• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1 802009143 Full text

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "T1 802009143 Full text"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

Pendahuluan

Indonesia merupakan negara berkembang yang terdiri dari berbagai suku, agama dan ras. Kemajemukan inilah yang melatarbelakangi perkembangan budaya yang berefek pada pola tingkah laku dalam suatu kelompok masyarakat. Ada banyak hal menyangkut budaya yang sangat memengaruhi tingkah laku masyarakat, salah satunya adalah praktek penggunaan pemali dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kehidupan bermasyarakat, pemali bukanlah hal yang asing di telinga masyarakat. Hal ini dibuktikan oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Imelda (2010) terhadap 83 orang dengan sampel acak melalui kusioner yang diisi secara online melalui website Polldaddy. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semua responden pernah mendengar tentang pemali. Kebanyakan dari mereka sering atau pernah mendengar pemali dari orang tua yaitu 58 responden (41%), dari nenek atau kakek 39 responden (28%), dan dari teman 33 responden (23%), dan lainnya 11 responden (8%). Responden yang menyatakan pemali berhubungan dengan agama adalah 12 responden (15% ), responden yang menyatakan pemali tidak berhubungan dengan agama adalah 68 responden (83%), dan responden yang tidak menjawab adalah 2 responden (2%).

(2)

Praktek penggunaan dan pengaruh pemali cukup kental terasa pada masyarakat di Kabupaten Toraja Utara Provinsi Sulawesi Selatan.

Keyakinan masyarakat Toraja terhadap pemali diwujudkan dalam perilaku taat dan tidak melanggar pemali yang diyakini dapat menghindarkan mereka dari konsekuensi berupa penyakit, gagal panen, maupun kejadian-kejadian buruk lainnya. Pandangan masyarakat mengenai pemali ialah sebuah ajaran yang diturunkan atau diwariskan oleh leluhur, berisikan aturan-aturan etis dan ritus serta simbol-simbol menghubungkan manusia secara khas dengan tatanan faktual, baik dengan yang ilahi, maupun dengan sesama manusia dan alam. Kepercayaan inilah yang membentuk pandangan hidup masyarakat Toraja dan menjadi budaya yang melekat dengan begitu kuatnya.

Meskipun banyak dari masyarakat Toraja yang mengatakan bahwa pemali tidak berlaku lagi seperti zaman dulu, karena sekarang orang telah memiliki kepercayaan kepada Tuhan atau beragama, namun hingga kini dalam kehidupan sehari–hari tanpa mereka sadari mereka tetap melakukannya. Salah satu bukti

(3)

Pola hidup tersebut terus berlangsung sampai saat ini, dan menjadi proses yang berkesinambungan dari generasi ke generasi, karena partisipan mewariskannya kepada anak dan cucu mereka.

Kajian Teoritik

Berikut akan dipaparkan teori-teori yang menjadi acuan dalam penelitian ini, meliputi teori tentang pemali, perilaku kesehatan, regulasi diri, aluk todolo serta penjelasan tentang suku Toraja.

Pemali

Pemali sering disebut dengan istilah taboo, berasal dari kata Polinesia. Istilah tersebut pertama kali digunakan oleh kapten James Cook. Farberow (dalam Evans, Averi, & Pederson, 1999) mengatakan bahwa dalam kata taboo terkandung makna yakni diperbolehkan dan dilarang, yang harus dan tidak boleh dilakukan, dimana pengembangannya dilakukan oleh masyarakat untuk para anggotanya dengan tujuan untuk melindungi diri dan sebagai motivasi untuk meningkatkan tradisi, sehingga dalam pemali terkandung konsep menjaga. Pemali mempunyai dua makna yang berlawanan arah, pada satu sisi ia berarti kudus dan suci, tetapi di sisi lain berarti aneh, berbahaya, terlarang, dan kotor.

Menurut Freud (2002) yang sedang kita hadapi adalah suatu bangsa primitif yang menerapkan seperangkat batasan atas diri mereka sendiri, ini dan itu dilarang tanpa alasan yang jelas.

(4)

mereka dan meyakini bahwa suatu pelanggaran secara otomatis akan mendapatkan hukuman yang lebih berat. Sedangkan menurut Kamal (2009) pemali adalah larangan sosial yang kuat, yang berkaitan dengan setiap area kegiatan manusia atau kebiasaan sosial yang dinyatakan sebagai suci dan terlarang. Orang Mesir kuno percaya bahwa pemali ditanamkan oleh dewa khususnya pada benda, tindakan, bangunan, dan bahkan individu. Mereka meyakini bahwa hanya pencipta yaitu dewa sendiri atau raja yang dapat mengubah pemali, sehingga bagi masyarakat Mesir kuno pemali merupakan gabungan dari agama, ritual larangan, dan penghindaran yang memengaruhi semua aspek kehidupan mereka.

