• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

18 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori atau Konseptual 1. Tinjauan tentang Lembaga Negara Independen

a. Sejarah Lahirnya Lembaga Negara Independen

Teori klasik dari hukum tata negara menyebutkan bahwa secara garis besar struktur cabang kekuasaan negara ke dalam tiga cabang, diantaranya kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Persoalan pembatasan kekuasaan (limitation of power) tersebut tidak lepas dari teori pemisahan kekuasaan (separation of power) dan teori pembagian kekuasaan (division of power atau distribution of power). Pada umumnya, kedua doktrin tersebut berasal dari pendapat Montesquieu mengenai Trias Politica.

Menurut Jimly Asshidiqie (2006:15), konsep awal mengenai hal ini dipelopori oleh John Locke dalam karyanya “Second Treatis of Government” (1690) yang menyebutkan bahwa kekuasaan untuk menetapkan aturan hukum tidak dapat diberikan kepada mereka sendiri yang menerapkannya. Teori tersebut selanjutnya diteruskan oleh sarjana hukum Perancis, Baron Secondate Montesqiue dalam Spirit of the Laws (1748) yang mengembangkan pemikiran John Locke menjadi konsep trias politica yang membagi kekuasaan negara menjadi 3 (tiga) cabang kekuasaan. Berdasarkan pandangan Montesquieu, fungsi kekuasaan negara menjadi hal yang wajib diklasifikasikan agar dalam melakukan kewenangannya tidak saling mencampuri. Teori ini dibuat agar kekuasaan tidak terpusat pada satu tangan atau satu institusi tertentu. Kekuasaan harus dipilah menjadi tiga fungsi besar agar dapat saling ‘mengawasi’ (checks) dan saling ‘menyeimbangi’ (balances) dalam operasionalisasi kekuasaan yang nyata. Dengan demikian, kekuasaan dapat dibatasi sesuai dengan fungsinya dan dapat dikontrol secara internal oleh lembaga lain yang sederajat, maupun secara eksternal oleh rakyat sebagai konstituen real yang diwakili oleh lembaga-lembaga negara tersebut. Ketiga cabang commit to user

(2)

kekuasaan tersebut yang selanjutnya menjadi batasan ruang bagi pembentukan beragam lembaga negara, yang akan menjadi pelaksana dari cabang kekuasaan tersebut. Sederhananya semua lembaga yang resmi didirikan untuk menjalankan fungsi negara, adalah bagian integral dari cabang kekuasaan eksekutif (executive power), legislatif (legislative power), dan yudikatif (judicial power).

Setelah krisis moneter yang melanda di Indonesia pada tahun 1997- 1998 berakhir, terdapat labelling ‘reformasi’ yang menandakan Indonesia menjadi negara dalam masa transisi menuju pemerintahan yang lebih demokratis. Salah satu fenomena yang cukup menarik adalah menjamurnya lembaga-lembaga negara baru yang dikenal dengan istilah lembaga negara independen. Fenomena ini dipicu oleh gelombang demokrasi ketiga “the third wave democratization” yang mendorong lahirnya organ-organ negara independen setelah masa transisi politik (Huntington, 1991:209-210). Lembaga-lembaga negara independen ini mulai mendominasi pada setiap tahapan pembangunan hukum (legal development). Lembaga baru tersebut merupakan akibat trias politica berkembang lebih lanjut dari teori klasiknya dan merupakan keniscayaan dari bertambahnya kebutuhan negara dalam melayani warga negaranya.

Terdapat beberapa basis argumentasi yang dapat ditemukan sebagai pencetus pembentukan lembaga-lembaga tersebut, diantaranya:

(1) Reformasi dengan Pendekatan Neo-Liberal

(2) Kewajiban Transisional untuk Menunjang Hal Tertentu (3) Kebutuhan Percepatan Demokrasi

(4) Bagian dari Pencitraan Kekuasaan

(5) Mengurangi Tugas Lembaga Penyelesaian Sengketa Antara Negara dan Warga Negara

(6) Adanya Kekecewaan terhadap Lembaga Lama (7) Tergesa-gesaan dalam Legislasi

commit to user

(3)

b. Pengertian Lembaga Negara Independen

Lembaga negara independen sekilas dilihat menyerupai organisasi non pemerintah atau non-governmental organization (NGO) karena strukturnya di luar dari pemerintahan eksekutif. Bedanya, lembaga tersebut memiliki sumber pendanaan dari publik dan memiliki tujuan untuk memenuhi kepentingan publik sehingga tidak bisa lagi dikatakan sebagai NGO. Beberapa ahli hukum tata negara mengkategorikan lembaga independen sebagai bagian dari kekuasaan eksekutif, namun beberapa ahli lainnya menempatkan secara tersendiri sebagai cabang keempat dalam kekuasaan pemerintahan. Oleh karena itu, definisi lembaga negara independen hingga hari ini belum mendapatkan padanan kata yang tepat oleh para ahli. Istilah lembaga negara independen di Indonesia dapat dikatakan tidak memiliki justifikasi yuridis yang berarti jika dibandingkan dengan Amerika Serikat. Hal ini disebabkan belum adanya pasal dalam peraturan perundang-undangan yang mencantumkan secara definitif mengenai lembaga negara independen.

Ulasan mengenai lembaga negara independen sering kali ditemukan perbedaan-perbendaan istilah dalam setiap teori yang disampaikan oleh para ahli. Perbedaan istilah adalah suatu persoalan tersendiri, yang menunjukkan belum seragamnya pemahaman terkait konsep kelembagaan negara. Menurut Zainal Arifin Mochtar (2009:39), yang mengutip Moch.

Fajrul Falaakh, perbedaan istilah tersebut menunjukkan belum selesainya persoalan kelembagaan negara, utamanya di tanah air. Apalagi UUD 1945 sendiri juga memberikan peristilahan yang berbeda bagi lembaga negara, termasuk yang sifatnya independen. Istilah lembaga negara disebut juga sebagai komisi negara, badan negara, ataupun organ negara oleh para ahli politik dan hukum tata negara dalam bahasa Indonesia.

