• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Ikan Karang 2.2 Habitat Ikan Karang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Ikan Karang 2.2 Habitat Ikan Karang"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Ikan Karang

Ikan karang merupakan organisme laut yang sangat mencolok di ekosistem terumbu karang, sehingga sering dijumpai dengan jumlah yang besar dan mengisi daerah terumbu karang maka dapat terlihat bahwa ikan ini merupakan penyokong hubungan yang ada di ekosistem terumbu (Nybakken 1992).

Metode pengelompokan ikan karang berdasarkan pada peranannya dalam ekosistem, yakni sebagai berikut (Anonim 2004):

(1) Ikan target

Ikan yang merupakan target untuk penangkapan atau lebih dikenal juga dengan ikan ekonomis penting atau ikan konsumsi seperti: Seranidae, Lutjanidae, Kyphosidae, Lethrinidae, Acanthuridae, Mulidae, Siganidae, Labridae (Chelinus, Himigymnus, Choerodon), dan Haemulidae;

(2) Ikan indikator

Sebagai ikan penentu untuk terumbu karang karena ikan ini erat hubungannya dengan kesuburan terumbu karang yaitu ikan famili Chaetodontidae (Kepe-kepe); dan

(3) Ikan lain (mayor family)

Ikan ini umumnya dalam jumlah banyak dan dijadikan ikan hias air laut (Pomacentridae, Caesionidae, Scaridae, Pomacanthidae, Labridae, Apogonidae, dan lain-lain).

2.2 Habitat Ikan Karang

Terumbu karang memiliki variasi habitat yang mempunyai komunitas berbeda (Sondita dan Bachtiar 2002). Berbagai variasi habitat yang ada pada terumbu karang adalah :

(1) Rataan terumbu (reef flat) (2) Tubir (reef slope)

(3) Goba (lagoon) (4) Gudus (reef cest)

Tipe terumbu karang berdasarkan bentuk dan hubungan perbatasan tumbuhnya terumbu karang dengan daratan dibagi ke dalam tiga klasifikasi tipe

(2)

yang sampai sekarang masih secara luas digunakan. Tipe terumbu karang tersebut adalah:

(1) Terumbu karang tepi (Fringing reefs)

Terumbu karang tepi atau karang penerus berkembang di mayoritas persisir pantai sari pulau-pulau besar. Perkembangannya bisa mencapai kedalaman 40 meter dengan pertumbuhan ke atas dan ke arah luar menuju laut lepas. Pada pantai yang curam, pertumbuhan terumbu jelas mengarah vertikal. Beberapa perairan karang yang memiliki terumbu karang tipe terumbu karang tepi adalah Bunaken (Sulawesi), Pulau Panaitan (Banten), dan Nusa Dua (Bali). (2) Terumbu karang penghalang (barrier reefs)

Terumbu karang ini terletak pada jarak yang relatif jauh dari pulau, sekitar 0,52 km ke arah laut lepas dengan dibatasi oleh perairan kedalaman hingga 75 meter. Umumnya karang penghalang tumbuh di sekitar pulau sangat besar atau benua dan membentuk gugusan pulau karang yang terputus-putus. Beberapa perairan karang yang memiliki terumbu karang tipe terumbu karang penghalang adalah Great Barrier Reef (Australia), Spermonde (Sulawesi Selatan), Bangan Kepulauan (Sulawesi Tengah).

(3) Terumbu karang cincin (atolls)

Terumbu karang yang berbentuk cincin yang mengelilingi batas-batas dari pulau vulkanik yang tenggelam sehingga tidak terdapat perbatasan dengan daratan. Menurut Darwin, terumbu karang cincin merupakan proses lanjutan dari terumbu karang penghalang, dengan kedalaman rata-rata 45 meter. Beberapa perairan karang yang memiliki terumbu karang tipe terumbu karang cincin adalah Taka Bone Rate (Sulawesi), Maratua (Kalimantan Selatan), Pualu Dana (NTT), Mapia (Papua).

