• Tidak ada hasil yang ditemukan

URGENSI PENDIDIKAN KARAKTER BERLANDASKAN TRI HITA KARANA(STUDI PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN PKN-SD DI KOTA SINGARAJA)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "URGENSI PENDIDIKAN KARAKTER BERLANDASKAN TRI HITA KARANA(STUDI PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN PKN-SD DI KOTA SINGARAJA)"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

URGENSI PENDIDIKAN KARAKTER BERLANDASKAN TRI HITA KARANA(STUDI PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN

PKN-SD DI KOTA SINGARAJA)

I Nengah Suastika

Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja Suastikainengah85@yahoo.com

Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah untuk: (1) menganalisis dan memformulasikan kondisi pembelajaran PKn- SD di Kota Singaraja dan (2) menganalisis dan memformulasikan Nilai-nilai budaya Bali yang menjadi landasan filosofis pengembangan karakter masyarakat. Secara metodologis penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Instrumen penelitian dalam penelitian ini, menggunakan prinsip bahwa peneliti adalah instrumen utama penelitian (human instrumen) dengan alat bantu pengumpul data berupa pedoman wawancara, pedoman observasi, format studi dokumentasi dan kamera photo sebagai alat perekam situasi.

Hasil penelitian menunjukkan sampai saat ini belum ada upaya strategis yang dilakukan guru SD di Kota Singaraja dalam mengembangkan pembelajaran karakter yang berlandaskan pada nilai budaya Bali.

Hal ini dapat dilihat dari analisis terhadap perangkat pembelajaran yang dikembangkan oleh guru dan hasil observasi praktek pembelajaran yang dilakukan dalam proses pembelajaran PKn-SD. Perangkat pembelajaran, model pembelajaran dan model evaluasi yang digunakan oleh guru dalam melangusungkan proses pembelajaran yang SK, KD dan materinya mengandung muatan karakter sama dengan perangkat pembelajaran, model pembelajaran dan model evaluasi untuk SK, KD dan materi PKn biasa.

Budaya Bali yang dapa dijadikan sebagai landasan dalam mengembangkan model pembelajaran karakter adalah Tri Hita Karana. Tri Hita Karanamerupakan tiga sumber penyebab adanya kesejahteraan dan kebahagiaan dalam kehidupan semua makhluk ciptaan Tuhan yang ada di dunia. Tiga hubungan tersebut adalah hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesamanya dan manusia dengan lingkungannya.Nilai-nilai budaya Bali yang dapat dikembangkan dalam praktek pembelajaran PKn-SD kelas V dan sejalan dengan kesadaran moral masyarakat Indonesia adalah nilai- nilai kejujuruan, cinta damai dan hukum karma. Sedangkan keterampilan moral yang relevan dikembangkan adalah kemampuan mengemukakan ide dan gagasan, keterampilan bekerjasama dan keterampilan untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial.

Kata Kunci: Karakter, nilai-nilai budaya Bali

Abstract

The purpose ofthis study was to: (1) analyzeandformulate thelearning conditionsCivics-SD inSingarajaand(2) analyzeandformulatevaluesof Balinese culturethat becamethe philosophical foundationof characterdevelopmentcommunity. Methodologicallythis study useda qualitative approach.

Research instrumentin this study, usingthe principlethat the researcheristhe main instrumentof research(humaninstrument) withthe data collectiontoolssuch asinterview,observation guidelines, documentationandstudy formatphoto cameraas arecording devicesituation.

The results showeduntilnow there is nostrategic effortsundertakeninSingaraja Cityelementary school teacherin developing thecharacterof learningthat is basedon the value ofthe Balinese culture. It can be seenfrom the analysis ofthe learningtoolsdeveloped byteachersandthe observation ofteaching practicescarried outin the learning processPKN-SD. Learningtools, learning modelsandmodels ofevaluation usedby the teacher inthelearning processmelangusungkanSK, KDand the materialcontainingthe chargeequalslearningtools, learning modelsandevaluationmodelsforSK, KDandregularCivicsmaterial.