Asimow (2002:1) memberikan istilah lain, yaitu badan administratif yang didefinisikan sebagai satuan pemerintahan yang dibentuk dengan undang-undang untuk melaksanakan tugas tertentu dalam melaksanakan undang-undang tersebut. Sebagian besar badan administratif berada di commit to user

(4)

cabang eksekutif, tetapi beberapa badan penting independen. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ‘independen’ diterjemakan yang berdiri sendiri dan yang berjiwa bebas, ataupun tidak terikat, merdeka, dan bebas. Sedangkan secara pengertian dasarnya, independen diartikan sebagai kehendak yang dilakukan tanpa ada pengaruh signifikan dari luar dalam menentukan pendiriannya melakukan fungsi lembaga maupun saat menghasilkan keputusan. Sedangkan secara filosofis, lembaga dengan sifat independen (otonomi) hanya memiliki batas pada tujuan dari lembaga itu sendiri maupun adanya batasan dari lembaga dengan otoritas di atasnya (lebih berwenang) kaitannya dalam operasional. Institusi ototritas yang lebih tinggi tersebut kemudian tidak dapat mencampuri pelaksanaan fungsi institusi yang ditetapkan menjadi institusi independen. Maka lembaga independen jika dirangkum merupakan lembaga yang bebas dari intervensi atau yang mengikat lembaga tersebut dalam menentukan sikap atau kebijkan yang dihasilkan untuk kepentingan publik. Bagi lembaga- lembaga independen negara, kepentingan bangsa dan negara merupakan satu-satunya pengikat bagi independensinya (Nurtjahjo, 2005:280-281).

c. Kedudukan dan Pembedaan Lembaga Negara Independen

Berdasarkan definisi administrative agencies oleh Michael R.

Asimow, komisi negara dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu komisi negara yang berada di bawah eksekutif (executive agencies) dan komisi negara yang independen (independent agencies).

Pengertian yang disusun oleh Asimow juga mirip dengan yang dikemukakan oleh Milakovich dan Gordon (2001:442), membagi komisi negara menjadi dua, yaitu komisi dependen dan komisi independen.

Komisi dependen merupakan komisi negara yang merupakan cabang dari lembaga tertentu dalam pemerintahan eksekutif. Komisi dependen akan dipengaruhi oleh lembaga di atasnya, terutama terkait pelaksanaan pemerintahan. Komisi independen merupakan komisi negara yang berdiri sendiri atau bukan bagian dari kekuasaan eksekutif. Komisi independen

commit to user

(5)

dalam menjalankan tugas dan wewenangnya lebih leluasa dan tanpa pengaruh.

Kemudian dalam seiring dengan perkembangan teori politik dan hukum tata negara, lembaga negara independen tersebut diklasifikasikan secara terpisah dari lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dasar klasifikasi mengacu pada tingkat independensinya, yaitu lembaga dengan independensi permanen; lembaga penunjang, lembaga yang diberi kewenangan untuk menentukan regulasi yan digunakan melaksanakan fungsinya pada pengawasan; serta lembaga dengan fungsi kombinasi antara regulatif, administratif, pengawasan, dan fungsi penegakan hukum sekaligus (Ashiddiqie, 2009:338-339).

Pendapat bahwa lembaga negara independen merupakan organ negara yang berwenang mengeluarkan aturan sendiri (self-regulatory bodies) sudah relatif dapat diterima (Jimly Asshiddiqie, 2006:8). Namun demikian, produk hukum yang dikeluarkan oleh lembaga negara independen tingkatannya masih dibawah undang-undang. Hal ini disebabkan undang-undang adalah produk hukum yang dihasilkan oleh wakil rakyat yang notabene dipilih oleh rakyat dalam pesta demokrasi.

Sedangkan lembaga negara independen meskipun menjalankan fungsi kenegaraan yang strategis, tetapi tidak dipilih langsung oleh rakyat.

Lembaga negara independen adalah organ negara (state organs) yang diidealkan independen dan karenanya berada di luar cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif; namun tetaplah mempunyai fungsi campur sari ketiganya (Jimly Asshiddiqie, 2003). Jimly Asshiddiqie (2006:8) menganggap lembaga negara independen merupakan lembaga campuran yang menjalankan fungsi campuran antara “fungsi regulatif, fungsi administratif, dan fungsi penghukuman”. Berdasarkan doktrin tersebut pemaknaan sifat independen pada lembaga negara adalah tidak adanya intervensi atas kepentingan politik ataupun kepentingan dari 3 (tiga) cabang kekuasaan negara. Dengan demikian, adanya campur tangan dari 3 (tiga) cabang kekuasaan negara merupakan fungsi-fungsi commit to user

(6)

kelembagaan dan prinsip check and balance fungsi kekuasaan negara terhadap lembaga-lembaga negara yang harus dijalankan sepanjang tidak mengintervensi lembaga negara independen dengan kepentingan- kepentingan yang dianggap menguntungkan diantara ketiga cabang kekuasaan negara tersebut.

Istilah independen sering kali justru menjadi persoalan dari lembaga negara yang independen. Independen tidak diartikan sebagai lembaga yang tidak diawasi, justru sistem pertanggung jawaban dari lembaga tersebut harus diperkuat karena sering diartikan lembaga yang lepas dari pengawasan. Sifat independen justru menawarkan sistem pengawasan dari dalam yang lebih fleksibel daripada model pengawasan dari luar. Self- control menjadi poin utama cara mengawasi lembaga negara independen.

Pengawasan dengan kadar berlebihan dan cara yang keliru justru dianggap sebagai bentuk intervensi (Indrayana, 2016:50).

Akhirnya disimpulkan bahwa lembaga negara yang independen juga tetap berlaku teori pembaasan kekuasaan (limitation of powers). Berlaku juga fungsi saling mengawasi dan menyeimbangkan antara satu lembaga dengan lembaga lainnya.

d. Ciri Lembaga Negara Independen

Menurut Milakovich dan Gordon (2001:443) terdapat 6 (enam) ciri khas dari komisi negara indepenen, yaitu:

(1) Kepemimpinan dan keputusan yang diambil pada lembaga ini bersifat kolektif kolegial;

(2) Lembaga dan para pengurusnya hanya memroses yang menjadi kebutuhan, bukan lembaga sendiri yang harus melayani;

(3) Komisioner atau orang yang bekerja di lembaga memiliki masa jabatan para komisionernya relatif panjang;

(4) Posisi komisioner diisi melalui beberapa tahap (staggered). Presiden sekalipun tidak bisa memonopoli pimpinan lembaga independen karena komisioner berganti secara bertahap dan periodenya tidak mengikuti periode politik seorang presiden; commit to user

(7)

(5) Anggota atau komisioner berjumlah ganjil agar pengambilan keputusan dapat berdasar pilihan mayoritas; dan

(6) Keanggotaan umumnya menjaga mempertahankan keseimbangan antar delegasi yang bersifat partisan.

Keenam ciri tersebut mirip dengan yang disampaikan oleh Funk dan Seamon (2001:7) tentang karakteristik lembaga negara independen, yaitu:

Pertama, dipimpinan dengan kepemimpinan kolektif. Kedua, tidak diperbolehkan ada monopoli secara simple majority oleh kelompok tertentu. Ketiga, komisioner ditetapkan masa jabatan tertentu (fixed) dan pemilihannya melalui pemilihan berjenjang (staggered terms), artinya komisioner tidak berhenti secara bersamaan. Keempat, pemberhentian komisioner dari jabatan hanya mungkin dilakukan berdasarkan ketentuan yang tertulis di dalam aturan, bukan berasal dari perintah presiden sebagaimana lembaga eksekutif. Hal mana untuk menegaskan dan menjaga independen komisi negara tersebut.

