• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. UBI KAYU (SINGKONG)

Singkong atau yang sering disebut dengan ketela pohon atau ubi kayu berasal dari keluarga Euphorbiaceae dengan nama latin Manihot esculenta. Singkong merupakan jenis tanaman perdu yang hidup sepanjang tahun. Singkong mudah ditanam dan dibudidayakan, dapat ditanam di lahan yang kurang subur, resiko gagal panen 5% dan tidak memiliki banyak hama [10]. Singkong dapat diolah menjadi berbagai bahan baku produk industri. Industri pengolahan singkong dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu hasil fermentasi singkong (tape), singkong yang dikeringkan (gaplek) dan tepung tapioka [8].

Gambar 2.1 Ubi Kayu (Singkong) [8]

Menurut Retnowati dan Sutanti (2009), komposisi ubi kayu (singkong) per 100 gram bahan dapat dilihat pada tabel 2.1.

Tabel 2.1 Komposisi Ubi Kayu (Singkong) (per 100 gram bahan) [11]

Komponen Kadar Kalori 146,00 kal Air 63,00 gr Fosfor 40,00 mg Karbohidrat 34,70 gr Kalsium 33,00 mg Vitamin C 30,00 mg Protein 1, 20 gr Besi 0,70 mg Lemak 0,30 gr Vitamin B1 0,06 mg

(2)

2.2 INDUSTRI PEMBUATAN TAPIOKA

Umumnya tapioka digunakan sebagai bahan pengental, bahan pengisi dan bahan pengikat dalam industri makanan, seperti dalam pembuatan puding, sup, makanan bayi dan es krim. Tapioka juga banyak digunakan sebagai bahan baku pewarna putih alami pada industri pangan dan tekstil [12].

Adapun tahap pengolahan tepung tapioka ini adalah: 2.2.1 Pengupasan

Pengupasan dilakukan dengan cara manual yang bertujuan untuk memisahkan daging singkong dari kulitnya. Selama pengupasan, sortasi juga dilakukan untuk memilih singkong berkualitas tinggi dari singkong lainnya. Singkong yang kualitasnya rendah tidak diproses menjadi tapioka dan dijadikan pakan ternak.

2.2.2 Pencucian

Pencucian dilakukan dengan cara manual yaitu dengan meremas-remas singkong di dalam bak yang berisi air, yang bertujuan memisahkan kotoran pada singkong.

2.2.3 Pemarutan

Parut yang digunakan ada 2 macam yaitu:

 Parut manual, dilakukan secara tradisional dengan memanfaatkan tenaga manusia sepenuhnya.

 Parut semi mekanis, digerakkan dengan motor. 2.2.4 Pemerasan/Ekstraksi

Pemerasan dilakukan dengan 2 cara yaitu:

 Pemerasan bubur singkong yang dilakukan dengan cara manual menggunakan kain saring.

 Pemerasan bubur singkong dengan saringan goyang (sintrik). 2.2.5 Pengendapan

Pati hasil ekstraksi diendapkan dalam bak pengendapan selama 4 jam. Air di bagian atas endapan dialirkan dan dibuang, sedangkan endapan diambil dan dikeringkan.

(3)

2.2.6 Pengeringan

Sistem pengeringan menggunakan sinar matahari dilakukan dengan cara menjemur tapioka dalam nampan yang diletakkan di atas rak-rak bambu selama 1-2 hari (tergantung dari cuaca). Tepung tapioka yang dihasilkan sebaiknya mengandung kadar air 15-19% [13].

Ini merupakan diagram alir proses pembuatan tapioka:

Gambar 2.2 Diagram Alir Proses Pembuatan Tapioka [14]

2.3 Limbah Industri Tapioka

Produksi tepung tapioka menghasilkan jumlah limbah organik yang tinggi. Secara umum, ada dua sumber limbah yang muncul dari proses produksi tepung

Singkong

Proses pengupasan kulit

Proses pencucian

Kulit Singkong

Tanah dan Kotoran

Proses pemanasan Proses pemerasan Onggok Proses pengendapan Proses penjemuran Proses pengayakan Tepung Tapioka Limbah Cair

(4)

tapioka, yaitu limbah padat dan cair [15]. Dari proses ini dihasilkan limbah sekitar 2/3 bagian atau sekitar 75% dari bahan mentahnya [11].