DapaBalinese cultureserve as the basisin developing thelearning modelcharacterisTriHita Karana. TriHitaKaranais acause ofthe three sources ofwell-being andhappinessin the lives ofall God's creaturesin the world. Threerelationshipsareharmonious relationshipbetween man and God, man andhis fellowmanandhis environment.Balinesecultural valuesthat can be developedin the practice ofteachingCivics-grade Vand in linewiththe moralconsciousness ofthe people of Indonesiaare the values kejujuruan, love peace andthe law of karma. Whilemorallyrelevantskillsdevelopedis the ability toexpressideas and concepts, collaborationskillsandskillsto solvesocial problems.

Keywords: Character, cultural valuesBali

(2)

1. Pendahuluan

Bangun karakter bangsa sebagaimana tujuan dan cita-cita para “pendiri bangsa”

kini dihadapkan pada tantangan memudarnya nilai-nilai moralitas, memudarnya nasionalisme, terabaikannya identitas nasional, meningkatnya konflik antar etnis, ras dan agama, dan semakin mengutnya isu disintegrasi bangsa (Suparlan, 2002). Bukti kongkrit adanya degradasi atau demoralisasi dalam pembentukan karakter bangsa tersebut adalah semakin maraknya prilaku seks bebas, penggunaan narkoba, tawuran antar pelajar/warga/geng motor, penjualan perempuan/anak-anak, tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), mafia hukum, peradilan, mafia pajak, pembalakan hutan, eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan dan prilaku perampokan yang disertai pemerkosaan biadab. Prilaku ini tidak hanya muncul di daerah Ibu Kota saja, namun sudah merambah keberbagai daerah termasuk Bali.

Terjadinya krisis moral ini tidak terlepas dari teralinasinya nilai-nilai budaya bangsa dari proses pendidikan. Dominasi dan hegemoni praktik pendidikan nasional yang cenderung mengabaikan nilai-nilai humanisme-religius, karena dikuasai oleh ideologi pasar kapitalisme yang cenderung materialistik, roh pendidikan yang berlandaskan nilai-nilai moral yang suci kian waktu cenderung menampakkan gejala sekulerisasi (Atmaja, 2008; Piliang seperti dikutip oleh Widja, 2007).

Praktek pembelajaran khususnya pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) cenderung hanya melibatkan aktivitas fisik dan kognisi tingkat rendah belaka yang kering dari aktivitas-aktivitas mental yang berdimensi moralitas dan spiritual. Materi- materi dan model pembelajaran PKn yang dipelajari siswa dalam kaitannya dengan prilaku moral cenderung hanya dilandasi oleh teori-teori dan model-model pendidikan karakter yang berpola barat yang cenderung tidak sesuai dengan realitas sosial yang tumbuh dan berkembang pada masyarakat Indonesia serta cenderung mengandung upaya “westernisasi” (Kaelan, 2010;

Winataputra, 2011, Sukadi 2010).

Di sisi lain Indonesia kaya akan keragaman nilai-nilai budaya yang dapat dijadikan sebagai landasan dasar untuk

membangun karakter. Rwa Bineda misalnya sebagai padanan dari konsep oposisi biner yang dikembangkan Levis Strauss (laki- perempuan, hitam-putih, atas-bawah, siang- malam, baik-buruk) merupakan konsep yang telah ada pada masyarakat Indonesia sejak

dahulu (Kardji, 1993).

Oposisibineradalahsebuahsistem yang membagi dunia dalam dua kategori yang berhubungansecarastruktural (Levis Strauss, 1967). Karma phala yang merupakan keyakinan akan hasil dari perbuatan yang dilakukan. Baik perbuatan kita, maka hasilnyapun demikian dan demikian juga sebaliknya (Titib, 1995).

Demikian juga dengan konsep dan pemaknaan atas kesatuan diri manusia yang beragam dikenal dengan istilah Tatwamasi (aku adalah kamu, kamu adalah aku) merupakan konsep yang telah dikenal dan dijadikan pegangan hidup oleh masyarakat Indonesia. Bahkan Bhineka Tuanggal Ika yang menjadi semboyan bangsa Indonesia merupakan tulisan pengarang terkenal di jaman Kerajaan Majapahit Mpu Tantular. Konsep dan nilai- nilai dasar inipun dijadikan sebagai

“panutan” hidup oleh semua masyarakat Indonesia. Demikian juga dengan ajaran moral semasa kerajaan Majapahit yang dikenal dengan “lima larangan”, yaitu matani atau dilarang membunuh, maling atau dilarang mencuri, madon atau dilarang berzina, mabok atau dilarang minum minuman keras atau menghisap candu, dan main atau dilarang berjudi (Kaelan, 2010:

22).

