• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Unjust Enrich Interkoneksi Jaringan Telekomunikasi di Indonesia : studi kasus Putusan No.26/KPPU-L/2007 T1 312009018 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Unjust Enrich Interkoneksi Jaringan Telekomunikasi di Indonesia : studi kasus Putusan No.26/KPPU-L/2007 T1 312009018 BAB II"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Sebagaimana judul Bab ini, berikut di bawah ini Penulis menggambarkan suatu analisis kepustakaan tentang hukum yang mengatur tentang kontrak (obligations) yang timbul dari adanya apa yang disebut sebagai suatu pengayaan yang tidak sah (unjust enrichment). Sehubungan dengan misi dalam Bab ini (perumusan masalah pada Bab I skripsi ini), yaitu menguraikan suatu tinjauan kepustakaan mengenai bagaimana unjust enrichment; maka perlu Penulis kemukakan di sini, bahwa bahan-bahan hukum, terutama kepustakaan atau literatur yang ditulis dalam bahasa Indonesia mengenai konsepsi obligations arising from unjust

enrichment itu sangat langka, apabila tidak mau dikatakan tidak ada sama sekali. Oleh sebab

itu, maka gambaran tentang asas atau kaedah hukum yang timbul dari obligations arising

from unjust enrichment, atau supaya penyebutannya mudah bagi Penulis sendiri maka oleh

skripsi ini disingkat dengan unjust enrichment saja, hanya akan merujuk kepada suatu hasil penelitian ilmiah yang dilakukan oleh Jeferson Kameo, SH., LL M., Ph.D17.

Dalam Buku berjudul Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, penulis di atas menggambarkan dalam Sub Bab ruang lingkup kontrak, bahwa dalam pengelompokkan atau kategorisasi perikatan, ada kelompok perikatan yang muncul karena hukum. Satu dari dalam kelompok perikatan sebagaimana telah Penulis kemukakan tersebut, yaitu kelompok perikatan yang timbul untuk

17

(2)

mencegah terjadinya pengayaan yang tidak sah, atau satu pemulihan kembali (restorasi) ke kekeadaan semula setelah terjadi suatu pengayaan (enrichment) yang tidak sah atau tidak adil

(unjust); atau pengambilan keuntungan yang dilakukan oleh seseorang yang melebihi

(eksesif) dari apa yang seharusnya diambil (unjust enrichment)18 oleh orang tersebut. Orang dalam pengertian skripsi ini yaitu termasuk subyek hukum (the parties to contract), yang dalam hal ini, lebih khususnya adalah badan-badan hukum yang menyelenggarakan jasa dan atau jaringan telekomunikasi yang mengadakan interkoneksi dalam Putusan 26 KPPU Republik Indonesia. Dengan perkataan lain, hal itu (obligations arising from unjust

enrichment) terjadi atau dilahirkan mengingat; hukum, atau lebih tepatnya keadilan (justice)

menuntut agar ada kewajiban yang harus direalisasikan dengan mengembalikan kembali jumlah yang telah diambil melebihi apa yang seharusnya (restitution)19.

Bab ini terdiri dari beberapa sub bab. Sekali lagi perlu Penulis ketengahkan di sini bahwa semua susunan dan isi sub bab yang ada di dalam Bab II ini dimaksudkan, tidak lain adalah untuk menggambarkan suatu jawaban atas pertanyaan dalam perumusan masalah penelitian dan penulisan karya tulis ilmiah yang di dalam Bab I dirumuskan: bagaimana

unjust enrichment interkoneksi telekomunikasi. Apa yang ada di balik rumusan kata tanya

bagaimana itu adalah: akan dilihat bagaimana sejarah singkat tentang keberadaan asas hukum larangan unjust enrichment, bagaimana hakikat perikatan unjust enrichment, jenis-jenis

unjust enrichment, yaitu gambaran singkat tentang sejumlah kaedah yang mengatur mengenai

larangan unjust enrichment yang dapat dilihat dari jenis-jenis ganti rugi untuk menghindari keuntungan yang tidak sah. Pada bagian akhir dari tinjauan kepustakaan ini Penulis akan kemukakan secara singkat, penilaian Penulis sendiri atau arti penting dari studi kepustakaan bagi penelitian dan penulisan karya tulis kesarjanaan Penulis ini.

