• Tidak ada hasil yang ditemukan

Suatu Studi Deskriptif Mengenai Schwartz's Values pada Remaja Batak Karo di Bandung.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Suatu Studi Deskriptif Mengenai Schwartz's Values pada Remaja Batak Karo di Bandung."

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAKSI

Penelitian ini dilaksanakan untuk mennetahui banaimana nambaran Schwartz’s values pada remaja Batak Karo di Bandunn. Sampel pada penelitian ini adalah 203 remaja Karo di Bandunn, sebanian besar berjenis kelamin perempuan, mahasiswa, berusia 22 tahun, beranama Kristen, tinnnal di Bandunn ± 1tahun, kos dan memiliki oranntua suku Karo.

Alat ukur yann dinunakan adalah Portrait Value Questionnaire (PVQ) yann dikembannkan oleh Schwartz, 1992. Penelitian ini dilakukan dennan metode survei. Data yann diperoleh berskala ordinal, selanjutnya diolah dennan mennnunakan Smallest Space Analysis (SSA) dennan mennnunakan pronram Hebrew University Data Analysis Packane (HUDAP) dan SPSS versi 13.

Data diolah melalui tina cara yaitu content, structure dan hierarchy Schwartz’s values. Dalam content, kesembilan Schwartz’s values yaitu universalism, benevolence, conformity, tradition, security, power, achievement, dan hedonism teridentifikasi dan memiliki renion masinn-masinn, sedannkan self-direction dan stimulation ternabunn dalam satu renion. Dalam structure, hubunnan compatibilities dan conflict antar values teridentifikasi sesuai dennan teori Schwartz. Hierarchy values pada penelitian ini adalah universalism, benevolence, security, conformity, self-direction, achievement, stimulation, tradition, hedonism dan power.

Saran yann diajukan untuk penelitian selanjutnya adalah melakukan penelitian mennenai perbandinnan Schwartz’s values pada budaya lain seperti budaya suku Batak lain dan Jawa dan pada remaja dennan oranntua yann berasal dari satu suku dan suku campuran. Selain itu disarankan juna untuk melakukan penelitian Schwartz’s values pada tahap perkembannan yann berbeda.

(2)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR JUDUL i

LEMBAR PENGESAHAN ii

ABSTRAK iii

KATA PENGANTAR iv

DAFTAR ISI vii

DAFTAR TABEL xii

DAFTAR LAMPIRAN xiii

TAT I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah………..1

1.2. Identifikasi Masalah………....….12

1.3. Maksud Dan Tujuan Penelitian………...12

1.4. Kegunaan Penelitian………...12

1.5. Kerangka Pikir………...…13

1.6. Asumsi Penelitian………...23

TAT II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Values………...26

2.1.1. Definisi Value………...26

2.1.2. Tipe-tipe Values………....26

2.1.3. Dinamika dan struktur values………...30

2.1.3.1. Compatibilities………...31

2.1.3.2. Conflict……….32

(3)

2.1.4. Faktor-faktor yang mempengaruhi value………....33

2.1.4.1. Usia………...33

2.1.4.2. Pendidikan………34

2.1.4.3. Pekerjaan………..34

2.1.4.4. Tempat tinggal………..34

2.1.4.5. Jenis kelamin………35

2.1.4.6. Latar belakang sosial………36

2.1.4.7. Sikap dan perilaku………....37

2.1.4.7.1. Agama………37

2.1.4.7.2. Politik……….38

2.2. Transmission Values………...40

2.2.1. Enkulturasi dan sosialisasi………..40

2.3. Kebudayaan Batak………..45

2.3.1. Identifikasi………..45

2.3.2. Aspek budaya Karo………...47

2.3.3. Jati diri suku Karo………...48

2.3.4. Mata pencaharian hidup………..49

2.3.5. Sistem kekerabatan………...50

2.3.5.1.Perkawinan……….50

2.3.5.2. Kelompok kekerabatan………..51

2.3.5.3. Hubungan antara kelompok-kelompok kekerabatan………52

2.3.6. Sistem kemasyarakatan………..53

(4)

2.3.7. Sumbann si siwah pada masyarakat Karo…………..55

2.3.8. Daliken si telu masyarakat Batak Karo: Satu kajian sistem kekerabatan sebagai sarana pengendalian sosial ...59

2.4. Remaja...65

2.4.1. Perkembangan kognitif dan kognisi sosial...65

2.4.2. Remaja dan keluarga...66

2.4.3. Remaja dan teman sebaya...66

2.4.4. Remaja dan sekolah...67

2.4.5. Remaja dan media massa...67

TAT III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Rancangan Penelitian...68

3.2. Skema Rancangan Penelitian...68

3.3. Variabel Penelitian Dan Definisi Operasional………...69

3.3.1. Variabel Penelitian……….69

3.3.2. Definisi Operasional………..69

3.4. Alat Ukur………...71

3.4.1. Kuesioner………...71

3.4.2. Validitas Dan Reliabilitas Alat Ukur………...72

3.4.2.1. Validitas alat ukur………...72

3.4.2.2. Reliabilitas alat ukur………...73

3.4.3. Prosedur Pengisian………...74

3.4.4. Sistem Penilaian………...74

(5)

3.4.5. Data Penunjang………...74

3.5. Populasi Sasaran dan Teknik Pengambilan Sampel...75

3.5.3. Populasi sasaran………...75

3.5.4. Karakteristik populasi………..75

3.5.5. Teknik pengambilan sampel………75

3.6. Teknik Analisa………...75

3.6.3. Content………76

3.6.4. Structure………..76

3.6.5. Hierarchy………76

TAT IV HASIL DAN PEMTAHASAN 4.1. Gambaran Responden………77

4.1.1. Tabel Jenis Kelamin………..77

4.1.2. Tabel Pendidikan………...78

4.1.3. Tabel Usia ……….78

4.1.4. Tabel Agama………..79

4.1.5. Tabel Lama Tinggal di Bandung………..79

4.1.6. Tabel Tempat Tinggal Responden………...80

4.1.7. Tabel Suku Orangtua……….81

4.7.1.1. Tabel suku ayah………..81

4.7.1.2. Tabel suku ibu………....81

4.2. Hasil ………..82

4.2.1. Content……….82

4.2.2. Structure………...85

(6)

4.2.3. Hierarchy………..86

4.3. Pembahasan………87

4.3.1. Content………..87

4.3.2. Structure……… ...93

4.3.3. Hierarchy………...95

TAT V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan………105

5.2. Saran………..106

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR RUJUKAN

LAMPIRAN

(7)

DAFTAR TATEL

3.1 Alat ukur 71

3.2. Validitas 72

3.3 Reliabilitas 73

4.1.1 Jenis Kelamin Responden 77

4.1.2 Pendidikan responden 78

4.1.3 Usia responden 78

4.1.4 Agama responden 79

4.1.5 Lama tinggal responden 79

4.1.6 Tempat tinggal responden 80

4.1.7.1 Suku ayah 81

4.1.7.2 Suku ibu 81

4.2.1. Multidimensional Space 82

4.2.2 Pearson’s Correlation antar values 85

4.2.3. Hierarchyvalues Schwartz’s 86

DAFTAR LAMPIRAN

1 Portrait Value Questionaire 1

2 Hasil PVQ 9

3 Data Penunjang 16

4 Hierarchy Values pada remaja laki-laki Karo di Bandung 61 5 Hierarchy Values pada remaja perempuan Karo di Bandung 62 6.1 Hierarchy Values pada remaja Karo di Bandung dengan usia 22 63 6.2 Hierarchy Values pada remaja Karo di Bandung dengan usia 21 64 6.3 Hierarchy Values pada remaja Karo di Bandung dengan usia 20 65 6.4 Hierarchy Values pada remaja Karo di Bandung dengan usia 19 66 6.5 Hierarchy Values pada remaja Karo di Bandung dengan usia 18 67

(8)

7.1 Hierarchy Values pada remaja Karo di Bandung dengan pendidikan

SMA

68

7.2 Hierarchy Values pada remaja Karo di Bandung dengan pendidikan

Universitas

69

8.1 Bahasa yang digunakan di rumah 70

8.2 Bahasa yang digunakan di lingkungan akademik 70

8.3 Bahasa yang digunakan di lingkungan rumah 71

9.1 Mayoritas suku di lingkungan rumah 72

9.2 Mayoritas suku di lingkungan akademis 73

10 Peran orangtua menanamkan nilai Batak Karo pada remaja Karo di

Bandung

74

11 Contoh nilai yang ditanamkan orangtua pada remaja Karo di Bandung 74

12 Pengaruh peran orangtua pada nilai Karo yang ditanamkan pada

remaja Karo di Bandung

75

13 Bentuk pengaruh nilai yang ditanamkan orangtua pada remaja Karo di

Bandung

75

14 Keluarga menanamkan tradisi atau budaya Karo pada remaja Karo di

Bandung

76

15 Contoh tradisi atau budaya Karo yang ditanamkan oleh keluarga pada

remaja Karo di Bandung

76

16 Pengaruh keluarga terhadap tradisi atau budaya Karo yang dianut oleh

remaja Karo di Bandung

77

17 Bentuk pengaruh keluarga terhadap tradisi atau budaya Karo yang

dianut oleh remaja Karo di Bandung

77

18 Hubungan remaja Karo di Bandung dengan orang dewasa lain yang

berasal dari budaya Karo

78

19 Hubungan remaja Karo di Bandung dengan orang dewasa lain yang

berasal dari budaya lain

78

20 Pengaruh orang dewasa terhadap tradisi atau nilai yang dianut oleh

remaja Karo di Bandung

78

(9)

