• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN INFILTRASI LIMFOVASKULAR DENGAN SUBTIPE MOLEKULER PASIEN KANKER PAYUDARA INVASIF : TELAAH SISTEMATIS SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN INFILTRASI LIMFOVASKULAR DENGAN SUBTIPE MOLEKULER PASIEN KANKER PAYUDARA INVASIF : TELAAH SISTEMATIS SKRIPSI"

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN INFILTRASI LIMFOVASKULAR DENGAN SUBTIPE MOLEKULER PASIEN KANKER PAYUDARA

INVASIF : TELAAH SISTEMATIS

SKRIPSI

Oleh:

Yosef Yantamajaya Simbolon 170100157

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DAN PROFESI DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2021

(2)

HUBUNGAN INFILTRASI LIMFOVASKULAR DENGAN SUBTIPE MOLEKULER PASIEN KANKER PAYUDARA

INVASIF : TELAAH SISTEMATIS

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Oleh:

Yosef Yantamajaya Simbolon 170100157

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DAN PROFESI DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2021

(3)

i

(4)

ii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kasih karunia dan kemurahanNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Hubungan Infiltrasi Limfovaskular dengan Subtipe Molekuler Kanker Payudara Invasif : Telahh Sistematis” ini sebagai salah satu syarat kelulusan Sarjana Kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Dalam proses penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapat masukan dan dukungan dari berbagai pihak, mulai dari awal pemilihan topik dan judul skripsi hingga tersusunnya hasil skripsi ini. Oleh karena itu, peneliti ingin mengucapkan terimakasih kepada:

1. Kedua orangtua penulis, Porman Simbolon dan Ibunda Lumongga Rosinta Sitorus, selaku orangtua penulis yang selalu memberikan semangat, perhatian, doa, dan dukungan baik moral maupun materil sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan penuh semangat dan sukacita.

2. Prof. Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp. S(K), selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

3. dr. Pimpin Utama Pohan, Sp. B(K) Onk., selaku dosen pembimbing yang telah banyak membantu penulis, meluangkan waktu, tenaga, dan ide pikiran, memberikan saran dan masukan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebaik-baiknya.

4. Dr. dr. Imelda Rey, M.Ked (PD), Sp.PD-KGEH selaku ketua dosen penguji dan Dr. dr. Iqbal Pahlevi Adeputra Nasution, Sp.BA selaku anggota dosen penguji yang telah memberikan nasihat dan saran yang sangat membangun sehingga skripsi ini dapat diselesaikan sebaik-baiknya.

5. Kakak-kakak penulis, yaitu Juandi Lasai Simbolon, Lasri Tarisi Simbolon, dan Uji Tesli Haralini Simbolon yang selalu mendoakan dan menjadi penyemangat sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan semangat dan sukacita.

6. Teman-teman yang selalu menjadi tempat berbagi cerita, saling mendoakan

serta menguatkan, dan memberi semangat serta masukan, Siti Shea Gustari,

Bahagia Nainggolan, Yongky Wijaya, Johan Samuel Sitanggang, Ericson

(5)

iii

Sitohang, Timothy Sinaga, Andre, Franklin Stevent, Imanuel Sihotang, Giovansiva Tuahta, Rama Maleakhi, Samuel Sitohang, dan teman-teman sejawat stambuk 2017.

7. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa skripsi yang merupakan hasil penelitian ini masih memiliki banyak kekurangan, baik dari segi struktur maupun isi. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang berguna untuk memperbaiki kekurangan tersebut. Semoga penelitian ini dapat memberikan sumbangsih bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan dunia kedokteran.

Medan, 17 Desember 2020 Penulis

Yosef Yantamajaya Simbolon

(6)

iv DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Pengesahan ...i

Kata Pengantar ...ii

Daftar Isi...iv

Daftar Tabel ...vi

Daftar Gambar ...vii

Daftar Singkatan...viii

Abstrak ...x

Abstract ...xi

BAB I PENDAHULUAN ...1

1.1 Latar Belakang ...1

1.2 Rumusan Masalah ...3

1.3 Tujuan Penelitian ...3

1.3.1 Tujuan Umum ...4

1.3.2 Tujuan Khusus ...4

1.4 Manfaat Penelitian ...4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...5

2.1 Payudara ...5

2.1.1 Anatomi Payudara ...5

2.1.2 Histologi Payudara ...7

2.1.3 Fisiologi Payudara ...9

2.2 Kanker Payudara ...10

2.2.1 Definisi ...10

2.2.2 Etiologi dan Faktor Risiko ...11

2.2.3 Patogenesis ...18

2.2.4 Tanda dan Gejala Klinis ...20

2.2.5 Penegakan Diagnosis ...21

2.2.5.1 Anamnesis ...21

2.2.5.2 Pemeriksaan Fisik ...21

2.2.5.3 Pemeriksaan Pencitraan ...22

2.2.5.3.1 Mamografi ...22

2.2.5.3.2 Ultrasonografi ...24

2.2.5.3.3 Magnetic Resonance Imaging ...25

2.2.5.4 Pemeriksaan Patologi Anatomi ...25

2.2.5.4.1 Fine Needle Aspiration ...25

2.2.5.4.2 Pemeriksaan Molekuler ...26

2.2.5.4.2.1 Imunohistokimia ...27

2.2.5.4.2.2 Hibridisasi In-situ ...28

2.2.6 Klasifikasi Kanker Payudara ...29

2.2.7 Stadium Kanker Payudara ...34

2.3 Infiltrasi Limfovaskular ...42

2.4 Subtipe Molekuler ...43

(7)

v

2.5 Kerangka Teori...46

2.6 Kerangka Konsep ...47

BAB III METODE PENELITIAN...48

3.1 Jenis Penelitian ...48

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ...49

3.2.1 Lokasi Penelitian ...49

3.2.2 Waktu Penelitian ...49

3.3 Populasi Penelitian ...49

3.4 Sampel Penelitian ...49

3.4.1 Kriteria Inklusi ...49

3.4.2 Kriteria Eksklusi...50

3.5 Penelusuran Literatur ...50

3.6 Definisi Operasional...50

3.7 Pengumpulan Data ...52

3.8 Pengolahan dan Analisis Data ...52

3.9 Penyajian Hasil Penelitian...52

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ...53

4.1 Identifikasi Studi ...53

4.2 Ekstraksi Data ...56

4.3 Sintesis Hasil ...66

4.3.1 Karakteristik Klinikopatologis ...66

4.3.2 Hubungan Infiltrasi Limfovaskular dengan Subtipe Molekuler Kanker Payuadara Invasif ...69

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ...72

5.1 Kesimpulan ...72

5.2 Saran ...72

Daftar Pustaka ...73

Lampiran ...77

(8)

vi

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1 TNM (Tumor, Nodus, Metastasis) staging by America

Joint Committee on Cancer ...35

2.2 Stadium kanker payudara ...41

2.3 Kode infiltrasi limfovskular ...42

2.3 Subtipe molekuler kanker payudara ...45

4.1 Identifikasi penelitian mengenai hubungan infiltrasi limfovaskular dengan subtipe molekuler kanker payudara invasif ...55

4.2 Karakteristik pada kasus kanker payudara invasif penelitian 1 ...56

4.3 Kejadian infiltrasi limfovaskular berdasarkan suptipe molekuler kanker payudara invasif penelitian 1 ...57

4.4 Karakteristik pada kasus kanker payudara invasif penelitian 2 ...58

4.5 Kejadian infiltrasi limfovaskular berdasarkan suptipe molekuler kanker payudara invasif penelitian 2 ...59

4.6 Karakteristik pada kasus kanker payudara invasif penelitian 3 ...60

4.7 Kejadian infiltrasi limfovaskular berdasarkan suptipe molekuler kanker payudara invasif penelitian 3 ...61

4.8 Karakteristik pada kasus kanker payudara invasif penelitian 4 ...62

4.9 Kejadian infiltrasi limfovaskular berdasarkan suptipe molekuler kanker payudara invasif penelitian 4 ...63

4.10 Karakteristik pada kasus kanker payudara invasif penelitian 5 ...64

4.11 Kejadian infiltrasi limfovaskular berdasarkan suptipe molekuler kanker payudara invasif penelitian 5 ...65

4.12 Karakteristik kasus pada kanker payudara invasif dalam studi

literatur ...66

(9)

vii

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1 Anatomi payudara ...6

2.2 Urutan perubahan lobus tubuloalveolar dan sistem duktus payudara sebelum, saat, dan sesudah kehamilan dan laktasi ...8

2.3 Perkembangan lobus tubuloalveolar pada payudara selama kehamilan ...9

2.4 Teori hipotesis perkembangan kanker payudara ...19

2.5 Mamografi ...23

2.6 Stadium 0 kanker payudara ...37

2.7 Stadium 1 kanker payudara ...38

2.8 Stadium 2 kanker payudara ...39

2.9 Stadium 3 kanker payudara ...40

2.10 Stadium 4 kanker payudara ...41

2.11 Kerangka teori ...46

2.12 Kerangka konsep ...47

4.1 Penelusuran literatur ...54

4.2 Forest plot hubungan infiltrasi limfovaskular dengan subtipe

molekuler kanker payudara invasif ...69

(10)

viii

DAFTAR SINGKATAN

AJCC : American Joint Commission on Cancer BIRADS : Breast Imaging-Reporting and Data System CISH : Chromogenic In Situ Hybridization