18 Lihat Buku Jeferson Kameo, SH., LLM., Ph.D., berjudul Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum Fakultas

Hukum Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, hal., 7.

19

(3)

2.1. Sejarah Singkat Keberadaan Unjust Enrichment

Secara etimologis, atau berdasarkan kata dan pengertian kata yang diambil dari kamus, orang dapat saja berasumsi bahwa keberadaan konsep unjust enrichment itu sebetulnya adalah suatu kata dalam bahasa Inggris. Konsekuensinya, karena Inggris atau England adalah masuk dalam himpunan negara-negara dalam sistem hukum English common law, maka orang akan dapat leluasa menarik kesimpulan bahwa sejarah keberadaan prinsip

unjust enrichment itu berasal dari sistem hukum English common law. Hanya saja, perlu

Penulis kemukakan di sini bahwa, apabila literatur-literatur sejarah institusi-institusi hukum dibaca dengan lebih teliti, maka institusi hukum unjust enrichment itu sebetulnya sudah ada dalam sistem hukum Romawi, yang nota bene merupakan bangsa yang mengikuti tradisi hukum civil law, sama seperti Perancis, Belanda dan dalam hal ini hukum positif negara kita yaitu Indonesia.

Bukti bahwa sejarah keberadaan institusi hukum yang bernama unjus tenrichment itu dapat dilihat dalam sistem hukum yang mendikte (the dictate of the Law) penulis surat-surat pribadi Paulus kepada jemaatnya yang hidup dalam bangsa Romawi ditemukan dalam Penelitian individuil oleh Jeferson Kameo, SH., LL.M., Ph.D., penelitian mana tidak dipublikasikan. Dalam Penelitian individuil itu dikatakan bahwa para jurists Skotlandia yang ternama dan sangat terkenal seperti Stair, Erskine dan Bell sudah menganalisis institusi unjust

enrichment tersebut di dalam karya-karya mereka yang juga sangat terkenal.

Stair (dengan nama lengkap James, Viscount ofstair yang menjabat sebagai hakim dan Ketua Mahkamah Agung Skotlandia/Lord President of the Session) misalnya, menurut penelitian individuil Dr. Jeferson Kameo di atas, dalam buku Stair yang berjudul The Institutions of The Law of Scotland, Deduced from its Originals, and Collated with the Civil,

(4)

dalam 4 Buku dan diterbitkan pada tahun 1693, sudah membahas secara lengkap mengenai institusi unjust enrichment itu dalam Buku ke-I. Institusi hukum yang bernama unjust

enrichment itu mulai dari Paragraf ketujuh sampai dengan Paragraf kedelapan. Hal yang

sama juga dilakukan oleh ahli hukum Skotlandia seperti Erskine. Penulis Skotlandia yang kedua itu membicarakan keberadaan unjust enrichment dalam Bukunya yang berjudul An

Institute of the Law of Scotland yang hanya dapat mulai dibaca dari Edisi kedelapannya satu