21 Bentuk pengaruh orang dewasa terhadap tradisi atau nilai yang dianut

oleh remaja Karo di Bandung

79

22 Lingkungan akademis memiliki pengaruh terhadap tradisi atau nilai

yang dianut oleh remaja Karo di Bandung

79

23 Bentuk pengaruh lingkungan akademis terhadap tradisi atau nilai yang

dianut oleh remaj Karo di Bandung

80

24 Hubungan remaja Karo di Bandung dengan teman yang berasal dari

budaya Karo

80

25 Hubungan remaja Karo di Bandung dengan teman yang berasal dari

budaya lain

81

26 Pengaruh teman terhadap tradisi atau nilai budaya yang dianut oleh

remaja Karo di Bandung

81

27 Bentuk pengaruh teman terhadap tradisi atau nilai budaya yang dianut

oleh remaja Karo di Bandung

82

28 Keikutsertaan remaja Karo di Bandung dengan organisasi atau

perkumpulan sesuku di lingkungan rumah / kampus/sekolah

82

(10)

(11)

Lampiran 4.

Hierarchy values pada remaja laki-laki Karo di Bandung

4.8604 .56673

4.8209 .57713

4.7365 .69722

4.7297 .68601

4.7128 .77712

4.6577 .78022

4.4628 .93604

4.4459 .68655

3.9910 1.17297

(12)

Lampiran 5

Hierarchy values pada remaja perempuan Karo di Bandung

4.8585 .54022

4.8527 .51631

4.8463 .58653

4.7597 .64756

4.5911 .78184

4.5000 .81490

4.4806 .65819

4.3876 .95724

3.9406 1.04287

(13)

Lampiran 6

6.1Hierarchy values pada remaja Karo di Bandung dengan usia 22

Values Mean Std. Deviation

Universalism 4.8606 .65480

Security 4.8509 .62209

Benevolence 4.8045 .58865

Conformity 4.7591 .54849

Achievement 4.6955 .64315

Self direction 4.6409 .79461

Tradition 4.4864 .63723

Stimulation 4.4485 .89170

Hedonism 4.0121 1.10919

(14)

6.2Hierarchy values pada remaja Karo di Bandung dengan usia 21

Rangking Values N Mean Std. Deviation

1 Universalism 30 4.788889 .6204271

2 Conformity 30 4.775000 .6576801

3 Benevolence 30 4.733333 .6294953

4 Security 30 4.700000 .6533732

5 Self-direction 30 4.625000 .7592816

6 Stimulation 30 4.600000 .7499681

7 Achievement 30 4.441667 .9089671

8 Tradition 30 4.200000 .6242237

9 Hedonism 30 4.088889 .9862399

(15)

6.3. Hierarchy values pada remaja Karo di Bandung dengan usia 20

Rangking Values N Mean Std. Deviation

1 Universalism 35 4.8762 .58904

2 Conformity 35 4.8286 .68538

3 Benevolence 35 4.8071 .66445

4 Security 35 4.7943 .50756

5 Self-direction 35 4.6214 .88777

6 Stimulation 35 4.5524 1.17140

7 Tradition 35 4.5071 .70577

8 Achievement 35 4.4571 1.03875

9 Hedonism 35 4.0095 1.14471

(16)

6.4Hierarchy values pada remaja Karo di Bandung dengan usia 19

Rangking Values N Mean Std. Deviation

1 Benevolence 31 4.8468 .66670

2 Universalism 31 4.8172 .47210

3 Conformity 31 4.8145 .51627

4 Self-direction 31 4.7097 .73625

5 Security 31 4.6903 .48398

6 Tradition 31 4.5403 .59895

7 Stimulation 31 4.2903 .89336

8 Achievement 31 4.2661 1.01023

9 Hedonism 31 3.6129 1.19597

(17)

6.5Hierarchy values pada remaja Karo di Bandung dengan usia 18

Rangking Values N Mean Std. Deviation

1 Security 38 4.8947 .52347

2 Benevolence 38 4.8224 .56326

3 Universalism 38 4.8114 .47168

4 Conformity 38 4.7829 .65546

5 Self-direction 38 4.5526 .73328

6 Tradition 38 4.4342 .73907

7 Stimulation 38 4.4298 .79377

8 Achievement 38 4.4079 .90498

9 Hedonism 38 3.7982 .96029

(18)

Lampiran 7

Hierarchy values pada remaja Karo di Bandung berdasarkan jenjang pendidikan

7.1. Hierarchy values pada remaja Karo di Bandung dengan pendidikan

SMA

Rangking Values N Mean Std. Deviation

1 Stimulation 14 4.9286 .77546

2 Conformity 14 4.9107 .46624

3 Self-direction 14 4.8750 .80712

4 Benevolence 14 4.7857 .64194

5 Achievement 14 4.7321 .89046

6 Universalism 14 4.6190 .81762

7 Security 14 4.6143 .44003

8 Hedonism 14 4.1667 1.34450

9 Tradition 14 4.0714 .69634

(19)

7.2 Hierarchy values pada remaja Karo di Bandung dengan pendidikan

mahasiswa

Rangking Values N Mean Std. Deviation

1 Universalism 189 4.8686 .55538

2 Security 189 4.8222 .59298

3 Benevolence 189 4.8161 .60218

4 Conformity 189 4.7725 .63200

5 Self-direction 189 4.6177 .77766

6 Tradition 189 4.4974 .65740

7 Achievement 189 4.4683 .85617

8 Stimulation 189 4.4533 .90622

9 Hedonism 189 3.9436 1.07094

(20)

Lampiran 8

Tabel 8.1. Bahasa yang digunakan di rumah

Bahasa yang digunakan Frekuensi Persentase

Batak 1 0,5

Campuran 7 3,4

Karo 9 4,4

Indonesia 186 91,6

Total 203 100,0

Tabel 8.2. Bahasa yang digunakan di kampus

Bahasa yang digunakan Frekuensi Persentase

Batak 1 0,5

Campuran 1 0,5

Sunda 6 3,0

Indonesia 195 96,1

(21)

Tabel 8.3. Bahasa yang digunakan di lingkungan rumah

Bahasa yang digunakan Frekuensi Persentase

Batak 1 ,5

Karo dan Indonesia 1 ,5

Sunda 1 ,5

Campuran 4 2,0

Karo 20 9,9

Indonesia 176 86,7

(22)

Lampiran 9

Tabel 9.1. Mayoritas suku di lingkungan rumah

1 ,5

1 ,5

! 1 ,5

" # 3 1,5

$ % 3 1,5

& 9 4,4

" # 9 4,4

! 20 9,9

$ % 47 23,2

108 53,2

(23)

Tabel 9.2. Mayoritas suku di lingkungan akademis

Suku di lingkungan akademis Frekuensi Persentase

Tidak memberi jawaban 1 0,5

Batak, cina 1 0,5

Jawa, Batak 1 0,5

Sumatera 1 0,5

Sunda, Batak 1 ,5

Sunda, Cina 1 ,5

Batak,jawa 2 1.0

Jawa, Cina 2 1,0

Karo 2 1,0

Jawa, Sunda 3 1,5

Sunda, Jawa 3 1,5

Batak 6 3,0

Jawa 10 4,9

Cina 13 6,4

Campuran 29 14,3

Sunda 127 62,6

(24)

Lampiran 10

Peran orangtua menanamkan nilai Batak Karo pada remaja Karo di

Bandung

Orangtua menanamkan nilai Karo Frekuensi Persentase Orangtua tidak menanamkan nilai Karo 16 7,9

Orangtua menanamkan nilai Karo 187 92,1

Total 203 100,0

Lampiran 11

Contoh nilai yang ditanamkan orangtua pada remaja Karo di Bandung

Contoh nilai yang ditanamkan orangtua Frekuensi Persentase

Mengajarkan nilai kekeluargaan 4 1,97

Mengajarkan untuk saling membantu 5 2,46

Mengajarkan cara bersosialisasi dan pergaulan di

masyarakat Karo 9 4,43

Tidak memberikan jawaban 9 4,43

Mengajarkan budaya Karo 14 6,89

Mengajarkan kesopanan terutama dalam hal berbicara

dan berpakaian 17 8,37

Menghormati orang lain terutama yang lebih tua 25 12,31

Mengajarkan tradisi di masyarakat Karo 34 16,74

Mengajarkan bahasa Karo 37 18,23

Mengajarkan ertutur 49 24,14

(25)