(5)

Selanjutnya akan dijabarkan mengenai klasifikasi serta objek pemali menurut beberapa tokoh. Kamal (2009) mengklasifikasikan taboo dalam masyarakat Mesir kuno ke dalam dua bagian yaitu pemali mengkonsumsi makanan tertentu diantaranya babi, ikan, dan madu. Pemali terhadap tindakan misalnya tindakan yang dapat menyebabkan pencemaran di sungai nil, menerima suap atau sogokan, tindakan kriminal seperti pencurian dan pembunuhan, mengkonsumsi hewan kurban, merusak kesucian tempat yang dianggap suci.

(6)

Perilaku Kesehatan

Pada dasarnya setiap individu mempunyai keinginan untuk selalu berada dalam kondisi yang sehat dan normal, sehingga jika merasa kondisi kesehatan terancam atau terganggu diakibatkan oleh penyakit, maka mereka terdorong untuk melakukan sebuah upaya guna untuk mengembalikan dan meningkatkan kondisi kesehatan mereka. Pemahaman partisipan mengenai timbulnya penyakit tertentu diakibatkan karena pelanggaran terhadap pemali. Pemahaman serta keyakinan tersebut terbentuk berdasarkan pengalaman pribadi, serta informasi yang mereka dapatkan dari lingkungan terdekat, dan kemudian mendorong mereka untuk melakukan tindakan bertujuan untuk mempertahankan kondisi kesehatan mereka terlebih untuk pencegahan. Untuk menjelaskan lebih rinci, maka digunakan teori perilaku kesehatan dengan model regulasi diri dari Leventhal. Prinsip utama dari model ini adalah setiap orang akan membentuk representasi kognitif terhadap ancaman kesehatan, yang kemudian mengarahkan mereka untuk memilih sebuah tindakan yang dapat mengatasi ancaman tersebut.

(7)

Pemeliharaan kesehatan mencakup pencegahan atau perlindungan diri dari penyakit dan masalah kesehatan lain, meningkatkan kesehatan, dan mencari peyembuhan apabila sakit atau terkena masalah terkait dengan kesehatan. Menurut Saunders (dalam Foster & Anderson, 1986) munculnya berbagai masyarakat menciptakan suatu strategi adaptasi baru dalam menghadapi penyakit, suatu strategi yang memaksa manusia untuk menaruh perhatian utama pada pencegahan dan pengobatan penyakit. Dalam usaha untuk menanggulangi penyakit, manusia telah mengembangkan suatu kompleks luas dari pengetahuan, kepercayaan, teknik, peran, norma-norma, nilai-nilai, ideologi, sikap, adat-istiadat, upacara-upacara dan lambang-lambang yang saling berkaitan dan membentuk suatu sistem yang saling menguatkan dan saling membantu.

(8)

Menurut Leventhal (dalam Ogden, 2007) terdapat beberapa faktor–faktor yang dapat memprediksikan perilaku sehat meliputi :

- Faktor sosial, meliputi norma-norma sosial. Norma sosial bersifat mengikat, setiap norma yang terdapat dalam suatu masyarakat merupakan nilai-nilai sosial, yang harus ditaati dan dipatuhi oleh masyarakat setempat.

- Faktor genetik.

- Faktor emosional, meliputi rasa takut, cemas, dan depresi. Faktor emosional akan mengalami perubahan jika merasa dirinya dalam bahaya, sehingga munimbulkan emosi-emosi negatif.

- Persepsi terhadap gejala, meliputi pandangan setiap individu terhadap gejala-gejala suatu penyakit, banyak hal yang berperan dalam membentuk persepsi individu salah satunya yaitu kognisi.

- Keyakinan atau kepercayaan, keyakinan setiap individu terhadap suatu penyakit dapat memberi sumbangsih terhadap perkembangan penyakit serta perilaku mereka.

ModelRegulasi Diri

(9)

Tahap pertama yaitu interpretasi, individu menginterpretasikan gejala suatu penyakit yang timbul melalui dua jalur, yaitu persepsi gejala (symptom perception) dan pesan sosial (social messages). Persepsi gejala (symptom perception) dimana individu memahami dan menilai sebuah gejala berdasarkan pengalaman mereka, selain itu informasi tentang sebuah penyakit diperoleh oleh individu dari lingkungan sosial (keluarga, teman, tetangga, media). Persepsi terhadap gejala penyakit memengaruhi bagaimana seorang individu menafsirkan sebuah penyakit. Persepsi dipengaruhi oleh mood dan kognisi. Interpretasi individu terhadap gejala penyakit atau masalah membentuk sebuah representasi terhadap ancaman bagi kesehatan meliputi, identitas mencakup pemberian label pada penyakit, penyebab dari penyakit, konsekuensi atau akibat yang ditumbulkan, rentang waktu, dan pengobatan, selain hal tersebut, interpretasi individu terhadap sebuah penyakit memunculkan atau menimbulkan respon emosional terhadap ancaman kesehatan berupa rasa takut, cemas, dan depresi.