2. Metode Penelitian

Secara metodologis penelitian ini

menggunakan metode penelitian kualitatif

(Miles and Huberman, 1984). Pemilihan ini

didasarkan atas analisis masalah penelitian,

yang menuntut sejumlah informasi lapangan

yang muncul dari bawah. Instrumen

penelitian dalam penelitian ini,

menggunakan prinsip bahwa peneliti adalah

instrumen utama penelitian (human

instrumen). Dalam kapasiltasnya sebagai

instrumen penelitian, peneliti menggunakan

alat bantu pengumpul data berupa pedoman

wawancara, pedoman observasi, format

studi dokumentasi dan kamera photo

sebagai alat perekam situasi. Hal ini didasari

oleh suatu pertimbangan, bahwa hanya

penelitilah yang dapat melakukan

(3)

pengumpulan data dari berbagai subyek penelitian secara fleksibel hingga tercapainya kejenuhan data.

Informan penelitian terdiri dari beberapa fihak yang berdasarkan pertimbangan dinilai memiliki kualitas dan ketepatan untuk berperan sebagai subjek penelitian, yaitu guru, siswa dan kepala sekolah. Sedangkan untuk studi dokumentasi yang menjadi subjek penelitian adalah Perpustakaan Universitas Pendidikan Ganesha. Teknik penarikan dan pengembangan informan penelitian dilakukan secara bertujuan (purposive sampling tecknique), kemudian jumlah dan jenisnya dikembangkan secara

“snowball sampling tecnique” bergulir sampai tercapainya kejenuhan data dimana informasi/data telah terkumpul secara tuntas (Spradley 1980).Teknik pengolahan dan analisis data dalam penelitian ini akan dilakukan secara kualitatif, mengkatagori dan mengklasifikasi data secara menyeluruh berdasarkan kaitan logisnya, kemudian ditafsirkan dalam keseluruhan konteks penelitian (Miles and Huberman, 1984).

3. Hasil dan Pembahasan

3.1. Kondisi Pembelajaran PKn-SD di Kota Singaraja

Studi empirik menujukkan sampai saat ini belum ada upaya yang bersifat strategis dan sistematis yang dilakukan oleh guru dalam melakukan internalisasi nilai-nilai karakter dalam praktek pembelajaran pada siswa Sekolah Dasar di Kota Singaraja. Pertama, rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang dibuat oleh guru PKn untuk melangsungkan proses pembelajaran standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD) yang sarat muatan karakter dengan rencana pembelajaran (RPP) yang standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasarnya (KD) biasa dibuat dengan cara dan model yang sama. Kedua, selama ini guru-guru PKn di Kota Singaraja masih menggunakan model belajar yang sama untuk melangsungkan proses pembelajaran PKn untuk standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD) yang sarat nilai-nilai karakter maupun untuk pembelajaran PKn yang standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD) tidak sarat karakter.

Ketiga, model evaluasi yang digunakan guru untuk mengevaluasi pembelajaran PKn untuk standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD) yang sarat muatan

karakter, belum menujukkan dimensi- tdimensi keterampilan moral yang sejalan dengan nilai-nilai budaya masyarakat di mana proses pendidikan dilangsungkan.

Berdasarkan pada rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang dianalisis, termuat dengan jelas bahwa tidak ada perbedaan yang berarti dalam rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang kompetensi dasar dan materinya syarat karakter dengan kompetensi dasar dan materi PKn pada umumnya. Demikian juga dengan model belajar, media pembelajaran, dan model evaluasi yang digunakan guru dalam melangsungkan praktek pembelajaran. Menurut guru hal ini disebabkan karena dalam membuat rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) guru biasanya membuatnya sekali untuk satu semester dan cenderung menggunakannya secara berkelanjutan. Kemudian inilah yang dijadikan sebagai pedoman dalam melangsungkan proses pembelajaran.

Sedangkan untuk memperkuat dimensi karakternya, guru mengembangkannya dalam praktek pembelajaran dan pengembangan materi. Artinya, materi yang dikembangkan guru diusahakan untuk dapat menjangkau pengetahuan, nilai-nilai dan prilaku moral yang dibutuhkan siswa sekolah dasar.

