• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laporan EVALUASI PELAKSANAAN KABUPATEN/KOTA PEDULI HAM:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Laporan EVALUASI PELAKSANAAN KABUPATEN/KOTA PEDULI HAM:"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Laporan

EVALUASI PELAKSANAAN

KABUPATEN/KOTA PEDULI HAM:

Penelitian di Lima Provinsi Berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM

No. 34 Tahun 2016

(3)

1 | L a p o r a n E v a l u a s i K K P H A M – 2 0 1 9

LAPORAN

EVALUASI PELAKSANAAN KABUPATEN/KOTA PEDULI HAM:

Penelitian di Lima Provinsi berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 34 Tahun 2016 Tentang Kriteria Kabupaten/Kota Peduli HAM

Penanggung Jawab:

Dr. Mualimin Abdi, S.H., M.H.

Tim Evaluator:

Abubakar | Andi Taletting Langi | Bambang Iriana | Hidayat Yasin Luther Budi Raja | Patricia Rinwigati | Rafendi Djamin | Relly Listriana Susan

Septian Asriwanto | Wahyudi Djafar

Pelaporan disusun oleh:

Muhammad Hafiz

Human Rights Working Group (HRWG)

Direktorat Jenderal HAM, Kementerian Hukum dan HAM Raoul Wallenberg Institute (RWI)

2019

(4)

2 | L a p o r a n E v a l u a s i K K P H A M – 2 0 1 9 KATA PENGANTAR

Peningkatan dan perlindungan hak asasi manusia merupakan hal yang fundamental dalam kehidupan negara. Pemerintah memiliki kewajiban untuk memastikan pemenuhan hak asasi manusia dan kebebasan mendasar bagi semua rakyatnya. Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia terus mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk pemajuan dan pemenuhan hak asasi manusia termasuk dengan memastikan rasa hormat dan pengarusutamaan prinsip-prinsip hak asasi manusia.

Sejak tahun 2013, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. 25/2013 tentang Kriteria Kabupaten/Kota Peduli Hak Asasi Manusia (HAM). Peraturan ini telah diubah lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 34 Tahun 2016 untuk menyesuaikan perkembangan implementasi kota-kota hak asasi manusia. Peraturan ini dimaksudkan untuk memberikan arahan bagi pemerintah daerah untuk mendorong kebijakan penting dalam pengembangan isu-isu hak asasi manusia. Peraturan ini berfungsi sebagai pedoman untuk penilaian komprehensif mengenai kinerja pemerintah daerah dalam upaya mereka untuk mempromosikan dan melindungi hak asasi manusia.

Implementasi peraturan ini mencakup kegiatan pemantauan dan penilaian tahunan untuk memastikan upaya pemerintah daerah dalam memenuhi hak asasi manusia dan kebebasan mendasar. Tujuan penilaian kabupaten/kota peduli hak asasi manusia adalah untuk mengarusutamakan dan melindungi hak asasi manusia sebagai bentuk pertanggungjawaban pemerintahan daerah.

Beberapa kriteria penilaian untuk mengevaluasi HAM di kabupaten/kota didasarkan pada pemenuhan hak sipil dan politik, hak atas kesehatan, hak atas pendidikan, hak perempuan dan anak, hak untuk bekerja, hak atas perumahan yang layak dan hak untuk lingkungan yang berkelanjutan. Dari 7 kriteria tersebut, terdapat 83 indikator yang perlu dievaluasi pelaksanaannya.

Kami menyambut baik hadirnya Laporan Monitoring dan Evaluasi Indikator Penilaian Kabupaten/Kota Peduli HAM ini, mengingat bahwa tujuan dari adanya laporan ini adalah untuk untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi berbagai masalah dan kendala terkait proses penilaian Kabupaten/Kota Peduli HAM, serta memperoleh masukan dari pemerintah daerah dan stakeholder terkait solusi yang tepat untuk penyelesaian masalah dan kendala tersebut.

Melalui evaluasi dan pemantauan tersebut, pemangku kebijakan dalam Implementasi Kabupaten/Kota Peduli HAM dapat melihat indikator penilaian saat ini masih sesuai atau tidak dengan situasi masyarakat di daerah tertentu.

Selain itu, hasil evaluasi ini untuk menguji keabsahan dan kevalidan data yang

dilaporkan oleh Pemerintah Daerah. Selanjutnya, Laporan Monitoring dan

(5)

3 | L a p o r a n E v a l u a s i K K P H A M – 2 0 1 9

Evaluasi Indikator Penilaian Kabupaten/Kota Peduli HAM ini, nantinya akan dijadikan salah satu dasar pertimbangan revisi Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 34 Tahun 2016.

Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Raoul Wallenberg Institute (RWI) dan Human Rights Working Group (HRWG) yang telah mendukung dalam penyusunan laporan ini. Di samping itu juga terima kasih kepada tim evaluator yang telah meluangkan waktu masing-masing untuk menghimpun berbagai data dan informasi yang relevan dan mengolahnya lebih lanjut menjadi satu kesatuan dalam laporan ini.

Jakarta, Desember 2019

Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia

Dr. Mualimin Abdi, S.H., M.H.

(6)

4 | L a p o r a n E v a l u a s i K K P H A M – 2 0 1 9 DAFTAR ISI

Bagian I | PENDAHULUAN ... 6

A. Latar Belakang Masalah ... 6

B. Identifikasi Masalah ... 10

C. Tujuan dan Kegunaan Evaluasi ... 11

D. Metode Evaluasi ... 12

E. Sistematika Penulisan ... 13

F. Wilayah dan Tim Evaluasi ... 14

Bagian II | TINJAUAN UMUM KABUPATEN/KOTA PEDULI HAM ... 15

A. Human Rights Cities dan Perkembangan Kabupaten/Kota Peduli HAM ... 15

B. Dasar Hukum Pelaksanaan Kabupaten/Kota Peduli HAM ... 19

Bagian III | ANALISA DAN EVALUASI PERATURAN PELAKSANAAN KRITERIA KABUPATEN/KOTA PEDULI HAM ... 27

A. Evaluasi terhadap Indikator-indikator Penilaian Kriteria KKP HAM ... 27

1. Provinsi Jawa Barat ... 29

Pemerintah Kota Bandung ... 32

Pemerintah Kota Cimahi ... 33

Pemerintah Kabupaten Bandung Barat... 33

2. Provinsi Jawa Timur ... 34

Pemerintah Kota Surabaya ... 36

Pemerintah Kabupaten Sidoarjo ... 38

3. Provinsi Sulawesi Selatan ... 40

Pemerintah Kota Makassar ... 43

Pemerintah Kabupaten Bulukumba ... 45

Pemerintah Kabupaten Maros ... 49

4. Provinsi Banten ... 50

Pemerintah Kota Serang ... 53

Pemerintah Kota Tangerang ... 56

Pemerintah Kota Tangeral Selatan ... 59

5. Provinsi DKI Jakarta ... 61

(7)

5 | L a p o r a n E v a l u a s i K K P H A M – 2 0 1 9

Bagian IV | CATATAN DAN MASUKAN UMUM TERKAIT PELAKSANAAN KKP HAM ... 69

Masukan dan Saran Pelaksanaan KKP HAM di Lima Provinsi ... 69

KKP HAM dan Pencapaian Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) ... 74

Pelaksanaan KKP HAM dan Masukan Masyarakat Sipil ... 78

Bagian V | PENUTUP ... 81

Kesimpulan ... 81

Rekomendasi ... 82

DAFTAR PUSTAKA ... 85

LAMPIRAN ... 86

(8)

6 | L a p o r a n E v a l u a s i K K P H A M – 2 0 1 9

Bagian I | PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sebagai sebuah konsep yang baru diterima oleh Indonesia secara terbuka dan bebas di masa reformasi, HAM masih menjadi hal yang seringkali memunculkan kontroversi dan perbincangan secara nasional. Menguatnya organisasi masyarakat sipil di bidang HAM dan semakin terbukanya komunikasi dan hubungan Indonesia dengan komunitas internasional menjadikan isu-isu HAM semakin banyak menjadi perhatian Pemerintah. Hal ini juga didorong oleh sejumlah komitmen Pemerintah Indonesia di tingkat internasional, baik secara suatu komitmen yang bersifat sukarela (voluntary) di antaranya dengan melakukan ratifikasi Konvensi Internasional maupun dengan komitmen yang bersifat obligatory seperti Universal Periodic Review (UPR).

Untuk menjawab ragam tuntutan kewajiban pemerintah tersebut, Pemerintah Indonesia sendiri menyusun sejumlah kebijakan dan program yang di dalamnya menegaskan aspek penegakan HAM. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menjadi landasan utama bagi Pemerintah Indonesia untuk melaksanakan HAM di tingkat nasional, selain dari upaya signifikan Majelis Permusyarawatan Rakyat dan ragam pihak yang terlibat untuk mengamandemen UUD 1945. Amandemen ini menjadikan hak asasi manusia signifikan dalam sistem ketatanegaraan dan pemerintahan di Indonesia.

