijakan dan strategi harus menunjukkan kesinergikan sehingga setiap kebijakan dan strategi yang sudah dirumuskan dapat langsung mengenai sasaran.

Strategi-strategi yang dimaksud meliputi :

1. Pengembangan ekonomi lokal : strategi ini diarahkan untuk mengembangkan ekonomi daerah tertinggal dengan didasarkan pada pendayagunaan potensi sumberdaya lokal (sumberdaya manusia, sumberdaya kelembagaan, serta sumberdaya fisik) yang dimiliki masing-masing daerah, oleh pemerintah dan masyarakat, melalui pemerintahan daerah maupun kelompok-kelompok kelembagaan berbasis masyarakat yang ada.

2. Pemberdayaan masyarakat : strategi ini diarahkan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat untuk berperan aktif dalam kegiatan sosial, budaya, ekonomi, dan politik.

3. Perluasan kesempatan : strategi ini diarahkan untuk membuka keterisolasian daerah tertinggal agar mempunyai keterkaitan dengan daerah maju.

4. Peningkatan kapasitas : strategi ini diarahkan untuk meningkatkan kapasitas

kelembagaan dan sumberdaya manusia pemerintah dan masyarakat di daerah

tertinggal.

(39)

5. Peningkatan Mitigasi dan Rehabilitasi : strategi ini diarahkan untuk mengurangi resiko dan memulihkan dampak kerusakan yang diakibatkan oleh konflik dan bencana alam.

Bertolak dari konsep strategi pengembangan kawasan perbatasan di lima kabupaten yang tertuang dalam laporan perencanaan dan pengendalian strategi pengembangan kawasan tertinggal, maka konsep rencana strategi nasional pengembangan kawasan tertinggal pada masa yang akan datang diharapkan dapat menjadi suatu acuan kerja dan pedoman strategi pembangunan yang di dasarkan atas lima strategi dasar yaitu :

1. Pemenuhan kebutuhan dasar ( Basic Needs Development) 2. Berpusat pada manusia (People Centered Development)

3. Pertumbuhan sekaligus pemerataan (Redistribution With Growth ) 4. Partisipatif (Participation Approach)

5. Keberlanjutan (Sustainable Development) 2.3.4 Program-program Pembangunan Prioritas

Pada dasarnya, program-program prioritas dilaksanakan berdasarkan strategi yang dirumuskan. Untuk wilayah yang maju maka prioritas pembangunan diutamakan, karena dengan demikian diharapkan mampu untuk tumbuh dan berkembang serta mampu untuk menarik daerah belakangnya. Sedangkan untuk daerah terbelakang atau tertinggal ada penyesuaian dan tahapan terhadap program-program pembangunan. Hal ini dimaksudkan agar keseimbangan keuangan pemerintah pada daerah tersebut tetap stabil sehingga lambat laun pertumbuhan dan pemerataan pembangunan dapat tercapai dan tetap terjaga.

Menurut Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal Republik

Indonesia (2004) untuk mengimplementasikan pembangunan daerah tertinggal

(40)

secara terpadu dan tepat sasaran serta tepat kegiatan, maka diperlukan program prioritas yang diarahkan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan mendasar yang dihadapi oleh semua daerah tertinggal. Program-program tersebut yaitu :

1. Program Pengembangan Ekonomi Lokal

Kegiatan pokok dari pembangunan ekonomi lokal, meliputi : (1) meningkatkan kemampuan dan keterampilan masyarakat, (2) meningkatkan modal sosial yang ada dalam masyarakat, (3) mendorong tumbuhnya pusat kegiatan ekonomi baru, dengan memperhatikan produk andalan daerah, (4) meningkatkan akses masyarakat dan usaha mikro, kecil, dan menengah kepada permodalan, pasar, informasi,dan teknologi, (5) meningkatkan keterkaitan kegiatan ekonomi di wilayah tertinggal dengan pusat-pusat pertumbuhan, (6) mengembangkan kerjasama dan keterkaitan kegiatan ekonomi antar daerah dalam kegiatan ekonomi lokal, dan (7) penguatan dan penataan kelembagaan pemerintahan daerah dan masyarakat.

