BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Alasan Pemilihan Judul
Alasan Penulis memilih judul Penulis memilih judul: “Unjust Enrichment dalam Interkoneksi Jaringan Telekomunikasi di Indonesia” mengingat topik tersebut belum pernah ditulis sebagai suatu skripsi oleh mahasiswa Fakultas Hukum UKSW Salatiga. Karena topik seperti itu belum pernah ditulis sebagai suatu skripsi, Penulis
ingin menulis mengenai topik tersebut?
Alasan selanjutnya, UU Telekomunikasi (UU No. 36 tahun 1999) dalam
Pasal 10 Ayat (1) mengatakan bahwa: “Dalam penyelenggaraan Telekomunikasi dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya preaktek
monopoli & persaingan usaha tidak sehat diantara penyelenggara telekomunikasi”.
Kemudian pengaturan yang kedua terdapat pada Pasal 10 Ayat (2) mengatakan bahwa: “Larangan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) sesuai dengan Peraturan
Perundang-undangan yang berlaku”.1
Maksud pengaturan di atas agar terjadi kompetisi yang sehat antar
penyelenggara telekomunikasi dalam melakukan kegiatannya. Peraturan Perundang-undangan yang menginginkan adanya kompetisi yang sehat tersebut adalah
1
undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat serta peraturan pelaksanaannya.2
Berkaitan dengan perundangan dalam bidang Telekomunikasi dan Larangan Anti Monopoli di atas, dalam putusan Perkara No. 26/KPPU-L/2007 oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia Penulis menemukan
adanya suatu tindakan yang mirip Unjust Enrichment Interkoneksi Jaringan
Telekomunikasi yang dapat dijelaskan sebagai berikut.
Sejumlah Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi ternyata terbukti mengadakan hubungan hukum yang tujuannya tidak hanya melanggar public policy dalam kegiatan bisnis di Indonesia supaya berkompetisi secara sehat, tetapi
perusahaan-perusahaan itu juga meraup keuntungan yang berlebihan (keuntungan yang tidak wajar) atau eksesif.
Para Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi tersebut telah menetapkan harga yang melebihi harga yang wajar, tidak eksesif dan seharusnya; yaitu harga per
SMS yang seharusnya di bawah 100 Rupiah per SMS menjadi 300 Rupiah per SMS. Sehingga akibatnya ada keuntungan 200 % dari keuntungan yang seharusnya seratus
rupiah (Unjust Enrichment).
Bahkan dalam kesimpulan pada Putusan No. 26/KPPU-L/2007, para Komisioner menilai bahwa ada kerugian dari konsumen pada umumnya yaitu
sebesar Rp. 2.827.700.000.000 atau dua trilyun delapan ratus dua puluh tujuh miliar tujuh ratus juta rupiah, sangat eksesif atau (Unjust Enrichment).
2
Penulis berpendapat bahwa keuntungan yang eksesif itu dalam Kontrak sebagai Nama Ilmu Hukum disebut dengan Unjust Enrichment suatu asas atau
prinsip hukum yang belum pernah ditulis selama ini oleh para Mahasiswa Fakultas Hukum UKSW Salatiga. Oleh sebab itu, Penulis memilih untuk meneliti dan
menulis karya tulis ilmiah dengan judul sebagaimana dikemukakan di atas.
1.2.Latar Belakang Masalah
Seperti telah Penulis kemukakan dalam alasan pemilihan judul di atas menurut Undang-Undang Telekomunikasi yaitu Undang-Undang No. 36 tahun
1999 dan Peraturan Pemerintah No.52 tahun 2000 tentang Penyelenggara Telekomunikasi baik penyelenggara jaringan maupun penyelenggara
Telekomunikasi mempunyai kewajiban untuk tidak melakukan usaha yang mengganggu persaingan usaha.