setengah abad lebih, atau tepatnya 178 tahun kemudian setelah Stair. Buku Erskin yang memuat pembahasan yang menurut Kameo tidak jauh berbeda dengan apa yang sudah diletakkan oleh Stair itu, dipublikasikan pada tahun 1871. Dalam Buku III, Paragraf I, juga dalam Paragraf 10 sampai dengan Paragraf 11, Erskin membahas unjust enrichment tersebut. Sementara itu, penulis Skotlandia yang ketiga yang juga membicarakan tentang keberadaan institusi hukum yang bernama unjust enrichment itu adalah Bell. Dalam Bukunya yang berjudul Commentaries on the Law of Scotland and Principles of Merchantile Jurisprudence yang mulai dapat dibaca dalam Edisi Ketujuh itu. Buku Bell lainnya yang mengandung pembahasan asas hukum yang sama yaitu berjudul Principles of the Law of Scotland yang mulai dapat dibaca pada edisi kesepuluh dan diterbitkan dua abad lebih setelah Stair dan Erskine, Bell membicarakan hakikat unjust enrichment tersebut dalam Paragraf ke 437 sampai dengan Paragraf ke-446, serta hal itu diulang lagi dalam Paragraf ke 525 sampai dengan Paragraf ke-54120 buku yang baru saja dikemukakan tersebut di atas. Masih ada banyak lagi penulis-penulis hukum kontemporer yang membahas dan membicarakan institusi hukum unjust enrichment itu, khususnya penggunaan asas itu sesuai dikte hukum untuk menyelesaikan berbagai persoalan hukum. Hanya saja, hal itu tidak mungkin untuk

20 Perlu Penulis kemukakan di sini bahwa pemaparan karya-karya para ahli hukum Skotlandia itu Penulis rujuk

(5)

dikemukakan di sini, kecuali hasil penelitian Jeferson Kameo., SH., LL.M., Ph.D. Namun, satu hal yang sangat penting untuk dikemukakan di sini sehubungan dengan sub pokok bahasan kepustakaan mengenai unjust enrichment itu adalah bahwa semua penulis di atas memiliki satu pendapat, yaitu bahwa institusi unjust enrichment itu adalah sudah ada di dalam hukum positif bangsa Romawi, yang juga merupakan buah dari suatu hasil dikte suatu sistem hukum yang absolut dan berlaku universal sesuai dengan tuntutan keilmuan yang juga dikenal oleh ilmu hukum dan sudah lebih dahulu dikenal di Skotlandia dengan sebutan

Common Law21.

2.2. Hakikat Unjust Enrichment

Seperti telah Penulis kemukakan di atas bahwa perikatan yang timbul karena ada pengayaan yang tidak sah (unjust enrichment) itu, dalam Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum digolongkan atau terkategorisasikan sebagai perikatan yang timbul karena hukum. Dalam pandangan Penulis, rumusan seperti itu, sejatinya menunjuk dengan tegas ke dalam sistem hukum positif Indonesia yang sesungguhnya, apabila ditransposisikan, juga mengenal hal yang sama (unjst enrichment)22. Namun, seperti telah Penulis kemukakan di atas, tidak ada penulis Indonesia, kecuali yang literaturnya telah Penulis rujuk di atas, yang membicarakan hal yang demikian itu dalam konteks unjust enrichment23. Hal ini di dalam

21 Gambaran perbedaan antara English common law dan Scottish Common Law dapat dibaca di dalam Buku

Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum yang banyak dirujuk oleh Bab Studi Kepustakaan mengenai Unjust Enrichment ini. Dapat dilihat mulai halaman 3.

22 Hal yang paling nyata bahwa sistem hukum positif Indonesia juga mengenal unjust enrichment adalah apa

yang di dalam literatur-literatur hukum perdata Indonesia (the Indonesian Civil Code) dibicarakan di bawah topik pembayaran yang tidak diwajibkan. Perhatikan Buku yang ditulis oleh Riduan Syahrani, SH., berjudul Seluk-Beluk Asas-Asas Hukum Perdata., Alumni, Bandung, 2000, hal., 269 – 273. Sebetulnya, dalam perspektif transposisi, suatu penelitian individual yang tidak dipublikasikan oleh Dr. Jeferson Kameo, dikatakan bahwa masih masuk dalam konteks unjust enrichmentadalah apa yang di dalam literatur mengenai hukum positif Indonesia sebagai zaakwaaneming atau sudatu perbuatan di mana seseorang dengan sukarela dan tanpa mendapat perintah, mengurus kepentingan (urusan) orang lain, dengan atau tanpa sepengetahuan orang ini. Lihat Riduan Syahrani, SH., hal., 266 227.