Namun demikian, tidak semua terumbu karang yang ada di Indonesia bisa digolongkan ke dalam salah satu dari ketiga tipe di atas. Dengan demikian ada satu tipe terumbu karang lagi yaitu :

(4) Terumbu karang datar/gosong terumbu (patch reefs)

Gosong terumbu terkadang disebut juga sebagai pualu datar. Terumbu ini tumbuh dari bawah ke atas sampai ke permukaan dan dalam kurun waktu geologis, membantu pembentukan pulau datar. Umumnya pulau ini akan

(3)

berkembang secara horizontal dan vertikal dengan kedalaman relatif dangkal. Beberapa perairan karang yang memiliki terumbu karang tipe gosong karang adalah Kepulauan Seribu (DKI Jakarta), Kepulauan Ujung Batu (Aceh).

2.3 Unit Penangkapan Ikan 2.3.1 Alat tangkap bubu

Menurut Brandt (1984), traps adalah salah satu alat tangkap menetap yang umumnya berbentuk kurungan, ikan dapat masuk dengan mudah tanpa ada paksaan tetapi sulit keluar atau meloloskan diri karena dihalangi dengan berbagai cara. Ditambahkan oleh Sainsburry (1982) bahwa pada dasarnya traps bersifat statis pada saat dioperasikan, sehingga efektivitas alat tergantung dari gerakan alat renang ikan.

Penyediaan tempat-tempat untuk bersembunyi maupun berlindung bagi ikan sebagai salah satu pikatan telah lama dipraktekkan orang. Pikatan biasanya digunakan dengan alat yang berbentuk perangkap. Pada prinsipnya ikan masuk ke dalam perangkap dimaksudkan sebagai tempat berlindung. Kontruksi alat dibuat sedemikian rupa, sehingga ikan yang telah masuk ke dalamnya tidak dapat melarikan diri (Gunarso 1988).

Slack dan Smith (2001) membedakan terminologi antara perangkap (trap) dengan bubu (pot). Perangkap merupakan alat tangkap yang bersifat pasif dan menetap, yang memudahkan ikan untuk masuk dan sulit untuk keluar. Pada beberapa konstruksi perangkap, terdapat bagian yang berfungsi mengarahkan ikan agar masuk ke dalam perangkap. Perangkap bersifat menetap sehingga tidak dapat dipindah-pindahkan karena konstruksi dan ukurannya yang besar. Beberapa macam perangkap diantaranya adalah sero, barrier atau penghadang yang terbuat dari tumpukan batu, fyke, dan lain-lain.

Secara umum, bubu terdiri dari mulut dan badan bubu. Adapun tempat umpan dan pintu khusus untuk mengeluarkan hasil tangkapan tidak terdapat pada setiap bubu. Slack dan Smith (2001) menyatakan bahwa bubu terdiri dari:

(1) Rangka

Rangka dibuat dari material yang kuat dan dapat mempertahankan bentuk bubu ketika dioperasikan dan disimpan. Pada umumnya rangka bubu dibuat dari besi atau baja. Namun demikian dibeberapa tempat rangka bubu dibuat

(4)

dari papan atau kayu (Brandt 1984). Di Kepulauan Seribu bubu untuk menangkap ikan karang menggunakan rangka yang terbuat dari bambu dan besi, bahkan untuk bubu tambun, hampir seluruhnya terbuat dari bambu (Susanti 2005).

(2) Badan

Badan pada bubu modern biasanya terbuat dari kawat, nylon, baja, bahkan plastik. Pemilihan material badan bubu tergantung dari kebudayaan atau kebiasaaan masyarakat setempat, kemampuan pembuat, ketersediaan material, dan biaya dalam pembuatan. Selain itu, pemilihan material tergantung pula pada target hasil tangkapan dan kondisi daerah penangkapan. Dibeberapa tempat masih dijumpai badan bubu yang terbuat dari anyaman rotan dan bambu.