CSCs/bCSCs : Cancer Stem Cells / Breast cancer stem cells DCIS : Ductal Carcinoma In Situ

DFS : Disease Free Survival DNA : Deoxyribonucleic Acid

EGFR : Epidermal Growth Factor Receptor ER : Estrogen Receptor

FNA : Fine-needle Aspiration

FISH : Fluorescence In Situ Hybridization GLOBOCAN : Global Burden Cancer

HER2 : Human epidermal growth factor receptor-2 HRT : Hormone Replacement Therapy

IARC : International Agency for Research on Cancer IHK : Imunohistokimia

ITC : Isolated Tumor Cells Kemenkes : Kementrian Kesehatan KGB : Kelenjar Getah Bening Ki-67 : Indeks proliferatif

LCIS : Lobular Carcinoma In Situ

LVI : Lymphovascular invasion / Lymphovascular Infiltration MRI : Magnetic Resonance Imaging

NOS : Not Otherwise Specified

NST : Invasive Carcinoma of No Special Type OS : Overall Survival

PERABOI : Perhimpunan Ahli Bedah Onkologi Indonesia PR : Progesteron Receptor

RS/ RSUP : Rumah Sakit / Rumah Sakit Umum Pusat

(11)

ix

RNA/mRNA : Ribonucleic Acid / messenger Ribonucleic Acid RR : Relative Risk

RT-PCR : Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction SEER : Surveillance, Epidemiology, and End Results SIRS : Sistem Informasi Rumah Sakit

SSP : Sistem Saraf Pusat

TDLU : Terminal duct lobular units TNM : T, tumor; N, nodus; M, metastasis USG : Ultrasonografi

WHO : World Health Orgazation

(12)

x ABSTRAK

Latar Belakang: Kanker payudara seharusnya dapat ditemukan pada tahap yang lebih dini, akan

tetapi kanker ini lebih sering diketahui pada stadium lanjut yang menyebabkan tingginya angka kematian. Prognosis kanker yang buruk akan mempengaruhi kualitas hidup pasien, kondisi keuangan, peran dan fungsi pasien dan keluarga bahkan kematian. Acuan prognosis pada pasien kanker payudara didasarkan pada analisa penanda biologis tumor primer yang mencakup reseptor estrogen (ER), reseptor progesteron (PR), Human Epidermal Growth Factor Receptor 2 (HER2) dan Ki67 yang diklasidikasikan menjadi 4 subtipe molekuler yaitu Luminal A, Luminal B, HER2 overexpression, dan Triple Negative. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara infiltrasi limfovaskular dengan subtipe molekuler pada pasien kanker payudara invasif.

Metode: Jenis penelitian ini menggunakan metode studi systematic review dengan data yang akan

digunakan adalah hasil-hasil penelitian yang telah beredar di dunia. Populasi penelitian ini adalah literatur jurnal hasil pencarian mengenai infiltrasi limfovaskular terhadap subtipe molekuler dari kanker payudara yang dipublikasikan di jurnal internasional dan dapat diakses melalui internet.

Sampel penelitian ini ditentukan berdasarkan beberapa kriteria inklusi dan eksklusi yang telah dibuat. Hasil: Dari 5 jurnal internasional yang telah dikumpulkan, selanjutnya dianalisis menggunakan forest plot. Berdasarkan analisis data, didapatkan P =0,21 yang artinya uji perbedaan subkelompok menunjukkan bahwa tidak ada efek subkelompok yang signifikan terjadi secara statistik. Artinya tidak terdapat hubungan antara infiltrasi limfovaskular dengan subtipe molekuler kanker payudara invasif

Kata Kunci: Infiltrasi limfovaskular, subtipe molekuler, kanker payudara

(13)

xi ABSTRACT

Background: Breast cancer should be found at an earlier stage, but this cancer is more often

recognized at an advanced stage which causes high mortality. Poor cancer prognosis will affect the patient's quality of life, financial condition, role and function of the patient and family and even death. The prognosis in breast cancer patients is based on the analysis of primary tumor biological markers which include estrogen receptor (ER), progesterone receptor (PR), Human Epidermal Growth Factor Receptor 2 (HER2) and Ki67 which are classified into 4 molecular subtypes, namely Luminal A, Luminal B, HER2 overexpression, and Triple Negative. Aim: This study aims to determine the relationship between lymphovascular infiltration and molecular subtypes in patients with invasive breast cancer. Method: This type of research uses a systematic review study method with the data to be used are research results that have been circulating in the world. The population of this study is the journal literature search results regarding lymphovascular infiltration of molecular subtypes of breast cancer published in international journals and accessible via the internet. The research sample was determined based on several inclusion and exclusion criteria that have been made. Results: From 5 international journals that have been collected, then analyzed using a forest plot. Based on the data analysis, it was found that P = 0.21, which means that the subgroup difference test showed that there was no statistically significant subgroup effect. This means that there is no relationship between lymphovascular infiltration and the molecular subtypes of invasive breast cancer

Keywords: Lymphovascular infiltration, molecular subtypes, breast cancer

(14)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Kanker adalah penyakit yang ditandai oleh pertumbuhan dan penyebaran sel- sel abnormal yang tidak terkendali (American Cancer Society, 2020). Kanker adalah penyebab utama kematian kedua didunia tahun 2018 yaitu sekitar 9,6 juta atau 1 dari 6 kematian disebabkan oleh kanker. Kanker payudara merupakan satu dari lima jenis kanker penyebab kematian terbanyak yaitu sebanyak 672 ribu selain kanker paru (1,76 juta) , kolorektal (862 ribu), lambung (783 ribu), dan hati (782 ribu) (WHO, 2018). Di Indonesia, kanker payudara merupakan kanker tersering dan penyebab kematian utama akibat kanker pada perempuan. Data menunjukkan bahwa pada tahun 2018 jumlah kasus baru kanker payudara di Indonesia sebanyak 58.256 kasus (16,7% dari total 348.809 kasus kanker) dengan angka kematian mencapai 22.692 (11% dari total 207.210 kasus kanker) (GLOBOCAN, 2018).

Menurut Kemenkes, angka kejadian kanker payudara di Indonesia mencapai 42,1 orang per 100 ribu penduduk dan rata-rata kematian akibat kanker ini mencapai 17 orang per 100 ribu penduduk yang diikuti kanker leher rahim sebesar 23,4 per 100.000 penduduk dengan rata-rata kematian 13,9 per 100.000 penduduk (Kemenkes, 2019).

Kanker payudara seharusnya dapat ditemukan pada tahap yang lebih dini, akan

tetapi kanker ini lebih sering diketahui pada stadium lanjut yang menyebabkan

tingginya angka kematian (Kemenkes, 2019). Keterlambatan diagnosis perlu

mendapat perhatian khusus karena penatalaksanaan kanker payudara stadium lanjut

memberikan hasil yang tidak optimal dan membutuhkan biaya yang lebih besar

dibanding kanker payudara stadium dini. Usaha yang dapat dilakukan untuk

menanggulangi hal ini, yaitu pemberian informasi bagi masyarakat luas, pendidikan

atau pelatihan bagi tenaga kesehatan ditunjang ketersediaan prasarana, sarana dan

sumber daya manusia (Al Farisyi dan Khambri, 2018).

(15)

Menurut Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) di Indonesia, penanganan kanker menghadapi berbagai kendala yang menyebabkan hampir 70% penderita ditemukan dalam stadium lanjut. Berdasarkan catatan medis dari Rumah Sakit Umum Adam Malik di Medan, jumlah pasien yang datang ke rumah sakit dengan kanker stadium lanjut tercatat sebanyak 120 orang dari Juli hingga Desember 2013, dari 120 orang yang dirawat pada stadium lanjut ada 10 orang yang meninggal.

Sementara itu, menurut hasil penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Adam Malik pada April 2014, di mana ditemukan sekitar 24 orang dari 30 pasien kanker payudara datang ke rumah sakit untuk pertama kalinya dalam stadium lanjut (Deliana et all., 2019).

Banyak pasien, setelah menjalani pengobatan tradisional atau pengobatan alternatif datang ke rumah sakit dengan kondisi yang semakin buruk sehingga prognosis kelangsungan hidup menjadi lebih buruk. Prognosis kanker yang buruk akan mempengaruhi kualitas hidup pasien, kondisi keuangan, peran dan fungsi pasien dan keluarga bahkan kematian (Deliana et all., 2019).