Zainal Arifin Mochtar (2016:64) merangkum keseluruhan ciri dasar lembaga negara independen dengan delapan ciri berikut:

(1) Lembaga bukan bagian dari kekuasaan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif meskipun tugasnya adalah yang semula dikerjakan oleh pemerintah.

(2) Mengisi anggota dilakukan dengan seleksi yang menghindari monopoli dari cabang kekuasaan tertentu. Seleksi harus mencakup lembaga negara lain sehingga tercipta fungsi checks and balances.

Atau dengan menyerahkan pada public dengan segmentasi tertentu untuk mewakili representatifnya. Intinya menghindari keterlibatan kekuatan politik.

(3) Terdapat mekanisme khusus untuk pemilihan dan juga pemberhentian anggota lembaga yang mendasarinya.

(4) Lembaga negara independen dituntut dekat dengan rakyat dalam proses menjalankan fungsinya. Proses deliberasi seperti keanggotaan,

commit to user

(8)

proses pemilihan, dan pelaporan kinerja bisa diakses secara langsung maupun tidak langsung oleh rakyat.

(5) Pengambilan keputusan lembaga dalam setiap menjalankan tugas dan fungsinya menggunakan sifat kolektif dan kolegial.

(6) Lembaga negara independen bukan lembaga utama, tetapi keberadaannya vital untuk mendukung berjalannya negara. Penting untuk tetap ada karena untuk memenuhi kebutuhan ketatanegaraan yang semakin kompleks.

(7) Kewenangan lembaga negara independen bersifat self-regulated, arinya lembaga dapat membuat aturan sendiri yang bisa diberlakukan secara umum.

(8) Legitimasinya jelas secara konstitusional dan/atau undang-undang.

Basis legitimasi telah ditentukan sebelumnya dalam pembentukan lembaga.

Bersandar pada karakteristik yang telah dipaparkan tersebut maka Zainal (2016:64) menyebutkan lembaga-lembaga negara independen di Indonesia, antara lain: (1) Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM); (2) Dewan Pers; (3) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK); (4) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI); (5) Komisi Yudisial (KY); (6) Komisi Pemilihan Umum (KPU); (7) Ombudsman Republik Indonesia (ORI).

2. Tinjauan tentang Peraturan Perundang-Undangan a. Pengertian Peraturan Perundangan-Undangan

Pada beberapa kepustakaan menyebutkan peraturan perundang- undangan dalam tiga istilah, yaitu legislation, wetgeving, dan gesetzgebung. Peristilahan peraturan perundang-undangan tersebut mengandung dua pemaknaan istilah yang berbeda. Definisi berdasarkan kamus, legislation memiliki arti perundang-undangan dan pembuatan undang-undangan (Echols dan Shadily, 1987:353), sedangkan wetgeving diartikan sebagai membentuk undang-undang dan keseluruhan daripada undang-undangan negara commit to user (Wojowasito, 1985: 802), kemudian

(9)

gesetzgebung didefinisikan sebagai pengertian perundang-undangan (Heuken, 1992:202).

Pengertian wetgeving dalam Juridish woordenboek diartikan sebagai berikut (S.J. Fockema Andrea, 1948):

(1) Suatu rangkaian proses pembentukan atau penyusunan peraturan negara, baik di tingkat pusat maupun daerah.

(2) Segala peraturan tatanan negara yang merupakan hasil penyusunan peraturan, baik di tingkat Pusat maupun Daerah.

Bagir Manan (1994:1-3) mengemukakan pengertian peraturan perundang-undang adalah sebagai berikut:

(1) Seluruh ketetapan tertulis di atas kertas sebagai hasil dari serangkaian yang mengatur tata cara hidup yang bersifat mengikat umum oleh pejabat maupun lingkungan jabatan yang berwenang.

(2) Rangkaian tatanan yang mengatur berbagai ketentuan termasuk mengenai hak, kewajiban, fungsi, status, atau suatu tatanan masyarakat.

(3) Ketetapan dengan ciri-ciri umum-abstrak atau abstrak-umum, artinya ketetapan tersebut bukan ditujukan untuk menata sebuah objek, kejadian, atau tanda-tanda konkret tertentu.

(4) Meminjam kalimat dalam literasi Belanda, peraturan perundang- undangan juga biasa disebut dengan wet in materiële zin, atau juga biasa disebut dengan algemeen verbindende voorschrift yang meliputi wet, AMvB, de Ministeriële verordening, de gemeentelijke raadsverordeningen, de privinciale staten verordeningen.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagai landasan hukum pembentukan undang-undang juga merumuskan pengertian peraturan perundang- undangan yang tercantum dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 2, yang seutuhnya tertulis sebagai berikut:

(1) Pembentukan peraturan perundang-undangan adalah pembuatan peraturan perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, commit to user

(10)

penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan.

(2) Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan Undang-Undang ini pula memuat jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan dalam Pasal 7 dan Pasal 8, yang dimuat sebagai berikut:

Pasal 7

(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang;

d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

(2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

Pasal 8

(1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang

commit to user

(11)

atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.

(2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang- undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

b. Fungsi Ilmu Perundang-Undangan

Indonesia merupakan negara hukum, berbagai aturan hukum dimiliki dengan berbagai fungsi dari masing-masing hukum, seperti menciptakan keamanan, kesejahteraan, dan kepastian hukum bagi kehidupan masyarakat tanpa terbatas kelas dan lapisan masyarakat.

Menyusun peraturan perundang-undangan yang baik diperlukan konsep dalam rencana pembentukannya. Peraturan perundang-undangan idealnya memiliki dasar atau landasan yang disebut dengan Grundnorm.

Grundnorm merupakan landasan bagi pembentukan peraturan perundang-undangan. Bagi bangsa Indonesia, Pancasila merupakan pondasi bagi terbentuknya hukum yang berkeadilan. Dengan demikian, Pancasila adalah Grundnorm bagi pembentukan peraturan perundang- undangan. Pancasila menjadi sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. Peraturan perundang-undangan yang belum sesuai dengan Pancasila maka tidak memiliki kekuatan dasar yang cukup dalam pembentukannya (Febriansyah, 2016:220).