Secara umum, pengelolaan limbah dapat dilakukan dengan cara pengurangan sumber (source reduction), penggunaan kembali, pemanfaatan (recycling), pengolahan (treatment) dan pembuangan. Banyak jenis limbah dapat dimanfaatkan kembali melalui daur ulang atau dikonversikan ke produk lain yang berguna. Limbah yang dapat dikonversikan ke produk lain, misalnya limbah dari industri pangan. Limbah tersebut biasanya masih mengandung serat, karbohidrat, protein, lemak, asam organik dan mineral. Pada dasarnya limbah dapat mengalami perubahan secara biologis sehingga dapat dikonversikan ke produk lain.

2.3.1 Limbah Cair Industri Tapioka

Industri pengolahan tepung tapioka menghasilkan limbah cair dari proses pencucian, ekstraksi dan pengendapan [16]. Untuk 1 ton tepung tapioka yang diproduksi, akan dihasilkan limbah cair sebanyak 12 m3 [15]. Limbah ini masih mengandung mineral-mineral (nitrogen, karbon, fosfor, kalium, kalsium, magnesium, sulfur, besi, mangan, tembaga dan natrium) [7]. Jadi, bila limbah cair industri tapioka ini dibuang ke lingkungan tentu saja akan merusak lingkungan.

Limbah cair industri tapioka dari proses ekstraksi dengan kadar COD 33.600-38.223 mg/L tercatat mengandung 425-1.850 mg/L glukosa dan 223.614-29.725 mg/L gula yang dapat dihidrolisis menjadi glukosa. Asam asetat juga teridentifikasi menjadi satu-satunya komponen asam lemak volatil dalam limbah cair tapioka hasil ekstraksi pati dengan kadar 9,5% total COD [17]. Adapun karakteristik limbah cair tapioka dapat dilihat dari Tabel 2.2

Tabel 2.2 Karakteristik Limbah Cair Tapioka [17]

Karakteristik Unit Pencucian Ubi Kayu Proses Ekstraksi Kombinasi

pH - 6,5-7,5 4,5-4,7 4,5-5,6 TSS mg/L 550-700 4000-6600 4000-4300 COD mg/L 100-150 3870-6670 5631-6409 BOD5 mg/L 40-60 3400-6018 4600-5200 Total Nitrogen mg/L 30-38 65-74 66-72 Total Fosfat mg/L 1-1,4 5,6-6,3 5,8-6,4 CN- mg/L - 30-36 10

(5)

Kandungan nutrisi limbah cair tapioka dapat dilihat pada Tabel 2.3. Tabel 2.3 Kandungan Nutrisi Limbah Cair Tapioka [17] Nutrisi Kadar Tiap 100 gr Limbah Cair Tapioka

Karbohidrat 25-37 g

Serat 0,19 g

Lemak 1,2 g

Protein 0,91 g

Tingginya kadar karbohidrat dalam limbah cair tapioka menunjukkan bahwa limbah ini bersifat mudah dibiodegradasi sehingga dapat dijadikan gas bio.

2.3.2 Limbah Padat Industri Tapioka

Limbah padat industri tapioka (onggok) dapat dijadikan sebagai sumber karbon karena masih mengandung pati sebanyak 75% dari bobot kering yang tidak terekstrak. Limbah ini memiliki kandungan protein yang rendah dan serat yang tinggi. Onggok juga termasuk limbah organik yang banyak mengandung karbohidrat, protein dan gula seperti glukosa, arabinosa, xilosa, dekstran dan manosa. Senyawa organik tersebut dapat dijadikan sebagai substrat bakteri penghasil gas metan untuk proses fermentasi menjadi gas bio [18,19].