23

(6)

literatur tentang Hukum Positif Indonesia termasuk sebagai perikatan yang timbul karena perbuatan melawan hukum (PMH) atau apa yang di dalam Bahasa Belanda disebut

onrechmatige daad. Professor Subekti menulis bahwa:

“Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian

itu, mengganti kerugian tersebut. Di sini pun ada suatu kejadian, dimana oleh

undang-undang ditetapkan suatu perikatan antara dua orang, yaitu antara

orang yang melakukan perbuatan melanggar hukum dan orang yang

menderita kerugian karena perbuatan tersebut. Perikatan ini lahir dari “undang-undang karena perbuatan orang”, dalam hal ini suatu perbuatan yang melanggar hukum”.

Apabila hakikat sesuatu dapat dilihat dari pengertian yang diberikan kepada sesuatu itu, maka unjust enrich didefinisikan sebagai suatu prinsip yang umum bahwa seseorang tidak boleh memperkaya dirinya secara tidak adil yaitu dengan biaya dari pihak lain dan karena itu harus mengembalikan harta atau manfaat keuntungan yang telah diterimanya, ditahannya atau diambilnya, dan pengambilan ini dirasakan adil dan layak serta tidak bertentangan atau menghalangi hukum atau berlawanan dengan dengan kepentingan umum baik secara langsung maupun tidak langsung atau memperkaya diri secara tidak pantas.

Dalam menentukan apakah seseorang telah memperkaya diri sendiri secara tidak adil atau adil adalah sangat sukar dan karena itu dalam kasus Everhart vs Miles, 47 Md.App 131, 136, 422 A 2d 28 ditentukan tiga unsur atau elemen untuk menentukannya, yaitu: (1) Ada suatu manfaat atau keuntungan yang diberikan atau diperbuat oleh penggugat kepada

(7)

tergugat; (2) Manfaat atau keuntungan ini adalah berharga atau dimengerti oleh tergugat; (3) Tergugat menerima atau menahan manfaat itu adalah merupakan hal yang tidak patut bila tidak disertai dengan pembayarannya.

Unjust Enrichment dalam English common law ini dalam hukum perjanjian Indonesia

dapat mentransposisikan Pasal 1359 KUHPer yang menyatakan, bahwa tiap-tiap pembayaran memperhatikan adanya suatu hutang; dan apa yang telah dibayarkan dengan tidak diwajibkan dapat dituntut kembali. Tuntutan ganti rugi yang terdapat dalam kwasi kontrak atau kontrak yang semu ini adalah quantum meruit yang menurut Black’s Law Dictionary adalah kewajiban yang bersumber dari hukum tanpa adanya dari pihak yang terkait, dengan alasan untuk keadilan dan kepatutan.

2.3. Kategorisasi Kewajiban dan Jenis-Jenis Unjust Enrichment

Apabila Roman Law atau hukum bangsa Romawi hendak dirujuk untuk memelajari unjust enrichment itu, maka perlu Penulis kemukakan di sini bahwa hukum positif Romawi memang mengakui sejumlah kategori kewajiban atau kontrak-kontrak (obligations) yang timbul atas dasar pengkategorisasian yang bernama quasi ex contractu. Dalam bahasa Latin,

Quasi artinya semu, sedangkan ex artinya sebelumnya sudah ada dan contractu adalah

(8)

Adapun kategori perikatan-perikatan yang masuk ke dalam jenis-jenis unjust

enrichment itu adalah: (1) perikatan untuk mengembalikan suatu benda kepada pemilik yang

sebenarnya; (2) perikatan kepada setiap orang, mengijinkan suatu repetisi (repetition), atau secara lebih sederhana, seperti dikatakan di dalam penelitian individuil di atas, mendapatkan kembali (recovery) uang yang pernah dibayarkan kepada seseorang yang tidak berhak; (3) perikatan untuk memberikan suatu penggantian uang (recompense)24 dari seseorang yang merasa bahwa ia telah menggunakan “benda” milik orang lain; (4) perikatan untuk membayar kompensasi karena ada negotiorum gestio; (5) dan masih ditambah lagi dengan kewajiban untuk membayar pengorbanan karena keadaan darurat dan iuran umum dalam dunia maritim internasional. Dalam Bab ini, mengingat begitu banyaknya jenis tentang unjust enrichment sebagaimana telah Penulis kemukakan di atas, maka Penulis hanya akan mengemukakan satu jenis unjust enrichment yang mungkin relevan bagi kajian atau analisis putusan Komisi Persaingan Usaha No. 26 sebagaimana diuraikan dalam bagian hasil penelitian di Bab III karya tulis kesarjanaan Penulis ini.