(3) Mulut

Salah satu bentuk mulut pada bubu adalah corong. Lubang corong bagian dalam biasanya mengarah ke bawah dan dipersempit untuk menyulitkan ikan keluar dari bubu. Jumlah mulut bubu bervariasi ada yang hanya satu buah dan ada pula yang lebih dari satu.

(4) Tempat umpan

Tempat umpan pada umumnya terletak di dalam bubu. Umpan yang dicacah biasanya dibungkus menggunakan tempat umpan yang terbuat dari kawat atau plastik, sedangkan umpan yang tidak dicacah biasanya umpan tersebut hanya diikatkan pada tempat umpan dengan menggunakan kawat atau tali. Tempat umpan tidak terdapat pada semua jenis bubu, misalnya pada bubu gurita dan beberapa bubu ikan karang.

(5) Pintu untuk mengeluarkan hasil tangkapan (6) Pemberat

Pemberat dipasang pada bubu untuk mengatasi pengaruh pasang surut, arus laut, dan gelombang, sehingga posisi bubu tidak berpindah-pindah dari tempat setting semula. Pemberat pada bubu bisa terbuat dari besi, baja, batu bata, dan jenis-jenis batuan lainnya. Pemasangan pemberat juga berfungsi untuk memastikan bubu mendarat di dasar perairan secara benar.

(5)

Pemasangannya didasarkan atas pengetahuan tentang lintasan-lintasan yang merupakan daerah ruaya ikan ataupun yang berhubungan erat dengan ruaya ikan ke arah pantai pada waktu-waktu tertentu (Gunarso 1985). Menurut Martasuganda (2003), ada beberapa alasan utama pemakaian bubu di suatu daerah penangkapan, yaitu:

(1) Adanya larangan pengoperasian alat tangkap selain bubu;

(2) Topografi daerah penangkapan yang tidak mendukung alat tangkap lain untuk dioperasikan;

(3) Kedalaman daerah penangkapan yang tidak memungkinkan alat tangkap lain untuk dioperasikan;

(4) Biaya pembuatan alat tangkap bubu murah;

(5) Pembuatan dan pengoperasian alat tangkap bubu tergolong mudah; (6) Hasil tangkapan dalam keadaan hidup;

(7) Kualitas hasil tangkapan baik;

(8) Hasil tangkapan umumnya bernilai ekonomis tinggi, dan pertimbangan lainnya.

Menurut Tiku (2004), ada beberapa alasan ikan atau hewan laut lainnya masuk ke dalam bubu, yaitu:

(1) Sifat dasar ikan atau hewan laut lainnya yang selalu mencari tempat untuk berlindung;

(2) Ikan atau hewan laut lainnya masuk karena tertarik oleh umpan yang berada di dalam perangkap;

(3) Ikan terkejut karena ditakuti sehingga mencari tempat berlindung; dan Ikan masuk karena digiring oleh nelayan.

Ciri khas bubu adalah mempunyai satu atau lebih catching chambers dan apabila ikan atau hewan laut lainnya sudah masuk, maka sukar bagi hewan tersebut untuk keluar. Jadi pada dasarnya alat ini dimodifikasi sedemikian rupa sehingga dapat mencegah atau mempersulit hewan tersebut untuk keluar (Tiku 2004). Letak dan bentuk mulut bubu disesuaikan dengan tingkah laku dan habitat ikan yang menjadi target hasil tangkapan.

Sainsbury (1996) menambahkan bahwa menurut metode pengoperasiannya, bubu digolongkan menjadi dua, yaitu sistem tunggal dan sistem rawai.