2. Program Pemberdayaan Masyarakat

Program pemberdayaan masyarakat mempunyai kegiatan pokok, sebagai berikut : (1) mengupayakan pemenuhan kebutuhan sosial dasar masyarakat, (2) meningkatkan kemampuan dan ketrampilan masyarakat, (3) mengupayakan adanya pengelompokan permukiman untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyediaan pelayanan umum, khususnya untuk Komunitas Adat Terpencil (KAT), dan (4) meningkatkan kepastian hukum hak atas tanah kepada masyarakat melalui penegakan hukum pertahanan yang adil dan transparan secara konsisten.

3. Program Pengembangan Daerah Perbatasan

Program pengembangan daerah perbatasan, kegiatan pokoknya, meliputi :

(1) memfasilitasi dan memotivasi pemerintah daerah untuk menjadikan

(41)

wilayahnya sebagai beranda depan Negara dengan mengembangkan pusat pertumbuhan ekonomi, (2) mengamankan wilayah perbatasan dari kegiatan ilegal dan memfasilitasi dan pergerakan barang dan orang secara sah dan mudah, (3) menegakkan supermasi hukum serta aturan perundang-undangan terhadap setiap pelanggaran, (4) mendeklerasikan serta menetapkan garis perbatasan antar Negara dengan tanda-tanda batas yang jelas, (5) menyusun rencana dan strategi pengembangan wilayah perbatasan, dan (6) mengembangkan wawasan kebangsaan masyarakat.

4. Program Pengembangan Prasarana dan Sarana

Program pengembangan prasarana dan sarana, kegiatan pokoknya meliputi : (1) pengembangan sarana dan prasarana sosial dasar, terutama bidang pendidikan dan kesehatan, (2) meningkatkan ketersediaan sarana dan prasarana ekonomi antara lain melalui skim USO (Universal Service Obligation) untuk telekomunikasi, keperintisan untuk transportasi, dan listrik masuk desa, (3) menyerasikan system transportasi di daerah tertinggal ke dalam satu kesatuan system yang terpadu dengan wilayah maju, (4) memperluas jaringan informasi dan teknologi, dan (5) mengembangkan prasarana perdesaan khususnya prasarana pertanian dan transportasi penghubung dengan kawasan perkotaan.

5. Program Pencegahan dan Rehabilitasi Bencana

Program pencegahan dan rehabilitasi bencana, kegiatan pokoknya meliputi :

(1) rehabilitasi sarana da n prasarana sosial-ekonomi yang rusak akibat bencana,

(2) percepatan proses rekonsilisasi antara masyarakat yang terlibat konflik dan

pemulihan mental masyarakat akibat trauma konflik, (3) peningkatan rasa saling

percaya dan harmoni antar kelompok, (4) sos ialisasi penerapan spesifikasi

(42)

bangunan yang memiliki ketahanan terhadap bencana, dan (5) menerapkan system deteksi dini terjadinya bencana.

2.4 Konsep Manajemen Strategi

Memformulasikan strategi merupakan rangkaian kegiatan yang membutuhkan perhatian yang serius. Penggalian informasi dari pihak-pihak yang kompeten dalam suatu daerah merupakan langkah pertama dan kunci untuk menghasilkan strategi yang sesuai dengan kondisi lingkungan suatu daerah.

Strategi berasal dari bahasa Yunani yaitu strategos dan strategia. Kata strategi dalam kegiatan berperang bukanlah suatu yang asing karena strategi itu sendiri dapat diartikan sebagai suatu pendekatan pemakaian sumberdaya di dalam kendala iklim kompetitif agar seperangkat sasaran dapat dipakai. Strategi sendiri digunakan dalam dua pengertian yaitu untuk menunjukkan kepada apa yang mau dilakukan oleh suatu organisasi secara aktif atau untuk menggambarkan reaksi positifnya terhadap perubahan lingkungan. Istilah strategi yang dipakai dalam studi berarti pengetahuan dan seni menangani sumber-sumber yang tersedia dari suatu organisasi untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang diinginkan (Chandradhy dalam Denia, 2002).