Hukum yang berlaku dapat dibedakan menjadi hukum tidak tertulis, hukum tercatat, dan hukum tertulis. Hukum tidak tertulis (ongeschreven recht) adalah istilah lain dari hukum kebiasaan (gewoonte recht), yang di Indonesia disebut dengan hukum adat yang merupakan kebiasaan dari masyarakat yang dilakukan secara berulang dengan bentuk dan cara yang sama. Hukum tidak tertulis merupakan bentuk hukum tertua. Hukum commit to user

(12)

tertulis yang berlaku umum (algemeen geldend) dan mengikat orang banyak (algemeen bindend) serta yang mempunyai lingkup laku wilayah manusia (personengebied), wilayah ruang (ruimtegebied), dan wilayah waktu (tijdsgebied) yang lebih luas, tidak tentu mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada hukum tidak tertulis. Hukum tertulis berperan juga untuk mengatur kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat untuk selalu berkembang. Hukum tertulis tersebut dipercaya akan menghubungkan antar cakupan beraneka adat dan hukum tidak tertulis lainnya sehingga menjadi dasar kepastian hukum bagi pihak-pihak yang menghendakinya (Soekanto, 1989:6).

c. Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang Baik Pembentukan peraturan perundang-undangan bertujuan untuk membentuk suatu peraturan perundang-undangan yang baik.

Pembentukannya mengikuti asas yang telah dimuat dalam Pasal 5 dan Pasal Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang seutuhnya dituliskan sebagai berikut:

Pasal 5

Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi:

a. kejelasan tujuan;

b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;

c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;

d. dapat dilaksanakan;

e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;

f. kejelasan rumusan; dan g. keterbukaan

Adapun penjelasan dari asas-asas yang dimasudkan sebagai berikut:

(1) Asas kejelasan dimaksudkan adanya tujuan pasti yang dituju dari setiap peraturan perundang-undangan yang dihasilkan.

commit to user

(13)

(2) Asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat diartikan bahwa hanya lembaga atau pejabat berwenang saja yang diperbolehkan membuat peraturan perundang-undangan. Jika terbukti melibatkan pihak tidak berwenang dalam pembuatannya maka ditetapkan sebagai batal demi hukum.

(3) Asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan maksudnya segala komponen yang menyusun peraturan perundang-undangan harus sesuai.

(4) Asas dapat dilaksanakan artinya terdapat perkiraan efektivitas dalam implementasi pada level masyarakat secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis.

(5) Asas kedayagunaan dan kehasilgunaan artinya dorongan kebutuhan benar-benar teerjadi sehinga kebermanfaatan terjadi saat peraturan perundang-undangan disampaikan pada masyarakat.

(6) Asas kejelasan rumusan artinya terpenuhinya syarat teknis dalam tahapan penyusunannya, yaitu tepat dalam sistematikanya, penggunaan kata dan istilah, serta jelas penggunaan istilkah hukumnya agar tidak terjadi salah tafsir dan implementasinya.

(7) Asas keterbukaan artinya setiap tahapan dari pembentukan peraturan perundang-ungangan diketahui oleh public sehingga dapat dikawal bersama oleh seluruh kalangan masyarakat.

Di sisi lain, terdapat pula asas-asas yang perlu diperhatikan dalam membuat materi muatan suatu peraturan perundang-undangan yang tercantum dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 adalah sebagai berikut:

Pasal 6

(1) Materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan asas:

a. pengayoman;

b. kemanusiaan;

c. kebangsaan; commit to user

(14)

d. kekeluargaan;

e. kenusantaraan;

f. bhinneka tunggal ika;

g. keadilan;

h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;

i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

(2) Selain mencerminkan asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peraturan Perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan.

Adapun penjelasan dari asas-asas tersebut sebagai berikut:

Penjelasan Pasal 6 ayat (1):

(1) Asas pengayoman adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan untuk menciptakan ketentraman masyarakat.

(2) Asas kemanusiaan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan atas hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proposional.

(3) Asas kebangsaan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang majemuk dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

(4) Asas kekeluargaan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.

(5) Asas kenusantaraan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan peraturan perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian commit to user

(15)

dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

(6) Asas bhinneka tunggal ika adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah, serta budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

(7) Asas keadilan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara.

(8) Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang- undangan tidak boleh berisi hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.

(9) Asas ketertiban dan kepastian hukum adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.

(10) Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu, masyarakat dan kepentingan bangsa dan negara.

Penjelasan Pasal 6 ayat (1):

Asas yang dimaksud dengan “…asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan” antara lain:

(1) Asas dalam hukum pidana, misalnya asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah;

commit to user

(16)

(2) Asas dalam hukum perdata, misalnya dalam hukum perjanjian antara lain: asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan itikad baik.

2. Teknik Penyusunan dan Kerangka Peraturan Perundang-Undangan Teknik penyusunan dan kerangka peraturan perundang-undangan tersebut dirumuskan dalam Lampiran yang tidak terpisahkan dari Pasal 64 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undang, yang merupakan pedoman untuk menyusun peraturan perundang-undang. Sebuah peraturan perundang-undangan memiliki kerangka sebagai berikut:

(1) Judul

Judul peraturan perundang-undangan adalah uraian singkat yang memuat keterangan mengenai jenis, nomor, tahun pengundangan atau penetapan, dan nama peraturan perundang-undangan.

(2) Pembukaan

Suatu pembukaan peraturan perundang-undangan memuat:

(a) Frasa “Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa”

(b) Jabatan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

(c) Konsiderans, memuat uraian singkat mengenai pokok pikiran yang menjadi pertimbangan dan alasan pembentukan peraturan perundang-undang.

(d) Dasar Hukum, memuat dasar kewenangan pembentukan peraturan perundang-undangan dan peraturan perundang-undangan yang memerintahkan pembentukan peraturan perundang-undangan.

(e) Diktum, memuat kata “Memutuskan”, kata “Menetapkan”, jenis dan nama peraturan perundang-undangan.

(3) Batang tubuh

Batang tubuh berisi materi-materi keseluruhan peraturan perundang- undangan yang dirumuskan menjadi pasal atau beberapa pasal. Isi dari batang tubuh dapat dikelompokkan menjadi beberapa poin:

(a) Ketentuan umum; commit to user

(17)

(b) Materi pokok yang diatur;

(c) Ketentuan pidana (jika diperlukan);

(d) Ketentuan peralihan (jika diperlukan); dan (e) Ketentuan penutup

(4) Penutup

Penutup merupakan bagian akhir peraturan perundang-undangan yang memuat:

(a) Rumusan perintah pengundangan dan penempatan peraturan perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah Provinsi, Lembaran Daerah Kabupaten/Kota, Berita Daerah Provinsi, atau Berita Daerah Kabupaten/Kota;

(b) Penandatangan pengesahan atau penetapan peraturan perundang- undangan;

(c) Pengundangan peraturan perundang-undangan; dan (d) Akhir bagian penutup.