(6)

(1) Sistem tunggal

Pada pengoperasian bubu dengan sistem tunggal, bubu dipasang satu per satu serta tidak hanyut di dasar perairan. Agar posisi bubu tepat ketika berada di dasar perairan, maka bubu tersebut biasanya diberi pemberat. Setiap bubu dilengkapi dengan pelampung tanda yang dihubungkan dengan tali. Menurut Martasuganda (2003), salah satu bubu yang dipasang dengan sistem tunggal adalah bubu pintur. Bubu ini dioperasikan di daerah pantai dengan target hasil tangkapan berupa kepiting dan udang. Susanti (2005) menambahkan selain bubu pintur, bubu yang dipasang dengan sistem tunggal adalah bubu tambun. Adapun target hasil tangkapan bubu tambun adalah ikan karang.

(2) Sistem rawai

Pengoperasian bubu dengan sistem rawai dilakukan dengan cara merangkai bubu yang satu dengan lainnya dengan menggunakan tali utama. Jarak antar bubu disesuaikan dengan kebutuhan dan jumlah bubu. Pemasangan bubu dengan sistem rawai diawali dengan menurunkan jangkar, tali pelampung, dan pelampung tanda. Kemudian dilanjutkan dengan penurunan tali utama dan bubu yang diikatkan pada tali tersebut. Selanjutnya bubu yang diikat pada tali utama diturunkan ke dalam perairan. Setelah seluruh bubu selesai diturunkan, lalu diikuti dengan penurunan jangkar dan pelampung tanda terakhir. Contoh bubu yang dipasang dengan sistem rawai adalah bubu rajungan (Prakoso 2005). Martasuganda (2003) menambahkan bahwa bubu paralon adalah salah satu jenis bubu yang dipasang dengan sistem rawai. Bubu ini dibuat dari paralon dengan diameter antara 10–15 cm dan panjang antara 60-80cm.

2.3.2 Nelayan

Menurut UU No 45 tahun 2009, nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Nelayan kecil adalah orang bermata pecaharian sebagai penangkap ikan di laut untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang menggunakan kapal perikanan berukuran paling besar 5 gross ton (GT). Menurut Direktorat Jenderal Perikanan (1997), nelayan dikelompokkan menjadi 3, yaitu:

(7)

(1) Nelayan penuh

Nelayan penuh adalah nelayan yang seluruh waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan atau binatang air lainnya atau tanaman air lainnya.

(2) Nelayan sambilan utama

Nelayan sambilan utama adalah nelayan yang sebagian besar waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan atau binatang air lainnya atau tanaman air lainnya.

(3) Nelayan sambilan tambahan

Nelayan sambilan tambahan adalah nelayan yang sebagian kecil waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan penangkapan ikan atau binatang air lainnya atau tanaman air lainnya.

Dalam operasi penangkapan ikan menggunakan alat tangkap bubu, jumlah nelayan yang mengoperasikannya berbervariasi, sesuai dengan jenis bubu yang dioperasikan dan tingkat kesulitannya (Martasuganda 2003). Adapun untuk bubu tambun, pada umumnya bubu ini hanya dioperasikan oleh 1 orang nelayan (Susanti 2005; Pramono 2006; Riyanto 2008).

2.3.3 Armada penangkapan

Kapal merupakan alat yang berfungsi untuk membawa nelayan dan alat tangkap menuju fishing ground dan selanjutnya membawa nelayan, alat tangkap (jika dibawa kembali pulang), dan hasil tangkapan kembali menuju fishing base. Dalam perikanan bubu pada umumnya nelayan banyak yang menggunakan kapal kayu, namun ada pula yang menggunakan kapal dari bahan fiber. Besar kecilnya kapal yang digunakan tergantung alat tangkap dan daerah penangkapan ikannya. Kapal yang digunakan oleh nelayan bubu yang mengoperasikan bubu di daerah pantai biasanya memiliki panjang antara 5 – 6 m. Kapal ini hanya menggunakan mesin tempel. Sedangkan untuk kapal yang digunakan oleh bubu yang dioperasikan di lepas pantai pada umumnya berukuran lebih besar. Kapal ini memiliki panjang antara 18 – 40 m (Sainsbury 1996).