Dalam pada itu, keberadaan landasan normatif HAM tersebut kemudian

diterjemahkan ke dalam ragam kebijakan turunan Pemerintah, baik di tingkat

pusat maupun daerah. Hal ini penting mengingat norma-norma HAM sendiri

tidak serta merta dapat berlaku tanpa adanya upaya serius dan konkret bagi

Pemerintah untuk melaksanakannya, sehingga memberikan dampak signifikan

bagi pemenuhan, penghormatan, dan perlindungan HAM bagi setiap warga

(9)

7 | L a p o r a n E v a l u a s i K K P H A M – 2 0 1 9

negara. Hal ini pula yang mendorong pemerintah, dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM, membentuk suatu mekanisme pemantauan pelaksanaan HAM di tingkat daerah yang dikemas dalam platform Kabupaten/Kota Peduli HAM.

Kabupaten/Kota Peduli HAM merupakan program yang dilaksanakan oleh Kementerian Hukum dan HAM sejak tahun 2013. Pertama kalinya KKP HAM ditetapkan melalui Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 11 Tahun 2013 dan kemudian disempurnakan melalui Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 23 Tahun 2013 yang lebih menegaskan tentang Indikator Penilaian KKP HAM. Setelah berlangsung selama 3 tahun, KKP HAM kembali disempurnakan dengan melakukan revisi terhadap Peraturan Menteri Hukum dan HAM tersebut dan akhirnya dikeluarkan Permenkumham No. 34 Tahun 2016. Hingga evaluasi ini dilakukan, Pelaksanaan KKP HAM masih berlangsung dengan menggunakan Peraturan Menteri Hukum dan HAM No.

34 Tahun 2016 sebagai landasan hukumnya.

Dalam perjalanannya, dengan pelbagai perkembangan kebijakan dan kondisi hak asasi manusia di Indonesia saat ini, pelaksanaan KKP HAM mendapatkan sejumlah tantangan dan kendalanya. Bila dilihat dari tiga aspek hukum, tantangan dan kendala ini dapat dilihat dari aspek substansi hukum (peraturan), aspek sturktur, dan aspek budaya hukum. Ketiganya kemudian memiliki karakternya sendiri-sendiri dan memberikan pengaruh pada efektifitas pelaksanaan KKP HAM di tingkat lokal dan nasional. Untuk itu pula, merupakan suatu hal yang penting untuk melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan KKP HAM tersebut dengan mendasarkan pada Peraturan yang berlaku dan praktik pelaksanaannya di lapangan.

Sebagai sebuah program, KKP HAM menjadi signifikan ketika animo

pemerintah daerah semakin tinggi untuk mencapai prediket Peduli HAM. Hal

ini tentu menjadi jalan masuk bagi Pemerintah untuk semakin meningkatkan

komitmen penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM bagi warga

(10)

8 | L a p o r a n E v a l u a s i K K P H A M – 2 0 1 9

negara. Data berikut ini menunjukkan komitmen pemerintah Kabupaten/Kota tersebut.

Sumber: http://ham.go.id/data-kabupaten-kota-peduli-ham/

Dari sisi jumlah, jumlah Kabupaten/Kota yang ada di Indonesia saat ini adalah 415. Untuk kotamadya berjumlah 93, dan Kabupaten Administrasi, yaitu Kabupaten Kepulauan Seribu. Lima kota administrasi (daerah tanpa DPRD), yakni Jakarta Utara, Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Jakarta Barat dan Jakarta Pusat.

1

Seperti diketahui pelaksanaan penilaian Kabupaten/Kota Peduli HAM berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 25 Tahun 2013 sejak dilaksanakan dari tahun 2013 sampai dengan tahun 2019 ini capaiannya mengalami peningkatan. Pada tahun 2013 diberikan penghargaan kepada 19 Kabupaten/Kota, tahun 2014 meningkat mencapai 56 Kabupaten/Kota, tahun 2015 meningkat mencapai 132 Kabupaten/Kota, tahun 2016 meningkat mencapai 228 Kabupaten/Kota, tahun 2017 meningkat mencapai 271 Kabupaten/Kota, dan pada tahun 2018 meningkat mencapai 272

1

Lihat data per 2018 di laman https://otda.kemendagri.go.id/wp-content/uploads/2019/03/Pembentukan-Daerah- Daerah-Otonom-di-Indonesia-s.d-Tahun-2014-2.pdf

0 50 100 150 200 250 300

2015 2016 2017 2018

Jumlah Kabupaten/Kota Peduli dan Mulai Peduli 2015 - 2018

Peduli Cukup Peduli

(11)

9 | L a p o r a n E v a l u a s i K K P H A M – 2 0 1 9

Kabupaten/Kota. Meskipun mengalami peningkatan namun masih jauh dari jumlah Kabupaten/Kota yang ada di Indonesia yaitu sejumlah 514 Kabupaten/Kota.

Sampai dengan saat ini partisipsi dari Kabupaten/Kota mencapai 432 Kabupaten/Kota. Diharapkan dari 514 Kabupaten/Kota, seluruhnya dapat menyampaikan laporan Kab/Kota Peduli HAM setiap tahunnya sehingga dapat dilihat capaian di setiap Kabupaten/Kota dalam rangka pemenuhan hak dasar penduduk. Hal ini dikarenakan masih terdapat kendala yang dihadapi oleh Kabupaten/Kota, Provinsi, dan Kanwil Kemenkumham sebagai kepenjangan tangan Kementerian Hukum dan HAM di daerah dalam Proses Pelaksanaan Pelaporan dan Penilaian KKP HAM (Permenkumham 34/2016), dan pemahaman dan pemenuhan serta input data (Kanwil) pelaporan permenkumham dimaksud.

Meningkatnya animo pemerintah daerah dalam pelaksanaan KKP HAM ini merupakan sebuah kesempatan untuk semakin meningkatkan perlindungan dan pemenuhan HAM. Namun di sisi yang lain, keandalan KKP HAM sebagai sebuah platform nasional juga perlu diperkuat mengingat belum diketahuinya dampak yang terukur dari pelaksanaan KKP HAM di daerah. Dalam beberapa

89 143 242 335 352 409 432

19 56 132 228 232 271 272

37 27 43 24 83 75 96

9 0 3 1 37 53 44

24 0 68 82 162 115 102

2 0 1 2 - 2 0 1 3 2 0 1 3 - 2 0 1 4 2 0 1 4 - 2 0 1 5 2 0 1 5 - 2 0 1 6 2 0 1 6 - 2 0 1 7 2 0 1 7 - 2 0 1 8 2 0 1 8 - 2 0 1 9

STATUS LAPOR KABUPATEN KOTA DAN CAPAIAN 2012 - 2019

Lapor Peduli Cukup Mulai Kurang/ Tidak Lapor

(12)

10 | L a p o r a n E v a l u a s i K K P H A M – 2 0 1 9

kasus, ragam kritik dari pelbagai stakeholder juga muncul dan mempertanyakan akuntabilitas dan obyektifitas dari program tersebut.

Untuk itu, sebagai upaya meningkatkan kembali KKP HAM sebagai platform nasional perlindungan dan pemenuhan HAM, evaluasi terhadap pelaksanaan KKP HAM ini penting untuk dilakukan. Dengan mengkaji lima wilayah di Indonesia, evaluasi ini akan meninjau sejauh mana Permenkumham No. 34 Tahun 2016 memadai dalam mendorong komitmen HAM Pemerintah Kabupaten/Kota dan sekaligus pula memberikan dampak yang positif bagi masyarakat.

B. Identifikasi Masalah

Urgensi Evaluasi yang dilakukan oleh Tim ini dapat dilihat dari beberapa hal kunci di bawah ini, di antaranya adalah:

1. Pemetaan permasalahan terkait dengan pemenuhan 83 indikator Kabupaten/Kota Peduli HAM. Hal ini didasarkan pada kendala dan tantangan pelaksanaan KKP HAM saat ini, terutama pada pemenuhan dan pelaporan indikator-indikator HAM yang ada di dalam Permenkumham. Perubahan kebijakan nasional dan situasi di tingkat lokal memberikan pengaruh besar terhadap keandalan dan kevalidan setiap indikator tersebut. Hal ini mencakup pula tentang:

a. Kesulitan mencapai dan memenuhi indikator dalam Permenkumham 34/2016.

b. Indikator yang perlu disesuaikan dengan kewenangan pusat, daerah provinsi, dan kabupaten/kota.

c. Kaitan antara indikator KKP HAM dan Sustainable Development Goals (SDGs).

2. Rekomendasi penyempurnaan dan efektifitas pelaksanaan

Kabupaten/Kota Peduli HAM. Secara umum, pelaksanaan KKP HAM

masih menyisakan kendala dan tantangan dari sisi pelaksana di tingkat

lokal dan nasional. Hal ini disebabkan oleh pelbagai faktor, sehingga

(13)

11 | L a p o r a n E v a l u a s i K K P H A M – 2 0 1 9

Permenkumham 34/2016 secara keseluruhan perlu ditinjau kembali.

Sejumlah hal yang termasuk dalam pelaksanaan ini adalah:

a. Efektifitas mekanisme yang berlaku saat ini.

b. Kredibilitas pemberian penilaian Kriteria Kabupaten/Kota Peduli HAM.

c. Partisipasi masyarakat sipil dan pihak berkepentingan lainnya.

d. Kaitan antara RANHAM dan KKP HAM.

Untuk mencapai hasil evaluasi tersebut, Tim Evaluator menetapkan sejumlah pertanyaan kunci yang menjadi pedoman dalam setiap proses evaluasi, yaitu:

1. Apakah sasaran program atau kegiatan yang ditetapkan di dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 34 Tahun 2016 telah tercapai dan efektif?