(10)

Saat menghadapi penyakit, seseorang akan mengembangkan strategi kopinguntuk kembali pada keadaan yang sehat dan normal.

(11)

Bagan 1. Model regulasi diri dari Leventhal (dalam Ogden, 2007)

Tahap 3:

Penilaian •Strategi koping yang

efektif?

Respon emosional

terhadap ancaman

kesehatan • Takut • Kecemasan • Depresi

Tahap 2: Koping • Pendekatan koping

•Penghindaran koping

Tahap 1: Interpretasi • Persepsi gejala • Pesan sosial →Penyimpangan dari norma

Gambaran ancaman

(12)

Suku Toraja

Sebelum berganti nama, Toraja dikenal dengan tondok lepongan bulan matarik allo. Pada umumnya suku Toraja menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 650.000 jiwa, dengan 450.000 di antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja. Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara sebagian menganut Islam dan kepercayaan yang dikenal dengan aluk to dolo. Kata Toraja berasal dari bahasa Bugis, to riaja yang berarti orang yang berdiam di negeri atas. Pemerintah kolonial Belanda menamai suku ini Toraja pada tahun 1909.

Suku Toraja terkenal akan ritual pemakaman, rumah adat tongkonan dan ukiran kayunya. Ritual pemakaman Toraja merupakan peristiwa sosial yang penting, biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa hari. Sebelum abad ke-20, suku Toraja tinggal di desa-desa otonom. Mereka masih menganut animisme dan belum tersentuh oleh dunia luar. Pada awal tahun 1900-an, misionaris Belanda datang dan menyebarkan agama Kristen. Masyarakat Toraja sejak tahun 1990-an mengalami transformasi budaya, dari masyarakat berkepercayaan tradisional dan agraris, menjadi masyarakat yang mayoritas beragama Kristen dan mengandalkan sektor pariwisata yang terus meningkat. Suku Toraja memiliki sedikit gagasan secara jelas mengenai diri mereka sebagai sebuah kelompok etnis sebelum abad ke-20.

(13)

suku Makassar, dan suku Mandar yang menghuni sebagian besar dataran rendah di Sulawesi daripada dengan sesama suku di dataran tinggi. Kehadiran misionaris Belanda di dataran tinggi Toraja memunculkan kesadaran etnis Toraja di wilayah Sa'dan Toraja, dan identitas bersama ini tumbuh dengan bangkitnya pariwisata di Tana Toraja. Sejak itu, Sulawesi Selatan memiliki empat kelompok etnis utama, yaitu suku Bugis (kaum mayoritas, meliputi pembuat kapal dan pelaut), suku Makassar (pedagang dan pelaut), suku Mandar (pedagang dan nelayan), dan suku Toraja yang merupakan petani di dataran tinggi (Wikipedia, 2012).

Aluk Todolo

Di kala masyarakat Toraja belum mengenal agama samawi, mereka mempercayai suatu keyakinan yang dikenal dengan aluk todolo. Aluk todolo sering pula disebut dengan nama alukta, singkatan dari aluk todolo. Aluk dalam bahasa Toraja artinya sama dengan agama, todolo dalam bahasa Toraja artinya sama dengan nenek semula. Menurut kepercayaan aluk todolo, Tuhan yang tinggi ialah Puang Matua, pencipta manusia pertama dan segala isinya. Totu Mampata artinya yang menciptakan manusia dan yang dimaksudkan ialah Puang Matua. Dalam bahasa sehari-hari seringkali orang berkata dalam merencanakan sesuatu: “kenaeloranni Totu Mampata” artinya jika dikehendaki pencipta kita, ialah Tuhan

Allah.

(14)

Pengawasan dan pertanggungjawab atas tertibnya kehidupan masyarakat, Puang Matua memberi kuasa Puang Titanan Tallu (Tri Maha Tunggal) yang terdiri dari puang banggai rante ialah dewata yang menguasai bumi dan isinya, tuang tulak padang ialah dewata yang menguasai isi bumi dan air, gaung tikembong dewata yang menguasai angkasa angin dan halilintar. Dewata adalah makhluk halus yang diberi kuasa besar oleh Puang Matua untuk mengawasi manusia dalam hidupnya di dunia ini dan menghukum siapa saja yang melanggar perintah Puang Matua. Manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan dijaga oleh roh halus sehingga jika dirusak maka dewata akan memberi hukuman malapetaka di dunia (Labuhari, 1997).