Kapal atau perahu memiliki arti penting dalam operasi penangkapan. Perahu digunakan nelayan untuk mencapai daerah penangkapan yang dituju. Menurut UU No 45 tahun 2009 kapal perikanan adalah kapal, perahu, atau alat apung lain yang

(8)

digunakan untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan dan penelitian/eksplorasi perikanan. Slack dan Smith (2001) menjelaskan bahwa ukuran kapal yang dibutuhkan dalam operasi penangkapan ikan tergantung dengan jenis dan ukuran bubu yang digunakan, kondisi perairan, jarak menuju daerah penangkapan ikan, dan jumlah nelayan.

Kapal yang digunakan dalam pengoperasian bubu kawat atau bubu bambu di Pulau Sebesi adalah kapal kayu berdimensi LOA 7-9 m, lebar 0,5-1 m, dan tinggi (depth) 0,5-0,7 m. Kapal bubu ini menggunakan mesin motor tempel berkekuatan 5,5 PK (Adianto 2007). Menurut Pramono (2006) kapal yang digunakan oleh nelayan Pulau Panggang umumnya berukuran 5 GT. Jenis perahu ini umumnya mengunakan mesin inboard. Dimensi kapal tersebut mempunyai panjang total (LOA) 6-9 m, lebar 1,2-1,6 m, tinggi (depth) 0,6-1 m, dan tinggi (draft) 0,5-0,7 m. Mesin yang digunakan umumnya mesin diesel dengan kekuatan 5, 8, dan 13 PK. Kapal yang digunakan umumnya terbuat dari kayu mentruk, damar, dan meranti.

2.4 Umpan

Umpan merupakan salah satu bentuk rangsangan (stimulus) yang bersifat fisika dan kimia yang dapat memberikan respons bagi ikan-ikan tertentu pada proses penangkapan ikan. Umpan merupakan salah satu faktor yang memiliki pengaruh yang besar terhadap keberhasilan dalam usaha penangkapan, baik masalah jenis umpan, sifat, dan cara pemasangan (Sadhori 1985).

Menurut pendapat Hansen dan Reutter (2004) bahwa ikan predator (buas) yang memakan makanan yang tidak hidup (umpan) menggunakan sistem penciuman mereka untuk dapat merangsang makan dan dapat membedakan stimuli asam amino.

Menurut Yudha (2006), Penggunaan alat bantu penangkapan, seperti umpan (bait), pada bubu dasar atau bubu karang merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan efektivitas penangkapan dan sekaligus dapat mencegah masalah kerusakan terumbu karang. Beberapa ahli perikanan sependapat bahwa umpan merupakan alat bantu perangsang yang mampu memikat sasaran penangkapan dan sangat berpengaruh untuk meningkatkan efektivitas alat tangkap.

(9)

Menurut Djatikusumo (1975) diacu dalam Riyanto (2008), umpan yang baik harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

(1) Tahan lama (tidak cepat busuk);

(2) Mempunyai warna yang mengkilap sehingga mudah terlihat dan menarik bagi ikan yang menjadi tujuan penangkapan;

(3) Mempunyai bau yang spesifik sehingga merangsang ikan datang; (4) Harga terjangkau;

(5) Mempunyai ukuran memadai; dan

(6) Disenangi oleh ikan yang menjadi tujuan penangkapan. 2.4.1 Jenis umpan

Berdasarkan kondisinya, umpan dapat dibedakan sebagai umpan hidup (live bait) dan umpan mati (dead bait). Menurut penggunaannya, umpan dibedakan sebagai umpan yang dipasang pada alat tangkap dan umpan yang tidak dipasang pada alat tangkap. Adapun menurut sifat asalnya, umpan dibedakan sebagai umpan alami (natural bait) dan umpan buatan (artificial bait) (Leksono 1983). 2.4.2 Ukuran dan bobot umpan