Sedangkan menganai analisis indikator-

indikator keterampilan moral sebelum

membuat rencana pelaksanaan

pembelajaran (RPP) PKn yang kompetensi

dasar dan materinya sarat karaktersemua

guru mengatakan tidak melakukan analisis

terhadap indikator-indikator kompetensi

sarat karakter. Menurut guru, dengan materi

yang sarat karakter secara otomatis akan

menuntut indikator pencapaian hasil belajar

siswa yang mengandung pengetahuan,

nilai-nilai dan prilaku moral. Karena di dalam

materi yang diberikan guru sudah

tercandrakan apa itu karakter dan mengapa

kita harus memiliki karakter sebagai sebuah

masyarakat dan negara. Berdasarkan pada

jawaban tersebut, tampak para guru belum

memahami keluasan dan kedalaman materi

yang mesti diberikan untuk tiap satu kali

pertamuan. Sehingga, memungkinkan

terjadinya overstep atau terjadinya

pendangkalan materi yang mengarah pada

pencekokan pengetahuan moral, bukan

pada pelatihan dan pembiasaan

keterampilan moral. Demikian juga dengan

(4)

indikator-indikator pengetahuan, nilai-nilai dan keterampilan moral, semestinya telah dianalisis dan dipetakan sebelum pembuatan dan pengembangan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP).

Sehingga, guru sudah mampu mencandrakan indikator pencapaian belajar sebelum proses pembelajaran dimulai.

Indikator kompetensi karakter mana saja yang mesti tampil pada pertemuan pertama dan pertemuan selanjutnya, sehingga terjadi keterkaitan dan keterhubungan antar kompetensi. Menurut Lasmawan, (2008) jika indikator-indikator kompetensi mampu diurutkan dengan baik akan menjadi penunjang dan membantu siswa dalam mencapai kompetensi yang lebih tinggi.

Oleh karena itu, analisis indikator keberhasilan belajar pada suatu materi yang akan dibelajarkan guru akan menjadi faktor penentu ketepatan kedalaman dan keluasan materi serta tujuan pembelajaran yang mesti dicapai. Ibarat orang yang hendak bepergian, sebelum melakukan perjalanan semestinya Ia telah mengetahui rute yang akan ditempuh, tempat yang akan di tuju dan indikator bahwa tempat yang dituju memang telah ditemukan (indikator telah ada di Kota Bandung, Gedung Sate misalnya). Rute yang dimaksudkan dalam hal ini adalah langkah-langkah praktek pembelajaran, sedangkan tujuan adalah tujuan pembelajaran yang termuat dalam rencana pelaksaan pembelajaran dan indikator merupakan pencapaian hasil belajar siswa yang diperoleh berdasarkan pada analisis dimensi-dimensi karakter.

3.2. Nilai-nilai Budaya Bali yang Menjadi Landasan Filosofis Pengembangan Karakter Masyarakat Bali

Nilai-nilai budaya adalah suatu keyakinan yang dijadikan sebagai pegangan hidup oleh masyarakat, baik yang berupa pola pikir, sistem sosial dan hasil karya sebagai cerminan tingkah laku manusia.

Nilai-nilai budaya merupakan pegangan hidup yang disepakati dan tertanam dalam suatu masyarakat, lingkup organisasi, yang mengakar pada suatu kebiasaan, kepercayaan (believe), simbol-simbol, dengan karakteristik tertentu yang dapat dibedakan satu dan lainnya sebagai acuan prilaku dan tanggapan atas apa yang akan terjadi atau sedang terjadi. Nilai-nilai budaya ini biasanya terefleksi lewat pola pikir, cara

berbicara dan tingkah laku serta hasil karya yang ditunjukkan oleh masyarakat pendukung kebudayaan tersebut. Menurut Koentjaraningrat, (1980: 202) nilai-nilai budaya akan tampak pada simbol-simbol, slogan, moto, visi misi, atau hasil karya yang dibuat oleh suatu masyarakat. Melalui hasil karya kita akan mampu menganalisis pola pikir yang menjadi penggerak lahirnya kebudayaan suatu masyarakat. Ada tiga hal yang terkait dengan nilai-nilai budaya ini yaitu : (1) simbol-simbol, slogan atau yang lainnya yang kelihatan kasat mata (jelas), (2) sikap, tindak laku, gerak gerik yang muncul akibat slogan, moto tersebut, dan (3) kepercayaan yang tertanam (believe system) yang mengakar dan menjadi kerangka acuan dalam bertindak dan berperilaku (tidak terlihat).