Prinsip yang cukup signifikan untuk dikemukakan di sini sehubungan dengan pemaparan tentang jenis-jenis unjust enrichment sebagaimana telah dikemukakan di atas adalah bahwa alasan dasar dari semua jenis perikatan yang tergolong dalam perikatan karena dikte hukum di atas adalah penghindaran terjadinya unjust enrichment atau pengayaan secara tidak sah dan eksesif. Perlu Penulis kemukakan di sini bahwa prinsip ilmiah unjust

enrichment inilah yang diadopsi ke dalam sistem pemberantasan korupsi di Hongkong oleh

24 Contoh sederhana mengenai hal ini adalah: kalau Pak Jeff diminta oleh seorang bangsawan Italy (Mr. Nunzio

(9)

para ahli yang mendesain komisi antirasuah di Hongkong. Perlunya asas unjust enrichment itu diikuti, mengingat apabila tidak ada dikte hukum seperti itu, dalam hal ini kehendak hukum untuk mengembalikan kembali kepada yang berhak (to restore atau restorasi25) maka itu sama dengan pembiaran terhadap tindakan seseorang untuk secara tidak sah dan tidak dapat dibenarkan mengambil keuntungan, apalagi keuntungan yang eksesif dengan cara melobangi kantong orang lain dan menyebabkan si pemilik kantong, misalnya rakyat Indonesia yang dibocori oleh para koruptor itu menjadi menderita.

Suatu hal juga yang perlu dikemukakan sehubungan dengan pemaparan mengenai jenis-jenis unjust enrichment tersebut adalah bahwa meskipun unjust enrichment adalah suatu kontrak yang dapat digolongkan ke dalam kategori perikatan yang berbeda dari kategori perikatan berupa asas-asas dan kaedah yang berlaku untuk janji (promises) maupun perjanjian (agreement), terutama merupakan kategori perikatan yang timbul karena adanya dikte hukum sebagaimana Penulis kemukakan di atas, dan kewajiban yang lahir karena unjust

enrichment itu tidak lahir secara sukarela, namun dalam banyak hasil penelitian keilmuan

murni hukum dapat dibuktikan bahwa kewajiban untuk menghindari adanya unjust

enrichment itu tumpang tindih dengan kewajiban-kewajiban yang masuk dalam kategori

perikatan lainnya dalam suatu sistem yang oleh Kontrak sebagai nama Ilmu Hukum didefinisikan sebagai:

“Segenap kewajiban bagi setiap orang berjanji atau bersepakat dengan orang lain untuk memberikan, atau berbuat atau tidak berbuat sesuatu

terhadap atau untuk orang lain tersebut, atau berkenaan dengan segenap

kewajiban yang dituntut oleh hukum kepada setiap orang untuk memberikan

25Ketika skripsi ini ditulis, sedang ada begitu besar keinginan dari bangsa Indonesia untuk melakukan penataan

(10)

atau berbuat atau tidak berbuat sesuatu terhadap atau untuk orang lain apabila keadilan menghendaki meskipun tidak diperjanjikan sebelumnya”26

.