Ukuran dan bobot umpan mempengaruhi hasil tangkapan. Karena menurut Gunarso (1985), indera penglihatan dan penciuman ikan merupakan indera yang digunakan dalam aktivitas keseharian ikan. Salah satunya adalah aktivitas makan. Semakin besar ukuran bobot umpan, maka akan semakin mudah terlihat oleh ikan dan semakin banyak bau yang dilepaskan oleh umpan. Sehingga ikan akan mudah untuk menemukan umpan tersebut. Umpan yang padat seperti ikan utuh, tulang hewan, biasanya diletakkan secara langsung pada bagian dalam bubu.

2.4.3 Posisi pemasangan umpan

Letak dan posisi pemasangan umpan sangat berpengaruh dalam keberhasilan penangkapan. Umpan harus diletakan pada posisi yang strategis sehingga membuat ikan masuk untuk memakan umpan tersebut. Posisi umpan yang dipasang pada bubu sebaiknya mempermudah ikan untuk menemukan pintu masuk. Posisi pemasangan umpan yang tepat tergantung dari tingkah laku ikan yang menjadi target tangkapan (Slack dan Smith 2001).

(10)

2.5 Hasil Tangkapan Bubu

Jenis ikan yang menjadi hasil tangkapan bubu tergantung dari lokasi bubu itu dioperasikan. Menurut Riyanto (2008), hasil tangkapan dengan bubu tambun terdiri dari ikan kerapu (famili Serrenidae), kakatua (Scaridae), betok (Pomacentidae), serak (Nemipteridae), nori (Labridae), dan jenis ikan lainnya.

Tiyoso (1979) dalam Risamasu (2008) menyatakan bahwa fluktuasi hasil tangkapan bubu dapat terjadi karena beberapa alasan seperti :

(1) Migrasi perubahan harian, musiman maupun tahunan dari kelompok ikan; (2) Keragaman ukuran ikan dalam populasi;

(3) Tepat tidaknya penentuan tempat pemasangan bubu, karena alat tangakap ini bersifat pasif dan menetap.

Menurut Risamasu (2008) hasil tangakapan bubu dasar berupa ikan karang terutama family Pomacentridae, Chaeetodontidae, Siganidae, Serranidae, Scaridae, Achanthuridae, Lutjanidae, Labridae, dan jenis lainnya.

2.6 Metode Pengoperasian Bubu

Pengoperasian bubu dapat dilakukan secara tunggal (single trap) maupun dengan sistem rawai (longline trap). Pemasangan bubu dengan sistem tunggal biasanya digunakan untuk menangkap ikan karang maupun bubu yang dioperasikan perairan sekitar hutan-hutan bakau untuk menangkap kepiting bakau. Hal ini karena lokasi penangkapan yang tidak memungkinkan pemasangan bubu dengan sistem rawai. Pemasangan bubu dengan sistem rawai (longline trap) sering digunakan pada penangkapan rajungan. Menurut Pramono (2006) dan Riyanto (2008), metode pengoperasian bubu tambun adalah sebagai berikut: (1) Persiapan

Tahap persiapan dilakukan sebelum menuju daerah peletakan bubu. Tahap ini meliputi persiapan perbekalan, persiapan alat tangkap, persiapan alat bantu penangkapan, dan persiapan perahu. Persiapan alat tangkap meliputi persiapan bubu dan rautan bambu untuk perbaikan bubu jika ada bubu yang rusak. Alat bantu penangkapan yang disiapkan berupa kaca mata selam, ganco, dan ember. Jika semua persiapan sudah selesai dilakukan, maka selanjutnya pergi ke fishing ground.

(11)

(2) Pemasangan bubu (setting)

Pemasangan bubu dilakukan dengan cara ditimbun menggunakan batu karang, baik yang masih hidup maupun yang sudah mati. Penambunan akan dihentikan jika bubu telah tertutupi oleh karang. Tahap akhir dari pemasangan bubu adalah pembuatan jalan ikan pada daerah sekitar mulut bubu.