Setelah masuknya agama Kristen di Tana Toraja, situasi berangsur-angsur mulai berubah terutama sikap dan tata cara hidup yang bermasyarakat, meskipun belum seluruhnya meninggalkan tata cara hidup yang bersifat tradisional. Kehadiran agama dalam kehidupan masyarakat masih tetap berdampingan dengan kebiasaan-kebiasaan yang diturunkan oleh leluhur, seperti kepercayaan tentang hari-hari baik dan hari buruk, kepercayaan terhadap penyebab malapetaka misalnya melakukan perjalanan, menanam padi, dan melakukan perjalanan.

(15)

Manusia diwajibkan mempergunakan segala yang ada dalam dunia dan sekaligus menyembah Puang Matua dan deata-deata.

Dalam ajaran aluk to dolo dikenal tiga golongan deata yaitu deata tangga langi’ sang pemelihara di langit, deata kapadanganna sang pemelihara di bumi,

deata tangana padang pemelihara menguasai segala isi tanah. Selain ketiga golongan deata dalam ajaran aluk to dolo sesuai ketentuan sukaran aluk, maka manusia harus menyembah kepada tiga aturan yaitu Puang Matua, deata–deata, tomembali puang. Ajaran aluk to dolo mengonsepsikan adanya struktur dewa-dewa yang tersusun secara vertikal. Puang Matua dipandang sebagai dewa tertinggi yang berperan sebagai pencipta seluruh alam, sedangkan di pihak lain deata-deata berkedudukan sebagai pemelihara, penguasa, pengatur kehidupan ciptaan Puang Matua, dan tomembali Puang berkedudukan sebagai pengawas (Duli dan Hasanuddin, 2003).

Apabila salah seorang anggota keluarga dalam rumah selalu sakit, atau hidup seseorang selalu sial maka dipanggillah pemimpin agama tominaa untuk massuru-suru. Orang yang sakit atau orang tuanya yang merendahkan diri dan merenungkan kiranya keluarga atau anggota yang bersangkutan pernah melanggar aturan agama atau pernah berkhianat kepada orang tua, menyiksa binatang dan merusak tanaman. Kemudian yang bersangkutan “mengaku komba” menyesali

(16)

Dalam hal ini diadakan terkaan memakai biang, semacam rumput gajah dibelah di tengah malam diantara keluarga dengan doa: lamangaku komba’ ki’ langan Puang Totu Mampata. Ladi parokko mi tebiang, lama’ kada tongan diongbaliaran

ampa’ rantean tujo. Mantannako rara’ talingannako bulan, tang dipenduanni

tangdipetallunni”, artinya kiranya kita mengaku dengan tulus ikhlas dihadap

Allah. Biang ini akan berbicara benar dihamparan tikar di tengah kita. Demi saksi kebenaran yang murni, tepat dan jitu, tidak diulang. Ajaran seperti ini sedikit demi sedikit mulai ditinggalkan oleh masyarakat Toraja, walaupun orang-orang tua masih tetap bertahan dan semakin bermunculan orang yang berpendidikan ingin mempertahankan agama dan adat orang Toraja dengan adanya pengakuan juridis yang mengakui kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa.

Dalam aluk todolo terdapat beberapa hukum yang harus dipatuhi oleh penganutnya yang disebut dengan pemali, meliputi :

- Pemali urrusak pote dibolong, artinya tidak boleh mengganggu upacara penguburan orang mati.

- Pemali ma’ pangan buni, tidak boleh berzinah.

- Pemali unromok tatanan pasak, tidak boleh mengacau dipasar

- Pemali unteka’ palanduan, golongan budak dilarang kawin dengan

golongan tomakaka dan tokapua (bangsawan).

- Pemali massape-ao’, tidak boleh berangkat meninggalkan rumah pada hari yang sama dengan arah yang berbeda.

(17)

- Pemali umboko sunga’ na pedanta tolino, jangan membunuh sesama manusia.

- Pemali ma’ kada penduan, tidak boleh berdusta.

- Pemali unkasirisan deata misanta, jangan mengkhianati orang tua. - Pemali ungkattai bubun, jangan berak di sumur.

- Pemali umbala’ bala’ tomanglaa, jangan menyiksa anak gembala.

- Pemali meloko, dilarang mengambil barang di kuburan.

- Pemali umbala - bala’ patuoan, jangan menyiksa binatang ternak.