(5) Penjelasan (jika diperlukan)

Peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang (selain Peraturan Provinsi dan Kabupaten/Kota) dapat diberi penjelasan jika diperlukan.

(6) Lampiran (jika diperlukan)

Dalam hal peraturan perundang-undangan diperlukan lampiran, hal tersebut harus dinyatakan dalam batang tubuh dan pernyataan bahwa lampiran tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari peraturan perundang-undangan. Lampiran dapat memuat antara lain, uraian, daftar, tabel, gambar, peta, dan sketsa.

3. Tinjauan tentang Self-Regulatory Body

Pada konstitusi Indonesia, Jimly Asshiddiqie meyakini banyak perubahan telah terjadi dalam penyelenggaraan negara modern. Misalnya pada beberapa perkembangan kasus khusus seperti halnya penyelenggaraan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Pemilihan Umum commit to user

(18)

(KPU), Komisi Ombudsman, Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Komisi Hukum Nasional (KHN), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan perjanjian lainnya yang dibuat sesuai dengan hukum. Komisi-komisi tersebut memiliki status independen dan menjalankan fungsinya secara campuran dari kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Pada beberapa negara juga terdapat lembaga dengan sifat independen dan self-regulated”. Kewenangan lembaga tersebut biasanya dibatasi sampai batas tertentu yang telah diaur dalam suatu dasar dasar hukum pembentukan lembaga negara. Pembatasan merupakan sebagai bentuk menjaga kehidupan demokrasi (Ali Safa’at, 2014).

Lembaga negara independen juga dibekali kekuasaan sebagai bentuk hak, kewajiban, dan fungsi suatu lembaga negara untuk melakukan kerjanya.

Kekuasaan tersebut juga telah diatur dan tercantum dalam aturan hukum yang berlaku. Kewenangan dalam bahasa Inggris disebut dengan authority yang berarti “the rights of permission to act legally on another’s behalf; the power delegated by a principal to an agent”. Ketika setiap lembaga negara menjalankan kekuasaannya maka lembaga tersebut harus terbuka terhadap kontrol dari lembaga negara lain. Hubungan ini dapat menimbulkan perselisihan antar lembaga negara atau sengketa. Sengketa atau dispute adalah

“a conflict or controversy”, sebuah pertentangan atau ketidaksesuaian.

Pertentangan atau ketidaksesuaian dalam hal ini adalan tentang kewenangan antar lembaga negara (Ali Safa’at, 2014). (Ali Safa’at, 2014).

Istilah self-regulatory body muncul dengan satu tarikan nafas dengan lahirnya state auxiliary agencies. Beberapa pakar mengartikan state auxiliary agencies dengan istilah Lembaga Negara Sampiran, Lembaga Negara Tambahan, dan ada pula yang mendefinisikannya sebagai Lembaga Negara Mandiri (independen). Self-regulatory body adalah kewenangan khusus yang melekat pada state auxiliary agencies, yaitu lembaga berhak mengatur dirinya sendiri (Aru Armando, https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol22468/

peraturan-lembaga-sebuah-produk-istate-auxilliary-agenciesi/, diakses pada 24 Oktober 2020 pukul 12.12 WIB). Kewenangan untuk mengatur regulasi commit to user

(19)

dirinya dengan mengeluarkan suatu produk hukum, baik itu keputusan maupun peraturan. Self-regulatory body menjadi karakteristik khas bagi lembaga atau lembaga negara yang bersifat independen. Oleh karenanya, kewenangan lembaga independen harus memiliki kewenangan mengatur dirinya sendiri guna melindungi diri dari tekanan-tekanan lembaga lain dan menghindari campur tangan dengan maksud tertentu oleh kekuasaan negara. Dengan demikian suatu lembaga dapat dikatakan sebagai lembaga negara independen karena mampu menjalankan fungsi dan kewenangannya secara mandiri dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.

Mahkamah Konstitusi (MK) pun mengakui doktrin self-regulatory body yang melekat pada lembaga negara independen. Berdasarkan Putusan MK Nomor 031/PUU-VI/2006 mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, MK menyetujui salah satu ciri lembaga independen adalah juga punya kewenangan pengaturan sendiri atas bidang kerjanya (self-regulatory body). Jika ditarik mundur lagi pada Putusan MK Nomor 005/PUU-I/2003 terkait pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, MK menyatakan dua prihal penting terkait posisi dan kewenangan lembaga independen dalam mengeluarkan produk hukum, bahkan yang bersifat mengatur administratif sekalipun. Posisi lembaga independen, menurut Putusan MK yang obyek lembaganya adalah Lembaga Penyiaran Indonesia (KPI) menyatakan bahwa istilah lembaga negara dalam sistem tata negara Indonesia tidak selalu lembaga negara yang disebutkan dalam UUD 1945 yang keberadaannya atas dasar perintah UU dan bahkan ada lembaga negara yang dibentuk atas dasar Keputusan Presiden. KPI yang oleh UU Penyiaran disebut lembaga negara tidak bertentangan dengan UUD 1954.

Selanjutnya, prihal kewenangan lembaga independen mengeluarkan aturan, MK menyatakan bahwa sebagai lembaga negara yang independen, seyogyanya KPI juga diberikan kewenangan untuk membuat regulasi sendiri atas hal-hal sebagaimana diatur dalam Pasal 7 dan 8 UU Penyiaran.

MK merupakan satu-satunya lembaga yang berwenang menafsirkan konstitusi pun telah mengakui eksistensi lembaga negara independen yang commit to user

(20)

berbasis self-regulatory body. Berdasarkan Putusan MK terkait pengujian UU Penyiaran dapat ditarik kesimpulan bahwa eksistensi lembaga negara independen diakui dan tidak bersifat inskontitusional. Di samping itu, sewajarnya memiliki kewenangan untuk mengatur regulasi peraturan terkait bidang kerjanya. Lebih jauh, MK juga mengamini jika lembaga independen memiliki kewenangan untuk menghukum menggunakan sanksi administratif dengan catatan harus memenuhi asas due process of law.

Salah satu contoh negara yang memiliki self-regulatory body adalah negara Inggris. Negara Inggris dan negara-negara lain yang menerapkan self- regulatory semakin mempromosikan self-regulatory body sebagai intrumen penting dari regulasi. Self-regulatory body tidak hanya diterapkan untuk regulasi ekonomi, namun juga untuk regulasi di dalam pemerintahan itu sendiri. Self-regulatory body sering disebut sebagai perubahan regulasi yang diupayakan menjadi lebih baik oleh Pemerintah Inggris dan organisasi internasional seperti OECD dan Uni Eropa (Ian Bartle dan Peter Vass, 2007:885). Menurut UNESCO, self-regulatory body adalah entitas yang dibentuk oleh sebuah organisasi untuk melakukan pengawasan dan regulasi hukum pada tingkat tertentu.