(3) Perendaman bubu (soaking)

Perendaman bubu dilakukan kurang lebih selama 24 jam. (4) Pengangkatan bubu (hauling)

Proses pengangkatan bubu diawali dengan menyingkirkan batu karang yang digunakan untuk menimbun bubu. Pengangkatan bubu dibantu dengan alat “ganco” untuk memudahkan pada proses pengangkatan. Seletah diangkat, selanjutnya pintu bubu dibuka untuk mengeluarkan hasil tangkapan.

Metode pengoperasian bubu menurut FAO (1968) meliputi :

(1) Rigging atau tali-temali berupa pemasangan tali-temali terutama tali pelampung tanda;

(2) Baiting atau pemasangan umpan;

(3) Setting atau pemasangan bubu, keberhasilan penangkapan ikan sangat bergantung pada lokasi penempatan bubu dan posisi penempatan bergantung pada jenis ikan yang menjadi sasaran penangkapan;

(4) Soaking time atau lama perendaman bergantung pada tingkah laku dari ikan sasaran penangkapan dan daya tahan umpan. Pada saat ikan sangat aktif mencari makan, lama perendaman hanya membutuhkan beberapa menit;

(5) Hauling atau pengangkatan dilakukan secara manual maupun dengan bantuan mesin line hauler. Setelah bubu diangkat, hasil tangkapan dipindahkan di palkah atau keranjang yang telah disiapkan sebelumnya;

2.7 Musim Penangkapan

Musim penangkapan suatu alat tangkap disetiap daerah bermacam-macam. Biasanya nelayan mengoperasikan alat tangkap tergantung dari keberadaan ikan yang menjadi target tangkapan setiap musimnya. Hal ini biasa dilakukan untuk alat tangkap yang menangkap ikan secara spesifik. Namun, karena Indonesia memiliki jenis ikan yang multispesies, maka sebagian besar alat tangkap dioperasikan sepanjang tahun. Menurut LONLIPI (1977) diacu dalam Mawardi

(12)

(2001), di perairan Indonesia khususnya Kepulauan Seribu kegiatan penangkapan dipengaruhi oleh 3 musim, yaitu:

(1) Musim Barat

Musim ini terjadi pada bulan Desember sampai pertengahan bulan Maret. Keadaan angin bervariasi dari arah Barat Daya sampai Barat Laut dengan kecepatan 720 knot. Dalam periode bulan Desember sampai Februari sering terjadi angin kencang dengan kecepatan lebih dari 20 knot, gelombang besar dan arus kuat, sehingga dalam bulan ini kegiatan nelayan nyaris terhenti. Keadaan alam yang buruk inilah salah satu penyebab hasil ikan laut pada akhir maupun awal tahun menurun. Alat tangkap yang memberikan hasil terbaik pada musim ini adalah payang, gill net, dan bagan.

(2) Musim Timur

Musim ini terjadi pada bulan Juni hingga September, angin bervariasi dari arah Timur Laut sampai Tenggara dengan kecepatan 715 knot. Keadaan ombak relatif sedang, sehingga semua alat penangkapan dapat bekerja dengan hasil tangkap cukup baik. Alat tangkap yang hasil tangkapannya baik adalah payang, gill net, muroami, bagan, dan bubu.

(3) Musim Pancaroba

Musim ini terjadi pada bulan April hingga Mei dan Oktober hingga November. Arah angin umumnya bervariasi dengan kecepatan lemah. Semua alat penangkapan dapat bekerja aktif dengan hasil cukup bagus, terutama alat tangkap gill net, muroami, payang, bagan, bubu, dan hand line.