Prognosis kanker payudara dapat dilihat berdasarkan penanda spesifik yang memberikan informasi dalam keputusan terapi awal. Faktor-faktor prognosis seperti ukuran tumor, status kelenjar getah bening, tipe histologis dan bentuk inti sel kanker telah ditetapkan sebagai faktor klinis konvensional. Sedangkan reseptor estrogen (ER), reseptor progesteron (PR), dan status HER2 ditetapkan sebagai faktor biologis molekuler. Selain itu, metastasis kelenjar getah bening, yang awalnya terjadi melalui migrasi sel karsinoma ke pembuluh limfatik pada tumor primer, merupakan salah satu faktor prognostik terpenting untuk kanker payudara.

Kehadiran invasi limfovaskular pada tumor primer telah digunakan sebagai indikasi kemampuan tumor ini untuk bermetastasis di luar payudara dan diakui sebagai salah satu faktor yang harus menentukan rencana perawatan kanker payudara menurut konsensus St. Gallen tahun 2005.

Infiltrasi limfovaskular telah menjadi prediktor kelangsungan hidup yang lebih

buruk pada kanker payudara. Infiltrasi limfovaskular pada kanker payudara

didefinisikan sebagai keberadaan sel-sel tumor dalam ruang yang dibatasi endotel

(limfatik atau pembuluh darah) di payudara yang mengelilingi karsinoma invasif.

(16)

Keberadaan ini dikaitkan dengan peningkatan risiko keterlibatan kelenjar getah bening aksila dan metastasis (Ryu et all., 2018).

Acuan prognosis pada pasien kanker payudara didasarkan pada analisa penanda biologis tumor primer yang mencakup reseptor estrogen (ER), reseptor progesteron (PR), Human Epidermal Growth Factor receptor 2 (HER2) dan Ki67 bersamaan dengan usia, status menopausal, ukuran tumor, grading histologi serta keterlibatan kelenjar getah bening. St Gallen International Breast Cancer Conference memberikan definisi tentang subtipe intrinsik kanker payudara yaitu luminal A (ER+, PR+, HER2- dan Ki67 rendah), luminal B (ER+ , PR+, HER2-, Ki67 tinggi), HER2-overexpression (ER-, PR- HER2+) dan basal like atau triple negative (ER-, PR-, HER2-) (Irwan et all., 2015).

Menurut penelitian di RSUP Dr. M. Djamil Padang subtipe molekuler yang tripel negatif lebih banyak terjadi infiltrasi limfovaskular yaitu 37,8%, pada HER2 juga lebih banyak terjadi infiltrasi limfovaskular yaitu 35,1%, pada luminal B lebih banyak yang tidak terjadi infiltrasi limfovaskular yaitu 37,9% dan pada luminal A juga lebih banyak yang tidak terjadi infiltrasi limfovaskular yaitu 37,9%. Hal ini menunjukkan bahwa infiltrasi limfovaskular akan mempengaruhi terhadap terjadinya subtipe molekuler pada pasien kanker payudara (Firdaus et al., 2016).

Penelitian mengenai hubungan infiltrasi limfovaskular dengan subtipe molekuler pasien kanker payudara belum banyak dilakukan di Indonesia.

Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul ―Hubungan Infiltrasi Limfovaskular dengan Subtipe Molekuler Pasien Kanker Payudara―.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, rumusan penelitian ini adalah apakah terdapat hubungan antara infiltrasi limfovaskular dengan subtipe molekuler pasien kanker payudara invasif?

1.3 TUJUAN PENELITIAN

(17)

1.3.1 TUJUAN UMUM

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara infiltrasi limfovaskular dengan subtipe molekuler pada pasien kanker payudara invasif.

1.3.2 TUJUAN KHUSUS

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Mengetahui distribusi frekuensi gambaran histopatologi pada pasien kanker payudara.

b. Mengetahui distribusi frekuensi grading histopatologi pada pasien kanker payudara.

c. Mengetahui distribusi frekuensi subtipe molekuler pada pasien kanker payudara.

d. Mengetahui distribusi frekuensi infiltrasi limfovaskular pada pasien kanker payudara.

1.4 MANFAAT PENELITIAN a. Pendidikan

Hasil dari penelitian ini diharapkan sebagai sarana untuk melatih berpikir secara logis dan sistematis, serta mampu menyelenggarakan suatu penelitian berdasarkan metode yang baik dan benar.

b. Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipakai untuk menunjukkan secara statistik terkait hubungan infiltasi limfovaskular dengan subtipe molekuler kanker payudara.

c. Pengabdian Masyarakat

Penelitian ini diharapkan dapat mengedukasi masyarakat terkait bahaya

infiltrasi limfovaskular pada kanker payudara sebagai faktor prognostik

terhadap pasien kanker payudara.

(18)

5 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 PAYUDARA

2.1.1 ANATOMI PAYUDARA

Payudara terdiri dari kelenjar (penghasil susu) dan jaringan lemak. Namun, rasio jaringan kelenjar terhadap lemak bervariasi di antara individu. Kelenjar payudara menyerupai kelenjar apokrin. Kelenjar payudara terletak di daerah dada di fasia superfisial. Namun, sebagian diantaranya berada di ekor aksila melewati fasia bagian dalam dan terletak di aksila. Bentuk kelenjar susu adalah hemisferis pada wanita dewasa muda. Ukuran payudara setiap orang bervariasi, biasanya memiliki berat antara 500 hingga 1000 gram.

Struktur kelenjar susu dibagi menjadi tiga bagian, yang meliputi kulit, parenkim, dan stroma.

Kulit terdiri dari puting dan areola. Puting merupakan bagian yang menonjol, berada di ruang interkostal keempat, dan memiliki 15 hingga 20 duktus laktiferus.

Puting berisi serat otot polos melingkar dan memanjang dan kaya akan persarafan.

Otot-otot halus ini membantu dalam mengeraskan puting saat mendapat stimulasi.

Puting tidak mengandung kelenjar keringat, lemak, dan rambut di atasnya. Areola merupakan area berpigmen berwarna coklat muda kemerahan di sekitar puting.

Daerah ini kaya akan kelenjar sebaceous yang dimodifikasi. Kelenjar ini mengeluarkan sekresi minyak yang mencegah robeknya puting susu dan areola.

Areola juga tidak terdapat lemak dan rambut.

Parenkim adalah jaringan kelenjar yang terdiri dari saluran percabangan dan

lobulus sekretori terminal. Ada 15 hingga 20 lobus, dan duktus laktiferus berada

pada setiap lobus. Duktus-duktus ini membesar hingga membentuk sinus laktiferus

sebelum terpisah di puting susu. ASI dikumpulkan dalam sinus laktiferus dan

dikeluarkan saat menyusui bayi. Duktus laktiferus tersusun secara radial di puting.

(19)

Oleh karena itu ahli bedah perlu mengambil sayatan radial untuk menghindari pemotongan melalui beberapa duktus laktiferus.

Gambar 2.1 Anatomi payudara (Drake, 2020)

Stroma adalah bagian penyokong payudara di sekitar parenkim. Ada 2 jenis stroma yaitu fibrous stroma dan fat stroma. Fibrous stroma menimbulkan septa yang disebut ligamen suspensori cooper yang memisahkan lobus dan memperkuat kelenjar payudara di fasia dada. Lalu ada fat stroma yang meskipun puting dan areola tidak mengandung lemak, sebagian besar kelenjar susu diisi dengan jumlah lemak yang bervariasi.

Kelenjar payudara didasari oleh beberapa otot. Otot utama kelenjar ini adalah

otot pektoralis mayor yang ditutupi oleh fasia dada. Otot-otot lain di bawah kelenjar

(20)

ini yang bersama dengan otot pektoralis mayor adalah otot serratus anterior dan otot oblique eksternal (Khan dan Sajjad, 2020).

Kulit payudara menerima suplai darahnya dari pleksus subdermal. Pembuluh darah ini berlanjut hingga ke arteriol yang memperdararahi parenkim payudara.

Darah disuplai ke payudara dari arteri thoracoacromial, perforator mammae interna (kedua hingga kelima), arteri toraks lateral, arteri torakodorsal, dan cabang terminal perforator interkostal (ketiga hingga kedelapan). Secara keseluruhan, setidaknya 60% dari suplai darah berasal dari perforator superomedial yang berasal dari arteri mammae interna.

Payudara juga memiliki drainase vena yang banyak dan terbagi menjadi vena superfisialis dan profunda. Vena superfisial ditemukan di sepanjang permukaan anterior fasia. Vena-vena ini mengikuti jalur areola di bawah puting kompleks areolar, sering disebut sebagai pleksus vena Haller. Jauh di dalam payudara ada banyak pembuluh darah besar yang mengalir ke pembuluh darah dinding dada.

Payudara juga memiliki drainase limfatik yang luas yang berjalan di dalam payudara. Limfatik superfisial adalah pleksus areolar dan subareolar. Limfatik superfisial berlanjut ke posterior dan medial dan akhirnya mencapai kelenjar getah bening aksila.

Persarafan sensoris ke payudara berasal dari cabang saraf interkostal T3-T5.

Saraf lain yang menjadi persarafan sensorik adalah pleksus servikal bawah. Sensasi pada puting berasal dari cabang kulit lateral T4 (Rivard et all., 2019).

