• Tidak ada hasil yang ditemukan

Majalah METODIKA, terbit di Jakarta, Edisi IV Oktober 2006

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Majalah METODIKA, terbit di Jakarta, Edisi IV Oktober 2006"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

PEMANTAPAN KINERJA PENDIDIKAN MELALUI PROFESIONALISME GURU

Oleh : Ki Supriyoko

A. PENGANTAR

Kinerja pendidikan nasional telah lama menunjukkan tanda-tanda yang tidak memuaskan, untuk tidak menyatakan memprihatinkan. Relatif rendahnya prestasi belajar siswa, dari siswa TK s/d SM, menunjukkan belum mantapnya kinerja pendidikan nasional. Rendahnya kinerja pendi- dikan nasional semakin dapat dirasakan manakala prestasi siswa Indonesia dibandingkan dengan siswa manca pada umumnya. Pada sisi yang lain profesionalisme guru di Indonesia menunjukkan tanda-tanda yang tidak memuaskan, bahkan dengan ukuran sekarang dapat dinyatakan tidak satu pun guru yang profesional. Tidak profesionalnya para guru ini secara langsung maupun tidak langsung tentu ada hubungannya dengan kinerja pendidikan nasional.

Tidak memuaskannya kinerja pendidikan nasional pada satu sisi, serta tidak profesionalnya guru di sisi yang lain kiranya dapat ditingkatkan secara

(2)

serentak; di satu sisi para guru di sekolah dapat ditingkatkan profesionalis- menya dan di sisi yang lain kinerja pendidikan nasional dapat dimantapkan.

Dalam hal ini profesionalisasi guru berpengaruh kepada pemantapan kinerja pendidikan nasional.

B. KINERJA PENDIDIKAN

Potensi anak Indonesia tidak kalah dibanding anak-anak manca negara;

ini terbukti dengan adanya beberapa anak Indonesia yang berprestasi dalam forum internasional; misalnya Andika Putra, dkk pada forum International Physic Olympiad (IPhO) 2005 di Salamanca, Spanyol; Eric GS Rumainum dalam forum Asia Pacific Astronomy Olympiad (APAO) 2005 di Siberia, Rusia; Yoshua Michael Maranatha, dkk. dalam forum International Junior Science Olympiad (IJSO) 2005 di Yogyakarta, Indonesia; Pangus Ho dan Irwan Ade Putra dalam forum International Physic Olympiad (IPhO) 2005 di Almaty, Kazakhstan; dan sebagainya. Meski potensi anak Indonesia tak kalah dibanding anak manca tetapi karena pelayanan pendidikan bermutu belum didapat maka prestasi akademis siswa kita umumnya rendah. Dalam Ujian Nasional 2005 misalnya; dari Balitbang Depdiknas tingkat kelulusan SMP dan MTs hanya 86,38 persen dari 2.988.733 peserta ujian, tingkat kelulusan SMA dan MA hanya 79,04 persen dari 1.248.808 peserta ujian, dan tingkat kelulusan SMK hanya 77,42 persen dari 658.492 peserta ujian.

Dalam Ujian Nasional 2006 memang ada peningkatan, namun hal itu tidak berarti prestasi akademis siswa kita sudah memadai.

Prestasi kolektif siswa Indonesia di berbagai forum internasional juga rendah. Di dalam forum Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) 2003 yang dipublikasi International Association for the

(3)

Evaluation of Educational Achievement (IEA), USA misalnya, prestasi matematika dan IPA siswa SMP Indonesia ternyata rendah. Dari 44 negara partisipan ternyata siswa Indonesia hanya berada di peringkat ke-35 dalam hal prestasi matematika. Untuk IPA, siswa Indonesia di ranking ke-37.

Untuk tingkat SMA, prestasi kolektif siswa Indonesia di forum sejagat juga rendah. Meskipun ada beberapa siswa yang secara individual bisa menunjukkan prestasinya, tetapi secara kolektif prestasi siswa Indonesia lebih banyak gagalnya; hal ini terjadi antara lain pada forum IMO, IPhO, IOI, APAO, dan sejenisnya. Memang Tim Indonesia baru saja menjadi juara dalam forum IPhO di Singapura yang diselenggarakan pada bulan Juli 2006 yang lalu; namun demikian hal itu sangat jarang diperoleh. Tim kita hampir tidak pernah memenangkan lomba atau kompetisi keilmuan secara kontinu di tingkat dunia.

Dengan realitas tersebut di atas wajarlah kalau kinerja pendidikan (educational performance) Indonesia di mata dunia menjadi rendah; hal ini telah dibuktikan beberapa lembaga internasional yang netral melakukan ki- nerjanya. Hasil survei Political and Economical Risk Consultancy (PERC) 2001 menunjukkan kinerja pendidikan Indonesia berada di peringkat paling bawah dari 12 negara Asia. Negara-negara yang “setara” dengan Indonesia semua memiliki ranking yang lebih tinggi; katakan Vietnam (ke-11), Thailand (ke-10), Filipina (ke-9), Malaysia (ke-7), dan India (ke-5).