Adapun komposisi onggok (limbah padat industri tapioka) dapat dilihat pada Tabel 2.4.

Tabel 2.4 Komposisi Ampas Ubi Kayu/ Singkong (Onggok) [8]

Komponen Persentase (%) Karbohidrat Protein Lemak Serat kasar Kadar air 68,00 1,57 0,26 10,00 20,00

Adapun pengolahan limbah cair untuk industri pangan skala kecil meliputi sistem lumpur aktif, sistem trickling filter, Rotating Biological Disk, kolam oksidasi dan septic tank. Akan tetapi, sebagian besar industri pengolahan tepung tapioka ini hanya melakukan pengolahan limbah tahap awal, yaitu netralisasi limbah, sedangkan limbah padatnya biasanya dijadikan pakan ternak dengan proses pengolahan lebih lanjut [20].

(6)

2.4 GAS BIO

2.4.1 Pengertian Gas Bio

Gas bio merupakan salah satu jenis energi yang dapat dibuat dari banyak jenis bahan buangan dan bahan sisa, semacam sampah, kotoran ternak, jerami, dan yang lainnya. Gas bio dihasilkan melalui fermentasi anaerobik yang melibatkan mikroorganisme dalam mengubah (konversi) bahan-bahan organik menjadi gas hidrogen dan gas karbon dioksida yang kemudian lebih lanjut diubah menjadi gas metana dan air [21]. Secara umum, semua bahan organik dapat dijadikan bahan baku jika mengandung karbohidrat, protein, lemak, selulosa dan hemiselulosa sebagai komponen utama [22].

Proses penguraian bahan organik secara anaerob ini disebut sebagai pencernaan anaerob (anaerob digestion) dan peralatan yang memfasilitasi prosesnya disebut sebagai digester [23]. Pencernaan anaerobik adalah proses yang banyak digunakan di unit pengolahan limbah. Pengurangan massa dan produksi metana merupakan tujuan utama dari proses ini.

2.4.2 Prinsip Dasar Gas bio

Prinsip pembuatan gas bio adalah adanya dekomposisi bahan organik secara anaerobik (tertutup dari udara bebas) untuk menghasilkan gas yang sebagian besar adalah berupa gas metan (yang memiliki sifat mudah terbakar) dan karbon dioksida. Gas inilah yang disebut gas bio. Proses dekomposisi anaerobik dibantu oleh sejumlah mikroorganisme, terutama bakteri metan. Suhu yang baik untuk proses fermentasi adalah 30-55oC, dimana pada suhu tersebut mikroorganisme mampu merombak bahan-bahan organik secara optimal [24]. Hasil perombakan tersebut akan menghasilkan gas bio dengan komposisi seperti pada tabel 2.1.

Tabel 2.5 Komposisi Gas Bio [23]

Jenis Gas Jumlah (%)

Metana (CH4)

Karbon Dioksida (CO2) Nitrogen (N2) Hidrogen (H2) Hidrogen Sulfida (H2S) Oksigen (O2) 50-75 25-50 0-10 0-1 0-3 0-2

(7)

Gas bio memiliki karakteristik yang berbeda jika komposisinya berbeda. Tabel 2.6 menunjukkan karakteristik gas bio untuk komposisi tertentu.

Tabel 2.6 Karakteristik Gas Bio [22] Komposisi

55-70% Metana 30-45% Karbon dioksida

Gas lainnya Kandungan energi

Kesetaraan bahan bakar Batas ledakan Temperatur kritik Tekanan kritik Densitas normal Bau Massa molekul 6-6,5 kWh m-3

0,6-0,65 L minyak/m3 gas bio 6-12% gas bio di udara 650-750 oC

75-89 bar 1,2 kg m-3

Seperti telur busuk 16,043 kg kmol-1

2.4.3 Aplikasi Gas bio

Pada pembakaran yang sempurna, maka 1 m3 gas metan akan melepaskan 4700-6000 kkal panas berdasarkan reaksi berikut:

CH4 + 2O2 → CO2↑ + H2O + Energi

Penggunaan 1 m3 gas bio di lapangan mampu melakukan kegiatan berikut: 1. Memasak untuk keperluan keluarga terdiri dari 5-6 orang selama 3 jam. 2. Menjalankan motor berkekuatan 1 hp selama 2 jam.