2. Faktor apa yang menyebabkan Permenkumham 34/2016 dilaksanakan efektif dan tidak efektif? Apa kendala dan tantangan pelaksanaanya?

3. Bagaimana revelansi, keberlanjutan dan efektifitas program/kegiatan, termasuk pula input perbaikan dan penyempurnaan dari Permenkumham tersebut?

C. Tujuan dan Kegunaan Evaluasi

Dari segi tujuan, evaluasi ini dilakukan untuk melihat proses pelaksanaan kebijakan, yaitu mengkaji apakah pelaksanaan fokus prioritas/

program atau kegiatan prioritas berjalan ke arah pencapaian sasaran. Dengan

kata lain, evaluasi diarahkan untuk menilai keberhasilan atau kegagalan dari

suatu kebijakan berdasarkan standar atau kriteria yang telah ditetapkan

sebelumnya Evaluasi ini tidak akan secara spesifik mengarah pada evaluasi

dampak dan anggaran, karena keterbatasan sumber daya dan waktu. Untuk

itu, evaluasi ini dilakukan untuk meninjau proses bekerjanya kebijakan atau

program tertentu: akuntabilitas atau efisiensi dalam melaksanakan program.

(14)

12 | L a p o r a n E v a l u a s i K K P H A M – 2 0 1 9

Sementara kegunaan dari evaluasi dapat dilihat dari dua aspek kegunaan, yaitu teoritis dan praktis. Secara teoritis, evaluasi akan berkontribusi pada pengembangan pengetahuan tentang pelaksanaan HAM di tingkat lokal dan pengintegrasiannya secara sistematis dalam program dan sistem pemantauan yang komprehensif. Secara praktik, evaluasi ini akan memberikan manfaat pada:

1. Pelaksanaan KKP HAM yang lebih efektif dan memberikan dampak positif bagi pemenuhan dan perlindungan HAM di Indonesia.

2. Masukan bagi Kementerian Hukum dan HAM untuk melakukan revisi dan perbaikan terhadap Permenkumham No. 34 Tahun 2016.

3. Memberikan masukan terhadap pelaksanaan Sustainable Development Goals, RPJMN, dan RANHAM yang lebih diarahkan untuk memenuhi aspek indikator HAM-nya.

D. Metode Evaluasi

Dari segi metode, evaluasi ini menggunakan metode eksplanasi, yaitu evaluasi yang ditujukan untuk memotret realitas pelaksanaan program dan membuat suatu generalisasi tentang pola-pola hubungan antar berbagai dimensi realitas yang diamatinya. Dari evaluasi ini evaluator akan mengidentifikasi masalah, kondisi, dan aktor yang mendukung keberhasilan atau kegagalan program.

Ditinjau dari segi jenis, evaluasi ini menggunakan jenis evaluasi formatif, yaitu dilaksanakan pada waktu pelaksanaan, prioritas, fokus prioritas/program, atau kegiatan prioritas dengan tujuan memperbaiki pelaksanaannya. Temuan utama berupa masalah-masalah dalam pelaksanaan.

Sementara pendekatan evaluasi dilakukan dengan metode kualitatif,

yaitu berfokus pada proses, dengan metode di antaranya wawancara

mendalam, FGD, pengamatan, dan kajian literatur.

(15)

13 | L a p o r a n E v a l u a s i K K P H A M – 2 0 1 9 Komponen-komponen Evaluasi KKP HAM

E. Sistematika Penulisan

Laporan Evaluasi ini terdiri dari lima bagian besar, yaitu:

Bagian pertama adalah Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, identifikasi masalah, metode evaluasi, sistematika penulisan, dan wilayah dan tim evaluasi.

Bagian kedua merupakan gambaran umum tentang kabupaten/kota yang terdiri dari penjelasan singkat tentang human rights cities dan dasar hukum pelaksanaan kabupaten/kota peduli HAM.

Bagian ketiga adalah analisa dan evaluasi peraturan pelaksanaan KKP HAM yang meliputi penjelasan hasil evaluasi setiap daerah, yaitu Provinsi Jawa Barat, Provinsi Sulawesi Selatan, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Banten, dan Provinsi DKI Jakarta.

Bagian Keempat adalah catatan dan masukan umum terkait dengan pelaksanaan KKP HAM, yang meliputi penjelasan tentang masukan dan saran

Instrumen/ peraturan Indikator

Pelaksanaan

Struktur

Pemahaman aparat

Provinsi

Kabupaten/Kota Kemampuan mencapai

target, kendala

Komitmen

Sistem dan penilaian

Aplikasi

Aritmatika

Proses Penilaian

Keselarasan dengan penilaian dan stakeholder

lain

RANHAM, masyarakat sipil, IDI, kota/ kab layak anak, lingkungan, sosial, ranking kota sehat, dll

(16)

14 | L a p o r a n E v a l u a s i K K P H A M – 2 0 1 9

tentang KKP HAM, KKP HAM dan pencapaian pembangunan berkelanjutan, dan masukan masyarakat sipil.

Bagian terakhir adalah penutup yang menyimpulkan laporan evaluasi ini dan rekomendasi.

F. Wilayah dan Tim Evaluasi

Evaluasi ini dilakukan di 5 wilayah provinsi di Indonesia yang di dalamnya mencakup beberapa kabupaten/kota. Pemilihan daerah ini didasarkan pada gambaran umum dari setiap Provinsi yang memiliki Kabupaten/Kota beragam dalam hal pencapaian prediket Kabupaten/Kota Peduli HAM. Hal ini penting untuk mengetahui secara lebih rinci tentang pelaksanaan KKP HAM di setiap daerah dan termasuk pula kendala dan tantangan yang muncul di lapangan.

Selain itu, pilihan lokasi juga berkaitan dengan keterbatasan sumber daya yang dimiliki, sehingga evaluasi ini tidak bisa menjangkau wilayah yang lebih luas, termasuk wilayah Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Cakupan wilayah yang hanya mencakup pulau Jawa dan Sulawesi Selatan merupakan salah satu keterbatasan evaluasi ini, meskipun pemilihan wilayah dilakukan dengan tetap mempertimbangkan obyektivitas evaluasi. Berikut ini cakupan wilayah dan evaluator yang terlibat:

No. Kota (Waktu) Nama Kedudukan Instansi

1. DKI Jakarta Patricia Rinwigati Evaluator UI

(8-11 Okt 2019) Relly Listriana Susan Asisten Evaluator DJHAM

2. Jawa Barat Luther Budi Raja Evaluator WNP

(1-4 Okt 2019) Septian Asriwanto Asisten Evaluator DJHAM

3. Banten Wahyudi Djafar Evaluator ELSAM

(7-10 Okt 2019) Abubakar “Danis” Asisten Evaluator DJHAM

4. Sulawesi Selatan Hidayat Yasin Evaluator DJHAM

(7-10 Okt 2019) Andi Taletting Langi Asisten Evaluator DJHAM

5. Jawa Timur Rafendi Djamin Evaluator HRWG

(8-11 Okt 2019) Bambang Iriana Asisten Evaluator DJHAM

(17)

15 | L a p o r a n E v a l u a s i K K P H A M – 2 0 1 9

Bagian II | TINJAUAN UMUM KABUPATEN/KOTA PEDULI HAM

A. Human Rights Cities dan Perkembangan Kabupaten/Kota Peduli HAM Hak asasi manusia menempatkan Negara sebagai pemangku kewajiban pelaksanaan HAM. Setidaknya hal ini tergambar dari tiga kewajiban Negara di bidang HAM yang harus dilaksanakan dengan menghormati (obligation to respect), melindungi (obligation to protect) dan memenuhi (obligation to fulfill) HAM.

Dalam konteks Indonesia, seiring dengan desentralisasi yang semakin menyebarkan konsentrasi perlindungan dan pemenuhan HAM di tingkat lokal.

Desentralisasi meletakkan kewajiban HAM tidak hanya pada pemerintah pusat, namun juga pada pemerintah daerah yang diberikan sejumlah kewenangan untuk menjalankan kebijakan dan program pemerintahan.

Menangkap perubahan signifikan dalam hal ini kemudian sejumlah inisiasi untuk semakin meningkatkan peranan tersebut secara lebih terintegrasi melalui skema regulasi yang mengikat dan bekeberlangsungan.

Memperkuat peranan pemerintah daerah ini juga dipengaruhi oleh perkembangan yang berlangsung di tingkat internasional. Menguatnya populisme dan kritik terhadap paradigma hak asasi manusia internasional menghasilkan arus balik global terhadap sistem pembangunan HAM, di antaranya adalah human rights cities sebagai sebuah konsep prospektif yang berhadapan dengan tantangan sosial komtemporer, terutama dalam hal inklusi sosial dan partisipasi.

2

Salah satu perkembangan signifikan adalah ketika Kota-kota HAM dirumuskan dalam pertemuan regional di Gwangju, Korea Selatan. Beberapa pertemuan regional yang dimulai di Gwangju, Korea Selatan terus bergulir

2

Sofie Viborg Jensen, “The Localisation of Human Rights and the Conceptualisation of a Human rights city”,

Tesis pada Lund University, Department of Sociology, 2018.