Lampiran 12

Pengaruh peran orangtua pada nilai Karo yang ditanamkan pada remaja

Karo di Bandung

Lampiran 13

Bentuk pengaruh nilai yang ditanamkan orangtua pada remaja Karo di

Bandung

Bentuk pengaruh nilai yang ditanamkan orangtua Frekuensi Persentase

Menjadi lebih bangga 3 1,47

Dapat melestarikan budaya Karo 4 1,97

Mengerti tentang ajaran kekeluargaan dalam masyarakat

Karo 8 3,94

Adanya perubahan sikap dan perilaku 11 5,42

Lebih mengerti adat dan tradisi masyarakat Karo 15 7,38

Tidak memberikan jawaban 16 7,88

Memahami budaya Karo 17 8,37

Mengerti tentang kesopanan 27 13,30

Menghormati dan menghargai orang lain terutama yang

lebih tua 30 14,77

Mengerti tentang ertutur 34 16,74

Lebih mengerti dan dapat menggunakan bahasa Karo 38 18,72

Total 203 100,00

Pengaruh peran orangtua pada nilai Karo Frekuensi Persentase

Tidak berpengaruh 8 3,9

Berpengaruh 195 96,1

(26)

Lampiran 14

Keluarga menanamkan tradisi atau budaya Karo pada remaja Karo di Bandung

Lampiran 15

Contoh tradisi atau budaya Karo yang ditanamkan oleh keluarga pada

remaja Karo di Bandung

Keluarga masih menanamkan tradisi atau budaya Karo Frekuensi Persentase

Tidak 33 16,3

Ya 170 83,7

Total 203 100,0

Contoh tradisi atau budaya Karo yang ditanamkan oleh keluarga

Frekuensi Persentase

Mengajarkan sosialisasi dalam masyarakat Karo 7 3,44

Mengajarkan nilai kekeluargaan 16 7,88

Mengajarkan tentang kesopanan 17 8,374

Mengajarkan untuk menghormati orang lain 17 8,374

Mengajarkan bahasa Karo 23 11,33

Menerangkan budaya Karo 23 11,33

Mengajarkan adat istiadat 30 14,77

Mengajarkan ertutur 34 16,74

Tidak memberikan jawaban 36 17,73

(27)

Lampiran 16

Pengaruh keluarga terhadap tradisi atau budaya Karo yang dianut oleh

remaja Karo di Bandung

Lampiran 17

Bentuk pengaruh keluarga terhadap tradisi atau budaya Karo yang dianut

oleh remaja Karo di Bandung Pengaruh keluarga terhadap tradisi atau budaya Karo yang dianut

Bentuk pengaruh keluarga terhadap tradisi atau budaya Karo yang dianut oleh remaja Karo di Bandung

Frekuensi Persentase

Mengerti sosialisasi dan tata pergaulan di masyarakat Karo 3 1,47

Menjalankan dan meneruskan budaya Karo 4 1,97

Perubahan sikap dan perilaku 11 5,42

Mengerti kesopanan 13 6,40

Menambah wawasan dan pengetahuan 13 6,40

Dapat menggunakan bahasa Karo 14 6,89

Lebih mengerti adat istiadat 16 7,88

Lebih mengerti dan tahu budaya Karo 17 8,37

Menghormati dan menghargai orang lain 17 8,37

Memiliki rasa kekeluargaan 18 8,86

Mengerti ertutur 21 10,34

Tidak memberikan jawaban 56 27,58

(28)

Lampiran 18

Hubungan remaja Karo di Bandung dengan orang dewasa lain yang berasal

dari budaya Karo

Memiliki hubungan dengan orang dewasa dari budaya Karo Frekuensi Persentase

Tidak 6 3,0

Ya 197 97,0

Total 203 100,0

Lampiran 19

Hubungan remaja Karo di Bandung dengan orang dewasa lain yang berasal

dari budaya lain

Lampiran 20

Pengaruh orang dewasa terhadap tradisi atau nilai yang dianut oleh remaja

Karo di Bandung

Memiliki hubungan dengan orang dewasa dari budaya lain Frekuensi Persentase

Tidak 6 3,0

Ya 197 97,0

Total 203 100,0

Orang dewasa memiliki pengaruh terhadap tradisi atau nilai Frekuensi Persentase

Ada 47 23,2

Tidak 156 76,8

(29)

Lampiran 21

Bentuk pengaruh orang dewasa terhadap tradisi atau nilai yang dianut oleh

remaja Karo di Bandung

Bentuk pengaruh orang dewasa terhadap tradisi atau nilai

Frekuensi Persentase

Tidak ada pengaruh 1 0,49

Mengajarkan cara bersosialisasi dan pergaulan 3 1,47

Mengajarkan ertutur 4 1,97

Mengajarkan kekeluargaan 6 2,95

Lebih mengerti adat istiadat 10 4,92

Mengajarkan kesopanan 10 4,92

Lebih menghormati dan menghargai orang lain 11 5,42

Menambah wawasan dan pengetahuan 11 5,42

Mengenalkan budaya Karo atau lain 12 5,91

Dapat menggunakan bahasa Karo atau lain 15 7,38

Adanya perubahan sikap atau perilaku 19 9,35

Tidak memberikan jawaban 101 49,75

Total 203 100,0

Lampiran 22

Lingkungan akademis memiliki pengaruh terhadap tradisi atau nilai yang

dianut pada remaja Karo di Bandung

Lingkungan akademis memiliki pengaruh terhadap tradisi atau nilai

Frekuensi Persentase

Ada 47 23,2

Tidak 156 76,8

(30)

Lampiran 23

Bentuk pengaruh lingkungan akademis terhadap tradisi atau nilai yang

dianut oleh remaja Karo di Bandung

Lampiran 24

Hubungan remaja Karo di Bandung dengan teman yang berasal dari budaya

Karo Bentuk pengaruh lingkungan akademis

terhadap tradisi atau nilai

Frekuensi Persentase

Tidak lagi menguasai bahasa Karo 1 0,49

Lebih mngerti budaya Karo dan budaya yang berbeda 2 0,98 Menjadi analisa dalam mengerti budaya Karo yang tidak relevan 2 0,98

Berniat memajukan dan meneruskan budaya Karo 2 0,98

Menjadi landasan bergaul 3 1,47

Perubahan cara bicara 3 1,47

Mengubah bahasa 6 2,95

Perubahan cara pandang 6 2,95

Mengenalkan budaya 6 2,95

Perubahan sikap dan perilaku 12 5,91

Tidak memberikan jawaban 160 78,81

Total 203 100,00

Memiliki teman yang berasal dari budaya Karo Frekuensi Persentase

Tidak 5 2,5

Ya 198 97,5

(31)

Lampiran 25

Hubungan remaja Karo di Bandung dengan teman yang berasal dari budaya

lain

Lampiran 26

Pengaruh teman terhadap tradisi atau nilai budaya yang dianut remaja

Karo di Bandung

Memiliki teman dari budaya lain Frekuensi Persentase

Tidak 3 1,5

Ya 200 98,5

Total 203 100,0

Pengaruh teman terhadap tradisi atau nilai budaya yang dianut

Frekuensi Persentase

Ada 78 38,4

Tidak 125 61,6

(32)

Lampiran 27

Bentuk pengaruh teman terhadap tradisi atau nilai budaya yang dianut oleh

remaja Karo di Bandung

Bentuk pengaruh teman terhadap tradisi atau nilai budaya yang dianut

Frekuensi Persentase

Menjadi lebih bangga terhadap budaya Karo 1 0,49

Menjadi lebih serasi dengan lingkungan 1 049

Menjadi tempat berbagi 1 0,49

Mengajarkan kekeluargaan 2 0,98

Mengubah logat 2 0,98

Menjadi lebih mengerti budaya lain 4 1,97

Merubah sikap 4 1,97

Berniat untuk menjaga dan meneruskan budaya Karo 5 2,46

Menjadi landasan dalam bergaul 5 2,46

Mengajarkan bahasa Karo atau bahasa lain 11 5,42

Menambah pengetahuan tentang budaya Karo dan budaya lain 13 6,40

Tidak memberikan jawaban 154 75,86

Total 203 100,00

Lampiran 28

Keikutsertaan remaja Karo di Bandung dengan organisasi atau

perkumpulan sesuku di lingkungan rumah / kampus /sekolah

Tergabung dengan organisasi atau perkumpulan sesuku Frekuensi Persentase

Ya 65 32

Tidak 138 68

(33)

BABBI

PENDAHULUAN

1.1. LatarBBelakangBMasalah

Indonesia memiliki keanekaragaman suku bangsa. Suku bangsa tersebut

tidak hanya menempati daerah asal mereka tapi juga sudah menyebar ke daerah

lain di Indonesia bahkan hingga ke luar negeri. Salah satu di antara sekian banyak

suku bangsa yang tersebar di seluruh wilayah negara Indonesia adalah suku Batak,

yang memiliki wilayah asal Sumatera Utara mulai dari perbatasan Daerah

Istimewa Aceh hingga ke perbatasan Riau dan Sumatera Barat. Walaupun berasal

dari Sumatera Utara, penyebaran suku Batak tidak hanya terbatas di Sumatera

melainkan juga hingga ke pulau-pulau luar Sumatera seperti Pulau Jawa,

Kalimantan bahkan hingga ke luar negeri. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor

geografis daerah asal suku Batak, yang berada di daerah pegunungan yang keras,

sehingga suku Batak harus dapat mencari daerah alternatif sebagai sumber mata

pencaharian mereka. Situasi ini yang membentuk suatu ciri khas suku Batak yaitu

ciri perantau, dimana mereka tidak harus bergantung pada daerah asal namun

harus berani untuk mencoba hidup dan berusaha sendiri di daerah yang baru.

