14 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Konsep Dasar Diabetes Melitus 2.1.1. Definisi Diabetes Melitus
Diabetes melitus adalah penyakit kronis yang terjadi akibat pankreas tidak cukup memproduksi insulin atau tubuh tidak dapat menggunakan secara efektif insulin yang dihasilkan (WHO, 2016).
Diabetes melitus adalah gangguan metabolik menahun yang disebabkan oleh kurangnya produksi insulin di pankreas dan tubuh tidak dapat menggunakan hormon insulin yang di produktif secara efektif (Kemenkes RI, 2014).
Diabetes melitus merupakan penyakit yang membutuhkan perawatan medis yang berkelanjutan dengan mengurangi risiko multifaktorial di luar kendali glikemik dan merupakan penyakit kronis yang komplek (American Association of Diabetes Educators (AADE), 2020).
2.1.2. Klasifikasi Diabetes Melitus
Klasifikasi Diabetes Melitus menurut (American Association of Diabetes Educators (AADE), 2020) yaitu :
1. Diabetes Tipe 1
Diabetes tipe ini terjadi karena akibat kerusakan sel autoimun atau destruksi sel beta di pankreas. kerusakan ini berakibat pada keadaan defisiensi insulin yang terjadi secara absolut. Penyebab dari kerusakan sel beta antara lain autoimun dan idiopatik.
2. Diabetes Melitus Tipe 2
Diabetes tipe 2 terjadi karena akibat hilangnya sekresi insulin sel-b secara progresif sering dengan latar belakang resistensi insulin. Dalam masalah ini terjadi insulin dalam jumlah yang cukup tetapi tidak dapat bekerja secara optimal sehingga menyebabkan kadar gula dalam darah meningkat. Defisiensi insulin juga dapat terjadi secara relatif pada penderita DM tipe 2 dan sangat mungkin untuk menjadi defisiensi insulin absolut.
15 3. Diabetes Melitus Gestasional
Diabetes tipe ini merupakan diabetes yang dialami oleh ibu hamil, biasanya terjadi pada trimester kedua atau ketiga kehamilan.
4. Jenis Diabetes Tertentu Karena Sebab Lain
Diabetes tipe ini merupakan diabetes yang disebabkan dari sebab lain atau penyakit lain. misalnya sindrom diabetes monogenik (seperti diabetes neonatal dan diabetes usia muda), penyakit pankreas eksokrin (seperti fibrosis kistik dan pankreatitis), dan obat- atau diabetes yang diinduksi bahan kimia (seperti dengan penggunaan glukokortikoid, dalam pengobatan HIV / AIDS, atau setelah transplantasi organ).
2.1.3. Faktor Resiko Diabetes Melitus
Menurut World Heart Organization (WHO), 2016 dalam Global Report On Diabetes Kegemukan dan obesitas merupakan faktor risiko terkuat diabetes tipe 2, Tipe 2. Risiko diabetes tipe 2 ditentukan oleh interaksi faktor genetik dan metabolik. Etnisitas, riwayat diabetes keluarga, dan diabetes gestasional sebelumnya digabungkan dengan usia yang lebih tua, kelebihan berat badan dan obesitas, diet yang tidak sehat, aktivitas fisik dan merokok untuk meningkatkan risiko. Kegemukan dan obesitas, bersama dengan aktivitas fisik, diperkirakan menyebabkan sebagian besar beban diabetes global . Lingkar pinggang yang besar dan indeks massa tubuh yang lebih tinggi dikaitkan dengan peningkatan risiko diabetes tipe 2, meskipun hubungannya dapat bervariasi pada populasi yang berbeda . Asupan tinggi gula juga dapat meningkatkan kemungkinan kelebihan berat badan atau obesitas, terutama di kalangan anak-anak .
Faktor resiko diabetes tipe 1 Secara umum disepakati bahwa diabetes tipe 1 adalah hasil dari interaksi yang kompleks antara gen dan faktor lingkungan, meskipun tidak ada faktor risiko lingkungan tertentu yang terbukti menyebabkan sejumlah besar kasus. Mayoritas diabetes tipe 1 terjadi pada anak-anak dan remaja.