Oleh karena prestasi akademis siswa Indonesia pada umumnya rendah maka daya saing SDM yang dicerminkan dalam Human Development Index (HDI) juga rendah. Rendahnya daya saing SDM Indonesia inilah yang memprihatinkan. Mengapa? Karena dengan daya saing yang rendah,

(4)

akan makin sulit menentukan pilihan apa yang bisa dilakukan bangsa ini.

Ini semua memerlukan peran guru di sekolah untuk mengakhirinya. Nah untuk dapat memainkan peran guru ini maka peningkatan profesionalisme guru menjadi sesuatu yang tidak dapat ditawar.

C. PROFESIONALISME GURU

Pemerintah R.I. belum lama ini telah memberlakukan UU No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. UU yang terdiri dari 6 Bab 84 ayat ini secara makro kesemua ketentuannya mendorong guru untuk menjadi profesional.

Sebagai catatan UU yang relatif masih baru ini diundangkan pada tanggal 30 Desember 2005 oleh Yusril Ihza Mahendra selaku Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia ad interim. Nafas UU ini sepertinya memang sejalan dengan PP No.19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang telah diberlakukan beberapa bulan sebelumnya.

Pada Pasal 2 ayat (1) PP secara eksplisit dinyatakan guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Menurut Pasal 29 ayat (1) s/d ayat (6) PP, disebutkan pendidik (guru) pada pendidikan anak usia dini, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SDLB /SMPLB/SMALB, dan SMA/MAK harus memiliki kualifikasi akademik minimum diploma empat (D4) atau sarjana (S1). Itu berarti bahwa guru yang belum memiliki kualifikasi akademik minimum D4 atau S1 harus meningkatkan pendidikan minimumnya kalau tidak ingin gugur keguruan- nya. Artinya, kalau ada guru yang tidak berkualifikasi D4 atau S1 maka

(5)

dirinya memiliki kewajiban untuk meningkatkan pendidikannya sampai terpenuhi kualifikasi akademik minimum tersebut. Kalau tidak, dirinya tidak akan melanjutkan karirnya sebagai guru atau pun kalau bisa maka dirinya tidak pernah akan menjadi profesional.

Pada sisi yang lain Pasal 8 UU Guru dan Dosen menyebutkan guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Mengacu pada pasal ini maka setidaknya ada tiga hal yang perlu disiapkan oleh seorang guru; masing-masing meningkatkan kualifikasi akademik, meningkatkan kompetensi, dan mencapai sertifikasi pendidik. Jadi ketentuan dalam PP memang sejalan dengan ketentuan dalam UU yang sama-sama masih relatif baru.

Dalam realitasnya masih banyak guru yang belum memiliki kualifikasi akademik minimum. Menurut data Balitbang Depdiknas (2004), secara nasional guru yang berpendidikan sarjana di TK baru mencapai 3,88 persen, SD 8,30 persen, SMP 42,03 persen, SLB 46,35 persen, SMA 72,75 persen, dan SMK64,16 persen. Sedangkan yang berkualifikasi minimum S2/S3 di masing-masing satuan tidak mencapai 0,5 persen, bahkan ada yang 0,0 persen. Berdasarkan realitas ini, dan dengan mengacu amanat Pasal 9 UU yang menyebutkan bahwa kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat, maka kontribusi LPTK sangat diperlukan.

Selanjutnya berdasarkan Pasal 28 ayat (1) PP, pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan mewujudkan tujuan pendi-

(6)

dikan nasional. Sedangkan ayat (3) menyebutkan kompetensi sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendi- dikan anak usia dini meliputi: a. Kompetensi pedagogik; b. Kompetensi kepribadian; c. Kompetensi profesional dan d. Kompetensi sosial.

Ketentuan dalam PP tersebut di atas senada dengan ketentuan di dalam Pasal 10 ayat (1) UU yang menyebut kompetensi guru sebagaimana dimak- sud Pasal 8 meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi; sedangkan ayat (2) menyebutkan ketentuan lebih lanjut tentang kompetensai guru sebagaimana dimaksud ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Dua ketentuan yang senada tersebut memberikan kesempatan bagi para guru di Indonesia, dari guru pendidikan anak usia dini sampai dengan guru sekolah menengah, untuk memenuhi kompetensinya. Bahwasanya sampai sekarang ini tata cara pemenuhan keempat jenis kompetensi tersebut masih terus “digodog”; hal itu justru dapat digunakan oleh para guru untuk mempersiapkannya sejak awal.

Bagaimana dengan masalah kesejahteraan guru yang selama ini banyak diperbincangkan orang, baik oleh orang yang bukan berprofesi sebagai guru maupun orang yang berprofesi sebagai guru? Mengenai hal ini UU Guru dan Dosen pun secara langsung dan tidak langsung telah mengaturnya.

Ketentuan Pasal 16 ayat (1) UU menyebutkan Pemerintah memberikan tunjangan profesi bagi guru yang telah memiliki sertifikat pendidik yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan dan/atau satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat; sementara itu ayat (2) menyebutkan

(7)

tunjangan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setara dengan satu kali gaji pokok guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah pada tingkat, masa kerja, dan kualifikasi yang sama.