Suku Batak merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia yang masih

kuat memegang teguh budayanya. Sekalipun berada di perantauan, suku Batak

selalu mengingat identitas kesukuannya, seperti berusaha mendirikan

perhimpun-an semarga atau sekampung dengperhimpun-an tujuperhimpun-an untuk menghidupkperhimpun-an kembali adat

budayanya agar tidak tenggelam dalam budaya asli daerah yang mereka tempati.

(34)

2

Usaha untuk mempererat tali budaya tersebut dapat berupa arisan semarga/

sekampung setiap bulannya, atau juga berkumpul dalam organisasi agama seperti

berkumpul di gereja khusus bagi orang yang berasal dari suku tersebut misalnya

Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) untuk suku Batak Toba yang beragama

Protestan atau juga Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) untuk suku Karo yang

beragama Protestan.

Suku Batak memiliki 6 subsuku bangsa yaitu suku Batak Toba,

Simalungun, Pakpak, Angkola, Mandailing, dan Karo. Suku Batak Karo mendia-

mi daerah induk yang meliputi dataran tinggi Karo, Langkat Hulu, Serdang Hulu,

dan sebagian Dairi. Selain menempati daerah induk di atas, suku Karo juga

tersebar di seluruh Sumatera, Jawa dan daerah Indonesia lainnya. Seperti

kebudayaan lainnya, suku Karo memiliki aspek budaya yang hampir mencakup

seluruh kegiatan perjalanan kehidupan sehari-hari misalnya kelahiran bayi,

perkawinan, kematian, memasuki rumah baru, pesta muda mudi, memanggil roh

orang hidup atau mati, bahasa, pengobatan, hukum adat, kesenian, peralatan,

perhiasan, pantangan atau yang ditabukan, gotong royong dan kekeluargaan.

Dalam masyarakat Karo, sejak dahulu dikenal kelompok kekerabatan yang

disebut dengan merga dan bere. Setiap orang Karo memiliki merga, yang

diturunkan dari pihak ayah, dan bere, yang diperoleh dari pihak ibu. Merga adalah

suatu kelompok kekerabatan yang besar yang berupa nama kolektif tanpa

menghiraukan adanya satu nenek moyang, tidak seperti pada suku Batak Toba

yang nama marganya menunjukkan nama dan nenek moyang asal. Pada orang

Karo, merga bisa berarti 5 klen besar yang patrilineal yaitu merga Ginting,

(35)

3

Sembiring, Karo-Karo, Perangin-angin dan Tarigan, dan juga berarti sub merga

seperti Suka dan Munte untuk Ginting, Pandia dan Depari untuk Sembiring,

Sinuhaji dan Sinulingga untuk Karo-Karo, Singarimbun untuk Perangin-angin,

atau Tambun untuk Tarigan.

Pada suku Batak Karo, merga memegang peranan yang sangat penting

Pada awal perkenalan dengan sesama orang Karo, hal yang ditanyakan adalah

merga dan bere orang tersebut. Untuk mengetahui marga seseorang maka yang

harus dilakukan adalah proses ertutur. Melalui ertutur, seseorang dapat mencari

dan mengetahui hubungan kelompok kerabat antara dirinya dengan orang

lain,sesuai dengan istilah kekerabatan. Ertutur dilakukan dengan menanyakan

merga dan bebere seseorang, dan bila terdapat dalam satu kelompok marganya,

maka mereka dikatakan senina atau sembuyak atau bersaudara, dan jika merga

yang bertanya sama dengan bebere yang ditanya maka sementara mereka

dikatakan erimpal atau saudara berlainan merga, dan apabila dalam merga dan

bebere tidak ada sangkutpautnya maka diteruskan dengan saling menanyakan

kempu (cucu), binuang (bebere ayah), soler (bebere ibu), hingga akhirnya

ditemukan kekerabatan dalam masyarakat Karo.

Sebagaimana pada suku Batak, suku Batak Karo juga memiliki sistem

kekerabatan yang melandasi semua kegiatan khususnya yang berkaitan dengan

pelaksanaan adat-istiadat dan interaksi antar masyarakat Karo. Sistem kekerabatan

sering muncul akibat dari perkawinan antar merga dan submerga. Dalam suatu

perkawinan, maka keluarga pihak laki-laki dinamakan anak beru pihak

perempuan, dan keluarga pihak perempuan disebut kalimbubu oleh pihak

(36)

4

laki. Sistem kekerabatan ini dikenal dengan nama daliken si telu atau Sanggkep

Nggeluh atau Sanggkep Sitelu. Daliken si telu mencakup kalimbubu, sembuyak/

senina, dan anak beru, oleh karena itu setiap masyarakat Karo terikat pada

daliken si telu, baik berkerabat karena hubungan darah ataupun perkawinan.

Daliken si telu atau Sanggkep Nggeluh, pada masyarakat Karo saat ini

masih berperan penting, terutama berhubungan dengan masalah-masalah sosial di

dalam keluarga Karo. Sebagai contoh, dalam melaksanakan perkawinan, terdapat

salah satu calon yang bukan suku Karo, maka pihak daliken si telu calon

pengantin yang bersuku Karo, selalu menyarankan agar calon pengantin tersebut

disahkan menjadi orang Karo dengan diberikan merga dan bere, sekaligus

diberikan orangtua adatnya. Hal ini bertujuan untuk membantu keturunan dari

perkawinan campuran ini agar nantinya si anak tetap mendapatkan hak yang sama

dalam adat dan pembagian harta warisan. Melalui daliken si telu ini, nilai yang

diajarkan kepada masyarakat Karo adalah nilai gotong royong dan kekerabatan.

(P.S.BBrahmana,B2004).

Selain nilai yang ada dalam daliken si telu, masyarakat Karo juga memiliki

nilai-nilai yang diajarkan dalam cerita klasik Karo yang dikenal dengan

“Turi-turin si adi”. Di dalam cerita tersebut terdapat ungkapan yang berbunyi “jelma si

mehamat emkap jelma si banci janah sanggup meneken ras nasapkan sumbang si

siwah ibas kinigeluhenna nari “ yang artinya “ orang yang sopan adalah orang

yang dapat serta sanggup menghilangkan dan menghapus larangan yang sembilan

dalam hidupnya”. Berdasarkan ungkapan di atas, terlihat bahwa suku Karo sangat

mengutamakan nilai kesopanan terhadap orang lain sehingga suku Karo akan

(37)

5

dapat membina kehidupan yang serasi dengan masyarakat sekitarnya. Sumbang si

siwah (9 perilaku yang ditabukan), yang dijadikan sebagai nilai tradisional untuk

anak-anak dan remaja Karo, adalah sumbang perkundul, sumbang pengerana,

sumbang pengenen, sumbang perpan, sumbang perdalan, sumbang perdahin,

sumbang perukuren, sumbang peridi, dan sumbang perpedem (H.G. B Tarigan,B

Sumbang si siwah padaBmasyarakatBKaro,1988B)

Sumbang perkundul adalah perilaku duduk yang ditabukan, dimana bagi

masyarakat Karo, cara duduk yang sopan adalah posisi bersila (muncayang) dan

menjulurkan kedua kaki (terdo), selain itu juga mengenal “simehangke”

(orang-orang yang harus dihormati), sehingga bagi (orang-orang Karo ditabukan untuk duduk

berdampingan apalagi harus bersentuhan dengan mereka. Sumbang pengerana

adalah perilaku berbicara yang ditabukan. Anak-anak dan remaja Karo diajarkan

untuk berbicara sopan kepada yang lebih tua dan harus menggunakan panggilan

kekerabatan seperti ”mama (paman), mami (istri paman)“ serta menjaga ucapan

agar dapat menambah teman dan tidak menimbulkan sakit hati bagi lawan bicara.

Sumbang pengenen adalah perilaku melihat yang ditabukan. Jika sedang berbicara

kepada orangtua atau yang lebih tua, anak-anak atau remaja Karo tidak boleh

melihat langsung karena dipandang tidak sopan dan berarti berani menentang

orangtua. Selain itu, perilaku ini melarang seseorang untuk melihat bagian-bagian

tubuh yang ditabukan untuk sengaja ataupun tidak sengaja terlihat.