3. Membangkitkan listrik sebesar 1,25 kW.

4. Menghidupkan lampu petromax 1 buah selama 18 jam [25].

2.3.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan Gas Bio 1. Temperatur Proses

Gas bio dapat diproduksi pada temperatur < 30oC (psikrofilik), 30-40oC (mesofilik) dan 40-50oC (termofilik). Bakteri anaerobik aktif pada rentang suhu mesofilik dan termofilik, jadi pada temperatur demikian akan menghasilkan banyak gas bio [26].

2. Derajat Keasaman (pH)

Derajat keasaman memiliki efek terhadap aktivasi biologi dan mempertahankan pH agar stabil penting untuk semua proses kehidupan bakteri. Derajat keasaman yang dibutuhkan oleh digester antara 7-8,5. Pada awal pencernaan, pH bahan dalam tangki pencerna dapat turun menjadi 6 atau lebih

(8)

rendah. Hal ini merupakan akibat dari degradasi bahan organik oleh bakteri. Kemudian pH mulai naik disertai perkembangbiakan bakteri metana.

3. Pengadukan

Bahan baku yang sukar untuk dicerna (misalnya, jerami yang mengandung senyawa lignin) dan sisa pencernaan akan membentuk lapisan kerak pada permukaan cairan. Lapisan ini dapat dipecah dengn alat pengaduk sehingga hambatan terhadap laju alir gas bio yang dihasilkan dapat dikurangi.

4. Bahan Penghambat

Bahan yang dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme sehingga berpengaruh terhadap jumlah gas bio yang dihasilkan antara lain logam berat, seperti tembaga, cadmium dan kromium. Selain desinfektan, deterjen dan antibiotik. Untuk menghindari hal-hal tersebut perlu diperhatikan air yang digunakan sebagai pelarut atau pencampur agar tidak mengandung bahan-bahan tersebut.

5. Rasio C/N

Unsur karbon (C) untuk pembentukan gas metana dapat berasal dari sampah, limbah pertanian dan kotoran hewan. Sedangkan unsur nitrogen (N) diperlukan oleh bakteri untuk pembentukan sel. Perbandingan unsur karbon dan nitrogen (C/N) paling baik untuk pembentukan gas bio adalah 30 [23].

2.4.5 Mekanisme Pembentukan Gas bio

Secara garis besar, proses pembentukan gas bio dibagi dalam tiga tahap, yaitu:

1. Tahap Hidrolisis

Pada tahap ini, senyawa-senyawa organik dengan susunan molekul yang kompleks akan dihidrolisis oleh jasad renik (bakteri-bakteri) menjadi monomer-monomernya, seperti asam amino, glukosa, asam lemak dan gliserol. Sejumlah bakteri yang berperan pada tahap ini adalah bakteri selulitik dan amilotik dimana kerjasama antara kedua jenis bakteri ini akan menghasilkan proses hidrolisis lebih cepat dibandingkan jika bakteri tersebut bekerja sendiri-sendiri [18,23].

(9)

2. Pembentukan Asam Organik

Pada tahap ini, bakteri yang menghasilkan asam merupakan produk akhir dari metabolisme bakteri, hasil terbanyak adalah asam asetat, asam propionat dan asam laktat [27]. Pada pembentukan asam organik ini terjadi dua tahapan, yaitu:

a. Tahap Asidogenesis

Pada tahap ini, hasil hidrolisis dari tahap sebelumnya akan difermentasikan menjadi asam lemak volatil (asam asetat, asam butirat, dan propionat) dan asam lemak rantai panjang, CO2, format, H2, NH4+, HS- dan alkohol.

b. Tahap Asetagenesis

Pada tahap ini, bakteri sintropik atau bakteri asetogenik pereduksi proton akan menguraikan propionat, asam lemak rantai panjang, alkohol, beberapa asam amino dan senyawa aromatik menjadi H2, format, dan asetat [28].