2.1.4. Patofisiologi Diabetes Melitus
Dua patofisiologi utama yang mendasari terjadinya kasus diabetes melitus tipe 2 secara genetik adalah resistensi insulin dan defek fungsi sel
16
beta pankreas. Resistensi insulin merupakan kondisi umum bagi orang- orang dengan berat badan overweight atau obesitas. Ketika produksi insulin oleh sel beta pankreas tidak adekuat guna mengkompensasi peningkatan resistensi insulin, maka kadar glukosa darah akan meningkat, pada saatnya akan terjadi hiperglikemia kronik.Pada tingkat seluler, resistensi insulin menunjukan kemampuan yang tidak adekuat dari insulin signaling mulai dari pre reseptor, reseptor, dan post reseptor. Secara molekuler beberapa faktor yang diduga terlibat dalam patogenesis resistensi insulin antara lain, perubahan pada protein kinase B, mutasi protein Insulin Receptor Substrate (IRS), peningkatan fosforilasi serin dari protein IRS, Phosphatidylinositol 3 Kinase (PI3 Kinase), protein kinase C, dan mekanisme molekuler dari inhibisi transkripsi gen IR (Insulin Receptor) (Decroli, 2019).
2.1.5. Laboraturium Penunjang DM
Menurut Decroli, 2019 Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Penggunaan darah vena ataupun kapiler tetap dapat dipergunakan dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Kecurigaan adanya diabetes tipe 2 perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik berupa;
poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.
17 Tabel 2.1. Laboraturium Diabetes Melitus
1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu
>200 mg/dL. Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir
2. Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO > 200 mg/dL (11,1 mmol/L) TTGO yang dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 g glukosa anhidrat yang dilarutkan ke dalam air.
3. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL dengan adanya keluhan klasik. Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam 4. Pemeriksaan HbA1c (>6.5%) oleh ADA 2011 sudah dimasukkan menjadi
salah satu kriteria diagnosis DM, jika dilakukan pada sarana laboratorium yang telah terstandarisasi dengan baik.
2.1.6. Tanda dan Gejala
Menurut American Diabetes Association, 2020 gejala umum penyakit diabetes melitus meliputi:
1. Buang air kecil lebih banyak dari biasanya 2. Merasa sangat haus
3. Merasa lapar bahkan setelah makan 4. Merasa lelah
5. Memiliki penglihatan kabur
6. Sering mengalami infeksi atau luka dan luka yang lambat sembuh 7. Penurunan berat badan yang tidak wajar biasanya terjadi pada diabetes
tipe 1
8. Kesemutan, nyeri, atau mati rasa di tangan atau kaki biasanya terjadi pada diabetes tipe 2
18 2.1.7. Komplikasi
Bila diabetes tidak ditangani dengan baik, akan timbul komplikasi yang mengancam kesehatan dan membahayakan nyawa. Komplikasi akut merupakan penyebab utama kematian, biaya dan kualitas hidup yang buruk. Glukosa darah yang sangat tinggi dapat memiliki dampak yang mengancam jiwa jika memicu kondisi seperti ketoasidosis diabetik pada tipe 1 dan 2, dan koma hiperosmolar pada tipe 2. Seiring waktu diabetes dapat merusak jantung, pembuluh darah, mata, ginjal, dan saraf, serta meningkatkan risiko penyakit jantung dan stroke. Kerusakan seperti itu dapat mengakibatkan berkurangnya aliran darah, yang - dikombinasikan dengan kerusakan saraf di kaki - meningkatkan kemungkinan terjadinya ulkus kaki, infeksi, dan kebutuhan akhirnya untuk amputasi anggota badan. Diabetes gestasional meningkatkan risiko beberapa hasil yang merugikan untuk ibu dan keturunan selama kehamilan, persalinan dan segera setelah melahirkan . Kombinasi dari peningkatan prevalensi diabetes dan peningkatan masa hidup pada banyak populasi dengan diabetes dapat menyebabkan perubahan spektrum jenis morbiditas yang menyertai diabetes (WHO, 2016).
2.1.8. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan secara umum menurut Decroli, 2019 adalah meningkatkan kualitas hidup penyandang diabetes. Tujuan penatalaksanaan meliputi :
1. Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM, memperbaiki kualitas hidup, dan mengurangi risiko komplikasi akut.
2. Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyakit mikroangiopati dan makroangiopati.
3. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah, tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara komprehensif. Penatalaksanaan DM dimulai dengan menerapkan pola hidup sehat bersamaan dengan intervensi farmakologis
19
dengan obat anti hiperglikemia secara oral dan/atau suntikan. Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu dilakukan sebagai bagian dari upaya pencegahan dan merupakan bagian yang sangat penting dari pengelolaan DM secara holistik.
2.2.Konsep Self Care 2.2.1. Definisi Self Care
Self Care adalah membentuk perilaku seseorang dalam memelihara, kehidupan, kesehatan dan kesejahteraan yang dilakukan oleh seseorang atau individu. Pembentukan self care apabila dibentuk secara efektif akan membantu membentuk integritas, fungsi manusia dan erat kaitanya dengan perkembangan manusia (Muhlisin dan Irdawati, 2015).
Self Care Kemampuan pasien untuk mengambil keputusan dan melakukan tindakan yang tepat atas perubahan tanda gejala penyakit, mengevaluasi tanda dan gejala penyakit tersebut, melakukan tindakan penatalaksanaan dan mengevaluasitindakan yang telah dilakukan (Asyrofi, Arisdiani, & Puji, 2018).
2.2.2. Konsep Teori Keperawatan Self Care
Keperawatan merupakan suatu tindakan yang profesional, holistik dan komprehensif yang ditujukan pada individu, kelompok maupun keluarga melalui pendekatan asuhan keperawatan. Oleh karena itu untuk memberikan pelayanan yang berkualitas perawat perlu mengembangakan proses keperawatan dengan model konseptual untuk memenuhi asuhan keperawatan pada pasien.
Menurut Muhlisin & Irdawati, 2015 Konsep Self Care Defisit oleh Dorothea Orem merupakan suatu landasan bagi perawat untuk memandirikan pasien sesuai tingkat kebutuhan dan ketergantungan pasien, karena menurut Orem self care merupakan perilaku yang dapat dipelajari.
Orem mengembangkan teori Self Care Deficit meliputi 3 teori yang berkaitan yaitu Self Care, Self care deficit dan nursing system.
1. Theory Self care
20
Theory Self care menggambarkan dan menjelaskan tujuan serta cara melakukan perawatan dirinya. Jika kemampuan self care terbentuk secara efektif akan membantu membentuk integritas, fungsi manusia dan erat kaitanya dengan perkembangan manusia
Self care agency adalah kemampuan manusia untuk memenuhi self care yang dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, status perkembangan, status kesehatan, orientasi sosial budaya, sistem perawatan kesehatan (diagnostik, penatalaksanaan modalitas), sistem keluarga, pola kehidupan, lingkungan serta ketersediaan sumber (Muhlisin dan Irdawati, 2015).
Kebutuhan self care therapeutik (Therapeutic self care demand) adalah merupakan tindakan totalitas dari self care yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan dengan menggunakan metode yang valid.
Menurut Muhlisin & Irdawati, 2015 orem juga mengidentifikasi kebutuhan self care sebagai berikut :
a. Universal self care requisite
Universal self care requisite merupakan hal umum bagi seluruh manusia yang meliputi kebutuhan dasar manusia yaitu udara, air makanan dan eliminasi, aktivitas dan istirahat, solitude dan interaksi sosial, pencegahan kerusakan hidup, kesejahteraan dan peningkatan fungsi manusia.
b. Developmental self care requisite
Developmental self care requisite merupakan kebutuhan yang dihubungkan dalam proses perubahan dan pengembangan meliputi pekerjaan baru, perubahan struktur tubuh dan kehilangan rambut.
c. Health Deviation self care requisite
Kebutuhan ini dikaitkan dengan injury atau mengalami kondisi patologis tertentu yang tidak bisa menerapkan self care namun membutuhkan perawatan.
21 Gambar 2.2. Konsep Self Care
Sumber : (Muhlisin & Irdawati, 2015) 2. Teori Self Care Deficit
Dalam teori ini seseorang tidak mampu melakukan perawatan diri secara mandiri. Keperawatan diberikan jika kemampuan merawat berkurang atau tidak dapat terpenuhi atau adanya ketergantungan. Orem mengidentifikasi lima metode yang dapat digunakan dalam membantu self care yaitu melakukan tindakan untuk orang lain, memberikan edukasi dan bimbingan untuk orang lain, Memberikan dukungan fisik dan psikologis, meningkatkan pengembangan lingkungan serta berperan sebagaipendidik bagi orang lain.