Sumbang perpan adalah perilaku makan yang ditabukan pada masyarakat

Karo. Pada saat makan, orang Karo tidak diperbolehkan”ngulcap” (mengeluarkan

suara saat mengunyah dan ”merimah” (membuang-buang nasi). Sumbang

(38)

6

perdalanen adalah perilaku berjalan yang ditabukan, dimana ketika berjalan

langkah kaki tidak dibuat menghentak dan membuat ayunan tangan yang

sewajarnya agar tidak menimbulkan kesan “metumbur” (ceroboh). Sumbang

pendahin adalah perilaku berkerja bagi masyarakat Karo yang ditabukan dan

ungkapan yang diajarkan untuk sumbang ini adalah “ola lakoken pendahin si la

tengka janah ola dadap pendahin si mereha” yang berarti jangan lakukan

pekerjaan yang terlarang dan jangan sentuh pekerjaan yang memalukan.

Sumbang perukuren adalah perilaku berpikir yang tidak diperbolehkan

oleh masyarakat Karo. Dalam hidup bermasyarakat, orang Karo harus saling

menghargai dan menghormati sesama warga masyarakat dan tidak boleh

berprasangka buruk terhadap orang lain. Orang Karo juga diajarkan untuk selalu

rendah hati dan harus selalu mau membantu sesama orang Karo. Sumbang peridi

adalah perilaku mandi yang tidak diperbolehkan pada masyarakat Karo. Sumbang

perpedem adalah perilaku tidur yang dianggap tabu jika dilakukan oleh orang

Karo. Kedua sumbang ini lebih diajarkan kepada hubungan laki-laki dan

perempuan, walaupun keduanya bersaudara kandung karena dianggap rebu atau

tabu.

Selain sumbang si siwah di atas, nilai lain yang diajarkan pada masyarakat

Karo ialah yang berhubungan dengan pengambilan keputusan. Ini terlihat dalam

menentukan upacara adat dan menerima warisan. Dalam menentukan upacara adat

atau kekerabatan, terdapat sistem pelapisan sosial yang berdasarkan perbedaan

umur, yang menentukan perbedaan hak dan kewajiban. Ada tiga kategori dalam

stratifikasi sosial ini, yaitu anak-anak dan pemuda (danak-danak), orang setengah

(39)

7

usia (kalak singuda) dan orang tua (tua-tua). Hanya tua-tua yang berhak

mengajukan saran dan mengambil keputusan sedangkan kalak singuda hanya

menjadi pelaksana dan danak-danak tidak diperhitungkan sama sekali. Nilai

tradisional yang ingin diajarkan kepada anak-anak dan remaja Karo adalah

pengambilan keputusan ada pada orangtua atau orang yang lebih tua, sehingga

mereka tidak berhak untuk membuat keputusan sendiri dan semuanya tergantung

pada orangtua atau yang lebih tua.

Sebagaimana pada kebudayaan lain, kebudayaan Karo mempengaruhi

periode perkembangan remaja Karo. Seiring dengan perkembangan usia, maka

pemahaman dan kemampuan berpikir seseorang makin berkembang sehingga

ajaran dan nilai budaya Karo yang sejak kecil diajarkan oleh orangtua, keluarga

atau orang yang lebih tua lainnya, dapat berkembang dan semakin tertanam dalam

diri remaja Karo.

Selain dari orangtua dan yang dituakan, anak-anak dan remaja Karo juga

memperoleh pengaruh dari teman sebaya dan sekolah. Pengaruh ini secara

langsung dan tidak langsung akan membentuk proses pembentukan nilai pada

anak dan remaja Karo. Selain berada di daerah asalnya di Sumatera, orang Batak

Karo juga berada di Pulau Jawa. Di Pulau Jawa, daerah yang banyak didiami oleh

orang Karo adalah Jakarta dan Bandung. Remaja Karo yang tinggal di Bandung

tidak saja memperoleh transmisi nilai budaya Karo dari orangtua namun juga nilai

budaya Sunda yang diperoleh dari lingkungan sekolah, tempat tinggal dan teman

sebaya. Menurut StanleyBSue,B1990B(dalamBSantrock,B2004), Bkondisi ini dapat

menimbulkanBvalue conflict dimana remaja Karo berhadapan dengan nilai dari

(40)

8

dua kebudayaan disekitarnya yaitu budaya Karo dan budaya Sunda dan jika

remaja Karo menghayati adanya pertentangan antara nilai Karo yang diajarkan di

rumah dan nilai budaya Sunda atau budaya lain yang diperolehnya di lingkungan

sekitar rumah, sekolah dan teman sebayanya. Remaja Karo yang ada di Bandung

bukan saja akan menghadapi value conflict namun juga akan mengalami

pergeseran nilai Karo yang diajarkan. Ini disebabkan karena adanya dua atau lebih

kebudayaan yang dominan dalam kehidupannya. Nilai budaya Karo yang

diajarkan oleh orangtua dan juga budaya Sunda yang diperoleh dari lingkungan

selain orangtuanya.

Nilai atau values menurut SchwartzBadalah konsep atau keyakinan yang

akan menuntun individu untuk memilih perilaku yang diinginkan berdasarkan

kepentingan relatif pada suatu situasi khusus (dalamB Zanna, B1992). SchwartzB

mengemukakan, berdasarkan penelitian di 54 negara, terdapat 10 values yang

berlaku secara universal di seluruh dunia. Kesepuluh values tersebut adalah

self-direction, stimulation, hedonism, achievement, power, security, conformity,

tradition, benevolence dan universalism values (Journal B Of B Cross B CulturalB

Psychology,Bvol.B32Bno.3,BMayB2001:B273).B

Untuk memahami kesepuluh values Schwartz tersebut, peneliti telah

melakukan survei awal pada 20 remaja Karo di Bandung. Ke-20 remaja tersebut

berusia 17 hingga 22 tahun dan berpendidikan dari SMA hingga kuliah.

Berdasarkan data yang telah diperoleh, diketahui bahwa dari 20 remaja tersebut,

semuanya merasa bahwa identitas mereka adalah orang Karo dan memiliki orang

tua yang berasal dari daerah induk Karo, walaupun dari mereka ada yang telah

(41)

9

berdomisili di Bandung sejak lahir. Dari survei awal diketahui seluruh remaja

Karo merasa sebagai orang Karo, 60% menyatakan karena memiliki orang tua

yang berasal dari suku Karo, 20% menyatakan karena dibesarkan di lingkungan

Karo, 5% menyatakan karena lahir di tanah Karo dan 15% menyatakan karena

mereka mengerti adat istiadat suku Karo dan memiliki marga.

Dari wawancara yang dilakukan terhadap remaja Karo, diketahui bahwa

ke-20 remaja Karo diajarkan untuk selalu membina hubungan baik dengan

saudara atau orang lain di sekitar mereka, dimanapun mereka berada, membantu

orang lain terutama saudara yang sedang membutuhkan bantuan, bersikap sopan

terhadap semua orang terutama yang lebih tua dari mereka, cara ertutur agar tahu

cara bersosialisasi yang benar. Nilai yang diajarkan di atas, mendukung

Schwartz’sBvalues yang termasuk dalam universalism, benevolence, security, dan

conformity values. Universalism value menekankan pada persamaan kesempatan

pada tiap orang dan menyatu dengan alam; benevolence value menekankan pada

interaksi positif seseorang dengan orang lain, yang bertujuan menolong, dapat

dipercaya, setia kepada teman dan kelompok; security value menekankan pada

menjaga keamanan untuk mencintai keluarga, orang lain yang peduli padanya;

dan conformity value yang menekankan pada pengendalian tindakan agar tidak

melanggar harapan sosial dan norma yang berlaku di sekitar seseorang.

Selain itu, remaja Karo juga diajarkan untuk mampu hidup mandiri dan

berani meninggalkan rumah dan orangtua untuk meneruskan kuliah atau bekerja

ke luar pulau, mencari tantangan baru yang tidak sama dengan kehidupan orang

tua mereka. Mereka diharapkan untuk mampu berpikir dan bertindak mandiri,

(42)

10

namun 75 % remaja Karo yang disurvei, terutama yang masih berasal dari daerah

induk Karo, mengatakan walaupun mereka diharapkan untuk dapat hidup mandiri,

namun dalam hal pengambilan keputusan seringkali hal tersebut harus

dirundingkan dahulu dengan keluarga sehingga untuk masalah sehari-hari mereka

masih dapat memutuskan sendiri namun untuk hal tertentu misalnya masalah

pendidikan, tempat tinggal bahkan jodoh, harus menunggu keputusan keluarga.