3. Pembentukan Metana/Mehanogenesis

Tahap terakhir melibatkan 2 kelompok metanogen, yakni metanogen hidrogenotropik yang menggunakan H2 dari reaksi sebelumnya untuk mereduksi CO2 menjadi CH4, dan metanogen asetotropik yang menguraikan asetat menjadi CO2 dan CH4 berdasarkan reaksi berikut [23].

CO2 + 4H2 → CH4 + 2H2O CH3COOH → CH4 + CO2

2.5 PEMILIHAN PROSES

Pemilihan proses pengolahan limbah tidak terlepas dari pemahaman masing-masing proses yang terlibat dan karakteristik limbah tersebut. Hal tersebut sangat berguna untuk memilih proses yang paling tepat. Pengolahan limbah industri tapioka merupakan jenis pengolahan limbah organik yang dapat terbiodegradasi karena pada industri tapioka akan dihasilkan limbah padat dan cair yang mengandung senyawa organik yang tinggi yang yang dapat diuraikan oleh mikroorganisme [29].

(10)

Pada proses pengolahan biologi yang melibatkan degradasi senyawa organik oleh mikroba, perlu dipertimbangkan apakah akan menggunakan proses aerobik (perlu aerasi) atau anaerobik. Tabel 2.7 memperlihatkan keunggulan dan kekurangan untuk proses aerobik dan anaerobik.

Tabel 2.7 Perbandingan Proses Aerobik dan Anaerobik [30] Perbandingan Proses Aerobik Proses Anaerobik Pemakaian listrik Excess sludge Kualitas effluent Organic loading Lain-lain Besar Besar

Baik (pada umumnya) Kecil

-

Kecil Kecil

Kurang-Sedang (pada umumnya) Besar

Menghasilkan gas metana dan kurang efisien pada temperatur rendah

Bila dilihat dari tabel 2.7 maka proses anaerobik lebih menguntungkan walaupun efluen yang dihasilkan masih berpotensi mencemari lingkungan. Akan tetapi, di negara beriklim tropis seperti Indonesia, keuntungan mempergunakan proses anaerobik adalah karena temperatur rata-rata tinggi dan stabil maka mikroorganisme anaerob dapat hidup secara stabil dan aktif [30].

Selain itu, pengolahan secara anaerobik adalah metode yang paling banyak digunakan dalam pengolahan limbah organik karena kinerjanya tinggi dalam pengurangan volume limbah, stabil dan menghasilkan produk berupa pupuk padat ataupun cair yang masih mengandung mineral-mineral penting serta energi berupa gas bio yang merupakan energi yang dapat diperbaharui karena substratnya dapat berasal dari limbah organik maupun kotoran hewan. Kondisi operasi dalam pengolahan anaerobik ini dapat dilakukan pada kondisi psikrofilik (12-16oC), mesofilik (35-37oC) dan termofilik (55-60oC) [1,5,31]. Menurut Anis Fahri (2008), suhu yang baik untuk proses fermentasi adalah 30-55oC, berkisar pada kondisi mesofilik. Secara umum, proses fermentasi anaerobik pada kondisi mesofilik paling banyak digunakan daripada termofilik karena stabilitas prosesnya lebih rendah dan kebutuhan energinya juga rendah dibandingkan termofilik [32]. Disamping itu, efisiensi pada proses anerobik akan menurun bila temperaturnya rendah maka kondisi psikofilik bukan menjadi pilihan yang tepat [30]. Pada penelitian yang dilakukan ini, sistem yang digunakan adalah sistem batch karena sistem batch cocok untuk tahap eksperimen, untuk mengetahui potensial gas dari

(11)

suatu jenis limbah organik [27]. Dari paparan diatas maka dipilih proses anaerobik pada kondisi mesofilik dengan sistem batch dalam pengolahan limbah padat dan cair industri tapioka.