(18)

16 | L a p o r a n E v a l u a s i K K P H A M – 2 0 1 9

sebagai pertemuan tahunan untuk mengembangkan diskursus kota HAM agar semakin diterima di dunia internasional dan menjadi fase bagi baru praktik HAM ke beberapa negara.

3

Kota HAM kemudian memasuki perbincangan di PBB untuk diproses menjadi guideline PBB bagi promosi penguatan human rights cities. Menjelang peringatan 50 tahun Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, untuk pertama kalinya diumumkan Gwangju sebagai Kota HAM di antara kota-kota Asia lainnya pada tahun 1998.

4

Menurut catatan Martha D. Davis, awal mula istilah human rights cities diluncurkan dan dipromosikan terjadi pada tahun 1993 oleh The People's Movement for Human Rights Learning (PDHRE).

5

Kota yang pertama kali mendeklarasikan diri adalah Rosario, Argentina, dengan membangun kebijakan kota yang diadaptasikan dengan prinsip HAM yang menghormati hak-hak kelompok LGBT. Dengan meningkatnya jumlah kota-kota di dunia yang mendeklarasikan diri, seperti Vienna (Austria), York (Inggris), dan Gwangju (Korea Selatan), jaringan internasional human rights cities semakin terbentuk. Sejak 2001, sebuah organisasi yang terletak di Barcelona kemudian menyelenggarakan pertemuan internasional United Cities and Local Government (ULGC) yang dihadiri oleh perwakilan kota-kota dan pemerintah daerah sebagai bagian dari Forum Sosial Dunia. Hal ini kemudian dilanjutkan oleh Gwangju dengan World Human Rights Cities Forum pada 2011.

6

Dalam perkembangannya, konsep human rights cities semakin diminati oleh pelbagai pihak. Salah satu minat dalam pengembangan isu ini adalah hendak melebarkan cakupan kewajiban negara (state obligation) yang tidak

3

Muhammad Nurkhoiron, “Mengembangkan Kota HAM di Indonesia: Peluang dan Tantangannya”, dalam Jurnal Pemikiran Sosiologi, Volume 4, No. 1, Januari 2017, h. 120.

4

Achievements and Challenges of the Human Rights City Gwangju - Overview and Tasks of the Implementation of the Human Rights City Gwangju. Dokumen OHCHR, diakses dari

https://www.ohchr.org/Documents/HRBodies/HRCouncil/AdvisoryCom/LocalGvt/Gwangju%20Metropolitan%20City,

%20Republic%20of%20Korea.pdf

5

Martha F. Davis, “Design Challenges for Human Rights Cities”, Columbian Human Rights Law Review, 49/1:1 (2017), h. 35

6

Martha F. Davis, “Design Challenges for Human Rights Cities”, h. 35.

(19)

17 | L a p o r a n E v a l u a s i K K P H A M – 2 0 1 9

semata-mata dibebankan kepada pemerintah pusat, akan tetapi juga pemerintahan lokal/daerah/federal. Kewajiban negara dalam meratifikasi kovenan Internasional ke dalam hukum nasional ternyata tidak berdampak langsung bagi pemangku hak dalam mendapatkan kemajuan atas penikmatan hak-haknya.

Deklarasi Gwangju tentang Kota Hak Asasi Manusia, salah satu instrumen rujukan pelaksanaan human rights cities, yang disahkan pada tanggal 17 Mei 2011, mendefinisikan kota hak asasi manusia sebagai “Sebuah komunitas lokal, maupun prosessosial-politik dalam konteks lokal, di mana hak asasi manusia memainkan peran kunci, sebagai nilai-nilai fundamental dan prinsip-prinsip panduan”.

Dari sini, dapat diketahui, bahwa sebuah kota HAM menghendaki tata kelola secara bersama dalam konteks lokal, yaitu Pemerintah Daerah, Parlemen Daerah (DPRD), masyarakat sipil, sektor swasta dan pemangku kepentingan lainnya bekerjasama dalam mewujudkan penghormatan dan perlindungan HAM, terutama peningkatan kualitas hidup bagi semua orang yang berada di wilayah tersebut.

7

Selain itu, kebijakan Kota HAM dijalankan melalui program-program pemerintah, mendapatkan alokasi anggaran dengan kelompok sasaran yang jelas. Hal ini berdasarkan pada kondisi saat ini di mana daerah memiliki diskresi untuk mengatur dan mengelola kota, sekaligus melakukan mobilisasi dan mengajak secara partisipatif warga kota terlibat dalam program-program pembangunan. Untuk itu pula, human rights cities mengadopsi sejumlah prinsip di dalamnya, yaitu: hak atas kota; non-diskriminasi dan tindakan afirmatif; inklusi sosial dan keragaman budaya; demokrasi partisipatoris dan pemerintahan yang akuntabel; keadilan sosial, solidaritas dan keberlanjutan;

kepemimpinan dan pelembagaan politik; pengarusutamaan hak asasi manusia;

koordinasi lembaga-lembaga dan kebijakan yang efektif; pendidikan dan pelatihan hak asasi manusia, dan hak atas kompensasi.

7

INFID, Panduan Kabupaten/Kota RAMAH HAM, (Jakarta: INDIF, 2016), h. 17

(20)

18 | L a p o r a n E v a l u a s i K K P H A M – 2 0 1 9

Dalam perkembangan dan perjalanan konsep tentang Kota-kota HAM ini, ragam kritik dan masukan juga muncul terhadap pelaksanaannya. Hal ini di antaranya didasarkan pada pelaksanaan HAM yang hanya berfokus pada kota-kota yang berada di wilayah maju, sementara daerah pedesaan tidak banyak diperhatikan. Lebih dari itu, pelaksanaan Kota HAM yang memang didasarkan dari sikap voluntary dari setiap Kota justru membuat program Kota HAM tidak maksimal menjangkau banyak wilayah di suatu negara.

Sebagai bagian dari pengembangan konsep-konsep Kota HAM ini, muncul pula inisiasi untuk mendorong semua Kabupaten/Kota memberikan perhatian serius terhadap hak asasi manusia. Konsep-konsep lain ini juga telah dikembangkan dalam rangka untuk melokalkan hak asasi manusia, di antaranya adalah “hak atas kota” yang pertama kali dikemukakan oleh filsuf Perancis Henri Lefebvre.

8

Konsep hak atas kota ditetapkan secara khusus dalam Piagam Dunia untuk Hak atas Kota (2005), yang mengacu pada hak warga dan “para pengguna” suatu kota untuk berpartisipasi dalam urusan publik setempat dan menetapkan tata ruang kota. Sejauh ini konsep “hak atas kota” sudah dilembagakan secara terbatas, misalnya Peraturan Kota Brasil (2001), Piagam Montreal tentang Hak dan Tanggung-jawab (2006), dan Piagam Mexico City untuk Hak terhadap Kota (2010).

9

Dalam konteks Indonesia, salah satu inisiasi untuk mendorong pelaksanaan hak asasi manusia di level daerah ini dilakukan melalui pembentukan dan pengembangan mekanisme Kabupaten/Kota Peduli HAM oleh Kemenkumham yang telah dilaksanakan sejak tahun 2011.

8

INFID, Panduan Kabupaten/Kota RAMAH HAM, h. 18; lihat pula, “Hak Atas Kota”, Indoprogress.com, 23 Januari 2013, diakses dari https://indoprogress.com/2013/01/hak-atas-kota-2/

9

Lihat, World Charter for the Rights to the City, diakses dari http://hic-gs.org/document.php?pid=2422

(21)

19 | L a p o r a n E v a l u a s i K K P H A M – 2 0 1 9

B. Dasar Hukum Pelaksanaan Kabupaten/Kota Peduli HAM

Kabupaten/Kota Peduli HAM merupakan kebijakan yang dirumuskan untuk mendorong kewajiban Pemerintah Daerah, terutama Kabupaten/Kota, dilaksanakan secara efektif mencapai sasaran yang ditetapkan. Iniasi pelaksanaan KKP HAM pertama kali dapat ditelusuri dari kebijakan yang dikeluarkan oleh Menteri Hukum dan HAM Nomor 11 Tahun 2013 tentang Kriteria Kabupaten/Kota Peduli HAM. Peraturan ini disahkan pada 14 Maret 2013.

Permenkumham ini menegaskan tentang kewajiban dan tanggung jawab yang dimiliki Pemerintah dalam hal penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak asasi manusia. Di antara upaya yang dilakukan untuk melaksanakan kebijakan ini adalah dengan menetapkan program rencana aksi nasional hak asasi manusia yang telah berlangsung sejak 1998. Sebagai upaya untuk mendorong pemerintah, terutama pemerintah kabupaten/kota, terus meningkatkan komitmennya di bidang HAM, Kemenkumham membuat kebijakan yang memuat pelaksanaan penilaian Kriteria KKP HAM.

Dalam klausul Mengingat, Peraturan Menteri No. 11/2013 ini mendasarkan pada sejumlah kebijakan yang telah ada, di antaranya adalah:

1. Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886);

2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437)

sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan

UndangUndang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);

(22)

20 | L a p o r a n E v a l u a s i K K P H A M – 2 0 1 9

3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);

4. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2011 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 141).

5. Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 92 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 142);

6. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia Tahun 2011-2014;

7. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH- 05.OT.01.01 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 676);

10

Pada awalnya, Kriteria KKP HAM dirumuskan untuk mencapai sejumlah tujuan, yaitu:

1. Memberikan motivasi kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota untuk melaksanakan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM;

10

Klausul Mengingat Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 11 tahun 2013 tentang Kriteria Kabupaten/Kota

Peduli HAM

(23)

21 | L a p o r a n E v a l u a s i K K P H A M – 2 0 1 9

2. Mengembangkan sinergitas satuan kerja perangkat daerah dan instansi vertikal di daerah dalam rangka penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM; dan

3. Mengukur hasil kinerja Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam mewujudkan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM.

11

Dalam pelaksanaannya, Kriteria HAM yang masuk dalam penilaian ini sangat terbatas pada sejumlah hak-hak, di antaranya adalah: hak hidup, hak mengembangkan diri, hak atas kesejahteraan, hak atas rasa aman, dan hak atas perempuan. Penilaian dilakukan setiap tahun yang dilaksanakan oleh Panitia RANHAM.

12

Dalam perjalanannya, Peraturan Menteri ini kemudian diubah melalui Permenkumham No. 25 Tahun 2013, diundangkan pada 10 Juli 2013.

Perubahan ini sebetulnya hanya berfokus pada indikator-indikator yang ada di dalam Permenkumham sebelumnya. Di dalam Permenkumham 25/2013 ini ditegaskan tentang 5 aspek hak yang masuk dalam Kriteria dan 17 indikator yang dinilai, termasuk pula batasan ukuran sebuah kabupaten/kota dapat dikategorikan sebagai kabupaten/kota yang Peduli, Cukup Peduli, dan Kurang Peduli.

Setelah dilaksanakan selama 3 tahun, Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 11/2013 jo 25/2013 kemudian direviu kembali melalui Permenkumham No. 34/2016.

Dari segi tujuan, terdapat perubahan yang dibuat oleh Permenkumha 34/2016, yaitu:

a. Memotivasi pemerintah daerah kabupaten/kota untuk melaksanakan penghormatan, pelindungan, pemenuhan, penegakan, dan pemajuan HAM;

11

Pasal 2 Permenkumham No. 11 Tahun 2013

12

Pasal 4 Permenkumham No. 11 Tahun 2013

(24)

22 | L a p o r a n E v a l u a s i K K P H A M – 2 0 1 9

b. Mengembangkan sinergitas satuan kerja perangkat daerah dan instansi vertikal di daerah dalam rangka penghormatan, pelindungan, pemenuhan, penegakan, dan pemajuan HAM; dan

c. Memberikan penilaian terhadap struktur, proses dan hasil capaian kinerja pemerintah daerah kabupaten/kota dalam melaksanakan penghormatan, pelindungan, pemenuhan, penegakan, dan pemajuan HAM;

Dari segi kriteria, Permenkumham 34/2016 juga lebih luas dibandingkan Kriteria sebelumnya, yaitu mencakup: a) hak atas kesehatan; b) hak atas pendidikan; c) hak perempuan dan anak; d) hak atas kependudukan; e) hak atas pekerjaan; f) hak atas perumahan yang layak; dan g) hak atas lingkungan yang berkelanjutan.

13

Salah satu perubahan signifikan dalam Permenkumham 34/2016 ini, indikator pelaksanaan aspek-aspek menggunakan indikator struktur, proses, dan hasil (dampak). Ketiga indikator ini merujuk pada metode pengukuran HAM di tingkat internasional pendekatan yang digunakan oleh PBB.

14

Aspek Permenkumham 11/2013 Permenkumham 34/2016

Tujuan a) memberikan motivasi kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota untuk melaksanakan penghormatan,

perlindungan, dan pemenuhan HAM;

b) mengembangkan

sinergitas satuan kerja perangkat daerah dan instansi vertikal di daerah

dalam rangka

penghormatan,

perlindungan, dan pemenuhan HAM; dan c) mengukur hasil kinerja

a. memotivasi pemerintah daerah kabupaten/kota untuk melaksanakan penghormatan,

pelindungan, pemenuhan, penegakan, dan pemajuan HAM;

b. mengembangkan

sinergitas satuan kerja perangkat daerah dan instansi vertikal di daerah

dalam rangka

penghormatan,

pelindungan, pemenuhan, penegakan, dan pemajuan HAM; dan

13

Pasal 3 Permenkumham No. 34 Tahun 2016

14

Lihat, OHCHR, Human Rights Indicators; A Guide Measurement and Implementation, (United Nations, 2012).

(25)

23 | L a p o r a n E v a l u a s i K K P H A M – 2 0 1 9 Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam mewujudkan

penghormatan,

perlindungan, dan pemenuhan HAM.

c. memberikan penilaian terhadap struktur, proses dan hasil capaian kinerja pemerintah daerah kabupaten/kota dalam melaksanakan

penghormatan,

pelindungan, pemenuhan, penegakan, dan pemajuan HAM;

Kriteria / aspek

indikator

hak hidup, hak

mengembangkan diri, hak atas kesejahteraan, hak atas rasa aman, dan hak atas perempuan. Penilaian dilakukan setiap tahun yang dilaksanakan oleh Panitia RANHAM

a) hak atas kesehatan; b) hak atas pendidikan; c) hak perempuan dan anak; d) hak atas kependudukan; e) hak atas pekerjaan; f) hak atas perumahan yang layak; dan g) hak atas lingkungan yang berkelanjutan.

Pelaksana Daerah

Kabupaten/Ko ta

Ketua Panitia RANHAM

Kabupaten/Kota Pemerintah Daerah

Pelaksana

Provinsi Panitia RANHAM Provinsi Pemerintah Provinsi Pelaksana

Pusat Panitia RANHAM Nasional Direktur Jenderal HAM Tim Pemeriksa Tidak diatur Kantor Wilayah

Tim Verifikasi Nasional

Tidak diatur Direktur Jenderal HAM Tim Penilai Tidak diatur Tim dibentuk oleh Dirjen.

HAM Sumber: diolah oleh Tim Evaluasi

Permenkumham 34/2016 juga lebih menjelaskan tentang pelaksanaan KKP HAM yang dikoordinasikan oleh Kementerian Hukum dan HAM dan dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah. Pasal 4 Permenkumham 34/2016 ayat (1) menegaskan, “Untuk dapat dilakukan penilaian kriteria daerah kabupaten/kota Peduli HAM, pemerintah daerah kabupaten/kota harus mengisi data penilaian”,

15

15

Pasal 4 Permenkumham 34/2016.

(26)

24 | L a p o r a n E v a l u a s i K K P H A M – 2 0 1 9

sekaligus pula menyampaikan dokumen pendukung kepada Kepala Kantor Wilayah.

16

Dokumen tersebut harus mendapatkan pengesahan dari Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah kabupaten/kota, Sekretaris Daerah kabupaten/kota, dan Sekretaris Daerah provinsi yang bersangkutan.

Data yang telah dikirimkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota ini kemudian diterima oleh Kantor Wilayah Kemenkumham dan Kantor Wilayah akan melakukan pemeriksaan terhadap form yang diisi sekaligus data dukung.

Pemeriksaan Kanwil tersebut dilakukan terhadap koreksi aritmatika, pemeriksaan keabsahan data lampiran yang ditunjukkan dengan tanda pengesahan oleh Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah dan instansi vertikal terkait, pemeriksaan keabsahan data penilaian dan dokumen pendukung yang ditunjukkan dengan tanda pengesahan dari Sekretariat Daerah Kabupaten/Kota dan Sekretariat Daerah Provinsi, dan pemeriksaan relevansi antara data penilaian dengan dokumen pendukung yang disampaikan.

16

Pasal 5 Permenkumham 34/2016.

(27)

25 | L a p o r a n E v a l u a s i K K P H A M – 2 0 1 9

• Pengisian data penilaian

Pemerintah Kab/Kota

• Pengesahan dokumen pendukung oleh Kepala Satuan Unit Kerja Perangkat Daerah, Sekda Kabupaten/Kota, dan Sekda Provinsi

Pemerintah

Kab/Kota

• Koordinasi oleh Biro Hukum

• Menyampaikan dokumen pendukung kepada Kanwil Kumham

Pemerintah Kab/Kota

• Pemeriksaan: aritmatika, keabsahan data dan pengesahan, dan relevansi data penilaian

Kantor Wilayah Proses Pelaksanaan Pelaporan dan Penilaian KKP HAM (Permenkumham

34/2016)

Proses selanjutnya, setelah form dan data dukung diperiksa, Kanwil akan menentukan apakah data telah lengkap atau perlu disempurnakan. Ketika data yang diperiksa tidak lengkap, Kantor Wilayah melakukan koordinasi dengan Sekretariat Daerah Provinsi dan Sekretariat Daerah Kabupaten/Kota untuk dilengkapi. Kanwil di setiap provinsi akan melaporkan data tersebut dilaporkan oleh Kanwil kepada Direktur Jenderal dalam jangka waktu paling lambat pada tanggal 15 September setiap tahunnya melalui Sistem Aplikasi secara Elektronik yang telah disediakan.

17

Selanjutnya, terhadap data yang telah dikirimkan, Dirjen. HAM akan melakukan verifikasi terhadap data-data tersebut dengan cara mencocokkan

17

Pasal 6 dan 7 Permenkumham 34/2016.