Nilai di atas, pada Schwartz’s BvaluesBtermasuk ke dalam self-direction dan

stimulation values. Self-direction value berarti memiliki kebebasan dalam berpikir

dan bertindak dan memilih tujuan sendiri. Stimulation value didasari oleh

pencarian sensasi atau ketegangan, yang bertujuan mendapatkan pengalaman yang

menantang dan variasi dalam hidup. Dari hasil survei di atas, dapat dilihat bahwa

nilai yang diajarkan pada sebagian besar remaja Karo dapat menunjang

stimulation, namun sistem pengambilan keputusan, terutama yang berhubungan

dengan adat, dapat menghambat self-direction value.

Selanjutnya dari ke-20 remaja Karo yang disurvei, 80% dari mereka ingin

melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi dan 20%-nya ingin kuliah

dan bekerja. Mereka mengungkapkan bahwa memiliki gelar pendidikan yang

tinggi saat ini sangat penting, karena semakin tinggi pendidikan yang diperoleh

seorang anak, hal ini dapat menimbulkan kebanggaan bagi orangtua dan keluarga

mereka. Pendidikan yang tinggi menimbulkan perasaan bangga dan remaja Karo

merasakan sukses dan akan dipandang lebih tinggi daripada yang pendidikannya

lebih rendah. Hal ini dapat mendukung power dan achievement values yang

menekankan pada pencapaian kesukesan pribadi dan penguasaan akan orang lain.

(43)

11

Namun, walaupun memiliki pendidikan yang tinggi, mereka diajarkan agar tidak

menjadi sombong, dan tetap mengikuti sistem adat yang berlaku di masyarakat

Karo. Jenjang pendidikan yang tinggi tidak membuat mereka dapat mengambil

keputusan sendiri dan mandiri, menjadi dominan atau memiliki kekuasaan dan

kesuksesan pribadi karena tradisi dan daliken si telu, yang menjadi pengendali

kehidupan masyarakat Karo. Dari survei di atas, dapat dilihat bahwa sistem

daliken si telu dapat menghambat power value yang menekankan pada dominasi

dan kontrol terhadap orang lain; achievement value yang menekankan pada

kesuksesan pribadi dan mempengaruhi orang lain; namun dapat menunjang

tradition value, yaitu value yang menekankan pada penghargaan dan penerimaan

terhadap tradisi yang berlaku di masyarakatnya.

Dari 20 remaja yang diteliti, 50% menghabiskan waktu luang dengan

bermain, mencari hiburan melalui tv dan radio serta berolahraga, 25% beristirahat

di rumah dengan membaca, mendengarkan radio atau menonton film, 10%

menghabiskan waktunya dengan belajar, 5 %-nya berkumpul dengan teman dan

10% menghabiskan waktu dengan melakukan semua kegiatan diatas. Namun,

75% dari remaja Karo tersebut, menyatakan bahwa walaupun memiliki waktu

untuk bersenang-senang, mereka tetap diharuskan untuk membantu keluarga, baik

dalam pekerjaan orangtua seperti berdagang, atau mengurus pekerjaan rumah

seperti menyapu, memasak,menyeterika dan yang paling utama adalah belajar,

sehingga walaupun memiliki waktu untuk bermain dan berkumpul bersama

teman, mereka tetap harus melakukan kegiatan di atas. Dari data ini, dapat dilihat

nilai yang diajarkan orangtua remaja Karo dapat menghambat hedonism value,

(44)

12

yang lebih mengarah pada pencarian kepuasan dan kesenangan dalam menikmati

hidup.

Dengan adanya fenomena di atas, peneliti tertarik untuk mengadakan

penelitian mengenai gambaran Schwartz’s values pada remaja Karo di Bandung.

1.2. IdentifikasiBMasalah

Adapun yang akan berusaha untuk dijawab melalui penelitian ini adalah

seperti apakah gambaran Schwartz’s values pada remaja Karo di Bandung

1.3. MaksudBdanBTujuan

1.3.1. Maksud

Maksud penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran mengenai

Schwartz’s values pada remaja Karo di Bandung

1.3.2. Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui content, structure, dan hierarchy

Schwartz’s values pada remaja Karo di Bandung

1.4. Kegunaan

1.4.1. KegunaanBIlmiah

 Sebagai bahan masukan bagi ilmu Psikologi Sosial dan Psikologi Lintas

Budaya, khususnya mengenai Schwartz’s values pada remaja Karo di

Bandung. Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengidentifikasikan values

(45)

13

yang penting dan kurang penting pada remaja yang dapat menambah

pengetahuan dalam bidang budaya.

 Memberikan informasi bagi rekan-rekan yang ingin meneliti lebih lanjut

mengenai topik Schwartz’s values

1.4.2. KegunaanBPraktis

 Memberikan informasi kepada orangtua Karo mengenai gambaran values

yang ada pada diri remaja Karo, yang berguna sebagai bahan pertimbangan

dalam memberikan bimbingan dan ajaran dalam membina remaja Karo.

 Memberikan gambaran bagi remaja Karo mengenai values yang mereka miliki

yang berguna untuk pengembangan diri yang sesuai dengan perkembangan

zaman sekarang.

1.5.BBBBBBKerangkaBPikir

Menurut Piaget, masa remaja adalah periode formal operasional dimana

remaja mulai untuk berpikir secara abstrak, hipotesa, logis dan rasional. Pada

periode ini, remaja akan menganalisa kembali ide-ide dan nilai-nilai yang

diajarkan oleh orangtua mereka sejak masa kanak-kanak (Steinberg,B2002). Ide

dan nilai tersebut berasal dari agama, politik, moral, ideologi dan juga budaya

yang dijalankan oleh orangtua dan dijadikan identifikasi oleh orangtua mereka. Ini

juga berlaku pada masyarakat Karo, dimana orangtua diperkirakan akan

mengajarkan ide dan nilai yang menjadi identitas mereka sebagai masyarakat

Karo.

(46)

14

Semakin remaja menjadi dewasa maka values kebudayaan yang sudah

teridentifikasi akan semakin menetap dan membentuk ciri khas pada individu

tersebut. Demikian pula remaja Karo di Bandung yang berada dalam tahap

memeriksa dan menganalisis values Karo yang diajarkan oleh orangtua mereka.

Pada periode perkembangannya, remaja akan melakukan identifikasi

terhadap values. Values adalah konsep yang digunakan remaja untuk memilih dan

menjustifikasi tindakan-tindakan dan untuk mengevaluasi orang lain termasuk

dirinya sendiri dan pengalaman-pengalamannyaB (Schwartz B dan B Bilsky, B 1987B

dalamBZanna,B1992). Menurut Schwartz, berdasarkan penelitian di 54 negara,

terdapat 10 values yaitu self-direction, stimulation, hedonism, achievement,

power, security, conformity, tradition, benevolence, dan universalism value

(Zanna,B1992). Values ini ada pada setiap budaya di dunia (Schwartz,B2001).

Dalam budaya Karo, terdapat perilaku berfikir yang dilarang atau yang

disebut sumbang perukuren, dimana dalam bermasyarakat, orang Karo harus

saling menghargai dan menghormati antara sesamanya dan tidak berprasangka

buruk terhadap orang lain. Melalui sumbang perukuren ini, diajarkan untuk selalu

menolong sesamanya, menghargai dan tidak melakukan tindakan yang dapat

menganggu dan menyakiti orang lain (H.G.BTarigan,1998). Nilai yang diajarkan

sumbang ini merupakan benevolence, universalism, security dan conformity

values.

Benevolence value memfokuskan perhatian terhadap kesejahteraan orang

lain yang berinteraksi setiap harinya. Value ini biasanya muncul dalam bentuk

sikap suka menolong, setia, pemaaf, jujur, dan bertanggung jawab. Tingkah laku

(47)

15

yang muncul adalah suka menolong, perhatian terhadap keadaan sekitarnya, setia

terhadap sahabat.

Universalism value yaitu value yang menekankan pada pengertian,

penghargaan, toleransi, dan perlindungan untuk kesejahteraan semua orang dan

alam. Kegagalan dalam menerima orang lain yang berbeda dan kegagalan

memperlakukan mereka dengan adil akan mengarah pada terjadinya perselisihan..

Security value lebih menekankan pada faktor keamanan, keselarasan, dan

stabilitas sosial, stabilitas persahabatan, dan stabilitas diri. Security value ini dapat

muncul dalam tingkah laku seperti menghindar dari perkelahian, menghindari dari

sakit, berbuat sesuai dengan aturan yang berlaku.

Conformity value menekankan pada pengendalian tingkah laku agar tidak

menganggu orang lain dan melanggar harapan sosial dan norma, sehingga

interaksi sehari-harinya dapat berjalan dengan lancar. Value ini biasanya muncul

dalam tingkah laku pengendalian diri dalam interaksi sehari-hari, biasanya dangan

orang yang dekat seperti patuh, disiplin diri, kesopanan, menghormati orang tua

dan yang lebih tua.

Sejak jaman dahulu, masyarakat Batak dikenal sebagai bangsa perantau.