Pada prinsip negara hukum yang menjadi sumber kewenangan dapat dilihat pada konstitusi yang memberikan legitimasi kepada badan-badan publik untuk melakukan fungsinya. Pemerintah dalam melaksanakan fungsinya untuk mendapatkan kewenangan yang bersumber dari kekuasaan yang berasal dari peraturan perundang-undangan. Parlemen sebagai pembentuk undang-undang yang mewakili rakyat melalui undang-undang untuk ikut menentukan kewajiban apa yang pantas bagi warga marsyarakat. Lembaga legislatif yang memiliki kewenangan legislasi, sehingga pemerintah dapat membuat peraturan perundang-undangan berdasarkan kewenangan atribusi, delegasi, dan mandat dalam menjalankan tugas dan fungsi publiknya. Sebuah kondisi overregulasi juga terjadi di Indonesia saat ini, yaitu kewenangan menteri untuk membuat peraturan umum dan abstraknya dipicu dengan adanya klausula norma yang terdapat dalam setiap undang-undang produk dari parlemen. Pada prakteknya commit to user

(21)

menteri juga memiliki wewenang atribusi, padahal secara teoritis wewenang atribusi pada ranah eksekutif merupakan milik presiden. Wewenang Menteri hanya sampai pada wewenang delegasi. Akibatnya regulasi tidak tertata, aturan yang timpang tindih, saling kontradiktif hingga kontraproduktif terhadap pelayanan terhaadap masyarakat. Wewenang tersebut tidak hanya berlaku pada level lembaga tetapi juga berlaku hingga level pegawai (Susanti, 2019). Maka dari itu, suatu negara independen harus memiliki self-regulatory body agar regulasi tertata dengan baik dan tidak terdapat tumpang tindih. Self-regulatory body juga dapat dikatakan sebagai salah satu inovasi paling mencolok di badan hukum (Nouralivand, 2012:4).

Lembaga dengan prinsip self-regulatory body memiliki kemampuan atau wewenang yang dianugerahkan untuk melakukan tindakan-tindakan hukum tertentu atau dapat disebut sebagai kewenangan suatu negara independen.

Kewenangan adalah sebuah kedudukan penting dalam konteks kajian hukum tata negara dan hukum administrasi. Wewenang diartikan dari hukum organisasi pemerintahan, didefiniskan sebagai keseluruhan aturan bagi lembaga yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintahan oleh subyek hukum publik di dalam hubungan hukum publik.

Wewenan pemerintahan dalam konteks ini digambarkan sebagai kemampuan untuk melaksanakan hukum positif, sehingga dengan wewenang tersebut dapat menciptakan hubungan hukum antara pemerintah dan warga negara.

Menurut Muchlis Hamdi (2007:1), negara-negara di dunia kebanyakan memiliki lembaga negara yang dapat disebut sebagai “auxiliary state’s bodies”. Lembaga tersebut memiliki fungsi untuk mendukung lembaga negara utama yang secara teori menjalankan fungsi legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

Lembaga pendukung tersebut dibentuk untuk meningkatkan efektivitas realisasi lembaga induk menjalankan tugas dan kewajibannya. Kemudian lembaga independen wewenangnya diperoleh dari konstitusi ngara atau kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan pembentukannya tetap dengan berlandaskan undang-undang. Lembaga Negara penunjang juga memiliki sifat independent, yang sering disebut dengan istilah seperti komisi negara commit to user

(22)

indepeden atau lembaga negara independen. Komisi negara independen adalah organ negara (state body) yang diidealkan independen dan karenanya berada di luar kekuasaan eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Pengertian dasar dari istilah independen adalah adanya kebebasan, kemerdekaan, kemandirian, otonom (otonomi), tidak dalam dominasi personal maupun institusional.

Kemudian, ada pelaksanaan kehendak bebas (free will) yang dapat terwujud tanpa ada pengaruh yang secara signifikan merubah pendiriannya untuk membuat keputusan atau kebijakan. Oleh karena itu, komisi negara independen berbeda dengan komisi negara biasa. Keberadaan lembaga independen sering disamakan dengan keberadaan lembaga penunjang lainnya yang dibentuk oleh eksekutif. Keberadaan lembaga ini setidaknya harus dibedakan dengan lembaga negara eksekutif. Secara umum lembaga-lembaga pemerintah dapat dibagi kedalam empat katagori menurut Basarah (2014:6).

a) Departemen eksekutif dalam lingkungan kekuasaan eksekutif dan yang disebut dalam konstitusi, yang disatukan dengan para pejabat kabinet yang mengontrol mereka.

b) Sub-kelembagaan yang ada didalam departemen eksekutif, tetapi secara struktur organisasi terpisah.

c) Lembaga yang terpisah tetapi sebenarnya “eksekutif”.

d) Lembaga negara independen yang dibentuk oleh kekuasaan yudikatif yang juga dijadikan rujukan sebagai lembaga regulasi.

Auxiliary state’s bodies menjadi salah satu produk berupa lembaga yang lahir dari proses dan ekspresi liberalisme serta konsekuensi positif kebebasan pasca reformasi (konteks Indonesia). Auxiliary State’s Bodies menjadi solusi atas kemungkinan belum cukupnya fungsi lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif dalam memfasilitasi dan memenuhi kebutuhan masyarakat seperti bidang politik, kemanusiaan, keadilan sosial, dan bidang kehidupan lainnya.

Independensi dan tujuan tersebut melengkapi dari keberadaan lembaga Negara utama. Era pasca reformasi digambarkan dengan berkembangnya wajah ketatanegaraan Indonesia setelah perubahan UUD 1945 ditandai dengan lahirnya state auxiliary bodies. Auxiliary State’s Bodies lahir menjamur pada commit to user

(23)

berbagai ranah pemerintahan. Semakin banyaknya lembaga tersebut dikhawatirkan sebagai tanda bahwa pemerintahan Indonesia berjalan tidak efektif dalam menjalankan konstitusi. Banyaknya lembaga tersebut juga menjadi sinyal adanya rasa tidak percaya publik terhadap lembaga Negara utama yang ada. Namun, lembaga tersebut merupakan jawaban alamiah dari dinamika tata Negara yang mengadopsi struktur trias politika. Karena terbukti dalam bernegara diperlukan distribusi kekuasaan lembaga lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif untuk mencukupi tuntutan pelayanan. Terbatasnya mekanisme akuntabilitas horizontal antarlembaga tersebut menjadi salah satu pemicu kesan tidak cukup hanya ada lembaga dari ketiga fungsi tersebut.