Menurut David (2002), manajemen strategi merupakan seni dan

pengetahuan untuk merumuskan, mengimplementasikan, dan mengevaluasi

keputusan lintas fungsional yang membuat organisasi mampu mencapai

obyektifnya. Menurut Nawawi (2003) manajemen strategi adalah perencanaan

berskala besar yang berorientasi pada jangkauan masa depan yang jauh, dan

ditetapkan sebagai keputusan manajemen puncak agar memungkinkan organisasi

berinteraksi secara efektif dalam usaha menghasilkan sesuatu yang berkualitas,

(43)

dengan diarahkan pada optimalisasi pencapaian tujuan dan berbagai sasaran organisasi. Fokus manajemen strategis terletak pada memadukan manajemen, pemasaran, keuangan, produksi/operasi, penelitian dan pengembangan, serta sistem informasi komputer untuk mencapai keberhasilan organisasi. Pearce dan Robinson (1997) menyatakan bahwa manajemen strategi sebagai kumpulan keputusan dan tindakan yang menghasilkan perumusan (formulasi) dan pelaksanaan (implementasi) rencana -rencana yang dirancang untuk mencapai sasaran-sasaran organisasi.

Pearce dan Robinson (1997) menjelaskan tiga bahan pokok sangat penting bagi keberhasilan suatu strategi :

1) Strategi harus konsisten dengan kondisi lingkungan persaingan. Tegasnya, strategi harus memanfaatkan peluang yang ada atau diperkirakan akan ada dan meminimalkan dampak dari ancaman-ancaman besar.

2) Strategi harus realistik dalam hal kemampuan intern organisasi. Akhirnya pemanfaatan peluang haruslah didasarkan tidak hanya pada adanya peluang itu sendiri melainkan juga pada kekuatan intern organisasi.

3) Strategi harus dilaksanakan secara cermat.

Proses manajemen strategi paling baik dapat dipelajari dan ditetapkan dengan menggunakan suatu model. Setiap model menggambarkan semacam proses. Kerangka kerja yang diilustrasikan dalam Gambar 1 merupakan model komprehensif dari proses manajemen strategis yang menggambarkan pendekatan yang jelas dan praktis untuk merumuskan, mengimplementasikan dan mengevaluasi strategi.

Proses manajemen strategi bersifat dinamis dan berkelanjutan. Suatu

perubahan dalam salah satu komponen utama dalam model dapat memaksa

(44)

perubahan dalam salah satu atau semua komponen yang lain. Oleh karena itu, aktivitas merumuskan, mengimplementasikan dan mengevaluasi strategi harus dilaksanakan secara terus-menerus.

Gambar 1. Model Komprehensif Proses Manajemen Strategi

Dengan demikian pemerintah daerah Kabupaten Garut harus melakukan tindakan manajemen strategi sebagai upaya untuk memperoleh suatu rumusan- rumusan strategi dalam pembangunan daerah tertinggal. Perencanaan merupakan suatu hal yang mutlak untuk dilakukan karena pada kondisi ini akan ditentukan apa yang menjadi tujuan dari Kabupaten Garut dan apa saja yang harus dilakukan dalam pencapaiannya. Pengalokasian sumberdaya harus dilakukan agar efisien dan efektif. Di samping itu, pemerintah setempat juga harus memperhatikan faktor -faktor internal dan eksternal sebagai landasan dalam memformulasikan strategi agar serangkaian tindakan yang harus diambil dan dilakukan memperoleh sasaran yang tepat.

Menge mbangk an Pernyat aan Misi

Menetap kan Sasaran Jangka Panjang

Menghasil kan, Mengevalu asi, dan Memilih Strategi

Menetapkan Kebijakan dan Sasaran Tahunan

Mengalo kasikan Sumber daya

Mengu kur dan Menge valuasi Prestasi

Melakukan Audit Internal

Melakukan

Audit

Eksternal

(45)

2.5 Konsep Pertanian dalam Pembangunan Daerah Tertinggal

Selama 25 tahun lebih, sektor pertanian dikenal sebagai “heavy regulated”

di pasar input, output dan distributor produk pertanian. Semula regulasi pertanian dimaksudkan untuk memperbaiki kinerja sektor pertanian, namun sampai saat ini kinerja sektor pertanian belum sesuai dengan harapan. Berbagai masalah yang dihadapai sektor pertanian ditambah lagi regulasi itu sendiri seperti monopoli dan monopsoni telah membuat sektor pertanian terdistorsi, tidak efisien dan berdaya saing kurang tinggi.

Menurut Tambunan (1998) sekilas dapat dilihat kondisi dan permasalahan sektor pertanian pada masa lalu cukup luas antara lain : (1) Pertumbuhan dan produtivitas pertanian yang rendah, (2) Nilai pangsa ekspor yang belum tinggi cenderung konstan dan bahkan beberapa komoditi cenderung turun, (3) Pendapatan pertanian (pertanian rakyat) yang masih rendah, (4) Daya saing masih rendah, (5) Teknologi yang masih ketinggalan, dan (5) Masalah lingkungan yang semakin serius.