3. Teori Nursing System
Menggambarkan kebutuhan pasien yang didasari oleh teori self care tentang pemenuhan kebutuhan sendiri dan kemampuanmelakukan perawatan mandiri. Orem mengidentifikasi tiga klasifikasi nursing system yaitu :
a. WHOLLY COMPENSATORY SYSTEM
Tindakan keperawatan ini diberikan pada pasien yang tidak mampu melakukan pemenuhan kebutuhan secara fisik dalam melakukan pengontrolan pergerakan dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Kondisi yang
22
termasuk dalam kategori ini adalah pasien koma yang tidak mampu melakukan pengambilan keputusan yang tepat dan memenuhi kebutuhan dirinya.
WHOLLY COMPENSATORY SYSTEM
Melakukan beberapa tindakan perawatan diri Mengatur agen perawatan diri
Menerima asuhan dan bantuan dari perawat Sumber : (Muhlisin & Irdawati, 2015) b. Partly compensatory nursing system
Tindakan Keperawatan yang dilakukan oleh pasien dan perawat dan mempunyai peran sama besarnya
PARTLY COMPENSATORY SYSTEM
Menjalankan beberapa kegiatan self care
Kompensasi keterbatasan klien untuk selfcare
Membantu klien sesuai kebutuhan
Menjalankan self care measure
Mengatur kemampuan self care
Menerima asuhan dan bantuan nurse
Sumber : (Muhlisin & Irdawati, 2015)
Tindakan Perawat Tindakan klien
Tindakan Perawat
Tindakan Pasien
23 c. Supportive educative system
Pada sistem ini merupakan bantuan bagi klien yang membutuhkan pembelajaran dan edukasi untuk mencapai derajat kesehatan yang setinggi- tingginya.
SUPPORTIVE - EDUCATIVE SYSTEM
Melakukan/menyelesaikan self care
Mengatur latihan dan perkembangan
kemampuan self care
Sumber : (Muhlisin & Irdawati, 2015) 2.2.3. Manfaat Menerapkan Self Care
Dengan menerapkan self care dapat membantu melakukan segala aktivitas yang dapat meningkatkan kebahagiaan dan kenyamanan diri sendiri. Self care juga mampu mengurangi segala macam penyakit mental seperti depresi, stress atau kecemasan berlebih. Secara khusus apabila self care dapat diterapkan secara tepat dapat meningkatkan harapan hidup penderita diabetes melitus dan menekan komplikasi penyakit akibat dari diabetes melitus (Chaidir, Wahyuni, & Furkhani, 2017).
2.2.4. Teknik Self Care Diabetes
Pendidikan diabetes penting tetapi harus dialihkan ke tindakan atau kegiatan perawatan diri untuk sepenuhnya bermanfaat bagi pasien. Aktivitas perawatan diri mengacu pada perilaku seperti mengikuti rencana diet, menghindari makanan berlemak tinggi, peningkatan olahraga, pemantauan glukosa diri, dan perawatan kaki . Perubahan dalam aktivitas perawatan diri juga harus dievaluasi untuk kemajuan menuju perubahan perilaku .
Swa-monitor dari kontrol glikemik adalah landasan perawatan diabetes yang dapat memastikan partisipasi pasien dalam mencapai dan
Tindakan Pasien
Tindakan Perawat
24
mempertahankan target glikemik tertentu. Swa-monitor memberikan informasi tentang status glikemik saat ini, memungkinkan untuk penilaian terapi dan panduan penyesuaian dalam diet, olahraga dan pengobatan untuk mencapai kontrol glikemik yang optimal. Terlepas dari penurunan berat badan, melakukan aktivitas fisik secara teratur telah ditemukan terkait dengan hasil kesehatan yang lebih baik di antara penderita diabetes.
National Institutes of Health dan American College of Sports Medicine merekomendasikan bahwa semua orang dewasa, termasuk mereka yang menderita diabetes, harus melakukan aktivitas fisik secara teratur (Shrivastava, Shrivastava, & Ramasamy, 2013).Berikut aktivitas self care penderita dia betes melitus :
1. Pola diet Diabetes Melitus
Dalam penerapan diet pada penderita diabetes melitus dibutuhkan gizi seimbang seperti Zat gizi yang dibutuhkan: Karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral. Dalam pemenuhan nutrisi pada penderita diabetes melitus menurut (Kusumo et al., 2020)perlu diterapkan 3 J yaitu :
a. Jadwalkan Makan Teratur
Jadwalkan makan teratur 3 kali makan pokok (Sarapan pagi, makan siang dan makan malam) dan 2-3 kali makanan selingan (selingan pagi, selingan siang dan sebelum tidur).