Di dalam Penjelasan Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undang No.36 tahun 1999 terdapat ketentuan bahwa:
“Dalam penyelenggaraan telekomunikasi dilarang melakukan kegiatan
yang dapat mengakibatkan terjadinya preaktek monopoli dan persaingan
usaha tidak sehat diantara penyelenggara telekomunikasi”. Sementara
itu, dalam Pasal 10 Ayat (2) dikatakan bahwa: “Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan
yang berlaku”.3
3
Satu dari contoh mengenai hubungan hukum penyelenggara jaringan maupun jasa Telekomunikasi yang melanggar ketentuan Undang-Undang di atas
tersebut adalah menyangkut perbuatan perjanjian yang di dalamnya terdapat klausula penetapan tarif SMS.
Tujuan dari pengaturan mengenai kewajiban untuk melakukan persaingan usaha secara sehat antara lain adalah: terciptanya bisnis yang kompetatif tetapi tidak saling menjatuhkan. Maksudnya, suatu bisnis tidak memakan bisnis yang
lainnya. Adapun tujuan pengaturan usaha sebagaimana dijelaskan pada Pasal 3 UU no 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat adalah: menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi
nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat; menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai
salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat; mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha; dan terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.4
Adapun latar belakang mengapa Penulis menulis topik ini sebagai obyek penelitian dan penulisan karya tulis ilmiah mengingat selama ini misalnya dalam
putusan perkara yang diputus oleh komisi pengawas persaingan usaha yaitu putusan perkara No.26/KPPU/-L/2007 ada yang meragukan jika Komisi tersebut dalam
pertimbangan hukumnya sejatinya belum memperhatikan kontrak. Namun Penulis merasa yakin bahwa sesungguhnya asas-asas maupun kaidah-kaidah larangan persaingan usaha dalam peraturan yang mengatur Telekomunikasi yang dirujuk
4
oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha itu adalah ada yang merupakan prinsip
kontraktual.
Hanya saja bagaimana asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang menjamin adanya persaingan usaha yang sehat dalam bisnis Telekomunikasi belum terlalu mendapat perhatian para Penulis terdahulu, terutama mahasiswa Fakultas Hukum
UKSW Salatiga yang menulis skripsi.
Setelah Penulis memperhatikan skripsi persaingan sehat yang pernah ditulis
sebelumnya, Penulis dapat memastikan bahwa belum ada penulis yang membicarakan bagaimana prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah yang menghendaki persaingan usaha sehat dari sudut pandang (perspektif) kontrak. Kaidah tersebut
adalah Unjust Enrichment.
Dalam kaitan dengan latar belakang penulisan hanya tulis ini, persaingan
usaha dipandang merupakan ekspresi kebebasan yang dimilki setiap individu dalam rangka bertindak untuk melakukan transaksi perdagangan di pasar. Persaingan
usaha diyakini sebagai mekanisme untuk dapat mewujudkan efisiensi dan kesejahteraan masyarakat. Bila persaingan dipelihara secara konsisten, akan tercipta kemanfaatan bagi masyarakat konsumen, yaitu berupa pilihan produk yang
bervariatif dengan harga pasar serta dengan kualitas tinggi. Sebaliknya, bila persaingan dibelenggu oleh peraturan-peraturan, atau dihambat oleh
perilaku-perilaku usaha tidak sehat dari perilaku-perilaku pasar, maka akan muncul dampak kerugian pada konsumen.5
5
Hukum yang mendikte supaya tidak ada anti monopoli membangun kerangka kerja dalam upaya mengatur keseimbangan kepentingan di antara para
pelaku usaha, juga keseimbangan kepentingan pelaku usaha dengan kepentingan masyarakat konsumen. Agar hukum anti monopoli dapat tetap menjaga
keharmonisan kepentingan di antara pelaku usaha dengan masyarakat, maka aturan atau policy anti monopoli harus dapat menjaga efektivitas dari persaingan usaha. Hal ini patut diperhatikan, karena seringkali kebijakan (policy) persaingan usaha
justru mengancam persaingan dengan motifasi yang membelenggu dan menghambat persaingan. Ancaman persaingan usaha lainnya juga dating dari para
pelaku usaha sendiri yang secara sengaja melakukan berbagai strategi bisnis yang menghambat persaingan.6
Salah satu ancaman dari pelaku usaha tersebut adalah dengan melakukan
perjanjian kartel. Perjanjian kartel merupakan salah satu perjanjian yang kerap kali terjadi dalam tindak monopoli. Secara sederhana, kartel adalah perjanjian satu
pelaku usaha dengan pelaku usaha persaingan untuk menghilangkan persaingan di antara keduanya.7
Dengan perkataan lain, kartel (cartel) adalah kerja sama dari
produsen-produsen produk tertentu yang bertujuan untuk mengawasi produksi, penjualan, dan harga serta untuk melakukan monopoli terhadap komoditas atau industri tertentu.8
Sementara itu dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kartel sebagai “(1) Organisasi perusahaan-perusahaan besar (negara dan sebagainya) yang
6
Ibid, hlm.,6
7
Henry Campbell Black, Black Law Dictionary, (St. Paul Minn West Publishing Co., 1999), hlm., 215.