Secara filosofis nilai-nilai budaya Bali dibangun dan dijiwai oleh Agama Hindu.

Akan tetapi nilai-nila budaya Bali yang dibangun berdasarkan Agama Hindu ini bersifat lues sehingga nilai-nilainya bisa hidup dan diterima oleh semua masyarakat pendukungnya (masyarakat Bali). Secara prinsip nilai-nilai budaya Bali dibangun berdasarkan filosofi hidup tri hita karana.

Secara terminologi, konsep tri hita karana

berasal dari kata tri yang berarti tiga; hita

yang berarti sejahtera, bahagia, rahayu; dan

karana yang berarti sumber penyebab. Jadi

tri hita karana berarti tiga sumber penyebab

adanya kesejahteraan dan kebahagiaan

dalam kehidupan semua makhluk ciptaan

Tuhan yang ada di dunia. Ketiga hubungan

tersebut meliputi: (1) hubungan yang

harmonis antara manusia dengan Tuhan

Yang Maha Esa; (2) hubungan yang

harmonis antara manusia dengan

sesamanya; dan (3) hubungan yang

harmonis antara manusia dengan

lingkungannya.Tri hita karana ini kemudian

berkembang menjadi ajaran keselarasan,

keserasian dan keseimbangan serta

ketergantungan satu sama lainnya dalam

satu sistem kehidupan yang telah diciptakan

oleh Tuhan. Dikatakan demikian, karena,

dalam pandangan masyarakat Hindu Bali,

masyarakat selalu berusaha

menyeimbangkan semua unsur-unsur yang

ada termasuk terhadap alam sekitarnya. Ini

dilandasi oleh satu kesadaran bahwa alam

semesta adalah kompleksitas unsur-unsur

yang satu sama lainnya terkait dan saling

tergantung yang membentuk suatu sistem

(5)

kesemestaan. Dengan demikian nilai utama masyarakat Bali adalah keseimbangan atau keselarasan itu sendiri. Kemudian prinsip keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan sesamanya dan hubungan manusia dengan lingkungan alamnya ini menjadi paradigma dasar pola pikir masyarakat Bali dalam berbagai aspek. Termasuk dalam mengembangkan sistem pengetahuannya, pola pikir, pola prilaku sikap, nilai-nilai, tradisi, seni, budaya dan sebagainya.

Paradigma ini juga dijadikan sebagai acuan dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan dan memecahkan masalah-masalah yang dihadapi.

Melalui konsep parahyangan, manusia dan masyarakat Bali meyakini bahwa segala yang ada di dunia ini termasuk manusia adalah bersumber dari Tuhan dan akan kembali kepada Sang Pencipta. Bahkan diyakini, bahwa kelairan ke dunia merupakan bagian dari misi untuk menanam dan menabur kebaikan serta memulyakan kebesaranNya. Kesadaran ini mendorong manusia dan masyarakat Bali untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaannyakepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan keyakinannya. Proses-proses ini dapat dijumpai saban saat pada setiap tempat yang dinilai suci. Tidak mengherankan karena itu pada setiap rumah keluarga, klen, RT, desa dan sistem sosial yang ada di Bali selalu di bangun tempat suci sebagai wahana bagi manusia berhubungan dengan Tuhan. Untuk menjaga keharmonisan antara hubungan manusia dengan Tuhan atau mendekatkan diri dengan sifat-sifat Tuhan, maka manusia dan masyarakat Bali melakukan berbagai aktivitas yadnya(persembahan suci kepada Tuhan) sebagai persembahan yang tulus kepada Sang Pencipta. Mulai dari pembangunan tempat suci, pelaksanaan upacara keagamaan, pendalaman ajaran agama, membantu sesama dan berkarya.

Pawongan merupakan

pengejawantahan dari sebuah pengakuan yang tulus dari manusia itu sendiri, bahwa manusia tak dapat hidup menyendiri tanpa bersama dengan manusia lainnya (sebagai makhluk sosial). Melalui konsep pawongan, selanjutnya manusia dan masyarakat Bali meyakini tujuan hidup secara jasmaniah dan rohaniah tidak akan dapat tercapai

tanpa adanya kerjasama antar sesama manusia. Konsekwensinya setiap manusia mesti mengembangkan sikap hidup saling asah, asih, dan asuh (prinsip kesederajatan, saling menyayangi, saling mempedulikan).