Ini juga berlaku pada masyarakat Karo dimana pemuda Karo diajarkan untuk

berani pergi keluar daerahnya baik itu untuk menuntut ilmu ataupun mencari

pekerjaan (P. B Bangun B dalam B Koentjaraningrat, B 1985). Remaja Batak Karo

yang merantau ke Bandung, diharapkan untuk mampu hidup mandiri dan

mengambil keputusan yang sesuai dengan kehidupan yang mereka jalani, yang

jauh dari orangtua mereka. Nilai yang diajarkan untuk memulai hidup yang baru,

(48)

16

jauh dari orangtua, mencari tantangan dalam hidup dapat dikategorikan sebagai

stimulation value. Menurut Schwartz, value ini lebih menonjol pada kebutuhan biologis dalam mencari ketegangan. Value ini muncul dalam bentuk mencari

kesenangan baru, mencari tantangan dalam hidup untuk mendapatkan variasi

dalam hidup, sehingga hidupnya menjadi lebih mengairahkan.

Namun, walaupun remaja Karo yang berada di Bandung dapat menjadi

pengambil keputusan dalam kehidupan sehari-hari mereka, ada hal yang tidak

dapat diputuskan sendiri oleh remaja Karo, terutama yang berhubungan dengan

daliken si telu, yang menjadi pengendali dalam kehidupan bermasyarakat suku

Karo. Daliken si telu, merupakan kelompok kelompok kemasyarakatan yang

bertanggung jawab dalam pengambilan keputusan terutama yang berhubungan

dengan budaya, adat dan kehidupan seluruh masyarakat Karo.

Selain daliken si telu, sistem pengambilan keputusan dalam masyarakat

Karo juga ditentukan oleh sistem kekerabatan berdasarkan perbedaan usia.

Menurut P.Bangun B(dalam Koentjaraningrat, B 1985), budaya Karo memiliki

sistem kemasyarakatan yang berdasarkan perbedaan usia dalam menentukan hak

dan kewajiban terutama dalam upacara adat. Dalam hal menentukan upacara adat,

atau dalam hal urusan kekerabatan, hanya para orangtua (tua-tua) yang berhak

mengajukan saran dan mengambil keputusan. Adapun remaja (kalak singuda),

hanya dapat menjadi pelaksana, sedangkan anak-anak (danak-danak) tak

diperhitungkan, bahkan kalau mereka menjadi ahli waris misalnya, mereka harus

diwakili oleh ibu mereka.

(49)

17

Dalam menentukan pasangan hidup, remaja Karo diajarkan untuk sebisa

mungkin memilih pasangan yang berasal dari suku Karo. Akan dipandang

memalukan dan tidak menghormati budaya, jika misalnya seorang pemuda atau

pemudi Karo memilih untuk menikah dengan seseorang di luar suku Karo. Dapat

dilihat bahwa sistem pengambilan keputusan pada masyarakat Karo, terutama

remaja Karo, dapat menghambat self-direction namun mendukung tradition

value. Self-direction value merupakan pemikiran dan tindakan yang bebas dalam

memilih, menciptakan, mengeksplorasikan, dan menjelajah. Biasanya tingkah

laku yang muncul seperti suka mengambil keputusan sendiri, senang memilih

kegiatan-kegiatan untuk dirinya sendiri, memiliki rasa ingin tahu, memilih tujuan

hidupnya sendiri.

Tradition value merupakan nilai pada kelompok yang mengembangkan

simbol dan praktek yang mengungkapkan pengalaman dan nasib mereka bersama.

Cara bertingkah laku tradisional menjadi simbolik solidaritas kelompok,

mengekspresikannya sebagai jaminan mempertahankan hidup. Tradisi paling

sering mengambil bentuk sebagai ritual religius, keyakinan dan norma tingkah

laku. Tujuan motivasional dari tradition value adalah menghargai tradisi,

memegang teguh kepercayaan agama, menerima bagiannya dalam hidup dan

sederhana. Remaja Karo diajarkan untuk mengutamakan penerimaan akan adat

istiadat dan ide bahwa suatu budaya atau agama mempengaruhi remaja Karo.

Remaja Karo diajarkan untuk selalu mencapai prestasi yang baik di bidang

pendidikan, pekerjaan maupun dalam kehidupan sosial karena prestasi yang baik

dapat meningkatkan kedudukan sosial mereka dan keluarganya di dalam

(50)

18

lingkungan masyarakat Karo. Dengan keberhasilan dalam bidang pendidikan,

pekerjaan dan kedudukan sosial, orangtua akan bangga dan mendapatkan

penghargaan dari keluarga besar mereka. Nilai yang diajarkan ini termasuk dalam

Schwartz’s values yaitu achievement dan power values.

Achievement value yaitu value yang mengarah pada kesuksesan pribadi

dengan memperlihatkan kompetensi berdasarkan standar sosial yang berlaku.

Value ini biasanya muncul dalam bentuk kemampuan untuk mempengaruhi,

ambisi dan kesuksesan diri. Tingkah laku yang muncul seperti melakukan suatu

pekerjaan yang lebih baik dari orang lain, menunjukkan kemampuan-kemampuan

yang dimiliki. Power value yaitu value yang lebih menekankan pada pencapaian

status sosial atau kedudukan, penguasaan/pengendalian pada orang lain. Power

value biasanya muncul dalam bentuk mencari kekayaan, selalu ingin menjadi

orang yang mengambil keputusan dan ingin dihargai. Terdapat perbedaan antara

achievement value dan power value yaitu power value lebih menekankan

pencapaian dan pemeliharaan posisi dominan dalam sistem sosial yang lebih

umum, sedangkan achievement value lebih menekankan pada penampilan aktif

dalam kompetensi interaksi konkrit dengan orang lain.

Pada masa remaja, seorang individu akan lebih menghabiskan waktu

dengan belajar, baik formal ataupun informal, dan kegiatan bermain. Kegiatan

bermain mencakup bersosialisasi dengan teman, berolahraga dan bermain,

menonton televisi dan beristirahat (Steinberg, B 2002). Kegiatan bermain ini

bertujuan untuk mencari kesenangan yang akan memuaskan remaja. Kegiatan

bermain ini juga berlaku pada remaja Karo di Bandung. Menurut Schwartz,B

(51)

19

kegiatan mencari kesenangan ini merupakan hedonism value. Value ini lebih

mengarah pada kebutuhan untuk mencari kesenangan yang memuaskan remaja.

Tujuan dari value ini adalah tercapainya kebutuhan dalam pemuasan panca indra

atau fisik. Biasanya muncul dalam tingkah laku seperti suka bersantai atau

menjalankan hobi untuk waktu yang cukup lama.

Kesepuluh values tersebut dinamakan sebagai single values atau first

order. Kesepuluh single values mempunyai hubungan compatibilities dan

conflict. Dengan menggunakan Smallest Space Analysis (SSA), content

Schwartz’s values tergambarkan melalui item-item dari tiap values yang

disajikan sebagai point dalam suatu multidimensional space, dimana jarak antara

point merefleksikan hubuungan antara values. Structure Schwartz’s values

tergambarkan melalui jarak item values di dalam multidimendional space,

semakin dekat jarak point antara values semakin compatibilities hubungannya dan

semakin jauh jarak pointnya maka semakin conflict hubungannya. Selain content

dan structure, hierarchy dari kesepuluh single values dapat tergambarkan melalui

skala prioritas atau penting tidaknya kesepuluh values pada diri remaja.

Kesepuluh Schwartz’s values terbagi ke dalam 4 second order value type

(SOVT). Struktur pertama SOVT adalah dimensi Openess to Change, yang terdiri

dari dua single values, yaitu self-direction dan stimulation values. Hal yang

penting bagi kedua single values ini adalah terbuka pada perubahan. Remaja Karo

di Bandung yang memprioritaskan Openess to Change values akan mementingkan

kemandirian dalam berpikir, tertarik mencoba hal-hal baru, serta keinginan untuk

mendapat kesenangan yang baru. Struktur kedua SOVT adalah Conservatism

(52)

20

yang terdiri atas tiga single values, yaitu security, tradition dan conformity values.

Hal yang penting bagi ketiga single values ini adalah mempertahankan

kebiasaan-kebiasaan lama. Remaja Karo di Bandung yang memprioritaskan Conservatism

values akan mementingkan keamanan dalam kehidupannya, pengendalian tingkah

laku dan mematuhi harapan sosial, serta penghormatan dan komitmen terhadap

kebiasaan budaya dan agamanya.

Struktur ketiga SOVT adalah Self-Transendence, yang terdiri dari

benevolence dan universalism values. Hal yang penting bagi kedua single values

ini adalah menyatu dengan orang lain. Remaja Karo di Bandung yang

memprioritaskan Self-Transendence akan mementingkan kesejahteraan orang

yang berada di dekatnya, orang banyak dan alam. Struktur keempat SOVT adalah

Self-Enhancement. Self-Enhancement terdiri dari dua single values yaitu

achievement dan power values. Struktur keempat ini lebih menekankan pada

pengembangan diri baik dengan prestasi yang disesuaikan dengan standar sosial

maupun status sosial dan kedudukan untuk mempengaruhi orang lain. Remaja

Karo di Bandung yang memprioritaskan Self-Enhancement akan mengutamakan

prestasi yang disesuaikan dengan standar sosial seperti sekolah, dan status sosial

dan kedudukan untuk mengendalikan orang lain.