(18)

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Penelitian ini melibatkan lima partisipan, yang terdiri dari dua laki-laki dan tiga perempuan. Kelima partisipan berasal dan tinggal di kabupaten Toraja Utara, provinsi Sulawesi Selatan. Adapun karakteristik partisipan yaitu salah satu dari partisipan merupakan ketua adat dalam lingkungan Toraja, dikarenakan ketua adat merupakan orang yang lebih tahu mengenai latar belakang dan seluk beluk tentang pemali di Toraja. Partisipan merupakan masyarakat biasa yang masih meyakini dan menerapkan pemali dalam kehidupan sehari-hari. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu wawancara dan observasi. Dilakukan wawancara mendalam terhadap semua partisipan, selain itu peneliti melihat dan mengamati perilaku yang nampak dari partisipan. Data yang diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisa dengan menggunakan teknik analisa data kualitatif seperti yang diungkapkan oleh Miles dan Huberman (dalam Herdiansyah, 2010) yang terdiri dari pengumpulan data, reduksi data, display data, kesimpulan.

(19)

Hasil Penelitian

Semua partisipan dalam penelitian ini adalah masyarakat keturunan asli Toraja dari latar belakang keuturunan bangsawan yang bertempat tinggal di Kabupaten Toraja Utara. P1 merupakan ketua adat, sedangkan P2 hingga P5 merupakan masyarakat Toraja yang percaya dan taat terhadap pemali. Semua partisipan mendapatkan ajaran tentang pemali dari orang tua sejak mereka kecil. Mereka tumbuh dalam keluarga yang taat dan percaya terhadap pemali. Kelima partisipan memperoleh ajaran tentang pemali dari orang tua mereka, tergambarkan dalam situasi yang sama yaitu dalam situasi santai sehabis makan malam saat mereka sedang duduk di ruang tamu. Ajaran serta perilaku yang ditunjukkan lingkungan terdekat yang mencerminkan ketaatan terhadap pemali, menjadi dasar bagi partisipan untuk mulai memahami tentang pemali dan kemudian menggunakannya sesuai dengan konteksnya.

(20)

Bagi mereka pemali mempunyai tujuan yang baik, yaitu untuk menghindarkan mereka dari penyakit dan kejadian–kejadian buruk lainnya, serta untuk mengatur kehidupan mereka menjadi lebih baik. Berawal dari pemahaman tersebut, partisipan kemudian menerapkan pemali dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi kelima partisipan, pemali merupakan ketentuan yang berisikan larangan–

larangan pada perbuatan dan jenis makanan tertentu untuk dilakukan. Semua partisipan meyakini bahwa pemali berasal dari nenek moyang orang Toraja. Mereka membentuk dan menetapkan pemali sebagai sebuah ketentuan berdasarkan keyakinan yang mereka peluk saat itu yang dikenal dengan aluk todolo, kepercayaan yang tertuju kepada Tuhan Yang Maha Esa (Puang Matua). Mereka juga percaya bahwa pada zaman nenek moyang orang Toraja, terdapat pengantara yang menjadi penghubung manusia dengan Tuhan yaitu deata, bagi mereka deata mempunyai kedudukan yang sama dengan Tuhan Yesus. Pernyataan tersebut tampak berbeda dengan pernyataan yang diungkapkan oleh P2. Menurut P2 keyakinan nenek moyang orang Toraja pada zaman dahulu yaitu keyakinan tertuju kepada setan, sehingga ia percaya bahwa keyakinan tersebut menjadi landasan nenek moyang orang Toraja untuk membentuk dan menetapkan pemali.

(21)

Bagi P1 sudah layak dan sepantasnya selaku generasi penerus untuk menjaga dan melestarikan warisan dari leluhur yang merupakan bagian dari budaya Toraja.

Contoh–contoh pemali yang diutarakan oleh semua partisipan kecuali

partisipan keempat, yaitu pemali membawa pulang bambu ataupun kayu yang digunakan untuk membawa peti ke makam, pemali membongkar bangunan tempat menyimpan jenazah di lapangan upacara kematian, pemali memasak daging yang berasal dari acara kedukaan dengan daging yang berasal dari acara syukuran secara bersamaan dalam satu wadah, pemali memakan daging kerbau bersama sayur paku secara bersamaan, pemali berkunjung ke makam saat padi mulai tumbuh. Kelima partisipan meyakini bahwa pelanggaran terhadap pemali dapat menimbulkan konsekuensi berupa dosa dan karma, dalam bentuk penyakit, gagal panen, serta kejadian buruk lainnya.