2.1.2 HISTOLOGI PAYUDARA

Kelenjar payudara berkembang secara embriologis sebagai invaginasi ektoderm

permukaan. Pada manusia, kelenjar ini menyerupai kelenjar keringat apokrin yang

dimodifikasi sangat kuat bertahan di setiap sisi dada. Setiap kelenjar terdiri dari 15-

25 lobus dari tipe tubuloalveolar yang fungsinya untuk mengeluarkan susu bergizi

untuk bayi baru lahir. Setiap lobus, dipisahkan dari lobus lain oleh jaringan ikat

padat dan jaringan adiposa (lemak) yang banyak. Masing-masing lobus memiliki

duktus laktiferus ekskretoris sendiri. Duktus ini, masing-masing memiliki panjang

2 - 4,5 cm, muncul pada papilla mammae, yang memiliki 15-25 lubang, masing-

(21)

masing berdiameter sekitar 0,5 mm. Struktur histologis kelenjar payudara bervariasi sesuai dengan jenis kelamin, usia, dan status fisiologis.

Gambar 2.2 Urutan perubahan lobus tubuloalveolar dan sistem duktus payudara sebelum, saat, dan sesudah kehamilan dan laktasi (Mescher, 2018).

Sebelum pubertas, kelenjar susu pada laki-laki dan wanita hanya terdiri dari sinus laktiferus di dekat puting, dengan duktus bercabang yang sangat kecil muncul dari sinus ini. Pada anak perempuan yang mengalami pubertas, kadar estrogen yang beredar menyebabkan payudara tumbuh akibat hasil akumulasi sel adiposa dan perpanjangan sistem duktus.

Pada wanita dewasa yang tidak hamil setiap lobus kelenjar payudara terdiri dari

banyak lobulus, biasa disebut terminal duct lobular units (TDLU). Setiap lobulus

memiliki beberapa duktus kecil, bercabang, tetapi unit sekretorik yang terpasang

berukuran kecil.

(22)

Gambar 2.3. Perkembangan lobus tubuloalveolar pada payudara saat kehamilan (Mescher, 2018).

Sinus laktiferus dilapisi dengan epitel kuboid berlapis, sedangkan lapisan duktus laktiferus dan duktus terminalis adalah epitel kuboid selapis dengan banyak sel mioepitel. Serabut tipis otot polos juga melingkari duktus yang lebih besar.

Sistem duktus tertanam dalam jaringan ikat yang longgar dan vaskular, dan jaringan ikat yang lebih padat dan lebih kecil memisahkan lobus. Pada fase pramenstruasi dari siklus reproduksi, jaringan ikat payudara menjadi lebih besar, sehingga payudara sedikit membesar.

Areola, atau kulit yang mengelilingi dan menutupi puting, mengandung kelenjar minyak dan saraf sensorik yang banyak dan terhubung dengan mukosa sinus laktiferus. Areola mengandung lebih banyak melanin daripada kulit di bagian lain payudara dan lebih gelap saat masa kehamilan. Jaringan ikat di papilla mammae kaya akan serat otot polos yang berjalan paralel ke sinus laktiferus dan menyebabkan ereksi puting saat berkontraksi (Mescher, 2018).

2.1.3 FISIOLOGI PAYUDARA

Banyak hormon yang diperlukan untuk perkembangan payudara penuh. Secara

umum, estrogen terutama bertanggung jawab untuk proliferasi duktus payudara dan

progesteron untuk perkembangan lobulus. Estrogen menghasilkan pertumbuhan

duktus di payudara dan sebagian besar bertanggung jawab dalam pembesaran

payudara saat pubertas pada anak perempuan. Estrogen bertanggung jawab dalam

(23)

pigmentasi areola, meskipun pigmentasi biasanya menjadi lebih intens selama kehamilan pertama daripada di masa pubertas. Peran estrogen dalam kontrol keseluruhan pertumbuhan payudara dan menyusui cukup besar.

Di payudara, progesteron merangsang perkembangan lobulus dan alveoli.

Hormon ini menginduksi diferensiasi jaringan duktal dan mendukung fungsi sekresi payudara selama menyusui.

Prolaktin menyebabkan pengeluaran ASI dari payudara setelah pemberian estrogen dan progesteron. Efeknya pada payudara melibatkan peningkatan tingkat messenger RNA (mRNA) dan produksi kasein dan laktalbumin.

Oksitosin menyebabkan kontraksi sel-sel mioepitel yang melapisi duktus payudara. Hormon ini mengeluarkan ASI dari alveoli payudara ke duktus besar (sinus) dan kemudian keluar dari puting susu (pengeluaran susu). Banyak hormon yang bertindak bersama-sama bertanggung jawab dalam pertumbuhan payudara dan sekresi susu ke dalam duktus, tetapi pengeluaran ASI membutuhkan oksitosin (Barrett et all., 2018).

2.2 KANKER PAYUDARA 2.2.1 DEFINISI

Kanker payudara adalah penyakit ketika sel-sel ganas terbentuk di jaringan

payudara (National Cancer Institute, 2020). Kanker payudara merupakan penyakit

yang ditandai sel-sel di jaringan payudara berubah dan membelah secara tidak

terkendali, biasanya mengakibatkan benjolan atau massa. Sebagian besar kanker

payudara dimulai di lobulus (kelenjar susu) atau di saluran yang menghubungkan

lobulus ke papilla mammae (American Cancer Society, 2019). Kanker payudara

terjadi ketika tumor ganas berkembang di payudara. Sel-sel ini dapat menyebar

dengan melepaskan diri dari tumor asli dan memasuki pembuluh darah atau

pembuluh getah bening, yang bercabang ke jaringan di seluruh tubuh. Ketika sel

kanker melakukan perjalanan ke bagian lain dari tubuh dan mulai merusak jaringan

dan organ lain, proses ini disebut metastasis (National Breast Cancer Foundation,

2019).

(24)

2.2.2 ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO

Penyebab pasti dari kanker payudara tidak diketahui, namun terdapat faktor- faktor risiko yang sudah diidentifikasi terkait dengan kanker payudara (Ataollahi et all., 2015). Beberapa faktor risiko kanker payudara yaitu:

a. Usia

Usia tetap menjadi faktor risiko independen nomor satu yang terkait dengan kanker payudara. Risiko terkena kanker payudara meningkat seiring bertambahnya usia. Penentuan usia tidak dapat diubah dan tidak dapat kita lakukan. Sel-sel yang menua di semua organ kita dan secara spesifik dalam jaringan payudara kehilangan sebagian kemampuannya untuk memperbaiki kerusakan DNA. Penumpukan kesalahan DNA dapat menyebabkan keganasan. Peluang terkena kanker payudara meningkat dengan bertambahnya usia dari risiko 5 tahun sebesar 0,3% pada usia 35 hingga 0,6% pada usia 40, 1,8% pada usia 60, dan 2,0% pada usia 80. Wanita usia muda dengan kanker payudara memiliki Disease Free Survival (DFS) dan Overall Survival (OS) yang lebih buruk serta memiliki karakteristik biologis yang lebih agresif daripada wanita yang lebih tua (Hiller et all., 2016; Bayraktar & Arun, 2019).

b. Riwayat Terkena Kanker Payudara

Riwayat terkena kanker payudara juga merupakan faktor risiko yang signifikan

untuk perkembangan kanker payudara ipsilateral atau kontralateral kedua. Bahkan,

kanker yang paling umum di antara penderita kanker payudara adalah kanker

payudara kontralateral metachronous. Faktor-faktor yang terkait dengan

peningkatan risiko kanker payudara kedua meliputi diagnosis awal Ductal

Carcinoma In Situ (DCIS), stadium IIB, kanker reseptor-negatif hormon, dan usia

muda ( Bayraktar dan Arun, 2019).

(25)

c. Jenis Kelamin

Risiko tinggi lain untuk keganasan payudara adalah jenis kelamin. Wanita 100 kali lebih mungkin didiagnosis menderita kanker payudara daripada pria. Dengan kata lain, kejadian kanker payudara pria kurang dari 1% dibandingkan dengan risiko kanker payudara wanita. Risiko seumur hidup kanker payudara pria adalah 1 banding 1000. Pria juga cenderung memiliki kanker payudara 5 tahun lebih lambat daripada wanita, biasanya dalam dekade ketujuh kehidupan. Usia lanjut, paparan radiasi, riwayat keluarga positif, dan kelainan testis dikaitkan dengan peningkatan risiko kanker payudara pada pria. Paparan estrogen juga terkait dengan risiko pada pria, dan kondisi seperti obesitas, penyakit hati kronis, dan hiperlipidemia dapat dikaitkan dengan kanker payudara pria (Hiller et all., 2016).

d. Genetik

Sekitar 10% pasien kanker payudara memiliki tumor yang dapat dikaitkan dengan mutasi germline turunan dalam gen yang mengontrol perbaikan DNA, regulasi pertumbuhan sel, atau kontrol siklus sel. Mutasi gen yang terkait dengan peningkatan risiko kanker payudara meliputi yang berikut:

1. BRCA-1.

Gen BRCA-1 ditugaskan untuk kromosom 17q21. Produk gen adalah 1.863 protein asam amino dengan aktivitas pleiotropik, termasuk pengindraan atau pensinyalan kerusakan DNA, regulasi transkripsi, perbaikan transkripsi- pasangan DNA, dan aktivitas ubiquitin ligase. Beberapa ratus mutasi berbeda telah diidentifikasi dengan analisis urutan DNA. Mutasi BRCA-1 tertentu lazim pada populasi tertentu (mis., Mutasi del 185 di antara pasien keturunan Yahudi Ashkenazi). Mutasi BRCA-1 menyumbang sekitar 20% dari semua kanker payudara keluarga.