2.6 DESKRIPSI PROSES

Berdasarkan pemilihan proses pengolahan limbah organik, dipilih proses pengolahan anaerobik. Proses ini merupakan proses yang umum digunakan dalam pengolahan limbah organik karena beberapa kelebihannya yang dapat dilihat pada tabel 2.6. Berdasarkan pemilihan kondisi operasi, dipilih kondisi mesofilik, sekitar kondisi lingkungan pada iklim Indonesia. Berdasarkan sistemnya, dipilih sistem

batch karena sistem ini cocok untuk tahap eksperimen.

Berdasarkan hal diatas maka dilakukanlah penelitian mengenai pembuatan gas bio dari campuran limbah padat dan cair industri tapioka. Bahan baku berupa campuran limbah padat dan cair industri tapioka pada perbandingan 70:30; 60:40; 50:50; 40:60 dan 30:70 (w/w) dicampurkan dengan starter yang telah diaklimatisasi berupa campuran antara kotoran sapi dan air dengan perbandingan kotoran sapi dan air yaitu 1:1, yaitu 37,5 kg kotoran sapi dan 37,5 kg air yang telah ditambahkan dengan 5 kg molase dan 50 L air. Campuran bahan baku dan

starter difermentasikan dalam digester anaerob sistem batch dimana pH dijaga

dengan menambahkan kapur CaCO3. Kemudian volume gas diukur setiap tiga hari hingga tercapai keadaan tunak. Parameter-parameter yang diamati pada penelitian ini adalah pH, COD, TSS dan volume gas bio.

2.7 POTENSI EKONOMI

Perbandingan terbaik dari penelitian ini yaitu pada perbandingan komposisi limbah padat (ampas singkong) dan limbah cair 70:30 (w/w) sehingga berdasarkan hal ini dapat disimpulkan potensi ekonominya yaitu:

Bahan Baku:

a. Ampas Singkong Rp. 20.000,-/ karung

b. Limbah Cair Rp. 0,-

Bahan Tambahan

(12)

b. Molase Rp. 5.000,-/ kg

Biaya lain-lain (kapur, digester) Rp.300.000,-/ digester

Produksi tepung tapioka tahun 2012 adalah sebesar 200.000 ton [33]. Dengan kualitas ubi kayu yang baik maka 1 ton singkong dapat dihasilkan 400 kg tepung tapioka, 160 kg onggok (limbah padat) dan 4000-6000 L limbah cair [34,35]. Jadi pada tahun 2012 akan dihasilkan onggok (limbah padat) sebanyak 80.000 ton. Untuk perbandingan komposisi berat ampas singkong dan limbah cair 70:30 dengan volume limbah sebanyak 225 kg menghasilkan 193,617 L gas bio dengan lama fermentasi 33 hari. Pemanfaatan limbah tapioka ini cukup menjanjikan. Untuk 80.000 ton limbah padat, diperlukan 34.285,714 ton limbah cair dan gas bio yang dihasilkan sebanyak:

L x kg 61 , 142 . 345 . 98 x 714 . 285 . 114 L 193,617 kg 225   Limbah padat = 80.000.000 kg = Rp. 32.000.000.000,- (50 kg/karung sehingga dibutuhkan 1.600.000 karung)

Kotoran sapi dan air = 25% dari volume digester terisi = Total limbah/ 75% Volume digester terisi = 114.285.714/0,75 = 152.380.952 L

Volume digester total = Volume digester terisi/60% = 253.968.253,3L

(Anggap 1 digester sekitar 2.000 L, maka dibutuhkan sekitar 126.984 digester) Kotoran sapi dan air = 25% x 152.380.952 L = 38.095.238 kg

Kotoran sapi : air =1:1 (w/w) maka diperlukan Kotoran sapi sebanyak 19.047.619 kg