(22)

Bagi kelima partisipan pesan dari orang tua terkait dengan pemali, menjadi tanda atau bukti bahwa mereka yang dalam hal ini adalah orang tua para partisipan pernah menyaksikan dampak tersebut, sehingga pemali menjadi sebuah pesan dari orang tua kepada anak–anaknya. Keyakinan serta pandangan tersebut semakin diperkuat oleh pengalaman partisipan yang pernah menyaksikan dan mengalami dampak secara langsung, sehingga bagi mereka pesan tersebut benar.

Beberapa contoh-contoh pemali yang berbeda yang diutarakan oleh kelima partisipan. Bagi P, pemali mengambil benda–benda orang yang telah meninggal

(23)

Semua partisipan meyakini bahwa pelanggaran terhadap pemali akan menimbulkan dampak, oleh karena itu harus berujung pada sebuah pengakuan sebagai wujud penyesalan dan pertobatan serta memohon pengampunan kepada Tuhan. Tindakan tersebut merupakan sebuah upaya yang diyakini partisipan dapat menyembuhkan mereka dari penyakit.

Pembahasan

Fokus penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana pemahaman dan penggunaan pemali oleh masyarakat Toraja dalam kaitannya dengan perilaku kesehatan. Untuk memahami proses tersebut, penting untuk mengetahui terlebih dahulu tentang perilaku kesehatan. Menurut Leventhal (dalam Ogden, 2007) faktor–faktor yang memprediksikan perilaku sehat yaitu faktor sosial, meliputi norma-norma sosial, meniru, penguatan, dan belajar. Norma sosial bersifat mengikat, setiap norma yang terdapat dalam suatu masyarakat merupakan nilai-nilai sosial yang harus ditaati dan dipatuhi oleh masyarakat setempat. Perilaku yang ditunjukkan oleh kedua orang tua dan lingkungan terdekat mereka yang mencerminkan ketaatan terhadap pemali, perlahan-lahan mereka tiru dan aplikasikan dalam kehidupan sehari–hari, hingga pada akhirnya menjadi sebuah nilai yang menjadi acuan mereka dalam berperilaku.

(24)

Rasa takut dan cemas timbul dalam diri partisipan saat membayangkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi pada diri mereka jika melanggar pemali. Emosi tersebut timbul saat mereka berada dalam situasi berbahaya, yaitu sebuah situasi yang dihadapkan pada partisipan jika dilakukan maka terjadi pelanggaran pemali. “Rasa takut, kalau diperbuat itu nanti betul-betul terjadi bagaimana mi kita nanti”. Emosi negatif berupa rasa takut dan

cemas akan hilang jika partisipan mengambil sebuah tindakan yaitu tidak melanggar pemali, dengan sebuah keyakinan yang mereka pegang bahwa jika mereka taat dan tidak melanggar pemali maka dampak buruk tidak akan menimpa mereka. Menurut Leventhal dkk (1980) jika ketakutan memainkan peranan dalam tindakan jangka panjang kemungkinan karena memiliki pengaruh pada ingatan.

(25)

medis berupa obat-obatan melainkan dengan pengakuan. Pengalaman tersebut menjadi sebuah bukti pembenaran terhadap pesan yang diajarkan oleh orang tua mereka “Karena saya sudah coba to, na benar-benar mau ada akibatnya ’’.

Menurut Carver, Scheier, Vohs dan Baumeister (dalam Wit & Ridder, 2006 ) istilah regulasi diri sering digunakan untuk mengacu pada upaya manusia untuk mengubah pikiran, perasaan, keinginan, dan tindakan, dalam mencapai tujuan mereka. Menurut Hagger dan Orbell (wearden & Peters, 2008) model regulasi diri memberikan kerangka untuk membantu memahami peran faktor kognitif dan persepsi dalam menanggapi dan mengelola berbagai penyakit kronis dan ancaman lain terhadap kesehatan.

(26)

Konsekuensi berupa penyakit tidak hanya berlaku pada pemali tersebut, namun bagi partisipan hampir semua pelanggaran pada contoh pemali lainnya dapat menimbulkan penyakit. Sebab kita tidak lihat itu kita kenna’ apakah mata kita buta, apakah kita pincang, apakah perut kita bengkak, banyak macam”.