Memperhatikan definisi atau pengertian kontrak sebagai nama ilmu hukum sebagaimana dikemukakan di atas, berikut ini Penulis dapat memerlihatkan tempat dimana

unjust renricment itu dapat dicantolkan di dalam struktur definisi kontrak sebagai nama ilmu

hukum di atas. Bahwa di dalam struktur kontrak itu, kontrak yang dilihat sebagai suatu sistem kewajiban bagi setiap subyek hukum (orang), baik itu manusia maupun badan hukum seperti perusahaan penyedia jaringan maupun jasa telekomunikasi yang dibicarakan di dalam skripsi ini, terdiri dari kumpulan perikatan (obligations) atau kewajiban yang jumlahnya sangat banyak dan saling bahu-membahu: untuk setiap orang berbuat, tidak berbuat dan memberikan atau tidak memberikan sesuatu karena ada janji, ada perjanjian, tuntutan hukum dan keadilan.

Dalam struktur sistem kewajiban atau perikatan yang demikian itu, larangan unjust

enrichment dapat dicantolkan ke dalam kategori perikatan yang lahir karena hukum atau

karena ada tuntutan keadilan (Justice).

2.4. Arti Penting Unjust Enrichment bagi Telekomunikasi di Indonesia

Dalam rangka menemukan arti penting uraian hasil studi kepustakaan mengenai

unjust enrichmen tyang secara singkat telah Penulis eksplorasikan dan paparkan di atas, maka

Penulis merasa perlu untuk mengemukakan pengertian telekomunikasi yang ada di Indonesia sebagaimana dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan mengenai Telekomunikasi yang berlaku yaitu: “Setiap pemancaran, pengiriman, dan atau penerimaan dari setiap

26 Definisi atau pengertian mengenai Kontrak yang disebut sebagai nama Ilmu Hukum ini dapat dilihat dalam

(11)

informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, suara, dan bunyi melalui sistem kawat,

optik, atau sistem elektromagnetik lainnya”27.

Dalam kaitannya dengan interkoneksi telekomunikasi yang pada hakikatnya adalah suatu perjanjian sewa-menyewa, maka dalam hubungan hukum sewa-menyewa atau interkoneksi jaringan telekomunikasi antara para pelaku usaha jasa telekomunikasi yang menggunakan jaringan telekomunikasi di Indonesia juga dituntut oleh hukum untuk mencegah adanya kerugian yang ditimbulkan oleh unjust enrichment. UU Telekomonikasi nampaknya juga mengakui eksistensi atau keberadaan unjust enrichment tersebut. Hanya saja, apakah prinsip yang dikenal di dalam ilmu hukum sebagaimana telah Penulis kemukakan di atas untuk menghindari unjust enrichment itu sudah dipergunakan oleh lembaga-lembaga yang berwenangan untuk menguji penyelenggaraan jasa telekomunikasi di Indonesia? Hal itulah yang harus dianalisis lebih lanjut; terutama setelah Penulis memaparkan hasil penelitian terhadap Putusan KPPU Republik Indonesia No. 26 yang akan dikemukakan dalam Bab III berikut ini.

27

Referensi

Dokumen terkait

Asas iktikad baik adalah asas yang mengatur bahwa dalam membuat suatu kontrak atau perjanjian para pihak harus berdasarkan iktikad baik atau tidak ada niat jahat ( mens

pengertian Iklan Layanan Masyarakat atau Public Service Advertisement menurut Nuradi (1996) adalah jenis periklanan yang dilakukan oleh suatu organisasi komersial.. maupun

Penulis berpendapat bahwa hubungan hukum yang terjadi antara penyelenggara. jaringan telekomunikasi dan penyelenggara jasa telekomunikasi adalah

Sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu

Oleh sebab itu, seperti yang telah dikemukakan di atas oleh Penulis bahwa mengingat transaksi yang diadakan adalah transaksi perdagangan internasional, maka akan

Sedangkan prinsip yang kedua adalah untuk melindungi transaksi-transaksi perdagangan 44 : yaitu asas bahwa seseorang yang memperoleh suatu barang atau hak secara

Penelitian ini membahas mengenai kriptografi simetris dengan pola rumah adat Tongkonan. Jenis algoritma yang digunakan dalam penelitian ini adalah block cipher 64 bit

lebih besar dari output interface , kombinasi dari beberapa jenis traffic yang masuk dari beberapa input interface , serta faktor banyaknya pengguna dalam suatu