Berdasarkan pengalaman-pengalaman di masa lalu, maka sudah saatnya dilakukan regionalisasi program pertanian melalui otonomi daerah sebagai wujud kebangkitan pertanian dalam pembangunan nasional.

Menurut Mosher dalam Hanafiah (1984) agar tercipta pembangunan pertanian yang berdaya saing maka perlu diperhatikan hal-hal berikut :

1) Pertanian Modern Harus dapat diciptakan yaitu mencakup :

a) Teknologi usahatani dan dayaguna atau efisiensi harus diperbaiki secara berkesinambungan.

b) Ragam komoditi yang dihasilkan usahatani harus selalu disesuikan dengan

: permintaan pasar dan biaya produksi.

(46)

c) Kwalitas atau mutu lahan pertanian, ketrampilan tenaga kerja dan peralatan kerja usahatani harus berubah sesuai dengan kebutuhan.

d) Kombinasi proporsi antara lahan, tenaga kerja dan modal selalu berubah sebagai akibat perubahan : tingkat pertumbuhan penduduk, alternatif kesempatan kerja dan teknologi usahatani.

e) Pelayanan dari pemerintah dan swasta karena perubahan fungsional dalam cara-cara baru.

2) Pertanian sebagai Industri yaitu suatu usaha “agribisnis” dan bukan usahatani tradisional. Pertanian itu mencakup :

a) Proses Produksi Biologi : pertanian secara langsung memanfaatkan energi matahari melalui proses pertumbuahan biologis tanaman dan hewan.

b) Usahatani bervariasi dari subsisten ke komersial : usahatani bervariasi mulai dari usahatani subsiten yang berproduksi untuk konsumsi keluar dan usahatani komersial yang berproduksi untuk dijual ke pasar.

c) Komponen fungsional pertanian modern : (1) usahatani yang bersifat tradisional dan modern, (2) kegiatan komersial penunjang usahatani yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta dalam ruang lingkup kegiatan komersial, (3) kegitan non-komersial penunjang usahatani meliputi penelitian pertanian, pendidikan, latihan dan penyuluhan, serta (4) agri-milleu merupakan kondisi yang diperlukan untuk menciptakan pertanian modern dengan melihat faktor ekonomi, politik dan budaya.

3) Struktur Geografi atau Wilayah Pertanian 4) Variasi atau Perbedaan Antar Wilayah

5) Ketergantungan antara Pembangunan Pertanian dan Industri

6) Pertanian melibatkan pemerintah dan swasta.

Referensi

Dokumen terkait

Pencocokan faktor strategis eksternal dan internal pada matriks SWOT menghasilkan delapan strategi yang dapat diterapkan oleh perusahaan, antara lain : (1)

Hasil analisis SWOT usaha ternak sapi perah KUD Bayongbong menunjukan beberapa alternatif strategi yang dapat diterapkan yaitu: meningkatkan kegiatan produksi dengan

Sebagai masukan agar strategi pemasaran di Akademi Keperawatan Pemerintah Propinsi Kalimantan Barat dapat meningkatkan calon mahasiswa baru antara lain: l Perlunya penerapan produk

Perkembangan pembangunan pendidikan di wilayah perbatasan tidak jauh dari pembangunan pendidikan di Kabupaten Sumbawa Barat yang merupakan daerah tertinggal, yang

Strategi yang dapat diterapkan untuk pengembangan usaha pembibitan domba di Peternakan Domba Tawakkal berdasarkan matriks SWOT adalah mengadakan kerjasama dalam hal

Berdasarkan hasil analisis SWOT, strategi kebijakan pembangunan sektor unggulan yang perlu diambil adalah meningkatkan perekonomian daerah melalui potensi sektor basis,

Hasil analisis matriks SWOT menghasilkan sembilan alternatif strategi, yaitu meningkatkan kualitas produk serta keterjaminan keamanan produk (SO1), meningkatkan

Dari alternatif strategi tersebut dipilih strategi prioritas sesuai hasil posisi perusahaan pada matriks grand strategi yaitu berada pada Kuadran I, dimana terdapat 2 strategi SO