Di luar ketentuan tersebut masih banyak pasal dalam UU yang secara langsung maupun tidak langsung mengatur (peningkatan) kesejahteraan guru. Katakanlah misalnya Pasal 14 yang mengatur perlindungan guru dalam menjalankan tugas, kekayaan intelektual, rasa aman dan jaminan keselamatan dalam menjalankan tugas, peran dalam penentuan kebijakan pendidikan, dsb. Pasal 15 juga demikian; pasal ini mengatur gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, serta penghasilan lain berupa tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, dan maslahat tambahan yang terkait dengan tugasnya sebagai guru yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi sebagai perwujudan dari pendapatan di atas kebutuhan minimun bagi guru.

.

Meski kesempatan meningkatkan profesionalisme serta kesejahteraan telah terbuka lebar tetapi jangan lupa bahwa dalam Pasal 11 ayat (1) UU disebutkan sertifikat pendidik hanya diberikan kepada guru yang telah memenuhi persyaratan. Adapun maksud yang memenuhi persyaratan adalah guru yang telah memiliki kualifikasi akademik minimum dan kompetensi sebagaimana disyaratkan dalam PP maupun UU itu sendiri.

D. PENUTUP

(8)

Merealisasi profesionalisme guru jelas bukan pekerjaan mudah, apalagi hal ini menyangkut jutaan guru. Namun demikian dengan adanya reward yang ditentukan kiranya pelan tetapi pasti profesionalisme guru benar-benar akan dapat direalisasi. Dengan profesionalisme guru inilah kinerja pendi- dikan nasional Indonesia dapat dimantapkan.

Kepada para guru di mana saja berada dan di satuan mana saja dalam menjalankan tugas, kiranya munculnya UU Guru dan Dosen perlu disikapi secara positif. Laksanakanlah ketentuan-ketentuan positif yang ada di dalam UU tersebut sepanjang situasi dan kondisinya memungkinkan. Laksanakan secara “berjamaah” dan produktif dengan teman-teman seprofesi di tempat tugas sepanjang itu memungkinkan. Melaksanakan ketentuan dalam UU Guru dan Dosen sama artinya dengan meningkatkan profesionalisme yang sangat bermanfaat untuk memberhasilkan tugas.

DAFTAR PUSTAKA:

--. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Jakarta: Depdiknas, 2005

--. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Jakarta: Depdiknas, 2006

--. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sis- tem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas, 2003

Edgar Morin. Seven Complex Lessons in Education for the Future. Yogya- karta: Penerbit Kanisius, 2005

Ki Supriyoko. Citra, Harkat, dan Martabat Guru (Makalah Seminar). Den- pasar: Ditjen PMPTK Depdiknas, 22 Juni 2006

(9)

Ki Supriyoko. Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan Swasta dalam Pasang Surut Kebijakan Pendidikan Nasional (Makalah Seminar).

Semarang: IKIP PGRI Semarang, 12 April 2006

Ki Supriyoko. Peningkatan Profesionalisme Guru untuk Memantapkan Kinerja Pendidikan Nasional (Makalah Seminar). Jakarta: LPTK, 10 Mei 2006

BIODATA SINGKAT:

Prof. Dr. Ki Supriyoko, M.Pd. adalah Ketua Majelis Luhur Tamansiswa, Wakil Presiden Pan-Pacific Association of Private Education (PAPE)

Tokyo, Jepang, serta Pembina Sekolah Unggulan “Insan Cendekia”

Yogyakarta.

Kontak: 0815-687-3143 atau 0274-897118 atau 0274-372998

Referensi

Dokumen terkait

Kemudian berikut adalah proses penyintas bulliying dalam mencapai Resiliensi akademik, subjek merasa selama di pesantren kurangnya mendapatkan ketenangan dan

Mengenai kapal, maka kapal bagi nelayan Desa Tasik Agung memiliki dua fungsi teknis yaitu sebagai alat angkut dari pangkalan kerja ke tempat-tempat pe- nurunan jaring,

These results differ from study by Bo et al, who examined the cytokine levels in CSF patients with headache and found elevated levels of IL-1, TGF-b1 (transforming growth

Hasil Uji-t masing-masing variabel ukuran perusahaan, profitablitas, likuiditas, dewan komisaris dan leverage terhadap Corporate Social Responsibility menunjukkan

WISUDA PERIODE I TAHUN AKADEMIK 2012/2013 TANGGAL 22 SEPTEMBER 2012. FAKULTAS TEKNIK

Permasalahan yang terjadi Saat Pemilihan Satpol PP (Satuan Polisi Pamong Praja) terbaik Kriteria yang diinginkan untuk menjadi Satpol PP (Satuan Polisi Pamong

Pendidikan asuh (karsa) sasaran utamanya adalah membimbing anak melalui pengarahan agar senantiasa berperilaku terkendali ke arah tujuan akhir kehidupan. Hubungannya dengan