Dari sinilah kemudian berkembang ajaran tattwamasi yang secara harfiah berarti “ia adalah kamu juga”. Melalui ajaran tattwamasi ini dimaksudkan bahwa sesungguhnya semua manusia itu sama sebagai makhluk Tuhan yang memiliki kedudukan yang sama walapun berasal dari agama, etnis, ras dan budaya yang berbeda. Sesuai dengan konsep pawongan atau keharmonisan hubungan manusia dengan manusia, manusia memaknai perbedaan sebagai sesuatu yang alamiah yang tidak perlu dipertebatan, akan tetapi dirangkul dan dijadikan sebagai kekuatan untuk membangun kehidupan bersama.

Melalui konsep pawongan ini juga terlahir keyakinan bahwa menolong dan merasakan penderitaan orang lain (empati) merupakan bagian dari upaya untuk menolong diri sendiri agar terbabas dari dosa.

Konsep pawonganini kemudian diterjemahkan lewat konsep rwa bhineda(oposisi biner) yang menjelaskan bahwa kehidupan manusia di dunia ini selalu terikat dengan dua klasifikasi yang beroposisi (oposisi biner). Akan tetapi perbedaan ini tidak sepenuhnya menunjukan hubungan yang beroposisi biner akan tetapi bersifat komplementer atau saling melengkapi satu sama lain dan menyebabkan keseimbangan. Melalui konsep rwa bhineda inilah kemudia muncul kesadaran pluralisme (desa, kala, patra) yang disebabkan karena tempat, waktu dan keadaan. Kemudian melahirkan konsep manyama-braya (persaudaraan universal), paras-paros sarpanaya (saling menghargai), salunglung sabayantaka (kebersamaan, sepenangungan dan seperjuangan),karma phala (hukum karma) dan ahimsa (anti kekerasan).

4. Simpulan

Berdasarkan latar belakang dan pembahasan di atas, dapat dirumuskan beberapa poin pemikiran aplikatif yang nantinya dapat direkomendasikan sebagai simpulan dari artikel ilmiah ini, yaitu:

1. Analisis kebutuhan menunjukkan sampai

saat ini belum ada upaya yang bersifat

(6)

strategis dan sistematis yang dilakukan oleh guru dalam melakukan internalisasi nilai-nilai karakter dalam praktek pembelajaran pada siswa Sekolah Dasar di Kota Singaraja. Pertama, rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang dibuat oleh guru PKn untuk melangsungkan proses pembelajaran standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD) yang sarat muatan karakter dengan rencana pembelajaran (RPP) yang standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasarnya (KD) biasa dibuat dengan cara dan model yang sama.

Kedua, selama ini guru-guru PKn di Kota Singaraja masih menggunakan model belajar yang sama untuk melangsungkan proses pembelajaran PKn untuk standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD) yang sarat nilai-nilai karakter maupun untuk pembelajaran PKn yang standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD) tidak sarat karakter. Ketiga, model evaluasi yang digunakan guru untuk mengevaluasi pembelajaran PKn untuk standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD) yang sarat muatan karakter, belum menujukkan dimensi-tdimensi keterampilan moral yang sejalan dengan nilai-nilai budaya masyarakat di mana proses pendidikan dilangsungkan.

2. Pengembangan model pembelajaran karakter berbasis tri hita karana mesti disesuaikan dengan nilai-nilai budaya di mana proses pendidikan dilangsungkan.

Secara filosofis nilai-nilai budaya Bali dikembangkan berdasarakan konsep tri hita karana, yaitu tiga sumber penyebab adanya kesejahteraan dan kebahagiaan dalam kehidupan semua makhluk ciptaan Tuhan yang ada di dunia. Tiga hubungan tersebut adalah hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesamanya dan manusia dengan lingkungannya.