Kantor Wilayah menyampaikan laporan kepada Direktorat Jenderal HAM melalui Aplikasi

Proses Verifikasi oleh Ditjen. HAM / Tim

Verifikasi

Masukan Tim Penilai

(28)

26 | L a p o r a n E v a l u a s i K K P H A M – 2 0 1 9

data yang terdapat di kementerian/lembaga terkait hingga batas waktu setiap tanggal 15 Oktober dalam tahun berjalan. Tim verifikasi dibentuk oleh Dirjen.

HAM yang terdiri dari aparatur sipil negara (ASN). Dalam hal kemudian dalam verifikasi ditemukan ketidaksesuaian data penilaian dan dokumen pendukung yang dilaporkan dengan data yang terdapat pada kementerian/lembaga terkait, Direktorat Jenderal melakukan koordinasi dengan Sekretariat Daerah Provinsi dan Sekretariat Daerah kabupaten/kota melalui Kantor Wilayah.

18

Dalam proses akhir, hasil verifikasi sebagaimana dimaksud yang telah dilakukan oleh internal Kementerian Hukum dan HAM tersebut dilaporkan kepada Tim penilai. Tim penilai berjumlah ganjil paling sedikit terdiri dari unsur: a) pegawai di lingkungan Direktorat Jenderal; b) lembaga swadaya masyarakat; dan c) akademisi, yang ditetapkan melalui surat keputusan Direktur Jenderal.

Dari semua proses ini, Kabupaten/Kota akan mendapatkan nilai sesuai dengan laporan yang disampaikan, dengan klasifikasi nilai:

Nilai rata-rata = Jumlah capaian seluruh indikator/jumlah kriteria

> 75 s/d 100 = Peduli HAM

> 65 s/d < 75 = Cukup Peduli HAM

> 50 s/d < 65 = Mulai Peduli HAM

< 50 = Kurang Peduli HAM

Nilai ini terdiri dari beberapa penjelasan, yaitu:

a. Jumlah nilai capaian dari masing-masing indikator adalah 100 angka b. Nilai capaian utk indikator struktur sebesar 10 angka, indikator proses

sebesar 30 angka, dan indikator hasil sebesar 60 angka.

18

Pasal 10 dan 11 Permenkumham 34/2016.

(29)

27 | L a p o r a n E v a l u a s i K K P H A M – 2 0 1 9

Bagian III | ANALISA DAN EVALUASI PERATURAN PELAKSANAAN KRITERIA KABUPATEN/KOTA PEDULI HAM

A. Evaluasi terhadap Indikator-indikator Penilaian Kriteria KKP HAM Untuk mendorong obyektifitas pelaksanaan penilaian kabupaten/kota yang peduli terhadap hak asasi manusia, Kementerian Hukum dan HAM telah menetapkan indikator-indikator yang menjadi acuan dalam meninjau sejauh mana kabupaten/kota di seluruh Indonesia telah menjalankan kewajibannya.

Untuk pertama kalinya Penilaian Kabupaten/Kota Peduli HAM dilaksanakan, kriteria ditetapkan melalui Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 11 Tahun 2013 Tentang Kriteria Kabupaten/Kota Peduli Hak Asasi Manusia. Di dalam Permenkumham 11/2013 ini, terdapat 5 aspek yang dinilai, yaitu: hak hidup, hak mengembangkan diri, hak atas kesejahteraan, hak atas rasa aman, dan hak atas perempuan.

Kelima aspek ini kemudian diturunkan ke dalam indikator-indikator yang dinilai sebagaimana tabel berikut ini:

Aspek/Kriteria Indikator

Hak Hidup

Jumlah kematian ibu Jumlah kematian bayi Tutupan vegetasi

Hak mengembangkan diri

Persentase anak usia 7-12 tahun yang belum memperoleh pendidikan tingkat SD

Persentase anak usia 13-15 tahun yang belum memperoleh pendidikan tingkat SMP

Persentase anak berkebutuhan khusus yang memperoleh pendidikan

Persentase penyandang buta aksara

(30)

28 | L a p o r a n E v a l u a s i K K P H A M – 2 0 1 9 Hak atas Kesejahteraan

Penyediaan air bersih untuk kebutuhan penduduk

Persentase keluarga berpenghasilan rendah yang tidak memiliki rumah

Persentase rumah tidak layak huni Persentase angka pengangguran

Persentase Penurunan jumlah anak jalanan dari tahun sebelumnya ke tahun berjalan

Persentase balita kurang gizi

Persentase keluarga yang belum memiliki akses terhadap jaringan listrik

Hak atas Rasa Aman Jumlah demonstrasi yang anarkis

Hak Perempuan

Persentase keterwakilan perempuan dalam jabatan pemerintahan daerah

Persentase kekerasan terhadap perempuan Sumber: Permenkumham No. 11/2013

Dalam perkembangannya, terdapat sejumlah catatan yang muncul dalam penerapan Permenkuham 11/2013 tersebut, sehingga pada tahun 2016 Permenkumham ini direvisi melalui Peraturan Menterin Hukum dan HAM RI No. 34 Tahun 2016 tentang Kriteria Daerah Kabupaten/Kota Peduli Hak Asasi Manusia. Permenkumham 34/2016 lebih luas dibandingkan Permenkumham 11/2013 karena memasukkan 7 aspek dan tambahan indikator.

Ketujuh aspek dalam Kab/Kota Peduli HAM yang ditetapkan oleh

Permenkumham 34/2016 adalah hak atas kesehatan, hak atas pendidikan, hak

perempuan dan anak, hak atas kependudukan, hak atas pekerjaan, hak atas

perumahan yang layak, dan hak atas lingkungan berkelanjutan. Berbeda

dengan Permenkumham 11/2013, di dalam Kriteria tahun 2016 ini, indikator

dirumuskan dengan mengacu pada 3 kategori indikator HAM, yaitu indikator

struktur, indikator proses, dan indikator hasil. Selain itu, secara lebih rinci,

Permenkumham ini juga menegaskan tentang penjelasan dari setiap indikator

(31)

29 | L a p o r a n E v a l u a s i K K P H A M – 2 0 1 9

yang ada agar kriteria yang dimaksud dalam Permenkumham betul-betul dapat dipahami dan dilaksanakan oleh pemerintah daerah, termasuk pula oleh Pemerintah Provinsi yang melakukan pemeriksaan.

Setelah berlangsung selama 3 tahun dan dengan perkembangan yang terjadi baik di tingkat pusat dan daerah (provinsi dan kabupaten/kota), aspek dan indikator ini juga memerlukan perbaikan dan penyempurnaan. Hal ini pula yang dirangkum dalam penelitian evaluatif ini sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan di bawah ini.

1. Provinsi Jawa Barat

Secara umum, pada prinsipnya indikator-indikator bisa dipahami, namun berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan di Provinsi Jawa Barat perlu adanya klasifikasi indikator terkait dengan kepemilikan data yang akan digunakan untuk menjawab indikator-indikator dalam KKP HAM. Meskipun bukan menjadi kendala, kepemilikan data ini menentukan bagaimana KKP HAM dapat dijalankan secara efektif. Di samping terkait dengan teknis pengumpulan data, kepemilikan data juga terkait dengan kewenangan untuk menangani dan anggaran yang dimiliki, sehingga agak sulit untuk dilakukan bila kewenangan bukan di Pemerintah Kabupaten/Kota sementara penilaian diperlakukan atas kabupaten/kota. Kepemilikan data menentukan dinas di daerah untuk melakukan pelaporan KKP HAM.

Selain itu kepemilikan data, beberapa indikator masih menyisakan permasalahan terkait ukuran satuan angka yang ditetapkan. Misalnya, tidak adanya keterangan satuan angka (jiwa/orang/km

2

/m

3

/ton/dll) atas suatu hak yang hendak dinilai, sehingga dalam pelaksanaannya menjadi kendala dalam pengungkapan data yang telah tersedia.

Kantor Wilayah Kemenkumham Jawa Barat. Berdasarkan evaluasi yang

dilakukan kepada Kantor Wilayah Kemenkumham Jawa Barat, diketahui

bahwa untuk mendukung pelaksanaan KKP HAM ini, Kanwil Kemenkumham

Jawa Barat melaksanakan Rapat Koordinasi dengan agenda untuk penyamaan

(32)

30 | L a p o r a n E v a l u a s i K K P H A M – 2 0 1 9

pemahaman dan menentukan timeline pelaporan. Hal ini dilakukan sebagai pengingat dan upaya agar setiap Kabupaten/Kota di Jawa Barat menyampaikan laporannya sesuai dengan waktu yang ditentukan.

Selama pelaksanaan penilaian KKP HAM, sebagai upaya agar setiap Kabupaten/Kota menyampaikan laporannya sesuai dengan waktu yang ditentukan, Kanwil. Kemenkumham Provinsi Jawa Barat membuat Rapat Koordinasi dengan agenda untuk penyamaan pemahaman dan menentukan timeline pelaporan. Meskipun demikian, pada praktik dan perjalanannya selama pelaporan timeline yang dibuat dapat dikatakan kurang efektif. Hal ini sebabkan karena website/aplikasi pelaporan KKP HAM tidak dibuka sejak awal Januari tahun berjalan pelaporan. Dari pihak Kabupaten/Kota pun dinilai lambat dalam memberikan dokumen pelaporan, dan jika hal ini terjadi maka Kanwil. Jawa Barat mencoba mengambil tindakan dengan cara menghubungi Kepala-kepala Bagian untuk mendorong pelaporan tetap sesuai dengan deadline yang ditentukan.