2. BRCA-2.

Gen BRCA-2 ditugaskan untuk kromosom 13q12. Gen mengkode 3.418

protein asam amino yang terlibat dalam perbaikan DNA. Seperti halnya BRCA-

1, banyak mutasi berbeda telah dijelaskan pada gen BRCA-2 pada individu

(26)

yang terkena. Mutasi gen pada BRCA-2 dikaitkan dengan peningkatan risiko spektrum unik neoplasma manusia, termasuk melanoma, kanker payudara (pada pria dan wanita), kanker ovarium, dan kanker pankreas. Kanker payudara yang terkait dengan mutasi BRCA-2 sering ER positif dan cenderung terjadi pada usia yang lebih tua dibandingkan dengan mereka yang memiliki mutasi BRCA- 1.

3. Sindrom Li-Fraumeni

Sindrom Li-Fraumeni disebabkan oleh mutasi germline pada gen penekan tumor P53 yang ditemukan pada kromosom 17p13. Selain kanker payudara, ada peningkatan risiko jenis tumor lainnya (sarkoma, tumor otak, leukemia, dan tumor adrenal). Risiko kanker payudara seumur hidup terkait dengan sindrom ini adalah sekitar 50%.

4. Gen PTEN

Gen PTEN ditugaskan untuk kromosom 10q22-23 dan mengkodekan penekan tumor. Risiko kanker payudara meningkat sekitar 50% pada subjek dengan mutasi gen.

5. CHEK-2.

Gen kinase pos pemeriksaan siklus sel ini merupakan komponen penting dari jalur perbaikan DNA seluler. Mutasi gen meningkatkan risiko kanker payudara pada wanita 2 kali lipat dan pada pria 10 kali lipat.

6. RAD-51.

Protein 339 asam amino RAD51 berinteraksi dengan PALB2 dan BRCA2 dan sangat penting untuk perbaikan rekombinasi homolog; mutasi missal biallelic dapat menyebabkan fenotip seperti anemia Fanconi. Enam mutasi patogenik monoallelic pada RAD51C yang memberikan peningkatan risiko kanker payudara dan ovarium ditemukan dalam 480 derajat dengan terjadinya tumor payudara dan ovarium.

7. PALB2.

Gen ini mengkodekan protein asam amino 1.186 yang mengikat RAD-51

dan berfungsi dalam perbaikan double-strand DNA dengan menstabilkan

lokalisasi intranuklear dan akumulasi BRCA-2. Varian dalam gen PALB2

(27)

dikaitkan dengan peningkatan risiko kanker payudara dengan besaran yang sama dengan BRCA-2.

8. Mutasi pada gen lain telah dikaitkan dengan peningkatan risiko kanker payudara (mis., ATM, CDH1, MRE11A, NBN, RAD50, RECQL, RINT1, dan STK11 — sindrom Puetz-Jeghers). Pada sekitar setengah dari subjek dengan hubungan keluarga yang jelas dengan kanker payudara berdasarkan analisis silsilah, tidak ada mutasi gen spesifik yang dapat ditemukan (Pegram, 2017).

e. Riwayat Keluarga

Wanita dengan riwayat keluarga kanker payudara, terutama pada kerabat tingkat pertama (orang tua, anak, atau saudara kandung), terjadi peningkatan risiko terkena penyakit ini. Dibandingkan dengan wanita tanpa riwayat keluarga, risiko kanker payudara adalah sekitar 1,5 kali lebih tinggi untuk wanita dengan satu kerabat perempuan tingkat pertama yang terkena dampak dan 2-4 kali lebih tinggi untuk wanita dengan lebih dari satu kerabat tingkat pertama. Risiko lebih lanjut meningkat ketika saudara perempuan yang terkena didiagnosis pada usia muda atau didiagnosis dengan kanker pada kedua payudara, atau jika kerabat yang terkena adalah laki-laki. Riwayat keluarga dengan kanker ovarium dan kanker pankreas atau prostat juga dikaitkan dengan peningkatan risiko kanker payudara (American Cancer Society, 2019).

f. Ras

Risiko lainnya untuk terjadinya kanker payudara adalah ras. Data populasi dari

database Surveillance, Epidemiology, and End Results (SEER) dan National

Program of Cancer Registries menunjukkan tingkat diagnosis kanker payudara

yang lebih tinggi pada wanita kulit putih bila dibandingkan dengan wanita kulit

hitam. Telah dibuktikan bahwa ras Kaukasia merupakan faktor risiko independen

untuk kanker payudara. Rata-rata kejadian kanker payudara pada wanita Kaukasia

adalah 121,7 per 100.000 vs 114,7 per 100.000 pada wanita Afrika Amerika (Hiller

et all., 2016).

(28)

g. Lesi Payudara

Penyakit payudara proliferatif dikaitkan dengan peningkatan risiko kanker payudara. Lesi payudara proliferatif tanpa atipia, termasuk hiperplasia duktus, papiloma intraduktal, adenosis sklerosis, dan fibroadenoma, hanya memberi sedikit peningkatan risiko perkembangan kanker payudara, sekitar 1,5-2 kali lipat dari populasi umum. Hiperplasia atipikal, termasuk duktus dan lobular, yang biasanya ditemukan secara kebetulan selama skrining mamografi, memberikan peningkatan risiko kanker payudara. Wanita dengan atipia memiliki risiko sekitar 4,3 kali lebih besar terkena kanker dibandingkan dengan populasi umum (Bayraktar dan Arun, 2019).

h. Radiasi

Paparan radiasi juga merupakan risiko kanker payudara, terutama pada pasien yang telah menerima radioterapi setelah diagnosis Hodgkin limfoma. Pasien yang didiagnosis pada usia lebih muda memiliki risiko yang jauh lebih tinggi. Pasien yang mengalami mutasi BRCA1 / 2 berisiko lebih tinggi terkena kanker payudara dengan paparan radiasi diagnostik sebelum usia 30. Secara spesifik, peningkatan jumlah radiografi sebelum usia 30 tahun berkorelasi dengan peningkatan risiko kanker payudara (Hiller et all., 2016).

i. Hormon Endogen dan Faktor Reproduksi 1. Menarche Awal

Usia dini saat menarche adalah faktor risiko di antara wanita pra dan pasca menopause dalam mengembangkan kanker payudara. Keterlambatan menarche 2 tahun dikaitkan dengan pengurangan risiko yang sesuai 10%. Dalam European Prospective Investigation into Cancer and Nutrition cohort, wanita yang mengalami menarche dini (≤13 tahun) menunjukkan peningkatan risiko tumor reseptor hormon positif yang hampir dua kali lipat.

2. Paritas dan Usia saat Kehamilan Cukup Bulan Pertama

(29)

Wanita nuliparitas berada pada peningkatan risiko untuk pengembangan kanker payudara dibandingkan dengan wanita paritas. Usia muda pada kelahiran pertama memiliki efek perlindungan secara keseluruhan, sedangkan usia yang relatif lanjut pada kelahiran pertama memberikan risiko relatif kanker payudara lebih besar dari pada wanita nuliparitas. Dibandingkan dengan wanita nuliparitas, kejadian kumulatif kanker payudara pada wanita yang mengalami kelahiran pertama pada usia 20, 25, dan 35 tahun masing-masing adalah 20%

lebih rendah, 10% lebih rendah, dan 5% lebih tinggi.

3. Menyusui

Bukti menunjukkan bahwa menyusui memiliki efek perlindungan terhadap perkembangan kanker payudara. Menyusui dapat menunda kembalinya siklus ovulasi reguler dan menurunkan kadar hormon seks endogen. Diperkirakan ada pengurangan 4,3% untuk setiap 1 tahun menyusui.

4. Testosteron

Kadar hormon seks endogen yang tinggi meningkatkan risiko kanker payudara pada wanita pramenopause dan pascamenopause. Tingginya kadar testosteron yang bersirkulasi pada wanita pascamenopause telah dikaitkan dengan peningkatan risiko kanker payudara.