Hasil dari pengolahan informasi menurut model regulasi diri (Benyamini, Gozlan, & Kokia, 2004) adalah representasi kognitif terhadap ancaman kesehatan (identitas, penyebab, konsekuensi, rentang waktu, dan pengobatan) serta respons emosional berupa takut dan cemas. Rasa takut yang timbul pada diri partisipan, berlandaskan pada sebuah keyakinan yang mereka pegang bahwa jika melanggar pemali, maka dampak yang akan timbul menimpa mereka yaitu berupa penyakit. Selain itu, rasa takut terhadap penyakit yang akan timbul yang dapat berujung pada kematian, menjadi landasan timbulnya munculnya emosi-emosi negatif. “ Ada rasa takut, takut nanti kita sakit atau kita mati”. Untuk mengatasi ancaman terhadap kesehatan serta untuk menurunkan respons emosi, maka partisipan terdorong untuk melakukan sebuah upaya guna mencegah dari penyakit serta meningkatkan kesehatan mereka yaitu dengan taat terhadap pemali.

Bagi partisipan penyakit yang timbul akibat pelanggaran pemali, tidak dapat disembuhkan dengan bantuan medis, sehingga upaya yang dilakukan ialah mengadakan sebuah pengakuan sebagai bentuk penyesalan dan pertobatan serta memohon ampun kepada Tuhan. “ Iya kalau itu terjadi kita itu mulai koreksi diri,

mungkin ada pelanggaran pemali yang saya perbuat ini. Kita pergi sama orang

yang dituakan itu di dalam masyarakat, tanya -tanya saya pernah melanggar

(27)

Di situ kita dikasih tahu, pergi di tongkonan mengaku di tongkonan bahwa ini

tidak saya sengaja, tapi ini kelalaian saya, saya perbuat saya mengaku mohon

Tuhan dengarkan doa saya”.

Semua partisipan meyakini bahwa upaya yang mereka lakukan untuk menghindarkan diri atau pencegahan dari konsekuensi berupa penyakit yaitu dengan percaya dan taat terhadap pemali. Bagi mereka taat terhadap pemali merupakan sebuah tindakan yang efektif yang dapat mencegah timbulnya penyakit yang akan menimpa diri mereka, yang kemudian mereka terapkan dalam kehidupan sehari-hari “ Memang itu sudah pengalaman, orang yang taat kepada pemali-pemali itu banyak manfaatnya, tapi orang yang sudah tidak menghiraukan

pemali lagi, itu nampak juga dalam hidupnya itu, pasti ada hukum karmanya

itu”. Bagi partisipan tindakan tersebut efektif untuk mencegah penyakit, sehingga

mereka menerapkannya guna menjaga kondisi mereka untuk tetap sehat dan mencegah timbulnya penyakit. Keyakinan dan tindakan tersebut kemudian mereka teruskan dan ajarkan kepada anggota keluarga.

(28)

Penghormatan kepada hal-hal yang berbahaya merupakan sebuah upaya yang dilakukan oleh partisipan agar tidak terkontaminasi dengan penyakit yang dapat mengancam kesehatan mereka.

Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data yang dilakukan, maka diperoleh kesimpulan mengenai pemahaman dan penggunaan pemali oleh masyarakat Toraja dalan kepentingannya dengan perilaku kesehatan sebagai berikut. Pemali merupakan sebuah ajaran yang diturunkan oleh nenek moyang orang Toraja, berisikan larangan-larangan pada perbuatan dan objek tertentu, jika dilanggar dapat menimbulkan dampak berupa penyakit, gagal panen, serta kejadian-kejadian buruk lainnya. Bagi kelima partisipan, pemali mempunyai tujuan dan manfaat yang baik yaitu untuk menghindarkan mereka dari kemalangan-kemalangan khususnya penyakit, serta untuk mengatur kehidupan mereka untuk menjadi lebih baik. Kelima partisipan memiliki pemahaman bahwa ketidaktaatan terhadap pemali dapat menimbulkan dampak berupa penyakit, sehingga upaya yang mereka lakukan untuk mencegah timbulnya dampak tersebut yaitu dengan percaya dan taat terhadap pemali. Rasa takut dan cemas terhadap penyakit yang akan timbul kerap kali mewarnai kehidupan partisipan. Hal tersebut kemudian menjadi motivasi partisipan untuk taat dan patuh terhadap pemali.

(29)

lewat pengalaman serta informasi yang mereka dapatkan dari orang-orang terdekat. Berawal dari pemahaman tersebut kemudian mendorong mereka untuk menerapkannya. Tindakan tersebut merupakan sebuah upaya yang membuat mereka keluar dari kondisi takut dan cemas. Pandangan partisipan terhadap sebuah penyakit khususnya menjadi penyebab timbulnya penyakit, menjadi dasar perkembangan penyakit itu sendiri serta menjadi acuan bagi individu untuk memilih sebuah langkah yang dapat mengobati terlebih untuk mencegah timbulnya penyakit.