(50 kg/karung sehingga dibutuhkan 380.953 karung) = Rp. 3.809.530.000,- Molase = 5kg/ 500L volume digester total = 2.539.680 kg

= Rp. 12.698.400.000,-

Biaya lain-lain = Rp. 300.000,- x 126.984 digester = Rp. 38.095.200.000,- Total Biaya = Rp. 32.000.000.000,- + Rp.3.809.530.000,- +

Rp. 12.698.400.000,-+ Rp. 38.095.200.000,- = Rp. 86.603.130.000,-

Kandungan metana (CH4) dalam gas bio berkisar 50-75% [22] jadi dianggap kandungan metana dalam gas bio adalah 62,5%.

(13)

Volume metana yang terbentuk = 62,5% x 98.345.142,61L= 61.465.714,13 L = 61.465,714 m3 Diketahui: ρCH4 = 0,6800 kg

m3 [36] Massa Metana (CH4) = ρCH4 x Volume CH4

= 0,6800 x 61.465,714 = 41.796,69 kg

Massa gas bio

biogas dalam CH % diproduksi yang CH Jumlah 4 4  = 0,625 kg 41.796,69 = 66.874,704 kg

Harga gas bio adalah Rp.1.200/kg [37], sehingga total penjualan 66.874,704 kg gas bio adalah Rp. 80.249.644,8,-. Total Penjualan < Total Biaya Pengeluaran sehingga potensi ekonomi dari pemanfaatan campuran limbah padat dan limbah cair industri tapioka menjadi gas bio tidak menjanjikan.

Adapun keuntungan pemanfaatan pengolahan campuran limbah padat dan limbah cair industri tapioka menjadi gas bio antara lain:

1. Mengurangi pencemaran terhadap lingkungan.

2. Mengurangi emisi gas rumah kaca karena 100 gr sampah organik setara dengan 37,5 gr CO2 sebagai emisi gas rumah kaca [38].

3. Sebagai sumber energi yang dapat diperbaharui.

Gambar

Tabel 2.1 Komposisi Ubi Kayu (Singkong) (per 100 gram bahan) [11]
Gambar 2.2 Diagram Alir Proses Pembuatan Tapioka [14]
Tabel 2.2 Karakteristik Limbah Cair Tapioka [17]
Tabel 2.4 Komposisi Ampas Ubi Kayu/ Singkong (Onggok) [8]
+4

Referensi

Dokumen terkait

Proses pengolahan sampah secara kimia termal, memiliki tujuan untuk mengurangi volume sampah dan daya pencemar sampah dengan tingkat oksidasi yang lebih tinggi

Namun dalam pengolahan secara biologi, belum terdapat bakteri spesifik yang berasal dari limbah cair tersebut yang digunakan dan benar- benar mampu dalam mendegradasi limbah

Air limbah yang dibuang ke lingkungan akan mengalami dekomposisi secara alami yang dilakukan oleh mikroorganisme baik organik yang terdapat dalam air limbah dapat

Ketika volume dan kandungan organik air limbah lebih kecil jika dibandingkan dengan volume air penerima, maka oksigen terlarut yang terdapat dalam air masih tersedia

Pada pengolahan secara anaerobik ini bakteri yang berperan adalah bakteri fermentasi, bakteri asetogenik dan bakteri metanogenik yang memiliki peranan masing-masing dalam

Biogas yang dihasilkan oleh aktivitas anaerobik sangat populer digunakan untuk mengolah limbah biodegradable karena bahan bakar dapat dihasilkan sambil menghancurkan bakteri

Mc Farland 0,5 merupakan standart yang digunakan sebagai patokan jumlah bakteri pada metode agar dilusi, broth makro-mikrodilusi, metode disk difusi dan

Digestasi anaerobik merupakan proses kompleks dalam penguraian senyawa organik menjadi metana (CH 4 ) dan karbon dioksida (CO 2 ) oleh berbagai jenis mikroorganisme anaerobik.