5. Usia saat Menopause

Onset menopause kemudian juga dikaitkan dengan peningkatan risiko kanker payudara. Setiap tahun keterlambatan timbulnya menopause memberi peningkatan risiko 3%, dan setiap keterlambatan 5 tahun pada timbulnya menopause memberi peningkatan 17% pada risiko kanker payudara (Bayraktar dan Arun, 2019).

j. Hormon Eksogen

Bukti menunjukkan adanya hubungan antara penggunaan Hormone Replacement Therapy (HRT) dan risiko terkena kanker payudara. Kanker payudara yang terkait dengan penggunaan HRT biasanya merupakan reseptor hormon positif.

Bila dibandingkan dengan pasien yang tidak menggunakan HRT, risiko kanker

payudara lebih tinggi pada pengguna HRT. Sebuah meta-analisis internasional yang

(30)

meneliti risiko kanker payudara dengan HRT menemukan bahwa pada wanita yang tidak menggunakan HRT, RR meningkat sebesar faktor 1,28 untuk setiap tahun lebih tua saat menopause, sebanding dengan RR 1,023 per tahun pada wanita yang menggunakan HRT atau bagi mereka yang berhenti menggunakan HRT hingga 4 tahun sebelumnya.

Waktu dan durasi HRT tampaknya menjadi faktor penting yang terkait dengan risiko kanker payudara juga. Risiko kanker payudara dari paparan hormon eksogen berbanding terbalik dengan waktu sejak menopause. Wanita yang memulai terapi hormon lebih dekat dengan menopause memiliki risiko kanker payudara yang lebih tinggi. Penggunaan HRT kombinasi jangka panjang (>5 tahun) telah dikaitkan dengan risiko tertinggi, sedangkan penggunaan terapi kombinasi estrogen-progestin jangka pendek tampaknya tidak memberikan peningkatan risiko yang signifikan (Bayraktar dan Arun, 2019).

k. Faktor Gaya Hidup 1. Konsumsi alkohol

Konsumsi alkohol telah secara signifikan dikaitkan dengan peningkatan risiko kanker payudara pada tingkat konsumsi serendah 5,0-9,9 g per hari, yang setara dengan tiga hingga enam minuman per minggu.

2. Aktivitas fisik

Aktivitas fisik yang konsisten mengurangi risiko kanker payudara dengan cara yang tergantung pada dosis, dengan aktivitas sederhana memberikan penurunan 2% dalam risiko dan aktivitas yang kuat memberikan penurunan risiko sebesar 5%.

3. Obesitas

Obesitas, khususnya pada wanita pascamenopause, juga meningkatkan

risiko wanita terkena kanker payudara. Resistensi insulin dan hiperinsulinemia

telah dipelajari sebagai faktor risiko untuk komorbiditas yang terkait dengan

obesitas, termasuk penyakit kardiovaskular dan diabetes. Insulin memiliki efek

anabolik pada metabolisme sel, dan sel-sel kanker manusia diekspresikan

berlebih pada reseptor insulin. Hiperinsulinemia adalah faktor risiko

(31)

independen untuk kanker payudara pada wanita pascamenopause nondiabetes dan dapat membantu menjelaskan hubungan antara obesitas dan kanker payudara (Bayraktar dan Arun, 2019).

2.2.3 PATOGENESIS

Kanker payudara berkembang karena kerusakan DNA dan mutasi genetik yang dapat dipengaruhi oleh paparan estrogen. Pada individu normal, sistem kekebalan menyerang sel dengan DNA abnormal atau pertumbuhan abnormal. Hal ini gagal terjadi pada penyakit kanker payudara yang menyebabkan pertumbuhan dan penyebaran tumor (Alkabban dan Ferguson, 2019).

Kanker payudara biasanya dimulai dari hiperproliferasi duktus, dan kemudian

berkembang menjadi tumor jinak atau bahkan karsinoma metastasis setelah terus-

menerus distimulasi oleh berbagai faktor karsinogenik. Lingkungan mikro tumor

seperti pengaruh stroma atau makrofag memainkan peran penting dalam inisiasi

dan perkembangan kanker payudara. Kelenjar payudara tikus percobaan dapat

diinduksi ke neoplasma ketika hanya stroma yang terkena karsinogen, bukan

matriks ekstraseluler atau epitel. Makrofag dapat menghasilkan lingkungan mikro

inflamasi mutagenik, yang dapat mempromosikan angiogenesis dan

memungkinkan sel kanker untuk lolos dari penolakan kekebalan. Pola DNA yang

berbeda telah diamati antara lingkungan mikro normal dan terkait tumor,

menunjukkan bahwa modifikasi epigenetik dalam lingkungan mikro tumor dapat

menyebabkan karsinogenesis. Baru-baru ini, subkelas baru dari sel-sel ganas dalam

tumor yang disebut Cancer Stem Cells (CSCs) diamati dan dikaitkan dengan inisiasi

tumor, menyebar dan kambuh. Populasi kecil sel ini, yang dapat berkembang dari

sel punca atau sel progenitor dalam jaringan normal, memiliki kemampuan

pembaharuan diri dan resisten terhadap terapi konvensional seperti kemoterapi dan

radioterapi. Breast cancer stem cells (bCSCs) pertama kali diidentifikasi oleh Ai

Hajj dan bahkan hanya 100 bCSCs dapat membentuk tumor baru pada tikus yang

immunocompromised. bCSC lebih cenderung berasal dari progenitor epitel luminal

daripada dari sel induk basal. Jalur pensinyalan termasuk Wnt, Notch, Hedgehog,

p53, PI3K dan HIF terlibat dalam pembaruan diri, proliferasi, dan invasi bCSCs.

(32)

Namun, studi lebih lanjut diperlukan untuk memahami bCSC dan untuk mengembangkan strategi baru untuk secara langsung menghilangkan bCSC.

Ada dua teori hipotetis untuk inisiasi dan perkembangan kanker payudara: teori sel induk kanker dan teori stokastik. Teori sel induk kanker menunjukkan bahwa semua subtipe tumor berasal dari sel batang yang sama atau sel yang memperkuat transit (sel progenitor). Mutasi genetik dan epigenetik yang didapat dalam sel batang atau sel progenitor akan menyebabkan berbagai fenotipe tumor (Gambar 2.4a) Teori stokastik adalah bahwa setiap subtipe kanker dimulai dari jenis sel tunggal (sel induk, sel progenitor, atau sel terdiferensiasi) (Gambar 2.4b). Mutasi acak dapat berangsur-angsur menumpuk di setiap sel payudara, menyebabkan bertransformasi menjadi sel tumor ketika mutasi yang terjadi telah menumpuk.

Meskipun kedua teori tersebut didukung oleh banyak data, tidak ada yang dapat sepenuhnya menjelaskan asal usul kanker payudara manusia (Sun et all., 2017).

Gambar 2.4 Teori hipotesis perkembangan kanker payudara (Sun et all., 2017)

(33)

2.2.4 TANDA DAN GEJALA KLINIS

Sebagian besar pasien dengan kanker payudara didiagnosis karena massa yang ditemukan sendiri (25% dari pemeriksaan sendiri dan 18% tidak sengaja) atau gejalanya; 43% ditemukan pada skrining mamografi. Baru-baru ini, frekuensi kanker yang terdeteksi mamografi telah meningkat menjadi 56% pada wanita berusia 50-59 tahun, kelompok di mana mamografi dikenal paling efektif dan paling direkomendasikan secara konsisten. Gejala utama lain dari kanker payudara meliputi:

1. Perubahan ukuran salah satu payudara

2. Puting tertarik ke arah dalam atau kulit dari puting mengeras/menegang seperti jeruk

3. Perubahan kulit, seperti kemerahan, peningkatan kehangatan di satu bagian atau lebih payudara, lubang kulit memberikan tekstur jeruk (peau d'orange), atau kerutan kulit

4. Puting keluar cairan selain susu, terkadang berdarah, terutama jika hanya pada satu payudara

5. Penebalan atau pengerasan bagian payudara

6. Nyeri payudara (lebih sering dikaitkan dengan kondisi payudara jinak, terutama jika tidak ada massa, tetapi 5% lesi kanker payudara menyakitkan; tidak boleh diasumsikan bahwa nyeri berarti "jinak")

7. Pembesaran kelenjar getah bening di aksila

8. Gejala penyakit ditempat lain seperti nyeri tulang, gejala pernapasan, penyakit

kuning, disfungsi kognitif, atau sakit kepala yang bisa diakibatkan oleh

hiperkalsemia atau metastasis SSP, atau tanda-tanda neurologis lokal

(Henderson, 2015).

(34)

2.2.5 PENEGAKAN DIAGNOSIS 2.2.5.1 ANAMNESIS

Pada anamnesis pasien, beberapa keluhan utama terkait yang biasanya digali dari pasien kanker payudara meliputi, ukuran dan letak benjolan payudara, kecepatan benjolannya tumbuh, apakah disertai dengan sakit, reaksi puting susu, apakah ada nipple discharge atau krusta, kelainan pada kulit misalnya dimpling, peau d’órange, ulserasi, atau venektasi, apakah ada benjolan pada ketiak atau edema pada lengan atas.