Dari hasil penelitian yang diperoleh, saran yang dapat diberikan peneliti dari penelitian ini yaitu :

1. Bagi ketua adat dan tokoh-tokoh masyarakat Toraja, diharapkan untuk selalu mengupayakan dan mengajak masyarakat Toraja untuk menjaga nilai-nilai yang terkadung dalam pemali yang dianggap masih relevan dengan situasi saat ini, pemali-pemali yang dapat diterima secara umum oleh masyarakat Toraja, contohnya yaitu pemali untuk melakukan tindakan kriminal, serta pemali-pemali yang bertujuan untuk menjaga budaya dan adat Toraja.

(30)
(31)

Daftar Pustaka

Benyamini, Y., Gozlan, M., & Kokia, E. (2004). On the Self-Regulation of a Health Threat:Cognitions, Coping, and Emotions Among Women

Undergoing Treatment for Infertility. Cognitive Therapy and Research, 28, 5.Diakses Agustus, 06, 2014 dari :

http://link.springer.com/article/10.1023/B%3ACOTR.0000045566.97966.22 Chu, M. P. (2009). Chinese cultural taboos that affect their language and behavior

choices. Asian culture and history, 1, 2. Diakses Agustus 16, 2013, dari www.ccsenet.org/journal.html.

Conner, M. (2002). Health behaviors. University of Leeds UK.

Duli, A., & Hasanuddin. ( 2003). Toraja Dulu dan Kini. Makassar : Pustaka Refleksi.

Evans, W. R., Averi, G. P., & Pederson, V. P. (1999). Taboo topics: Cultural restraint on teaching social issue. The social Studies, 90, 5. Diakses Agustus 07, 2014 dari : http://web.b.ebscohost.com/ehost/detail/detail?sid=9e3b00b0-

1140-4925-86f8-0e9d2d8e80d0%40sessionmgr111&vid=0&hid=112&bdata=JnNpdGU9ZWh vc3QtbGl2ZQ%3d%3d#db=pbh&AN=2215244

Foster. G. M., & Anderson, B. A. (1986). Antropologi Kesehatan. Jakarta : Universitas Indonesia.

Freud, S.(2002). Totem and Tabu. Yogyakarta : Jendela.

Herdiansyah, H. (2010). Metodologi penelitian kualitatif. Jakarta: Salemba humanika

Imelda, D. (2010). Pemali dan Logikanya. Diakses Agustus 19, 2013 dari: http://www.google.com/#hl=en&q=pamali+dan+logikanya+daisy+imelda&spell= 1&s

Kalua, A, R. (2010). Toraja Tallu Lembangna. Jakarta : Keluarga Besar Tallu Lembangna.

(32)

Leventhal, H., Meyer, D., & Nerenz, D. (1980). The common sense representation of

illnes danger. Medical Psychology, 11. Diakses Mei 27, 2014 dari : http://www.academia.edu/259452/The_Common_Sense_Representation_o f_Illness_Danger.

Notoatmodjo, S. (2005). Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasinya. Jakarta : PT Rineka Cipta.

Ogden, J. ( 2007). Health Psychology (Fourth edition). New York : Two Penn Plaza.

Steiner, F. (1956). Taboo. Australia : Penguin Books.

Wearden, A., & Peters, S. (2008). Therapeutic techniques for interventions based on Leventhal’s common sense model. Health Psychology, 13, 189-193. Diakses Agustus 06, 2014 dari : www.bpsjournals.co.uk

Referensi

Dokumen terkait

Bale Seni Barli Kota Baru Parahyangan sebagai destinasi wisata seni yang. bermuatan edukasi dan menyenangkan dengan mengembangkan

Hasil pengujian didasarkan pada hasil uji dengan menggunakan Crosstabs (tabel silang) serta melihat hasil uji Pearson Chi- Square yang dibandingkan dengan nilai

Penelitian pada organisasi sektor publik misalnya Refikha (2009) yang melakukan penelitian tentang pengaruh partisipasi anggaran dan komitmen organisasi terhadap kinerja

pembuangan dan itu mengakibatkan dampak bagi lingkungan di sekitar tetapi sekarang banyak ditemukan cara atau solusi untuk menangani dampak-dampak yang dihasilkan oleh limbah,

Berdasarkan dari hasil penelitian bulan Oktober 2019, maka disimpulkan efisiensi kerja alat optimum untuk alat gali muat adalah 73,0 %, alat angkut 68 % dan produktivitas

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik jenis mesin, exhaust type, jenis bahan bakar, distribusi umur kendaraan, jarak tempuh kendaraan (VKT),

bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 13 tahun 2010 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pencalonan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan

Hasil pengamatan aktivitas enzim esterase pada populasi nyamuk dari ketiga desa menunjukkan bahwa persentase nyamuk yang mengalami peningkatan aktivitas enzim esterase yang