2.8 Daerah Penangkapan Ikan

Daerah penangkapan ikan adalah semua tempat dimana ikan ada dan alat tangkap dapat dioperasikan (Djatikusumo 1975 diacu dalam Risamasu 2008). Penentuan daerah penangkapan untuk pengoperasian bubu tidak begitu rumit dan sedikit dipengaruhi oleh faktor oseanografi, hal terpenting dalam menentukan daerah penangkapan adalah keberadaan ikan dasar, kepiting, atau udang sebelum operasi penangkapan dilakukan (Martasuganda 2003). Menurut Sadhori (1985) ada empat syarat yang harus dipenuhi dalam menentukan daerah penangkapan ikan, yaitu:

(13)

(2) Ikan tersebut dapat ditangkap;

(3) Penangkapan dapat dilakukan secara kesinambungan; dan (4) Hasil tangkapan menguntungkan.

2.9 Efektivitas Penangkapan

Efektivitas adalah tingkat pencapaian hasil yang telah dicapai terhadap suatu tujuan. Efektivitas (Ef) sama dengan hasil yang telah dicapai atau telah didapatkan dibandingkan dengan tujuan yang telah ditetapkan dan dinyatakan dalam persen (Gibson et al. 1990). Suatu alat tangkap dapat dikatakan memiliki efektivitas tinggi jika alat tersebut dapat menangkap ikan yang sesuai dengan target operasi. Efektivitas alat tangkap adalah suatu kemampuan alat tangkap untuk mendapatkan hasil tangkapan yang optimum sesuai dengan tujuan penangkapan. Nilai efektivitas alat tangkap dapat dikatagorikan tiga, yaitu; apabila nilainya kurang dari 50 % dapat dikatakan alat tangkap tersebut efektivitasnya rendah, nilai 50%-80% dikatakan alat tangkap yang cukup efektivitasnya dan nilai 50%-80%-100% dikatakan alat tangkap yang efektivitasnya tinggi (Baskoro et al. 2006).

Efisiensi metode penangkapan erat hubungannya dengan kemampuan alat tangkap tersebut untuk menangkap ikan dalam jumlah besar. Cara penangkapan yang efisien akan sangat tergantung pada pengetahuan akan tingkah laku ikan yang menjadi sasaran penangkapan. Respon ikan karang terhadap alat tangkap yang pasif dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung misalnya ikan tertarik pada bentuk maupun warna bubu, sehingga ikan mendekati dan akhirnya tertangkap didalamnya. Secara tidak langsung ikan tertarik dengan adanya umpan di dalam bubu (Mawardi 2001).

Referensi

Dokumen terkait

Skenario kasus dilema etika pelaporan keuangan yang diajukan kepada partisipan penelitian hanya ditujukan untuk mengetahui justifikasi dari partisipan atas

Perilaku konsumen diukur dengan preferensi konsumen yaitu pilihan konsumen dalam membeli buah jeruk keprok yang diukur dengan faktor-faktor yang mempengaruhi

Dengan demikian, umat berpengharapan pada Tuhan yang datang, bukan takut pada peristiwa- peristiwa mengerikan akhir zaman, serta terus melakukan tugas di dunia

seandainya pertambahan konsumsi mereka tersebut diinvestasikan. Pelunasan utang dan bunga.. Terdapat dua jenis pinjaman, pertama pinjaman dari dalam negeri dan pinjaman dari

Pada tahap ini, yang dilakukan adalah pengguna memasukkan string yang akan dicari, kemudian menyimpan data yang dimasukkan ke database, kemudian database membaca seluruh data

Sekolah- sekolah Muhammadiyah eksis sejak ibu kota provinsi hingga ke desa-desa dan ini memberikan peran luar biasa dalam memberikan kesempatan pendidikan kepada

Penilaian pada mata kuliah Praktik Kebidanan II meliputi penilaian portofolio dalam bentuk laporan asuhan kebidanan dan penampilan klinik secara menyeluruh

Ciri-ciri pendekatan sosiologi dalam studi agama termasuk hukum dan hukum Islam adalah; bersumber pada dalil-dalil al-Quran dan hadis sebagai sumber normatif, adanya