Keharmonisan hubungan manusia dengan sesamanya ini, kemudian berkembang menjadi nilai nilai tattwamasi (persaudaraan universal, empati), ahimsa (anti kekerasan/cinta damai), karma phala (hukum karma), tri

hita karana

(ekosentrisme/kosmosentrisme), rwa bhineda (dualisme kultural/oposisi biner), desa, kala, patra (pluralisme), menyama

braya (bekerjasama/solidaritas sosial), tri samaya (kesadaran sejarah),paras- paros sarpanaya

(toleransi),

salunglung sabayantaka

(kebersamaan, sepenangungan dan seperjuangan).Nilai-nilai budaya Bali

yang dapat dikembangkan dalam praktek pembelajaran PKn-SD kelas V dan sejalan dengan kesadaran moral masyarakat Indonesia adalah nilai-nilai kejujuruan, cinta damai dan hukum karma. Sedangkan keterampilan moral yang relevan dikembangkan adalah kemampuan mengemukakan ide dan gagasan, keterampilan bekerjasama dan keterampilan untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial. Pengembangan kompetensi moral ini sejalan dengan tingkat perkembangan anak pada tahap oprasional kongkrit.

Daftar Pustaka

Kardji, I. W. (1993). Kiwa Tengen dalam Budaya Bali” dalam Jiwa Atmaja (ed.). Kiwa- Tengen dalam Budaya Bali.

Denpasar: Kayu Mas.

Kaelan. (2010). Pendidikan Pancasila.

Yogyakarta: Paradigma

Lasmawan, W. (2003). Pengembangan Model Pembelajaran IPS dengan Pendekatan Sosial Budaya (Studi Pengembangan Pembelajaran IPS pada Sekolah Dasar di Bali). (Laporan Penelitian). Singaraja: STKIP Singaraja.

... (2002). Pengembangan Model Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial di Sekolah Dasar Dengan Model Sains-Teknologi-Masyarakat (STM). Disertasi (Tidak diterbitkan).

Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Metthew B. Miles and A Michael Huberman.

(1984). Analisis Data Kualitatif.

Penerjemah Rohendi Rohedi. Jakarta;

UI-Press.

Muchtar, S. (2008). Strategi Pembelajaran Pendidikan IPS. Bandung: Sekolah Pascasarjana UPI.

Sukadi. (2005). Pengembangan Sekolah Berbasis Kehinduan di Provinsi Bali (Studi Kasus Pada SMA Negeri 1 Ubud). (Disertasi). Bandung: UPI Suparlan, P. (2002). Masyarakat Majemuk dan

Perawatannya. Jurnal Antropologi Indonesia, Nomor 63. Tahun XXIV, September – Desember, 2002.

Titib, Made. (2003). Nilai-nilai Budaya Bali;

Implementasinya dalam Tri Dharma

(7)

Perguruan Tinggi. (Makalah).

Denpasar: Universitas Udayana ... (1998). Veda, Sabda Suci Pedoman

Praktis Kehidupan. Surabaya:

Paramita.

Winataputra, U. (2001). Jati diri Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Wahana Sistemik Pendidikan Demokrasi (Suatu Kajian Konseptual dalam Konteks Pendidikan IPS). (Disertasi).

Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan masalah yang ada maka diambil rumusan sebagai berikut: (1) Apakah media vidioscribe berbasis E-Learning sudah valid digunakan dalam proses belajar

Pengantar Ilmu Sejarah,(Bentang; Yogyakarta,1995), hlm 95.. Provinsi Jawa Barat; 2) Perpustakaan UIN Sunan Gunung Djati Bandung; 3) Perpustakaan Pribadi Tolib

Atau, diagnosis dapat dibuat bila ada bukti histologis atau klinis kuat konsisten dengan TB luar paru pada orang dengan (atau dicurigai secara kuat) terinfeksi HIV, dan keputusan

Denpasar Utara, Perda No.. Denpasar Utara,

Berdasarkan rumusan permasalahan yang telah dikemukakan sebelumnya, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan mutasi jabatan

karnaval, mengikuti lomba dan yang terahir dengan menggunakan media sosial. Pada saat awal di bangunya wisata Watu Angkrik, masyarakat sekitar secara tidak langsung

Asisten Lab Riset Bisnis Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya terutama Ko Dicky, Ko Yoseph, Rosa, Michelle, Stanley, Fico yang telah membantu,

Strategi yang dilakukan Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA) terhadap pembinaan sikap mental anak di Panti Asuhan Mega Mulia Kabupaten Gowa adalah Program