Selain itu, beberapa keluhan tambahan yang terkait dengan kemungkinan metastasis dari kanker payudara dapat ditanyakan juga misalnya nyeri pada tulang (untuk mencari kemungkinan metastasis pada vertebrae, femur), rasa sesak nafas dan lain sebagainya yang menurut klinisi terkait dengan penyakitnya (Kemenkes 2018).

2.2.5.2 PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik dikerjakan setelah anamnesa yang baik dan terstruktur selesai dilakukan. Pemeriksaan fisik ditujukan untuk mendapatkan tanda-tanda kelainan (keganasan) yang dikirakan melalui anamnesa atau yang langsung didapat.

Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan status lokalis, regionalis, dan sistemik.

Biasanya pemeriksaan fisik dimulai dengan menilai status generalis (tanda vital- pemeriksaan menyeluruh tubuh untuk mencari kemungkinan adanya metastase dan/atau kelainan medis sekunder.

Selanjutnya dilakukan pemeriksaan untuk menilai status lokalis dan regionalis.

Pemeriksaan ini dilakukan secara sistematis, inspeksi, dan palpasi. Inspeksi dilakukan dengan pasien duduk, pakaian atas dan bra dilepas dan posisi lengan di samping, di atas kepala dan bertolak pinggang. Inspeksi pada kedua payudara, aksila, dan sekitar kalvikula yang bertujuan untuk mengidentifikasi tanda tumor primer dan kemungkinan metastasis ke kelenjar getah bening.

Palpasi payudara dilakukan pada pasien dalam posisi terlentang (supine),

lengan ipsilateral di atas kepala dan punggung diganjal bantal. Kedua payudara di

(35)

palpasi secara sistematis, dan menyeluruh baik secara sirkular ataupun radial.

Palpasi aksila dilakukan dalam posisi pasien duduk dengan lengan pemeriksa menopang lengan pasien. Palpasi juga dilakukan pada infra dan supraklavikula.

Kemudian dilakukan pencatatan hasil pemeriksaan fisik yang meliputi status generalis (termasuk Karnofsky Performance Score), status lokalis payudara kanan atau kiri atau bilateral, status Kelenjar Getah Bening (KGB), dan status pada pemeriksaan daerah yang dicurigai metastasis.

Status lokalis berisi informasi massa tumor, lokasi tumor, ukuran tumor, konsistensi tumor, bentuk dan batas tumor, fiksasi tumor ada atau tidak ke kulit/m.pectoral/dinding dada, perubahan kulit seperti kemerahan, dimpling, edema/nodul satelit Peau de orange, ulserasi, perubahan puting susu/nipple (tertarik/erosi/krusta/discharge).

Status kelenjar getah bening meliputi status KGB daerah axila, daerah supraclavicular, dan infraclavicular bilateral berisi informasi jumlah, ukuran, konsistensi, terfiksir terhadap sesama atau jaringan sekitarnya.

Status lainnya adalah status pada pemeriksaan daerah yang dicurigai metastasis yang berisi informasi lokasi pemeriksaan misal tulang, hati, paru, otak, disertai informasi keluhan subjektif dari pasien dan objektif hasil pemeriksaan klinisi (Kemenkes, 2018).

2.2.5.3 PEMERIKSAAN PENCITRAAN 2.2.5.3.1 MAMOGRAFI

Mammografi adalah pencitraan menggunakan sinar X pada jaringan payudara

yang dikompresi. Mammogram adalah gambar hasil mammografi. Untuk

memperoleh interpretasi hasil pencitraan yang baik, dibutuhkan dua posisi

mammogram dengan proyeksi berbeda 45 dan 14 derajat (kraniokaudal dan

mediolateralobligue). Mammografi dapat bertujuan skrining kanker payudara,

diagnosis kanker payudara, dan follow up/control dalam pengobatan. Mammografi

dikerjakan pada wanita usia diatas 35 tahun, namun karena payudara orang

Indonesia lebih padat, maka hasil terbaik mammografi sebaiknya dikerjakan pada

(36)

usia >40 tahun. Pemeriksaan Mammografi sebaiknya dikerjakan pada hari ke 7-10 dihitung dari hari pertama masa menstruasi, pada masa ini akan mengurangi rasa tidak nyaman pada wanita saat di kompresi dan akan memberi hasil yang optimal.

Untuk standarisasi penilaian dan pelaporan hasil mammografi digunakan BIRADS yang dikembangkan oleh American College of Radiology. Dalam sistem BIRADS, mammogram dinilai berdasarkan klasifikasi (deskripsi, klasifikasi, distribusi, dan jumlah), massa (bentuk, margin, densitas), dan distorsi bentuk. Pada kasus khusus, misal adanya KGB intramammaria, dilatasi duktus, asimetri global, dan temuan asosiatif berupa retraksi kulit, retraksi puting, penebalan kulit, penebalan trabekula, lesi kulit, adenopati aksila juga dinilai.

Gambar 2.5 Mamografi (National Cancer Institute, 2019)

Gambaran mammografi untuk lesi ganas dibagi atas tanda primer dan sekunder.

Tanda primer berupa densitas yang meninggi pada tumor, batas tumor yang tidak

teratur oleh karena adanya proses infiltrasi ke jaringan sekitarnya atau batas yang

tidak jelas (komet sign), gambaran translusen disekitar tumor, gambaran stelata,

adanya mikroklasifikasi sesuai kriteria Egan, dan ukuran klinis tumor lebih besar

dari radiologis. Untuk tanda sekunder meliputi retraksi kulit atau penebalan kulit,

bertambahnya vaskularisasi, perubahan posisi puting, kelenjar getah bening aksila

(+), keadaan daerah tumor dan jaringan fibroglandular tidak teratur, kepadatan

jaringan sub areolar yang berbentuk utas (Kemenkes, 2018).

(37)

2.2.5.3.2 ULTRASONOGRAFI

Ultrasonografi payudara kadang-kadang digunakan untuk mengevaluasi temuan abnormal dari mammogram atau pemeriksaan fisik. USG dilengkapi dengan perangkat genggam seperti tongkat yang menangkap gambar payudara dengan gelombang suara. Untuk wanita dengan jaringan payudara yang padat, USG yang dikombinasikan dengan mamografi mungkin lebih sensitif daripada mamografi saja; Namun, itu juga meningkatkan kemungkinan hasil positif palsu.

Penggunaan USG saja untuk skrining kanker payudara tidak dianjurkan (American Cancer Society, 2020). Salah satu kelebihan USG adalah dalam mendeteksi massa kistik. Serupa dengan mammografi, American College of Radiology juga menyusun bahasa standar untuk pembacaan dan pelaporan USG sesuai dengan BIRADS. Karakteristik yang dideskripsikan adalah:

1. Bentuk massa 2. Margin 3. Orientasi

4. Jenis posterior akustik 5. Batas lesi VI.pola echo

Gambaran USG pada benjolan yang harus dicurigai ganas di antaranya:

1. Permukaan tidak rata 2. Taller than wider 3. Lepi hiperekoik

4. Echo interna heterogen

5. Vaskularisasi meningkat, tidak beraturan dan masuk ke dalam tumor membentuk sudut 90 derajat.

Penggunaan USG untuk tambahan mammografi meningkatkan akurasinya sampai 7,4%. Namun USG tidak dianjurkan untuk digunakan sebagai modalitas skrining karena didasarkan penelitian ternyata USG gagal menunjukan efikasinya.

MRI payudara (PERABOI, 2014)

(38)

2.2.5.3.3 MAGNETIC RESONANCE IMAGING (MRI)

Mamografi tetap menjadi standar emas untuk pencitraan payudara tetapi MRI telah menjadi modalitas penting dalam deteksi, penilaian, stadium, dan penatalaksanaan kanker payudara pada pasien tertentu. Skrining MRI lebih sensitif tetapi kurang spesifik untuk deteksi kanker pada wanita berisiko tinggi (Shah et all., 2014). Pada MRI payudara akan terlihat kontras antara jaringan payudara dan lemak karena perbedaan mobilitas dan lingkungan magnet dari atom hidrogen di air dan lemak. MRI lebih unggul dari mammografi dan USG payudara dalam hal:

1. Penentuan ukuran dan ekstensi tumor 2. Penemuan lesi multifokal dan multisentrik 3. Penemuan lesi kontralateral

4. MRI tidak dapat melihat mikrokalsifikasi. Penggunaan lain MRI adalah untuk:

5. Memantau hasil kemoterapi neoadjuvan

6. Mencari fokus primer di payudara pada pasien dengan adenocarcinoma of unknown origin, dan

7. Mengevaluasi temuan mammogram yang tidak dapat dinilai dengan USG payudara pasien dengan implan payudara (PERABOI, 2014)

2.2.5.4 PEMERIKSAAN PATOLOGI ANATOMI 2.2.5.4.1 FINE NEEDLE ASPIRATION

Fine Needle Aspiration (FNA) adalah tindakan secara perkutan yang

menggunakan jarum halus dengan atau tanpa jarum suntik untuk mengambil sampel

cairan dari kista atau mengekstrak sel dari massa yang teraba padat untuk analisis

sitologis (Pang & Michael, 2015). Yang dinilai dari sitologi ini adalah sel sendiri,

sitoplasma dan inti (Ramli, 2015). Fine Needle Aspiration dapat sangat berguna

dalam memberikan analisis sitologis dari massa payudara yang teraba. Semua

massa yang dominan harus dipertimbangkan untuk dilakukan FNA karena dapat

membedakan antara massa padat dan kistik. Selain itu, FNA dapat mendiagnosis

dan mengobati kista sederhana dan menyediakan bahan seluler untuk analisis

(39)

sitologis. FNA harus dilakukan setelah pemeriksaan radiologis karena hematoma yang dihasilkan dapat menutupi kelainan yang mendasarinya (Cronin, 2018).