Jumlah makanan yang dimakan dalam satu hari dibagi dan diatur dengan baik terutama bagi penderita yang menggunakan obat dan suntikkan insulin.
b. Jumlah Kalori
Sesuai dengan anjuran ahli gizi karena setiap orang berbeda kebutuhan kalorinya. Jumlah kalori ditentukan menurut umur, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan dan aktivitas
c. Jenis Makanan
Jenis makanan dibatasi terutama karbohidrat komplek seperti nasi, kentang, roti dan singkong. Sebaiknya hindari karbohidrat sederhana seperti gula pasir, gula merah dan sirup.
25
Bahan makanan yang diperbolehkan: Lauk hewani dan nabati dalam jumlah yang cukup sesuai dengan yang dianjurkan.
Aneka ragam sayuran untuk memberikan rasa kenyang dan kandungan serat tinggi. Buah – buahan dalam jumlah cukup.
Minyak dan garam dalam jumlah yangtidak berlebihan.
2. Aktivitas Fisik
Program aktifitas fisik merupakan salah satu pilar yang digunakan dalam pengelolaan kencing manis yang belum mengalami komplikasi.
Menurut WHO 2017 dalam buku panduan sehat kecing manis merekomendasikan aktifitas fisik dilakukan setiap hari selama 30 menit atau setiap dua hari sekali selama 60 menit yang dilakukan secara teratur(Kusumo et al., 2020).
Aktivitas fisik yang dianjurkan bersifat aerobik dengan intensitas sedang seperti: jalan cepat, bersepeda santai, jogging, dan berenang.Olahraga dianjurkan minimal 30 sampai dengan maksimal 45 menit dengan menggunakan 20 perlengkapan olahraga yang nyaman dan sesuai. Dilakukan secara bertahap dimulai dari pemanasan 5-10 menit, diikuti dengan latihan inti minimal 20-30 menit dan diakhiri dengan pendinginan selama 5 menit.Untuk mencapai hasil optimal, olahraga perlu dilakukan minimal 3 kali seminggu(Kusumo et al., 2020).
3. Pengukuran Gula Darah
Melakukan kontrol kadar gula darah secara teratur merupakan upaya pencegahan terjadinya komplikasi yang dilakukan oleh pasien DM.
Standar pemeriksaan kadar gula darah idealnya dilakukan minimal 3 bulan sekali setelah kunjungan pertama. Standar pemeriksaan kadar gula darah di pelayanan kesehatan idealnya dilakukan minimal tiga bulan sekali setelah kunjungan pertama, yang meliputi pemeriksaan kadar gula darah puasa, kadar gula darah 2 jam setelah makan, dan pemeriksaan HbA1C (Rachmawati et al., 2015).
4. Perawatan Kaki Diabetes Melitus
26
Pengelolaan DM tidak hanya menggantungkan peran dari tenaga kesehatan, namun dibutuhkan manajemen diri diabetisi. Hal ini sesuai dengan model perawatan penyakit kronis yang dikembangkan oleh International Council of Nurses (ICN) yaitu The Chronic Care Model. Model perawatan ini menitikberatkan peran diabetisi dalam melakukan manajemen diri pada dirinya yang berkolaborasi dengan tenaga kesehatan. Salah satu manajemen diri diabetisi untuk pencegahan ulkus diabetik adalah perawatan kaki. Perawatan kaki dapat meminimalisir terjadinya luka yang berkembang menjadi ulkus dan terbukti mampu menurunkan risiko terjadinya amputasi sampai 85%(Safitri, 2020).
5. Terapi Diabetes Melitus
Penatalaksanaan DM dimulai dengan menerapkan pola hidup sehat (terapi nutrisi medis dan aktivitas fisik) bersamaan dengan intervensi farmakologis dengan obat anti hiperglikemia secara oral dan/atau suntikan. Obat anti hiperglikemia oral dapat diberikan sebagai terapi tunggal atau kombinasi(S. Soelistijo et al., 2015).