Di samping itu, beberapa permasalahan yang sering terjadi menurut Kanwil. Kemenkumham Jawa Barat terkait Kabupaten/Kota yang hanya menyerahkan form penilaian dan tidak menyertakan data dukung. Dalam kasus seperti ini, Kabupaten/Kota hanya mengirimkan kuisioner yang sudah diisi yang ditandatangani dan dicap basah oleh Kepala Dinas masing-masing, namun tidak menyertakan data dukung.

Ada beberapa catatan yang muncul dalam proses evaluasi ini terkait pelaksanaan KKP HAM, di antaranya adalah:

Pertama, menurut catatan Kanwil, antusiasme daerah untuk

melaksanakan KKP HAM ini belum diikuti dengan skema aplikasi pelaporan

yang hanya dibuka untuk waktu-waktu tertentu saja. Meskipun persiapan dan

kesiagaan daerah menyiapkan data dukung dan pelaporan telah dilakukan seja

awal, serta timeline sudah disiapkan, pada praktiknya kurang efektif karena

(33)

31 | L a p o r a n E v a l u a s i K K P H A M – 2 0 1 9

website/aplikasi pelaporan KKP HAM tidak bisa diakses sejak awal Januari tahun berjalan.

Kedua, meskipun telah diingatkan dalam proses rapat koordinasi, sejumlah Kabupaten/Kota di Jawa Barat dinilai masih lambat dalam memberikan dokumen pelaporan. Untuk hal tersebut, biasanya Kanwil akan mengambil tindakan dengan cara menghubungi Kepala-kepala Bagian untuk mendorong pelaporan tetap sesuai dengan deadline yang ditentukan. Bila komitmen daerah kuat, maka pelaporan akan dilakukan, namun bila tidak maka akan ada kabupaten atau kota yang biasanya terlambat melaporkan.

Ketiga, permasalahan yang juga muncul biasanya adalah terkait Kabupaten atau Kota yang hanya menyerahkan Form Penilaian KKP HAM tanpa menyertakan data dukung atau mengirimkan kembali kuisioner yang sudah diisi, ditandatangani, dan cap basah oleh Kepala Dinas masing-masing.

Keempat, kendala lain dalam pelaksanaan KKP HAM adalah kurangnya pegawai yang mengerjakan KKP HAM di daerah-daerah di mana hal tersebut menjadi hambatan tersendiri dalam pengumpulan data yang dibutuhkan.

Biro Hukum Provinsi Jawa Barat. Penelitian evaluasi ini juga melakukan pertemuan dan diskusi dengan Biro Hukum Provinsi Jawa Barat, karena pada pelaksanaan KKP HAM tersebut Biro Hukum merupakan salah satu aktor penting yang memfasilitasi pemerintah kabupaten/kota dalam pelaporan.

Menurut Biro Hukum Jawa Barat, KKP HAM sebagai upaya untuk mendorong pelaksanaan HAM di daerah merupakan suatu hal yang penting, karena bisa menjadi bargaining point untuk bisa bekerja sama dengan pihak luar jika kita mendapat predikat peduli HAM.

Aplikasi Pelaporan. Sebagaimana ditegaskan di dalam Permenkumham

34/2016, Kanwil Kemenkumham memiliki peran untuk melakukan

pemeriksaan atas laporan yang disampaikan oleh Kabupaten/Kota melalui

Biro Hukum Provinsi. Terkait dengan aplikasi, sejumlah catatan muncul dari

Kanwil. Kemenkumham Jawa Barat, di antaranya adalah:

(34)

32 | L a p o r a n E v a l u a s i K K P H A M – 2 0 1 9

a. Pengunggahan data hanya dapa dilakukan untuk satu file dan tidak bisa dilakukan untuk beberapa file secara bersamaan. Hal ini kemudian menyebabkan pelaporan menjadi lambat dan memerlukan waktu lama.

Hal ini sudah diatasi oleh Kanwil. dengan memperbesar bandwitch jaringan internet yang dimiliki, namun tidak juga memberikan pengaruh pada pengunggahan.

b. User interface aplikasi/website kurang bersahabat, sehingga cenderung membosankan dan monoton. Lebih baik bila tampilan lebih menarik dan popular.

c. Informasi tentang aktivitas di aplikasi bisa diakses oleh seluruh kabupaten/kota yang mengakses, sehingga aktivitas yang dilakukan dapat diketahui oleh wilayah lainnya.

19

d. Hanya ada satu akun untuk satu wilayah yang menyebabkan kelambatan dalam proses pengunggahan. Meskipun staff yang melakukan pengunggahan diperbanyak, namun hanya satu akun yang dapat mengakses. Hal ini menyebabkan pelaporan tidak efektif.

Pemerintah Kota Bandung

Salah satu kendala pelaksanaan KKP HAM di Kota Bandung adalah terkait dengan rotasi atau mutasi pegawai yang biasa mengerjakan pelaporan KKP HAM. Pergantian staf atau pegawai mengharuskan adanya transfer pengetahuan dan kemampuan dalam melaporkan KKP HAM, mulai dari pengumpulan data, pengecekan dan pencocokan, hingga pengiriman laporan.

Hal ini juga terkait dengan pemahaman dan teknis pelaporan sehingga hal tersebut menghambat proses pelaporan KKP HAM. Di samping itu, kendala lainnya adalah kurangnya dukungan pegawai di Pemkot. Bandung dalam mengerjakan pelaporan KKP HAM, karena banyaknya agenda sidang selama periode pelaporan.

19

Terkait hal ini, pada prinsipnya tidak ada masalah, karena satu wilayah tidak bisa memengaruhi pelaporan

untuk wilayah yang lain.

(35)

33 | L a p o r a n E v a l u a s i K K P H A M – 2 0 1 9 Pemerintah Kota Cimahi

Sementara itu, kendala dan tantangan serupa juga dialami oleh Pemerintah Kota Cimahi, terutama perubahan pegawai di organisasi perangkat daerah (OPD) yang memiliki data dan informasi terkait indikator yang dibutuhkan. Perubahan staf di OPD ini menghambat jalannya proses pelaporan karena pegawai yang baru harus diajari lagi tentang proses pelaporan KKP HAM.

Dalam praktiknya, sebelum masa waktu pengumpulan data, Bagian Hukum Kota Cimahi pro aktif untuk menerangkan kepada masing-masing OPD terkait teknis pengumpulan data. Hal ini dibutuhkan agar OPD memahami kebutuhan data yang perlu disampaikan untuk pelaporan KKP HAM.

Namun demikian, kurangnya staf dalam proses ini dirasa masih menjadi kendala dalam pelaksanaannya. Selain itu, untuk melaksanakan ini, Pemerintah Kota Cimahi memandang bahwa Pemkot membutuhkan anggaran khusus untuk melakukan pertemuan koordinasi, sehingga proses diseminasi informasi terkait pelaporan KKP HAM ini semakin baik dan efektif.

Pemerintah Kabupaten Bandung Barat

Sementara itu, pelaksanaan KKP HAM di Kabupaten Bandung Barat bisa dikatakan berbeda dengan daerah Kota Bandung dan Kota Cimahi. Hal ini terkait dengan pemekaran yang baru terjadi untuk Kabupaten Bandung Barat sebagai kabupaten baru. Barunya Kabupaten ini menyebabkan pelaksanaan KKP HAM belum begitu efektif, terutama masih adanya beberapa keterbatasan pemerintahan dan kesulitan untuk mencapai indikator yang targetnya tinggi atau besar.

Terkait indikator, Kabupaten Bandung Barat mengusulkan tentang

kepastian indikator yang ada di dalam Permenkumham, terutama tentang

indikator satuan angka (jiwa/orang/km²/m²/ton/m³/dll) seharusnya

dimunculkan pada kolom jawaban agar ada keseragaman jawaban.

(36)

34 | L a p o r a n E v a l u a s i K K P H A M – 2 0 1 9 2. Provinsi Jawa Timur

Evaluasi KKP HAM dilaksanakan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Pertemuan di tingkat provinsi dilakukan bersama dengan Kanwil. Kemenkumham Jawa Timur dan Biro Hukum Provinsi Jawa Timur.

Sejumlah catatan yang muncul adalah terkait dengan anggaran pelaksanaan KKP HAM yang memang tidak dialokasikan dalam jumlah memadai di dalam anggaran provinsi. Hal ini menyebabkan koordinasi antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota terhambat, bahkan tidak maksimal.

Hal ini biasanya disiasati oleh Kanwil Kemenkumham maupun Biro Hukum melalui pertemuan-pertemuan rutin (koordinasi) kabupaten/kota dan provinsi, sehingga secara substantif dapat tersampaikan.

Tantangan lain yang muncul di daerah Jawa Timur secara umum adalah terkait dengan komitmen kabupaten/kota yang seakan-akan memandang KKP HAM hanya pekerjaan dan kepentingan Bagian Hukum kabupaten/kota.