8
memproduksi barang-barang sejenis. (2) Persetujuan sekelompok perusahaan dengan maksud mengendalikan harga komoditi tertentu.9
Sedangkan dalam Kamus Hukum Ekonomi ELIPS (1997:21) mengartikan kartel (cartel) sebagai “persekongkolan atau persekutuan di antara beberapa
produsen produk sejenis dengan maksud untuk mengontrol produksi, harga, dan penjualannya, serta untuk memperoleh posisi monopoli”. Dengan demikian, kartel
merupakan salah satu bentuk monopoli, di mana beberapa pelaku usaha (produsen)
bersatu untuk mengontrol produksi, menentukan harga, dan/ wilayah pemasaran atas suatu barang dan/ atau jasa, sehingga di antara mereka tidak ada lagi
persaingan.10
Padahal kegiatan kartel merupakan sebuah perjanjian palsu yang jelas-jelas bukan perjanjian serta dilarang dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999
tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dan tindakan para pelaku usaha yang melakukan praktik kartel tersebut adalah
merupakan tindakan yang melanggar etika dalam kegiatan hukum bisnis, terlebih lagi melawan hukum positif.
Di kebanyakan negara, pengertian kartel meliputi perjanjian antara para
pesaing untuk membagi pasar, mengalokasikan pelanggan, dan meneapkan harga. Kartel diakui sebagai kolaborasi bisnis yang paling merugikan, dengan cara
mengontrol pasar untuk keuntungan mereka.11
9
Mustafa Kamal Rokan, Lihat juga Richard A. Posner, Economic Analysis of Law, Fourth Edition, (Boston: Little, Brown and Company), hlm., 285.
10
Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia , 2004, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal., 55.
11
Secara klasik kartel dapat dilakukan melalui tiga hal, yakni dalam hal “harga”, “produksi”, dan wilayah pemasaran”. Terdapat dua kerugian yang terjadi
pada kartel yakni, pertama, terjadinya praktik monopoli oleh para pelaku kartel sehingga secara makro mengakibatkan inefisiensi alokasi sumber daya yang
dicerminkan dengan timbulnya deadweight loss. Kedua, dari segi konsumen akan kehilangan pilihan harga, kualitas yang bersaing, dan layanan purna jual yang baik.12
Pendekatan yang dilakukan illegalper se artinya “sejak semula dinyatakan tidak sah”, oleh karenanya perbuatan tersebut merupakan suatu perbuatan “yang
melanggar hukum”.Selanjutnya dikatakan, bahwa suatu perbuatan itu dengan
sendirinya telah melanggar ketentuan yang sudah di atur, jika perbuatan telah memenuhi rumusan dalam undang-undang persaingan usaha tanpa ada suatu
pembuktian.13 Penerapan illegal per se terhadap tindakan penetapan harga yang dilakukan oleh KPPU sudah tepat karena penetapan harga tersebut diakomodir oleh
pasar. Secara yuridis (hukum) terdapat 2 pendekatan yang dapat digunakan yaitu
illegalper se dan rule of reason.
Kartel dianggap sebagai illegalper se di negara-negara barat,14 sebab pada
kenyataan bahwa prince fixing dan perbuatan-perbuatan kartel mempunyai dampak
12
Farid Nasution dan Retno Wiranti, Kartel dan Problematikanya, Majalah Kompetisi (Jakarta, 2008), hlm., 4.