Maka, lembaga ekstra pemerintahan (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) sangat dibutuhkan untuk kepentingan pengawasan ketiga lembaga negara; legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

Ditinjau dari segi hukum konstitusi, Sri Soemantri mencermati state auxialiry agencies berdasarkan fungsi dan dasar hukum pembentukannya memiliki terjemahan lembaga negara yang melayani. Pemberian nama atau istilah lembaga tersebut tentu merujuk pada fungsi utamanya yang melayani kepentingan masyarakat. Berdasarkan fungsi tersebut maka lembaga negara dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu (1) lembaga negara yang menjalankan wewenang utama (2) lembaga negara yang memberikan pelayanan (state auxialiry body). Pembatasan kekuasaan pada masing-masing kelompok lembaga dikaitkan dengan teori pemisahan kekuasaan (separation of powers) dan pembagian kekuasaan (division of powers). Pada pembatasan kekuasaan juga berlaku beberapa istilah, misalnya division of powers, separation of powers, distribution of powers, dan allocation of powers. Namun, Jimly Asshidique (2009) merujuk penggunaan istilah oleh Vile et al. menyatakan bahwa intinya beberapa istilah tersebut dapat diarikan sama saja dan justru tergantung pada konteks atau keadaan yang dihadapi. Misalnya konstitusi Amerika Serikat menggunakan istilah kekuasaan (separation of powers) dan pembagian kekuasaan (division of powers) berkaitan dengan sifat pemerintah

commit to user

(24)

pusat ke Negara bagian dan pemisahan kekuasaan antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif di tingkat pemerintah federal (horizontal).

Penataan dan fungsi organisasi dalam bidang Kerjasama Ekonomi dan sektor publik Pembangunan (OECD) sejak era 1980an telah mengalami pergeseran yang besar. Salah satu tren yang paling dominan dalam organisasi publik di negara-negara OECD adalah pergeseran dari urusan publik yang terpusat dan terkonsolidasi, menuju ke urusan publik yang terdesentralisasi dan bersifat otonom. Sistem administrasi publik kemudian dipisah dan dipencarkan menjadi berbagai jenis organisasi otonom, atau institusi yang independen, yang biasa diistilahkan sebagai ‘Independent regulatory agencies/bodies’ atau Lembaga negara Independen (LNI). Lembaga sejenis ini antara lain seperti Federal Trade Commision di Amerika Serikat, Commission des Operations de Bourse di Italia, atau The Commissions for Racial Equality di Inggris.

Perkembangan model kelembagaan negara tersebut juga terjadi di Indonesia.

Melalui amandemen konstitusi, format penyusunan lembaga negara kemudian lebih diarahkan untuk menyesuaikan dengan aspirasi rakyat dan kebutuhan perkembangan zaman. Trauma panjang akan otoritarianisme dan absolutism menyebabkan model kelembagaan negara disusun sedemikian rupa secara terpisah dan setara sehingga dapat saling mengimbangi dan mengawasi.

Seiring waktu, tuntutan akan perbaikan pelayanan, transparansi, dan akuntabilitas pihak penyelenggara negara juga terus menguat sehingga mendorong adanya reformasi institusi negara. Konsep yang umum digunakan, seperti Independent Regulatory Agencies (IRAs) atau konsep kelembagaan LNI dalam kepustakaan barat dapat digunakan untuk mengetahui independensi LNI dalam konteks Indonesia. Selain itu, juga dikenal dengan istilah lain seperti Independent Commissions, self-regulatory bodies, Independent Agencies, “semi-autonomous agencies” dan sebagainya. Konsep tersebut dapat dijadikan suatu perspektif guna mengetahui independensi LNI yang ada di Indonesia, dan merumuskan gagasan mengenai model LNI yang lebih ideal di masa depan (Kusworo, 2018:23)

commit to user

(25)

Keuntungan dari self-regulatory bodies muncul dari kekurangan dan kelemahan regulasi oleh pemerintah. Ketidakpastian, ketidakstabilan, birokrasi, korupsi dan kurangnya ketidakberpihakan adalah ciri umum dari peraturan pemerintah yang gagal. Hal tersebut merupahan pencegah yang kuat untuk aktivitas dan investasi dalam bisnis dan sektor ekonomi, terutama infrastruktur berbiaya tinggi seperti listrik dan gas. Kekurangan inilah yang menjadi salah satu alasan utama menuntut pemerintah untuk keluar dari bisnis dan mendelegasikan fungsinya kepada self-regulatory bodies. Beberapa keunggulan self-regulatory bodies adalah penghapusan ketidakpastian politik, birokrasi dan korupsi, menciptakan lingkungan bisnis yang stabil dan dapat diandalkan, prediktabilitas, imparsialitas dan objektivitas keputusan, memanfaatkan pengalaman dan keahlian dalam pengambilan keputusan, dan lain-lain. Keunggulan tersebut membantu liberalisasi mencapai tujuan yang dimaksudkan untuk menciptakan persaingan, meningkatkan efisiensi, menurunkan harga dan meningkatkan kualitas pelayanan kepada konsumen dan menarik investasi untuk meningkatkan pasokan dan menghilangkan kekurangan. Namun, keuntungan tersebut tidak dapat dicapai kecuali self- regulatory bodies dilengkapi dengan sarana yang diperlukan secara efektif baik dari sisi kinerja dan fungsinya, seperti otoritas yang cukup untuk menafsirkan perannya dan independensi yang memadai untuk memutuskan apa yang pantas diputuskan (Nouralivand, 2012:21).

Lembaga pendukung lembaga negara utama atau State Auxiliary Bodies menjadi tanda-tanda yang tergolong baru dalam dinamika penyelenggaraan Negara di era modern. Menurut doktrin Montesquieu, idealnya lembaga Negara hanya lembaga penyelenggara tiga kekuasaan utama yang meliputi parlemen, pemerintah, dan pengadilan yang mencerminkan fungsi- fungsi legislative, executive, dan judicial. Namun, memasuki abad ke-19 bermunculan tuntuan Negara yang berperan lebih dalam setiap sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara, maka semakin banyak lembaga yang berkontribusi dalam mewujudkan tuntutan kebutuhan menurut doktrin negara kesejahteraan (welfare state). Di Indonesia, sejak memasuki era reformasi commit to user

(26)

perubahan yang mendasar terjadi untuk mengakomodir tuntutan tersebut dengan dilakukannya amandemen Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) sebanyak empat kali. Namun, kepuasan sepertinya belum terjadi dengan terpenuhinya pembangunan yang demokratis hingga akhirnya muncu wacana amandemen ke-5 UUD RI 1945.