Padahal, KKP HAM dirumuskan untuk keseluruhan perangkat kabupaten/kota, bahkan pelaksanaannya membutuhkan dukungan dari semua OPD. Dalam beberapa praktik, terdapat penolakan dari kabupaten/kota yang kemudian mengharuskan kepala daerah untuk langsung memberikan instruksi kepada OPD.

Dalam diskusi yang dilakukan dengan Biro Hukum Provinsi Jawa Timur, ditemukan sejumlah catatan dalam pelaksanaan KKP HAM.

20

Secara umum, menurut pandangan Biro Hukum, setiap kepala daerah merasa bangga bila berhasil mencapai target dan mendapatkan penghargaan KKP HAM dari Kementerian Hukum dan HAM. Kendala memang seringkali muncul, misalnya, belum harmonisnya instansi daerah yang melaksanakan KKP HAM, seperti Bakesbang, BAPPEDA, dan Bagian Hukum. Di beberapa kabupaten/kota hubungan ketiganya kurang harmonis, sehingga dalam pengumpulan data justru menghambat pelaporan oleh OPD.

20

Diskusi dilakukan bersama dengan Kepala Biro Hukum Provinsi Jawa Timur.

(37)

35 | L a p o r a n E v a l u a s i K K P H A M – 2 0 1 9

Dari pelaksanaan KKP HAM selama ini memang diketahui bahwa kebanyakan tidak mengetahui dan memahami KKP HAM secara utuh. Dalam beberapa undangan koordinasi, sejumlah Kabupaten/Kota tidak hadir.

Terdapat pula Kabupaten/Kota yang hadir namun tidak membawa data apapun yang dibutuhkan dalam pelaporan KK HAM. Padahal, pertemuan itu untuk melengkapi data yang sudah diperiksa oleh Kanwil Kemenkumham.

Dalam beberapa kasus, Biro Hukum berkoordinasi dengan DPRD untuk mendorong Pemerintah Kabupaten/Kota lebih serius melaksanakan KKP HAM tersebut.

Kendala lain yang dihadapi adalah terkait dengan pergantian pejabat atau pegawai yang bekerja untuk pelaporan KKP HAM di tingkat kabupaten/kota. Sayangnya, hampir di setiap daerah, perpindahan atau pertukaran pegawai ini tidak disertai dengan transfer pengetahuan dari pejabat atau pegawai yang lama. Akibatnya, Biro Hukum atau Bagian Hukum harus memberikan pemahaman kembali tentang KKP HAM dan data dukung yang dibutuhkan.

Dari sisi pelaksanaan, terdapat pula catatan tentang indikator KKP HAM yang seringkali menjadi kendala. Di antara yang signifikan adalah terkait dengan:

Pertama, indikator KKP HAM yang bukan merupakan kewenangan kab/kota, tetapi kewenangan provinsi, seperti indikator tentang perburuhan, SMA/SMK, Balai Latihan Kerja yang berada di bawah kewenangan provinsi.

Indikator ini tidak mungkin dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota, sehingga data yang tersedia juga berada di provinsi.

Kedua, indikator yang belum jelas, misalnya terkait dengan pemakaman yang ternyata lahan pemakamannya berada di luar kabupaten/kota tersebut.

Demikian halnya dengan jumlah penduduk yang menggunakan PLN, pada

praktiknya secara tertulis yang tercatat hanya beberapa KK, namun

kenyataannya hampir semua rumah tangga telah menggunakan listrik. Hal

(38)

36 | L a p o r a n E v a l u a s i K K P H A M – 2 0 1 9

serupa juga dengan penggunaan air bersih dengan PDAM, tidak semua daerah menggunakan PDAM, namun bukan berarti tidak memiliki akses terhadap air bersih.

Ketiga, data pendukung telah tersedia, namun karena bukan kewenangan OPD tertentu di tingkat kabupaten/kota, maka OPD tersebut tidak bisa melaporkan, karena pelaporan membutuhkan pengesahan tanda tangan basah dan stempel. Untuk itu, indikator sebaiknya adalah yang sesuai dengan kewenangan kabupaten/kota.

Terkait dengan catatan lainnya, Biro Hukum juga menyampaikan tentang pemahaman daerah terkait dengan RANHAM dan KKP HAM. Secara umum, Biro Hukum menyampaikan, Kabupaten/Kota memahami tentang perbedaan RANHAM dan KKP HAM. Meskipun, dalam perjalanannya ada banyak pertanyaan yang muncul terkait keduanya. Meskipun bersifat voluntary, KKP HAM dipandang penting oleh kepala daerah karena mereka mendapatkan penghargaan dalam KKP HAM dan menjadi kebanggaan tersendiri.

Untuk itu pula, besarnya komitmen provinsi dan kabupaten/kota dalam mendukung pelaksanaan KKP HAM membuat Biro Hukum dan pemerintah daerah kabupaten/kota selalu melibatkan Kanwil. Kemenkumham dalam proses penyuluhan dan arahan teknis di bidang HAM.

Pemerintah Kota Surabaya

Evaluasi terhadap pelaksanaan KKP HAM juga dilakukan di Kota Surabaya, Jawa Timur. Evaluasi dilakukan bersama dengan Organisasi Perangkat Daerah yang dikoordinasikan oleh Bagian Hukum. Menurut Bagian Hukum, selama pelaksanaan KKP HAM dilakukan, secara umum tidak ada permasalahan yang muncul. Dari segi dukungan pemerintah kota, Surabaya memberikan perhatian tinggi pada KKP HAM, termasuk Walikota Surabaya, Pimpinan masih sangat atensi dengan penghargaan; prosesnya didukung.

Meskipun tidak ada anggaran khusus, Bagian Hukum menggunakan anggaran-

anggaran yang tersedia lainnya untuk mengkoordinasikan KKP HAM.

(39)

37 | L a p o r a n E v a l u a s i K K P H A M – 2 0 1 9

Koordinasi ini dibutuhkan untuk mengundang para dinas (OPD) agar mempersiapkan data yang dibutuhkan dalam pelaporan KKP HAM.

Permasalahan pelaksanaan KKP HAM justru lebih pada kewenangan yang dimiliki oleh dinas di tingkat kota. Untuk menyelesaikan ini, Pemerintah Kota Surabaya harus berkoordinasi dengan provinsi, misalnya, data tentang pendidikan sekolah menengah atas dimiliki Provinsi, SMA. Sekolah-sekolah agama juga di provinsi.

Beberapa indikator juga memunculkan pertanyaan dalam pelaporannya, seperti misalnya indikator tentang ketersediaan listrik yang tidak serta merta dapat diukur dari jumlah pengguna PLN. Demikian halnya dengan air bersih.

Indikator lainnya terkait dengan BLK yang berada di bawah provinsi.

Demikian pula pekerja anak tidak ada; kewenangan pengawasan hanya ada untuk sektor formal.

Indikator pemakaman seringkali menjadi permasalahan di wilayah perkotaan justru tidak menjadi masalah di Surabaya, karena kota Surabaya menempatkan pemularasan jenazah sesuai dengan aturan perundang- undangan, agama, dan adat istiadat masing-masing. Secara kewenangan, urusan ini masuk ke dalam wilayah kerja UPTD Kebersihan. Selain itu, Surabaya juga memiliki Perda, yang menegaskan setiap Perumahan atau pengembang diwajibkan untuk menyediakan lahan makam. Bila tidak, pengembang memberikan uang kompensasi dan Kota kemudian menyediakan lahan di wilayah lain (2% dari lahan pengembang).

Pertemuan ini juga dihadiri oleh Dinas Ketenagakerjaan Kota Surabaya.

Dalam penjelasannya, Disnaker menyampaikan tentang indikator-indikator

yang dipandang telah menyentuh permasalahan di lapangan. Hal ini

tergambar dari indikator perselisihan perburuhan yang dilaporkan ke

mekanisme KKP HAM adalah kasus-kasus yang telah selesai dan karyawan

mendapatkan hak-haknya. Demikian halnya dengan pelatihan (BLK)

merupakan indikator yang masih relevan.

Referensi

Dokumen terkait

Berikut adalah pembahasan mengenai konsep unsur komunikasi antar budaya yaitu unsur kepercayaan, nilai, dan sikap dalam budaya Cina melalui pendekatan ceritanya

Penggunaan tenaga kerja (X 3 ) dan volume pupuk urea yang digunakan (X 4 ) dalam usahatani padi gogo kurang dari satu, nilai tersebut menunjukkan bahwa penggunaan kedua

Tempat &amp; Penyelenggara Diklat Tahun Lama Pendidikan STTPP Nomor

Cara menumbuhkan motivasi dalam kegiatan belajar di sekolah (Sardiman, 2003: 92-95) antara lain: 1) memberi angka sebagai simbol dari nilai kegiatan belajar; 2)

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan rahmat dan karunia kepada penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Sistem Deteksi Penyakit

Oleh karena itu komposisi visualnya merupakan gabungan antara tekstual (diawali huruf M-E-T-R-T-V) dengan visual (diwakoli symbol bidang elips emas kepada burung elang). Elips emas

Menambah referensi daftar putaka yang ada di Universitas Pendidikan Indonesia khususnya bagi departemen Pendidikan Seni Tari agar menambah wawasan bagi mahasiswa yang ada

Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mencari jawaban atas permasalahan yang ada, yaitu untuk mengetahui manfaat SMS Banking dalam transaksi keuangan