13
M. Yahya Harahap,”Beberapa Tinjauan Tentang Permasalahan Hukum”, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm., 28.
14
negatif terhadap harga dan output jika dibandingkan dengan dampak pasar yang kompetitif. Penetapan harga yang diadakan palaku usaha dengan pesaingnya
(horizontal prince fixing) untuk metetapkan harga barang pada pasar bersangkutan
yang sama (Pasal 5 Ayat (1)). Ketentuan ini dapat disimpangi apabila perjanjian
penetapan harga itu dibuat dalam suatu usaha patungan atau didasarkan pada Undang-Undang yang berlaku (Pasal 5 Ayat (2)).15 Adapun kartel jarang sekali menghasilkan efesiensi karena yang dihasilkan sangan kecil dibandingkan dengan
dampak tindakan-tindakannya. Suatu kartel apabila berhasil akan menjadikan keputusan-keputusan tentang harga dan output, seperti keputusan-keputusan yang
dikeluarkan oleh sebuah perusahaan pemonopoli mengakibatkan:
Pertama, kartel tersebut mendapatkan keuntungan-keuntungan monopoli
dari para konsumen yang terus menerus membeli barang atau jasa pada harga
kartel.
Kedua, terjadinya penempatan sumber secara salah yang mengakibatkan
oleh pengurangan output karena para konsumen seharusnya membeli pada harga yang kompetitif, selain terbuangnya sumber daya untuk mempertahankan keberadaan kartel itu sendiri.
Dampak dari adanya kartel sms adalah tidak hanya merugikan persaingan usaha tetapi juga kerugian konsumen secara materiil maupun immateriel. Saat ini,
peraturan perudang-undangan yang menjadi dasar hukum perlindungan konsumen adalah UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Sebelum disahkanya UU No. 8 Tahun 1999, perlindungan konsumen tersebar dalam berbagai peraturan
perundang-undangan di Indonesia.
Dalam Ketentuan Umum UU No. 8 Tahun 1999, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan: “konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa
yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,
orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.16
Pada kesempatan ini Penulis mencoba menggali kasus larangan monopoli tarif SMS yang di putus oleh KPPU. Kasus tersebut membuktikan ada pihak-pihak melakukan larangan monopoli tarif SMS, (sembilan operator seluler di Indonesia)
yang telah merugikan konsumen pemakai selular di Indonesia, yaitu Putusan Perkara Nomor: 26/KPPU-L/2007. Apakah larangan kartel (hukum ekonomi) tersebut sejalan dengan unjust unrichment dalam Kontrak?
Demikianlah persoalan yang melatarbelakangi penulisan dan penelitian karya tulis ini dan atas dasar itu melakukan penelitian Penulis sebagai berikut di
bawah ini:
1.3. Rumusan Masalah
Bagaimana Unjust Enrichment Interkoneksi Jaringan Telekomunikasi, di
Indonesia? (Studi Putusan No. 26/KPPU-L/2007).
1.4. Tujuan Penelitian
Adapaun tujuan dari penelitian dan penulisan adalah ingin menggambarkan bagaimana unjust enrichment Interkoneksi Jaringan Telekomunikasi di Indonesia.
1.5. Metodologi Penelitian
16
Metodologi Penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metodologi penelitian hukum. Yang dimaksud Penulis dengan metodologi hukum
dalam penelitian ini yaitu mencari kembali asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur larangan unjust enrichment dalam penyelenggaraan jasa
Telekomunikasi di Indonesia.
Sedangkan unit amatan dari penelitian hukum ini adalah: Undang-Undang Tentang Telekomunikasi (UU No.36 Tahun 1999); Peraturan Pemerintah Tentang
Penyelenggaraan Tentang Telekomunikasi (PP No.52 Tahun 2000); Undang-Undang No 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat; Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia yaitu Putusan No. 26/KPPU-L/2007; Unit analisa dalam penelitian ini adalah bagaimana asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur mengenai