Tujuan dari Fine Needle Aspiration adalah untuk mengekstraksi cairan atau untuk memulihkan sel-sel individual dari kompleks jaringan untuk diagnosis sitologis (Baum, 2018). Keuntungan dari FNA lesi payudara meliputi: kemampuan untuk mengambil sampel lesi kistik; kemampuan untuk mengambil sampel lesi yang sulit diakses melalui Needle Core Biopsy, seperti lesi di lokasi retroareolar dan terjadi kekambuhan dinding dada dari karsinoma payudara; mendeteksi karsinoma payudara yang bermetastasis pada tulang, paru-paru, dan cairan rongga tubuh; dan kemampuan untuk melakukan penanda prognostik dan prediktif pada bahan FNA dari lokasi metastasis.

Keterbatasan FNA payudara meliputi: ketidakmampuan untuk membedakan Ductal Carcinoma In Situ (DCIS) dari invasive carcinoma of no special type (NST);

ketidakmampuan untuk membedakan ductal carcinoma derajat rendah dari fibroadenoma dan hiperplasia epitel atipikal; dan ketidakmampuan untuk melakukan penanda prognostik dan prediktif, seperti HER2-neu pada karsinoma payudara primer (Hoda dan Rao, 2018).

2.2.5.4.2 PEMERIKSAAN MOLEKULER

Pemeriksaan molekuler semakin maju seiring dengan perkembangan terapi antikanker yang bersifat targeted terapi. Terdapat tiga petanda biologi molekuler (molecular biomarkers) yang secara rutin diperiksa dalam penatalaksanaan karsinoma payudara invasif, yaitu Esterogen Reseptor (ER), Progesteron Reseptor (PR) dan HER2. Ketiganya adalah target dan/atau indikator efektifitas terapi.

Penilaian ketiga biomarker ini sangat wajib dan penting. Setiap laboratorium

patologi anatomi pada RS rujukan tersier bertanggungjawab untuk menilai secara

akurat dan reprodusibel. Pemeriksaan molekuler di Indonesia dilakukan dengan

metode immunohistokimia dan hibridisasi in situ (Kemenkes, 2018).

(40)

2.2.5.4.2.1 PEMERIKSAAN IMUNOHISTOKIMIA

Pemeriksaan Immunohistokimia (IHK) adalah metode pemeriksaan menggunakan antibodi sebagai probe untuk mendeteksi antigen dalam potongan jaringan (tissue sections) ataupun bentuk preparasi sel lainya (sitologi atau cell block). Pemeriksaan IHK merupakan pemeriksaan yang sensitif, spesifik, mudah, dan dapat dilakukan rutin pada sediaan histopatologi, terutama jaringan yang diproses dengan blok paraffin (spesimen core biopsy, biopsi insisi, spesimen operasi), dan dapat juga dari apusan sitologi atau cell block. Sediaan yang dipulas IHK diperiksa secara mikroskopik untuk menetapkan proporsi dan intensitas sel yang positif. Pemeriksaan IHK merupakan standar dalam menentukan prediksi respons erapi sistemik dan prognosis (Kemenkes, 2018). Pemeriksaan IHK yang standar dikerjakan untuk kanker payudara adalah:

1. Reseptor Hormon (Estrogen, Progesteron)

Tes reseptor hormon umumnya direkomendasikan untuk mereka yang didiagnosis dengan kanker payudara invasif. Tes reseptor hormon akan menentukan apakah kanker payudara reseptif terhadap hormon atau tidak.

Reseptor hormon adalah protein khusus yang terletak di permukaan sel.

Banyak tumor kanker payudara kemungkinan mengandung sejumlah besar reseptor hormon untuk hormon estrogen dan progesteron. Reseptor hormon terikat dengan hormon dan memberi sinyal pada sel untuk mulai tumbuh dan berlipat ganda. Jika sel kanker mulai mendapatkan sinyal seperti itu, reseptor hormon akan meningkatkan pertumbuhan sel kanker yang semakin banyak.

Oleh karena itu, perlu bagi ahli kanker untuk memblokir reseptor hormon agar tidak melekat pada hormon (estrogen dan progesteron) untuk mencegah pertumbuhan kanker. Terapi hormon akan merespon dengan baik terhadap kanker payudara, yang positif untuk estrogen dan / atau progesteron (Ramani et all., 2017). Sekitar 75% dari semua karsinoma payudara invasif adalah positif terhadap reseptor hormon (HR), dengan tumor yang ER-positif sedikit lebih banyak daripada PR-positif (Rosenblatt et all., 2017).

2. HER-2

(41)

HER2, juga dikenal sebagai ERB-B2, adalah molekul pensinyalan yang diregulasi dalam sekitar 20% kanker payudara invasif, dan memberikan prognosis yang lebih buruk (Rosenblatt et all., 2017). Kadar HER2 (protein khusus) yang tinggi dan abnormal dapat mendorong pertumbuhan dan kecepatan kanker payudara. Obat-obatan (Trastuzumab) yang secara khusus memblokir HER2 untuk menghentikan pertumbuhan sel kanker disebut terapi bertarget HER2. Pengujian status reseptor HER2 biasanya dilakukan dengan metode imunohistokimia (IHK) dan membutuhkan spesimen biopsi. Hasil 0 atau 1+ menunjukkan tidak ada kelebihan protein HER2 dalam sel kanker dan karenanya disebut HER2 negatif; HER2 level 3+ berarti tes sel positif untuk ekspresi berlebih protein HER2. Tingkat HER2 pada 2+ adalah kasus batas;

disarankan untuk menjalani tes tambahan (seperti tes hibridisasi fluoresensi in situ) untuk memutuskan jalur perawatan yang tepat.

3. Ki-67

Ki-67 adalah antigen kanker yang ditemukan dalam pertumbuhan dan pembelahan sel. Karakteristik ini menjadikan Ki-67 penanda tumor yang baik untuk laju proliferasi tumor. Tes ini dilakukan pada sampel jaringan tumor untuk membantu memprediksi hasilnya.

Untuk kanker payudara, hasil dianggap menguntungkan jika Ki-67 <10%.

Perkiraan Ki-67 >20% akan dianggap sebagai tumor tingkat tinggi dan membutuhkan perawatan yang lebih intensif seperti kemoterapi. Bukti lainnya sedang diperdalam untuk merekomendasikan Ki-67 sebagai penanda tumor pada pasien dengan kanker payudara yang baru didiagnosis (Ramani et all., 2017).

2.2.5.4.2.2 PEMERIKSAAN HIBRIDISASI IN SITU

Baru-baru ini, hibridisasi in situ diterapkan secara luas dalam mendeteksi urutan

asam nukleat tertentu. Mekanisme hibridisasi in situ didasarkan pada saling

melengkapi asam nukleat untai tunggal. Prosedur hibridisasi in situ dapat diringkas

sebagai tiga langkah utama: menyiapkan asam nukleat eksogenik target radioaktif

atau nonradioaktif (yaitu probe); hibridisasi sampel DNA atau RNA yang telah

Referensi

Dokumen terkait

Bahasa Indonesia adalah bahasa nasional, bahasa Negara, bahasa persatuan, dan bahasa resmi Negara Republik Indonesia sekaligus sebagai bahasa pengantar di sekolah

Dalam skripsi ini penulis mencoba mendeskripsikan kesenian wayang sebagai media perkembangan budaya Islam ruang lingkup penelitian pada Perkumpulan Langen Suara

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kandungan formaldehid pada piring melamine yang diperjualbelikan di masyarakat.Piring melamine merupakan peralatan

Sedangkan untuk menjaga kestabilan tegangan keluaran motor yang difungsikan sebagai generator induksi akibat dari perubahan beban konsumen, maka diperlukan sebuah

maka diperoleh karakteristik kecelakaan yaitu paling sering terjadi di ruas jalan lurus pada rentang waktu 06.00-11.59 WIB dengan jenis cedera luka ringan dan pada

3.14 Tampungan mati (dead storage ) adalah suatu wadah atau tempat yang terletak di bawah tinggi muka air minimum. Wadah tersebut direncanakan untuk kantong lumpur. 3.15 Volume

Keterkaitan suhu dengan konstante laju perubahan waktu larut tabet effervescen sari buah selama penyimpanan dapat dilihat dari nilai koefisien determinasi (R 2 ) sebesar