Selain SOVT diatas, single value hedonism terkait dengan SOVTB

Openess to Change dan SOVT Self-Enhancement. Remaja Karo di Bandung yang

memprioritaskan value ini mengutamakan kesenangan dan kepuasan hidup.

Openess to Change vs Conservatism dan Self-Transendence vs Self-Enhancement

memiliki hubungan yang negatif sehingga menimbulkan conflict, sedangkan

(53)

21

single values yang berada pada satu SOVT mempunyai hubungan yang

compatibilities.

Values terbentuk melalui proses transmisi yang mekanismenya sama

seperti proses terbentuknya belief yaitu keyakinan apakah sesuatu itu benar atau

salah, baik atau buruk atau dikehendaki atau tidak dikehendaki. Di dalam proses

transmisi tedapat 3 komponen, yaitu kognitif, afeksi dan behaviour (International

Encylopedia of the Social Science, 1998). Komponen kognitif muncul dalam bentuk pemikiran dan pemahaman terhadap values mengenai baik/buruk,

diinginkan/tidak diinginkan mengenai suatu obyek atau kejadian yang ada di

sekitar orang yang bersangkutan. Kedua adalah afeksi, yaitu values yang awalnya

hanya berupa pemahaman yang berkembang menjadi penghayatan tentang suatu

obyek atau kejadian seperti suka/tidak suka, senang/tidak senang. Komponen

ketiga yaitu behaviour. Komponen yang sudah semakin mendalam pada diri

remaja Karodan muncul dalam bentuk tingkah laku seperti bertingkah laku sesuai

dengan values yang menonjol pada remaja Karo.

Selain memiliki tiga komponen tersebut, terdapat pula tiga sifat transmisi

values yang terdapat pada tiap remaja Karo. Sifat yang pertama adalah transmisi

vertikal yaitu transmisi values Karo yang diturunkan oleh orangtua asli. Transmisi

ini dapat berupa transmisi enkulturasi, yaitu transmisi kebudayan sendiri yang

diwariskan oleh orangtua, dan juga melalui interaksi atau sosialisasi khusus dalam

kehidupan sehari-hari dengan orangtua seperti pola pengasuhan anak.

Transmisi kedua adalah transmisi oblique, yaitu transmisi yang berasal

dari orang dewasa lain yang berasal dari kebudayaan sendiri dan transmisi melalui

(54)

22

orang dewasa lain yang berasal dari kebudayaan lain yang akan terbentuk melalui

proses enkulturasi dan juga sosialisasi. Pada remaja Karo di Bandung, transmisi

dari orang dewasa lain yang berasal dari kebudayaan lain seperti budaya Sunda

akan terbentuk melalui proses akulturasi, yaitu pengembangan pengaruh oleh

kebudayan lain kepada kebudayaan Karo dan juga resosialisasi khusus melalui

interaksi dengan orang lain yang berasal dari luar budaya Karo. Orang dewasa

yang berperan dalam transmisi oblique ini adalah seperti guru, dosen, pengasuh,

dan orang dewasa yang berasal dari kebudayaan lain di lingkungan sekolah dan

rumah mereka atau kerabat dan keluarga seperti paman, bibi, kakek, nenek, atau

orang dewasa lain.

Sifat transmisi ketiga adalah transmisi horizontal yaitu pemindahan values

yang terjadi melalui enkulturasi dan sosialisasi dengan teman sebaya, maupun

hasil dari akulturasi dengan teman sebaya dari budaya lain dan resosialisasi

khusus dengan mereka (Berry,B1999).BTransmisi horizontal pada remaja Karo di

Bandung dapat terjadi melalui teman dalam lingkungan sekolah, bermain, gereja,

mesjid, rumah dan sekitar remaja Karo yang berasal baik dari kebudayaan Karo

maupun kebudayaan lain.

Pembentukan values tidak terlepas dari faktor internal remaja Karo.

Menurut Schwartz,B1992,Bdiperoleh bahwa remaja lebih banyak memperlihatkan

stimulation dan hedonism value, dan lebih sedikit memperlihatkan tradition,

security dan conformity values. Namun berdasarkan penelitian pada siswa/i kelas

III di SMU’X” Bandung, yang dilakukan oleh Mia B Hapsari, 2005, diketahui

bahwa remaja lebih mengutamakan benevolence, security dan self-direction

(55)

23

values. Usia yang lebih muda membuat remaja menyukai hal-hal baru yang

berbeda dengan hal yang biasanya dilakukan, namun remaja di Bandung, lebih

mengutamakan nilai yang lebih memperhatikan kesejahteraan masyarakat

disekitarnya dan mandiri secara pemikiran dan tingkah laku.

Faktor internal lain adalah pendidikan. Pendidikan berkorelasi positif

dengan self-direction dan stimulation values, dan berkorelasi negatif dengan

conformity dan tradition values. Hal ini sesuai dengan penelitian yang telah

dilakukan oleh KohnB&BSchooler,1990BdanBPrince-GibsonB&BSchwartz,B1994B

(Berry,1996:91).

Faktor gender juga mempengaruhi values. Berdasarkan penelitian di 47

negara, yang dilakukan oleh Prince-GibsonB&BSchwartz,B1994B(Berry,B1996:92)B

values remaja laki-laki lebih mengarah pada self-direction, stimulation, hedonism,

achievement dan power values, sedangkan remaja perempuan lebih mengarah

pada security dan benevolence values.

Agama juga turut berperan serta dalam pembentukan value. Berdasarkan

hasil penelitian Schwartz B & B Huismans, B 1995; B Roccas B & B Schwartz, B 1995B

(Berry, 1996: 92); diketahui bahwa semakin besar komitmen pada agama maka

tradition value semakin diprioritaskan.

1.6. Asumsi

- Sumber pembentuk value pada remaja Karo di Bandung terbagi atas dua

faktor, yaitu faktor eskternal dan faktor internal.

(56)

24

- Faktor eksternal pembentukan values adalah orangtua, teman sebaya, dan

orang dewasa lain di sekitarnya.

- Faktor internal pembentukan values adalah usia, pendidikan, jenis kelamin,

dan agama

- Terdapat 10 tipe Schwartz’s values yang berlaku universal pada remaja Karo

di Bandung.

(57)

25

Vertical transmission

1. Enkulturasi umum dari orang tua

2. Sosialisasi khusus ( pengasuhan anak)

Oblique transmission Oblique transmission

1. Enkulturasi umum dari sekolah 1. Akulturasi umum dari sekolah

2. Sosialisasi khusus dari sekolah 2. Resosialisasi khusus dari sekolah

Horizontal tramsmission Horizontal transmission

1 Enkulturasi dari teman sebaya Remaja Karo 1. Akulturasi umum dari teman sebaya

2. Sosialisasi khusus di Bandung 2. Resosialisasi teman sebaya

Faktor Internal Schwartz’s Values

- Usia - Self- Direction

- Jenis kelamin - Stimulation

- Pendidikan - Hedonism

- Achievement

- Power

- Security

- Conformity

- Tradition

Bagan 1.1. Kerangka Pikir - Benevolence

- Universalism

Gambar

Tabel 8.2.
Tabel 8.3. Bahasa yang digunakan di lingkungan rumah
Tabel 9.1. Mayoritas suku di lingkungan rumah

Referensi

Dokumen terkait

PENGARUH KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA TERHADAP KINERJA KARYAWAN PT..

white, dan lain-lain. adalah unsur rupa yang menunjukkan nilai raba, kualitas permukaan bahan, dapat melukiskan sebuah permukaan. Tekstur semu, yaitu tekstur yang dibuat pada

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai gaya manajemen konflik pada mahasiswa yang tergabung di Lembaga Kemahasiswaan Universitas Kristen Satya Wacana

Untuk mengetahui pada masing-masing kategori kreativitas siswa (tinggi, sedang, dan rendah), manakah di antara model pembelajaran kooperatif yang dapat memberikan

Tujuan skripsi ini adalah untuk mengetahui tipe strategi kesantunan apa yang digunakan oleh karakter dalam percakapan dan faktor-faktor apa saja yang

Pada akhir abad ke-19, orang Tionghoa di Jawa kebanyakan adalah pedagang dan karyawan suku Hokkien. Orang Tionghoa yang datang ke Jawa kebanyakan adalah laki-laki.

Hasil pengujian 9 genotipe padi merah yang menunjukkan respon tahan terhadap kedua ras berdasarkan skala penyakit, persentase DLA dan indeks penyakit ditemukan

Kesimpulan : Terdapat perbedaan kadar alpha synuclein plasma dengan penyakit Parkinson dan tidak terdapat perbedaan alpha synuclein plasma dengan jenis kelamin pada