Salah satu hasil empat kali amandemen UUD RI 1945 adalah dibentuknya beberapa states auxiliary bodies/agencies yang menjadi hal baru dalam ketatanegaraan Indonesia. Lahirnya beberapa lembaga ini juga dapat dikatakan diterapkannya prinsip sharing of power. Istilah states auxiliary bodies dipadankan dengan lembaga yang melayani, menunjang, membantu, dan lembaga negara yang mendukung lembaga utama negara. Istilah tersebut diberikan sebagai pembeda dari lembaga negara utama. States auxiliary bodies dalam implementasinya saat ini dikenal dengan komisi-komisi, lembaga- lembaga atau sejenisnya, saat ini menurut hasil kajian Lembaga Administrasi Negara tercatat 984 lembaga states auxiliary bodies, sementara untuk jumlah kementerian saat ini adalah 34 dan LPNK atau Lembaga Pemerintah Non Kementerian yang berjumlah 28 (Trisulo, 2012:15).

commit to user

(27)

B. Kerangka Berpikir 1. Bagan Kerangka Berpikir

Gambar 1. Kerangka Berpikir Penelitian

2. Penjelasan Kerangka Pemikiran

Korupsi ada sejak zaman penjajahan kolonial Belanda dan Jepang.

Seseorang yang memiliki kekuasaan dan jabatan dalam pemerintahan yang menggelapkan sejumlah uang untuk keperluan pribadinya. Selama penjajahan tersebut tidak hanya kesakitan yang ditinggalkan oleh mereka, melainkan pula mengajarkan banyak hal mengenai pemerintahan dan politik. Tatkala pemerintahan zaman Belanda ini melakukan aksi curang kepada masyarakat.

Tentunya hal ini dicontoh dan diteruskan oleh para pemegang kekuasaan pemerintah hingga hari ini.

commit to user

(28)

Semakin buruknya korupsi yang terus berkembang di Indonesia, kemudian terbentuklah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pada undang-undang ini termuat mengenai suatu regulasi pemberantasan korupsi di Negara Republik Indonesia.

Selanjutnya dilakukan penyempuraan dalam beberapa ketentuan dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Kemudian pemerintah melanjutkan upaya penguatan lainnya dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Komisi ini terdiri atas hakim, jaksa, polisi baik sebagai penyidik maupun penyelidik. Tentunya rancangan komisi ini ditujukan untuk memberantas korupsi di Republik Indonesia.

Berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi maka terbentuklah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kehadiran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dianggap sebagai angin segar dalam penyelenggaraan pemberantasan korupsi yang tidak berjalan efektif ketika masih dipegang oleh kepolisian dan kejaksaan. Maka munculnya KPK ini sebagai lembaga yang independen sesuai dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, ikut mendorong tumbuhnya penegakan hukum terhadap para pelaku korupsi.

Upaya yang dilakukan KPK dalam pemberantasan korupsi ternyata menimbulkan perlawanan dari para koruptor (corruptors fight back) atau pihakpihak tertentu. Perlawanan ini dilakukan dengan dua cara, yaitu personal attack dan institutional attack. Upaya tersebut kemudian seolah-olah tertuang dalam UU Revisi KPK, di mana pihak KPK telah menolak tegas sejak awal pembuatannya namun akhirnya tetap disahkan oleh kuasa legislatif bersama dengan Presiden. Upaya pelemahan terhadap KPK ini menjadi antitesis dari keinginan untuk memperkuat KPK dalam kedudukannya sebagai institusi yang memberantas korupsi. Sehingga Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 commit to user

(29)

tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diasumsikan sebagai pelemahan dan penguatan yang seolah menjadi dua sisi mata koin yang saling berhubungan, tergantung bagaimana keduanya dipersepsikan secara objektif.

Harapan dari keberadaan peraturan perundang-undangan adalah dapat diandalkan untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi masyarakat tanpa terkecuali. Maka, melalui UU Revisi KPK ini diharapkan akan mampu memberikan perlindungan hukum kepada KPK, sehingga KPK dapat melakukan kinerjanya dengan semakin baik dan efisien tentunya hal ini berkaitan dengan pengayoman terhadap masyarakat. Apa urgensi penguatan KPK? Bagaimanakah konsep wewenang self-regulatory body yang ideal untuk menguatkan KPK?

Masyarakat dan KPK berharap supaya KPK dapat semakin diperkuat dan dibentuk menjadi badan yang tangguh dan efisien dalam memberantas korupsi di Indonesia. Bagaimanapun perlu disadari bahwa KPK merupakan lembaga pemberantas korupsi pertama yang dibentuk secara legal dari amanat peraturan perundang-undangan yang masih perlu dipoles lagi sehingga menjadi badan/lembaga negara yang mapan dan independen.

Dalam kaitannya dengan penguatan terhadap KPK sendiri, perlu untuk dijelaskan terkait dengan bagaimana alasan-alasan penguatan tersebut apabila dilihat dari berbagai perspektif, baik dari sisi KPK secara institusional, maupun dalam kaitannya dengan kondisi politik dan sosial di Indonesia. Kajian mengenai kepentingan ini diperlukan sebagai landasan dalam kaitannya peraturan perundang-undangan sebagai perlindungan hukum. Sehingga penulis tertarik untuk menyusun penelitian mengenai hubungan peraturan perundang- undangan sebagai perlindungan hukum bagi KPK terkait dengan penguatan KPK itu sendiri. Oleh karenanya penulis ingin membuktikan, bagaimana peran Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 sebagai ibu kandung revolusi yang mutlak melindungi anaknya untuk memberantas korupsi ini, ikut menentukan arah penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi.

commit to user

Gambar

Gambar 1. Kerangka Berpikir Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Data Primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang langsung dikumpulkan pada waktu penelitian yaitu berupa data pengukuran intensitas kebisingan dengan menggunakan

Dasar hukum pelaksanaan program penyediaan jasa akses telekomunikasi perdesaan KPU/USO Tahun 2009 umumnya juga mengacu kepada beberapa peraturan perundang-undangan yang

merupakan tahap membuat sistem informasi menggunakan framework Laravel sesuai perancangan proses pada tahap kedua. 4) Tahap keempat: Pengujian sistem dan Analisis

Scope of work : Factory utility , control panel for utility, SCADA & Monitoring System. • Baria

Metodologi yang digunakan pada penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif. Populasi yang dilibatkan adalah pendidik Sekolah Dasar di Sumatera Barat. Sampel dipilih secara acak dan

(2006), “Analisis faktor psikologis konsumen yang mempengaruhi keputusan pembelian roti merek Citarasa di Surabaya”, skripsi S1 di jurusan Manajemen Perhotelan, Universitas

Keluhan inkontinensia pada kelompok lansia mengalami penurunan setelah dilakukan intervensi yaitu frekuensi berkemih pada siang hari menurun dari 6 kali